Mencari Format Otonomi Desa di Tengah Keragaman1 Sutoro Eko dan AA GN Ari Dwipayana2
Otonomi merupakan sebuah isu paling utama dalam wacana, kebijakan dan praktik pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan desa. Kalangan asosiasi desa hingga Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) beberapa tahun menuntut otonomi desa yang lebih besar, termasuk di dalamnya adalah tuntutan pemulihan hak‐hak asal‐usul (indigenous right) masyarakat adat. AMAN misalnya menyerukan bahwa masyarakat adat harus berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi dan bermatabat secara budaya. Pada saat yang sama kalangan pemimpin desa dan tokoh masyarakat di Luar Jawa selalu mengkritik penyeragaman bentuk desa model Jawa, seraya menuntut pengaturan desa yang lebih beragam. Kalangan asosiasi desa terus‐ menerus menuntut pembentukan “desa otonom” yang mempunyai kedudukan secara jelas, kewenangan lebih besar dan Alokasi Dana Desa (ADD) dari APBN lebih besar, karena selama ini desa hanya ditempatkan sebagai obyek politik, pemerintahan dan pembangunan. Tetapi sejauh ini Republik Indonesia belum mempunyai undang‐undang yang mengatur desa yang mengakomodasi tuntutan dari bawah itu, serta bersifat legitimate dan kokoh. Selama lebih dari 60 tahun, Republik ini mengalami kesulitan yang luar biasa dalam membentuk otonomi desa di tengah keragaman, dan telah berkali‐kali mengalami bongkar‐pasang undang‐undang, mulai dari UU No. 22/1948 hingga UU No. 32/2004. UU No. 5/1979 termasuk undang‐undang yang bertahan lama, tetapi UU itu sangat tidak legitimate di mata daerah dan desa, terutama di Luar Jawa. 1Bahan bacaan untuk Konsultasi Publik RUU Desa, kerjasama antara IRE Yogyakarta, Ditjen PMD Depdagri dan DRSP‐USAID. 2Sutoro
Eko, dosen Ilmu Pemerintahan, Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta, Peneliti IRE Yogyakarta, Ketua Badan Pengarah Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD), dan Anggota Tim Pakar Revisi UU No. 32/2004 Departemen Dalam Negeri. Alamat kontak:
[email protected] dan HP: 081.125.6669. AA GN Ari Dwipayana, Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, dosen Pascasarjana Program Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM, dan Peneliti IRE Yogyakarta. Alamat kontak:
[email protected] dan
[email protected] HP: 081.128.2413. 1
Karena itu, ini saat‐saat yang penting untuk membicarakan kembali otonomi desa dan melahirkan Undang‐undang Desa yang kokoh dan mempunyai legitimasi, sekaligus mendorong reformasi desa menuju otonomi desa. Kami sudah cukup panjang terlibat dalam berbagai diskusi di Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD) hingga di dalam pagar Departemen Dalam Negeri, yang berupaya kembali secara serius menemukan kembali format otonomi desa yang tepat di tengah keragaman lokal di Indonesia. Dalam semesta pembicaraan tentang otonomi desa, kedudukan desa tampaknya merupakan isu yang paling krusial dan sangat sulit untuk dirumuskan. Sejumlah pakar senior (mulai dari Prof. Selo Soemardjan, Prof. Mochtar Naim, Prof. Benjamin Hoessin, Prof. E. Koeswara, hingga Prof. Sadu Wasistiono) menunjukkan bahwa kedudukan desa tidak jelas dan ambivalen. Pada tahun 1992, Prof. Selo Soemardjan mengatakan bahwa sikap pemerintah terhadap otonomi dan kedudukan tidak jelas. Pada bulan Juni 2004, Direktur Pemerintahan Desa dan Kelurahan Ditjen Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Departemen Dalam Negeri, Persadaan Girsang, bahkan juga menegaskan secara berkelakar: “Kedudukan desa sudah jelas. Kejelasannya terletak pada ketidakjelasannya”. Dalam bulan Januari 2008, di Mamuju Sulawesi Barat, Menteri Dalam Negeri Mardiyanto melempar wacana yang setuju dengan penempatkan desa sebagai daerah otonomi tingkat III setelah provinsi dan kabupaten/kota. "Saya setuju dengan pendapat tersebut dan sudah saatnya perangkat pemerintahan desa perlu diperkuat. Selama masa pemerintahan Indonesia belum banyak peraturan perundang‐undangan yang mengatur desa," katanya menanggapi pernyataan Asisten I Tata Praja Pemerintahan Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar) pada acara dialog dengan pejabat Pemprov/Pemkab, camat dan kepala desa dan lurah se Sulbar di Mamuju (Antara, 15 Januari 2008). Wacana Mendagri ini sebenarnya hendak menempatkan desa sebagai unit pemerintahan lokal yang otonom (desa otonom) sehingga akan menjawab ketidakjelasan kedudukan desa selama ini. Tetapi, sekali lagi, ungkapan Mendagri itu baru sebatasa wacana, yang masih membutuhkan pengujian, perdebatan dan pergulatan lebih lanjut. Karena itu kedudukan desa menjadi pintu masuk pertama dan utama dalam membicarakan masalah desa. Bagaimanapun kedudukan desa akan sangat menentukan kewenangan desa, hubungan desa dengan supra desa, susunan pemerintahan desa, maupun sumber‐sumber keuangan desa. Kejelasan kedudukan desa juga menjadi bagian dan mendukung upaya reformasi aset dan akses desa terhadap sumberdaya ekonomi‐politik yang selama ini menjadi persoalan sangat serius. Ada beberapa pertanyaan yang selalu muncul. Dimana letak desa dalam struktur ketatanegaraan NKRI? Apakah ia berada dalam subsistem pemerintahan kabupaten/kota atau ia seperti daerah yang berada dalam subsistem NKRI? Bagaimana bentuk (format) desa? Apakah desa sebagai unit pemerintahan lokal yang otonom (desa otonom) atau sebagai kesatuan masyarakat yang mempunyai “otonomi 2
