Manifestasi Kulit pada Diabetes Melitus Michelle Duff, Olga Demidova,Stephanie Blackburn dan Jay Shubrook Diabetes adalah penyakit endokrin yang paling sering terjadi, sekitar 8,3% dari populasi. Penyakit kulit dapat muncul pada 79,2% penderita diabetes. Pada sebuah studi 750 penderita diabetes, ditemukan penyakit infeksi kulit (47,5%), xerosis (26,4%) dan penyakit inflamasi kulit (20,7%). Individu dengan DM tipe 2 cenderung lebih mudah terkena manifestasi DM pada kulit daripada DM tipe I. Penyakit kulit dapat muncul sebagai tanda awal DM atau dapat muncul kapanpun. Ulasan ini menyediakan tinjauan kondisi kulit penderita DM yang ditemukan pada pelayanan primer. I. Kondisi yang Berhubungan dengan Resistensi Insulin Acanthosis Nigricans Merupakan manifestasi kulit pada DM yang paling mudah dikenali. Terdapat pada 74% penderita dewasa yang obesitas dan dapat menjadi prediksi terdapatnya hiperinsulinemia. Adanya AN merupakan indikator prognosis pada DM tipe 2. Kemungkinan ada predisposisi genetik atau hipersensitivitas kulit terhadap hiperinsulinemia pada suku berbeda. Pada tingkat gizi yang sama obesitas, prevalensi AN terendah pada kulit putih (0,5%), lebih tinggi pada Hispanik (5%), dan lebih tinggi lagi pada Afrika-Amerika (13%).
Gambar 1. Acanthosis Nigricans dan Acrochordans AN adalah penebalan lipatan kulit disertai hiperpigmentasi, predileksi di leher, aksila, dan inguinal. Manifestasi tambahan kemungkinan skin tags dan hiperkeratosis. Faktor keturunan, obesitas, penyakit endokrin, obat tertentu, dan keganasan berhubungan dengan AN. Bentuk AN jinak tipe 2 berhubungan dengan DM tipe 2 dan pseudo-AN tipe 3 berhubungan dengan sindrom
metabolik. AN yang berhubungan dengan DM tipe 2 onsetnya diam-diam dan awalnya muncul sebagai hiperpigmentasi. Kedua kondisi tersebut terdapat pada resistensi insulin. Anak 8-14 tahun dengan AN ditemukan memiliki resistensi insulin, 25% punya gangguan metabolism glukosa pada saat studi dilakukan. Secara mikroskopik, gambarannya papilomatosis dan hiperkeratosis (epidermis dalam lipatan-lipatan irregular, terdapat berbagai derajat akantosis). Penatalaksanaan dengan mengatasi etiologi. Penurunan BB signifikan menyembuhkan AN tipe 2 dan 3. Retinoid topikal atau sistemik dan retinolitik topikal dapat digunakan sebagai simptomatik. Acrochordons Acrochordons atau Fibroepitelial Polyps, skin tags, dan soft fibroma adalah pertumbuhan keluar dari kulit normal, predileksi di kelopak mata, leher, aksila dan inguinal. Ditemukan pada 25% dewasa, jumlah kasus dan prevalensi meningkat dengan bertambahnya usia. Riwayat penyakit keluarga, obesitas dan AN sudah pernah dihubungkan dengan acrochordons; hubungan hiperinsulinemia dengan skin tags sudah dipublikasikan. Acrochordons bersifat jinak tapi bisa simptomatik dengan abrasi atau nekrosis. Skin tags merah atau hitam adalah akibat bagian dasarnya diputar sehingga suplai darah terputus. Diagnosis acrochordons adalah diagnosa klinis. Jarang dicurigai sebagai keganasan dan dikirim untuk diperiksa histologi. Penatalaksaan biasa untuk kosmetik atau untuk kasus dengan iritasi. Eksisi dapat dilakukan dengan forceps, gunting, cryosurgery dengan nitrogen cair atau electrodessication. Dermopati Diabetik Studi populasi dari Swedia menunjukan dermopati diabetik (DD) terdapat pada 33% penderita DM tipe 1, 39% penderita DM tipe 2, dan 2% subjek kontrol. Namun studi yang lebih baru menunjukan DD terdapat hanya pada 0,2% penderita DM tipe 2 terkontrol. Lesi kulit kecil (< 1 cm), batas tegas, cekungan atrofi, makula-makula, papul-papul di area pretibia dan dianggap tanda resistensi insulin. Lesi kulit sembuh dan hilang dalam 1-2 tahun meninggalkan hipopigmentasi atrofi di tempat tersebut. Sedikit yang sudah diketahui tentang hubungan DD dengan diabetes. Pada biopsy kulit cadaver, 4 dari 14 sampel menunjukan penebalan dinding arteri derajat sedang-berat dan 11 dari 14 sampel menunjukan penebalan membran basalis ringan. Pewarnaan menunjukan deposisi hemosiderin dan melanin di epidermis. Sekarang tidak
ada terapi atau tidak diperlukannya terapi untuk DD, karena asimptomatik dan tidak mengarah ke morbiditas.
