BAB I PENDAHULUAN A. Latar Latar Bela Belakan kang g Masala Masalah h Dalam proses beracara perdata, tentu melewati tahap-tahap sebagaimana yang
telah digariskan di dalam HIR/RBg. Dari bebagai rangkaian proses tersebut ada yang sangat vital yang dapat menentukan kalah atau menangnya para pihak, yaitu pembuktian. Pembuktian ini adalah memberikan keterangan kepada hakim akan kebenaran peristiwa yang menjadi dasar guagatan/ bantahan dengan alat-alat bukti yang tersedia. Perlu diperhatika diperhatikan n lagi bahwasanya bahwasanya Hukum Hukum pembuktian pembuktian dalam hukum acara perdata menduduki tempat yang amat penting. Secara formal, hukum pembuktian mengatur carabagaimana mengadakan pembuktian seperti terdapat di dalam dalam HIR/ HIR/ Rbg. Rbg. Hukum Hukum pembuk pembuktian tian secara secara yuridi yuridis, s, mengaj mengajuka ukan n fakta-f fakta-fakt aktaa menurut menurut hukum hukum yang cukup untuk memberikan memberikan kepastian kepada hakim tentang suatu peristiwa atau hubungan hukum. ( Abdulkadir Muhammad, 1990 : 129). Dasar pembuktian ini adalah Pasal 163 HIR/ 283 Rbg yang berbunyi, “ Barang siapa menyatakan mempunyai sesuatu hak atau mengemukakan suatu perbuatan untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain haruslah membuk membuktika tikan n adanya adanya hak itu atau adanya adanya perbua perbuatan tan itu”. itu”. Dari bunyi bunyi Pasal Pasal tersebut diketahui bahwa pihak yang menyatakan bahwa ia mempunyai suatu hak, melakukan suatu perbuatan atau menerangkan adanya suatu peristiwa, ia harus membuktikan adanya hak itu, apabila disangka oleh pihak lawan. Dengan kata lain beban pembuktian dalam perkara perdata ada pada kedua belah pihak, baik penggugat maupun tergugat. B. Masalah
Adapun permasalahan yang kami bahas dalam makalah ini antara lain sebagai berikut: 1. Bagaimana Bagaimana pengert pengertian ian Pembuk Pembuktian tian dalam dalam Pengad Pengadilan ilan Agama? Agama? 2. Bagaimana Bagaimana Asas-asas Asas-asas Pembuktian Pembuktian dalam Pengadilan Pengadilan Agama? Agama? 3. Apa saja teori-te teori-teori ori Pembuk Pembuktian tian dalam Pengadilan Pengadilan Agama? Agama? 4. Bagaimana Bagaimana sistem sistem pembuk pembuktian tian dalam Pengadilan Pengadilan Agama? Agama?
1
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini antara lain sebagai berikut: 1. Menjelaskan
Bagaimana
pengertian Pembuktian dalam
Pengadilan
Agama. 2. Menjelaskan asas Pembuktian dalam Pengadilan Agama. 3. Menjelaskan Apa saja teori-teori Pembuktian dalam Pengadilan Agama. 4. Menjelaskan Bagaimana sistem pembuktian dalam Pengadilan Agama.
BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Pembuktian
Dalam memeriksa suatu perkara, hakim bertugas untuk mengkonstantir, mengkualifisir dan kemudian mengkonstituir. Mengkonstantir artinya hakim harus menilai apakah peristiwa atau fakta-fakta yang dikemukakan oleh para pihak itu adalah benar-benar terjadi. Konstantir dapat dilakukan hanya dengan pembuktian.1 Roihan A. Rosyid menjelaskan, yang dimaksud dengan ‘membuktikan’ adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan di muka sidang dalam suatu sengketa. Jadi, pembuktian itu hanyalah dilakukan ketika terjadi perselisihan saja. Sehingga dalam perkara perdata di muka pengadilan tidak memerlukan pembuktian terhadap hal-hal yang tidak dibantah oleh pihak lawan.2 Abdul Manan mengartikan pembuktian adalah upaya para pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim akan kebenaran peristiwa atau kejadian yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa dengan alat-alat bukti yang ditetapkan oleh undang-undang. Dalam sengketa yang berlangsung dan sedang diperiksa di muka Majelis Hakim itu, masing-masing pihak mengajukan dalil-dalil yang bertentangan. Kemudian hakim harus memeriksa dan menetapkan dalil-dalil yang manakah yang benar dan dalil manakah yang tidak benar. Berdasarkan pemeriksaan yang teliti dan saksama itulah hakim menetapkan hukum atas suatu peristiwa atau kejadian yang dianggap benar setelah melalui pembuktian sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.3 Adapun yang dimaksud dengan fakta yang harus dibuktikan adalah keadaan, peristiwa atau perbuatan yang terjadi (dilakukan) dalam dimensi ruang dan waktu. Suatu fakta dapat dikatakan terbukti apabila telah diketahui kapan, dimana dan bagaimana terjadinya.4 Pembuktian bertujuan untuk mendapatkan kebenaran suatu peristiwa atau hak 1 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Peradilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), 139 2 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 144 3 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2005), 227 4 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata , Ibid .
