MAKALAH MAKALAH ORAL MEDICINE-1
MANIFESTASI ORAL AKIBAT DEFISIENSI NUTRISI
Oleh :
MEILINDA
(04101004038)
LINDA RIMADINI
(04101004041)
PUTRI INAYAH F.F
(04101004042)
DEDE WIGUNA
(04101004043)
SRI WAHYUNI
(04101004044)
Dosen Pembimbing : drg. Sulistiawati
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN GIGI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2012
MANIFESTASI ORAL AKIBAT DEFISIENSI NUTRISI Nutrisi memiliki memiliki peranan peranan penting dalam dalam setiap tahap tahap tumbuh tumbuh kembang kembang gigi gigi dan dalam menjaga keseimbangan lingkungan rongga mulut yang dihubungkan dengan kese keseha hata tan n gigi gigi.. Meni Mening ngka katn tnya ya masa masala lah h gizi, izi, tent tentun unya ya berd berdam ampa pak k pula pula pada pada peningkatan peningkatan prevalensi prevalensi penyakit gigi dan mulut yang dapat mengakibatkan mengakibatkan bertambah bertambah buruknya buruknya masalah gizi tersebut. tersebut. Mengetahui Mengetahui hubungan hubungan antara nutrisi yang didapat didapat dan kesehatan gigi dan mulut menjadi penting karena seringkali terdapat karakteristik yang khas dari berbagai jaringan dalam rongga mulut yang lebih sensitif terhadap defisiensi nutrisi, sehingga apabila tubuh mengalami defisiensi nutrisi seringkali seringkali jaringan jaringan dalam rongga mulutlah yang pertama kali memperlihatkan efek defisiensi nutrisi tersebut. Biasanya yang bermanifestasi pada rongga mulut adalah defisiensi mineral, protein, dan vitamin.
1. Stomat Stomatiti itiss Aftosa Aftosa Reku Rekuren ren (SAR (SAR)) a.
Definisi
Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) merupakan radang yang terjadi pada mukosa mulut, biasanya berupa ulser putih kekuningan. Ulser ini dapat berupa ulser ulser tunggal tunggal maupun maupun lebih dari dari satu dan dapat dapat terjadi terjadi berula berulang-u ng-ulang lang pada mukosa mulut tanpa adanya tanda-tanda suatu penyakit. SAR dapat menyerang selaput lendir pipi bagian dalam, bibir bagian dalam, lidah, serta palatum dalam rongga mulut. Penyakit ini relatif ringan karena tidak bersifat membahayakan jiwa dan tidak menular, namun SAR sangat menganggu.
b.
Etiologi
2
Etiologi SAR masih belum diketahui dengan pasti. Ulser pada SAR bukan karena satu faktor saja, tetapi multifaktorial yang memungkinkannya berkembang menjadi ulser.
Faktor Etiologi Berdasarkan Defisiensi Nutrisi
Defisiensi hematinic (besi, asam folat, vitamin B1, B2, B6, B12) kemungkinan dua kali lebih besar terkena SAR dibandingkan orang yang sehat. Pada penelitan di Jepang ditemukan adanya hubungan SAR dengan menurunnya asupan makanan yang mengandung zat besi dan vitamin B1. Akan tetapi, pada penelitian ini tidak dilakukan pengujian hubungan antara asupan makanan dengan fakta-fakta defisiensi haematologi. Pada penelitian yang baru-baru ini dilakukan di India dilaporkan adanya korelasi antara konsentrasi nitrat dalam air minum dengan timbulnya SAR, nitrat mengakibatkan meningkatnya aktivitas cytochrome B5 reductase dalam darah dan kerentanan terjadinya recurrent stomatitis. Penjelasan dari teori ini berhubungan dengan adanya kelebihan oksidasi NADH yang mendukung timbulnya inflamasi pada mukosa mulut. Defisiensi vitamin B1, B2, dan B6 telah ditemukan pada 28% pasien yang menderita SAR. Defisiensi vitamin tersebut menyebabkan menurunnya kualitas mukosa sehingga bakteri mudah melekat pada mukosa, dan menurunnya sintesis protein sehingga menghambat metabolisme sel.
c.
Gambaran Klinis
Ulser mempunyai ukuran yang bervariasi 1-30 mm, tertutup selaput kuning keabu-abuan, berbatas tegas, dan dikelilingi pinggiran yang eritematous, serta dapat bertahan untuk beberapa hari atau bulan. Karakteristik ulser yang sakit terutama terjadi pada mukosa mulut yang tidak berkeratin yaitu mukosa bukal, labial, lateral dan ventral lidah, dasar mulut, palatum lunak, dan mukosa orofaring.
d.
Patogenesis
Stanley telah membagi karakter klinis dari SAR kepada 4 tahap yaitu : 1.
Premonitori 3
Tahap premonitori terjadi pada 24 jam pertama perkembangan lesi SAR. Pada waktu prodromal, pasien akan merasa sensasi mulut terbakar pada tempat di mana lesi akan muncul. Secara mikroskopis, sel-sel mononuklear akan menginfeksi epitelium, dan oedem akan mulai berkembang. 2.
Pre-ulseratif Tahap pre-ulseratif terjadi pada 18-72 jam pertama perkembangan lesi SAR. Pada tahap ini, makula dan papula akan berkembang dengan tepi eritematous. Intesitas rasa nyeri akan meningkat sewaktu tahap pra-ulseratif ini.
3.
Ulseratif Tahap ulseratif akan berlanjut selama beberapa hari hingga 2 minggu. Pada tahap ini papula-papula akan berulserasi dan ulser itu akan diselaputi oleh lapisan fibromembranous yang akan diikuti oleh intensitas nyeri yang berkurang.
4.