Gambar 2. Dermopati Diabetik Xanthoma Eruptif Xanthoma Eruptif (XE) mempunyai predileksi di bokong, siku dan lutut, onset mendadak muncul papul-papul kuning dengan dasar eritematosa. EX jarang terjadi dan lebih sering terjadi pada penderita DM tipe 2 yang tidak terkontrol. Onset mendadak dari EX dapat membuat penderita khawatir dan akhirnya berobat ke dokter. Lesi kulit dapat terlihat sebagai tanda pertama diabetes. Penurunan aktivitas lipoprotein lipase yang terdapat pada diabetes dependen insulin menyebabkan akumulasi trigliserid serum. Kadang bila trigliserid serum mencapai 2000mg/dl,
lipid
terdeposit
di
kulit.
Manifestasi
kulit
berhubungan
juga
dengan
hipertrigliseridemia tipe I,III, IV, dan V, atau hiperlipidemia sekunder. Tipe I, III, IV dan V menunjukan konsentrasi tinggi VLDL (Very-Low-density lipoprotein) dan kilomikron. Lesi EX cenderung resolusi spontan dalam hitungan minggu. Diagnosis dapat secara klinis atau ditegakkan dengan biopsy kulit. Penting untuk memeriksakan kadar lipid puasa pada presentasi. Penderita EX lebih berisiko dari hipertrigliseridemia nya untuk lebih awal kena penyakit jantung koroner dan pankreatitis.
Gambar 3. Xanthoma Eruptif Rubeosis Faciei Rubeosis Faciei(RF) adalah manifestasi kulit yang berhubungan dengan diabetes yang sering terjadi dan merupakan komplikasi mikroangiopati. Dapat luput dari mata pasien dan dokter. Namun bila dikenali, penting untuk berpikir apakah ada komplikasi mikroangiopati lain seperti retinopati. RF bermanifestasi sebagai kemerahan pada wajah, kondisi ini ada pada 3-5% penderita DM. Pada studi oleh Giteson et al dengan 150 subjek, membandingkan kemerahan pada wajah berhubungan dengan DM, didapat 59% penderita DM kemerahan pada wajahnya lebih terlihat, 21% sedikit merah, 20% tidak merah. Penampakan RF berhubungan dengan kontrol gula darah buruk. Tidak diperlukan pengobatan karena kontrol gula darah ketat dapat memperbaiki kemerahan pada wajah dan mencegah komplikasi mikroangiopati di sistem organ lain. Nekrolisis Epidermal/ Sindrom Steven-Johnson Sindrom Steven-Johnson (SSJ) adalah kondisi nekrosis mukokutaneus yang jarang terjadi, terdiagnosa sebanyak 1-6 kasus per juta penduduk dunia/tahun. Bentuk yang lebih berat disebut Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) terdiagnosa sebanyak 0,4-1,2 kasus per juta penduduk dunia/tahun. Karena etiologi, patogenesis, gejala klinis, riwayat penyakit yang mirip, sudah diajukan kedua penyakit disebut nekrolisis epidermal (NE). Pada sebagian besar kasus, EN mulai dari pajanan pertama terhadap obat penyebab dalam kurun waktu 8 minggu setelah dosis pertama. Sitaglipin inhibitor dipeptidil peptidase-4 sudah pernah dihubungkan dengan kasuskasus (SSJ). Dapat bermanifestasasi sebagai demam, sefalgia, rhinitis, batuk, malaise, mata terasa terbakar dan disfagia. Dalam 1-3 hari EN progress ke ulserasi mukokutaneus, nekrosis, dan lepasnya epidermis, stomatitis berat, dan keterlibatan mata. Lesi awal yaitu makula-makula merah gelap, gatal terdistribusi simetris di wajah, bagian tubuh atas, dan ekstremitas proksimal dengan
ekstremitas
distal
biasanya
tidak
terkena.
