MANUSIA DALAM PEMIKIRAN ALI SYARI’ATI
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat Islam
Oleh: AKHMAD AZMIR ZAHARA NIM. 05510044
JURUSAN AQIDAH DAN FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN STUDI AGAMA DAN PEMIKIRAN ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2011
NOTA DINAS
Hal : Skripsi Sdr. Akhmad Azmir Zahara Lamp : 1 (satu) lembar Kepada Yth. Dekan Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Di Yogyakarta Assalamu’alaikum Wr. Wb. Setelah melakukan beberapa bimbingan, baik dari segi isi, bahasa maupun teknik penulisan, dan setelah membaca skripsi mahasiswa berikut di bawah ini : Nama
: Akhmad Azmir Zahara
NIM
: 05510044
Jurusan
: Aqidah dan Filsafat
Judul
: Manusia Dalam Pemikiran Ali Syari’ati
Maka selaku pembimbing kami berpendapat bahwa skripsi tersebut sudah layak diajukan untuk dimunaqosahkan. Wassalamu’alaikum Wb. Wr.
ii
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga FM-UINSK-BM-05-07/ RO PENGESAHAN Nomor: UIN.02/DU/PP.00.9/1219/2011 Skripsi / Tugas Akhir dengan judul : Manusia Dalam Pemikiran Ali Syari’ati Yang dipersiapkan dan disisin oleh : Nama : Aqidah dan Filsafat NIM : 05510044 Telah dimunaqosyahkan pada : Senin, tanggal : 3 Oktober 2011 dengan nilai: 87/ Adan dinyatakan telah diterima oleh Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga
iii
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini saya: Nama
: Akhmad Azmir Zahara
NIM
: 05510044
Fakultas
: Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam
Jurusan/Prodi
: Aqidah dan Filsafat
Alamat Rumah
: Ds. Karangjambe Rt. 03/II Kec. Wanadadi Kab. Banjarnegara
Alamat di Yogyakarta : RT 47/ 10 Keparakan Lor, Yogyakarta Telp./Hp.
: 087 838 244 015
Judul Skripsi
: Konsep Manusia menurut Ali Syari’ati
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa: 1. Skripsi yang saya ajukan adalah benar asli karya ilmiah yang saya tulis sendiri. 2. Bilamana skripsi telah dimunaqosyahkan dan wajib direvisi, maka saya bersedia dan sanggup merevisi dalam waktu 2 (dua) bulan terhitung dari tanggal munaqosyah. Jika ternyata lebih dari 2 (dua) bulan revisi skripsi belum terselesaikan maka saya bersedia dinyatakan gugur dan bersedia munaqosyah kembali dengan biaya sendiri. 3. apabila dikemudia hari ternyata diketahui bahwa karya tersebut bukan karya ilmiah saya (plagiasi), maka saya bersedia menanggung sanksi dan dibatalkan gelar kesarjanaan saya. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
iv
MOTTO
Dan aku katakan Tidak; Untuk cinta yang membelenggu kesadaran diri dan kebebasan Dan aku pilih cinta yang membebaskan!!!
Aku, kau, dia dan mereka Masih disini, dibawah satu matahari Tak’kan pernah bisa lari Lari dari kenyataan
Perubahan tidak turun dengan sendirinya dari langit Kekuasaan tidak hanya untuk mereka yang tiran Namun perempuan wajah tuhan Punya kehendak berkuasa
“Azmiritemdop”
v
PERSEMBAHAN
SKRIPSI INI SAYA PERSEMBAHKAN KEPADA:
SEMUA MANUSIA PENGHUNI PULAU BIRU Suatu jalan panjang yang berliku Gelap yang semakin menebal Ialah raksasa yang angkuh Menyeramkan, terus meneror dan menghancurkan ke-manusia-an Muncul dari dasar bumi menelan cahaya-nya hidup “Eudenonisme” menjadi merana tak terbayang Setelah penghancuran atas monarki absolut Menjadikan pengusa dan dengan republik agar dihormati Dengan seruan suci, dengan parade bersenjata, Dengan rumah tempat tumpukan dollar Membuatnya semakin berjaya Tapi tidak untuk mereka para pekerja-upahan Hidup mereka bukan sepenuhnya miliknya, Mereka mencipta namun bukan untuknya, Mereka di jauhkan dari orang-orang yang terkasih Seiring menyesakkan nafas Bersama luka yang semakin menganga Mereka mulai berkumpul Meraka mulai membusungkan dada Ribuan semut merah mulai menjarah Mereka sadar akan hukum sejarah Lantas mereka berseru: “Kamilah pengganti dari kekuasaan leviathan yang tiran” “Kami bawa buah tangan anti private property” “Kamilah masa depan yang cerah” Para pekerja-upahan berkumpul di jalan, di gedung-gedung Peperangan pun telah dimulai Perang yang tak terdamaikan dan harus dimenangkan Raksasa terjungkal dari singgasananya Mati di tiang-tiang pusat kota Sorak-sorak kemengan menggemuruh Panji merah dimana-mana Mereka pun berkuasa Semua merasa nyaman Sistem kaya-miskin lenyap Mereka benar-benar setara Dan republik pun menguap Seruan suci, parade bersenjata, Rumah tempat tumpukan dollar menjadi barang antik Peradaban baru, kebudayaan baru Inilah pulau biru Senyum dan tawa dari setiap bibir orang-orang yang bebas
vi
ABSTRAKSI Kajian tentang manusia merupakan wacana yang selalu aktual dibicarakan dan selalu menjadi pembahasan yang menarik. Berbicara tentang manusia maka yang tergambar dalam fikiran adalah berbagai macam perfektif, ada yang mengatakan manusia adalah hewan rasional (animal rasional), Ada yang menyebut manusia pada hakikatnya manusia bukanlah sebagai viator mundi, melainkan sebagai faber mundi. Sedangkan yang lain mengatakan manusia sebagai Insan. Namun pada konteks modern sekarang ini, manusia modern dianggap belum mampu mencapai kesimpulan lengkap mengenai dirinya sendiri. Maka daripada itu, pembahasan secara intensif mengenai manusia, perlu untuk diajukan kembalikan. Ali Syari’ati (1933-1977) merupakan pemikir Islam yang memberikan perhatian cukup besar terhadap persoalan-persoalan manusia. Dengan pemikiran eklektis yang disandingkan dengan Islam, Syari’ati menegaskan bahwa masalah eksistensi dan proses kemajuan manusia haruslah menjadi tujuan utama setiap peradaban yang ingin membangun manusia dan masyarakatnya. Sayangnya menurut Syari’ati, peradaban modern telah memunculkan tragedi kemanusiaan. Berangkat dengan pernyataan ini penulis mengajukan pertanyaan sebagai rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu, bagaimana kategori manusia dan bagaimana konsep manusia tercerahkan dan tanggung jawab sosial menurut Ali Syari’ati? Dengan mengunakan pendekatan historis dan sosiologis, menggunakan metode deskriptif, Interpretasi dan analisis dapat dihasilkan kesimpulan sebagai berikut: Pertama, manusia dalam pemikiran Syari’ati terdiri dari kategorikategori, yakni; (a) Khalifah; manusia sebagai wakil Tuhan yang memiliki intelektual (pengetahuan). Dengan ilmu pengetahuan manusia memperoleh kesadaran-diri. (b) Manusia dua dimensional; manusia yang memiliki kebebasan. Hal ini ditunjukan Syari’ati berdasar proses penciptaan manusia dengan dua subtansi yang berbeda (materi dan spritual) yang memiliki dua arah dan kecendungan –yang satu membawa kehakekat yang rendah, dan disisi lain cenderung naik ke puncak spiritual tertinggi. (c) Insa>n; Dimensi manusia “menjadi” yang menegasikan adanya “basya>r” –dengan memiliki tiga sifat (atribut) yang melekat dan saling berkaitan satu sama lain, ketiga atribut tersebut ialah: kesadaran diri, kemauan bebas dan kreativitas (daya cipta). (d) Manusia tercerahkan; manusia yang sadar akan keadaan kemanusiaan serta setting kesejarahannya dan kemasyarakatnya. Berkembangnya mazhab pemikirang barat, dianggap Syari’ati telah memberikan kemunduran bagi manusia, oleh karenanya Syari’ati mengkritik mazhab pemikiran barat. Kedua, sebagai manusia tercerahkan, ia memiliki tanggung jawab sosial –dimana masyarakat telah terpolarisasi dan terbelengu oleh penindasan. Manusia tercerahkan membutuhkan ideologi, Syari’ati menegaskan bahwa Islam sebagai ideologi akan menegasikan penindasan menuju persamaan dan keadilan. Adapun kontribusi dari penelitian ini, diharapkan secara teoritik dapat memberikan sumbangan kajian tentang gagasan-gagasan Ali Syari’ati tentang manusia. Secara praksis dapat memberikan inspirasi bagi gerak mahasiswa maupun civitas akadimika bagi perubahan yang lebih baik lagi.
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat beserta salam semoga tetap terlimpahkan kepada Nabi akhir zaman, Muhammad SAW yang dengan kesabaran dan kegigihanya telah menyelamatkan manusia dari zaman jahiliyah kepada zaman yang diridhai-Nya. Dengan terselesaikannya skripsi ini, maka secara formal berarti selesai juga kegiatan belajar dalam menempuh jenjang Strata Satu (S1) yang penulis lakukan. Hal ini karena skripsi merupakan pra-syarat bagi setiap mahasiswa Strata Satu (S1) yang harus diselesaikan agar mahasiswa tersebut memperoleh gelar sarjana. Ketika pendidikan formal yang penulis tempuh selesai, tentunya pendidikan baru bersama masyarakat akan segera dijalani guna mengamalkan hasil dari proses pencarian ilmu selama di kampus. Dalam penulisan skripsi ini, penulis merasa ingin menunjukan kekayaan kaum intelektual muslim yang nama dan kebesarannya sebagai raushanfikr dan pelopor revolusi Islam Iran 1979. Oleh karena itu, penulis merasa terdorong untuk mengangkat gagasan Ali Syari’ati dalam sebuah skripsi. Penulisan skripsi ini dapat terselesaikan semata-mata atas pertolongan Tuhan Yang Maha Bijaksana. Di samping itu, dorongan, bimbingan dan bantuan dari beberapa pihak sangat mempengaruhi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung ikut andil dalam penyelesaian skripsi ini.
viii
Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada Prof. Dr. H. Musa Asy’arie selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dr. Syaifan Nur, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam. Fahruddin Faiz, S.Ag, M.Ag, selaku Katua jurusan Aqidah dan Filsafat, Dr. H. Zuhri S. Ag, M. Ag, selaku Sekertaris jurusan dan Dr. Sudin M. Hum, selaku Penasehat Akademik yang senantiasa membimbing dengan tulus, terima kasih atas didikan dan kesabaranya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Ucapan terima kasih, penulis sampaikan kepada pembimbing, Fahruddin Faiz, S.Ag, M.Ag dan Dr. Syaifan Nur, yang dengan kesibukan dan keterbatasan waktunya, tetapi senantiasa memberikan motivasi dan koreksi demi kesempurnaan skripsi yang penulis susun. Mudah-mudahan apa yang disampaikan menjadi amal yang senantiasa mengiringi langkah-langkahnya. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Alim Roswantoro, S. Ag. selaku penguji I, Dr. H. Zuhri S. Ag, M. Ag, selaku penguji II dan Fahruddin Faiz, S.Ag, M.Ag, selaku ketua sidang yang telah menguji dan mengkritisi hasil skripsi yang jauh dari sempurna. Selanjutnya terima kasih kepada keluarga penulis, khususnya kepada kedua orang tua yang dengan sabar mendo’akan untuk kelancaran anaknya dalam menuntut ilmu. Terima kasih juga kepada adik tercinta, Hara dan Zay yang selalu membuat semua menjadi indah, kepada keluarga besar Bani Duryat yang selalu terpancar persaudaraan abadi. Kepada teman baikku: Tupang (TH-05), Arafat (PA-05), Ibnu (AF-05), terima kasih untuk tetap teman. Kepada Jazuli (alm): Rest
ix
in Peace. Kepada Ngutsman terima kasih atas “gusti” akalnya. Kepada kawankawan Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI): Salam Pembebasan Nasional; Cerdas, Militan, Merakyat. Kepada teman-teman se-angkatan Aqidah dan Filsafat, terima kasih semuanya: ruang kelas kita menjadi ramai dan ceria. Akhirnya dengan penuh rendah hati penulis berharap mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi almamater dan segenap rakyat pada umumnya serta bagi diri penyusun pada khususnya. Penyusun menyadari, dengan keterbatasan pengatuan masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun senatiasa penulis harapkan guna penyempurnaan skripsi ini.
Yogyakarta, 02 Agustus 2011
Akhmad Azmir Zahara
x
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penyusunan Skripsi ini berpedoman pada Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, tertanggal 22 Januari 1988 No: 158/1987 dan 0543b/U/1987. A. Konsonan Tunggal
Huruf Arab
Nama
Huruf Latin
Keterangan
ﺃ
Alif
Tidak dilambangkan
Tidak dilambangkan
ب
Ba>’
b
be
ت
Ta>’
t
te
ث
S#a’
s^
es (dengan titik di atas)
ج
Jim
j
je
ح
Ha>’
h}
ha (dengan titik di bawah)
خ
Kha
kh
ka dan ha
د
Dal
d
de
ذ
Z#al
z^
zet (dengan titik di atas)
ر
Ra>’
r
er
ز
Zai
z
zet
xi
س
Si>n
s
es
ش
Syi>n
sy
es dan ye
ص
S~a>d
s`
es (dengan titik di bawah)
ض
Da>d
d}
de (dengan titik di bawah)
ط
Ta’>
t`
te (dengan titik di bawah)
ظ
Za>’
z}
zet (dengan titik di bawah)
ع
‘Ayn
‘
koma terbalik
غ
Gayn
g
ge
ف
Fa>’
f
ef
ق
Qa>f
q
qi
ك
Ka>f
k
ka
ل
La>m
l
‘el
م
Mi>m
m
‘em
ن
Nu>n
n
‘en
و
Waw
w
w
Ha>’
h
ha
ء
Hamzah
'
apostrof
ي
Ya>
y
ye
xii
B. Konsonan rangkap karena syaddah ditulis rangkap ! دة
ditulis
Muta'addidah
ّة#
ditulis
‘iddah
C. Ta’ marbu>t}ah di akhir kata ditulis h $%&'
ditulis
Hikmah
$(#
ditulis
'illah
*ء+,و- ا$!ا/آ
ditulis
Karāmah al-auliyā'
زآ*ة/12,ا
ditulis
Zakāh al-fitri
ditulis
a
ditulis
fa'ala
ditulis
i
ditulis
żukira
ditulis
u
ditulis
yażhabu
D. Vokal pendek ___َ __
fathah
45
_____
kasrah
ِ /ذآ __ُ___ 8ه:;
dammah
xiii
E. Vokal panjang 1
2
3
4
Fathah + alif
ditulis
ā
ه
ditulis
jāhiliyyah
Fathah + ya’ mati
ditulis
ā
ditulis
tansā
Kasrah + ya’ mati
ditulis
i
آ
ditulis
karim
Dammah + wawu mati
ditulis
ū
وض/5
ditulis
furūd
F. Vokal rangkap 1
2
Fathah + ya’ mati
ditulis
ai
ditulis
bainakum
Fathah + wawu mati
ditulis
au
ل
ditulis
qaul
xiv
G. Vokal pendek yang berurutan dalam satu kata dipisahkan dengan apostrof < =اا
ditulis
a’antum
ّت#ا
ditulis
u’iddat
>?, <@/&A
ditulis
la’in syakartum
H. Kata sandang Alif + Lam Diikuti huruf Qamariyyah maupun Syamsiyyah ditulis dengan menggunakan huruf "al". ان/B,ا
ditulis
al-Qur’ān
*س+B,ا
ditulis
al-Qiyās
*ء%C,ا
ditulis
al-Samā’
D%E,ا
ditulis
al-Syam
I. Penulisan kata-kata dalam rangkaian kalimat Ditulis menurut penulisannya. وض ذوى/2,ا
ditulis
żawi al-furūd
4 اه$GC,ا
ditulis
ahl al-sunnah
xv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i HALAMAN NOTA DINAS ............................................................................ ii HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iii SURAT PERNYATAAN................................................................................. v HALAMAN MOTTO ...................................................................................... vi ABSTRAK ...................................................................................................... vii KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii TRANSLITERASI ARAB .............................................................................. xi DAFTAR ISI ................................................................................................... xvi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1 B. Rumusan Masalah ....................................................................... 8 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................. 8 D. Tinjauan Pustaka ......................................................................... 9 E. Metode Penelitian ....................................................................... 13 F. Sistematika Pembahasan ............................................................. 16 BAB II BIOGRAFI ALI SYARI’ATI A. Riwayat Hidup Ali Syari’ati ........................................................ 19 B. Kondisi Sosial Politik Iran ........................................................... 26 C. Paradigma Pemikiran Ali Syari’ati............................................... 29 D. Tokoh-Tokoh yang Mempengaruhi .............................................. 33
xvi
E. Karya-karya Ali Syari’ati ............................................................. 38 BAB III MANUSIA MENURUT ALI SYARI’ATI A. Kategori Manusia ........................................................................ 43 B. Penjara-penjara Manusia ............................................................. 64 BAB IV MANUSIA TERCERAHKAN DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL A. Manifestasi Dialektika Manusia................................................... 73 B. Hubungan Manusia Tercerahkan dengan Tanggung Jawab sosial 78 C. Refleksi Tanggung Jawab Manusia Indonesia ............................. 90 D. Catatan Untuk Ali Syari’ati ........................................................ 94 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................. 97 B. Saran-saran.................................................................................. 99 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 101
xvii
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Suatu wacana yang selalu aktual dibicarakan dan selalu menjadi pembahasan yang menarik adalah masalah manusia. Mengutip pendapat Charris Zubair: “sekalipun kita jenis manusia, “manusia” itu sendiri masih misteri bagi kita.” Kemudian ditegaskan kembali oleh Alexis Carrel bahwa manusia adalah makhluk yang misterius1 sehingga perlu adanya usaha-usaha dalam menemukan definisi manusia. Meskipun manusia adalah sosok misteri yang mempunyai rahasia besar di balik penampakannya, hal itu tidak menghalangi para filsuf membongkar selubung kemisterian manusia. Kenyataannya bahwa pembicaraan mengenai manusia telah mengisi daftar panjang pemikiran dari zaman Yunani klasik hingga sekarang ini. Manusia sebagai manusia, alias manusia sebagai dirinya sendiri, inilah pokok pembahasan yang sangat panjang dalam sejarah pemikiran manusia, baik di dunia belahan barat maupun di bagian timur. Apabila hendak mengetahui bagaimana pendapat teks suci (baca: Taurat, Injil dan al-Qur’an) mengenai apa dan bagaimana manusia, tentu tinggallah membuka-buka halaman demi halaman teks suci tersebut. Namun apa dan bagaimanakah manusia menurut manusia itu sendiri? Maka akan menemukan jawaban yang sangat beragam, lengkap dengan argumentasinya masing-masing. Singkatnya, 1
Ali Syari’ati, Humanisme: Antara Islam Dan Mazhab Barat, cet. II (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), hlm. 37.
2
manusia –bagi dirinya sendiri— merupakan entitas unik dan misterius sehingga tidaklah aneh bila seseorang merasa tidak memahami esensi kemanusiaannya sendiri. Hakikat manusia dalam ruang lingkup filsafat selalu berkaitan dengan unsur pokok yang membentuknya, dimana masing-masing aliran memiliki pandangan tentang hakikat atau esensi manusia. Menurut Zainal Abidin dalam bukanya berjudul “Filsafat Manusia” terdapat dua aliran tertua dan terbesar yaitu materialisme dan idealisme. Materialisme adalah paham filsafat yang menyakini bahwa esensi kenyataan, termasuk esensi manusia bersifat material. Kebalikan dengan materialisme, idealisme meyakini bahwa kenyataan sejati adalah bersifat spiritual. Materialisme dan idealisme dapat ditergolong dalam monisme yang menyatakan bahwa esensi dari realitas, termasuk esensi manusia adalah tunggal. Sedangkan aliran yang menyatakan esensi dari realitas terdiri dari dua substansi adalah dualisme. Dualisme memandang kenyataan sejati pada dasarnya adalah bersifat fisik dan spritual. Menurut aliran ini, manusia merupakan makhluk yang terdiri dari dua substansi, yakni materi dan ruh.2 Berbicara tentang manusia, maka sekilas tergambar dalam fikiran adalah berbagai macam perspektif, ada yang mengatakan manusia adalah hewan rasional (animal rasional) seperti yang dinyakini oleh Aristoteles (384322).3 Ada yang menyebut manusia pada hakikatnya manusia bukanlah sebagai fiator mundi (peziarah di muka bumi), melainkan sebagai faber mundi (pekerja
2
Zainal Abidin, Filsafat Manusia (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 25-30.
3
Donny Gahral Adian, Matinya Metafisika Barat, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2001),
hlm. 20.
3
atau pencipta dunianya).4 Bagi kaum eksistensialis manusia merupakan kebebasan dengan eksistensinya mendahului esensi.5 Selanjutnya Ibnu ‘Arabi (1165-1240) seorang filsuf Islam mengatakan manusia sebagai Insan Kamil. Dari pernyataan di atas, terlihat bahwa konsep yang ditawarkan tentang manusia terdapat perbedaan-perbedaan yaitu tergantung konteks historisnya masing-masing. Dewasa ini, modernisme telah mentransformasikan perubahan sosial yang begitu kompleks. Perkembangan modernisme telah membuahkan kemajuan dalam pelbagai bidang kehidupan manusia, seperti bidang ekonomi, teknologi, budaya, dan sebagainya. Modernisme bukan saja telah membawa manfaat dalam memudahkan akses pemenuhan kebutuhan bagi manusia, tetapi juga membawa tragedi bagi manusia itu sendiri. Jika Habert Marcuse menyatakan modernitas membuat manusia menjadi satu dimensi, Ali Syari’ati (1933-1977) menunjukan modernitas sebagai peradaban mesinisme telah membentuk manusia-manusia palsu dan tidak kreatif.6 Sehingga manusia akan merasa terasing dari dunia sekitarnya. Artinya, manusia terasing merupakan realitas dimana ia dipaksa untuk membuka pintu selebar-lebarnya bagi kekuatan
eksternal
untuk
membentuk,
mengarahkan,
dan
mengisi
eksistensinya. Maka daripada itu, cita-cita besar modernisme untuk menjadikan
4
Zainal Abidin, Filsafat Manusia; Memaham, hlm. 16.
5
Dwi Siswanto, Humanisme Eksistensial Jean-Paul, (Yogyakarta: Philosophy Press, 2001), hlm. 58. 6
Ali Syari’ati, Peran Cendikiawan Muslim: Mencari Masa Depan Kemanusiaan, Sebuah Wawasan Sosiologis, terj. team Naskah Shalahuddin (Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1985), hlm. 23.
4
manusia sebagai makhluk otonom malah terjatuh pada peng-obyek-an terhadap manusia itu sendiri.7 Tujuan manusia adalah memperoleh kebahagian sebagaimana yang dikatakan oleh Aristoteles,8 namun karena tidak memahami peran “beradanya” manusia, manusia modern terlena dalam eforia ketidakbahagiaan.9 Manusia modern telah kehilangan kehendak kebebasan dan kesadaran dirinya. Lebih lagi, zaman modern telah melahirkan tragedi kemanusiaan, yakni adanya munculnya eksploitasi manusia atas manusia. Ironisnya, para penguasa dan intelektual Islam memandang bahwa Barat merupakan negeri yang modern sekaligus beradab, sehingga mereka harus menirunya secara total. Segala sesuatu yang serba Barat disanjung-sanjung dan diimpor tanpa ragu. Peniruan semacam ini merupakan “fanatisme buta”,10 yaitu manusia telah kehilangan kehendak bebas, teralienasi dan hilangnya kreatifitas. Menurut Muhammad Iqbal tujuan Pendidikan adalah membentuk manusia.11 Namun pendidikan yang diimpor dari Barat dan belum tentu mampu menjawab persoalan-persoalan manusia disekitarnya. Oleh karena itu, intelektual Islam menjadi formalis-birokrat yang tidak mampu menyelesaikan 7
Henry S. Sabari, Dostoevsky: Menggugat Manusia Modern, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 60. 8 Franz Magnis-Suseno, Menjadi Manusia belajar dari Aristoteles, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 4. 9 Herbert Marcuse, Manusia Satu-Dimendi, cet. I, terj. Silvester G. Sukur & Yusup Priyasudiarja (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000), hlm. 7. 10 Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, terj. Amin Rais (Yogyakarta: Shalahuddin Press, t.t.), hlm. 84. 11
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, terj. Ahsin Mohammad (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 67.