Penyembuhan Tahap penyembuhan terjadi pada hari ke-4 hingga 35. Ulser tersebut akan ditutupi oleh epitelium. Penyembuhan luka terjadi dan selalu tidak meninggalkan jaringan parut di mana lesi SAR pernah muncul. Oleh karena itu, semua lesi SAR menyembuh dan lesi baru berkembang.
e.
Klasifikasi
1.
SAR Tipe Mayor
Stomatitis tipe mayor disebut juga Recurrent Scarring Aphthous Ulser atau Periadenitis mucosa necrotica recurrens (penyakit Sulton). Kira-kira berkisar 10-15% dari kasus SAR adalah stomatitis aftosa tipe mayor. Pada stadium permulaan berupa nodul atau plak yang kecil, lunak, merah dan sakit yang jika pecah akan menjadi ulser tunggal, berbentuk oval dan sangat sakit. Lesi lebih besar 1 cm dan dapat mencapai hingga 5 cm. SAR tipe mayor dapat terjadi pada bagian mana saja dari mukosa mulut, termasuk daerahdaerah berkeratin. Lesinya berupa ulser yang besar, dalam, serta bertumbuh dengan lambat, biasanya terbentuk dengan tepi yang menonjol atau meninggi, eritematous dan mengkilat, yang menunjukkan bahwa terjadi edema. Lesi
4
berbentuk kawah warna abu-abu dan keras jika dipalpasi. Tipe ini sering diragukan dengan squamus karsinoma. Masa penyembuhannya sekitar 3-6 minggu. Lesi yang sembuh akan meninggalkan jaringan parut setelah sembuh dan jaringan parut tersebut terjadi karena keparahan dan lamanya ulser.
Gambar 1. SAR tipe mayor 2.
SAR Tipe Minor
Tipe minor mengenai sebagian besar pasien SAR yaitu 75-85% dari keseluruhan SAR, yang ditandai dengan adanya ulser berbentuk bulat dan oval, dangkal, dengan diameter 1-10 mm, dan dikelilingi oleh pinggiran yang eritematous. Ulserasi dari tipe minor cenderung mengenai daerah-daerah nonkeratin, seperti mukosa labial, mukosa bukal, dan dasar mulut. Ulserasi biasa tunggal atau merupakan kelompok yang terdiri atas ulser dan akan sembuh dalam waktu 10-14 hari tanpa meninggalkan bekas jaringan parut.
Gambar 2. SAR tipe minor
3.
SAR Tipe Herpetiform
Stomatitis jenis ini terdapat hanya 5-10% dari semua kasus SAR. Nama “herpetiform” digunakan karena mirip dengan lesi intraoral pada infeksi virus herpes simplex primer (HSV), tetapi HSV tidak mempunyai peran etiologi pada stomatitis herpetiform atau dalam setiap bentuk ulser SAR lainnya. Bentuk lesi ini ditandai dengan ulser-ulser kecil, berbentuk bulat,
5
sakit, penyebarannya luas, dan dapat menyebar di rongga mulut. Seratus ulser kecil bisa muncul pada satu waktu, dengan diameter 1-3 mm, bila pecah satu per satu ukuran lesi menjadi lebih besar. Ulser akan sembuh dalam waktu 1014
hari
tanpa
meninggalkan
bekas
ulserasi
herpetiformis.
Istilah
‘herpetiformis’ digunakan karena bentuk klinis dari ulserasi herpetiformis (yang dapat terdiri atas 100 ulser kecil-kecil pada satu waktu) mirip dengan gingivostomatitis herpetik primer, tetapi virus-virus herpes ini tidak mempunyai peran etiologi pada ulserasi herpetiformis atau dalam setiap bentuk ulserasi aphtosa.
Gambar 3. SAR Tipe Herpetiform
f.
Penatalaksanaan
Sebagian besar SAR akan sembuh sendiri sehingga pengobatan hanya untuk mengurangi keluhan, kecuali jika ada infeksi sekunder ke jaringan sekitarnya. Obat-obat yang lazim digunakan antara lain: 1.
Analgesik lokal (tablet hisap atau obat kumur) Misalnya Benzydamine (Tanflex, Tantum). Tablet hisap dapat digunakan setiap 3-4 jam (maksimum 12 tablet per hari) hingga sembuh (maksimum 7 hari). Sedangkan obat kumur digunakan berkumur selama 1 menit, setiap 3 jam hingga sembuh (maksimum 7 hari).
2.
Anestesi lokal (cairan atau gel oles) Misalnya Lidokain, Benzokain, dioleskan pada sariawan (sering dioleskan karena efek anestesi berlangsung singkat).
3.
Antiseptik (obat kumur) Misalnya povidone iodine (bethadine, septadine, molexdine), klorheksidin (minosep), heksetidin (bactidol, hexadol).
6
4.
Kortikosteroid Misalnya triamsinolon (ketricin, kenalog in orabase), dioleskan 2-3 kali sehari sesudah makan (maksimal 5 hari).
Beberapa obat ini juga dapat digunakan untuk mengobati stomatitis. 1.
Benzokain dan Lidokain Dapat digunakan untuk pasien yang menderita stomatitis dengan kesakitan yang sedang atau parah. Obat ini berupa obat kumur yang kental yang dapat digunakan untuk menghilangkan rasa sakit jangka pendek yang berlangsung sekitar 10-15 menit.
2.
Zilactin Dapat digunakan untuk menghilangkan rasa sakit selama 6 jam. Zilactin dapat lengket pada ulser dan membentuk membran impermeabel yang melindungi ulser dari trauma dan iritasi lanjut.
3.
Ziladent Bersifat sama dengan Zilactin yang juga mengandung benzokain untuk topikal analgesik.
4.
Larutan Betadyne Digunakan secara topikal, memiliki efek yang sama dengan Zilactin dan ziladent.