Makula-makula
lama
kelamaan
berkelompok,dan terdapat bagian tengah yang nekrotik dan gelap seiring dengan menyebarnya ke distal. Tanda Nikolsky—lepasnya epidermis dengan penekanan lateral—positif pada epidermis yang kena.
Patofisiologi EN masih dalam penelitian. Terdapatnya respon imun dimediasi sel yang kuat yang melibatkan sel Natural Killer (sel NK) dan limfosit T CD8+ spesifik untuk agen penyebab sudah dicatat. Reaksi ini juga melibatkan monosit dan granulosit. Faktor lain yang memperkuat reaksi masih diselidiki. Hasil akhir dari hipersensitivitas adalah apoptosis seluruh lapisan keratinosit epidermis dan membran mukosa. Meskipun obat-obatan adalah penyebab tersering, Mycoplasma pneumonia, dan imunisasi juga dicurigai sebagai penyebab. Lebih dari 100 obat sudah teridentifikasi sebagai penyebab EN. Bila seseorang yang sedang dalam pengobatan sitaglipin menderita EN, pabrik obat tersebut menyarankan stop pengobatan secepat mungkin saat terlihat respon hipersensitivitas. EN adalah kegawatdaruratan yang mengancam nyawa. Pengobatan paling baru yaitu berhenti semua jenis obat yang tidak mengancam nyawa, yang penting berhenti obat yang baru dikonsumsi 8 minggu terakhir ini. EN diterapi suportif seperti luka bakar luas, dengan usaha mempertahankan kulit yang masih intak dan suportif simptomatik. Pasien harus segera dipindahkan ke ICU. Obat-obatan imunosupresif terbukti membantu. II. Kondisi yang Berhubungan dengan Diabetes Tipe I Necrobiosis Lipoidica Necrobiosis Lipoidica (NL) jarang terjadi, terdapat pada 0,3-1,6% penderita DM tipe I, lebih sering pada perempuan daripada laki-laki. Lesi tipikal NL terjadi pada penderita usia muda dan paruh baya, serta punya predileksi di kulit pretibia sebagai plak ovoid, irregular, tidak nyeri, dengan bagian tengah berwarna kuning yang atrofi dan pinggir merah hingga ungu. Lesi biasa multipel dan bilateral. Lesi dapat spontan menjadi ulkus atau akibat trauma. Dari semua penderita NL, 11-65% memiliki DM tipe 1 saat diagnosis. 90% penderita NL yang tidak punya diabetes nantinya akan menderita diabetes (biasanya tipe 1). Kontrol gula darah tidak berpengaruh. NL adalah kondisi ringan, rujukan ke bagian kulit biasanya tidak diperlukan. Penyebab NL masih belum diketahui, yang sudah diajukan adalah trauma lokal, mikroangiopati, immunoglobulin, deposisi fibrin, dan gangguan metabolik. Meski ringan, lesi kulitnya mengganggu secara kosmetik. Terapi pilihan adalah steroid, topikal, intralesi atau lebih jarang lagi sistemik. Harganya sesuai dan efek samping tidak terlalu banyak. Penggunaanya berguna untuk mengendalikan eritema pada fase awal tetapi gagal membantu komponen atrofi lesi dan
malah memperburuk atrofi. Stoking disarankan untuk membantu perubahan stasis dan melindungi dari trauma. Terapi lain yang sudah pernah dipakai termasuk pentoxifyllin, cyclosporine, ticlopidine infliximab, dan thalidomide. Beberapa laporan kasus menunjukan keuntungan dari nicotinamide, clofazimine, cloroquine, dan tretanoin topikal. Pengobatan tersebut dilakukan oleh bagian dermatologi untuk masalah dosis dan efek samping yang mungkin terjadi.