5
persoalan-persoalan manusia sekitarnya. Ali Syari’ati menyatakan bahwa “ilmuwan juga belum membawa gagasan-gagasannya ke titik permasalahan akan penderitaan batin masyarakat atau memungkinkannya untuk melahirkan kesadaran diri dari rakyat, mengarahkan tujuan dan cita-cita bersama mereka”.12 Sebagai kaum intelektual yang memiliki tanggung jawab sosial, seharusnya
mampu
membawa
angin
perubahan,
berjuang
melawan
penyimpangan, melawan ketertindasan, dan membela kaum-kaum yang lemah. Namun sebaliknya mereka hanya menampakkan arogansi intelektualnya dengan hanya memahami gagasan-gagasan kaum intelektual lama bahkan mengimpor dari Barat. Sebagaimana ditulis oleh Kazou Shimogaki bahwa imitasi Barat akan membawa pada kehancuran peradaban Islam: Superioritas Barat di bidang ilmu sosial, tetap kokoh, dan bangsa-bangsa Muslim terus mempelajarinya. Mereka mempelajari itu semua tanpa menyadari kaitan antara tali-temali historis Barat dan ilmu-ilmu Barat, sehingga bangsa-bangsa Islam jatuh kedalam pengaruh Barat. Proses ini mengakibatkan esensi peradaban Islam runtuh. Imperialisme kultur Barat berkembang menjadi apa yang disebut kolonialisme peradaban.13
Ternyata, meskipun manusia sudah berkembang sedemikian modern, tetapi
manusia
modern
belum
mendapatkan
kebebasan
–kebebasan
menuntukan pilihannya, kebebasan dari belenggu penindasan. Usaha-usaha untuk mengembalikan manusia pada posisi idealnya terus dilakukan. Namun terkadang ditemukan penyimpangan-penyimpangan dari ilmu pengetahuan yang justru mengalienasi kesadaran manusia, yaitu pandangan yang 12
Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1988), hlm. 33. 13
Kazuo Shimogaki, Kiri Islam: Telaah Kritisatas Pemikiran Hassan Hanafi, terj. M Imam Aziz (Yogyakarta: LKiS, 1993), hlm. 38.
6
menginkari adanya kehendak bebas (free will) manusia. Sehingga pembahasan secara intensif mengenai manusia, perlu kiranya ajukan kembalikan sesuai konteks masyarakat modern sekarang ini. Ali Syari’ati merupakan pemikir Islam yang memberikan perhatian cukup besar terhadap persoalan-persoalan manusia. Syari’ati menuturkan bahwa masalah eksistensi dan proses kemajuan manusia haruslah menjadi tujuan utama setiap peradaban yang ingin membangun manusia dan masyarakatnya.14 Sehingga persoalan manusia menjadi sangat penting baginya. Syari’ati mengungkapkan kegelisahannya tentang persoalan manusia modern ini: Manusia sesungguhnya merupakan masalah yang paling rumit di alam semesta; oleh karena itu memerlukan pencurahan perhatian yang besar. Manusia dilihat dari perkembangannya hingga sampai sekarang, manusia modern belum mampu mencapai suatu kesimpulan lengkap mengenai dirinya sendiri, walaupun ia telah dapat memecahkan berbagai masalah kehidupan dan mengatasi banyak rintangan yang ditimbulkan oleh sang alam yang membatasi kemajuan manusia.15
Pernyataan di atas menjelas bahwa dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, manusia dapat menggunakannya untuk kepentingan memecahkan pelbagai permasalah manusia. Misalnya, dengan ilmu pengetahuan pertanian manusia dapat memodernisasi pertanian sehingga menghasilkan panen yang berlimpah. Adapun dengan pengetahuan otomotif, ia dapat menciptakan alat transportasi yang memudahkan perjalanan mansuia. Tetapi “keberadaan” manusia masih menyisakan pertanyakan. Disisi lain masyarakat manusia terbagi dalam kelas-kelas sosial yang memunculkan kemiskinan dan 14
Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 51.
15
Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 49.
7
ketidakadilan. Manusia modern tidak sadar bahwa ia terbelunggu oleh sistem kapitalisme sebagai tatanan masyarakat modern. Ali Syari’ati senantiasa mengaitkan pembicaran manusia dengan Islam. Pada teks (al-Qur’an) manusia ditunjuk sebagai khalifah oleh Tuhan di muka bumi. Dengan pengetahuan intelektualnya, manusia mampu mengetahui segala fakta yang ada dalam alam semesta. Dengan pengetahuan dari “Guru Pertama” manusia memiliki kesadaran diri dan memiliki tanggung jawab untuk memakmurkan dan mengelola alam. Syari’ati tidak berbicara pada hal yang metafisik saja, akan tetapi ia memanifestasikan pada realitas perkembangan gerak manusia. Syari’ati sadar bahwa zaman modern melahirkan tragedi kemanusiaan. Oleh karena itu, manusia modern membutuhkan “manusia unggul”16 dalam istilah Nietzsche. Lebih tepat, Syari’ati menyebut unggul sebagai raushan fikr, yakni manusia yang sadar akan kondisi sosial yang ada dalam masyarakatnya serta memiliki tanggung jawab sosial. Berdasarkan pembahasan di atas, manusia modern memiliki persoalan yang begitu kompleks dan kemudian menandakan sebuah tragedi kemanusiaan. Sebagai diagnosis dari tragedi kemanusiaan tersebut diperlukan adanya sebuah kajian mendalam tentang manusia. Dimana dimensi manusia yang begitu kompleks telah mengisi alur kehidupannya, dengan menguraikan pembahasan manusia harapannya akan didapati pula jati diri manusia. Disini penyusun hendak memfokuskan kajian terhadap pemikiran Ali Syari’ati mengenai manusia. 16
Manusia unggul dapat hidup dan bertahan hanya melalui seleksi manusia, melalui perbaikan kecerdasan dan pendidikan yang meningkatkan derajat dan keagungan individuindividu. Lihat Zainal Abidin, Filsafat Manusia, hlm. 114.
8
B. Rumusan Masalah Berangkat dari pemaparan latar belakang masalah di atas, setidaknya dapat dirumuskan permasalahan yang akan diteliti mengenai manusia dalam pemikiran Ali Syari’ati, yaitu: 1. Bagaimana pandangan Ali Syari’ati tentang manusia? 2. Bagaimana konsep manusia tercerahkan dan tanggung jawab sosial menurut Ali Syari’ati? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penyusun melakukan penelitian pengenai “Manusia dalam Pemikiran Ali Syari’ati”, dengan tujuan: 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: a.
Penyusun berusaha meneliti pemikiran Ali Syari’ati tentang manusia, yaitu bertujuan untuk dapat mengetahui kategori manusia dalam pemikirannya.
b.
Penyusun, dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep manusia tercerahkan dan tanggung jawab sosial dalam pemikiran Ali Syari’ati.
Hal tersebut penting untuk dilakukan mengingat, pertama, Ali Syari’ati merupakan tokoh besar yang pemikirannya telah mempengaruhi umat Islam di belahan dunia, khususnya di Iran dengan pecahnya Revolusi Islam 1979. Kedua, penyusun termotivasi karena lingkungan akademik yang penuh dengan tradisi intelektual.
9
2. Kegunaan Penelitian Berkaitan dengan kegunaan penelitian: a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan kajian tentang gagasan-gagasan Ali Syari’ati tentang manusia. b. Secara praktis: 1) Penyusun berharap hasil penelitian ini dapat memberi kontribusi terhadap pengembangan jurusan Aqidah dan Filsafat sebagai ujung tombak kemajuan intelektual. 2) Penyusun juga berharap, hasil penelitian mampu menjadi refrensi atau acuan bagi peneliti bahkan memberikan inspirasi bagi gerak mahasiswa maupun civitas akadimika khususnya Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam untuk berjuang demi perubahan. Hal ini juga dikarenakan tradisi wacana kritis haruslah tetap terus dikembangkan dan tentunya sebagai dasar untuk melakukan suatu perubahan dalam masyarakat luas. D. Tinjauan Pustaka Pemikiran Ali Syari’ati memang menarik untuk dikaji, sehingga tidak jarang para peneliti mengkaji pemikirannya. Dari penyelusuran pustaka, penyusun mendapati beberapa karya penelitian yang membahas pemikiran Ali Syari’ati, diantaranya berupa skripsi dan buku.
10
1. Seperti skripsi Iin Martini tentang “Konsep Intelektual Menurut Ali Syari’ati”, ia menjelaskan yang dimaksud intelektual adalah orang yang tercerahkan. Orang yang tercerahkan digambarkan Ali Syari’ati sebagai orang yang memiliki tanggungjawab sosial.17 Ketika orang telah memiliki kesadaran akan keadaan kemanusiaan serta setting kesejarahannya, maka ia akan dengan sendirinya memiliki rasa tanggungjawab sosial. Intelektual yang tercerahkan memiliki peran untuk menggerakkan massa untuk mengubah dan revolusi serta memerangi penindasan dan ketidakadilan. Intelektual yang tercerahkan tidak berusaha untuk melarikan diri atau mengasingkan dirinya, mereka menyadari bahwa mereka telah diutus dengan sebuah misi bagi rakyatnya. Skripsi Iin hanya menjelaskan tentang peran intelektual yang tercerahkan sesuai dengan pandangan tokoh semata (tidak ada yang baru), dan belum menyentuh tentang pandangan manusia, misalnya bagamana otentisitas manusia? 2. Dalam skripsi Ismulyadi tentang “Sosialisme Islam Ali Syari’ati”, menurutnya, pandangan Ali Syari’ati dimulai dengan Tauhid tentang keesaan Tuhan, dilanjutkan dengan menguraikan visi Islam dalam membicarakan persoalan manusia. Dalam menjelaskan persoalan manusia, Ismulyadi belum mendalam. Ia hanya menekankan terhadap dehumanisasi manusia dengan memberikan arah pemikiran sosialisme Islam yang dibangun diatas tradisi Islam Syi’ah yang revolusioner.18
17
Iin Martini, Konsep Intelektual Menurut Ali Syari’ati (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2007), hlm. 83.
11
3. Skripsi Eko Supriadi tentang “Keterkaitan antara Marxisme dan Islam; perspektif pemikiran Ali Syari’ati.” Dalam karyanya, ia menjelaskan bahwa ideologi marxisme adalah ideologi yang tidak memiliki persamaan dengan ideologi Islam. Islam menempatkan posinya yang antagonistik dengan marxisme19. Karya peneliti diatas belum cukup komperhensif dengan kaitan tema yang diajukan oleh penyusun. Skripsi Eko Supriadi dalam menjelaskan diterminisme hanya terfokus pada Marxisme, yaitu penolakan Ali Syari’ati pada esensi manusia yang bersifat fisik dan logika manusia ekonomis. 4. Selanjutnya skripsi Khairul Azhar Saragih dengan judul “Pandangan Ali Syari’ati
Tentang
Tanggung
Jawab
Sosial
Intelektual
Muslim
(Perbandingan Dengan Intelektual Muslim Di Indonesia)” menjelaskan bahwa intelektual tercerahkan merupakan Individu-individu yang memiliki rasa tanggung jawab terhadap masyarakat, kondisi sosial, mempunyai misi sosial, dan memberi arah intelektual dan sosial kepada massa rakyat. Selain itu, intelaktual muslim adalah seorang guru dari rakyat. Intelektual muslim bertanggung jawab atas permasalahan yang dihadapi rakyat, sehingga mereka dituntut untuk merumuskan kebijaksanaan masyarakat demi perubahan yang berperikemanusiaan, keadilan, dan dapat mendorong kemajuan dan perkembangan masyarakat secara sempurna yang bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Intelektual muslim yang menjalankan misi universal dengan memperhatikan nilai-nilai Islam diminta 18
Ismulyadi, Sosialisme Islam Ali Syari’ati (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2001)
hlm. 119. 19
Eko Supriadi, Kaitan antara Marxisme dan Islam Perspektif Pemikiran Ali Syari’ati (Yogyakarta: UGM, 2002), hlm. 219.
12
kesediaannya untuk mengorbankan dirinya dalam proses perjalanan hidup masyarakat.20 Relasi dengan tanggung jawab intelektual Indonesia, bagamana Intelektual Indonesia mampu memahami, menjelaskan serta memecahkan berbagai macam persoalan dalam aspek sosial, agama, politik. Sekripsi Khairul Azhar Saragih ada kesamaan dengan skripsinya Iin Martini, akan tetapi skripsi Khairul Azhar direlasikan dengan Intelekual Indonesia belum juga membahas secara mendalam
tentang manusia,
misalanya keotentitasan manusia maupun diterminasi manusia. Selain penelitian yang berbentuk skripsi, terdapat juga penelitian yang berupa buku. Di antaranya adalah: 1. Buku yang berjudul “Islam Di Tepian Revolusi” karya Sarbini menjelaskan pandangan Ali Syari’ati tentang Revolusi Islam. Menurutnya, gagasan Ali Syari’ati; revolusi oleh kaum tertindas (Habil) yang digerakan kaum intelektual akan terjadi untuk mengakhiri riwayat kaum penindas (Qabil).21 Sehingga didapati bahwa peran intelektual sangat berpengaruh dalam menciptakan perubahan sosial atau revolusi. Intelektual yang dimaksud dalam karya Sarbini adalah intelektual tercerahkan yang memiliki ideologi. Ali Syari’ati merumuskan Islam sebagai agama yang perlu dipahami secara Ideologis. Karena ideologi menuntur agar kaum intelektual bersikap setia dan ideologilah yang mampu merubah masyarakat menuju masyarakat tauhid. Masyarakat tauhid tidak mengenal kontradiksi, diskriminasi antara 20
Khairul Azhar Saragih, Pandangan Ali Syari’ati Tentang Tanggung Jawab Sosial Intelektual Muslim (Perbandingan Dengan Intelektual Muslim Di Indonesia), (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2010), hlm. 88. 21
Sarbini, Islam Di Tepian Revolusi (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hlm. 99.
13
manusia dan alam, ruh dengan badan, dunia dengan akhirat, dan antara spirit dengan materi.22 Tetapi buku tersebut belum mengulas tema yang terkait dengan tema yang diajukan oleh penyusun. 2. Kemudian di dalam bukunya Ali Rahnema yang berjudul “Ali Syariati; Biografi Politik Intelektual Revolusioner” menjelaskan tentang perjalanan kehidupan sosial, politik,karir intelektual serta karya-karya Ali Syariati. Karya tersebut mengenai pokok pembahsan tentang seputar biografi Ali Syari’ati, sehingga belum menyentuh tentang tema penelitian yang penyusun ajukan. Dari hasil penyelusuran pustaka di atas, telah diketahui bahwa belum ada penelitian komperhensif dengan tema yang diajukan penyusun. Oleh karena itu, penyusun akan berikhtiar meneliti pandangan Ali Syari’ati mengenai Manusia secara komperhensif. E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan studi tokoh, dengan menggunakan data kepustakaan (library Research). Penelitian kepustakaan yaitu penelitian yang dilakukan untuk menghimpun data dari berbagai literatur baik di perpustakaan maupun di tempat lain terkaiat fokus kajian penelitian. Sumber literatur dalam penelitian menggunakan sumber berbentuk buku, jurnal, majalah, koran dan bahan lainnya lainya yang tertulis. Penelitian ini bermaksud mengeksplorasi pemikiran Ali Syari’ati dengan menggunakan
22
Sarbini, Islam Di Tepian Revolusi, hlm. 79.
14
metode penelitian kualitatif. Penelitian ini bisa dikatakan sebuah studi tokoh, dimana studi tokoh merupakan salah satu jenis penelitian kualitatif.23 Melalui jenis penelitian ini, peneliti akan dapat mengenal lebih jauh dan mendalam mengenai konsep-konsep atau ide-ide dalam pemikirannya.24 2. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini menggunakan dua macam data, yaitu berupa sumber data primer dan sumber data skunder. Sumber data primer yang dimaksud merupakan karya-karya yang dikarang atau ditulis langsung dari Ali Syari’ati atau karya yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, seperti: a. Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam b. Ali Syari’ati, Tugas Cendikiawan Muslim c. Ali Syari’ati, Peran Cendikian Muslim, Mencari Masa depan Kemanusian, Sebuah Wacama Sosiologis d. Ali Syari’ati, Ideologi Kaum Intelektual, Suatu Wawasan Islam Sedangkan data skunder adalah pendukung data primer. Data skunder didapat dari kutipan sumber lain yang memuat pemikiran Ali Syari’ati, seperti: a. Rahnema,
Ali.
Ali
Syari’ati
Biografi
Politik
Intelektual
Revolusioner, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2002
23
Arief Furchan & Agus Muimun, Studi Tokoh, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005),
hlm. 15. 24
Arief Furchan & Agus Muimun, Studi Tokoh, hlm. 16.
15
b. Sarbini, Islam di Tepian Revolusi, Ideologi Pemikiran dan Gerakan, Yogyakarta: Pilar Media, 2005. c. Ismulyadi, Sosialisme Islam Ali Syari’ati, Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2001. d. Martini, Iin. Konsep Intelektual Menurut Ali Syari’ati, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2007. e. Supriadi, Eko. Keterkaitan antara Marxise dan Islam: Perspektif Pemikiran Ali Syari’ati, Yogyakarta: UGM, 2002. 3. Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini memakai metode dokumentasi, yaitu mengumpulkan data dari literatur berupa arsip-arsip, buku-buku, jurnal, dan hasil penelitian sebelumnya. Pertama-tama dimulai dengan mengoleksi data-data primer dan data-data skunder. Setelah terkumpul, mulai mencari key word (kata kunci) untuk memudahkan penelitian, kemudian dilakukan klasifikasi dan mengurutkan sesuai dengan pokok bahasan yang telah ditentukan. Berikut ini adalah key word-nya: a. Khalifah b. Manusia dua dimensional c. Manusia tiga dimensional d. Raushanfikr 4. Analisis Data Adapun metode yang digunakan dalam menganalisis data tersebut adalah:
16
a. Pendekatan historis digunakan dalam rangka merunut aspek kesejarahan (genealogi) yang melatarbelakangi kehidupan Ali Syari’ati beserta gagasan-gagasannya. b. Pendekatan sosiologis digunakan dalam rangka menyelusuri pemikiran Ali Syari’ati mengenai manusia tercerahkan dan tanggung jawab sosial. Pendekatan ini dilakukan karena Ali Syari’ati sendiri merupakan salah satu tokoh sosiologi Agama. c. Metode deskriptif, yakni upaya penulis untuk membahas penelitian ini secara sistematis dan terperinci terhadap tema dari aspek-aspek yang dimaksud dalam pemikiran Ali Syari’ati. d. Penelitian
ini
juga
mengunakan
metode
Interpretasi,
yaitu
menyelami ungkapan-ungkapan Ali Syari’ati serta konsep-konsep yang berhubungan dengan manusia untuk mengungkap arti dan implikasi yang ditimbulkanya. e. Dengan metode Analisis peneliti akan melakukan pemeriksaan secara konseptual atas makna yang terkandung dalam ungkapanungkapan atau argumen yang digunakan Ali Syari’ati sehingga dapat memperoleh substansi makna yang dimaksud dari ungkapan tersebut. F. Sistematika Pembahasan Guna memudahkan pembahasan, maka pembahasan ini akan disusun dengan sistematika sebagai berikut:
17
BAB I, Pendahuluan, di mana dalam pendahuluan itu terdiri dari latar belakang masalah, yang mencoba membahas sebuah permasalahan untuk menonjolkan sisi problem yang akan diteliti dalam pembahasan berikutnya kemudian diteruskan dengan mengambil sebuah perumusan masalah. Setelah itu, peneliti menentukkan tujuan dan kegunaan penelitian, sehingga penelitian ini memiliki visi dan misi serta kepentingan yang nyata bagi perkembangan akademik khususnya di bidang filsafat. Selanjutnya, diteruskan dengan tinjauan pustaka yang mencoba menelaah setiap kajian yang membahas pemikiran Ali Syari’ati. Dari beberapa penelitian sebelumnya untuk diambil perbedaaan point of idea-nya. Sedangkan, untuk metodologi penelitian ini digunakan sebagai satu cara dan bagaimana peneliti bisa memecahkan suatu permasalahan yang telah dirumuskan sehingga peneliti dapat membahas secara sistematis sesuai dengan pendekatan yang telah peneliti tentukan. Terakhir, yakni tentang sistematika pembahasan ini berguna untuk memetakan tentang pembahasan secara runtut sesuai dengan dalam aturan penulisan ilmiah dan terutama lebih khususnya dalam aturan penulisan skripsi akademik pada Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam. BAB II, Bab ini penyusun mencoba mendeskripsikan latar belakang sejarah Ali Syari’ati, meliputi riwayat hidup, kondisi sosial-politik Iran, Paradigma pemikiran, tokoh yang mempengaruhi, dan karya-karyanya. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran umum meliputi apa saja yang berkaitan dengan latar belakang sejarah kehidupan dan pemikirannya.
18
BAB III, Bab ini penyusun mendeskripsikan tentang kategori-kategori manusia dan belenggu penjara menurut Ali Syari’ati yang terdiri dari dua sub judul yaitu kategori manusia dan penjara-penjara manusia. BAB IV, Bab ini penyusun hendak menganalisis manusia tercerahkan yang terdiri dari empat sub judul yaitu manifestasi dialektika manusia, hubungan manusia tercerahkan dan tanggung jawab sosial, refleksi tanggung jawab manusia Indonesia, dan catatan untuk Ali Syari’ati. BAB V, Bab ini merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dari uraian yang telah dikemukakan dan berisi saran-saran. []
19
BAB II JEJAK LANGKAH ALI SYARI’ATI
A. Riwayat Hidup 1. Masa Kecil Ali Syari’ati dilahirkan pada tanggal 24 November 1933 di Mazinan, yang terletak di pinggiran kota Marshad, tepatnya di sebuah desa kecil di Kahak, sekitar 70 kilometer dari Sabzevar, anak dari pasangan dari keluarga kelas menengah bawah Muhammad Taqi (Mazinani) Syari’ati dan Zahra. Ia merupakan anak pertama dan anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga, dengan tiga orang saudara perempuan yaitu Tehereh, Tayebeh dan Batul (Afsaneh). Walau keluarganya hidup sedehana dengan ekonomi yang paspasan, keluarganya sangat dihormati dikalangan masyarakat. Ayahnya, Muhammad Taqi berprofesi sebagai pengajar dan tokoh spiritual. Taqi mendedikasikan
hidupnya
untuk
mempertahankan
Islam
dan
mendefinisikan garis besar Islam ‘yang diperbahuri’ yang sesuai dengan kondisi modern dan responsif terhadap tuntutan pemuda yang lebih memiliki kesadaran sosial.1 Sedangkan ibunya, Zahra merupakan seorang perempuan yang memiliki dedikasi, pekerja keras serta seorang yang sederhana dan penyabar. Hal itu ditunjukan dalam menerima kehidupan yang menyedihkan, seringkali makan persediaan makanan yang paling sederhana, sementara menyiapkan makanan yang cukup bagi anggota 1
Ali Rahnema, Ali Syari’ati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2002), hlm. 18.
20
keluarganya. Kesederhanaan keluarganya pernah dilukiskan Syari’ati kepada seorang teman bahwa dirumahnya ‘makan besar’ keluarga hanya disajikan pada hari Jum’at malam, sehari dalam satu minggu.2 Kehidupan keluarga itulah yang membentuk kepribadian dan pemikiran Syari’ati. Pada umur 8 (delapan) tahun, Syari’ati sudah mengalami suasana yang mencekam, yaitu ketika pasukan sekutu menginvansi Iran bulan Agustus 1941. Dimana kekuasaan Reza Syah yang pro terhadap Jerman dipaksa mundur dan digantikan oleh putranya yaitu Muhammad Reza. Setelah sebulan peristiwa itu, Syari’ati memasuki sekolah dasar di Ibnu Yamin. Di sekolah dasar, Syari’ati tidak terlalu mudah bergaul dan berhubungan dengan teman-temannya. Sosok yang pendiam, pemalu dan lebih suka memisahkan diri dari aktivitas-aktivitas teman-temannya sehingga ia selalu merasa kesepian. Kegiatan yang paling digemari Ali Syari’ati adalah membaca buku. Ia sering membaca dengan ayahnya sampai larut malam dan kadang-kadang sampai dini hari, bahkan setelah ayahnya tidur. Ali Syari’ati juga mengatakan bahwa dirinya telah mengenal koleksi perpustakaan ayahnya yang memiliki 2000 buku selama tahun pertamanya di sekolah dasar.3 Kegemaran membaca, menjadikan Syari’ati sebagai sosok yang memiliki pandangan luas. Setelah menyelesaikan sekolah dasar pada bulan September 1947, Syari’ati memasuki sekolah menengah di Firdausi. Berbeda di sekolah dasar, Syari’ati lebih mudah berinteraksi sehingga memiliki banyak teman. 2
Ali Rahnema, Ali Syari’ati: Biografi Politik, hlm. 54-55.
3
Ali Rahnema, Ali Syari’ati: Biografi Politik, hlm. 58.