3
yang diajukan kepada hakim. Para praktisi hukum membedakan tentang kebenaran yang dicari dalam hukum perdata dan hukum pidana. Dalam hukum perdata, kebenaran yang dicari oleh hakim adalah kebenaran formal, sedangkan dalam hukum pidana, kebenaran yang dicari oleh hakim adalah kebenaran materiil. Dalam praktik peradilan, sebenarnya seorang hakim dituntut mencari kebenaran materiil terhadap perkara yang sedang diperiksanya, karena tujuan pembuktian itu adalah untuk meyakinkan hakim atau memberi kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu, sehingga hakim dalam mengonstantir, mengualifisir dan mengkonstituir, serta mengambil keputusan berdasarkan pada pembuktian tersebut. Kebenaran formal yang dicari oleh hakim dalam arti bahwa hakim tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan oleh pihak yang berperkara. Jadi, baik kebenaran formal maupun kebenaran materiil hendaknya harus dicari secara bersamaan dalam pemeriksaan suatu perkara yang diajukan kepadanya.5 B. Asas Pembuktian
Asas pembuktian dalam Hukum Acara Perdata dijelaskan dalam 3 tempat, yaitu Pasal 1865 BW (Burgerlijke Wetboek), Pasal 163 HIR (Het Herziene Inlandsche Reglement) dan Pasal 283 RBg. (Recht Reglement Buitengewesten). Adapun isi ketiga pasal tersebut adalah semakna, yaitu: “Barangsiapa mempunyai suatu hak atau guna membantah hak orang lain atau menunjuk pada suatu peristiwa, ia diwajibkan membuktikan adanya hak itu atau adanya peristiwa tersebut”.6 Asas Pembuktian tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut: A (penggsugat) menggugat B (tergugat) agar B membayar utang kepada A. Maka hakim membebankan kepada A untuk membuktikan adanya utang B kepada A, sebab ketika itu A mengatakan bahwa ia mempunyai hak berupa piutang dari B. Selanjutnya, di muka sidang B membantah, menurut B adanya utang di atas kuitansi tersebut bukanlah karena B mempunyai utang kepada A, melainkan karena A memaksa B untuk membuatnya, maka kepada B dibebankan untuk membuktikan akan kebenaran bantahannya tersebut, karena B ketika itu membantah hak orang lain atasnya. 5 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata, Ibid. 6 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara, Ibid., 145
Mungkin juga B di muka pengadilan mengatakan bahwa utang tersebut benar adanya tetapi sudah lunas dibayarnya, hanya saja tidak memakai tanda pembayaran/kuitansi dan kuitansi utang terdahulu tidak dimintanya kembali kepada A. Dalam hal ini hakim membebankan kepada B untuk membuktikan peristiwa pembayaran tersebut.7 Demikianlah, sudah dapat dibedakan ketika pembebanan pembuktian kepada A dan kepada B. Ini karena hukumnya mengatakan demikian. Sehubungan dengan itu, hadits Rasulullah shollallohu ‘alayhi wasallam di bawah ini tidaklah berarti bahwa “pembuktian dibebankan kepada penggugat.” 8 Dari Abdullah ibn Abbas, Rasulullah shollallohu ‘alayhi wasallam bersabda:
َ مْ ُهَوالَ َْ أَ ٍ جَ رِ َءَ ِس د نَ عىَ ّدَ مْ ُ واَ ْعَ ِس ب ال طى ُْ يْوَل ّ ٌ ُ ََكْنَ أ ِ َ َ ْال ْ َْالَ عِ ّ ُ ْى الََع ةُ ْ َ ىََع ُ ّ ِكَ لَ