5.
Dyclone Berupa obat kumur yang digunakan sebelum makan dan sebelum tidur.
6.
Aphthasol Merupakan pasta oral amlexanox yang mirip dengan Zilactin yang digunakan untuk mengurangi rasa sakit dengan membentuk lapisan pelindung pada ulser.
7.
Glukokortikoid Dapat juga digunakan dalam penyembuhan ulser yang lebih cepat. Digunakan baik secara oral atau topikal.
8.
Topikal betametason Mengandung sirup dan fluocinonide ointment, dapat digunakan pada kasus SAR yang ringan.
9.
Prednison
7
Pemberian secara oral (sampai 15mg/hari) pada kasus SAR yang lebih parah. Hasil terapeutik dapat dilihat dalam satu minggu. 10. Thalidomide Merupakan obat hipnotis yang mengandung imunosupresif dan anti-inflamasi. Obat ini telah digunakan dalam pengobatan stomatitis aftosa rekuren mayor, sindrom Behcet, serta eritema nodosum. Namun, resiko pada teratogenesis telah membatasi penggunaannya. 11. Klorheksidin Merupakan obat kumur antibakteri yang mempercepat penyembuhan ulser dan mengurangi keparahan lesi SAR. Selain itu, tetrasiklin diberikan sesuai dengan efek anti streptokokus, tetrasiklin 250 mg dalam 10 cc sirup direkomendasikan sebagai obat kumur, satu kali sehari selama dua minggu. 12. Levamisol Digunakan sebagai perawatan yang mungkin untuk SAR, namun karena efek samping immunostimulatornya, pemakaian obat ini kurang diindikasikan. 13. Pemberian steroid topikal Merupakan pilihan pertama, aplikasi fluocinonide (0,05% campuran salep 1:1 dengan orabase) atau jika flucinonide tidak efektif dapat diberikan clobetasol propionate (0,05% campuran salep 1:1 dengan orabase).
Pemberian obat-obatan tertentu yang tidak diperbolehkan hanya dapat merusak jaringan normal di sekeliling ulser dan bila pemakaiannya berlebihan maka akan mematikan jaringan dan dapat memperluas ulser.
2. Keilitis Angularis a.
Definisi
Keilitis angularis merupakan suatu keadaan reaksi inflamasi pada sudut mulut atau komisura labial yang biasanya dimulai dari mucocutaneous junction dan dapat berlanjut ke kulit. Dikarakteristikkan sebagai bentuk berfisur, kulit merekah, sensasi rasa terbakar, dan mengering pada sudut mulut. Keilitis angularis
8
juga disebut sebagai perleche (menjilat dalam bahasa Perancis), angular stomatitis dan cheilosis. Keilitis angularis dapat terjadi secara unilateral dalam kasus-kasus infeksi disebabkan Candida albicans, Staphylococcus aureus, dapat berupa gangguan bentuk anatomis dari satu per tiga dari wajah bagian bawah dan akibat kebiasaan buruk, dapat juga terjadi secara bilateral yang disebabkan oleh defisiensi nutrisi, anemia dan diabetes mellitus, terjadinya lesi dapat bervariasi dari beberapa hari ke beberapa tahun tergantung kepada etiologi.
b.
Etiologi
Keilitis angularis ialah penyakit klinis yang multifaktorial yang dapat disebabkan oleh empat faktor utama yaitu agen infeksi, faktor mekanikal, defisiensi imun, dan defisiensi nutrisi yang dapat terjadi secara sendiri atau berupa kombinasi beberapa faktor. Umumnya pada orang dewasa disebabkan oleh agen infeksi atau faktor mekanikal, sedangkan pada anak-anak yang lebih menonjol disebabkan defisiensi nutrisi dan defisiensi imun. Faktor Etiologi Berdasarkan Defisiensi Nutrisi
Defisiensi nutrisi merupakan hasil ketidakseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan yaitu ketika pasokan gizi tidak memadai untuk memenuhi tuntutan tubuh. Ketidakseimbangan ini mungkin hasil dari satu dari tiga penyebab utama yaitu kurang asupan, gangguan pencernaan dan penyerapan, atau makin banyaknya ekskresi. Defisiensi pada satu jenis nutrisi dapat berperan kepada defisiensi nutrisi-nutrisi yang lainnya. Defisiensi nutrisi seperti defisiensi besi, asam folat, dan vitamin B (B2, B6, B12) dapat dikaitkan dengan keilitis angularis. Hal ini menunjukkan pola makanan yang buruk dapat menyebabkan terjadinya keilitis angularis. Walaupun hubungan defisiensi nutrisi dengan keilitis angularis tidak dijelaskan dengan lebih lanjut dalam sains medis, tetapi terdapat indikasi yang jelas bahwa keduanya saling berhubungan. Satu penjelasan yang nyata yaitu bahwa vitamin dan mineral adalah esensial untuk mempertahankan sistem imun, bila tidak mencukupi, sistem imun akan menjadi lemah dan mikroorganisme yang biasa menjadi flora normal seperti Candida albicans dapat berproliferasi dan menyebabkan infeksi. Terutama 9
pada anak-anak karena sering tidak menjaga nutrisi yang baik sehingga menyebabkan defisiensi nutrisi. Untuk mengukur status nutrisi, paramater yang sering digunakan ialah antropometri gizi. Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter, antara lain umur, berat badan, tinggi badan, dan lain-lain. Antropometri yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan berat badan dan tinggi badan adalah dengan indeks massa tubuh ( BMI ). Indeks massa tubuh ini dapat dibagikan atas dua indeks yaitu indeks massa tubuh untuk anak-anak usia 2-20 tahun dan indeks massa tubuh untuk orang dewasa. Untuk anak-anak, indeks massa tubuh dihitung dengan membagi berat badan dengan tinggi badan yang dipangkat dua (BB/TB 2). Hasil perhitungan indeks massa tubuh dicocokkan dengan kategori yang terdapat dalam tabel baku pertumbuhan indeks massa tubuh menurut umur anak untuk dapat mengetahui status gizi anak termasuk dalam kategori underweight, normal, overweight atau obese. Bagi orang dewasa, perhitungan hanya dilakukan dengan membagi berat badan dengan tinggi badan yang dipangkat dua (BB/TB 2) dan kemudian nilai yang didapatkan dicocokkan dengan kategori underweight, normal, overweight atau obese.
c.