21
Di sekolah menengah, minat baca Syari’ati semakin berkembang. Hal itu didukung dengan tersedianya fasilitas yang baik seperti perpustakaan, laboratorium ilmu pengetahuan, fasilitas olah raga dan ruang teater.4 2. Menjadi Dewasa Dalam usianya yang semakin dewasa, Ali Syari’ati semakin aktif dalam aktivitas politik. Pada tahun 1940-an bergabung dengan “Gerakan Sosialis Penyembah Tuhan dan Pusat Penyebaran Islam yang didirikan oleh ayahnya, Taqi Syari’ati, yang menjadi guru sekolah lanjutan atas, sarjana, dan
Islamolog.
Pada
tahun
1950
setelah
menyelesaikan
sekolah
menengahnya, atas permintaan ayahnya, Syari’ati mengikuti ujian masuk di Institut Keguruan (Danesyara-ye Moqaddamati) yang ketat dan lulus pada tahun 1952. Syari’ati bekerja di Kementrian Pendidikan dan dikirim ke sekolah dasar Ketabpur di Ahmadabad untuk mengajar semua mata pelajaran kepada semua siswa. Syari’ati menjadi mahasiswa sekaligus menjadi guru ketika melanjutkan studinya ke Universitas Masyhad pada tahun 1956 dan tetap bekerja penuh sebagai guru di Ketabpur. Semasa menjadi mahsiswa, Ali Syari’ati bekerja sama dengan kelompok Sosialis Penyembah Tuhan dan pernah menulis Maktab-e Vasetheh (The Median School). Ia juga terlibat dalam gerakan politik pro Mossadeq serta tergabung dibawah Gerakan Resistensi Nasional atau NRM (National Resistence Movement). Syar’ati menjadi aktivis revolusioner dan aktif dalam perjuangan untuk nasionalisasi minyak. Akibat akitivitas gerakan politiknya
4
Ali Rahnema, Ali Syari’ati: Biografi Politik, hlm. 59.
22
yang mengancam pemerintahan, Syar’ati ditangkap dan dipenjara di Teheran.5 Sekeluarnya dari penjara, Ali Syari’ati mengakhiri masa lajangnya pada 15 bulan Juli 1958 dengan menikahi Puran Syari’at Rezavi (bibi Fatemeh) putri dari Hajji Ali Akbar seorang pedagang. Pernikahan tersebut menjadi buah bibir yang hangat di Masyhad tentang Syari’ati yang menikahi perempuan yang tidak berjilbab. Hal itu terkadang membuat Syari’ati depresi; Syar’ati menyesalkan mentalitas reaksioner masyarakatnya.6 Pada Desember tahun 1958, mendapat gelar B.A. dalam bahasa Arab dan Prancis dengan menerjemahkan skripsi Dar Naqd va Adab (“On Literary Criticism”), karya pengarang Mesir, Dr. Mandur, sebagai skripsinya. Kemudian Ali Syari’ati memenangkan beasiswa untuk belajar di Prancis.7 3. Menuju Paris Setelah menyelesaikan studinya di Universitas Masyhad, Ali Syariati mendapatkan beasiswa untuk belajar di Prancis, yaitu di Universitas Sorbonne. Sebagai mahasiswa yang mendapatkan beasiswa dari pemerintah, menerima 8000 rial setiap bulan.8 Selama di Perancis, Syari’ati sering bersentuhan dengan pemikiran-pemikiran maupun karya seperti Henry Bergson, Jack Berque, Albert Camus, A.H.D. Chandell, Franz Fanon, George Gurwitsct, Lois Massignon, Jean-Paul Sartre dan Jacques Schwartz. 5
Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 19.
6
Ali Rahnema, Ali Syari’ati: Biografi Politik, hlm. 124-131.
7
Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 19.
8
Ali Rahnema, Ali Syari’ati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner, hlm. 137.
23
Seperti di Iran, Ali Syari’ati aktif dalam kehidupan politik di Prancis, yaitu bersama Mustafa Chamran dan Ebrahim Yazdi mendirikan Gerakan Kebebasan Iran (Nehzat-e Azadi-e Iran, Kharij Az Keshvar), ikut dalam pembentukan Front Nasional Kedua pada tahun 1962, dan bergabung dengan gerakan Aljazair serta menyunting jurnal-jurnal berbahasa Persia;
Iran-e Azad dan Nameh-e Pars. Syari’ati berhasil menerjemahkan beberapa karya seperti karya Che Guevara: Guerrilla Warfare; Sartre: What is Poetry?; dan Fanon: The Wretched of the Earth.9 Keterlibatan Syari’ati dalam Aktivitas Politik dan secara aktif memberikan kuliah-kuliah kepada mahasiswa revolusioner Konggo mengakibatkan dirinya masuk penjara. Pada tahun 1963, Syari’ati menyerahkan terjemahan yang disertai komentar kritis atas naskah Persia abad pertengahan Fadha’il Al-Balkh (Les Merites de Balkh) sebagai Doctorat de L’Universite-nya.10 4. Kembali Ke Iran Dengan menyandang gelar doktor pada ilmu sosiologi pada tahun 1964, Syari'ati kembali ke Iran, tanah kelahirannya. Dalam perjalanan kembali ke Iran, Syari’ati ditangkap dan kemudian dipenjara dengan tuduhan bahwa ketika kuliah di Prancis ia telah berpartisipasi di dalam aktivitas-aktivitas politik.11 Pada bulan Juli 1964, Syari’ati dibebaskan dari penjara, disambut oleh keluarga dan teman-temannya. Pertemuan tersebut
9
Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 19-20.
10
Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 20.
11
Ali Syari’ati, Haji, cet. VII, terj. Anas Mahyuddin (Bandung: Pustaka, 2006), hlm. v.
24
merupakan peretemuan yang bahagia, sebab sudah lima tahun Syari’ati berpisah dengan keluarga, kerabat dan teman-temannya. Menurut penuturan Ali Rahnema bahwa sekembalinya ke Masyhad pada tahun 1964, Syari'ati mengalami keterasingan yang luar biasa karena teman-teman maupun kenalan-kenalan lamanya sudah tidak dapat “diajak berkomunikasi”. Syari'ati sampai menggambarkan mereka sebagai oportunis ompong yang hanya memerhatikan urusan perut dan bawah perut, bahkan pakaian serta pantat mereka berlipat empat. Luka akan ‘agnostisisme filosofis’ mulai mencuat justru di ambang puncak kariernya sebagai intelektual Islam. Kebencian Syari'ati terhadap lingkungan sosialnya saat itu menyebabkan dirinya bertanya-tanya tentang hakikat kehidupan. Saat itu Syari'ati memasuki dunia mistik (tasawuf), suatu pengalaman yang pernah mendatanginya
sewaktu
masih
kanak-kanak.
Perdebatan
mengenai
eksistensi dan arti kematian memenuhi dirinya selama masa penyendirian itu. Bahkan akibat frustasi yang berlebihan itu, Syari'ati sempat memutuskan bunuh diri akan tetapi niatan tersebut dibatalkannya.12 Mengenai pekerjaan, Syari’ati melamar ke Universitas Teheran dan Universitas Masyhad, namun tidak mendapakan jawaban. Lalu ia mendatangi Kementrian Pendidikan, dimana ia bekerja sebagai guru akademik 1964-1965. ia mulai mengajar pada bulan September 1964 di tiga sekolah menengah yang terletak di lokasi yang berbeda.13 Beberapa tahun kemudian, ia diminta mengajar di Universitas Masyhad. Dalam waktu yang 12
Ali Rahnema, Ali Syari'ati: Biografi Politik, hlm. 219-225.
13
Ali Rahnema, Ali Syari’ati: Biografi Politik, hlm. 203.
25
singkat ia menjadi popular di kalangan murid-muridnya dan berbagai kelas masyarakat di Iran sehingga rezim yang sedang berkuasa pada waktu itu terpaksa menghentikan aktivitasnya di Universitas tersebut.14 Setelah tidak mengajar lagi di Universitas Masyhad, Ali Syari’ati pergi ke Teheran untuk melakukan aktivas ceramah-ceramah dan kuliahkuliah umum serta menulis. Ceramah-ceramah Ali Syari’ati menarik perhatian dan dihadiri enam ribu mahasiswa, beribu-ribu orang dengan latar belakang
yang
berbeda-beda
telah
mengikuti
kuliah-kuliah
yang
disampaikannya di musim panas di Istitut Husainiyah Irsyad. Semakin hari, karir Ali Syari’ati menanjak dan semakin banyak pengikut dari kalangan anak
muda.
mengagumkan
Karena itu,
keberhasilan
polisi-polisi
Iran
kuliah-kuliahnya kemudian
yang
mengepung
sangat Istitut
Husainiyah Irsyad dan menangkap banyak pengikutnya. Untuk kedua kalinya ia dipenjarakan selama 18 bulan. Karena desakan-desakan masyarakat dan protes-protes internasional maka pada 20 Maret tahun 1975 dibebaskan oleh rezim yang berkuasa.15 5. Rest in Peace Meskipun telah dibebaskan dari penjara, Ali Syari’ati sama sekali tidak merasa bebas. Itu dikarenakan aktivitas-aktivitasnya selalui diawasi oleh petugas keamanan Iran. Syari'ati dilarang untuk memberikan ceramahceramah maupun kuliah-kuliah, bahkan dilarang menulis dan tidak diperbolehkan menghubungi murid-muridnya. Oleh sebab kondisi-kondisi 14
Ali Syari’ati, Haji, hlm. v.
15
Ali Syari’ati, Haji, hlm. vi.
26
yang sangat menekan itu dan sesuai dengan ajaran al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad, akhirnya Syari'ati memutuskan berhijrah meninggalkan Iran. Syari'ati berhasil pergi ke Inggris, akan tetapi tiga minggu kemudian, tepatnya pada tanggal 19 Juni 1977, meninggal secara misterius di rumah kerabatnya sebagai seorang syuhada dan jenazahnya dimakamkan di Damaskus, Syria. B. Kondisi Sosial Politik Iran Iran merupakan salah satu negara yang memiliki rentetan historis panjang, terkenal sebagai bangsa yang besar dan tertua, pusat kerajaan Persia kuno. Pada tahun 513 SM. bangsa Persia melakukan invasi ke tempat yang sekarang merupakan Rusia Selatan dan Eropa Tenggara, serta menginvasi Yunani di tahun 480 SM. Pada tahun 1331 SM. Alexander dari Macedonia menaklukkan kerajaan Persia dan menjadi bagian dari Kekaisaran Alexander. Dinasti yang memerintah berturut-turut sejak berdirinya Dinasti Safavid (15011732), Dinasti Qajar (1794-1925), tahun 1920 Sayid Ziauddin Taba Taba’i, seorang politisi Iran, dan Reza Khan, seorang perwira kavaleri, menggulingkan dinasti Qajar berganti ke Dinasti Pahlevi (1925-1978) dan akhirnya tumbang oleh revolusi Islam 1979. Iran merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam, terutama sumber daya minyak, sehingga banyak negara Barat menginginkan Iran sebagi daerah kekuasaan seperti Jerman dan Amerika. Kekuasaan Iran di pegang oleh kekuasaan otoriter dari dinasti Reza Syah Pahlevi (1925-1941). Pada masa pemerintahan Reza Syah yang memiliki simpati pro Jerman, ingin menjadikan
27
negara Iran sebagai negara maju dengan model Barat. Moderinisasi, industrialisasi dan sentalisasi kekuasan yang dilakukan dengan tangan besi; penerapan cara-cara militer yang ‘mengharuskan’ represi brutal terhadap mereka yang menentang, menjadikan ciri utama pemerintahan Reza Syah.16 Peraturan pemerintah yang ketat dan memaksa serta menunjukan peraturan dan tindakan yang anti agama, seperti persyaratan mengenai ketentuan ijazah sarjana hukum diperoleh dari universitas nasional atau luar negeri (5 Maret 1928), peraturan penggunaan pakaian model barat (28 Desember 1928), mempersempit kekuatan hukum dan sosial pengadilan agama yang diserahkan kepada kantor-kantor sekuler (1932), merobohkan majid Gowharsyhad (21 & 22 Juli 1935). Kontroversi kebijakan pemerintah tersebut tidak menggugah perlawanan dari ulama dan cenderung pasif. Adapun yang melawan akan di ditangkap dan dibunuh, seperti Sayyed Hasan Modarres, seorang tokoh ulama yang popular karena dicurigai menentang keras tata cara mengenakan pakaian (ditangkap, 1929; dibunuh, 1936).17 Di bawah kepemimpinan Reza Syah semua eleman masyarakat dari oposisi religius maupun sekuler dibungkam. Situasi dan kondisi seperti itu terberkembang hingga tahun 1941 saat Reza Zyah diturunkan dari tahta. Krisis kepemimpinan memuncak setelah kekuasaan Reza Syah benar-benar runtuh, dimana dirinya sebagai kepala negara tidak lagi memeritah sesuai dengan konstitusi. Pada tahun itu juga, seorang pemimpin nasionalis sekular dari partai Front Nasional bernama Mossadeq diangkat sebagai perdana menteri yang 16
Ali Rahnema, Ali Syari’ati: Biografi Politik, hlm. 1.
17
Ali Rahnema, Ali Syari’ati: Biografi Politik, hlm. 6-8.
28
mengendalikan Iran. Mulai saat itu kemudian kondisi sosial dan politik negara tersebut sangat kondusif bagi munculnya kelompok-kelompok keagamaan dan gerakan politik. Aktivitas keagamaan dan politik publik yang sepenuhnya terlarang hingga saat itu kembali bergairah. Di lain pihak, setelah runtuhnya kekuasaan Reza Syah, Sekutu makin merasa khawatir. Mereka melihat kekuatan politik fron nasional Mossadeq yang nasionalis dan keberadaan Partai Tudeh yang beraliran Marxis sebagai ancaman kepentingan Barat, terutama menyangkut minyak. Maka Sekutu mulai bekerja sama dengan golongan militer Iran serta para pendukung Syah untuk melakukan kudeta. Pada tahun 1953, kekuasan Mossadeq berakhir dan di penggatinya oleh putra Reza Syah yaitu Muhammad Syah Pahlevi. Pemerintahan Syah Pahlevi selalu mengadopsi ide-ide Barat. Hal itu terlihat dalam melakukan pembahuran besar-besaran dengan mengirim intelektual ke Barat dengan harapan kembali dengan membawa ide-ide untuk membangun Iran. Modernisasi yang dilakukan Syah Pahlevi berdampak pada kehidupan yang ke-Barat-Barat-an. Rezim penguasa semakin lama semakin otoriter dengan melarang adanya partai independen. Kemudian Syah pada tahun 1975, Syah Pahlevi membentuk Partai Kebangkitan Tunggal dan memperlemah kedudukan lembaga keagamaan. Tindakan semena-mena rezim Syah didukung oleh SAVAK sebuah dinas polisi rahasia yang kejam. Krisis politik terjadi di Iran ketika ratusan ribu orang turun kejalan dalam peringatan 10 Muharram18 di kota suci Syi’ah pada 1 Desember 1978
18
Memperingati kematian Imam Hussain di padang pasir Karbala (asy-Syura).
29
dengan tuntutan kepada Syah untuk mundur dari pemerintahan. Peringatan tersebut menjadi kerusuhan masal setelah tentara memblokir jalan-jalan dan menembaki para demonstran. Peristiwa berdarah itu memicu terjadinya pemogokan massal di seluruh Iran, yang menuntut Jendral Azhari dipecat karena kebrutalannya menembaki masyarakat yang tidak berdosa. Pada tanggal 11-12 Desember 1978, digelar demonstrasi nasional yang diikuti sekitar 3 juta orang di depan Avenue Syah (Istana tempat kerja Syah) menentang pemerintahan.19 Keesokan harinya Syah memerintahkan tentaranya untuk membubarkan massa dengan kekerasan. Perjuangan rakyat Iran berhasil memaksa mundur Jendral Azhari pada tanggal 31 Desember 1978. Kemudian Syah mengangkat Shapur Bahtiar sebagai Perdana Menteri. Diangkatnya Bahtiar, tidak meredakan demonstrasi rakyat Iran. Rakyat tetap menginginkan berakhirnya pemerintahan rezim Syah Pahlevi dan menginginkan Khomaeni menjadi pemimpin Iran. Akhirnya, pada 3 Februari 1979, menjadi hari yang bersejarah, Khomaeni mengumumkan pembentukan “Dewan Revolusi” dan meminta Bahtiar mengundurkan diri. Mundurnya Bahtiar dari Perdana Menteri, maka berakhirnya dinasti Pahlevi sekaligus tumbangnya kerajan Persi.20 C. Paradigma Pemikiran Ali Syari’ati Ali Syari’ati sebagai intelektual sekaligus ideolog Iran ternyata memiliki banyak paradigma dalam menyusun pemikirannya. Pemikiran
19
Sarbini, Islam di Tepian Revolusi, hlm. 133-134.
20
Sarbini, Islam di Tepian Revolusi, hlm. 133-134.
30
Syari’ati cenderung mengarah eklektisisme,21 tidak mentah-mentah mengambil pemikiran tanpa melakukan seleksi secara kritis. Selama tinggal di Paris, Ali Syari’ati bertemu dengan banyak orang yang mempengaruhi persepsinya mengenai kehidupan dan cara pandang dunia: dari militan, filsuf, akademisi, artis, penyair, musisi dan bahkan penjaga toko.22 Dengan sikap eklektiknya mampu memahami Iman Ali, Imam Hussain, Abu Dzar, Jean Paul Sartre, Frantz Fenon, massignon dan Karl Marx. Oleh karena itu, Syari’ati sering dikatakan banyak wajah, yang pada gilirannya membuat orang keliru memahaminya.23 Ali Syari’ati dalam kepribadiannya memiliki tiga karakter yang berbeda. Pertama, Ali Syari’ati seorang sosiolog yang tertarik pada dialektika antara teori dan praktik; antara ide dengan kekuatan-kekuatan sosial; antara kesadaran dan eksistensi kemanusiaan. Kedua, Ali Syari’ati seorang penganut Syi’ah yang fanatik yang percaya bahwa Syi’ah revolusioner berbeda dengan seluruh ideologi radikal lainnya. Ketiga, Ali Syari’ati seorang penceramah umum (public speaker) yang memukau banyak orang, terutama kaum muda.24 Karakter tersebut memperjelas bahwa pemikiran Ali Syari’ati memiliki paradigma yang multidimensi.
21 Eklektisme merupakan suatu sikap berfilsafat dengan seleksi, yakni dengan menyelaraskan apa yang benar dari beberapa filsuf sambil membuang ajaran-ajaran yang keliru. Eklektisme dapat mengarah pada sinkretisme apabila dalam meminjam ide-ide filosofis tersebut tidak melakukan pengujian terlebih dahulu serta tidak dilihat dalam konteksnya. Lorens Bangus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 182. 22
Ali Rahnema, Ali Syari’ati: Biografi Politik, hlm. 181.
23
Sarbini, Islam di Tepian Revolusi, hlm. 58.
24
Sarbini, Islam di Tepian Revolusi, hlm. 58.
31
Paradigma Marxisme banyak digunakan Syari’ati untuk menjelaskan perkembangan masyarakat. Perlawanan dan kritisisme terhadap kemapanan politik dan agama hampir seluruhnya didasarkan pada pendekatan dan analisis Marxisme meskipun Syari'ati memiliki sikap yang cenderung ambivalensi terhadap Marxisme. Di satu sisi Syari'ati datang sebagai pembela Marxisme namun disi lain membencinya. Salah satu pembelaannya terhadap Marxisme ialah dengan membantah anggapan bahwa Marx merupakan seorang materialis tulen yang memandang manusia sebagai makhluk yang tertarik kepada hal-hal bersifat materi. Menurut Syari’ati, Marx jauh dari materialistik ketimbang orang-orang idealis atau orang yang memandang diri orang beriman dan relegius.25 Melalui Jabr-e Tarikh, Syari’ati membedakan pemikiran Marx sebagai berikut: 1. Marx muda, sebagai seorang filosof atheistik yang mengembangkan materialisme dialektis, menolak eksistensi Tuhan, Jiwa, dan kehidupan akhirat. 2. Marx dewasa, seorang ilmuan sosial yang ingin membongkar kepalsuan tentang bangaimana penguasa maupun pemilik modal mengeksploitasi rakyat tanpa memikirkan kesejahteraan.
25
Sarbini, Islam di Tepian Revolusi, hlm. 59.
32
3. Marx tua, seorang politisi yang mendirikan partai komunis. Marx tua inilah yang dikritik Syari’ati sebagai “Marxisme Vulgar” yang mengaburkan Marxisme ilmiah.26 Dari ketiga fese pemikiran Marx, Syari’ati cenderung menerima yang kedua, yaitu gagasan Marx tentang perjuangan kelas. Syari’ati menerapkan pemikiran marxis dalam melihat persoalan dalam masyarakat. Masyarakat terbagi dalam kelas-kelas yang saling berkontradiksi, yaitu antara yang menindas dan tertindas. Pemikiran marxis juga terlihat dalam pandangan Syari’ati mengenai manusia dua dimensional yang terus berkontradiksi. Melalui pemikiran kritis, Syari’ati melakukan kritik terhadap agama statis (fatalisme) yaitu agama sebagai tradisi, ritual, simbol yang kaku yang dikondisikan oleh para pemimpin keagamaan. Doktrin agama yang kaku tersebut telah menciptakan suatu alienasi, yaitu dengan berlindung di balik eksistensi keyakinan agama dan upacara-upacara yang sama-sama dijalankan telah menciptakan suatu hubungan palsu antara yang diperas dan yang memeras.27 Syari’ati memandang bahwa agama semacam itu tidaklah revolusioner dalam menegakan keadilan dan pembelaan terhadap kaum tertindas. Ali Syari’ati menyatakan bahwa Islam yang benar adalah Islam yang diwariskan Imam Ali, Hussain serta Abu Dzar. Sebagai penganut mazhab Syi’ah, Syari'ati percaya bahwa Syi’ah-lah yang revolusioner dibandingkan
26
Sarbini, Islam di Tepian Revolusi, hlm. 60.
27
Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 42.
33
dengan Islam yang lain. Sejarah mazhab Syi’ah adalah sejarah semangat Islam, jiwa yang telah menjadi korban badannya sendiri.28 Ali Syari’ati memandang bahwa teks-teks dilihat sebagai bahasa simbolik yang selalu hidup dan memberikan pesan-pesan yang baru. Sehingga Syari’ati sering berbicara simbol, misalnya Syari'ati menyimbolkan perjuangan kelas sebagai konflik antara Qabil dengan Habil. Simbol Qabil sebagai kelas penindas sementara Habil sebagai kelas yang tertindas. Syari'ati juga menyimbolkakan penguasa tiran sebagai Fir’aun, orang yang memiliki kekayaan dan memiliki watak kikir sebagai Karun, serta orang cerdik-pandai religius gadungan sebagai Bal’am. Dalam konsep manusia yang “menjadi” (human becoming), Syari’ati banyak terpengaruhi oleh filsafat eksistensialisme. Syari'ati menaruh rasa kagum terhadap eksistensialisme yang berbicara tentang kebebasan manusia, dengan kesadaran diri dan kebebasan, manusia yang menjadi selalu bergerak maju menuju kesempurnaan. Syariati mengemukakan bahwa masalah manusia merupakan yang paling penting dari segala masalah.29 D. Tokoh-tokoh yang Mempengaruhi Ketika di Paris, Ali Syari’ati menghadiri kuliah-kuliah beberapa profesor, yang karena satu alasan atau yang lain, dia katakan sebagai seseorang yang menarik dan berguna.30 1. Louis Massignon 28
Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 65.
29
Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 3.
30
Ali Rahnema, Ali Syari’ati: Biografi Politik, hlm. 182.
34
Antara tahun 1960 dan 1962 Ali Syari’ati menjadi asisten Louis Massignon seorang peneliti Islamologis beragama katolik. Bagi Massignon, agama samawi merupakan anak dari ayah yang sama, yakni Ibrahim. Sehingga monoteisme adalah agama-agama Ibrahim, seperti Yahudi, Kristen, dan Islam, hanya terdapat perbedaan dalam landasan agamanya. Setiap agama memiliki keimanan yang menyatukan tujuan manusia seutuhnya. Massignon tetap mempertahankan pandangannya mengenai kesatuan agama-agama Ibrahim sampai pada batasan bahwa dia dianggap pecinta Islam dan mata-mata bagi Eropa dan Kristen.31 Massignon sangat mengutamakan perhatiannya terhadap kelompok miskin, ketertindasan, dan keadilan. Masignon berkeyakinan bahwa keadilan merupakan sebuah prinsip agama yang mendasar. Dan Syari’ati memiliki pemahaman yang sama terhadap agama Islam yang membahwa perubahan dan memiliki suatu prinsip keadilan. Dengan konsep monoteisme dari Massignon, Syari’ati menelurkan makna monoteisme menjadi agama yang memiliki satu tuhan (tauhid), agama yang dimaksud adalah Islam, sedangkan agama-agama yang memiliki kepercayaan ganda atau banyak disebut sebagai multiteisme atau Syirik dan Kufr.32 2. George Gurvitch George Gurvitch seseorang profesor sosiologi di Universitas Sorbonne. Selain sebagai profesor, Gurvitch juga termasuk sebagai seorang komunis muda yang merupakan kader Lenin dan Trotsky. Sehingga dalam 31
Ali Rahnema, Ali Syari’ati Biografi Politik, hlm. 185.