Maknanya: “ Jika gugatan seseorang dikabulkan begitu saja, niscaya akan banyaklah orang yang menggugat hak atau hartanya terhadap orang lain tetapi (ada cara pembuktiannya) kepada yang menuntut hak (termasuk yang membentah hak orang lain dan menunjuk suatu peristiwa tertentu) dibebankan untuk membuktikan dan (bagi mereka yang tidak mempunyai bukti lain) dapat mengingkarinya dengan sumpahnya ”. HR. Bukhary dna Muslim dengan sanad shahih.9 Ilustrasi asas pembuktian dalam hadits di atas dapat digambarkan sebagai berikut. C (istri=penggugat) menggugat D (suami=tergugat) agar D membayar utang maskawin 50 gram emas yang dahulunya sewaktu akad nikah, maskawin utang. Kepada C dibebankan oleh hakim untuk membuktikan bahwa D telah berutang maskawin 50 gram emas dan belum dibayar oleh D kepada C. Jika D mengatakan sudah membayarnya, maka kepada D dibebankan oleh hakim untuk membuktikan bahwa ia telah membayarnya. Jika C tidak mampu membuktikan, maka gugatan C ditolak. Tetapi jika C mengucapkan sumpah (negatie) bahwa ia belum pernah menerima pembayaran maskawin tersebut dari D dan D tidak ada bukti bahwa ia telah membayarnya kepada C, maka gugatan C masih dapat dikabulkan. Namun, jika D mengucapkan sumpah pula bahwa ia telah membayarnya kepada C, maka sumpah negatie C tadi tidak mempunyai arti sebab pada keadaan terakhir ini sama dengan C tidak mempunyai bukti (buktinya hanya sumpah dan sumpahnya itu 7 Ibid . 8 Ibid . 9 As-San’any, Subul Salam Jilid Iv, (Bandung: Dahlan, Tt), 132
5
telah dimusnahkan oleh sumpah D). Jika D mengucapkan sumpah bahwa ia telah membayarnya kepada C sedangkan C tidak mempunyai bukti dan tidak mengucapkan sumpah, tentulah bertambah kuat dasar untuk menolah gugatan C. Menurut asas HIR/RBg/BW seperti telah disebutkan terdahulu, walupun C mengucapkan sumpah negatie, jika tidak didukung oleh alat bukti lain, maka gugatan C tetaplah ditolak, sebab sumpah negatie (pengingkaran) tidak dianggap sebagai alat bukti, kecuali sebagai sumpah pemutus yang diminta oleh pihak lawan.10 C. Teori-Teori Pembuktian
Sekalipun untuk peristiwa yang disengketakan itu telah diajukan pembuktian, namun pembuktian itu masih harus dinilai. Berhubung dengan menilai pembuktian, hakim dapat bertindak bebas [contoh: hakim tidak wajib mempercayai satu orang saksi saja, yang berarti hakim bebas menilai kesaksiannya (ps. 1782 HIR, 309 Rbg, 1908 BW)] atau diikat oleh undang-undang [contoh: terhadap akta yang merupakan alat bukti tertulis, hakim terikat dalam penilaiannya (ps. 165 HIR, 285 Rbg, 1870 BW)]. Terdapat 3 (tiga) teori yang menjelaskan tentang sampai berapa jauhkah hukum positif dapat mengikat hakim atau para pihak dalam pembuktian peristiwa didalam sidang, yaitu :11 Ada 3 teori pembuktian, yaitu: 1. Teori pembuktian bebas Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim, sehingga penilaian pembuktian seberapa dapat diserahkan hakim. 2. Teori pembuktian negatif Dimana hakim terikat dengan ketentuan-ketentuan yang bersifat negatif sehingga membatasi hakim untuk melakukan sesuatu kecuali yang diijinkan oleh Undang-Undang 3. Teori pembuktian positif Di mana hakim diwajibkan untuk melakukan segala tindakan dalam pembuktian, kecuali yang dilarang dalam Undang-Undang. 10 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara, Ibid., 145 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara, Ibid., 147 11 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi Ke 7, (Yogyakarta: Liberty, 2006), Cet. I, 141.