Gambaran Klinis
Pada sudut mulut dapat terjadi secara simetri berupa eritema, rasa sakit, dan pembentukan fisur (celah). Yang paling sering sebagai daerah eritema dan udema yang berbentuk segitiga pada kedua komisura atau dapat berupa atropi, eritema, ulser, krusta dan pelepasan kulit sampai terjadi eksudasi yang berulang. Reaksi jangka panjang, terjadi supurasi dan jaringan granulasi. Kadang-kadang lesi dapat menyeliputi vermilion ke kulit dalam bentuk fisur atau garis lurus yang dalam berasal dari sudut mulut disebut rhagades, dalam bentuk yang lebih parah, terutama pada pemakai protesa.
10
Gambar 4. Keilitis angularis
d.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan harus meliputi tindakan-tindakan pencegahan (seperti menghilangkan faktor-faktor traumatik, kebersihan mulut yang teliti, dan pembentukan kembali dimensi vertikal yang benar) dikombinasikan dengan antijamur topikal dan terapi antibiotik. Tambahan vitamin terbukti juga menguntungkan.
3. Glossitis Defisiensi a.
Etiologi
Kekurangan zat besi, asam foliat, vitamin B12 (jarang vitamin B yang lain) dapat menimbulkan nyeri lidah yang tampak normal, atau tampak merah, serta tidak berpapil.
b.
Insiden
Jarang, kecuali pada tahap malabsorbsi, anemia pernisiosa, atau kadangkadang pada orang vegetarian atau yang berdiet berlebihan.
c.
Gambaran Klinis
Lidah tampak normal, terlihat lesi garis atau bercak merah (terutama pada kekurangan vitamin B12), tidak memiliki papilla, dengan eritema (pada kekurangan zat besi, asam foliat, atau vitamin B), atau pucat (kekurangan zat besi). Depapilasi lingual dimulai pada ujung dan tepi dorsum, tetapi nantinya akan
11
mengenai seluruh bagian dorsum. Ada berbagai pola dari keadaan ini. Selain itu, juga terlihat ulserasi mulut dan stomatitis angularis.
Gambar 5. Glossitis Defisiensi Tipe defisiensi lain
d.
Riboflavin : Papila membesar pada mulanya, tetapi nantinya hilang. Niasin : tidak membengkak, membesar, merah, seperti daging sapi Piridoksin : lidah membengkak serta keunguan.
Pemeriksaan
Pemeriksaan darah. Pemeriksaan vitamin atau biopsy jarang dilakukan.
e.
Diagnosis
Dari eritema migrant. Lichen planus, kandidosis akut.
f.
Perawatan
Terapi penggantian setelah penyebab defisiensi diketahui dengan jelas.
4. Leukoplakia a.
Definisi
Menurut World Health Organization (WHO), leukoplakia merupakan makula mukosa kronis yang berwarna putih di mana penyakit ini tidak dapat dikarakterisasi secara klinis dan patologi dibandingkan dengan penyakit lainnya. Leukoplakia adalah lesi prekanker yang berkembang di daerah lidah dan pada bagian dalam pipi karena adanya iritasi kronis. Terkadang leukoplakia berkembang pula pada daerah genitalia eksternal wanita. 12
b.
Etiologi
Leukoplakia paling sering menyerang membran mukus pada mulut yang terjadi karena iritasi. Lesi biasanya akan berkembang pada bagian lidah, tetapi terkadang berkembang pula pada bagian dalam lidah. Leukoplakia juga berkembang pada daerah genitalia eksternal wanita, namun penyebabnya belum diketahui. Etiologi yang pasti dari leukoplakia sampai sekarang belum diketahui dengan pasti, tetapi predisposisi menurut beberapa ahli ahli klinis terdiri dari faktor yang beraneka ragam, yaitu faktor lokal, faktor sistemik, dan malnutrisi vitamin. Faktor Etiologi Berdasarkan Defisiensi Nutrisi
Defisiensi vitamin A diperkirakan dapat mengakibatkan metaplasia dan keratinisasi dari susunan epitel, terutama epitel kelenjar dan epitel mukosa respiratorius. Beberapa ahli menyatakan bahwa leukoplakia di uvula merupakan manifestasi dari asupan vitamin A yang tidak cukup. Apabila kelainan tersebut parah, gambarannya mirip dengan leukoplakia. Selain itu, pada percobaan dengan menggunakan binatang tikus, dapat diketahui bahwa kekurangan vitamin B kompleks akan menimbulkan perubahan hiperkeratotik.
c.