asli”? Dengan kalimat lain, perdebatan yang paling menonjol adalah, mana yang lebih tepat: “desa otonom” atau “otonomi desa”? Cara Pandang Kedudukan Desa Sejauh ini ada tiga perspektif untuk menempatkan kedudukan desa di Indonesia dan di banyak negara, sebagaimana terlihat dalam tabel 1. Pilihan kedudukan desa sebaiknya konsisten pada satu kedudukan agar lebih jelas dan tidak menimbulkan tarik‐menarik kekuasaan dan tanggungjawab. Filipina misalnya, menempatkan desa (barangay) sebagai “desa otonom” (local self government). Negara‐negara Eropa menempatkan commune atau Inggris Raya menempatkan parish sebagai organisasi komunitas lokal atau self governing community. Dalam tabel itu terlihat ada tiga bentuk kedudukan desa: desa adat atau desa sebagai kesatuan masyarakat (self governing community), desa otonom (local self government) dan desa administratif (local state government). Dalam konteks Indonesia, perdebatan yang menonjol sebenarnya antara pandangan “desa adat” atau “otonomi asli” dengan desa otonom atau daerah otonom tingkat III. Bentuk desa administratif merupakan tambahan yang mulai diperkenalkan sejak Orde Baru hingga sekarang. Tabel 2 juga menunjukkan kelebihan dan kekurangan antara “otonomi asli desa” dengan “desa otonom”. Kalau ditimbang‐timbang kedudukan “desa otonom” merupakan pilihan yang lebih tepat untuk memperkuat desa, tetapi pilihan akan kedudukan ini mengandung tantangan yang besar. Pengalaman Sebelumnya Pembicaraan tentang kedudukan daerah dan desa selalu mengacu pada Pasal 18 UUD 1945. Pada bab IV Pasal 18 UUD 1945 yang mengatur masalah Pemerintahan Daerah, disebutkan: “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undangundang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hakhak asalusul dalam daerahdaerah yang bersifat istimewa”. Dalam bagian penjelasan dinyatakan: ”Dalam territoir Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbesturende landschappen dan Volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerahdaerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa”. 3
Tabel 1 Perspektif kedudukan desa Bentuk
Status
Azas Contoh Pendukung
Desain institusional
Desa adat (Self governing community) Desa adat atau sekadar organisasi komunitas yang mempunyai pemerintahan sendiri. Punya otonomi asli Sebagai organisasi komunitas yang lepas (di luar) struktur birokrasi negara Rekognisi (pengakuan dan penghormatan) Desa adat di Bali
Desa otonom (Local self government) Desa otonom, atau sering disebut dengan daerah otonom tingkat III.
Sebagai unit pemerintahan lokal otonom yang berada dalam subsistem pemerintahan NKRI. Desentralisasi (penyerahan) Desa swapraja atau desapraja M. Ryas Rasyid M. Hatta, Robert Lawang Soetardjo Kartohadikoesoemo Selo Soemardjan, Mochtar Naim, Sadu Wasistiono Khasan Effendy (IPDN) Ibnu Tricahyo – Unibraw R. Yando Zakaria (NGO) • Desa mempunyai • Status desa seperti kewenangan asal‐ daerah otonom. usul • Pemerintah memberikan desentralisasi • Desa mengelola urusan‐urusan (penyerahan) urusan‐ masyarakat yang urusan menjadi berskala lokal. kewenangan desa. • Mempunyai susunan • Mempunyai institusi asli. politik demokrasi modern (elektoral dan • Mempunyai institusi perwakilan) demokrasi komunitarian • Pemerintah wajib (musyawarah). mengalokasikan (alokasi) anggaran untuk • Pemerintah membiayai pelaksanaan memberikan kewenangan/urusan. bantuan keuangan 4
Desa administratif (Local state government) Desa administratif, atau semacam unit birokrasi sebagai kepanjangan tangan negara di tingkat lokal. Sebagai satuan kerja perangkat pemerintah daerah. Delegasi atau tugas pembantuan Kelurahan Pemerintah Baru
Orde
• Desa menjalankan tugas‐tugas administratif dan pelayanan yang ditugaskan pemerintah. • Tidak mempunyai institusi demokrasi dan tidak ada otonomi. • Menerima dana belanja aparatur dari pemerintah.
Tabel 2 Kelebihan dan kekurangan Keunggulan
Otonomi “Asli” Desa • Sesuai dengan konteks sejarah desa yang mempunyai asal‐usul jauh sebelum lahir NKRI. • Relevan dengan konsep pengakuan dan penghormatan yang tertuang dalam konstitusi • Relevan dengan keragaman desa‐ desa di Indonesia.
Kelemahan (termasuk tantangan, risiko dan keterbatasan)
•
• • •
•
•
Mengalami kerumitan/kesulitan dalam merumuskan disain kelembagaan pengakuan (apa yang diakui, siapa yang mengakui, dan bagaimana mengakui). Rumit/sulit dalam merumuskan format keragaman lokal. Lokal cenderung “prasmanan” dalam mengatur dan mengurus desa. Pemerintah sulit menentukan standar nasional dalam pengaturan dan pelayanan publik pada masyarakat desa. Bahkan sulit membangun kesatuan dalam keragaman. Yang menonjol adalah keragaman dalam kesatuan. Desa terus terjebak dalam tradisionalisme‐romantisme dan sulit berkembang secara dinamis.
5
Desa Otonom • Kedudukan dan formatnya lebih mudah, simpel dan konkruen dengan pemerintahan daerah. • Memperjelas pembagian urusan dari pemerintah kepada desa. • Memungkinkan terjadinya penyebaran sumberdaya pada rakyat di level grass roots (desa). • Mengakhiri dualisme dan benturan antara modernisme vs tradisionalisme atau antara desa dinas/administratif dan desa adat. • Desa menjadi lebih modern dan dinamis. • Konstitusi tidak secara eksplisit memberi desentralisasi kepada desa. • Menambah beban dan cakupan desentralisasi‐otonomi daerah. • Cenderung tunggal (jika tidak bisa dikatakan seragam). • Membutuhkan proses transisi dan adaptasi yang lebih panjang (10 tahun). • Membutuhkan proses menyakinkan yang lebih panjang kepada masyarakat adat. • Risikonya, pemerintah harus mengalokasikan dana yang lebih besar kepada desa. Biasanya ini dianggap sebagai beban yang berat.