Pendapat umum menghendaki teori pembuktian yang lebih bebasm, untuk memberi kelonggaran kepada hakim dalam mencari kebenaran.12 D. Sistem Pembuktian
Pembuktian merupakan suatu cara untuk meyakinkan hakim terhadap kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam gugatan dan dalil-dalil yang dikemukakan oleh pihak tergugat untuk menyanggah terhadap apa yang dikemukakan oleh pihak terguggat berkenaan, 13 dengan hal ini perlu kami jelaskan tentang sitem pembuktian lebih jelasnya sebagai berikut: Sistem (dari bahasa inggris System) suatu rangkaian prosedur yang telah merupakan suatu kebulatan (kesatuan) untuk melaksanakan suatu fungsi. 14 Sebagaimana yang sudah diketahui bahwa dalam sistem Hukum Acara Perdata menurut HIR/RBg. Adalah mendasarkan pada kebenaran formal, artinya hakim akan memeriksa dan mengadili perkara perdata terikat mutlak kepada cara-cara tertentu yang telah diatur di dalam HIR/RBg. Karena itulah sistem pembuktian mendasarkan pada kebenaran formal itu. Sistem ini sudah lama ditinggalkan karena keperluan hukum dan praktek penyelenggaraan pengadilan, sehingga dipakailah Hukum Acara Perdata yang bukan hanya terdapat di HIR/RBg. Tetapi juga yang terdapat di BW, dari (Reglement
op
de
Rechtvordering),
dari
kebiasaan-kebiasaan
15
Rsv
praktek
penyelenggaraan peradilan, termasuk dari surat edaran dan petunjuk Mahkamah Agung. Sehubungan dengan itu di muka Pengadilan Agama nanti ada suatu hal yang perlu diingat, yaitu sekalipun secara formal menurut HIR/RBg, dan lain sebagainya itu sudah dianggap cukup secara formal terbukti hakim tidak boleh memutus kalau ia tidak yakin benar secara material menurut hukum Islam. Lebih lanjut marilah kita ambil contoh masing-masing dari hukum perdata umum dan hukum perdata menurut konsepsi Islam tentang mana yang lebih tepat antara kebenaran formal dan kebenaran materiil dalam penilaian pembuktian sebagai berikut: Menurut acara perdata umum, misalnya tentang akta otentik yang sengaja 12 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata , 140 13 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2003), 250. 14 The Liang Gie, Ensiklopedi Administrasi, (Jakarta: Gunung Agung, 1981), 328-329. 15 A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hlm. 145.
7
secara sah dibuat di depan pejabat umum yang berwenang untuk itu seperti yang di sebutkan dalam pasal 165 HIR/285 R.Bg/1870 BW, dan akan menjadi pertanyaan apakah ada kemungkinan lain (secara material) yang menyebabkan akta otentik itu lemah, misalnya adanya pengaruh dalam dalam akta jual beli tanah yang dibuat oleh PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) atas permintaan permintaan pejabat terkemuka sehingga jual beli yang dimaksudkan bersifat pemaksaan, dan atau misalnya terdapat sertifikat tanah terdapat double bahkan triple, jika hakim terikat secara formal, bagaimana sikap hakim dalam menilai. Menurut acara perdata dalam konsepsi Islam misalanya masalah wasiat, wasiat yang dibuat dihadapan notaris oleh seseorang yang isinya memberikan semua hartanya kepada seseorang setelah ia wafat. Ia kemudian wafat, kemudian bagaimana status wasiat tersebut di dalam pembuktian padahal menurut hukum materiil Islam, wasiat dianggap sah jika jika tidak nelebihi sepertiga harta dari jumlah harta si pemberi wasiat. Sebagaimana hadits berikut:
ْ َ ي ََثّ حَ ةَََزعَ َ ق ََثّ حَ ْ َ ع ُ ْى بَ ِ ْ زال ِ ْ بِ ِ عَ ِ َم عُ ِ اَْب ِ إ ع ال ىص - ى ِ ّ نى الَِدعَ َ ق َ ِ بِ أ ٍ ِلَ ْ بِ ْ َ ْ َ ع ِ َ ، ت ِ ْو ْ ِ ْفَشْ ض أ ّ حَ َ عَ - م َ ْى الَََع ُ ُ َ َ ْ ِ ِ داَ وَ ْ الِة ٍْ ََ ب، ِ ّال َ و ْ ٍ َ ذُ نَ أَ ، جَ َالو َُ ُ رَ يَ ُ َ َ َ ََ َِ بىِ َغ ِ َ » َ قَ لىَِ ى َ ُ ُ ِ بُّ َ أ، ٌَ حِ اَ لىِ ةٌ َْاب َِّى إُِ ث َ يَ َ َ َ ِ ْ ُ الَ ، ُ ُ ال » َ قَ ِ ْط َ ِ بُّ ، َ َ َ قَ . « ِ َ ُ ُ ْ َ يَ َ ٌ ِ َ َ ّنِإ َ وفُف ّكَ ََة يً لَعَ مْ ُ رََ َ ْ َ أ َّريُر ذََ َ ْ َ أ ْ ِ ٌ ْخَ َء َ ِ َْ أ «س ّال َ 16