Gambaran Klinis
Penderita leukoplakia tidak mengeluhkan rasa nyeri, tetapi lesi pada mulut tersebut sensitif terhadap rangsangan sentuh, makanan panas, dan makanan yang pedas. Dari pemeriksaan klinis, ternyata oral leukoplakia mempunyai bermacammacam bentuk. Secara klinis, lesi ini sukar dibedakan dan dikenal pasti karena banyak lesi lain yang memberikan gambaran yang serupa serta tanda-tanda yang hampir sama. Pada umumnya, lesi ini lebih banyak ditemukan pada penderita dengan usia di atas 40 tahun dan lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita. Hal ini terjadi karena sebagian besar pria merupakan perokok berat. Lesi ini sering ditemukan pada daerah alveolar, mukosa lidah, bibir, palatum lunak dan keras, daerah dasar mulut, gingival, mukosa lipatan bukal, serta mandibular alveolar
13
ridge. Bermacam-macam bentuk lesi dan daerah terjadinya lesi tergantung dari awal terjadinya lesi tersebut, dan setiap individu akan berbeda. Secara klinis, lesi tampak kecil, berwarna putih, terlokalisir, berbatas jelas, dan permukaannya tampak melipat. Bila dilakukan palpasi akan terasa keras, tebal, berfisure, halus, datar atau agak menonjol. Kadang-kadang lesi ini dapat berwarna seperti mutiara putih atau kekuningan. Pada perokok berat, warna jaringan yang terkena berwarna putih kecoklatan.
Gambar 6. Leukoplakia Leukoplakia dapat dibagi menjadi 3 stadium, yaitu : 1.
Homogenous leukoplakia Homogenous leukoplakia merupakan bercak putih yang kadangkadang berwarna kebiruan, permukaannya licin, rata, dan berbatas jelas. Pada tahap ini, tidak dijumpai adanya indurasi.
Gambar 7. Homogenous leukoplakia 2.
Erosif leukoplakia Erosif leukoplakia berwarna putih dan mengkilat seperti perak dan pada umumnya sudah disertai dengan indurasi. Pada palpasi, permukaan lesi mulai terasa kasar dan dijumpai juga permukaan lesi yang erosif.
3.
Speckled atau verocuos leukoplakia Speckled atau verocuos leukoplakia merupakan stadium leukoplakia di mana permukaan lesi tampak sudah menonjol, berwarna putih, tetapi tidak 14
mengkilat. Timbulnya indurasi menyebabkan permukaan menjadi kasar dan berlekuk-lekuk. Saat ini, lesi telah dianggap berubah menjadi ganas. Karena biasanya dalam waktu yang relatif singkat akan berubah menjadi tumor ganas seperti squamus sel karsinoma, terutama bila lesi ini terdapat di lidah dan dasar mulut.
Gambar 8. Speckled leukoplakia
d.
Pemeriksaan Histopatologis
Pemeriksaan histopatologis akan membantu menentukan penegakan diagnosis leukoplakia. Bila diikuti dengan pemeriksaan histopatologi dan sitologi, akan tampak adanya perubahan keratinisasi sel epitelium, terutama pada bagian superfisial. Secara mikroskopis, perubahan ini dapat dibedakan menjadi 5 bagian, yaitu : 1.
Hiperkeratosis Pada hiperkeratosis proses ini ditandai dengan adanya suatu peningkatan yang abnormal dari lapisan ortokeratin atau stratum corneum, dan pada tempat-tempat tertentu terlihat dengan jelas. Dengan adanya sejumlah ortokeratin pada daerah permukaan yang normal maka akan menyebabkan permukaan epitel rongga mulut menjadi tidak rata, serta memudahkan terjadinya iritasi.
2.
Parakeratosis Parakeratosis dapat dibedakan dengan ortokeratin dengan melihat timbulnya pengerasan pada lapisan keratinnya. Parakeratin dalam keadaan normal dapat dijumpai di tempat-tempat tertentu di dalam rongga mulut. Apabila timbul parakeratosis di daerah yang biasanya tidak terdapat penebalan lapisan parakeratin maka penebalan parakeratin disebut sebagai 15
parakeratosis.
Dalam pemeriksaan histopatologis, adanya ortokeratin,
parakeratin, dan hiperparakeratosis kurang dapat dibedakan antara satu dengan yang lainnya. Meskipun demikian, pada pemeriksaan yang lebih teliti lagi akan ditemukan hiperortokeratosis, yaitu keadaan di mana lapisan granularnya
terlihat
menebal
dan
sangat
dominan.
Sedangkan
hiperparakeratosis sendiri jarang ditemukan, meskipun pada kasus-kasus yang parah. 3.
Akantosis Akantosis adalah suatu penebalan dan perubahan yang abnormal dari lapisan spinosum pada suatu tempat tertentu yang kemudian dapat menjadi parah disertai pemanjangan, penebalan, penumpukan dan penggabungan dari retepeg atau hanya kelihatannya saja. Terjadinya penebalan pada lapisan stratum spinosum tidak sama atau bervariasi pada tiap-tiap tempat yang berbeda dalam rongga mulut. Bisa saja suatu penebalan tertentu pada tempat tertentu dapat dianggap normal, sedangkan penebalan tertentu pada daerah tertentu bisa dianggap abnormal. Akantosis kemungkinan berhubungan atau tidak berhubungan dengan suatu keadaan hiperortikeratosis maupun parakeratosis. Akantosis kadang-kadang tidak tergantung pada perubahan jaringan yang ada di atasnya.
4.
Diskeratosis atau displasia Pada diskeratosis, terdapat sejumlah kriteria untuk mendiagnosis suatu displasia epitel. Meskipun demikian, tidak ada perbedaan yang jelas antara displasia ringan, displasia parah, dan atipia yang mungkin dapat menunjukkan adanya suatu keganasan atau berkembang ke arah karsinoma in situ. Kriteria yang digunakan untuk mendiagnosis adanya displasia epitel adalah: adanya peningkatan yang abnormal dari mitosis; keratinisasi sel-sel secara individu; adanya bentukan “epithel pearls” pada lapisan spinosum; perubahan perbandingan antara inti sel dengan sitiplasma; hilangnya polaritas dan disorientasi dari sel; adanya hiperkromatik; adanya pembesaran inti sel atau nucleus; adanya dikariosis atau nuclear atypia dan “giant nuclei”; pembelahan inti tanpa disertai pembelahan sitoplasma; serta adanya basiler hiperplasia dan karsinoma intra epitel atau carcinoma in situ.