Selanjutnya dinyatakan juga: ”Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerahdaerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerahdaerah itu akan mengingati hak hak asalusul daerah tersebut”. Penjelasan pasal 18 UUD 1945 menyebutkan bahwa Zelfbesturende berjumlah sekitar 250 yang tersebar di seluruh Indonesia. Zelfbesturende Landschappen adalah daerah swapraja, yaitu wilayah yang dikuasai oleh raja yang mengakui kekuasaan dan kedaulatan Pemerintah jajahan Belanda melalui perjanjian politik. Secara teoretis, Zelfbesturende Landschappen itu disebut dengan daerah otonom (local self government) yang dibentuk dengan azas desentralisasi, sedangkan Volksgemeenschappen bisa disebut dengan kesatuan masyarakat hukum adat atau self governing community yang eksis karena azas pengakuan (rekognisi). Penjelasan itu tampaknya mengisyaratkan bahwa desa‐desa (atau nama lainnya) yang berjumlah 250 itu ada yang berstatus daerah otonom (local self government) ada pula yang berstatus self governing community. Tetapi identfikasi yang jelas belum pernah dilakukan sehingga mengalami kesulitan dalam pengaturan desa. Untuk mengatur pemerintahan pasca 17 Agustus 1945, Badan pekerja Komite Nasional Pusat mengeluarkan pengumuman No. 2. yang kemudian ditetapkan menjadi UU No. 1/1945. UU ini mengatur kedudukan desa dan kekuasaan komite nasional daerah, sebagai badan legislatif yang dipimpin oleh seorang Kepala Daerah. Menurut Prof. Koentjoro Perbopranoto, undang‐undang ini dapat dianggap sebagai peraturan desentralisasi yang pertama di Republik Indonesia. Di dalamnya terlihat bahwa letak otonomi terbawah bukanlah kecamatan melainkan desa, sebagai kesatuan masyarakat yang berhak mengatur rumah tangga pemerintahannya sendiri. Namun desentralisasi itu hanya sempat dilakukan sampai pada daerah tingkat II. Karena isinya terlalu sederhana, Undang‐undang No. 1/1945 ini dianggap kurang memuaskan. Maka dirasa perlu membuat undang‐undang baru yang lebih sesuai dengan pasal 18 UUD 1945. Pada saat itu pemerintah menunjuk R.P. Suroso sebagai ketua panitia. Setelah melalui berbagai perundingan, RUU ini akhirnya disetujui BP KNIP, yang pada tanggal 10 Juli 1948 lahir UU No. 22/1948 Tentang Pemerintahan Daerah. Bab 2 pasal 3 angka 1 UU No.22/1948 menegaskan bahwa daerah yang dapat mengatur rumah tangganya sendiri dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu daerah otonomi biasa dan daerah otonomi istimewa. Daerah‐daerah ini dibagi atas tiga tingkatan, yaitu Propinsi Kabupaten/kota besar, desa/kota kecil. Sebuah skema tentang pembagian daerah‐daerah dalam 3 tingkatan itu menjadi lampiran undang‐ undang. Daerah istimewa adalah daerah yang mempunyai hak asal‐usul yang di zaman sebelun RI mempunyai pemerintahan yang bersifat istimewa. UU No. 22/1948 menegaskan pula bahwa bentuk dan susunan serta wewenang dan tugas pemerintah 6
desa sebagai suatu daerah otonom yang berhak mengatur dan mengurus pemerintahannya sendiri. UU No. 22/1948 secara tegas dan jelas menempatkan desa sebagai daerah otonom tingkat III atau daerah otonom yang terbawah. Berikut ini penjelasan III butir ke‐18: Menurut Undang‐undang pokok ini, maka daerah otonom yang terbawah adalah desa, negeri, marga, kota kecil dan sebagainya. Ini berarti desa ditaruh kedalam lingkungan pemerintahan yang modern tidak ditarik diluarnya sebagai waktu yang lampau. Pada jaman itu tentunya pemerintahan penjajah mengerti bahwa desa itu sendi negara, mengerti bahwa desa sebagai sendi negara itu harus diperbaiki segala‐galanya diperkuat dan didinamiseer, supaya dengan begitu negara bisa mengalami kemajuan. Tetapi untuk kepentingan penjajahan, maka desa dibiarkan saja tetap statis (tetap keadaannya). Pemberian hak otonomi menurut ini. Gemeente‐ordonanntie adalah tidak berarti apa‐apa, karena desa dengan hak itu tidak bisa berbuat apa‐apa, oleh karena tidak mempunyai keuangan dan oleh ordonanntie itu diikat pada adat‐adat, yang sebetulnya di desa itu sudah tidak hidup lagi. Malah sering kejadian adat yang telah mati dihidupkan pula atau sebaliknya, adat yang hidup dimatikan, bertentangan dengan kemauan penduduk desa, hanya karena kepentingan penjajah menghendaki itu. Desa tetap tinggal terbekalang, negara tidak berdaya, adalah sesuai dengan tujuan politik penjajah. Tetapi Pemerintahan Republik kita mempunyai tujuan sebaliknya. Untuk memenuhi pasal 33 UUD, negara dengan rakyat Indonesia harus makmur. Untuk mendapatkan kemakmuran itu harus dimulai dari bawah, dari desa. Oleh karena itu, desa harus dibikin di dalam keadaan senantiasa bergerak maju (dinamis). Maka untuk kepentingan itu pemerintahan desa dimasukkan di dalam lingkungan pemerintahan yang diatur dengan sempurna (modern), malah tidak sebegitu saja, tetapi juga akan diusulkan supaya bimbingan terhadap daerah‐daerah yang mendapat pemerintahan menurut Undang‐ undang pokok ini lebih diutamakan diadakan di desa. Tetapi UU No. 22/1948, terutama dalam hal desa, tidak berjalan karena munculnya Konstitusi RIS dan Undang‐undang Dasar Sementara 1950. Di bawah UUDS 1950 itu lahirlah UU No. 1/1957. UU yang lahir di era demokrasi parlementer‐liberal ini memandang desa secara berbeda dengan pandangan UU No. 22/1948. Meskipun UU No. 1/1957 membagi daerah menjadi tiga tingkatan, tetapi tidak cukup jelas menyebut desa sebagai daerah otonom tingkat III. Bahkan penjelasan politik UU ini tentang desa berbeda secara kontras dengan pandangan UU No. 22/1948: 7