Gambar 3. Necrobiosis Lipoidica Vitiligo Terdapat pada 0,3-0,5% dari populasi dunia, merupakan penyakit kelainan pigmen yang paling sering terjadi. Pasien datang dengan plak di rambut dan kulit yang mengalami depigmentasi. Kemungkinan etiologinya adalah lingkungan dan poligenetik. Kondisi ini tidak dipengaruhi jenis kelamin. Banyak subtype vitiligo tapi yang paling sering adalah vitiligo generalisata, berhubungan dengan penyakit autoimun pada 20-30% kasus, yang paling sering adalah tiroiditis Hashimoto, penyakit Grave, artritis reumatoid, psoriasis, diabetes tipe 1 (biasanya onset dewasa), anemia pernisiosa, systemic lupus erythematous, dan penyakit Addison. Pada sebuah studi (2009) dari 50 penderita DM tipe 1, sebanyak 4% mempunyai vitiligo. Vitiligo genetik (GV) biasa bersifat progresif dan tidak respon terhadap pengobatan. Namun pada beberapa kasus, progresnya berhenti. Komplikasi GV yaitu durasinya panjang, fenomena Koebner, leukotrikia, dan keterlibatan mukosa. Terapi dermatologis dengan mencoba menurunkan respon sel T dan induksi migrasi dan regenerasi melanosit. Kortikosteroid dengan ultraviolet B atau inhibitor calcineurin atau psoralen sistemik atau sinar ultraviolet A (PUVA) adalah pengobatan lini pertama. Calcipotriol, PUVA topikal, laser excimer, corticosteroid pulse therapy, dan grafting
melanosit dengan pembedahan adalah pilihan lain. Terapi ini jangka panjang dan dapat dipersulit oleh banyak efek samping. Penggunaan tabir surya dianjurkan tetapi juga kontroversial karena stimulasi UVB terhadap melanosit dan kemungkinan repopulasi, juga photo-adaptation dari kulit yang terkena vitiligo. Pajanan sedang dari sinar matahari dianjurkan. Efek psikososial vitiligo penting dan ada kelompok penderita vitiligo. Pengobatan tradisional banyak dicoba oleh pasien namun harus diperiksa keamanannya sebelum dilakukan.
Gambar 4.Vitiligo Bullosis Diabeticorum Atau disebut bula diabetik terdapat pada 0,5% penderita DM tipe 1, lebih sering pada laki-laki, dan penderita neuropati perifer lama. Lesi kulit muncul spontan, predileksi di dorsal dan lateral dari tungkai bawah dan kaki. Kadang terlihat di lengan dan tangan. Efloresensi bula jernih dengan dasar yang tidak inflamasi. Tidak nyeri dan isi bula cairan steril. Ukuran bervariasi dari beberapa millimeter hingga beberapa sentimeter. Patologi bula belum diketahui. Bula diabetik biasanya muncul di penderita DM tipe 1 yang sudah bertahun-tahun. Namun kondisi ini mungkin juga menjadi tanda awal diabetes. Lesi sembuh sendiri dalam 2-5 minggu. Diagnosis diferensial yaitu pemfigoid bulosa, yang dapat disingkirkan dengan melakukan biopsy lesi untuk immunofluorescence direk dan indirek. Lesi juga mirip dengan epidermolisis bulosa, eritema multiformis, atau erupsi obat. Dermatologis biasanya membuat diagnosis bula diabetik; setelah diagnosis kondisi ini dapat ditangani oleh dokter pelayanan primer. Terapi fokus pada pencegahan infeksi, bila bula makin besar dan simptomatik, dapat diaspirasi, meninggalkan bagian atas bula intak untuk melindungi sawar kulit. Dapat diberi kompres NaCl untuk simptomatik. Antibiotik atau steroid topikal biasanya tidak perlu.