32
Khairul Azhar Saragih, Pandangan Ali Syari’ati, hlm. 41-42.
35
kuliahnya, Gurvitch selalu menerangkan kontruksi-kontruksi ideologi dunia dan pajang-lebar menerangkan tentang Marxisme. Meski bagi Gurvitch definisi kelas sosial yang dirumuskan Marx tidak sempurna karena hanya berdasarkan faktor ekonomi, sedangkan bagi Gurvitch definisi kelas harus lebih komprehensif dan memiliki karakter yang banyak bukan sekedar faktor ekonomi semata. Dalam hal lain, Gurvitch masih menggunakan kerangka metodologis umum dari Marx dan juga mengkritisi beberapa aspek kontruksinya.33 Dari Gurvitch-lah Syaria’ti belajar banyak tentang metodologi Marxisme. Syari’ati ingin menginterpretasi kembali pengetahuan yang telah diperoleh menurut persepsinya sendiri. Syari'ati berargumentasi bahwa kelas sosial merupakan dampak dari kondisi ekonomi dan material kehidupan sosial serta dampak keyakinan religius dan populer. Religius dan populer dalam model kelas sosial yang dilakukan Syari’ati dapat dipandang sebuah variasi konsep Gurvitch mengenai “psikologi sosial” dan “kekhususan budaya’.34 3. Jacques Berque Jaquer Berque adalah seorang Islamolog. Berque mengajarkan Ali Syari’ati tentang permasalahan agama yang tidak hanya dilihat dari normatifitasnya saja. Karena masalah tersebut bisa ditinjau dari perspektif sosiologisnya. Selain itu, konsep Berque tentang degree de signification (tingkat signifikansi), atau makna-makna yang nyata, membuat Syari’ati 33
Khairul Azhar Saragih, Pandangan Ali Syari’ati, hlm. 41-42.
34
Ali Rahnema, Ali Syari’ati Biografi Politik, hlm. 189.
36
lebih radikal mereintrepretasikan konsep–konsep yang terdapat dalam ajaran Islam. Bagi Bebrque, kata-kata bisa membuat orang tertidur, maka perlulah menginterpretasikan
ulang
agar
makna
dalam
kata-kata
bisa
ditransformasikan dari sebuah instrumen pasif menjadi instrumen yang massif menuju perubahan sosial yang terarah. Dalam hal lain, dia memberikan interpretasi ulang dalam kosa-kata setiap muslim, yang selama ini telah meninabobokkan umat muslim dan berupaya untuk membangunkan dari tidurnya, agar ia sadar terhadap permasalahan yang ia hadapi. Kata-kata yang selama ini yang menimbulkan kemalasan dengan konsep intidzor, atau menunggu Imam Mahdi secara pasif, diubah menjadi makna menunggu secara massif. Begitu juga dengan kata-kata dan konsep yang semakna dengan penyerahan, fatalisme, kesalehan
pribadi
dalam
doktrin
penganut
Syi’ah
Iran,
tiba-tiba
ditransformasikan kedalam konsep aksi yang dinamis dan berkekuatan.35 Dengan itulah, dari Jacques Berque, Ali Syari’ati menyerap wawasan sosiologi Islam. 4. Frantz Fanon Dalam kata pengantar untuk bukunya The Wretched of The Earth, Sartre mengatakan: “.... Fanon adalah orang pertama setelah Engels yang menerangkan proses sejarah dengan sangat terang benderang. Sartre mengibaratkan karya Fenon tersebut sebagai bom yang dipersiapkan oleh seorang manusia dari Dunia Ketiga- seorang yang berbicara tanpa izin kita, tanpa aturan-aturan kita, dan tanpa suara slogan-slogan kita. Namun kini dia berbicara, dan kita diam membisu. Alangkah hebatnya bahasa yang ia gunakan!. Ia membangkitkan rakyatnya melawan kita. (“Kaum 35
Ali Rahnema, Ali Syari’ati Biografi Politik, hlm. 192.
37
pribumi dan seluruh negara terbelakang, bersatulah!”). Fenon adalah pembuat bom ini, tetapi biarlah saya yang meledakannya di jantungnya abad yang kotor, memuakan, malang, dan korup - di jantungnya kota ini (Paris) sehingga dengan musnahnya jatung ini dunia dapat memperoleh kembali kebebasan dan kemanusiaannya!”.36
Pada saat bergejolaknya permasalahan di negara Aljazair, Fanon aktif dalam revolusi tersebut. Semangat dan pemikiran cemerlang Fanon merupakan landasan inspirasi bagi Syari’ati. Syari’ati mengatakan bahwa dibawah pengaruh pemimpin yang memiliki jiwa pioner seperti Fanon, telah memunculkan gerakan untuk “kembali kepada diri sendiri”37 melawan dominasi budaya Barat. 5. Jean-Paul Sartre Konsep Sartre mengenai kebebasan kebebasan manusia yang menimbulkan tanggung jawab untuk bangkit melawan segala bentuk penindasan dan menjadikan bagian yang integral dari diskursus dan ideologi baginya. Di Eropa dengan sistem kapitalisme yang berdampak pada pembatasan terhadap potensi manusia, Satre hadir dan membawa gelombang suara pembrotakan terhadapnya. Syari’ati mengatakan bahwa masyarakat Barat pada umumnya membutuhkan revolusi gaya Sartre dalam membebaskan manusia dari nafsu konsumerisme dan perilaku hedonistis.38 Maka Syari’ati kagum terhadap konsep eksistensialisme yang di
36
Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 102.
37
Semboyan yang sering kemukakan oleh banyak intelektual Afrika adalah sebagai berikut: “Kembali kepada diri sendiri dan bersadar kepada tradisi bangsa dan sejarah.” Inilah cara untuk melawan dunia Barat yang menganggap ras kulit hitam menyatu dengan ketidakkreatifan budaya dan yang tidak pernah menjadi pencipta bagi kebudayaannya sendiri. lihat catatan kaki: Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hal. 92. 38
Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 33.
38
ungkangkan oleh Sartre. Ia begitu menghormati Sartre sebagai manusia yang tercerahkan. Syari’ati mengemukakan bahwa Sartre, yang filsafat dan kepribadianya sangat dihormati tidak akan dikecam berdasarkan keyakinan ideologinya sendiri.39 Sebagai tokoh yang kontroversial, Syari'ati tidak sepenuhnya meniru konsep eksistensialisme gaya Sartre. Syari'ati mengangap pandangan Sartre masih berdasarkan materialisme dan ateis meski terdapat kebebasan. Syari’ati beranggapan eksistensialisme tersebut akan gagal untuk mencapai tujuannya
untuk
kesejahteraan
masyarakatnya
sehingga
Syari'ati
merekonsiliasikan konsep eksistenislisme yang di dalamnya terdapat keimanan kepada Tuhan, agar adanya arahan moral dan etika untuk tindakan individu yang bebas dan memiliki kesadaran.40 E. Karya-karya Ali Syari’ati Mengenal seorang Intelektual Muslim progresif seperti Ali Syari’ati belumlah cukup memadai dengan mempelajari dan membaca biografinya. Untuk mengenal lebih jauh tentang sosok Syari’ati, perlulah menganalisis karya-karya dan buah pikirannya yang bermanfaat sebagai bahan refleksi sosial kehidupan masyarakatnya. Di samping karyanya yang sangat banyak baik dalam bentuk tulisan maupun hasil ceramah, karya Syari’ati termasuk karya serius yang memerlukan analisis tajam untuk dapat mencapai pemahaman sebagaimana yang dikehendaki peneliti sendiri. Di bawah ini, beberapa karya Syari’ati yang peneliti uraikan secara singkat. 39
Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 33.
40
Ali Rahnema, Ali Syari’ati Biografi Politik, hal. 194.
39
Abu Dzar: Suara Parau Menentang Penindasan, sebuah karya biografi seorang pencari kebenaran, pembela hak-hak kaum tertindas, organiser kaum jelata untuk berjuang melawan tirani, para pemuja uang dan para aristokrat. Syari’ati hendak menciptakan simbol perjuangan kaum tertindas dalam tradisi Islam. Abu Dzar seorang muslim yang revolusioner yang memiliki garis utama perjuangannya yaitu perjuangan melawan diskriminasi golongan dan menegakan keadilan.41 Agama versus Agama, sebuah karya yang yang berani untuk menjelaskan bahwa sepanjang sejarah, agama selalu berperang dengan agama. Yakni, monoteisme sebagai agama yang percaya bahwa Tuhan itu Esa berjuang melawan multiteisme yang meyakini bahwa banyak Tuhan. Syari’ati dengan persepktif sosiologis, menyatakan bahwa agama multiteisme menyakini Tuhan itu harus banyak sehingga banyak pula golongan dalam masyarakat. Multeisme memiliki misi membuat rakyat bersikap fatalis sehingga ketika ia menjadi golongan miskin, ia menerimanya dengan sepenuh hati. Berbeda dengan agama multiteisme, monoteisme mengumandangkan bahwa Tuhan adalah pendukung orang-orang yang tertindas dan tertekan.42 Tugas Cendikiawan Muslim, karya ini merupakan rujukan utama dalam penelitian. Pembicaraan seputar manusia dan persoalannya mengisi bab-bab dalam karya ini. Diantaranya bab mengenai manusia dan Islam yang menjelaskan manusia sebagai makhluk dua dimensional. Manusia dua 41
Ali Syari’ati, Abu Dzar: Suara Parau Menentang Penindasan, cet. I (Bandar Lampung: Penerbit YAPI, 1987), hlm. 39. 42
Ali Syari’ati, Agama versus Agama, cet. I, terj. Afif Muhammad dan Abdul Syukur (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), hlm. 39.
40
dimensional memiliki dua kutub dan kecendrungan yang saling berlawanan, yang satu membawa ke arah kehinanan dan satunya membawa kearah kebaikan. Di sinilah letak kebebasan manusia, dalam arti bebas memilih ke mana akan bergerak. Pada bab lain, Ali Syari’ati menjelaskan bahwa untuk menjadi manusia yang bebas ternyata membutuhkan perjuang melepaskan diri dari pelbagai penjara manusia. Untuk terbebas dari penjara manusia, manusia harus memiliki ideologi (Islam). Karya ini ditutup dengan peran intelektual dalam masyarakat, bahwa kaum inteltual harus memiliki tanggung jawab sosial, membangkitkan dan membangunkan kesadaran masyarakat yang tertindas. Membangun Masa Depan Islam, karya ini memuat dua pertanyaan besar dalam strategi sosial untuk membebaskan masyarakat dari pengaruh dominan tata sosial dan status quo. Yakni pertanyaan “dari mana kita mesti mulai dan apa yang harus dilakukan?”. Syari’ati mengemukakan bahwa untuk membebasakan dan membimbing rakyat harus dimulai dengan “agama” (gerakan pembaharuan Islam). Kemudian yang harus dilakuakan adalah revolusi intelektual dan kebangkitan kembali Islam, suatu gerakan budaya dan ideologis yang berdasarkan atas landasan-landasan terdalam dari keyakinan. Karya Ali Syari’ati juga telah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Diantaranya karya-karyanya ialah: 1.
Abu Dzar: Suara Parau Menentang Penindasan, Bandar Lampung: Penerbit YAPI, 1987.
41
2.
Agama Versus Agama, terj. Afif Muhammad dan Abdul Syukur, Bamdung: Pustaka Hidayah, 1994.
3.
Tugas Cendekiawan Muslim, terj. Amien Rais, Yogyakarta: Shalahuddin Press, t.t.
4.
Membangun Masa Depan Islam, terj. Rahmani Astuti, Bandung: Mizan, 1989.
5.
Haji, terj. Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka, 1997.
6.
Islam Agama Protes, terj. Satrio Pinandito, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996.
7.
Pemimpin Mustad’afin, Sejarah Panjang Melawan Penindasan dan Kezaliman, Bandung: Muthahhari Paperbacks, 2001.
8.
Kritik Islam atas Marxisme dan Sesat Pikir Barat Lainnya, Husain Anis Al-Habsy, Bandung: Mizan, 1989.
9.
Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, terj. Nasrullah dan Afif Muhammad, Bandung: Mizan, 1995.
10. Ideologi Kaum Intelektual: Suatu Wawasan Islam, terj. Syafiq Basri dan Haidar baqir, Bandung: Mizan, 1992. 11. Peran Cendekiawan Muslim, Mencari Masa Depan Kemanusiaan, Sebuah Wacana Sosiologis, Tim Jama’ah Shalahuddin, Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1985. 12. Humanisme Antara Islam dan Mazhab Barat, terj. Afif Muhammad, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996.
42
13. Ummah dan Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis, terj. Afif Muhammad, Bandung: Pustaka Hidayah. 1995. 14. Tentang Sosiologi Islam, terj. Saifullah Muhyudin, Yogyakarta: Ananda, 1982. 15. Fatimah Az-Zahra: Pribadi Agung Putri Rasulullah SAW, terj. Muhammad Hashem Assegaf, Jakarta: Yayasan Fatimah, 2001. 16. Panji Syahadah, Tafsir Baru Islam: Sebuah Pandangan Sosiologis, Tim Shalahuddin, Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1986. 17. Rasulullah SAW, Sejak Hijrah Hingga Wafat: Tinjauan Kritis Sejarah Nabi Periode Madinah, terj. Nasrullah, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996. 18. Do’a Sejak Ali Zainal Abidin Hingga Alexis Carrel, terj. Husain Anis AlHabsy, Bandung: Pustaka Hidayah, 1995. []
43
BAB III MANUSIA MENURUT ALI SYARI’ATI
A. Kategori Manuisia Pada umumnya, manusia sebagai pribadi memiliki dua unsur yang esensial, yaitu ruh dan badan. Secara sistematis pandangan-pandangan demikian memang telah ada semenjak zaman Yunani klasik, sampai kemudian diadopsi oleh para pemikir muslim Arab. Tentu saja konsep manusia yang mereka paparkan merupakan usaha menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan manusia. Ajaran-ajaran filsafat Yunani klasik, terutama Aristotelianisme, Platonisme dan Neo-platonisme oleh para filosof muslim dikembangkan sedemikian rupa guna menjelaskan konsep-konsep dasar Islam, seperti: hakikat manusia, asal manusia, tubuh, ruh dan sebagainya. Seperti halnya Ibnu ‘Arabi (1165-1240) yang terkenal dengan konsep insa>n kamil, dimana manusia mencankup dua salinan, yakni salinan lahir dan salinan batin.1 Menurutnya perpaduan dari dua substansi (Tuhan dan citra alam semesta) tersebut melekat pada Adam. Ali Syari’ati telah mencurahkan segala usaha dan pikirannya untuk memahami apa dan bagaimana manusia. Sebagai seorang muslim, tentu pemikirannya tidak terlepas dari paradigma Islam sehingga ketika mengkaji manusia Syari’ati beranjak dari teks (al-Qur’an) mengenai penciptaan manusia. Syari’ati menambahkan bahwa semua ajaran yang terdapat dalam kitab suci 1
Mesataka Takeshita, Insan Kamil; Pandangan Ibnu ‘Arabi, terj. Harir Muzakki, (Surabaya: Risalah Gusti, 2005), hlm. 55.
44
(al-Qur’an) dan suhuf Ibrahim tertulis dalam bahasa simbolik, suatu komunikasi yang menyatakan maknanya lewat simbol-simbol dan imaji. Muhammad Iqbal dalam bukunya, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, menjelaskan bahwa Adam merupakan sebuah konsep dan bukan manusia pertama.2 Kejatuhan Adam dari surga mereupaka era kebangkitan manusia, yakni kebangkitan dari keadaan primitif secara naluriah menuju ke pemikiran sadar tentang diri manusia.3 Artinya, pendapat Iqbal mengenai sosok Adam merupakan simbol tentang kebangkitan manusia sebagai makhluk bebas dan kreatif. Seperti halnya Iqbal, Syari’ati beranggapan bahwa pemeluk suatu keyakinan tidak terbatas pada suatu generasi, sehingga bahasa yang digunakan untuk menyampaikan pesan-pesannya harus memakai bahasa simbolik yang tidak akan pernah kehabisan makna. Penciptaan Adam sebagai manusia pertama juga memiliki makna simbolik, karena hingga sekarang kisahnya tetap memiliki nilia (value). Syari’ati mempunyai beberapa kategori seputar konsep manusia, yaitu: khalifah, manusia dua dimensional, insan dan manuisa tercerahkan. Keempatnya memiliki makna berbeda namun saling berhubungan satu sama lain. 1. Khalifah Ali
Syari’ati
mengajukan
pertanyaan
“bagaimanakah
Islam
memandang penciptaan Adam” dalam usahanya mendefinisikan manusia.
2 Muchasin, Asal Usul Manusia Sebuah Pengantar dalam Muhammad Muhyidin, Asal Usul Manusia (Yogyakarta: IRCiSoD, 2006), hlm. 15. 3
Muhammad Muhyidin, Asal Usul Manusia (Yogyakarta: IRCiSoD, 2006), hlm. 130.
45
Menurut Syari’ati, Islam menempatkan posisi manusia sebagai makhluk yang sempurna dibandingkan makhluk yang lain, manusia merupakan makhluk paling superior diantara makhluk-makhluk ciptaan Tuhan.4 Sifat superior tersebut dibuktikan dengan terplihnya Adam sebagai khalifah di bumi, dan sesungguhnya manusia dihimbau agar “menyesuaikan sifatnya dengan sifat-sifat Tuhan”.5 Tuhan telah memberikan pengetahuan kepada manusia yang tidak diberikan kepada malaikan maupun setan agar menyesuaikan diri dengan Tuhan Yang Maha Tahu. Dengan ilmu pengetahuan manusia memperoleh kesadaran-diri, posisi manusia di alam semesta, dan filsafat –yakni, penyelidikan terhadap hakekat pokok dari realitas. Oleh karena itu hanya manusia yang berilmu –berpengetahuan yang mengetahui keagungan Tuhan. Pengetahuan pertama dari “Guru Pertama” (Tuhan) bagi manusia, yakni ketika Tuhan mengajarkan kepada Adam mengenai nama-nama benda. Syari’ati
menyatakan
bahwa pengetahuan menjadi
sumber
keunggulan unik manusia.6 Sebagaimana yang dikatakan oleh Musa Asy’arie: “nama-nama benda adalah konsep-konsep mengenai benda dan konsep-konsep itu merupakan produk dari kegiatan kefilsafatan.”7 Dikatakan unik karena manusia dengan pengetahuan berpotensi mengenal 4
Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 9.
5
Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm.59.
6
Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm.10.
7
Musa Asy’arie, “Filsafat Islam Suatu Tinjauan Ontologis” dalam Irma Fatimah (ed.), Filsafat Islam Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prospektif (Yogyakarta: LESFI, 1992), hlm. 20.
46
Tuhan lebih dalam –Charris Zubair mengutip Hamdani untuk menjalaskan hal itu; Fitra rasio, berfungsi sebagai instrumen insan di dalam mengembangkan dan memelihara hak-hak Allah, memberikan pertimbangan-pertimbangan konstruktif dalam menyesejahterakan ciptaan-ciptaan Allah di alam semesta. Memikirkan serta merenungkannya secara seksama betapa besar dan agung-nya yang sempurna, indah dan agung. Sempurna mengandung segala ilmu dan pengetahuan yang berasal dari sifat kamal-Nya; mengandung aneka keindahan yang berasal dari sifat jamal-Nya; serta mengandung kebesaran yang tidak terhingga, yang berasal dari sifat jalalNya.8
Pengetahuan tersebut diperoleh dari persepsi-persepsi yang didapat sepanjang hidup manusia melalui indera maupun pengalaman yang diperoleh dan dikumpulkan oleh akal. Dan selanjutnya, manusia kemudian tampil sebagai pemberi nama bagi dunianya sendiri. Ilmu pengetahuan dibutuhkan bagi manusia tidak lain untuk menopang peradaban dan kebudayaannya. Tuhan telah memberi amanat kepada manusia untuk mengelola dan memberdayakan alam untuk mencari tahu tentang hukumhukum alam semesta dan kebenaran umunya yang berlaku di dunia serta mensejahterakan umat manusia –dengan melakukan semua itu –manusia semakin dekat dengan Tuhan. Syari’ati menyatakan bahwa: “dalam memilih manusia sebagai penggantiNya di atas bumi, Tuhan menganugrahkan status spiritual tertinggi bagi manusia dan dengan demikian mempercayakan padanya suatu misi suci di alam raya ini.”9
8
A. Charris Zubair,Aktualitas Filsafat Islam Di Masa Kini Dan Masa Depan, dalam Irma Fatimah (ed.), Filsafat Islam Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prospektif (Yogyakarta: LESFI, 1992), hlm. 112. 9
Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim,hlm. 6-7.
47
Islam tidak menggolongkan manusia dalam kelompok binatang (animal)
yang
tidak
memiliki
pengetahuan,
selama
manusia
mempergunakan akalnya. Namun sebaliknya, apabila manusia tidak mampu mempergunakan akal dan berbagai potensi pemberian Tuhan dengan optimal, secara otomatis derajatnya turun menjadi hewan bahkan lebih rendah dengan darinya. Karunia intelektual inilah yang menempatkan manusia sebagai makhluk sempurna dibandingkan makhluk yang lain termasuk para malaikat. Karena kecerdasan intelektual manusia, Tuhan memerintahkan kepada seluruh malaikat untuk sujud kepadanya. Sujudnya para malaikat di hadapan Adam membuktikan bahwa dalam pandangan Islam keluhuran esensial manusia dan keunggulannya atas para malaikat terletak pada ilmu pengetahuan, bukan pada pertimbangan rasial. Hal inilah yang menurut Ali Syari’ati merupakan arti sebenarnya dari humanisme.10 2. Manusia Dua Dimensional Dalam Islam, penciptaan Adam dimulai ketika Tuhan menyatakan kepada para malaikat bahwa Dia ingin menciptakan wakil-Nya di muka bumi. Kebijakan Tuhan menempatkan manusia sebagai makhluk superior 10
Menurut Lorens Bangus dalam “Kamus Filsafat”, Humanisme mempunyai arti: a) menganggap individu rasional sebagai nilai paling tinggi; b) menganggap individu sebagai nilai terakhir bagi manusia; c) mengabdi terhadap perkembangan kreatif dan perkembangan moral individu secara rasional tanpa berpacu pada konsep-konsep adikodrati. Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2000), hlm. 295. Sementara menurut Syari'ati sendiri, humanisme ialah aliran filsafat yang menyatakan bahwa tujuan pokok yang dimiliki manusia ialah keselamatan dan kesempurnaan hidup. Humanisme mendasarkan prinsip-prinsipnya atas pemenuhan kebutuhan pokok hidup manusia. Dewasa ini, lanjut Syari'ati, terdapat empat cabang dalam humanisme, yaitu: Liberalisme Barat, Marxisme, Eksistensialisme dan Agama. Ali Syari'ati, Humanisme antara Islam dan Mazhab Barat, terj. Afif Muhammad (Bandung: Pustaka Hidayah, 1992), hlm. 39. Lebih lanjur Syari'ati menyatakan bahwa alasan kuat mengapa agama termasuk dalam kategori humanisme, pasalnya agama telah “memberi petunjuk terhadap manusia menuju kebahagiaan abadi. Dengan demikian agama terbukti memiliki falsafah tersendiri mengenai manusia. Ali Syari'ati, Humanisme antara Islam, hlm. 44.
48
diantara ciptaan-Nya, yang kemudian membuat para malaikat bertanya apakah Tuhan akan menciptakan makhluk yang akan menumpahkan darah, berbuat kejahatan, menyebarkan kebencian dan balas dendam. Namun Tuhan mengatakan bahwa Ia lebih mengetahui apa-apa yang mereka tidak ketahui. Kemudian Tuhan mulai menciptakan manusia dari bentuk yang paling rendah yaitu tanah liat dan kemudian Ia tiupkan sebagian ruh-Nya sendiri sebagai bentuk yang paling tinggi. Dengan kata lain, manusia terdiri atas dua hakikat, yaitu material dan spiritual. Setidaknya ada tiga referensi yang dikutip oleh Syari’ati dalam kitab suci al-Qur’an untuk menunjukan desain penciptaan manusia, yaitu sebagai berikut: “Kami telah menciptakanmu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari sekepal daging, yang sempurna kejadiannya atau yang tidak sempurna kejadiannya, agar Kami dapat menerangkan kekuasaan Kami padamu” (Qur’an, XXII: 5). “Bukankah Kami telah menjadikanmu dari air yang hina? Dan meletakannya di tempat penyimpanan yang teguh?” (Qur’an, LXXVII: 20). “Dialah yang telah menyempurnakan segala sesuatu yang diciptakannya dan ia telah memulai pembuatan manusia dari tanah, kemudian ia jadikan turunan (manusia) itu dari air mani, kemudian ia sempurnakan kejadiannya dan ia tiupkan padanya sebagian dari ruh (spirit)Nya ... ”(Qur’an, XXXII: 7).11
Syari’ati hendak menyelusuri misteri manusia melalui pendekatan simbolik. Analisis Syari’ati terhadap teks menunjukkan bahwa penciptaan manusia sebagai wakil-Nya dari tanah yang merupakan bentuk yang paling rendah, kotor dan hina. Sedangkan sebagian ruh Tuhan yang ditiupkan merupakan Spirit Maha Sempurna, paling suci diantara seluruh entitas yang ada dalam alam semesta. Dengan demikian manusia memiliki dua hakikat 11
Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim,hlm. 7.