Dengan demikian nyatalah bahwa bagi tempat‐tempat yang serupa ini sulit kita untuk menciptakan satu kesatuan otonomi dalam pengertian tingkat yang ketiga (III), sehingga kemungkinannya atau hanya memberikan otonomi itu secara tindakan baru kepada kabupaten di bawah Propinsi, atau menciptakan dengan cara bikin‐bikinan wilayah administratief dalam kabupaten itu untuk kemudian dijadikan kesatuan yang berotonomi. Dalam prinsipnya sangatlah tidak bijaksana mengadakan kesatuan otonomi secara bikin‐bikinan saja dengan tidak berdasarkan kesatuan‐kesatuan masyarakat hukum yang ada. Prinsip yang kedua ialah bahwa sesuatu daerah yang akan kita berikan otonomi itu hendaklah sebanyak mungkin merupakan suatu masyarakat yang sungguh mempunyai faktor‐faktor pengikut kesatuannya. Sebab itulah maka hendaknya di mana menurut keadaan masyarakat belum dapat diadakan tiga (3) tingkat, untuk sementara waktu dibentuk 2 tingkat dahulu. Berhubung dengan hal‐hal adanya atau tidak adanya kesatuan‐ kesatuan masyarakat hukum‐adat sebagai dasar bekerja untuk menyusun tingkat otonomi itu, hendaklah pula kita insyafi bahwa urusan otonomi tidak "congruent" dengan urusan hukum‐adat, sehingga manakala sesuatu kesatuan masyarakat hukum‐adat dijadikan menjadi satu daerah otonomi atau dimasukkan ke dalam suatu daerah otonomi, maka hal itu tidaklah berarti, bahwa tugas‐tugas kepala‐kepala adat dengan sendirinya telah terhapus. Yang mungkin terhapus hanya segi‐segi hukum‐adat yang bercorak ketata‐ negaraan, manakala hanya satu kesatuan masyarakat hukum‐adat itu dijadikan daerah otonomi, sekedar corak yang dimaksud bersepadanan dengan kekuasaan ketata‐negaraan yang tersimpul dalam pengertian otonomi itu. UU ini penuh keraguan memandang dan menempatkan posisi desa. Toh UU itu tidak berjalan juga karena dua tahun berikutnya, 1959, ada Dekrit Presiden untuk kembali pada UUD 1945. Produk Undang‐undang dibawah UUDS dibubarkan. Untuk menyesuaikannya dengan prinsip‐prinsip demokrasi terpimpin dan kegotong‐ royongan, maka pada tanggal 9 September 1959 Presiden mengeluarkan Penpres No. 6 Tahun 1959 tentang Pemerintah Daerah. Dari Pidato Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah ketika menjelaskan isi Penpres No. 6/1959, dapat ditarik kesimpulan pokok bahwa, dengan pemberlakuan Penpres No. 6/1959 terjadi pemusatan kekuasaan ke dalam satu garis birokrasi yang bersifat sentralistis. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara juga terbentuk atas Penpres No. 12/1959, yang antara lain menetapkan Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1960 tentang Garis‐Garis Besar Pola Pembangunan Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961‐ 1969, yang dalam beberapa bagiannya memuat ketentuan‐ketentuan tentang Pemerintah Daerah. Masing‐masing adalah: (a) Paragraf 392 mengenai pembagian 8
Daerah dan jumlah tingkatan; (b) Paragraf 393 mengenai desentralisasi; (c) Paragraf 395 mengenai pemerintahan daerah; (d) Paragraf 396 mengenai pemerintahan desa. Dalam setiap paragraf antara lain termuat amanat agar dilakukan pembentukan daerah Tingkat II sebagaimana dalam UU No. 1/1957; dan menyusun Rancangan Undang‐Undang Pokok‐Pokok Pemerintahan Desa, yang dinyatakan berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, sebagai pengganti segala peraturan dari masa kolonial dan nasional yang dianggap belum sempurna, yang mengatur tentang kedudukan desa dalam rangka ketatanegaraan: bentuk dan susunan pemerintahan desa; tugas dan kewajiban, hak dan kewenangan pemerintah desa; keuangan pemerintah desa: serta kemungkinan‐kemungkinan badan‐badan kesatuan pemerintahan desa yang sekarang ini menjadi satu pemerintahan yang otonom (Yando Zakaria, 2000). Karena tuntutan itu pemerintah membentuk Panitia Negara Urusan Desentralisasi dan Otonomi Daerah yang diketuai oleh R.P. Soeroso, atas dasar keputusan presiden No.514 tahun 1960. Tugas‐tugas yang harus diselesaikan oleh panitia adalah: 1. Menyusun Rencana Undang‐undang Organik tentang Pemerintahan Daerah Otonom sesuai dengan cita‐cita Demokrasi Terpimpin dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mencakup segala pokok‐pokok (unsur‐ unsur) Progresif dari UU No. 22/1948,UU No.1/1957, Perpres No.6/1959 (disempurnakan), Perpres No.5/1960 (disempurnakan),dan Perpres No.2/1961. 2. Menyusun Rencana Undang‐undang tentang pokok‐pokok Pemerintahan desa, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, sebagai pengganti segala peraturan perundangan dari masa kolonial mengenai pemerintahan desa sehingga dewasa ini masih berlaku; rencana akan mengatur hal‐hal pokok tentang: a. Kedudukan desa dalam rangka ketatanegaraan b. Bentuk dan susunan pemerintahan desa c. Tugas kewajiban,hak dan kewenangan pemerintahan desa d. Keuangan pemerintahan desa e. Pengawasan pemerintahan desa f. Kemungkinan pembangunan badan‐badan kesatuan ppemerintah desa yang ada sekarang ini menjadi satu pemerintahan desa yang otonom g. Dan lain‐lain. 3. Mengajukan usul usul penjelasan mengenai: a. Penyerahan urusan‐urusan pemerintahan pusat yang menurut sifatnya dan sesuai dengan kemampuan dan kesanggupan daerah dapat diserahkan kepada daerah, yang dahulu menurut penjelasan UU No. 1/1957 diharapkan akan dijadikan tugas suatu Dewan Otonomi dan Desentralisasi. 9
b. Tuntutan‐tuntutan tentang pembagian daerah (pemecahan, pemisahan, penghapusan dan pembentukan baru), perluasan batas‐batas wilayah kotapraja, pemindahan ibu kota daerah. c. Penertiban organisasi‐organisasi masyarakat rukun kampung dan rukun tetangga .