16
5.
Carcinoma in situ Carsinoma in situ secara klinis tampak datar, merah, halus, dan granuler. Mungkin secara klinis carcinoma in situ kurang dapat dilihat. Hal ini berbeda dengan hiperkeratosis atau leukoplakia yang dalam pemeriksaan intra oral kelainan tersebut tampak jelas. Pada umumnya, antara displasia dan carsinoma in situ tidak memiliki perbedaan yang jelas. Displasia mengenai permukaan yang luas dan menjadi parah, menyebabkan perubahan dari permukaan sampai dasar.
e.
Diagnosis
Untuk menetapkan diagnosis oral leukoplakia, perlu pemeriksaan dan gambaran histopatologis. Hal ini untuk mengetahui adanya proses diskeratosis. Meskipun pada pemeriksaan histopatologis tampak adanya proses diskeratosis, masih sulit dibedakan dengan carsinoma in situ, karena di antara keduanya tidak memiliki batasan yang jelas. Pemeriksaan histopatologis juga diperlukan untuk mengetahui ada tidaknya sel-sel “atypia” dan infiltrasi sel ganas yang masuk ke jaringan yang lebih dalam. Keadaan ini biasanya ditemukan pada squamous sel carsinoma ‘karsinoma sel skuamosa’. Karsinoma sel skuamosa merupakan kasus tumor ganas rongga mulut yang terbanyak dan lokasinya pada umumnya di lidah. Penyebab yang pasti dari karsinoma sel skuamosa belum diketahui, tetapi banyak lesi yang merupakan permulaan keganasan dan faktor-faktor yang mempermudah terjadinya karsinoma tersebut. Lesi pra-ganas dan faktor-faktor predisposisi itu adalah leukoplakia, perokok, pecandu alkohol, adanya iritasi setempat, defisiensi vitamin A, B, B12, kekurangan gizi, dan lain-lain. Seperti halnya lesi pra-ganas rongga mulut lainnya, dalam stadium dini karsinoma ini tidak memberikan rasa sakit. Rasa sakit baru terasa apabila terjadi infeksi sekunder. Oleh karena itu, apabila ditemukan adanya lesi pra-ganas dalam rongga mulut, terutama leukoplakia, sebaiknya dilakukan pemeriksaan histopatologi.
f.
Diagnosis Banding
17
Leukoplakia memiliki gambaran klinis yang mirip dengan beberapa kelainan. Oleh karena itu, diperlukan adanya “diferensial diagnosis” atau diagnosis banding untuk membedakan apakah kelainan tersebut adalah lesi leukoplakia atau bukan. Pada beberapa kasus, leukoplakia tidak dapat dibedakan dengan lesi yang berwarna putih di dalam rongga mulut tanpa dilakukan biopsi. Jadi, cara membedakannya dengan leukoplakia adalah dengan pengambilan biopsi. Ada beberapa lesi berwarna putih yang juga terdapat dalam rongga mulut, yang memerlukan diagnosis banding dengan leukoplakia. Lesi tersebut antara lain syphililitic mucous patches; “lupus erythematous” dan “white sponge nevus”; infeksi mikotik, terutama kandidiasis; white folded gingivo stomatitis; serta terbakarnya mukosa mulut karena bahan-bahan kimia tertentu, misalnya minuman atau makanan yang pedas. Untuk menentukan diagnosis yang tepat, perlu dilakukan pemeriksaan yang teliti baik secara klinis maupun histopatologis, karena lesi ini secara klinis mempunyai gambaran yang serupa dengan “lichen plannus dan “white sponge naevus”. Untuk menentukan diagnosis yang tepat, perlu dilakukan pemeriksaan yang teliti baik secara klinis maupun histopatologis, karena lesi ini secara klinis mempunyai gambaran yang serupa dengan “lichen plannus” dan “white sponge naevus”.
g.
Penatalaksanaan
Dalam penatalaksanaan leukoplakia yang terpenting adalah mengeliminir faktor predisposisi yang meliputi penggunaan tembakau (rokok), alkohol, memperbaiki higiene mulut, memperbaiki maloklusi, dan memperbaiki gigi tiruan yang letaknya kurang baik. Penatalaksanaan lain yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan eksisi secara “chirurgis” atau pembedahan terhadap lesi yang mempunyai ukuran kecil atau agak besar. Bila lesi telah mengenai dasar mulut dan meluas, maka pada daerah yang terkena perlu dilakukan “stripping”. Pemberian vitamin B kompleks dan vitamin C dapat dilakukan sebagai tindakan penunjang umum, terutama bila pada pasien tersebut ditemukan adanya faktor malnutrisi vitamin. Peranan vitamin C dalam nutrisi erat kaitannya dengan
18
pembentukan substansi semen intersellular yang penting untuk membangun jaringan penyangga. Karena, fungsi vitamin C menyangkut berbagai aspek metabolisme, antara lain sebagai elektron transport. Pemberian vitamin C dalam hubungannya dengan lesi yang sering ditemukan dalam rongga mulut adalah untuk perawatan suportif melalui regenerasi jaringan, sehingga mempercepat waktu penyembuhan. Perawatan yang lebih spesifik sangat tergantung pada hasil pemeriksaan histopatologi.
h.
Prognosis
Apabila permukaan jaringan yang terkena lesi leukoplakia secara klinis menunjukkan hiperkeratosis ringan maka prognosisnya baik. Tetapi, bila telah menunjukkan proses diskeratosis atau ditemukan adanya sel-sel atipia maka prognosisnya kurang menggembirakan, karena diperkirakan akan berubah menjadi suatu keganasan.