49
yang berbeda, yaitu tanah liat dan ruh Tuhan. Dua hakikat tersebut memiliki dimensi yang berbeda dan cenderung saling bertentangan. Kemudian Syari’ati menyimpulkan bahwa manusia merupakan makhluk
dua
dimensional yang memiliki dua arah dan kecendungan –yang satu membawa ke hakikat yang rendah –dimana seluruh dorongan dan gerak kehidupan yang membeku. Tetapi dimensi spiritualnya, cenderung naik ke puncak spiritual tertinggi, yaitu ke Dzat Yang Maha Suci.12 Gabungan dua kutub ini berpadu dalam ke-diri-an makhluk yang bernama manusia, yaitu kutub yang satu dipertentangkan dengan kutub yang lain. Syari’ati dalam memunculkan gagasan mansuia dua dimensional, ia menggunakan metode dialektika13 yang segala sesuatu terdapat hukum kontradiksi sebagai titik sentralnya. Syari’ati berpandangan bahwa karena selalu ada pertentantang diantara dua kutub, maka manusia dua dimensional memiliki potensi terjatuh pada lubang kehinaan atau menuju kearah kemuliaan. Di sinilah terlihat bahwa manusia dua dimensional memiliki kebebasan dalam memilih kutub mana yang akan dituju. Kebebasan ini juga yang membedakan manusia dengan makhluk-makhluk yang lain dan kebebasan inilah pula yang akan menentukan masa depan manusia. Ali Syari’ati mengungkapkan sebagai berikut:
12
13
Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim,hlm. 8.
Dalam logika klasik, dialektika berarti suatu metode diskusi dan cara berdebat yang didalamnya ide-ide kontadiktif dan pandangan-pandangan yang bertentangan dilontarkan. Dalam dialektika modern menjadi suatu metode untuk menerangkan realitas dan hukum umum alam yang berlaku di pelbagai realitas dan macam-macam eksistensi. Lihat dalam Baqir ash-Shadar, Filsafatuna, cei. II, terj. Nur Mufid (Bandung: Penerbit Mizan, 1992), hlm. 149.
50
Pada hakekatnya dua kutub itu memungkinkan untuk memiliki kebebasan memilih antara dua pilihan, yaitu antar kutub suci dan kutub kehinaan, yang keduanya berada dalam dirinya, dengan kekuatan potensial yang mengubah dan kekuatan yang menarik. Perjuangan tanpa henti, perjuangan dan perperangan terus-menerus yang dilakuakan oleh kedua kutub itu dalam diri manusia akhirnya akan memaksa manusia untuk memilih salah satu kutub tersebut dan pilihan inilah yang akan menentukan nasibnya. 14
Setiap pilihannya merupakan cermin kebebasan yang akan menentukan nasibnya sendiri. Dengan demikian kata “bebas” menunjuk kepada manusia sendiri yang mempunyai kemungkinan untuk memberi arah dan isi kepada perbuatannya. Manusia dua dimensional merupakan makhluk yang memiliki kehendak bebas dan kemampuan menentukan pilihan dan menciptakan masa depan sebagai usaha menentang nasib yang ditentukan oleh alam. Dalam konsep manusia dua dimensional ini, Syari’ati lebih dekat dengan aliran dualisme. Dualisme memandang bahwa kenyataan sejati merupakan perpaduan antara materi dan ruh. Yang menarik adalah Syari’ati memposisikan dua substansi tersebut selalu dalam keadaan berdialektika – salaing berkontradiksi, saling menegasikan sehingga memunculkan suatu kualitas. Kualitas inilah yang disebut Syari’ati sebagai kebebasan. 3. Insa>n Ali Syari'ati membagi manusia menjadi basya>r dan insa>n. Dalam cerita fiksi, Syari’ati memberi gambaran menarik tentang basya>r. Dalam cerita itu disebutkan sarjana dari bumi datang ke planet Mars dan mengikuti seminar profesor tentang hasil penelitian di bumi. Diktakan oleh profesor Mars bahwa manusia merupakan makhluk yang sangat aneh, ia sangat 14
Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim,hlm 8.
51
kejam, dan gemar berperang. Mengenai makanan, manusia memakan makanan enak dan segar, ketika sakit ia mendatangi dokter. Menurut Ali Syari’ati, walaupun gambaran terlihat nista, tetapi ini adalah gambaran atau definisi sebenarnya dari basya>r.15 Konsep basya>r nampaknya memiliki kesamaan dengan konsep being-in-itself (ada-dalam-dirinya), dalam filsafat eksistensialisme Jean-Paul Sartre. Sartre menyebutkan being-in-itself tidak mempunyai masa silam, masa depan, tidak mempunyai kemungkinan ataupun tujuan. Dengan demikian being-in-itself merupakan sesuatu yang serba tak berarti apa-apa dan serba sia-sia dalam dirinya sendiri.16 Being-in-itself sebagaimana basya>r tidak akan mengalami perubahan, seperti benda yang tidak memiliki kehendak dan kebebasan. Artinya, basya>r memiliki definisi yang sama sepanjang sejarah yaitu memiliki karakteristik dan perilaku yang sama, tidak berkembang dan tidak mengalami kemajuan secara kualitatif. Syari’ati mengemukakan pendapatnya sebagai sebagai gambararan perilaku basya>r, sebagai berikut: Dewasa ini kejahatan, kepalsuan, kelancungan, pembunuhan sadisme dan kekejaman di muka bumi tidak saja sama, tetapi malahan lebih banyak dari masa lampau. Semua ini kelihatannya merupakan pengejawantahan basyar pada bentuk yang sudah begitu pasti, makhluk manusia dalam dimensi fisisnya yang tidak berubah-ubah.17
15
Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 66-67.
16 Dwi Siswanto, Humanisme Eksistensial Jean-Paul Sartre, (Yogyakarta: Philosophy Press, 2001), hlm. 40. 17
Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 68.
52
Sementara dimensi insa>n didefinisikan sebagai kualitas-kualitas ideal dan luhur. Kemudian untuk mencapai kualitas ideal ini manusia senantiasa harus
“men-jadi”
(becoming)
yang
terus
bergerak
maju
menuju
kesempurnaan. Syari’ati menjelaskan bahwa tidak semua manusia adalah
insa>n, walaupun dalam batas tertentu mereka memiliki potensi menginsa>n.18 Ali Syari’ati menjalaskan gagasan men-jadi sebagai proses evolusi dengan menafsirkan kata “illahi” yang membedakan dengan tafsiran sufisme: Dalam ayat Qur’an “bahwa segalanya sesuatu kembali ke asalnya”, azas men-jadi ini menunjukan evolusi tanpa henti dari manusia ke arah Yang Tanpa Batas. Kata “illahi” pada asalnya berarti kepadaNya, bukan di dalam-Nya. Dan ini adalah gagasan pokok saya tentang men-jadi: yakni bergeraknya manusia secara permanen ke arah Tuhan, ke arah kesempurnaan Ideal. Sedangkan sufisme yang menafsirkan illahi sebagai di dalamNya, menyatakan bahwa manusia dapat menjangkau Tuhan, sebagaimana di teriakan oleh Hallaj: “Saya Kebenaran”. Sufisme nampaknya memandang Tuhan sebagai suatu titik yang pasti, suatu wilayah tertentu, di mana kaum sufi merindukan dan berusaha menyatu.19
Menurut Syari'ati, insa>n merupakan kebalikan dari basya>r, yakni manusia yang menggugat takdirnya sebagai manusia. Konsep insa>n menurut Syari'ati, merupakan cara beradanya manusia (eksistensi) di muka bumi.
Insa>n dalam istilah Sartre adalah being-for-itself –yang menunjuk cara beradanya manusia atau eksistensi manusia di muka bumi –ada yang berkesadaran.20 Lebih lanjut Sartre menjelaskan, bahwa sadar-diri yang demikian itu mengandung arti bahwa ia telah meniadakan dirinya sendiri,
18
Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 64.
19
Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 68-69.
20
Dwi Siswanto, Humanisme Eksistensial Jean-Paul Sartre, hlm. 41.
53
sebab ia telah bergerak menuju kemungkinan lain dari dirinya.21 Sehingga eksistensi manusia harus di isi dengan esensi melalui proses perkembangan dari "being" (basya>r) ke "becoming" (insa>n). Pasalnya dengan berkesadaran, manusia memiliki kehendak dan kebebasan dalam menentukan pilihan serta terus bergerak aktif sebagai makhluk yang “men-jadi”. Dimensi manusia “men-jadi” yang menegasikan adanya “basya>r” –dengan memiliki tiga sifat (atribut) yang melekat dan saling berkaitan satu sama lain, ketiga atribut tersebut ialah: kesadaran diri, kemauan bebas dan kreativitas (daya cipta). Berikut ini penjelasan singkat Syari’ati mengenai ketiga atribut insa>n, yakni: a. Kesadaran Diri Ali Syari’ati menampilkan tiga formula untuk menunjukan kesadaran diri pada manusia. Pertama, gagasan Descartes tentang cogito ergo sum (saya berfikir, karena itu aku ada) yang mendasarkan prinsip kesadaran pada pikiran. Kedua, gagasan Ander Gide yang mendasarkan azas kesadaran pada perasaan: “saya merasa, karena itu saya ada”. Kemudian konsep yang terakhir yang mendasarkan pada prinsip kesadaran, Ali Syari’ati menunjukan gagasan Albert Camus: “saya memberontak, karena itu saya ada”. Menurut Syari’ati, formula dari Albert Camus telah memperlihatkan proses men-jadi secara dramatis.22 Dengan membrontak, manusia ingin menyatakan bahwa dirinya ada (eksis) dan berbeda dengan makhluk lain yang statis. Lebih lanjut, 21 22
Dwi Siswanto, Humanisme Eksistensial, hlm. 40. Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 69-70.
54
Syari’ati menjelaskan definisi tentang kesadaran sebagai berikut: “manusia adalah satu-satunya makhluk di dalam alam yang telah meraih kesadaran. Kesadaran itu adalah pengalamannya tentang kualitas dan esensi dirinya, dunia dan hubungan dengan dirinya dengan dunia dan alam.”23 Ali Syari’ati berpendapat bahwa hanya manusialah yang berpotensi memiliki kesadaran diri. Hanya manusia sendiri yang mampu menyelami esensi dari mana mereka berasal. Manusia mampu memahami realitas dunia dan hubungan antara keduanya. Dengan kesadaran ini, telah membawa proses evolutif manusia dari tingkat terendah menuju spritual yang tinggi. Syari’ati menyebutkan bahwa kesadaran diri dengan demikian adalah ciri pertama manusia yang memungkinkannya pergi melampaui insting hewaniahnya.24 b. Kehendak Bebas Untuk menjelaskan bahwa manusia memiliki kebebasan, Syari’ati mengambil peristiwa kejatuhan Adam di bumi. Keutamaan Adam yang membedakan dengan makhluk lain adalah kebebsasan dan iradahnya. Adam merupakan satu-satunya makhluk yang dapat melawan dorongan insting, memberontak sebuah ketetapan dan mampu memilih apa pun yang ia inginkan. Kemudian Syari’ati mengatakan bahwa: Adam adalah satu-satunya malaikat yang dapat melakukan “dosa” dan “bertaubat”; ia dapat “membrontak” atau “patuh” kepada Allah. Di 23
Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 71-72.
24
Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 72.
55
dalam hal ini “membrontak” berarti memiliki kebebasan, termasuk kebebasan untuk mengambil keputusan-keputusan yang bertentangan dengan kehendak Allah. Bersamaan dengan kebebasan itu ia pun memiliki rasa “tanggung jawab” dan “kesadaran”.25
Kejatuahan Adam di bumi merupakan era baru kebangkitan manusia, Syari’ati sependapat dengan Maulana al-Din Rumi, bahwa manusia memiliki kehendak bebas (free will).26 Yakni ketika Tuhan menawarakan kepada seluruh makhluk siapakah yang sanggup mengemban amanat-Nya, seluruh makhluk terdiam dan mengatakan tidak sanggug hanya manusia saja yang sanggup mengembannya. Sifat kehendak bebas Tuhan mengalir pada diri manusia, yaitu kemauan dan keberanian yang agung dari manusia dalam mengemban amanat Tuhan. Kehendak bebas yang dimiliki manusia itulah yang dapat menjadi potensi penghubung kedekatannya kepada Tuhan, tetapi pada saat yang lain dapat terjerembab dalam lembah yang hina. Kebebasan bagi manusia memiliki fungsi signifikan, yakni untuk memilih jalan hidup, baik jalan Tuhan maupun jalan setan. Sejatinya kebebasan merupakan wujud dari tidak adanya paksaan dari pihak di luar dirinya dan berhak untuk memilih mana yang ia kehendaki. Manusia dalam menuju proses men-jadi, kebebasan merupakan suatu keharusan. Dengan demikian kebebasan merupakan kegiatan aktif dalam menentukan dan memberi arah pada masa
25
Ali Syari’ati, Haji, hlm. 62-63.
26
Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim,hlm. 10.
56
depannya. Bagi Syari’ati, manusia merupakan makhluk satu-satunya yang memiliki kebebasan. Menurut Syari’ati, manusia berbeda dengan hewan yang hanya mengandalkan dan mengikuti instingnya. Dengan instingnya, hewan terus-menerus mengikuti kemauan dirinya dan alam. Insting dikatakan bukan sebagai kebebasan dikarenaka tidak terdapat peran kehendak. Berbeda dengan hewan, manusia memiliki kebebasan untuk memilih yang berlawanan dengan dorongan insting. Manusia memiliki kempuan untuk memberontak pada tatanan alam yang menguasainya. Ia juga mampu melawan keinginan-keinginan biologis maupun psikologisnya sendiri.27 Apa yang manusia pilih juga dapat berlawanan dengan masyarakat sosial. Misalnya dalam kasus dewasa ini marak terjadi korupsi, suap, penyalahgunaan kekuasaan yang melahirkan penderitaan. Disisi
lain
ada
yang
tertindas,
menderita,
terpinggirkan
yang
menginginkan keadilan dan kesejahteraan. Ia dapat memilih kutub mana yang ia kehendaki. Kesadaran dan kebebasan yang dimiliki oleh mansuia akan membawa konsekuensi-konsekuensi padanya. Manusia disebut bebas kalau dia sungguh-sungguh mengambil inisiatif dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Syari’ati menegaskan bahwa di atas bumi ini ia (manusia) merasakan tanggung jawab atas diri dan kehidupannya. Artinya, manusia mempunyai tanggug jawab besar atas kebebasan yang
27
Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 72.
57
telah ia miliki. Magnis-Suseno dalam buku “Etika Dasar” menyatakan, bahwa kesadaran dan tanggung jawab pribadi terhubung dengan sikap dan
tindakan
manusia
dalam
mengisi
ruang
kebebasan
yang
dimilikinya.28 Kerena setiap orang terikat (bertanggung jawab) atas apa yang dilakukannya. Dan seandainya tidak ada kebebasan, maka sirnalah tanggung jawab tersebut. Sehingga Ali Syari’ati menegaskan bahwa kebebasan manusia untuk memilih adalah ciri kedua yang unik.29 c. Kreativitas (Daya Cipta) Dimensi ketiga yang melekat pada insa>n menurut Syari’ati adalah daya cipta. Dengan daya cipta manusia mulai mencipta apa-apa yang belum tersedia di alam. Dan dengan kreativitas, manusia selalu memperbaharui seni pembuatannya. Ali Syari’ati mengemukakan sebagai berikut: Manusia lebih dari sekedar makhluk pembuat alat, sebagaimana ia sering didefinisikan; ia pencipta dan pembuat barang-barang yang belum terdapat di dalam alam. Sebabnya mengapa ia membuat dan menyempurnakan seni membuat barang-barang adalah karena ia mengetahui bahwa tidak semua keinginannya dapat dipuaskan dengan apa yang telah terdapat pada alam.30
Dimasa lalu untuk mempertahankan hidup, manusia harus berjuang melawan keganasan alam. Dengan alat sederhana dari batu dan tongkat ia menggali ubi-ubian dan melakukan perburuan. Namun, semakin lama ubi-ubian dan binatang semakin berkurang. Dengan situasi
28
Dwi Siswanto, Humanisme Eksistensial, hlm. 77.
29
Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 73.
30
Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 73.
58
seperti itu, kesadaran terhadap kenyataan adanya kelangkaan, manusia membuat
alat-alat
yang
canggin
dari
sebelumnya
dan
selalu
memperbaharuinya sehingga mampu menundukan alam. Dengan kemampuan kreativitas mencipta, manusia telah membuat karya-karya yang megah seperti pramida, tembok Cina, dan candi borobudur. Pada zaman ini terdapat alat-alat dan barang-barang ciptaan manusia yang tidak dijumpai pada masa lalu, seperti mesin pengebor, mesin pemotong, mobil, kapal laut, kereta bawah tanah dan pesawat terbang yang selalu berkembang. Dengan demikian manusia sebagai pencipta yang dilengkapi kreativitas itulah yang membuat manusia lebih dari sekedar pembuat. Singkatnya, insa>n adalah manusia yang senantiasa bergerak maju atau “men-jadi”, itulah sosok manusia ideal menurut Ali Syari'ati. Insa>n dalam pengertian Syari'ati, bukanlah sekedar manusia yang “men-jadi” secara lahiriah semata, melainkan juga berproses “men-jadi” secara spiritual. Syari'ati menambahkan bahwa segala sesuatu akan kembali ke asalnya, manusia yang berasal dari Tuhan pasti harus kembali kepada Tuhan. Demikianlah gagasan pokok Syari'ati tentang men-jadi: yakni bergeraknya manusia secara permanen ke arah Tuhan, ke arah kesempurnaan Ideal.31 4. Manusia Tercerahkan
31
Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 68-69.
59
Pendidikan merupakan sarana untuk mencerdaskan manusia. dalam ruang-ruang kelas pelajar –mahsiswa disuguhi daftar menu filsafat, teologi, sosiologi, sejarah, teknik, matematika, fisika dan sebagainya. Namun realitasnya, ribuan lulusan sarjana masih banyak dalam keseharianya terpisah dari kehidupan sosial masyarakat. Apakah orang berpendidikan atau yang memiliki gelar adalah manusia tercerahkan? Menurut Syari’ati manusia tercerahkan tidak berarti intelektual. Manusia tercerahkan itulah dalam bahasa Syari'ati disebut raushanfikr.32 Sayangnya raushanfikr sering disalah-pahami banyak orang sebagai orang memiliki ilmu pengetahuan, gelar sarjana dan orang yang melakukan tugas mental.33 Syari’ati menekankan bahwa raushanfikr tidak semata-mata intelektual atau mereka yang berpendidikan. Namun menurut Syari’ati, raushanfikr sebagai Orang yang sadar “keadaan kemanusiaan” (human condition) di masanya, serta setting kesejarahannya. Kesadaran semacam itu dengan sendirinya akan memberinya rasa tanggung jawab sosial. Tujuan manusia yang tercerahkan adalah memberi kepada manusia suatu keyakinan bersama yang dinamis dan membantu mereka untuk mencapai kesadaran-diri dan merumuskan cita-cita mereka.34 Pada
prinsipnya,
tanggung
jawab
sosial
yakni
mendorong
terwujudnya perubahan-perubah struktural yang mendasar, seperti tanggung Kata raushanfikr merupakan bahasa Persia yang diambil dari berasal dari bahasa Arab munawwar al-fikr, artinya orang yang tercerahkan. Lihat catatan kaki dalam Ali Syari’ati, 32
Membangun Masa Depan Islam, hlm. 24. 33
Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 27.
34
Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam: hlm. 28-31.
60
jawab yang pernah diemban oleh para nabi terdahulu. Mereka harus berada di
tengah-tengah
rakyat
yang
tertindas
dan
berupaya:
Pertama,
membangkitkan karunia Tuhan yang mulia, yaitu “kesadaran diri”. Kebangkitan kesadaran diri suatu masyarakat rakyat akan menjadi suatu kekuatan revolusioner, dinamis dan kreatif. Kedua, mengajarkan kepada masyarakat bagaimana caranya “berubah” dan akan mengarah ke mana perubahan itu. Ketiga, menentukan sebab-sebab yang sesungguhnya dari keterbelakangan masyarakatnya dan menentukan penyebab sebenarnya dari kemandekan dan kebobrokan rakyat dalam lingkungannya.35 Syari’ati berpendapat bahwa sepanjang ketaatan kepada imam, “orang-Syi’ah yang sadar” adalah bertanggungjawab untuk memilih orang yang paling adil dan terpelajar untuk memimpin mereka dalam perjuangannnya.36 Dengan
kata lain, Ali Syari’ati menjelaskan bahwa
raushanfikr bukan seorang guru normal dari para pelajar, akan tetapi orang yang bijaksana dalam memilih sesuatu, baik tindakan maupun sikap. ...ia adalah guru dari rakyat. Pengetahuannya bukanlah platonis (sepenuhnya spiritual), pengetahuan akademis, melainkan pengetahuan dari mandat nabi. Orang-orang terpelajar inilah yang akan menjadi ahli waris para nabi. Pengetahuan tentang yang ma’ruf (yang diketahui) adalah semacam kekuatan dan pengetahuan tentang cahaya adalah petunjuk. Orang bijaksana yang arif adalah cendekiawan dengan pandangan yang jelas. Para cendekiawan haruslah pemikir yang merasakan tanggung jawab bila mengungkapkan pikiran mereka sehubungan dengan kepercayaankepercayaan mereka sehubungan dengan kepercayaan-kepercayaan mereka sendiri atau kepercayaan rakyat mereka.37
35
Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 29-42.
36
Ali Rahnema, Ali Syari’ati: Biografi Politik, hlm. 482.
61
Jalaluddin Rahmat, dalam pengantar “Ideologi Kaum Intelektual”, mengemukakan perbedaan antara ilmuwan (intelektual) dan raushanfikr, bahwa seorang ilmuwan menemukan kenyataan sementara seorang
raushanfikr menemukan kebenaran. Ilmuwan hanya menampilkan fakta sebagaimana adanya sementara raushanfikr memberi penilaian sebagaimana seharusnya. Ilmuwan berbicara menggunakan bahasa universal sementara
raushanfikr berbicara menggunakan bahasa kaumnya. Ilmuwan bersikap netral menjalankan pekerjaannya sementara raushanfikr harus melibatkan diri pada suatu ideologi. Singkatnya, raushanfikr ialah seorang intelektual dalam arti sebenarnya.38 Raushanfikr merupakan nabi sosial yang meneruskan perjuangan para nabi terdahulu. Kesadaran dirinya meletakan beban tanggung jawab di atas pundaknya. Dengan penuh tanggung jawab dan kesadaran diri ia mengantar rakyat ke arah tindakan ilmiah, sosial dan revolusioner.39 Jika diperumpamakan, ia merupakan obor di kegelapan dan setitik api yang membakar padang rumput kering kezaliman. Dalam rangka menuntun masyarakat menuju kehidupan yang lebih dinamis, seorang raushanfikr harus memiliki formula-formula. Sebagaimana yang dirumuskan oleh Syari’ati sebagai berikut:40
37
Ali Syari’ati, Fatimah az-Zahra Pribadi Agung Putri Rasulullah SAW, terj. Muhammad Hashem Assagaf, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), hal.61 38 Jalaluddin Rahmat, “Ali Syari'ati:Panggilan untuk Ulil Albab” dalam Ideologi Kaum Intelektual, hlm. 14-15. 39
Ali Syari’ati, Membangun Ideologi Kaum, hlm. 138.
40
Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 52-53
62
1. Menyaring dan menyuling sumber-sumber daya masyarakat kita dan mengubah penyebab kebobrokan dan kemandekan menjadi kekuatan atau gerakan. 2. Mengubah konflik antar kelas dan sosial yang ada menjadi suatu kesadaran akan tanggung jawab sosial, yaitu dengan cara pemanfaatan kekuatan kesenian, menulis dan berbicara, serta kemungkinankemungkinan lain yang ada. 3. Menjembatani kesenjangan yang semakin lebar antara “pulau yang dihuni oleh orang yang tercerahkan” dengan “pantai rakyat kebanyakan” dengan menjalin hubungan kekeluargaan dan pemahaman diantara mereka, dan dengan demikian menempatkan agama-yang datang untuk membangkitkan dan melahirkan gerakan-untuk kepentingan rakyat. 4. Mencegah agar senjata agama tidak jatuh kepada mereka yang tidak patut memilikinya dan yang tujuannya adalah memanfaatkan agama untuk tujuan-tujuan pribadi, yang dengan cara itu memperoleh energi yang diperlukan untuk menggerakkan rakyat. 5. Mengusahakan suatu kebangkitan kembali agama yang-dengan kembali kepada agama yang hidup, dinamis, kuat, dan adil-melumpuhkan agenagen reaksioner dalam masyarakat sekaligus menyelamatkan rakyat dari unsur-unsur yang digunakan untuk membius mereka. 6. Menghilangkan semangat peniruan dan kepatuhan yang merupakan ciri agama biasa, dan menggantinya dengan semangat pemikiran bebas (ijtihad) yang kritis, revolusioner, dan agresif.