Setelah bekerja selama dua tahun Panitia Suroso berhasil menyelesaikan 2 rancangan undang‐undang: RUU tentang Pokok‐pokok pemerintahan daerah dan rancangan undang‐undang tentang desa praja. Menteri dalam negeri dan otonomi daerah, Ipik Gandamana, pada tahun 1963, menyampaikan kedua RUU itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong. Sebelumnya pada bulan Januari 1963 kedua rancangan itu dibuat dalam sebuah konferensi yang diikuti oleh seluruh gubernur. Pembahasan kedua RUU di DPRGR cukup lama dan alot. Setelah mengalami berbagai penyesuaian sesuai aspirasi dari banyak pihak, pada tanggal 1 September 1965, DPRGR menetapkannya sebagai undang‐undang. Masing‐masing menjadi UU No. 18/1965 Tentang Pokok‐pokok Pemerintahan Daerah dan UU No. 19 Tahun 1965 Tentang Desa Praja. Menurut pasal 1 UU No. 19/1965, yang dimaksud dengan desapraja adalah kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas‐batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya, dan mempunyai harta bendanya sendiri. Dalam penjelasan dinyatakan bahwa kesatuan‐kesatuan yang tercakup dalam penjelasan UUD 1945 pasal 18, Volksgemeenschappen seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, Dusun dan marga di Palembang dan sebagainya, yang bukan bekas swapraja adalah desapraja menurut undang‐undang ini. Dengan demikian, persekutuan‐persekutuan masyarakat hukum yang berada dalam (bekas) daerah swapraja tidak berhak atas status sebagai desa praja. Dengan memggunakan nama desapraja, UU No.19 /1965 memberikan istilah baru dengan satu nama seragam untuk menyebut keseluruhan kesatuan masyarakat hukum yang termasuk dalam penjelasan UUD 1945 pasal 18, padahal kesatuan masyarakat hukum di berbagai wilayah Indonesia mempunyai nama asli yang beragam. UU No.19/1965 juga memberikan dasar dan isi desapraja secara hukum yang berarti kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas‐batas daerahnya dan berhak mengurus rumahtangganya sendiri, memilih penguasanya, dan memiliki harta benda sendiri. Dalam penjelasan umum tentang desapraja itu terdapat keterangan yang menyatakan bahwa UU No. 19/1965 tidak membentuk baru desapraja, melainkan mengakui kesatuan‐kesatuan masyarakat hukum yang telah ada di seluruh Indonesia dengan berbagai macam nama menjadi desapraja. Kesatuan‐kesatuan masyarakat hukum lain yang tidak bersifat teritorial dan belum mengenal otonomi seperti yang terdapat di berbagai wilayah daerah administratif tidak dijadikan desa praja, melainkan dapat 10
langsung dijadikan sebagai unit administratif dari daerah tingkat III. Penjelasan juga menyatakan bahwa desapraja bukan merupakan satu tujuan tersendiri, melainkan hanya sebagai bentuk peralihan untuk mempercepat terwujudnya daerah tingkat III dalam rangka UU No.18/1965 tentang Pokok‐pokok Pemerintahan daerah. Suatu saat bila tiba waktunya semua desa praja harus ditingkatkan menjadi Daerah Tingkat III dengan atau tanpa penggabungan lebih dahulu mengingat besar kecilnya desapraja yang bersangkutan. Dengan keluarnya UU No.19/1965 warisan kolonial yang sekian lama berlaku di negara RI, seperti IGO dan IGOB serta semua peraturan‐peraturan pelaksanaannya tidak berlaku lagi. Tetapi, UU No.19/1965 tidak sempat pula dilaksanakan dibanyak daerah. Pelaksanaannya ditunda, tepatnya dibekukan, atas dasar pemberlakuan UU No.6 /1969, yaitu undang‐undang dan peraturan pemerintah Pengganti Undang‐ undang 1965, meski dinyatakan juga bahwa pelaksanaanya efektif setelah adanya undang‐undang baru yang menggantikannya. Namun, anehnya, UU No.19/1965 sendiri sebenarnya sudah terlebih dahulu ditangguhkan melalui intruksi Menteri Dalam Negeri No.29/1966. Karena itu, sejak UU No.18/1965 dan UU No.19/1965 berlaku, praktis apa yang dimaksudkan dengan daerah tingkat III dan desapraja itu tidak terwujud. Secara informal pemerintahan desa kembali diatur berdasarkan IGO dan IGOB. Di masa Orde Baru, UU No. 5/1979 merupakan instrumen kontrol negara kepada masyarakat lokal, dengan cara menciptakan keseragaman desa di seluruh Indonesia, sekaligus hendak menciptakan modernisasi desa. Perspektif desa administratif (the local state government) sangat menonjol dalam UU No. 1979, sebagaimana terlihat dalam definisinya: Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia Sudah banyak pengalaman pahit dan kritik yang ditujukan kepada UU No. 5/1979. Orang Jawa merasakn bahwa UU No. 5/1979 menempatkan desa sebagai obyek pemerintah, bahkan sebagai gedidal (pekerja kasar yang tidak dihargai secara manusiawi) yang dikendalikan oleh Camat. Orang Luar Jawa merasakan UU No. 5/1979 sebagai bentuk Jawanisasi, yang menyeragamkan satuan‐satuan masyarkat adat seperti model desa di Jawa, sekaligus menghancurkan nilai dan adat‐istiadat lokal. UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004 sangat peka terhadap persoalan penyeragaman itu, dan karenanya memasukkan dimensi keragaman dalam pengaturan desa, 11