III. Kondisi Lain Terkait Diabetes Psoriasis Psoriasis adalah penyakit kulit kronik, inflamatorik, poligenik dengan faktor lingkungan sebagai pencetus seperti trauma, obat, dan infeksi. Khas adalah papul dan plak eritematosa berskuama dengan erupsi pustule dan eritrodermik, predileksi di tempat yang banyak terjadi gesekan yaitu kulit kepala, siku, lutut, tangan, kaki, badan, dan kuku. Fenomena Koebner adalah dimana terbentuk plak di tempat terjadinya kerusakan. Secara histologi, fenomena ini terlihat sebagai gangguan pertumbuhan epidermis (prosesus interpapilaris lebih panjang dengan pembuluh darah melebar, lempeng suprapapil, dan diferensiasi), parkeratosis intermiten, abnormalitas biokimia, imunologis, dan pembuluh darah yang banyak (contoh: infiltrasi limfosit dan neutrofil). Kondisi ini dapat muncul pada usia berapapun, paling sering onsetnya antara 15-30 tahun, tidak umum terjadi pada < 10 tahun. Terdapat pada 2-3% penduduk Amerika. Sekitar 99% penderita diabetes (tipe 1 atau 2) menderita psoriasis. Riset baru-baru ini menunjukan psoriasis mungkin meningkatkan predisposisi untuk menderita DM, seperti halnya serangan jantung dan stroke. Sebuah studi selama 13 tahun dengan 52.000 subjek menyimpulkan penderita psoriasis punya 49-56% risiko lebih besar untuk menderita DM tipe 2 di kemudian hari. Sebagian besar penderita psoriasis akan diobati oleh dermatologis. Pengobatan terdiri dari imunomodulator topikal dan sistemik, selain itu juga sinar UV dan laser. Pengobatan topikal efektif pada sebagian besar kasus, namun tingkat kepatuhan hanya 40% karena memakan waktu dan tidak enak dilihat. Harus diberi bentuk krim dan salep. Fototerapi dengan UVA, UVB dan psoralein sudah dipakai beberapa decade ini dan menunjukan respon baik pada kasus ringan. Lichen Planus Merupakan penyakit yang jarang ditemui, terdapat pada < 1% dari populasi umum. Onset biasanya pada paruh baya (30-60 tahun) namun prevalensi pada penderita DM tipe 1 atau 2 dicatat sebanyak 2-4%. Lichen planus dapat mengenai kulit (disebut kutaneus, dengan beberapa variasi), rongga mulut (oral), genital (vulvar atau penile), kulit kepala (lichen planopilaris), kuku atau esofagus. Lichen planus terlihat sebagai papul-papul poligonal, bagian atas rata, eritematosa – violet, berkelompok,simetris, dengan predileksi di lipatan lengan dan kaki, jarang muncul di badan (Blaschkoid atau zosteriform) dan terbalik (intertriginosa). Variasinya bentuk ulkus dan
perforasi. Fenomena Koebner sering terjadi, sangat gatal dan sembuh dengan hiperpigmentasi post-inflamasi. Secara klinis, lichen planus di kulit terlihat sebagai erupsi papuloskuamosa, berwarna violet, bagian atas rata. Dideskripsikan dengan 4 P: Pruritic, Purple (violet), Poligonal, dan Papul atau Plak. Papul dapat terisolasi dan berukuran beberapa mm, atau berkelompok membentuk plak. Garis putih dapat terlihat di permukaan papul atau plak dikenal sebagai Wickham’s striae. Diagnosis dibuat berdasarkan klinis, bila meragukan, merupakan indikasi biopsi. Etiologi belum diketahui, dicurigai terlibatnya respon imun sel T CD8+ dan Th1 (mekanisme dimediasi sel terhadap keratinosit). Sebagian besar kasus ditangani dermatologis. Pengobatan lichen planus kulit difokuskan pada pengendalian rasa gatal. Potensi steroid topikal yang dipakai tergantung tempat lesi. Di badan dan ekstremitas digunakan potensi tinggi, di wajah dan lipatan kulit digunakan potensi sedang-ringan, hal ini disebabkan atrofi yang disebabkan penggunaan steroid. Efektivitas terapi harus dicek setiap 3 minggu. Bila keterlibatan generalisata, terapi sinar dapat ditambahkan. Kortikosteroid intralesi dilakukan pada