Berdasarkan contoh-contoh konkret yang diuraikan di atas, cukuplah memberi
jawaban mengapa aliran kebenaran formal dalam menilai pembuktian sudah harus bergeser ditukar dengan aliran kebenaran materiil. Pergeseran dari kebenaran formil ke kebenaran materiil hakim pasif menurut sistem HIR/RBg. Kepada hakim aktif menurut UU No 14 tahun 1970, pergeseran ini juga ditegaskan mahkamah agung dalam rapat kerja di Jakarta, 28-29 Mei 1981.17 Sedangkan menurut Mukti Arto membagi system pembuktian dalam beberapa kategori sebagai berikut: 1. Pembuktian harus mengikuti hukum pembuktian
Menurut hukum pembuktian dalam hukum acara perdata maka pembuktianya 16 Imam Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1987), Juz 3, hlm. 1431. 17 Ibid, 151.
adalah: a. Bersifat mencari kebenaran formil Dalam acara perdata, kebenaran yang dicari adalah kebenaran formil, mencari kebenaran formil berati bahwa hakim tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan oleh pihak-pihak yang berperkara, jadi tidak melihat kepada bobot atau isi, akan tetapi melihat luas daripada pemeriksaan oleh hakim, sehingga karenanya hakim dilarang untuk menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut, atau meluluskan lebih daripada yang dituntut. b. Tidak disyaratkan adanya keyakinan hakim Dalam pembuktian dibedakan antara perkara perdata dan pidana, pembuktian dalam perkara pidana mensyaratkan adanya keyakinan hakim sedangkan dalam perkara perdata tidak secara tegas mensyaratkan adanya keyakinan hakim. c. Alat bukti harus mencapai kebenaran formil dan materil Hukum acar sebagai hukum formil mempunyai unsur formil dan materiil. Unsur materiil yaitu mengatur tentang wewenang, misalnya ketentuan para pihak yang dikalahkan. Sedangkan unsur formil mengatur bagaimana caranya melaksanakan wewenang tersebut. Dalam hukum pembuktian pun terdiri dari unsur materiil dan formil. Hukum pembuktian materiil mengatur tentang dapat dan tidaknya diterima dengan alat-alat bukti tertentu di persidangan serta kekuatan pembuktiannya, sedang hukum pembuktian formil mengatur cara mengadakan pembuktian. d. Hakim wajib menerapkan hukum pembuktian Hakim wajib mengikuti ketentuan-ketentuan yang mengatur hukum pembuktian, baik tentang alat bukti, menerima atau menolak alat bukti dalam pemeriksaan perkara, pembebanan pembuktian dan sebagainya. 18 2. Beban pembuktian
Para pihak yang berkepentingan wajib mengajukan alat bukti, sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 163 HIR/pasal 283 R.Bg dan pasal 1865 BW, menyatakan bahwa barang siapa yang:
18 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata, 141.
9
a. Mengaku mempunyai suatu hak, atau; b.
Mengemukakan suatu peristiwa (keadaan) untuk menguatkan haknya, atau;
c. Membantah hak orang lain, maka ia harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu. Hakim yang menetapkan kepada siapa dibebankan pembuktian, pihak yang dibebankan wajib bukti mengandung resiko bahwa jika tidak berhasil maka ia akan dikalahkan. Pada lazimnya penggugat sebagai pihak pihak yang memulai dulu menggugat, kalau disanggah oleh tergugat, maka penggugat harus membuktikan kebenaran gugatannya. Kemudian kalau didalam sanggahanya tergugat mengajukan posita, maka hal itu harus dibuktikan pula. Dalam pembuktian ini biasannya dianut teori kepantasan yaitu bahwa yang membuktikan adalah orang yang paling mudah dapat menunujukkan bukti. 3. Yang harus dibuktikan
Yang harus dibuktikan adalah adanya peristiwa atau hak yang: a. Menjadi sengketa dan; b. Relevan dengan pokok perkara, sehingga diketemukan adanya hubungan hukum antara kedua belah pihak. Oleh karena itu tidak semua peristiwa yang dikemukakan harus dibuktikan, peristiwa-peristiwa tersebut masih disaring oleh hakim, harus dipisahkan mana yang penting dan mana yang tidak penting. Peristiwa yang penting itulah yang harus dibuktikan, peristiwa atau hak yang tidak disengketakan tidak perlu dibuktikan kecuali alasan-alasan perceraian.