termasuk memberikan keragaman dalam penggunaan nomenklatur dan kewenangan asal‐usul. Tetapi sayangnya posisi desa ditempatkan dalam subsistem pemerintahan kabupaten/kota. Dalam pasal 200 ayat (1), misalnya, disebutkan sama dengan UU No. 32/2004: “Dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa yang melaksanakan kewenangan berdasarkan otonomi asli yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat desa yang bersangkutan.” Klausul ini menegaskan pemberian “cek kosong” kepada bupati/walikota untuk mengatur atau membuat keputusan politik tentang desa, termasuk menyerahkan kewenangan/urusan kepada desa. Skema “desa dalam daerah” atau “otonomi dalam otonomi” itu mengandung beberapa masalah yang berlapis: 1. Skema itu tidak mengikuti azas yang jelas, kecuali hanya menggunakan alasan praktis‐mudah. Hukum tatanegara dan teori desentralisasi tidak membenarkan adanya penyerahan kewenangan dari daerah otonom ke unit yang lebih rendah seperti desa. 2. Meski UUD hanya melakukan desentralisasi teritorial ke provinsi dan kabupaten/kota, atau tidak sampai ke desa, tetapi pada saat yang sama, konstitusi tidak memberi amanat kepada UU untuk menempatkan “desa dalam daerah”. Yang ditegaskan dalam konstitusi adalah pengakuan negara terhadap kesatuan masyarakat hukum adat (desa atau nama lain) yang masih ada. 3. Skema “desa dalam daerah” menganggap bahwa desa hanya menjadi masalah kecil dan karena itu diserahkan kepada daerah. Desa hanya menjadi “sisanya sisa” penyelenggaraan pemerintahan daerah. 4. Secara empirik “otonomi desa dalam otonomi daerah” itu tidak berjalan. Secara hukum desa menjadi “insider” kabupaten/kota, tetapi secara politik‐ empirik desa sebenarnya dianggap “outsider” oleh pejabat daerah. UU No. 32/2004 dan PP No. 72/2005 beserta aturan pelaksanaannya tidak berjalan secara optimal karena sebagian besar pemerintah kabupaten/kota enggan berbagi sumberdaya kepada kepada desa. Bahkan kebanyakan bupati melakukan politisi terhadap desa untuk kepentingan jangka pendek. Masalah‐ masalah yang terkait desa tidak bisa selesai di level kabupaten tetapi selalu dibawa naik ke pusat, termasuk melempar aksi kolektif orang desa dari kabupaten ke provinsi dan dari provinsi ke pusat. Kesulitan Pilihan Selama ini pemilihan secara tegas dan konsisten pada salah satu kedudukan desa mengalami kesulitan yang serius. Mengapa? Pertama, ada kesulitan menafsirkan makna Pasal 18 UUD 1945. Apalagi substansi Pasal 18 versi asli mengalami perubahan dalam UUD 1945 Amandemen Kedua. UUD amandemen menghilangkan istilah desa. Pasal 18 ayat 1 menegasakan: “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah‐daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan 12
kota, yang tiap‐tiap provinsi, kabupaten dan kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang‐undang”. Juga pasal 18B ayat 2 menegaskan: Negara mengakui dan menghormati kesatuan‐kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak‐hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang‐undang”. Dalam konteks ini sering muncul pertanyaan apakah desa satu‐ satunya kesatuan masyarakat hukum adat? Sejauh ini ada beberapa tafsir yang muncul: 1. Tafsir desa otonom atau daerah otonom tingkat III: Desa merupakan bentuk “daerah kecil” yang mempunyai susunan asli dan bersifat istimewa. Karena itu negara sebaiknya melakukan desentralisasi teritorial, yang membagi wilayah NKRI menjadi provinsi, kabupaten/kota dan desa. Desa sebagai “daerah kecil” menjadi desa otonom (local self government) atau daerah otonom tingkat III, yang mengharuskan negara memberikan desentralisasi kepada desa. Penganut perspektif desa otonom (local self government), UU No. 22/1948 dan UU No. 19/1965 termasuk yang mengikuti tafsir ini. 2. Tafsir otonomi asli: Batang tubuh Pasal 18 UUD 1945 sama sekali tidak mengenal desa, juga tidak secara eksplisit membagi wilayah NKRI menjadi provinsi, kabupaten/kota dan desa. Konstitusi hanya membagi NKRI menjadi daerah besar (provinsi) dan daerah kecil (kabupaten/kota). Menurut tafsir ini, desa (atau nama lainnya yang berjumlah 250) merupakan kesatuan masyarakat hukum adat, yang harus diakui (rekognisi) oleh negara. Dengan demikian, negara tidak memberikan desentralisasi pada desa untuk membentuk desa sebagai unit pemerintahan lokal yang otonom. Posisi desa yang tepat menurut tafsir ini sebagai organisasi masyarakat adat atau desa adat (self governing community) yang mempunyai dan mengelola hak asal‐usul. Konsep “otonomi asli” berpijak pada tafsir ini. 3. Tafsir pragmatis: Tafsir yang berdasar pada Pasal 18 UUD 1945 amanden kedua. Hampir sama dengan tafsir kedua, tafsir ini mengatakan bahwa NKRI hanya dibagi menjadi wilayah provinsi dan kabupaten/kota. Desentralisasi hanya berhenti pada kabupaten/kota, tidak sampai ke desa. Tetapi tafsir ini berbeda dengan tafsir kedua karena tidak menempatkan kedudukan desa sebagai desa adat (self governing community), melainkan menempatkan desa sebagai unit pemerintahan di bawah dan di dalam subsistem pemerintah kabupaten. UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004, dengan “alasan praktis” (meninjam istilah Prof. Sadu Wasistiono), mengikuti tafsir ini. Padahal UUD 1945 tidak secara eksplisit mengamanatkan penempatan kedudukan desa dalam subsistem pemerintah kabupaten/kota. Kedua, masing‐masing tipe kedudukan mempunyai kelebihan dan kelemahan, seperti terlihat dalam tabel 2. Keduanya tampak menempati posisi yang biner dan berbeda secara kontras. Kelemahan dalam desa rekognisi (adat) justru bisa menjadi kelebihan dalam desa otonom, sebaliknya kelemahan desa otonom menjadi kelebihan desa adat. Tetapi kalau ditimbang‐timbang posisi desa otonom jelas lebih unggul daripada desa 13