lesi tebal. Glukokortikoid sistemik, fototerapi dengan PUVA dan UVB, acitretin oral dapat menguntungkan pada yang kontraindikasi steroid. Sedikit studi tentang pengobatan dilakukan karena bisa remisi spontan dengan steroid. Xerosis Merupakan nama lain untuk kulit kering dan penyakit kulit kedua terbanyak pada penderita diabetes. Pada sebuah studi dengan 100 penderita diabetes yang punya lesi kulit, xerosis terdapat pada 44%. Penderita penyakit ginjal juga sering menderita xerosis. Tidak perlu dirujuk ke dermatologis, dokter pelayanan primer harusnya mengedukasi pasien tentang pentingnya higenitas kulit, termasuk mengoleskan krim atau losion tanpa pewangi dalam 3 menit setelah mandi untuk mempertahankan kelembapan kulit. Sclerederma Diabeticorum Merupakan kondisi terdapatnya plak eritematosa tebal, keras, predileksi di punggung atas dan leher. Mungkin terdapat eritema. Terdapat pada 2,5-14% dari penderita diabetes. Kondisi ini lebih sering terjadi pada laki-laki paruh baya penderita DM tipe 2. Biasa asimptomatik, namun dapat terjadi nyeri leher dan punggung. Diagnosis berdasarkan klinis, namun ditegakkan dengan biopsi kulit. Patogenesis sclerederma diabeticorum dianggap berhubungan dengan peningkatan
stimulasi insulin dan glikosilasi non-enzimatik dari kolagen, yang menyebabkan cross-linking collagen, membuat serat kolagen resisten terhadap degradasi oleh kolagenase sehingga jumlah kolagen jadi banyak. Pengobatan menunjukan keuntungan terbatas. Beberapa opsi pengobatan yaitu steroid, metotreksat, fototerapi UV. Diagnosis diferensial termasuk Scelederma Buchke, juga berhubungan dengan DM tipe 1, terlihat sebagai penebalan, predileksi di leher, bahu, ekstremitas atas, biasa setelah ISPA. Kondisi ini sembuh spontan dalam hitungan bulan atau tahun. Perempuan lebih sering daripada laki-laki. Biasanya melibatkan jari-jari, tangan dan kaki. Bentuk paling berat dari sclerederma diabeticorum dan bersifat sistemik adalah morphea. Granuloma Annulare Terlihat sebagai papul-papul eritematosa hingga warna kulit, berkelompok, membentuk oval atau cincin. Granuloma annulare (GA) sering asimptomatik tapi bisa gatal atau rasa terbakar. Hubungan GA dengan DM masih kontroversial. Sebuah studi retrospektif menunjukan 12% hubungan GA dan DM. Studi lain melaporkan DM pada 21% dari 100 kasus GA tipe generalisata (GGA) dan pada 9,7% dari 1350 kasus GA terlokalisasi. Lesi kulit mungkin lebih awal dari diabetes. Struder et al menyarankan penderita GA terlokalisasi rekuren atau bentuk diseminata dilakukan tes toleransi glukosa. Patogenesis GA masih belum diketahui. Pilihan terapi adalah steroid topikal, intralesi, isotretinoin, dapsone, anti-malaria, dan fototerapi. Lesi yang tidak diobati mungkin bisa resolusi spontan, ini lebih sering terjadi di bentuk terlokalisasi daripada diseminata. Bentuk terlokalisasi dapat diterapi dengan mudah dan diikuti oleh dokter pelayanan primer. GA rekuren atau diseminata dapat diperiksa oleh dokter layanan primer dan dirujuk ke dermatologis. GGA cenderung idiopatik namun sudah pernah dihubungkan dengan diabetes dan penyakit seperti tiroiditis autoimun, HIV, Hepatitis C, infeksi Epstein-Barr, sarcoidosis dan malignansi internal. Acquired Perforating Dermatosis Tampak sebagai papul-papul dan nodul-nodul bentuk kubah dengan jaringan oklusi hiperkeratotik. Dicirikan dengan hilangnya beberapa komponen dermis secara transepidermal. Perforating dermatosis secara klasik dibagi menjadi 4 tipe: perforans serpiginosa, reactive perforating collagenosis, perforating folliculitis, dan Kyrle’s disease. Juga sudah pernah dihubungkan dengan gagal ginjal kronik, dialysis dan diabetes; serta terdapat pada DM tipe 1