5. Xerostomia a.
Definisi
Xerostomia secara harfiah “mulut kering” (xeros = kering dan stoma = mulut). Xerostomia merupakan sensasi subjektif berupa kekeringan mulut yang sering, namun tidak selalu berhubungan dengan hipofungsi kelenjar saliva atau berkurangnya aliran saliva, namun adakalanya jumlah atau aliran saliva normal tetapi seseorang tetap mengeluh mulutnya kering.
b.
Etiologi
Xerostomia dapat disebabkan oleh banyak faktor antara lain efek radioterapi, efek farmakologis atau efek samping obat-obatan, gangguan kelenjar saliva, gangguan sistem syaraf, faktor-faktor lokal seperti kebiasaan buruk, kelainan kongenital, defisiensi nutrisi dan hormonal, keadaan fisiologis serta penyakit sistemik. Faktor Etiologi Berdaarkan Defisiensi Nutrisi
19
Defisiensi nutrisi, seperti anemia pernisiosa, anemia defisiensi zat besi, defisiensi vitamin A dan B dapat menyebabkan xerostomia.
c.
Patogenesis
Jumlah seluruh saliva tiap 24 jam diperkirakan berkisar antara 500-600 ml, dan separuhnya dihasilkan dalam keadaan istirahat, di bawah pengaruh rangsangan dengan pH sekitar 6-7. Saliva adalah sekresi eksokrin mukoserous berwarna bening dengan sifat sedikit asam yang dihasilkan dan disekresikan oleh tiga pasang kelenjar besar saliva yaitu kelenjar parotis, submandibularis, dan sublingualis, serta beberapa kelenjar saliva kecil. Kelenjar saliva dibangun dari lobus yang terdiri dari asinus, duktus interkalalata (ID), dan duktus striata (DS). Hasil sekresi saliva dikumpulkan di dalam sel-sel sekretori, yang dalam kelompok asinus, yang diatur mengelilingi lumen atau suatu lubang, dimana produk-produk sekresi diserahkan, dan hasil sekresi ditimbun di dalam sel-sel asinar dalam glandula sekresi. Derajat asam dan kapasitas bufer saliva sering dipengaruhi perubahan-perubahan yang disebabkan oleh karena irama siang dan malam, diet, dan rangsangan kecepatan sekresi. Sekresi saliva terjadi di bawah kontrol saraf parasimpatis dan simpatis. Saraf
parasimpatis
menyebabkan
sekresi
saliva
cair,
glandula
parotis
mengeluarkan saliva yang encer. Rangsangan saraf simpatis menyebabkan vasokonstriksi dan sekresi saliva sedikit pada bahan organik dari kelenjar submandibula. Produksi relatif glandula submandibula adalah 70% dan glandula sublingualis 30%. Produksi atau sekresi setiap jenis kelenjar saliva terhadap volume cairan sangat bergantung pada sifat rangsangan. Perasaan mulut kering terjadi bila kecepatan resorpsi air oleh mukosa mulut bersama-sama dengan penguapan air kurang dari 0,06 ml/ menit (3ml/ jam), akan timbul keluhan mulut kering. Bila produksi saliva berkurang dari 20 ml/ hari dan berlangsung pada waktu yang lama, maka keadaan ini disebut xerostomia.
20
Gambar 9. Kelenjar saliva
Produksi saliva yang berkurang selalu disertai dengan perubahan dalam komposisi saliva yang mengakibatkan sebagian besar fungsi saliva tidak dapat berjalan lancar, sehingga mengakibatkan timbulnya beberapa keluhan pada penderita mulut kering. Gejala klinis dan komplikasi oral yang terkait dengan xerostomia meliputi saliva yang berbusa, kental atau bertalian, bibir kering dan pecah, rasa terbakar, lidah berfisur dan bernodul, pipi yang kering dan pucat, kelenjar saliva bengkak dan sakit, rasa haus yang meningkat, sulit mengunyah, sulit menelan (disfagia), sulit berbicara (disfoni) dan gangguan pengecapan. Akibat xerostomia dapat meningkatkan infeksi oral seperti kandidiasis dan infeksi oropharing, meningkatkan penumpukan plak penumpukan mukus, meningkatkan insiden karies, terjadi perubahan flora normal dan perubahan mukosa di rongga mulut. Umumnya penderita xerostomia sangat sulit untuk memakan makanan kering seperti biskuit, pemakaian gigi palsu mempunyai masalah pada retensi gigi palsu, luka akibat gigi palsu dan tidak lengket ke palatum, rasa terbakar kronis, halitosis dan tidak tahan makan makanan pedas. Keluhan xerostomia umumnya lebih banyak pada malam hari karena produksi saliva berada pada circadian level paling rendah selama tidur, dapat juga disebabkan karena bernafas melalui mulut. Kesulitan berbicara dan makan dapat mengganggu interaksi sosial dan menyebabkan menghindari pertemuan sosial. Xerostomia sangat sering disebabkan oleh obat-obatan, lebih dari 600 obat yang umum digunakan yang dapat menyebabkan gangguan pada mulut atau
21
berkurangnya fungsi kelenjar saliva. Mekanisme xerostomia yang disebabkan obat-obatan meningkatkan pH optimal menjadi 7,4. Ace-inhibitor adalah salah satu obat yang menyebabkan xerostomia.
d.
Gambaran Klinis
Gambaran klinis xerostomia antara lain hilangnya genangan saliva pada dasar mulut, mukosa terasa lengket bila disentuh oleh jari ataupun ujung gagang instrumen. Mukosa mulut juga terlihat memerah dan pada kasus-kasus yang lebih lanjut permukaan dorsal lidah terlihat berfisur dan berlobul.
Gambar 10. Xerostomia
e.