rekognisi (adat), yakni akan membuat desa lebih kuat, maju, modern dan dinamis. Pertanyaannya, apakah kita mempunyai visi politik untuk membawa desa desa lebih kuat, maju, modern dan dinamis, atau sebaliknya akan menempatkan desa pada posisi yang status quo? Ketiga, secara historis, semua desa di Indonesia berbentuk self governing community. Konstitusi UUD 1945 secara implisit juga menempatkan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum adat atau disebut dengan self governing community tersebut. Tetapi secara lambat laun sejak kolonial dan puncaknya pada masa Orde Baru, negara memaksakan bentuk the local state government pada desa, yang menempatkan desa sebagai kepanjangan tangan negara. Di masa Orde Baru, desa dibuat secara seragam sebagai desa administratif, sehingga spirit dan bentuk self governing community mengalami kerusakan. UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004 mulai memasukkan dimensi local self government secara inkremental, tetapi belum sempurna. Saat ini posisi desa dibuat default, yang mengandung campuran antara self governing community (sebagaimana ditegaskan dalam kewenangan asal‐usul, mempunyai tanah bengkok atau ulayat, dan perangkat desa yang dikelola secara tradisional), local self government (desa berwenang menyusun organisasi desa dan perencanaan desa, mengelola kewenangan berskala lokal, memperoleh ADD, ada pilkades langsung, ada BPD, dll) yang belum sempurna, dan juga ada local state government (ada begitu banyak tugas pembantuan atau permintaan tolong kepada desa). Tetapi posisi dan institusi yang inti tidak ditonjolkan. Keempat, karena pengaruh adat, kondisi geografis dan kemajuan pembangunan yang berbeda, kondisi desa‐desa di Indonesia sangat beragam. Bentuk desa otonom tentu sangat cocok diterapkan di Jawa, sebagian Sumatera, sebagian Kalimantan, sebagian Sulawesi. Sebaliknya format desa adat (rekognisi) tidak tepat diterapkan di Jawa karena di Jawa pengaruh adat semakin hilang. Tetapi format desa otonom itu akan sangat sulit bekerja di daerah‐daerah yang pengaruh adatnya terhadap pemerintahan masih kuat seperti di Bali, Kalimantan Barat, Aceh, Maluku, NTT. Sumatera Barat merupakan kekecualian, sebab provinsi ini sejak 2000/2001 telah membentuk kembali (recreating) nagari yang merupakan integrasi antara desa negara dan adat. Kelima, ukuran (size) geografis dan demografis Desa menjadi isu penting dalam otonomi desa, terutama sebagai basis kekuatan sumberdaya lokal dan mempengaruhi skala ekonomi. Berdasarkan kalkulasi nominal, desa umumnya mempunyai keterbatasan luas wilayah, jumlah penduduk, potensi desa, dan lain‐lain. Sebagai ilustrasi Provinsi NAD mempunyai jumlah penduduk sebesar 3.899.290 jiwa, yang mendiami wilayah seluas 56.500,51 Km2 dan Desa sejumlah 5.853 dan kelurahan 112. Tetapi Sumatera Utara, dengan penduduk sebesar 12.333.974 dan wilayah seluas 72.427,81 (lebih besar dari NAD), mempunyai Desa/kelurahan lebih sedikit dari NAD, yakni 4.924 dan 547 kelurahan. Sumatera Barat yang mempunyai penduduk lebih besar dari NAD (yakni sebesar 4.549.383 jiwa pada tahun 2007), 14
tetapi hanya mempunyai Desa (Nagari) sebanyak 634 ditambah 256 kelurahan. Jumlah Desa yang relatif kecil juga terjadi di Bangka Belitung (266 Desa), Kepulauan Riau (144 Desa), Daerah Istimewa Yogyakarta (391 Desa), Bali (602 Desa), NTB (711 Desa), Sulawesi Tenggara (364), dan Gorontalo (312 Desa). Jawa Tengah (seluas 32.799,71 Km2 dan berpenduduk 32.952.040 jiwa) dan Jawa Timur (seluas 46.689,64 dan berpenduduk 37.076.283 jiwa) memegang rekor kepemilikan Desa, yakni masing‐masing 7.817 Desa dan 744 kelurahan serta 7.682 Desa dan 785 kelurahan. Jawa Tengah yang memiliki luas wilayah dan jumlah penduduk lebih kecil daripada Jawa Timur dan Jawa Timur, tetapi mempunyai jumlah Desa terbanyak di Indonesia. Kalau dihitung secara rata‐rata setiap Desa/kelurahan di Jawa Tengah mempunyai wilayah seluas 3,83 Km2 dan berpenduduk rata‐rata 3.849 jiwa. Sementara tetangganya, DIY, mempunyai komposisi yang lebih menarik daripada Jawa Tengah, yakni rata‐rata Desa/kelurahan mempunyai wilayah seluas 7,15 Km2 dan dihuni penduduk oleh sekitar 7.488 jiwa. Memang sejauh ini belum ada ukuran yang ideal untuk ukuran wilayah sebuah Desa sebagai kekuatan penopang bagi otonomi Desa, karena potret yang kontras antara NAD dan Sumatera Barat di satu sisi serta Jawa Tengah dan DIY di sisi lain bisa menjadi bahan kajian berikutnya. Tetapi beberapa orang, termasuk Soetardjo Kartohadikoesoemo (1953, 1984), Selo Soemardjan (1992), Nasikun (2004) maupun Sadu Wasistiono (2007) masih meragukan apakah mungkin kecilnya ukuran Desa menjadi basis yang kuat bagi otonomi Desa. Karena itu mereka mengusulkan perlunya penggabungan Desa‐Desa yang kecil seperti pernah terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta pada masa Sultan HB IX. Jika kita tengok ke belakang, UU No. 22/1948 juga merekomendasikan sebuah manajemen transisi