63
Menurut Sarbini, gerakan-geraka dan aksi-aksi yang dilakukan Ali Syari’ati sebenarnya mewakili pendirian intelektual, bahwa manusia tercerahkan akan memanfaatkan potensi yang ada untuk perubahan.41 Bagi syari’ati, manusia tercerahkan adalah kunci dalam melakukan perubahan sosial. Pendek kata, tanggung jawab manusia tercerahkan adalah untuk revolusi menuju persamaan dan keadilan. Dari paparan diatas Syari’ati telah membentangkan kategori-kategori manusia, yakni kategori khalifah, manusia dua dimensional, insa>n, dan manusia tercerahkan yang akan didapati pengertian atau esensi manusia. Syari’ati melakukan “pengurungan”42 terhadap kategori-kategori tersebut dan kemudian menggali esensi-esensinya. Selanjutnya Syaria’ati mengemukakan esensi dari kategori tersebut, bahwa manusia memiliki intelekutal yang dilengkapi dengan atribut kesadaran, kebebasan dan kretivitas serta memiliki moral yang agung yaitu tanggung jawab sehingga manusia dituntut untuk menjadi manusia sempurna. Dengan kata lain manusia berdialektika menuju kesempurnaan. Untuk menjelaskan makna sempurna Syari'ati menulis, “Saya mencari esensi saya dan tidak dapat menemukannya, saya adalah bayangan-Nya. Dimanakah Dia?” Menurut Syari'ati, berdasarkan kisah penciptaan Adam, bahwasanya manusia berasal dari surga dan pada akhirnya manusia harus kembali ke surga, karena surga telah ditinggalkannya. Dalam surga itulah
41
Sarbini, Islam Di Tepian Revolusi, hlm. 88. Pengurungan merupakan istilah Edmund Husserl yang meletakan dalam tanda kurung sebagai sikap awal dalam menedekati persoalan eksistensi sambil menggali “esensi-esensi” setiap fenomen. Lihat dalam Lorens Bagus, Kamus Filsafat, hlm. 235. 42
64
manusia mendapatkan kebahagiaan sejati setelah bersatu dengan Tuhannya, di sana semua dimensi kehidupan (natural dan supranatural, tubuh dan spirit, permasalahan
dan
makna) akan
diintegrasikan
sebab
masing-masing
merupakan sebuah dimensi alias aspek dari ‘satu kebenaran yang ada’.43 Jadi, dapat
disimpulkan
bahwa
kesempurnaan
yang
diraih
oleh
manusia
sesungguhnya merupakan usaha menuju “Proses Menjadi”. B. Penjara-penjara Manusia
Insa>n sebagaimana yang disebut Syari’ati sebagai manusia tiga dimensional selalu berperang melawan kekuatan-kekuatan determinisme atau penjara-penjara manusia. Dalam karya yang berjudul “Haji” Syari'at menyimpulkan penjara-penjara menjadi empat macam: “Engkau” adalah penghuni empat buah penjara yang besar. Keempat penjara ini adalah alam (biologisme), “sejarah (historisisme), masyarakat (sosiologisme), dan dirimu sendiri (ego).44 Empat penjara manusia tersebut bukanlah hal yang determinan bagi manusia. Manusia masih memiliki kesempatan untuk membebaskan dirinya dari cengkeraman empat penjara tersebut. Ali Syari’ati berkeyakinan bahwa manusia dalam perjalanan evolusinya menuju “peninggian” ruhaninya, sesungguhnya mampu melepaskan diri dari penjara-penjara tersebut. 1. Penjara Alam (Biologisme) Biologisme berpendirian bahwa manusia merupakan komposisi dari organ-organ yang kompleks dan maju yang menentukan watak fisiologis
43
Ali Rahnema, Ali Syari'ati: Biografi Politik, hlm. 228-230.
44
Ali Syari’ati, Haji, hlm. 94.
65
dan psikologis.45 Secara psikologis manusia tergantung pada keadaan biologis. Misalnya orang dikatakan pemberani jika memiliki tubuh besan dan berotot, serta orang yang bergaya urakan ketika memiliki rambut panjang. Menurut Syari’ati, watak tersebut bukan disebabkan oleh kepribadiaannya, akan tetapi oleh bentuk biologisnya. Maka ketika biologisme menunjukan perkembangan manusia, akan mendasarkan pada kemajuan perubahan biologisnya. Struktur biologisnya sebagai penentu tindakan
telah
mengingkari
adanya
kebebasan
manusia.
Syari’ati
mengungkapkan: “ini adalah determinisme dari biologisme yang tidak mau mengakui kenyataan bahwa manusia memiliki kualitas-kualitas lebih tinggi yang mirip Tuhan yang melampaui susunan biologis, fisiologis, bahkan psikologisnya.”46 Paling menyesatkan dari biologisme menurut Syari’ati adalah melihat manusia sebagai makhluk yang sama sekali tidak berbeda dengan binatang. Sehingga biologisme merupakan sebuah mazhab berfikir yang mendistorsi manusia “tiga dimensional”. Untuk membebaskan diri dari penjara alam, manusia harus berusaha “menundukkan” alam dengan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian diharapkan manusia akan dapat membawa alam semesta beserta semua sifat dan hukum dasarnya untuk berada dalam pengawasan manusia. Syari’ati mengatakan: “dengan penuh kesadaran engkau harus menemukan takdir alam semesta dengan mempelajari sain-sain. Dan dalam waktu yang 45 46
Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 84. Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 84-85.
66
bersamaan engkau harus membebaskan dirimu dari penjara alam tersebut.”47 Menurutnya juga ilmu telah dapat menegtahui rahasia-rahasia alam. Dengan menggunakan pikirannya yang kritis, manusia memanfaatkan ilmu untuk menghasilkan teknologi. Teknologi punya suatu misi fundamental; membebaskan manuia dari genggaman determinisme alam.48 Hal itu ditunjukan dengan berbagai macam penemuan, seperti penemuan lampu listrik, kendaraan bermotor, pesawat ruang angkasa dan penemuan lainnya. Para ilmuan telah menciptakan hujan buatan untuk melawan kekeringan. Para insinyur pertanian menciptakan teknologi pertanian dan mendisain pertanian agar berkembang pesat. Dengan demikian alam bukan lagi merupakan kendala dalam menghambat kemajuan manusia. 2. Penjara Sejarah (Historisme) Determinisme historis memandang manusia sebagai produk sejarah. Sejarah telah menentukan gerak manusia ke mana dan bagaimana harus mengarah.49 Melalui gerak sejarah, manusia telah ditentukan posisi dan karakteristiknya. Syari’ati menyatakan; “alasan mengapa saya berbahasa dengan satu bahasa tertentu, memeluk suatu agama, ikut pada kelas sosial dan kultur ini, dan memiliki identitas serta personalitas ini –semua ini dan seluruh ciri-ciri yang saya miliki ditentukan oleh sejarah.”50
47 48
49
Ali Syari’ati, Haji, hlm. 94. Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 88. Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 82.
67
Dapat dikatakan, bahwa sesorang yang lahir dan memiliki latar belakang Jawa, akan berbahasa Jawa, memiliki moral “nrimo” dan memiliki keyakinan “kejawen” dalam pandang historisme merupakan suatu keniscayaan. Artinya, sejarah masa lalunya yang akan membentuk dan mendisain
seseorang.
Syari’ati
menegaskan,
historis
menyodorkan
peristiwa-peristiwa sebagai sesuatu yang deterministik-materialis, yang disela-sela
perjalanan
sejarah
–sejalan
dengan
hukum
pergerakan
determinisme historis –telah menciptakan unsur-unsur yang bernama manusia.51 Manusai sebagai produk sejarah akan bertentangan dengan manusia men-jadi. Manusia men-jadi adalah produk dari kesadaran, kebebasan memilih dan daya ciptanya. Syari’ati menunjukan bagaimana manusia dapat keluar dari penjara sejarah yaitu dengan penuh kesadaran dalam menemukan takdir sejarah dengan mempempelajari filsafat dan sains-sains sejarah.52 Jika ia dapat merasakan dan menyadari bahwa ia menjadi mainan kekuatan hebat yang bernama sejarah; jika ia dapat, dengan bantuan ilmu dan filsafat sejarah, menemukan gerak sejarah dan hukum-hukum yang berjalan di belakangnya; jika ia dapat memahami bahwa faktor-faktor itu mempengaruhi struktur mental, persepsional, moral dan kesadarannya – jika ia dapat memahami semua ini secara menyeluruh, ia pasti dapat membebaskan dirinya dari jeratan sejarah.53
Dengan mempelajari tahapan-tahapan historis dan hukum-hukum deterministik yang terjadi dalam perjalanan sejarah umat manusia. Hukum-
50 51
Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 82. Ali Syari’ati, Humanisme, hlm. 59.
52
Ali Syari’ati, Haji, hlm. 94.
53
Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 89.
68
hukum
deterministik
dan
tahapan-tahapan
historis
ini
kemudian
dikembangkan untuk membangun kemajuan sejarah masa. Tipe kesadaran sosial historis ini menolong masyarakat bergerak sangat efektif sehingga dapat melompati tahap perkembangan historis yang lebih tinggi.54 3. Penjara Masyarakat (Sosiologisme) Dalam padangan sosiologi, manusia telah ditentukan oleh faktorfaktor sosial. Sosiologi memang menekankan pada peranan masyarakat dibanding
dengan
karakteristiknya
peran
individu.
berdasarkan
Manusia
data-data
yang
diukur
ciri-ciri
atau
terdapat
dalam
suatu
masyarakat. Individu-individu dalan tatanan masyarakat dinilai tidak memiliki kesadaran dan kehendak, karena semuanya berlandaskan kelaskelas dalam masyarakat. Sebagai contoh, bila seseorang nampakya darmawan, berani dan kesatria, hal tersebut disebabkan ia telah dibesarkan dalam suatu masyarakat bertipe feodalistik. Begitu pula orang yang memiliki kekayaan atau aset perusahaaan, ia telah dibesarkan dalam masyarakat borjuis. Nampaknya individu-individu tidak memiliki tanggung jawab atas tindakannya, karena lingkungan sosial yang telah membentuk watak, kepribadian dan tindakannya. Maka jelaslah bagi Ali Syari’ati bahwa sosiologisme telah menginkari peran individu, yaitu mengingkari individu dalam proses menjadi. Bahkan pada evolusi menuju kesempurnaan dalam sosilogisme pun mendasarkan pada tatanan yang ada pada masyarakat. Pendek kata, 54
Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 91.
69
sosioligisme adalah sistem sosial manusia yang menentukan sesuatu untuknya, mempola watak dan perilakunya, dan mencetaknya di bawah aneka ragam faktor dan kekuatan masyarakat.55 Kemudian untuk membebaskan diri dari kungkungan masyarakat, manusia bisa mengatasinya dengan mempelajari ilmu-ilmu sosial, hukumhukum dan karakteristik yang ada di masyarakat. Dengan mempelajarinya, seseorang dapat mengetahui secara pasti belenggu diterministiknya. Syari’ati mengatakan: “dengan penuh kesadaran engkau harus menemukan takdir masyarakatmu dengan mempelajari sosiologi dan cara penerapan aturan-aturannya agar engkau terbebas dari penjaranya.”56 Ketika manusia memahami bahwa dalam masyarakatnya terdapat unsur-unsur yang membelenggu maka ia akan membrontak dalam upaya mengubahnya.57 Misalnya Indonesia yang di dalam masyarakatnya terdapat unsur-unsur budaya korup, budaya kekerasan dan kondisi kemiskinan. Dengan mempelajari unsur-unsur tersebut, kemudian dengan kesadaran ia pembrotakan, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa ia sedang berjuang dalam membebaskan dirinya dari penjara masyarakatnya. 4. Penjara Ego Determinisme ego merupakan penjara terburuk bagi manusia. Dikatakan penjara terburuk karena berada dalam diri mansuai. Ego selalu mendorong manusia dalam pemenuhan kepuasan dan kepentingan sendiri
55 56
57
Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 82-83. Ali Syari’ati, Haji, hlm. 94. Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 90.
70
setiap saat. Walaupun secara eksternal manusia sudah mampu menguasai kebutuhan hidupnya, akan tetapi dalam internalnya masih miskin dan terbelenggu oleh egonya. Syari’ati mengungkapkan: Dan disebabkan oleh pemenjaraan intern manusia itulah ia merasa terlalu banyak absurditas dan kesia-siaan dalam kehidupan dan peradaban modern. walaupun ia sudah menjadi mansuia modern yang telah membebaskan dirinya dari genggaman alam, sejarah, dan masyarakat, ia masih tetap terbelenggu di dalam penjara ego, tanpa mengetahui bagaimana cara keluar dari penjara tersebut.58
Manusia dengan kehidupan materialistik (keduniawian) akan membawa kepada absurditas dan kesia-siaan, tidak bisa merasakan kepuasan yang sebenarnya dalam kehidupan material. Walaupun sudah memiliki segalanya (kekayaan, rumah mewah, beberapa mobil, dan beberapa perusahan), namun ketika egonya masih terpenjara ia akan terus menumpuk kekayaan, menghamburkan uang dengan membeli barangbarang mewah, dan terus mengesploitasi alam dan manusia yang lainnya. Keadaan seperti ini sangat disesalkan oleh Syari’ati, yaitu dengan kemajuan ilmu pengetahuan telah memperkuat dan memperkasa manusia, akan tetapi ia secara moral tetap lemah.59 Ilmu pengetahuan telah membuat manusia sangat cerdas, namun untuk mengejar materi semata. Kemudian ia lebih memilih menjadi budak modern dengan menggadaikan dirinya pada kapitalis dan agen-agen korporasi. Meskipun ia memiliki kecerdasan intelektual, namun ia masih miskin moral.
58
Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 93.
59
Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 96.
71
Melepaskan diri dari penjara ego adalah hal yang paling sulit bagi manusia, karena antara “penjara” dan “tawanan” tidak terpisahkan. Penjara ini ada pada diri manusia yang senantiasa hadir. Jika membebaskan diri dari tiga penjara yang lain cukup hanya dengan mengembangkan pengetahuan dan kesadaran, namun untuk membebaskan diri dari penjara ego begitu sulit karena ilmu pengetahun tidak dapat membatunya. Hal itu di utarakan oleh Ali Syari’ati sebagi berikut: Karena penjara ini berada di dalam dirimu maka sains tidak dapat membebaskan engkau daripadanya.... Engkau harus memiliki pengetahuan tertentu untuk mengenal dan menemukan “dirimu sendiri”. engkau harus memiliki kekuatan tertentu untuk dapat mengatasi kelemahankelemahanmu dan membrontak melawan dirimu sendiri.60
Pengetahuan atau kekuatan menurut Syari’ati adalah cinta. Cinta yang dimaksud oleh Syari’ati, bukanlah cinta dalam arti sufistik, Platonik, mistik dan abstrak. Sebab bentuk-bentuk cinta seperti itu adalah bentukbentuk penjara itu sendiri bagi manusia. Bagi Syari’ati cinta dimaknai sebagai berikut: Sebagai misal, seseorang duduk di atas lututnya, menyirami badanya dengan bensin dan kemudian membakar dirinya secara sengaja dan sadar agar negaranya dapat diselamatkan dari api yang lebih besar. Ini adalah perbuatan yang tidak logis karena ia melakukan tanpa menuntut suatu imbalan, ganjaran atau kopensasi. Inilah prinsif moral dan makna dari apa yang saya maksudkan dengan cinta; cinta sebagai suatu kekuatan yang mendambakan pengorbanan, yang menghasung manusia yang sedang dirasuknya untuk mengorbankan seluruh miliknya, keuntungannya, kepentingannya, bahkan hidupnya sendiri demi mereka yang ia cintai dan demi cita-cita yang ia perjuangkan.61
60
Ali Syari’ati, Haji, hlm. 94.
61
Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 98.
72
Dengan demikian cinta yang dimaksud Syari’ati sebagai pembebas dari penjara ego adalah cinta dalam arti substantif, cinta yang harus melahirkan kekuatan bagi setiap pencinta untuk mengorbankan apa-apa yang dimilikinya. Menurut Syari'ati , inilah arti yang sebenarnya dari pengorbanan sebagai tahapan “menjadi” yang tertinggi dan sempurna bagi manusia. []
73
BAB IV MANUSIA TERCERAHKAN DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL
A. Manifestasi Dialektika Manusia Pemikiran Syari’ati nampaknya ada kesamaan dengan insa>n kamil milik Ibnu ‘Arabi. ‘Arabi menyebut Adam sebagai perpaduan dari citra Tuhan dan citra alam semesta.1 Sebagaimana Syari’ati menunjukan dua substansi pembentuk manusia, yakni tanah dan ruh Tuhan. Namun tidak semua manusia dapat dikatakan sebagai insan kamil, karena menurut ‘Arabi hanya mereka yang memperoleh tingkat kesempurnaan, sebaliknya mereka tidak mencapai tingkat kesempurnaan sama dengan manusia binatang.2 Manusia dalam pemikiran Syari’ati pun terdabat pengolongan anatara basya>r dan insa>n. Akan tetapi yang membuat mereka berbeda adalah ‘Arabi meletakan manusia pada sisi metafisik dan imagener saja. Sedangkan Syari’ati meletakan manusia diatas realitasnya, meminjam istilah Hasan Hanafi; “dari Tuhan ke lahan (bumi)”, Syari’ati hendak memanifestasikan manusia yang abstrak menjadi manusia yang konkrit. Telah disebutkan pada bab terdahulu, bahwa manusia merupakan makhluk dua-dimensional dengan dua kutub yang saling bertentangan. Syari’ati hendak memanifestasikan wajah manusia dua-dimensional dalam kesejarahan manusia. Di dalam kehidupan manusia pun bergerak dua kutub
1 Mesataka Takeshita, Insan Kamil; Pandangan Ibnu ‘Arabi, terj. Harir Muzakki, (Surabaya: Risalah Gusti, 2005), hlm. 54. 2
Mesataka Takeshita, Insan Kamil, hlm. 130-131.
74
saling berkontradiksi dan saling menegasikan satu sama lainnya. Kemudian Syari’ati menyatakan pandangannya mengenai sejarah manusia sebagai berikut: Sejak awal sejarah, di kala manusia berperan di muka bumi, senantiasa terdapat masyarakat manusia dan bergerak kedua arah atau kutub yang saling berlawanan, dua front yang saling bermusuhan. Tergantung pada keadaan sosial dan historis, perang dua fihak tersebut mengambil berbagai bentuk dan gambaran. 3
Pertentangan yang terus-menurus antara dua kutub selau terjadi dalam sejarah perkembangan umat manusia. Pertentangan tersebut mengambil bentuk yang berbeda sesuai perkembangan masyarakatnya. Kedua kutub tersebut selalu berebut ruang dominasi dalam mengisi ruang sejarah umat manusia dan menjadikan kualitas-kualitasnya. Pertentangan antagonisme tersebut sejatinya tidak bisa didamaikan, dimana kutub yang satu mempertahankan dominasinya sedangkan kutub yang lain ingin menghancurkannya. Selanjutnya Syari’ati menjelaskan sifat dan karakter dari masing-masing kutub sebagai berikut: Kutub pertama merupakan kutub negatif diwakili oleh mereka yang menghambat kemajuan dan evolusi dengan melakukan perbuatan-perbuatan kejahatan, dekadensi, dan penyelewengan dengan jalan menindas, perbudakan, dan memperbodoh massa kemanusian; dengan jalan menegakkan tirani atas rakyat, dan merampok hak-hak serta keperluan-keperluan mereka serta menanamkan benih-benih rasisme, segregasi, dan fanatisme dalam masyarakat, keluarga, suku, ras dan lembaga-lembaga mereka. ..... Kutub kedua, kutub positif kemanusiaan, yang selalu menentang tirani dan ketidakadilan serta korupsi demi tegaknya perdamaian dan keadilan serta persaudaraan di muka bumi, terus menerus berada dalam pertempuran melawan kutub pertama yang negatif tersebut.4
Yang menarik atas manifestasi antara pertarungan dua kutub tersebut adalah Syari’ati menyajikan dengan mengambil narasi historis pertarungan
3
Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 37.
4
Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 37-38.
75
antara Qabil dan Habil dalam al-Qur’an. Qabil dan Habil merupakan anak-anak dari Adam. Dalam kisah tersebut berakhir dengan terbunuhnya Habil ditangan Qabil yang menandakan awal sejarah pertarungan antara manusia dan manusia. Syari’ati mengemukakan sumber konflik Qabil dan Habil sebagai berikut: Mereka telah dipertunangkan dengan saudara perempuan mereka masingmasing. Tetapi Qabil tidak puas; ia lebih saudara perempuan yang telah dipertunangkan bagi Habil, daripada tunagannya sendiri. Ketidakpuasannya berubah menjadi pemberontakan, dan ia menemukan dirinya telah melanggar apa yang menjadi milik saudaranya.5
Dimensi ketidakpuasan Qabil yang diekspresikan dengan merampas hak Habil merupakan cermin kutub negatif yang mengarah kepada perbuatan hina. Pilihan Qabil tersebut telah membawa pada pertentangan manusia dengan manusia pertama dalam sejarah umat manusia. Pertentangan antara Qabil dan Habil terus berlanjut, dan tidak dapat didamaikan. Syari’ati menafsirkan konflik tersebut berbeda dengan kebanyakan ulama, yakni mengenai jenis pekerjaan mereka sebagai berikut; Orang tidak dapat mengatakan bahwa lingkungan Qabil, keluarga, pendidikan dan masyarakatnya berbeda dengan Habil. Namun perbedaan apakah yang mengubah Qabil menjadi seorang pembunuh dan Habil menjadi seorang yang saleh dan cinta damai? Perbedaan ini terletak pada pekerjaan mereka: persembahan Qabil yang berupa seonggok gandum menunjukan bahwa ia seorang petani. Sedangkan persembahan Habil yang berujud seekor onta menunjukan bahwa ia seorang penggembala. Habil nampaknya mewakili tahap sejarah ketika eksistensi manusia tergantung pada alam – berburu, mencari ikan dan menjinakan binatang-binatang buas. Sebaliknya Qabil mewakili zaman pemilikan pribadi dan tahap pertanian ketika sumber-sumber produksi dimonopoli oleh kelas penguasa.6
Tafsir Syari’ati di atas sangat kental dengan paradigama marxisme, yakni kepemilikan pribadi sebagai akar kemunculan kelas-kelas dalam
5
Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 39.
6
Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 40-41.
76
masyarakat. Dengan demikian Syari’ati menempatkan pekerjaan Habil sebagai pengembala mewakili zaman komunal, dimana hubungan produksi dilakukan secara bersama-sama dan alat produksi pun dikuasai secara bersama. Mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup dilakukan secara subsisten. Sedangkan Qabil mewakili masyarakat berkelas, kelas penguasa menguasi alat produksi dan melahirkan hubungan produksi yang timpang. Sarbini mengutip penjelasan Syari’ati dalam bukunya “Islam Di Tepian Revolusi”: “Peristiwa itu mengandung Tafsif yang sangat mendasar secara ilmiah, sosiologis dan berkenaan dengan kelas sosial. Kisah itu merupakan akhir komunisme primitif. Lenyapnya sistem asli manusia berupa persamaan dan persaudaraan, yang terpantul pada sistem produktivitas perburuan dan penangkapan ikan (ditamsilkan dengan Habil sang penggembala), digantikan oleh produksi pertanian, terciptanya milik pribadi, terbentuknya masyarakat kelas, sistem diskriminasi dan eksploitasi, pemujaan harta, dan kemerosotam iman bermulanya kerusuhan, persaingan dan pembunuhan saudara sendiri (ditamsilkan dengan Qabil sang petani). Kematian Habil dan kelangsungan hidup Qabil adalah realitas objektif dan historis.7
Sebagaimana yang dikatakan Engels: “...kelas-kelas dalam masyarakat selalu merupakan produk dari corak produksi dan pertukaran, atau produk dari kondisi ekonomi pada zamannya.”8 Dengan munculnya kelas sosial, terdapat hubungan produksi yang menguntungkan segelintir orang yang memiliki alat produksi. Kelas pemilik akan menjalin aliansi dengan kekuatan-kekuatan lain yang saling mendukung. Syari’ati menyebutkan bahwa kutub Qabil memiliki tiga wajah yang menentukan peradaban umat manusia sesuai dengan keinginan-keinginannya, berikut penjelasan Syari’ati: Di dalam masyarakat-masyarakat modern sementara mempertahankan kekuatan-kekuatannya di tiga buah basis Qabil menyembunyikan wajahnya
37.