4. Penilaian Pembuktian
Yang berwenang menilai dan menyatakan terbukti tidaknya peristiwa ialah hakim yang memeriksa duduk perkara (judex facti), 5. Yang tidak perlu dibuktikan
Pemeriksaan perkara perdata, ada beberapa hal menurut hukum pembuktian dalam acar perdata yang tidak perlu dibuktikan, yaitu:
a.
Hukum Positif tidak perlu dibuktikan 19
19 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 508.
b. c.
Dalam hal tergugat mengakui gugatan penggugat, dalam Dalam hal telah dilakukan sumpah decisoir, sumpah decisoir merupakan alat bukti yang menentukan dan tidak memerlukan pembuktian lain lebih lanjut.
d.
Dalam hal bantahan pihak lawan kurang cukup atau dalam hal yang diajukan referte, maka tidak diperlukan pembuktian lebih lanjut dan hakim tidak boleh membebani para pihak dengan pembuktian, kecuali dalam perkara perceraian.
e.
Dalam hal apa yang dikenal dengan peristiwa natoir, yakni peristiwa yang diketahui umum. Hakim tidak perlu meminta pembuktian karena sudah menjadi pengetahuan umum.
f.
Dalam hal peristiwa yang terjadi dalam persidangan di muka hakim, hakim secara ex officio dianggap telah mengetahui apa yang dilihat dalam persidangan.
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan
Setelah membahas secara mendalam masalah yang kami angkat dalam makalah ini dalam bab pembahasan maka dapat kami simpulkan sebagai berikut: 1. Pembuktian adalah upaya para pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim akan kebenaran peristiwa atau kejadian yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa dengan alat-alat bukti yang ditetapkan oleh
11
undang-undang. Dalam sengketa yang berlangsung dan sedang diperiksa di muka Majelis Hakim. 2. Asas pembuktian dalam Hukum Acara Perdata dijelaskan dalam Pasal 1865 BW:
“Barangsiapa mempunyai suatu hak atau guna membantah hak orang lain atau menunjuk pada suatu peristiwa, ia diwajibkan membuktikan adanya hak itu atau adanya peristiwa tersebut” 3. Ada 3 teori pembuktian, yaitu: a. Teori pembuktian bebas b. Teori pembuktian negatif c. Teori pembuktian positif 4. Sitem pembuktian yang menjadi acuan dalam Hukum acar perdata di peradilan agama adalah sitem pembuktian yang mengacu kepada kepada kebenaran formil dan tanpa mengesampingkan kebenaran materiil. B. Kritik dan Saran
Demikianlah uraian kami tentang Pembuktian. Kami sadari bahwasanya makalah kami banyak kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kami harapkan kritik dan saran yang membangun dari dosen dan temen-temen sebagai bahan renungan dan alat untuk intropeksi diri agar menjadi lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Mukti Arto. 2011. Praktek Perkara Perdata pada Peradilan Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Roihan A. Rasyid. 2010. Hukum Acara Peradilan Agama . Jakarta: Rajawali Pers. Abdul Manan, 2005. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan
Peradilan Agama . Jakarta: Kencana.
As-San’any. Tth. Subul Salam Jilid Iv , (Bandung: Dahlan,), 132 Sudikno Mertokusumo. 2006. Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi Ke 7. Yogyakarta: Liberty, Cet. I. Cik Hasan Bisri. 2003. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. The Liang Gie. 1981. Ensiklopedi Administrasi. Jakarta: Gunung Agung, Imam Bukhari. 1987. Shahih Bukhari. Beirut: Dar Ibnu Katsir. R. Soesilo. 1985. RIB/HIR Dengan Penjelasan. Bandung: Politea. Soesilo. 2008. KUHPerdata. Bandung: Rhedbook Publisher. Yahya Harahap. 2009. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika.
13