dalam bentuk pembinaan dan penggabungan desa sebelum konsep desa sebagai daerah otonom tingkat III diterapkan. Sadu Wasistiono (2007) juga merekomendasikan bahwa penerapan desa otonom membutuhkan transisi setidaknya 10 tahun untuk mempersiapkan penggabungan desa dan kapasitas desa secara menyeluruh. Kondisi geografis, demografis maupun spasial desa itu tentu merupakan masalah yang harus diperhatikan dalam mendisain desa otonom. Selain ukuran di atas, ada juga masalah lain yang muncul paralel dengan ukuran desa, yakni pemekaran dan penggabungan desa. Desa‐desa di Jawa Tengah umumnya tidak mau digabung. Di Luar Jawa terjadi kecenderungan pemekaran Desa, apalagi di daerah transmigrasi yang selalu menambah jumlah desa. Jumlah desa di Indonesia dari tahun ke tahun semakin bertambah banyak karena pemekaran desa. Pada tahun 1969/70, tercatat sejumlah 44.478 desa kemudian bertambah menjadi 45.587 Desa pada tahun 1973/74, bertambah lagi sekitar 15 ribu Desa/kelurahan menjadi 60.645 pada tahun 1978/79. Pada tahun 1983/84, ketika terjadi penataan Desa baru berdasarkan UU No. 5/1979, jumlah Desa/kelurahan bertambah menjadi 66.437. Sekarang, 2007, jumlah Desa/kelurahan mencapai 69.926, meskipun Sumatera Barat sejak 2000/2001 melakukan penciutan Desa sekitar 5000‐an. 15
Hal ini menunjukkan bahwa laju pemekaran Desa jauh meningalkan laju penghapusan atau penggabungan Desa. Beberapa studi menunjukkan bahwa bertambah jumlah desa ini lebih didasarkan pada motif: perebutan sumber daya; politik pembentukkan dan pemekaran kecamatan dan kabupaten baru; politik etnik‐ identitas; primordialisme; memperbesar akses sumberdaya dari pemerintah dan sebagainya. Di Sumatera Barat, misalnya, terjadi pembengkakan jumlah Desa dari 500‐an menjadi 5000‐an pada tahun 1980‐an karena dimaksudkan sebagai siasat lokal untuk memperbanyak perolehan Bantuan Desa. Tetapi yang menarik, setelah kembali ke Nagari, Sumatera Barat melakukan penggabungan desa kembali sesuai dengan satuan teritorial semula, yakni dari 5000‐an menjadi sekitar 600‐an nagari. Desa Otonom Karena kondisi empirik dan berbagai kelebihan‐kelemahan itu, maka agak sulit untuk memilih satu kedudukan secara tunggal dan tegas. Banyak pihak yang mengemukakan pemikiran untuk menggabungkan antara desa adat, desa otonom dan desa administratif tetapi institusi intinya adalah desa otonom. Prof. Mochtar Naim termasuk pengusung ide ini, tentu belajar dari pengalaman Sumatera Barat. Dalam kesempatan diskusi di Dewan Perwakilan Daerah (DPD), 8‐9 Desember 2007, dia menyampaikan pendapatnya: Keragaman sangat penting, tetapi jika keragaman diutamakan akan menambah kerumitan. Kita tidak perlu membuat dikotomi antara desa adat dan desa dinas. Kita butuh satu definisi desa secara nasional yang mampu mencakup semuanya, termasuk mengakomodasi keragaman lokal. Saya mengusulkan agar dibentuk desa otonom yang tetap memperhatikan dan mengakomodasi adat dan budaya setempat, seperti pengalaman di Sumatera Barat. Saya setuju dengan pendapat itu, sehingga saya memberi nama desa otonom++ atau desa otonom dengan syarat. Usulan saya adalah membentuk integrated village, yang menggabungkan desa administratif dan adat kedalam wadah baru yang bernama desa otonom. Desa otonom menjadi posisi dan institusi utama (inti), yang di dalamnya menggabungkan antara unsur‐unsur modern dan unsur‐ unsur tradisional (susunan asli, kearifan lokal, adat, budaya lokal, dan lain‐lain). Adapun disain kelembagaannya adalah sebagai berikut: • Secara prinsipil integrasi desa dan adat (integrated village) adalah bentuk desa otonom (local self government), dengan tetap mengakomodasi spirit dan pola self governing community. • Dalam integrated village, terjadi peleburan antara desa adat dan desa dinas menjadi sebuah institusi yang batas‐batas wilayah yang jelas. 16
• • •
•
Nomenklatur desa disesuaikan dengan nomenklatur lokal, seperti nagari, pakraman, lembang, negeri dan lain‐lain. Struktur pemerintahan integrated village mengakomodasi struktur adat yang ada. Struktur ini bukan dalam posisi dan pengertian sebagai lembaga kemasyarakatan, tetapi sebagai struktur resmi pemerintahan desa. Sebagai contoh di nagari Sumatera Barat terdapat wali nagari sebagai kepala eksekutif, Badan Perwakilan Nagari sebagai lembaga legislatif seperti Badan Perwakilan Desa, Kerapatan Adat Nagari (KAN) sebagai institusi asli yang menjalankan fungsi peradilan adat dan wadah permusyawaratan besar para penghulu adat, serta Majelis Adat, Syarak dan Ulama sebagai lembaga pertimbangan bagi lembaga lain yang terkait dengan adat dan agama. Integrated village tidak mengenal dualisme kepemimpinan, melainkan dipimpin oleh seorang pimpinan eksekutif seperti kepala desa.
Skema seperti itu relatif bisa diterapkan di hampir semua daerah, dengan pola “adat masuk desa” atau sebaliknya “desa masuk adat”. Bali mungkin merupakan kekecualian, dimana integrasi akan sulit dilakukan, karena desa adat akan tetap berdiri sendiri yang lepas dari struktur negara. Karena itu pengaturan tetap hanya diberikan kepada desa dinas yang dikembangkan menjadi desa otonom, sementara desa adat masih tetap hidup dan diakui sebagai bentuk self governing community.
17