7
Sarbini, Islam Di Tepian Revolusi, hlm. 97.
8
Frederick Engels, Anti-Dühring, terj. Oeyhaydjoen (Hasta Mitra-Ultimus, 2005), hlm.
77
yang asli di balik topeng politik, ekonomi dan agama. Qabil menciptakan tiga buah kekuatan untuk menindas: kekayaan dan kemunafikan yang melahirkan despotisme; eksploitasi; dan teknik-teknik indoktrinasi.9
Personifikasi ketiga kekuatan tersebut disimbolkan oleh Ali Syari’ati dengan nama tokoh-tokoh dalam sejarah Islam baik Taurat maupun al-Qur’an. Kekuasan politik disimbolkan dengan tokoh Fir’aun, kekuasaan ekonomi disimbolkan oleh tokoh Qarun (Croesus), dan kekuatan religius di lambangkan oleh tokoh Balaam Bauri. Tiga wajah ini merupakan manifestasi dari wajah Qabil.10 Ketiga poros kekuasaan tersebut saling menunjang dan menguatkan. Firaun yang memiliki kekuasaan memberi restu perampokan sistematis dan prosedural yang dilakukan Karun. Kemudian, Karun pun mendukung kerja intelektual Balaam dengan sarana finansial kekayaannya. Firaun menyokong Balaam dengan jaminan politisnya. Sedangkan Balaam menyediakan basis doktrin untuk melegitimasikan kekuasaan Fir'aun. Ketiga wajah itu menyatu dalam satu wajah penindas yang mengorbankan eksistensi kaum Habil. Melalui pengalaman pribadi, Ali Syari’ati merasa kekecewan yang amat mendalam melihat piramida megah yang kebanyak orang memujinya. Piramida merupakan simbol penindasan terhadap kelas Habil, yaitu para budak. Dalam sistem perbudakan, jiwa dan tubuhnya merupakan milik Firaun. Sehingga para budak pun dipaksa untuk menuruti kehendaknya termasuk membangun makam para Firaun. Dengan nada yang sinis, Ali Syari’ati berkata:
9
Ali Syari’ati, Haji, hlm. 124.
10
Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 43.
78
Lalu aku layangkan pandanganku pada piramida besar itu, dan aku sadari, di balik kemegahan dan keagungan bangunan itu, aku betul-betul merasa asing dan jauh darinya! Dengan kata lain, ada rasa kebencian yang dalam pada monumen-monumen peradaban megah sepanjang sejarah yang dibangun di atas tulang-belulang para pendahuluku!11
Syari’ati berpandangan bahwa jika ingin membebaskan kaum Habil dibukuhkan suatu perubahan yang fundamental –yakni revolusi –yang digerakan
oleh
raushanfikr (manusia tercerahkan) untuk mengakhiri
penindasan kaum Qabil.12 Cara-cara untuk menyingkirkan kejahatan sosial (penindasan, pen) yang ada, Engels berkata: “mesti ditemukan dalam kondisikondisi material yang ada, tidak dibuat penemuan oleh seseorang reformer sosial.” Artinya, bahwa dalam melakukan usaha-usaha diagnosis persoalan sosial tidak boleh dipasrahkan kepada opurtinisme intelektual. Berikut ini pernyataan Syari’ati tentang kepercayaannya akan revolusi yang menandakan berakhirnya zaman Qabil: Bisa saja hari esok atau lain waktu, revolusi dunia demi kaum mustadh’afin, kebenaran dan keadilan akan meletus, dan didalamnya saya akan berpartisipasi.......dan saya percaya bahwa revolusi ini pasti menang; maka, saya percaya kepada hukum-hukum sejarah yang tak dapat dihindari, dan tidak percaya kepada kebetulan, kekacau-balauan (chaos) dan perpecahan historis.13
B. Hubungan Manusia Tercerahkan Dan Tanggung Jawab Sosial 1. Islam sebagai Ideologi Ideologisasi Syari'ati diawali dari pembahasannya mengenai kehidupan manusia yang dikungkungi oleh berbegai belenggu. Manusia,
11
Ali Syari’ati, Para Pemimpin Mustadh’afin: Sejarah Panjang Perjuangan Melawan Penindasan dan Kezaliman, (Bandung: Muthahhari Paperbacks, 2001, hlm. 3. 12
Sarbini, Islam Di Tepian Revolusi, hlm. 99.
13
Ali Syari’ati, Islam Agama Protes, hlm. 68-69.
79
meskipun memiliki kesadaran diri, kehendak bebas dan daya cipta (kreativitas) untuk menentukan pilihan hidupnya, akan tetapi tidak sepenuhnya sebab berbagai penjara kehidupan selalu mengungkunginya. Tambah lagi penjara-penjara tersebut tidak mudah diidentifikasi, pasalnya telah terselubung dalam ideologi. Oleh karena itu, kesadaran, kebebasan dan kreativitas manusia hanya dapat diartikan sebagai pilihan menentukan jalan hidup setelah berhasil melalui berbagai kesulitan (penjara-penjara) yang melingkupinya. Sekali lagi, penjara-penjara kehidupan yang terselubung dalam ideologi memang tidak mudah dilawan, namun tidaklah demikian bagi Syari'ati. Melawan ideologi harus menggunakan ideologi,14 demikian menurut Syari'ati. Syari’ati telah melakukan tinjauan ulang bahwa ilmu dan filsafat tak cukup efektif untuk mengantarkan seseorang sampai pada suatu tujuan tertentu yang dicita-citakan. Apalagi dalam kenyataan sejarah, baik ilmu maupun filsafat tak pernah dapat melahirkan revolusi. Karena ideologi meneuntut agar kaum intelektual bersikap setia (commited). Ideologilah yang mampu merubah masyarakat, sementara ilmu dan filsafat tidak, karena sifat dan keharusan ideologi meliputi keyakinan dan tanggung jawab. Meskipun demikian, bukan berarti filsafat tidak berguna, walaupun antara 14
Ideologi berasal dari kata “ideo” yang berarti pemikiran, gagasan, konsep, keyakinan dan lain-lain; dan kata “logi” yang berarti logika, ilmu, atau pengetahuan. Jadi ideologi didefinisikan sebagai ilmu tentang keyakinan dan cita-cita. Syari'ati memberi definisi ideologi dalam arti lebih luas yakni mencakup keyakinan, tanggung jawab, keterlibatan, dan komitmen. Dalam konteks tersebut, Syari’ati menegaskan bahwa ideologi pada hakikatnya menuntut kaum intelektual bersikaf setia (commited) sebab ideologilah yang mampu mengubah masyarakat. Sementara ilmu (sekuler) bahkan filsafat sekalipun tidak mampu mengubah masyarakat. Ali Syari'ati, Ideologi Kaum Intelektual: Suatu Wawasan Islam, terj. Safiq Basri dan Haidar Bagir (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 72.
80
ilmu dan idiologi memiliki perbedaan yang cukup fundamental tetapi tetap memiliki titik temu. Titik temu itu terdapat pada tahap evaluasi yang merupakan tahap akhir dari setiap rangkaian aktivitas keilmuaan, dimana baik ilmu dan filsafat berusaha memahami dan membuka tabir apa yang belum diketahui. Islam adalah agama universal, di dalamnya terdapat berbagai ajaran mengenai humanitas. Humanisme Islam adalah humanisme universal sehingga bila Islam dijadikan ideologi maka ideologi Islam merupakan ideologi universal. Syari’ati merumuskan, sesungguhnya jiwa agama yang menancap sebagai ideologi adalah ketahanan yang membentengi pribadi dan masyarakatnya, untuk selalu terikat dengan esensinya, tegak di atas kakikaki kemanusiaan dan berjalan membina lahirnya generasi yang tangguh, serta menciptakan para pembela kemajuan, budaya dan kepribadian yang sejati. Sebagai seorang muslim, Syari'ati memandang bahwa Islam tidak cukup hanya dimaknai sebagai ritual semata, melainkan Islam pun perlu dijadikan sebagai ideologi. Syari'ati memang telah lama merindukan adanya ideologi yang Islami, pasalnya ideologi yang selama ini berkembang dinilai tidak cukup rahmatan li al-alami>n. Bagi Syari'ati ideologi Islam merupakan rumusan istimewa sebab menekankan adanya korelasi antara ideologi ketuhanan (wahyu) dan ideologi kemanusiaan, yakni: akal (rasional) dan empirisme. Peran fundamental agama pada akhirnya harus mampu menumbuhkan dan menggerakkan kehidupan sosial yang lebih beradab.
81
Syari’ati memandang agama (baca: Islam) dalam maknanya yang universal. Agama tidak cukup hanya dimaknai sebagai kumpulan tradisi atau konversi sosial, atau bahkan semangat kolektif suatu kelompok. Menurutnya, agama harus mampu menjadi lokomotif kesadaran masyarakat sehingga agama semestinya dipahami sebagai ide bukan sebagai sekumpulan ilmu. Syari’ati menegaskan bahwa; Islam adalah agama yang dengan segera melahirkan gerakan, menciptakan kekuatan, menghadirkan kesadaran diri dan pencerahan, dan menguatkan kepekaan politik dan tanggung jawab sosial yang berkaitan dengan nasib diri sendiri.15
Kemudian Syari’ati menjelaskan: “Islam akan membantu dalam memutuskan bentuk perjuangan melawan kekuasaan tirani. Ia tidak akan pernah berbaiat (berpihak) dengan kekejaman. Ia akan merancang kontinuitas sejarah berkesinambungan. Ia akan menegaskan perjuangan tak kenal henti antara pewaris Adam dan pewaris setan. As syura mengingatkan kembali akan ajaran ikhwal kenyataan bahwa Islam dewasa ini adalah Islam kriminal dalam jubah “tradisi” dan bahwa Islam sejati adalah Islam yang tersembunyi dalam jubah merah kesyahidan”.16
Syari’ati
mengemukakan
suatu
rumusan
bahwa
agama
itu
mempunyai makna lebih luas, yakni sebagai ideologi. Ini dikarenakan sifat dan keharusan dari ideologi itu meliputi keyakinan, tanggung jawab, dan keterlibatan untuk dijadikan “pijakan dasar komitmen” bagi seseorang dalam hidup –merubah tatanan sosial yang timpang. Munculnya agama sebagai ideologi, papar Syari’ati, dimulai ketika para Nabi muncul di tengah-tengah suku-suku dan pemimpin gerakan-gerakan historis untuk membangun
dan
menyadarkan
masyarakat.
15
Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 73.
16
Sarbini, Islam di Tepian Revolusi, hml.68
Ketika
para
nabi itu
82
memproklamirkan semboyan-semboyan tertentu dalam membantu massa kemanusiaan, maka para pengikut Nabi kemudian mengelilingi nabi dan menyatakan untuk turut bersama-sama Nabi dengan sukarela. Dari sinilah, menurut Syari’ati, munculnya agama sebagai ideologi. Namun kemudian, agama itu kehilangan semangat aslinya dan mengambil bentuk agama sebagai institusi sosial.17 Syari’ati berupaya menegaskan perbedaan Islam dengan pemahaman umum tentang agama yang dikonsepsikan oleh Durkheim. Dalam bentuk yang tidak ideologis, agama seperti dikemukakan Durkheim sebagai “suatu kumpulan keyakinan warisan nenek moyang dan perasaan-perasaan pribadi; suatu peniru terhadap modus-modus, agamaagama, ritual-ritual, aturan-aturan, konvensi-konvensi dan praktek-praktek yang secara sosial telah mantap selama generasi demi generasi. Ia tidak harus merupakan menifestasi dari semangat ideal kemanusiaan yang sejati”.18 Agama Islam merupakan agama revolusioner, yang memberi seseorang; individu yang beriman padanya, yang didik dalam pemikiran aliran agama ini, kemampuan untuk mengkritik kehidupan dalam seluruh aspek materiil, spiritual dan sosial.19 Dalam konteks masyarakat modern, Syari’ati melihat perlbagai problem kemanusiaan yang disebabkan oleh adanya kolonialisme dan imperialisme Barat. Akibat yang timbul dari hal itu adalah munculnya bentuk-bentuk
korporasi
multi-nasional,
rasisme,
17
Ali Syari’ati, Islam mazhab pemikiran dan aksi, hlm.154-155.
18
Ali Syari’ati, Ideologi Kaum Intelektual, hlm. 81.
19
Ali Syari’ati, Agama Versus Agama, hlm. 36.
penindasan
kelas,
83
ketidakadilan, dan melahirkan para pemuja Barat. Bagi Syari’ati, Islam merupakan satu-satunya solusi yang akan menyelamatkan negeri Muslim dari segala bentuk tekanan dan penindasan. Upaya Syari’ati dalam merekonstruksi Islam sebagai ideologi dengan menyajikan tahapan-tahapan ideologi secara detail: 1. Ali Syari’ati meletakan pandangan dunia tauhid sebagai pandangan dasar. Pendangan ini menyatakan secara langsung bahwa kehidupan merupakan bentuk tunggal, organisme yang hidup dan sadar, memiliki kehendak, intelejen, perasaan dan tujuan. Hal demikian berbeda dengan pandangan dunia yang membagi kehidupan dalam kategori yang berpasangan: dunia dan alam kekal; fisik dan ghaib; substansi dan arti; rohani dan jasmani. Karena itu diskriminasi manusia atas dasar ras, kelas, darah, kekayaan, kekuatan dan lainnya tidak bisa dibiarkan, karena ia dianggap berlawanan dengan nilainilai Ketuhanan. 2. Pada tahap selanjutnya adalah berkenaan dengan bagaimana memahami dan mengevaluasi pemikiran dan segala sesuatu yang membentuk lingkungan sosial dan mental. Bagi Syari’ati, Islam adalah pandangan dunia yang bisa dipahami dengan mempelajari alQur’an sebagai kumpulan ide-ide dan mempelajari sejarah Islam sebagai ringkasan kemajuan yang pernah dialami dari permulaan misi Nabi sampai pada dunia kontemporer.
84
3. Pada tahap terakhir, diperlukan suatu ikhtiar bagaimana mencari dan menerapkan jalan yang praktis untuk menumbangkan status quo. Caranya ialah melengkapi masyarakat dengan tujuan dan cita-cita yang diinginkan, langkah-langkah praktis berdasarkan kondisi masyarakat, serta upaya menciptakan perubahan dan kemajuan dalam aksi-aksi revolusioner. Ideologi harus mengejawantah sebagai suatu
amanat
yang
sedang
dihidupkan
kembali
untuk
membangkitkan kaum yang menderita, bodoh dan lamban, agar bangun dan menegaskan hak-hak serta identitasnya.20 Ali Syari'ati sendiri demikian konsisten dengan gagasannya, terbukti tatkala menyaksikan kondisi lingkungan sosialnya demikian carut-marut karena propaganda dan kekejaman rezim Syah Pahlevi. Melihat kebekuan masyarakat akibat ilusi ulama dengan doktrin “Juru Selamat yang gaib”21, bahkan para intelektual bangga dengan produk-produk pemikiran yang diimpor bulat-bulat, Syari'ati langsung turun lapangan. Seluruh daya upaya –mulai dari mengajar, ceramah bahkan sampai lerlibat dalam protesprotes— telah dikerahkan untuk menyelamatkan masyarakatnya yang tertindas. Syari'ati telah melakukan ideologisasi dengan cara-cara yang memungkinkan baginya. Dengan demikian Syari’ati menggagas Islam sebagai ideologi.
20
21
Sarbini, Islam di Tepian Revolusi, hlm. 70-71.
Menurut Syari’ati konsep Juru Selamat merupakan senjata yang ampuh untuk mempertahankan status quo dan merupakan cara yang terbaik untuk menyakinkan agar umat tunduk kepada kezaliman. Lihat dalam Ali Syari’ati, Para Pemimpin Mustadh’afin, hlm. 85.
85
Ali Syari’ati menegaskan kembali bahwa ideologi dan kesadaran kelas itulah yang menolongnya mencapai kesadaran istimewa tentang kehidupan dan jalan bertindak yang jelas, jalan hidup, dan jalan berfikir dengan cita-cita jelas yang membentuk filsafat hidupnya.22 Jadi, dengan ideologi, manusia akan menghindarkan dari sifat oportinis, reaksioner dan ragu-ragu dalam menentukan arah perubahan sosial. 2. Mewujudkan Tatanan Masyarakat Baru Didunia ini pernah dihuni oleh para pemikir besar pada zamannya. Dalam tradisi pemikiran Yunani Klasik, terdapat sederet pemikiran termasyur seperti Socrates, Plato dan Aristoteles. Tetapi sepanjang hidup mereka, masyarakat Yunani tetap merasakan perbudakan yang sangat kejam. Begitu pula di Timur memiliki Ibnu Arabi, Ibnu Sina dan alGhazali berada dalam masyarakat yang korup. Menurut Syari’ati mereka bukanlah manusia yang tercerahkan. Bahkan Syari’ati menilai akan menjadi bahaya besar jika para pemikir terpisah dari masyarakat. Karena Jika seorang pemikir memisahkan diri dari masyarakat, ia tidak peduli dengan perbudakan dan penguasa yang korup serta tidak memiliki tanggung jawab sosial untuk meningkatkan drajat martabat kemanusiaan. Dalam buku “Membangun Masa Depan Islam” memuat analisis Syari’ati mengenai kaum cerdik pandai yang terbagi dua, yaitu kaum intelektual yang memanfaatkan pengetahuan teoritis dan praktis mereka – seperti para pemikir diatas, dan kaum yang tercerahkan yang memikul
22
Ali Syari’ati, Tugas Cendiakiawan Muslim, hlm. 223.
86
tanggung jawab sosial dan memainkan perannya sebagai nabi-nabi sosial. Pendeknya, tugas manusia tercerahkan adalah memwujudkan tatanan masyarakat baru tanpa penindasan. Hal inilah yang kemudian menjadi fokus sorotan tokoh revolusioner Iran, Ali Syari’ati yang dengan lantang menyatakan bahwa: “Perbedaan antara cendekiawan Timur yang bebas dan cendekiawan Timur yang berfikir kebarat-baratan adalah bahwa yang pertama tidak pernah ingin membatasi dirinya pada norma-norma intelektual yang diimpor dari barat, sedangkan yang kedua menganggap Barat sebagai model yang harus ditiru. Tipe yang berorientasi ke Barat mungkin seorang intelektual, sangat terpelajar dan seorang sarjana, walaupun demikian dia terlalu terasing atau terpisah dari masyarakatnya untuk dapat mempengaruhi masyarakat secara konstruktif. Tipe ini tidak dapat menjadi pemimpin rakyatnya yang sadar dan faham, karena ia tidak mengenal kenyataan-kenyataan dan kebutuhan–kebutuhan nyata dari masyarakatnya.....”.23
Dalam konteks peradaban modern yang telah membuat manusia lebih “beradab” –dengan pelbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah memberikan kemudahan-kemudahan manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Namun sebaliknya, Syari’ati berbeda pandangan, ia menganggap bahwa peradaban modern sedang mengalami kemerosotan. Syari’ati menyatakan, bahwa malapetaka umat manusia di zaman modern ini, pertama-tama dan yang paling utama adalah mapetaka kemanusiaan.24 Seperti halnya teori marxisme, Syari’ati menyatakan bahwa akar persoalan dari malapetaka kemanusiaan adalah kepemilikan pribadi. Syari’ati menegaskan bahwa “munculnya kepemilikan pribadi merupakan sumber
23
Ali Syari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim, hlm. 87
24
Ali Syari’ati, Humanisme, hlm. 65.
87
datangnya bermacam-macam penyakit, termasuk gangguan terhadap tatahubungan kemasyarakatan dan pengingkaran atas nilai-nilainya.”25 Telah diterangkan pada bab terdahu, Syari’ati menyebutkan bahwa konflik antara Habil dan Qabil dilandasi adanya kepemilikan pribadi. Dengan demikian, masyarakat telah terpolarisasi menjadi dua kutub yang saling berlawanan sepanjang sejarah. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Marx dan Engels bahwa sejarah semua masyarakat hingga sekarang ini adalah sejarah perjuangan kelas.26 Dewasa ini, sistem ekonomi yang dikuasai oleh kapitalisme sebagai pemilik sah dari alat-alat produksi telah menguasai kehidupan masyarakat. Sehingga manusia berada dalam belenggu
penindasan,
penghisapan
oleh
segelintir
orang.
Ilustrasi
percakapan Syari’ati dengan Imam Ali menunjukan betapa dahsyatnya penindasan di zaman modern, berikut ini kutipannya: Kami bekerja untuk sistem, kekuasaan, mesin, dan istana-istana yang dipelihara melalui kerja keras kami. Kekayaan dikumpulkan dari hasil keras kami, tapi bagian yang kami terima hanya potongan yang terkecil; kami diharuskan bekerja kembali pada hari berikutnya. Kini kami lebih tersiksa daripadamu! Kekejaman dan diskriminasi yang kini terjadi jauh lebih menyakitkan dari zamanmu!27
Syari’ati melihat bahwa sistem kapitalisme yang ditopang oleh kemajuan teknologi dan perkembangan mesin-mesin industri telah mengingkari eksistensi manusia dengan mengeksploitasi begitu kejam. Peradaban modern dalam jerat kapitalisme membuat manusia merasa cemas 25
Ali Syari’ati, Peranan Cendiakiawan Muslim,hlm. 14-15.
26
Marx dan Engels, Manifesto Partai Komunis, dalam Jurnal Kiri no. I, Juli 2000, hlm.
27
Ali Syari’ati, Para Pemimpin Mustadh’afin, hlm. 11-12.
43-44.
88
dan gelisah dalam setiap mengambil keputusan –ia tidak tahu apa yang sebenarnya yang diinginkan. Syari’ati menyatakan “mesin-mesin yang semula menjadi alat bagi manusia untuk menjadikan penguasa atas alam dan dibebaskan dari perbudakan kerja, kini berubah menjadi sistem mekanis yang membelenggu manusia.”28 Peradaban modern terus melaju dan sistem kapitalisme pun berupaya memperbaiki dan memperkokoh diri. Menurut Syari’ati, “kaum kapitalisme kini telah mempekerjakan para ahli sosiologi, para filsuf, bahkan mereka menggaji pakar-pakar sosialis dan marxis”.29 Tidak lain, kaum kapitalis menggunakan jasa mereka untuk memuluskan jalan penindasan secara ilmiah.
Hal
itu
telah
membuktikan
bahwa
kapitalisme
telah
mentransformasikan “sesat pikir” terhadap intelektual-intelektual dan sayangnya mereka menerima dengan bangga. Kemudian Ali Syari’ati mengatakan: Fungsi mereka adalah menyebarkan pemikiran-pemikiran dan gagasangagasan Eropa yang dicomot dan dipilih terlebih dahulu, dan juga menyebarkan gaya hidup, hubungan sosial, dan pola-pola moral, serta prilaku barat. Intelektual-palsu itu diharapkan dapat menjadikan rakyat “modern” dan meniru golongan elit dan progresif dan mendidik para pemuda dari masyarakat-masyarakat non-Eropa agar menyerap budaya Eropa sehingga tersedialah dasar untuk penyusupan dan kedatangan Barat.30
Dalam kondisi di atas manusia sering disebut sedang mengalami keterasingan. Dimana manusia tidak lagi mengenali dirinya sendiri dan terjatuh pada kekuatan-kekuatan diluar dirinya, karena mau tidak mau harus 28
Ali Syari’ati, Humanisme, hlm. 65.
29
Ali Syari’ati, Peranan Cendiakiawan Muslim,hlm. 67.
30
Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 73.
89
mengikuti alur kebudayaan dan pola pikir yang telah dipaksakan oleh kapitalis. Syari’ati mengungkapkan hal itu dengan begitu mendalam, yakni; “konsepsi saya mengenai diri saya tidak seperti saya sebenarnya dalam realitas, tetapi sebagaimana adanya “mereka”; yaitu saya yang terasing.”31 Dari situ, intelektual dipandang gagal memberikan kontribusi dalam menjembatani masyarakat untuk menemukan jati dirinya. Ali Syari’ati menekankan manusia tercerkan harus menganalisa keadaan objektif masyarakat dan mencari akar persoalan dari ketertindasan serta mempelopori gerakannya. Maka daripada itu, seperti yang telah dibahas sebelumnya –manusia tercerahkan membutuhkan ideologi, yakni Islam. Menurut Syari’ati, manusia tercerahkan merupakan agen perubahan, motor radikalisasi massa dalam melawan penindasan. Syari’ati menegaskan bahwa orang tercerahkan adalah aktivitas radikal yang meyakini sungguhsungguh dalam ideologi dan menginginkan syahid demi perjuangan. Syari’ati menyatakan esensi tanggung jawab adalah ‘Amr ma’ruf nahi
munkar.32 Misi yang dibawa orang tercerahkan adalah membangkitkan “massa yang tertidur” dengan mengidentifikasi persoalan riil berupa (1) kemunduran masyarakat dan Islam, (2) agama dan keadilan –sebagai solusi rasional untuk menggeluti persoalan yang mencual dalam masyarakat.33 Walaupun Syari’ati sering bicara kelas, namun dalam hal ini –kesadaran
31
Ali Syari’ati, Ideologi Kaum Intelektual, hlm. 141.