dan 2. Pada sebagian besar kasus, penyakit ginjal merupakan komplikasi nefropati diabetik. Predileksi lesi adalah di badan dan ekstremitas, gatal. Sudah diketahui sebelumnya bila mekanisme didapat dari trauma epidermis, reaksi benda asing terhadap kolagen di dermis, atau produk metabolik dari uremia. Dialisis belum menunjukan nilai terapi, tapi transplantasi ginjal sudah terbukti efektif menghilangkan lesi. Opsi terapi termasuk menghindari menggaruk, steroid topikal atau sistemik, fototerapi, retinoid dan anti-histamin. Onychodystrophy Tampak sebagai penebalan dan deformitas kuku berlebihan, dapat menyebabkan akumulasi debris sehingga jadi infeksi jari I yang harus diterapi layaknya ulkus diabetikum. Sepatu yang kurang pas dapat menyebabkan trauma berulang dan memperparah kulit yang sudah terluka. PAda penderita diabetes, onikodistrofi adalah akibat sirkulasi perifer buruk dan neuropati diabetikum. Kondisi penyakit ini saja cukup menyebabkan ulkus kaki diabetik. Hal yang penting adalah menjaga kondisi kuku, sepatu harus cocok, dan penanganan segera infeksi kuku. Periungual Telengietacsis Tampak sebagai eritema lipatan kuku, pelebaran pembuluh darah yang terlihat dengan mata telanjang, nyeri di ujung jari, dan kutikula kuku tebal. Telengietaksis berasal dari bantalan kuku penderita diabetes setelah kehilangan capillary loop dan dilatasi sisa kapiler. Kondisi ini terdapat pada hingga 49% penderita diabetes. Beberapa pasien juga mengalami nyeri pada ujung jari. Tidak diperlukan terapi. IV. Infeksi yang Berhubungan dengan Diabetes Infeksi Kulit Infeksi merupakan kelompok penyakit kulit yang berhubungan dengan diabetes terbanyak. Pada sebuah studi tahun 2009 dengan 50 subjek, 55% penderita diabetes pernah memiliki manifestasi infeksi kulit. Studi lain menunjukan tingkat prevalensi infeksi kulit pada penderita diabetes sebanyak 61%. Yang termasuk infeksi kulit: kandidiasis, dermatofitosis, dan infeksi bakteri. 1. Kandidiasis
Kandidiasis mukokutan paling sering disebabkan oleh Candida albicans dan tampak sebagai plak-plak eritematosa dengan khasnya eksudat putih lengket dan pustule-pustul membentuk lesi satelit. Risiko infeksi meningkat dengan hiperglikemi yang membantu proliferasi kandida. Kandida vulvovaginitis paling sering terjadi, dan kandidiasis perianal sering terjadi pada laki dan perempuan. Tanda lain yaitu thrush (infeksi mukosa mulut dan perleche), angular cheilitis, intertrigo (infeksi lipatan kulit dan erosion interdigitalis blastomysetica chronic), infeksi sela-sela jari, paronychia (infeksi jaringan lunak di sekeliling lempeng kuku), dan onikomikosis (infeksi kuku). Semua diringkas dalam tabel 1. Tabel 1. Infeksi Kulit oleh Jamur yang Sering Terjadi Infeksi
Definisi
Kandidasis vulvovaginitis
Infeksi mukosa vagina
Kandidiasis perianal
Infeksi perineum dan perianal
Thrush
Infeksi mukosa oral
Perleche
Infeksi komisura labialis sudut mulut
Intertrigo
Infeksi lipatan kulit
Erosion interdigitalis blastomysetica chronic
Infeksi sela-sela jari
Paronikia
Infeksi jaringan lunak sekitar lempeng kuku
Onikomikosis
Infeksi kuku
Pasien dengan klinis buruk dengan ketoasidosis diabetikum (KAD) dapat didiagnosa dengan mucormycosis, tapi ini jarang terjadi, yaitu infeksi jaringan lunak akut, berat, disebabkan Mucor, Rhizopus, dan spesies Absidia. Jamur saprofit lebih suka lingkungan pH rendah yang terdapat saat DKA dan tumbuh pada kondisi hiperglikemi. Beberapa jamur juga menggunakan keton sebagai substansi nutrisi. Kira-kira 50-70% dari kasus mucormycosis rhinocerebral terjadi pada pasien dengan diabetes. Mucormycosis bersifat progresif dan respon buruk terhadap antifungal sistemik. Opsi terapi antara lain itraconazole, fluconazole, amphotericine B, dan voriconazole. Kondisi ini biasanya fatal. 2. Dermatofitosis