Diagnosis
Diagnosis xerostomia ditentukan berdasarkan anamnesis yang terarah, pemeriksaan klinis dalam rongga mulut dan pemeriksaan laboratorium. Dalam melakukan anamnesis dengan penderita dapat diajukan beberapa pertanyaan pertanyaan terarah yang dapat menentukan penyebab dan mendiagnosis xerostomia. Pemeriksaan klinis dapat dilakukan dengan melihat gejala-gejala klinis yang tampak dalam rongga mulut. Ada beberapa pemeriksaan laboratoris pada kelenjar saliva sebagai pemeriksaan penunjang diagnosis. Pemeriksaan tersebut adalah: pemeriksaan jumlah sekresi saliva, sialography, dan biopsi. Pemeriksaan jumlah sekresi saliva atau sialometri dapat dilakukan dengan menampung saliva selama 3-5 menit dengan bantuan perangkat penampung saliva. Laju aliran saliva normal yang tidak distimulasi dari kelenjar parotis adalah sekitar 0,4-1,5 ml/ menit. Laju aliran saliva normal yang tidak distimulasi ‘keadaan istirahat’ seluruh saliva 0,3-0,5 ml/ menit dan yang distimulasi adalah 1-2 ml/ menit. Jika laju aliran saliva kurang dari 0,1ml/ menit maka keadaan ini dikatakan sebagai xerostomia, meskipun aliran
22
berkurang mungkin tidak selalu dikaitkan dengan keluhan kekeringan pada mulut. Sialography dan biopsi dilakukan untuk membantu diagnosis penyebab xerostomia. Sialography merupakan gambaran radiografis dari kelenjar saliva beserta duktusnya. Sialography dilakukan untuk memeriksa apakah ada penyumbatan atau kerusakan pada duktus yang mengakibatkan terjadinya xerostomia. Biopsi terhadap kelenjar saliva biasanya dilakukan untuk membantu diagnosa xerostomia akibat Sjorgren’s syndrome.
f.
Penatalaksanaan
Xerostomia memerlukan dukungan multifase jangka panjang, termasuk bahan seperti pelembab, saliva buatan, pilocarpine, perawatan fluorida, instruksiinstruksi kebersihan mulut, dan konseling nutrisi.
6. Scorbutic Gingivitis a.
Definisi dan Etiologi
Scorbutic gingivitis adalah gingivitis yang terjadi pada pasien yang mengalami defisiensi vitamin C. Gingivitis ini merupakan respon terkondisi terhadap plak bakteri. Defisiensi tidaklah menyebabkan inflamasi gingiva, tetapi hanya menyebabkan hemorhagi, degenerasi kolagen, dan oedema pada jaringan ikat gingiva. Perubahan ini memodifikasi respon gingiva terhadap iritan lokal sedemikian sehingga reaksi pertahanan yang normal terhambat dan inflamasi bertambah parah. Kombinasi efek defisiensi vitamin C akut dengan inflamasi menyebabkan pembesaran gingiva yang menyolok pada scurvy.
b.
Gambaran Klinis •
Distribusi marginalis
•
Warna merah kebiru-biruan, lunak, dan mudah tercabik
•
Permukaan licin dan berkilat
•
Pendarahan bisa spontan atau dengan iritasi ringan
•
Permukaan gingiva sering terjadi nekrosis disertai pembentukan membran semu 23
Gambar 11. Scorbutic gingivitis
c.
Mekanisme Berperannya Vitamin C pada Penyakit Periodontal
1.
Level vitamin C yang rendah akan mempengaruhi metabolisme kolagen dalam periodonsium, sehingga mempengaruhi kemampuan regenerasi dan perbaikan jaringan, namun belum ada hasil penelitian yang mendukung hipotesa ini.
2.
Defisiensi vitamin C menghambat pembentukan tulang yang akan menjurus ke kehilangan tulang.
3.
Defisiensi vitamin C meningkatkan permeabilitas epitel krevikular terhadap dekstran tertritiasi; vitamin C dalam level yang tinggi dibutuhkan untuk memelihara fungsi penghalang dari epitel terhadap produk bakteri.
4.
Peningkatan level vitamin C meningkatkan aksi kemotaksis dan aksi migrasi lekosit, tanpa mempengaruhi aksi fagositosisnya; tampaknya diperlukan megadosis vitamin C untuk memperbaiki aktivitas bakterisidal lekosit.
5.
Level vitamin C yang optimal diperlukan untuk memelihara integritas mikrovaskulatur periodonsium, demikian juga respon vaskular terhadap iritasi bakteri.
6.
Penurunan level vitamin C yang drastis bisa mengganggu keseimbangan ekologis bakteri dalam plak sehingga meningkatkan patogenitasnya.
d.
Penatalaksanaan
Perawatan yang dilakukan selain perawatan gigi menyeluruh, termasuk tindakan oral hygiene juga diberikan suplemen vitamin C dan vitamin-vitamin lain yang dapat memperbaiki kondisi gingiva.
24
DAFTAR PUSTAKA Birnbaum W. 2009. Diagnosis Kelainan dalam Mulut: Petunjuk bagi Klinisi. Jakarta: EGC. Carranza F.A., Newman M.G., Takei H.H. 2002. Caranza’s Clinical Periodontology, 9th ed . Philadelphia: W.B. Saunders Company. Greenberg, M.S., Glick M. 2003. Burket’s Oral Medicine Diagnosis and Treatment Tenth Edition. Hamilton: BC Decker Inc. Langlais, Robert P. 1998. Atlas Berwarna Kelainan Rongga Mulut yang Lazim. Jakarta : Hipokrates. Scully C., Cawson R.A. 1991. Atlas Bantu Kedokteran Gigi: Penyakit Mulut. Jakarta: Hipokrates.
25