32
Ali Syari’ati, Agama Versus Agama, hlm. 38.
33
Sarbini, Islam di Tepian Revolusi, hlm. 89.
90
untuk bergerak tidak selalu muncul dari kesadaran kelas, namun bisa berangkat dari kesadaran agama Islam. Manusia
tercerahkan
dalam
perjuangannya
akan
membawa
masyarakat yang terpolarisasi menuju masyarakat tauhid. Di dalam masyarakat tauhid tidak mengenal kontradiksi legal, sosial, politik, rasial, nasional, teritorial, maupun genitika.34 Konsepsi ekonomi yang ditawarkan Syari’ati dibangun diatas dasar persamaan dan keadilan serta hak milik yang diberikan di tangan rakyat.35 Pandangan Syari’ati tentang masyarakat masa depan tidak terlalu berbeda dengan masyarakat tanpa kelas (komunisme) dalam paradigma marxisme. Inilah tanggung jawab utama manusia tercerahkan untuk menegasikan penindasan menuju masyarakat baru, yakni masyarakat tauhid dengan prinsip persamaan dan keadilan. C. Refleksi Tanggung Jawab Manusia Indonesia Ke-modern-an Eropa yang dipelopori oleh gerakan renaisans membawa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Industri-industri raksasa –ditopang teknologi canggih telah melahirkan kolonialisme sebagai tragedi kemanusiaan. Tragedi kemanusiaan pun terjadi di Indonesia. Pada konteks ini, kemanusiaan lahir dari pengalaman manusia Indonesia itu sendiri. Periode kolonialisme, manusia Indonesia tidak memiliki kebebasan dan cenderung merendahkan. Tidak dipungkiri bahwa praktek kolonial bertindak semena-mena dengan menindas, membunuh dan menciptakan budaya-budaya yang sesungguhnya asing bagi masyarakat Indonesia. Pendidikan Barat di 34
Sarbini, Islam di Tepian Revolusi, hlm.79.
35
Sarbini, Islam di Tepian Revolusi, hlm. 92.
91
bawah kekuasaan kolonial merupakan pem-Barat-an yang bersifat peniruan. Namun pengalaman ketertindasaan ini melahirkan kesadaran para intelektual yang melahirkan tanggung jawab untuk melakukan perjuangan menjadi manusia merdeka. Sebagaimana menurut Syari’ati, manifestasi manusia dialektika selalu mengambil bentuk yang saling berlawanan, yakni antara yang ditindas dan yang menindas. Sehingga para intelektual Indonesia merumuskan gagasan tentang kemerdekaan dan melakukan pemberontakan terhadap kolonial hingga tercapainya kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Perjuangan intelektual Indonesia, nampaknya selaras dengan ungkapan syari’ati bahwa “anti-kolonialisme tidak hanya melawan kolonialisasi tetapi juga menjalankan revolusi untuk menentang dan berusaha untuk bebas darinya.”36 Namun, berbeda dengan Syari’ati, revolusi Indonesia bukan berpegang dengan ideologi Islam, melaiankan penyatuan ideologi Nasionalisme, Agama dan Komunisme (Nasakom). Sehingga Indonesia tidak melahirkan negara Islam seperti di Iran, tetapi memfasilitasi ketiga ideologi besar tersebut dengan Pancasila. Bisa dibilang tujauan revolusi Indonesia tidak hanya melepaskan diri dari imperialisme dan sisa-sisa feodal, tetapi revolusi tahap selanjutnya menuju sosialisme ala Indonesia. Soekarno menjelaskan hakikat revolusi ini dalam pidatonya “Djalannja Revolusi Kita (Djarek) yakni: Perombakan, penjebolan, penghancuran, pembasmian dari semua apa yang kita tidak sukai, dan membangun segala apa yang kita sukai. Revolusi adalah perang melawan keadaan yang tua untuk melahirkan yang muda dan revolusi Indonesia adalah bagian yang tak terpisahkan daripada revolusi dunia, karena tiga perempat dari umat manusia di muka bumi ini berada dalam kondisi 36
Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 82-83.
92
mengalami revolusi. Berbicara tahap revolusi dan tujaunnya ada dua macam tahap revolusi yaitu: pertama, tahap mencapai Indonesia merdeka penuh, bersih dari imperialisme dan yang demokratis serta bersih dari sisa-sisa feodalisme. Tahap ini masih harus diselesaikan dan disempurnakan. Kedua, tahap mencapai Indonesia ber-Sosialisme Indonesia, bersih dari kapitalisme dan dari expoitation de l’homme par l’homme. Tahap ini bisa dilaksanakan dengan sempurna setelah tahap pertama sudah diselesaikan seluruhnya.37
Manusia tercerahkan dan tanggung jawabnya selanjutnya adalah menuikan tugas revolusi tersebut yang luntur dibawah kekuasan orde baru. Pada masa orde baru, dengan sistem pemerintahan yang tidak jauh beda dengan rezim Pahlevi di Iran, yakni otoriter dan dibawah kekuasan imperialisme. Dengan kekuatan militer, rezim orde baru melahirgan berbagai tragedi kemanusiaan, yakni tragedi 1965, tragedi Malari tahun 1974, tragedi Tanjung Priok dan tragedi Tri Sakti dan Semanggi. Senada dengan tindakan Pahlevi, orde baru mengimpor budaya dan memiliki kegemaran mengirim intelekutal ke Barat, kemudian mempraktekan ilmu yang didapat di Indonesia. Intelektuan dimanjakan oleh orde baru sehingga para intelektual orportunis mendukung dan membela kebijakan status quo. Hasilnya adalah pemerintah orde baru menjalankan kebijakankebijakannya sangat pragmatis. Hal demikian itu, tidak dipungkiri akibat modernisasi yang dijadikan sebagai titik tolak pembangunan. Dimana perekonomian Indonesia bersandarkan pada perekonomian Barat. Sehingga para pemodal Barat dan kalangan elit (bourjuasi) saja yang menikmati perekonomian di Indonesia.
37
Penetapan Tujuh Bahan-Bahan Pokok Indoktrinasi, (Bandund: cv. Dua-R, 1961), hlm.61-62.
93
Kemudian paska reformasi, tragedi kemanusiaan semakin besar. Pemerintahan dengan mazhab neoliberal, menjalankan kebijakan privatisasi dan perjanjian perdagangan bebas yang menguntungkan kapitalisme global. Perkembangan kapitalisme global membutuhkan adanya masyarakat konsumen yang akan melahap semua produk kapitalisme tersebut. Masyarakat konsumen dengan budaya kunsumsi telah menjadikan eksistensi manusia modern. Fenomena masyarakat konsumen, yang hidupnya diatur oleh logika kapitalisme global dimana makna hidup dan identitas diri mereka ditentukan dalam kegiatan konsumsi. Hal itu sebenarnya merupakan fenomena yang menunjukkan bahwa dunia sedang mengarah pada situasi yang tidak menentu. Meminjam istilah Syari’ati, manusia Indonesia telah menjadi “hewan-hewan konsumen.” Tindakan sewenang-wenangan status quo selalu mengunakan alat-alat lain untuk memperkuat posisi dan melegitimasi. Seringkali lembaga-lembaga sosial maupun lembaga agama dipolitisir oleh para elit kedua lembaga tersebut. Di mana lembaga sesungguhnya bukan lagi hanya sebagai wadah untuk memperjuangkan hak-hak kelompok, namun menjadi alat untuk meraih kekuasan. Dengan kata lain, kedua lembaga itu saat ini telah ternodai oleh kepentingan pragmatis, sehingga melupakan tujuan dan misinya. Terbukti, dengan terciptanya lembaga-lembaga agama dibawah pengawasan pemerintah telah menjadi alat untuk meninabobokan masyarakat melalui fatwa-fatwa para elit agama yang berada di dalam lembaga pemerintahan. Misalnya kasus terbaru tentang fatwa haram bagi orang mampu dalam mengakses BBM
94
bersubsidi. Pertanyaanya, bagi pemerintah yang tidak menjalankan amanat UUD 1945 pasal 33, malah yang terjadi pemerintah gemar melakukan privatisasi sehingga kekayaan alam Indonesia dirampok terang-terangan oleh korporasi raksasa internasional tidak lebih haram?. Dari parodi persoalan tersebut, maka manusia (Indonesia) tercerahkan harus berada di tengah-tengah masyarakatnya, harus menunjukkan tanggung jawabnya
untuk
mencari
akar
permasalahan
yang
menyebabkan
keterbelakangan masyarakat serta berupaya menemukan solusi yang tepat bagi kemandekan dan kebobrokan yang menimpa rakyat yang ada di sekitarnya. Terlebih, ia harus mendidik masyarakatnya yang masih bodoh ataupun masih tertidur, mengenai alasan-alasan mendasar yang membuat nasib masyarakatnya yang secara sosio-historis terlihat amat tragis dan dilematis.38 Kemudian tugas manusia tercerahkan adalah menciptakan revolusi sosial yang membawa manusia Indonesia menuju persamaan dan keadilan. D. Catatan Untuk Ali Syari’ati Pemikiran Ali Syari’ati tentang manusia terkesan ambigu. Hal itu dikarenakan Syari’ati sosok pemikir yang cenderung eklektis –yang mengakibatkan “rasa ragu” terhadap orisinalitan pemikirannya. Syari’ati sangat kental dengan kombinasi antara Islam dan marxisme, bahkan paradigma kerangka dan analisis menggunakan marxisme. Di dalam manusia dua dimensional yang sejatinya merupakan simbol kebebasan, Syari’ati menggunakan metode dialektika –yang menunjukan
38
Ali Syari’ati, Membangun Masa Depan Islam, hlm. 42
95
adanya kontradiksi (pertentangan). Namun pertentangan yang muncul terkesan pada realitas penampakan saja –dialektika termanifestasi dalam perjaungan kelas (Habil vs Qabil). Hal ini karena orientasi pemikiran Syari’ati tentang manusia adalah jembatan untuk melakukan revolusi. Sehingga lebih jauh daripada itu, dialektika Syari’ati mengenai esensi manusia belum begitu mendalam. Syari’ati terkadang juga tidak konsisten dalam melihat akar persoalan terjadinya pertentangan dalam realitasnya. Disalah satu sisi, Syari’ati menyebutkan terjadinya pertentangan karena adanya kepemilikan, namun disisi lain adalah keyakinan. Syari’ati mengembangkan konsep “kelas keyakinan” dalam rangka menjelaskan kemunculan apa yang ia anggap sebagai kelas ulama –yang menghasilkan “institusi ulama” yang terpusat dan berpikiran sempit.39 Berkaitan dengan kebebasan, kesadaran dan kreatifitas manusia dalam pandangan Syari’ati harus lepas dari belenggu determinisme. Namun disisi lain, Syari’ati menyatakan bahwa pengetahuanlah yang membuat manusia memiliki kesadaran-diri diperoleh dari Tuhan sebagai guru pertama bagi manusia. Jika berbicara mazhab determinisme, Syari’ati telah terjatuh pada fatalisme, yakni segala sesuatu tindakan atau yang melekat pada manusia ditentukan oleh kehendak Tuhan. Dengan demikian, manusia dalam pemikiran Syari’ati akan berbeda dengan Jean-Paul Sartre yang menolak determinisme secara
mutlak.
Menurut
Syari’ati
eksistensialisme
Sartre
merupakan
kemunduran yang disayangkan dari eksistensialisme yang agung, dari puncak
39
Lihat dalam Ali Rahnema, Ali Syari’ati: Biografi Politik Intelektual, hlm. 313-314.
96
manusia-tuhan ke gurun kecemasan yang sia-sia. Nihilis eksistensialisme tidak memiliki tujuan hidup yang pasti. Kemudian Syari’ati menghadirkan esensi dari segala realitas yakni Tuhan. Islam sebagai ideologi ketika terlembagakan menjelma sebagai negara yang sifat dan perannya represif akan menjadi kontraproduktif. Ideologi haruslah evaluatif dan dinamis, karena kenyataan gagasan dan struktur kesadaran dan konsep itu bersifat dinamis –dimana kenyataan berada dalam perubahan yang terus-menerus. Di dalam dialektika, proses kritis hanya berlangsung supaya sebuah tafsir realitas tidak berubah menjadi alat pembenaran status quo.40 Islam sebagai idelogi sebagaimana tawaran Syari’ati harus terus dinamis dengan kondisi sosial yang terus berkembang dengan tujuan pembebasan manusia dari belenggu penindasan. []
40
Bagus Takwin, Akar-akar Ideologi, hlm. 91.
97
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan beberapa uraian di atas, ada beberapa hal yang menjadi kesimpulan dari pembahasan kajian manusia dalam pemikiran Ali Syari’ati, sebagai berikut: 1. Pandangan Ali Syari’ati tentang manusia Pandangan Ali Syari’ati mengenai manusia terdapat pelbagai kategori, yakni; khalifah, manusia dua-dimensional, insa>n, dan manusia tercerahkan. Kategori khalifah: Syari’ati memahami bahwa manusia sebagai khalifah yang bertugas supaya menyesuaikan sifatnya dengan sifatsifat Tuhan. Bagian pokok yang menjadikan manusia lebih superior di antara semua makhluk ciptaan-Nya ialah akal –anugerah tertinggi itulah yang menyebabkan malaikat dan iblis harus bersujud di hadapan Adam. Kategori Manusia dua-dimensional: berdasarkan kisah penciptaan Adam diketahui bahwa manusia terdiri dari dua dimensi, yakni material (tanah) dan spiritual (ruh Tuhan). Lebih lanjut Syari'ati memaknai bahwa dimensi material merupakan simbol kehinaan, sementara dimensi spiritual sebagai simbol kemuliaan. Sebagai manusia dua dimensional, manusia diberi tanggung jawab berupa kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya, yakni pilihan kepada jalan kehinaan maupun jalan kemuliaan. Kategori insa>n: Syari'ati berpendapat bahwa manusia secara kualitas terdiri dari basya>r dan
98
insa>n. Manusia yang dalam hidupnya tinggal menjalani takdir (being), itulah basya>r, sedangkan insa>n ialah manusia yang hidupnya selalu men-jadi (becoming) menuju kesempurnaan. Oleh karena proses itulah, insa>n memiliki tiga ciri khas utama, antara lain: kesadaran diri, kehendak bebas dan daya cipta. Syari’ati menyebutnya sebagai manusia tiga dimensional. Kategori yang terakhir yakni manusia tercerahkan: Syari’ati berpandangan manusia tercerahkan adalah orang yang sadar akan keadaan kemanusiaan (human condition) di masanya, serta setting kesejarahannya dan kemasyarakatnya. Pada prinsipnya tanggung jawab sosial yakni mendorong terwujudnya perubahan-perubah struktural yang mendasar, seperti tanggung jawab yang pernah diemban oleh para nabi terdahulu. Dari katagori manusia diatas Syari’ati hendak mengatakan bahwa manusia
sejatinya
adalah
manusia
yang
berdialektika
menuju
kesempurnaan. Dengan karunia intelekutal dilengkapi dengan atribut kesadaran, kebebasan dan kretivitas serta memiliki moral yang agung yaitu tanggung jawab manusia dituntut menjadi manusia sempurna. 2. Konsep manusia tercerahkan dan tanggung jawab sosial Selanjutnya sebagai manifestasi manusia dua dimensional, manusia dihadapkan
pada
polarisasi
dalam
masyarakat.
Polarisasi
tersebut
mengambil bentuk antagonisme yang menghasilkan penindasan-penindasan, Syari’ati menyebut kutub Qabil menindas Habil. Syari’ati berpandangan bahwa jika ingin membebaskan kaum Habil dibukuhkan suatu perubahan yang fundamental –yakni revolusi –yang digerakan manusia tercerahkan
99
untuk mengakhiri penindasan kaum Qabil. Sebagai orang yang sadar akan keadaan kemanusiaan serta setting kesejarahannya dan kemasyarakatnya membutuh ideologi. Jadi, dengan ideologi, manusia akan menghindarkan dari sifat oportinis, reaksioner dan ragu-ragu dalam menentukan arah perubahan sosial. Syari’ati menawarkan Islam sebagi Ideologi. Agama Islam merupakan agama revolusioner, yang memberi seseorang; individu yang beriman padanya, yang didik dalam pemikiran aliran agama ini, kemampuan untuk mengkritik kehidupan dalam seluruh aspek materiil, spiritual dan sosial. Dengan ideologi inilah tanggung jawab utama manusia tercerahkan untuk menegasikan penindasan menuju masyarakat baru, yakni masyarakat
tauhid dengan prinsip persamaan dan keadilan. B. Saran -saran 1. Penyusun menyadari betul dalam penulisan skripsi ini masih banyak sekali terdapat kekurangan dan sangat jauh dari kesempurnaan. Saran untuk penelitian selanjutnya, penyusun melihat bahwa pemikiran Syari’ati cenderung mengarah ke sebuah paham eklektisisme, yang pada gilirannya membuat orang keliru memahaminya. Sehingga perlu kiranya untuk berhatihati dalam membedah pemikiran Ali Syari’ati. 2. Keterbatasan kemampuan penyusun dalam meneliti pemikiran Ali Syari’ati tentang manusia, harapannya dapat diperdalam oleh penyusun berikutnya. Tema manusia yang penyusun paparkan mungkin terlalu luas, sehingga perlu juga memfokuskan pada salah satu kategori manusia agar lebih mendalam.
100
3. Karena Ali Syari’ati seorang intelektual sekaligus tokoh yang revolusioner, perlu juga kirannya bagi penyusun berikutnya dapat membedah manusia tertindas Indonesia. Ketika kita berkaca pada masyarakat Indonesia, mayoritas masih mengalami kemiskinan. Penyusunan tema tersebut berpotensi besar terhadap kemajuan rakyat Indonesia. []
101
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal. Filsafat Manusia. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006. Adian, Gahral. Matinya Metafisika Barat. Jakarta: Komunitas Bambu, 2001. Asy’arie, Musa. “Filsafat Islam Suatu Tinjauan Ontologis” dalam Irma Fatimah (ed.), Filsafat Islam Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prospektif. Yogyakarta: LESFI, 1992. Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000. Bakker, Anton & Charris Zubair, Achmad. Metodologi Penelitian Filsafat, cet. XIV, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2010. Engels, Frederick. Anti-Dühring. terj. Oeyhaydjoen. Hasta Mitra-Ultimus, 2005. Fakultas Ushuluddin. Pedoman Penulisan Proposal dan Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, 2008. Indonesia. Penetapan Tujuh Bahan-Bahan Pokok Indoktrinasi. Bandund: Cv. Dua-R, 1961. Ismulyadi, Sosialisme Islam Ali Syari’ati. Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2001. Magnis-Suseno, Franz. Menjadi Manusia Belajar dari Aristoteles. Yogyakarta: Kanisius, 2009. Marcuse, Herbert. Manusia Satu-Dimendi, terj. Silvester G. Sukur & Yusup Priyasudiarja, cet. I. Yogyakarta: Bentang Budaya, 2000. Marx dan Engels, “Manifesto Partai Komunis”, dalam Jurnal Kiri. I. Neuron, 2000. Martini, Iin. Konsep Intelektual Menurut Ali Syari’ati. Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2007. Muchasin, Asal Usul Manusia Sebuah Pengantar dalam Muhammad Muhyidin, Asal Usul Manusia. Yogyakarta: IRCiSoD, 2006. Muhyidin, Muhammad. Asal Usul Manusia. Yogyakarta: IRCiSoD, 2006.
102
Nasution, Muhammad Yasir. Manusia menurut Al-Ghazali. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999. Plekhanov, G. Masalah-Masalah Dasar Marxisme. Jakarta: Hasta Mitra, 2002. Rahman, Fazlur. Islam dan Modernitas, terj. Ahsin Mohammad. Bandung: Pustaka, 1985. Rahnema, Ali. Ali Syari'ati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner, terj. Dien Wahid, dkk., Jakarta: Erlangga, 2002. Rais, Amien. Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta. Bandung: Mizan, 1994. Sabari, Henry S. Dostoevsky: Menggugat Manusia Modern. Yogyakarta: Kanisius, 2008. Saragih, Khairul Azhar. Pandangan Ali Syari’ati Tentang Tanggung Jawab Sosial Intelektual Muslim: Perbandingan Dengan Intelektual Muslim Di Indonesia, Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010. Sarbini, Islam Ditepian Revolusi Ideologi Pemikiran dan Gerakan. Yogyakarta: Pilar Media. Shimogaki, Kazuo. Kiri Islam: Telaah Kritis atas Pemikiran Hassan Hanafi, terj. M Imam Aziz. Yogyakarta: LKiS, 1993. Sarwar. H.G., Filsafat AL-Quran, terj. Zaenal Muhtadin Mursyid. Jakarta: Rajawali Pers, 1990. Siswanto, Dwi. Humanisme Eksistensial Jean-Paul Sartre. Yogyakarta: Philosophy Press, 2001. Supadjar, Damardjati. “Sosok dan Perspektif Filsafat Islam: Tinjauan Aksiologis” dalam Irma Fatimah (ed.), Filsafat Islam: Kajian Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prospektif. Yogyakarta: LESFI, 1992. Supriadi, Eko. Kaitan antara Marxisme dan Islam Perspektif Pemikiran Ali Syari’ati. Skripsi Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta, 2002. Syari'ati, Ali. Peran Cendekiawan Muslim: Mencari Masa Depan Kemanusiaan, Sebuah Wawasan Sosiologis, terj. Team Naskah Shalahuddin Press. Yogyakarta: Shaahuddin Press, 1985. --------- Abu Dzar: Suara Parau Menentang Penindasan, cet. I. Bandar Lampung: YAPI, 1987.
103
--------- Membangun Masa Depan Islam, terj Rahmani Astuti. Bandung: Mizan, 1988. --------- Ideologi Kaum Intelektual: Suatu Wawasan Islam, terj. Safiq Basri dan Haidar Bagir. Bandung: Mizan, 1994. --------- Humanisme: Antara Islam dan Mazhab Barat, cet. II. Bandung: Pustaka Hidayah, 1996. ------- Agama versus Agama, cet. I, terj. Afif Muhammad dan Abdul Syukur. Bandung: Pustaka Hidayah, 1994. --------- Humanisme antara Islam dan Mazhab Barat, cet. II. Bandung: Pustaka Hidayah, 1996. --------- Islam Agama Protes, cet. II, terj. Satrio Pinandito. Bandung: Pustaka Hidayah, 1996. --------- Para Pemimpin Mustadh’afin; Sejarah Panjang Perjuangan Melawan Penindasan dan Kezaliman, cet. I. Bandung: Muthahari Paperbacks, 2001. --------- Fatimah az-Zahra Pribadi Agung Putri Rasulullah SAW, terj. Muhammad Hashem Assagaf. Jakarta: Pustaka Zahra, 2003. --------- Haji, cet. VII. Bandung: Pustaka, 2006. --------- Tugas Cendekiawan Muslim, terj. Amin Rais. Yogyakarta: Shalahuddin Press, t.t. Takeshita, Mesataka. Insan Kamil; Pandangan Ibnu ‘Arabi, terj. Harir Muzakki. Surabaya: Risalah Gusti, 2005. Takwin, Bagus. Akar-akar Ideologi: Pengantar Kajian Konsep Ideologi dari Plato hingga Bourdieu. Yogyakarta: Jalasutra, 2009. Titus (dkk.), Persoalan-persoalan Filsafat. terj. M. Rasjidi. Jakarta: Bulan Bintang, 1984. van der Weij, P. A. Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia, terj. K. Bertens, Yogyakarta: Kanisius, 2006. Widyastini, Filsafat Manusia menurut Confucius dan al-Ghazali. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999
104
Z, T. Lavine, Marx Konflik Kelas dan Orang Yang Terasing. Yogyakarta: Jendela, 2003.
CURRICULUM VITAE
Nama
: Akhmad Azmir Zahara
Tempat / Tanggal Lahir
: Banjarnegara, 12 Mei 1985
Agama
: Islam
Status
: Belum Menikah
Golongan Darah
:O
Orang Tua Ayah
: Suwaryono
Ibu
: Salmini Spd. SD
Pekerjaan
: PNS
Alamat Asal
: Ds. Karangjambe RT 03/ II, Wanadadi, Banjarnegara, Jawa Tengah
No Telepon
: 087838244015
Alamat Yogyakarta
: RT 47/ 10 Keparakan Lor, Yogyakarta
Jenjang Pendidikan Formal: 1. SD N II Karangjambe
Lulus 1996
2. SLTP II Wanandadi
Lulus 1999
3. SMU N I Batur, Banjarnegara
Lulus 2002
Pengalaman Organisasi : 1. Anggota organisasi kepemudaan AC Kopak (Komplek Ngablak) 2. Anggota Sanggar 28 Terkam (Teater Kampus) 3. Pengurus Harian SMI (Serikat Mahasiswa Indonesia)