Tinea atau dermatofitosis adalah infeksi superficial kulit, rambut dan kuku oleh jamur. Tinea korporis, pedis dan onikomikosis adalah infeksi dermatofit yang sering ditemukan pada penderita diabetes. Pada sebuah studi tahun 2013 dengan 76 penderita tinea korporis, faktor predisposisi utama adalah xerosis. Pada studi tahun 2001 dengan 171 penderita diabetes dibandingkan dengan 276 subjek kontrol, infeksi paling sering pada penderita diabetes adalah tinea pedis, diikuti dengan onikomikosis subungual distal. Studi ini tidak menunjukan korelasi antara dermatofitosis dan durasi atau tipe diabetes atau komplikasinya. Tricophyton rubrum, Tricophyton mentagrophytes dan Tricophyton tonsurans adalah dermatofita paling sering. Infeksi dermatofita sering dijumpai, maka tidak perlu dirujuk ke dermatologis. Terapi terdiri dari anti jamur topikal dan sistemik. Tabel 2 menyimpulkan infeksi jamur yang umum terjadi dan antifungal oral dan sistemik yang sering dipakai.
Gambar 5. Tinea Pedis
Gambar 6. Onikomikosis
Tabel 2. Pilihan Terapi untuk Infeksi Jamur yang Sering Terjadi
s 3. Infeksi Bakteri Infeksi kulit oleh bakteri lebih sering terjadi, lebih berat, pada penderita diabetes. Ulkus kaki diabetikum adalah penyebab pertama morbiditas pada penderita diabetes. Terjadi karena sensasi menurun akibat neuropati diabetik dan trauma tidak disadari, dengan infeksi penyerta. Disfungsi leukosit yang disebabkan peningkatan kadar glukosa menyebabkan bakteri proliferasi. Folikulitis atau abses kulit ec Staphylococcus adalah infeksi kulit ec bakteri tersering pada penderita diabetes dengan kontrol gula buruk, respon baik terhadap antibiotic dan drainase
bedah. Pseudomonas aeruginosa adalah organism lain yang sering menyebabkan ulkus kaki diabetik. Infeksi liang telinga luar yang disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa juga sering terjadi pada penderita diabetes. Pseudomonas berkembang di lingkungan kaya oksigen. Lesi kulit tampak sebagai pigmen hijau-biru, dan berfluoresensi dibawah lampu Wood’s. Secara mikroskopik, pseudomonas adalah batang gram negative. Penderita dapat datang dengan otalgia, otorrhea, tuli, edema, dan eritema liang telinga luar. Terapi terdiri dari mengeringkan daerah tersebut dan dioles antibiotic topikal pada infeksi tanpa komplikasi. Otitis eksterna malignan perlu diagnosis cepat dan antibiotic sistemik seperti flurokuinolon, ditambah antibiotic antipseudomonas (penicillin anti-pseudomonas, sefalosporin anti-pseudomonas, monobactam, aminoglikosida, atau carbapenem). Dosis lebih tinggi dan debridement bedah diperlukan untuk emncegah penyebaran infeksi ke tulang dan sistem saraf. Terapi segera otitis eksterna penting karena potensinya untuk cepat menyebar ke tulang dan saraf cranial, yang dapat menyebabkan mortalitas. KESIMPULAN Diabetes adalah penyakit endokrin yang paling sering terjadi, dan banyak penyakit kulit berhubungan dengan diabetes. Pengetahuan akan kondisi-kondisi kulit tersebut dapat membantu seorang dokter layanan primer dalam diagnosis diabetes dan penatalaksanaan penyakit kulit yang berhubungan dengannya. Sebagian besar dapat diatasi oleh dokter layanan primer tetapi rujukan ke dermatologis dapat dilakukan pada beberapa kasus. Seiring dengan meningkatnya insidens dan prevalensi penderita diabetes, manifestasi kulit yang berhubungan dengan diabetes akan lebih umum lagi. Maka dari itu, dokter layanan primer harus membiasakan diri dengan gejala klinis dan terapinya.