MAKALAH MANAJEMEN TERNAK UNGGAS
MANAJEMEN PEMELIHARAAN AYAM LAYER
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Manajemen Ternak Unggas
Oleh :
Kelas A
Kelompok 2
SYIFA SAVIRA 200110140012
REXY PRAYOGA 200110140014
TANTRI NUR SUCIATI 200110140017
HIZBI AZIZ 200110140019
NOVA NUR AFNITA 200110140121
SANTI AGUSTINI 200110140124
ADE THALITA R. 200110140219
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2016
I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkembangan jumlah penduduk yang selalu meningkat dari tahun ke tahun terus diimbangi dengan kesadaran akan arti penting peningkatan gizi dalam kehidupan. Hal ini berimplikasi pada pola konsumsi makanan yang juga akan terus meningkat. Disamping tujuan utama penggunaan makanan sebagai pemberi zat gizi bagi tubuh yang berguna untuk mempertahankan hidup, manusia juga menggunakannya untuk nilai-nilai sosial, karena penggunaan makanan telah melembaga sebagai alat untuk berhubungan dengan orang lain. Oleh karena itu makanan dalam lingkungan masyarakat menyangkut gizi dan aspek sosial. Secara ekonomi, pengembangan pengusahaan ternak ayam petelur di Indonesia memiliki prospek bisnis menguntungkan, karena permintaan selalu bertambah (Cahyono, B. 1995).
Besarnya peluang pasar ayam petelur ini merupakan kesempatan yang sangat potensial untuk mengembangkan peternakan ayam petelur. Bagi seorang peternak kesalahan pemeliharaan ayam akan menghasilkan pertumbuhan ayam yang buruk sehingga mengakibatkan hasil produksi menurun. Pemeliharaan ayam petelur membutuhkan penanganan khusus dan sangat penting untuk diperhatian. Karena dengan pemeliharaan yang baik akan menghasilkan pertumbuhan ayam yang baik, kondisi ayam yang sehat, tingkat mortalitas yang rendah dan pada akhirnya akan menghasilkan ayam petelur dengan produksi telur yang tinggi. Bagaimana cara mengoptimalkan produksi ayam petelur? Pertanyaan ini sering kita jumpai dilapangan. Pelaku bisnis peternakan ayam petelur sering dihadapkan pada situasi dimana ayam petelurnya tidak mampu berproduksi secara optimal. Kunci utama untuk mencapai produksi yang optimal yaitu manajemen yang baik pada fase Starter, layer dan grower serta didukung dengan baiknya sistem recording di Farm.
1.2. Rumusan Masalah
Apa itu ayam petelur.
Apa saja jenis-jenis ayam petelur yang ada di Indonesia.
Bagaimana periode pertumbuhan ayam petelur.
Bagaimana tehnik memelihara ayam petelur yang baik.
Bagaimana pakan untuk ayam petelur.
Bagaimana pencegahan dan penanganan penyakit ayam petelur.
Tujuan
Mengetahui pengertian ayam petelur dan sejarah singkat tentang ayam petelur.
Mengetahui jenis-jenis ayam petelur yang ada di Indonesia.
Mengetahui periode pertumbuhan ayam petelur.
Mengetahui tehnik memelihara ayam petelur yang baik.
Mengetahui pakan ayam petelur.
Mengetahui pencegahan dan penanganan penyakit ayam petelur.
II
KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1. Ayam Petelur
Ayam domestik termasuk dalam spesies Gallus gallus tetapi terkadang ditujukan kepada Galluells domesticus. Ayam diklasifikasikan sebagai berikut (Scanes et al., 2004) :
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Kelas : Aves
Superordo : Carinatae
Ordo : Galliformes
Famili : Phasianidae
Genus : Gallus
Spesies : Gallus gallus
Ayam layer atau ayam petelur adalah ayam yang diternakkan khusus untuk menghasilkan telur konsumsi. Jenis ayam petelur dibagi menjadi tipe ayam petelur ringan dan medium. Tipe ayam petelur ringan mempunyai badan yang ramping dan kecil, bulu berwarna putih bersih, dan berjengger merah, berasal dari galur murni (white leghorn) mampu bertelur lebih dari 260 telur per tahun produksi hen house. Ayam petelur ringan sensitif terhadap cuaca panas dan keributan, responnya yaitu produksi akan menurun. Tipe ayam petelur medium memiliki bobot tubuh yang cukup berat, tidak terlalu gemuk, kerabang telur berwarna coklat, dan bersifat dwiguna (Bappenas, 2010). Ayam yang dipelihara sebagai penghasil telur konsumsi umumnya tidak memakai pejantan dalam kandangnya karena telur konsumsi tidak perlu dibuahi (Kartasudjana dan Suprijatna, 2006).
Ayam ras petelur merupakan tipe ayam yang secara khusus menghasilkan telur sehingga produktifitas telurnya melebihi dari produktifitas ayam jenis lainnya. Keberhasilan pengelolaan usaha ayam ras petelur sangat ditentukan oleh sifat genetis ayam, manajemen pemeliharaan, makanan dan kondisi pasar (Amrullah, 2003).
2.2. Jenis – jenis ayam petelur yang ada di Indonesia
Menurut Rasyaf (2008) ayam petelur dibagi menjadi :
Jenis ayam petelur ringan
Tipe ayam ini disebut dengan ayam petelur putih. Ayam petelur ringan ini mempunyai badan yang ramping/kurus, mungil/kecil dan mata bersinar. Bulunya berwarna putih bersih dan berjengger merah. Ayam ini berasal dari galur murni white leghorn. Ayam galur ini sulit dicari, tapi ayam petelur ringan komersial banyak dijual di Indonesiadengan berbagai nama. Setiap pembibit ayam petelur di Indonesia pasti memiliki dan menjual ayam petelur ringan (petelur putih) komersial ini. Ayam ini mampu bertelur lebih dari 260 telur per tahun produksi hen house. Sebagai petelur, ayam tipe ini memang khusus untuk bertelur saja sehingga semua kemampuan dirinya diarahkan pada kemampuan bertelur, karena dagingnya hanya sedikit. Ayam petelur ringan ini sensitif terhadap cuaca panas dan keributan, dan ayam ini mudah kaget dan bila kaget ayam ini produksinya akan cepat turun, begitu juga bila kepanasan.
Jenis ayam petelur medium
Bobot tubuh ayam ini cukup berat. Meskipun itu, beratnya masih berada di antara berat ayam petelur ringan dan ayam broiler. Oleh karena itu ayam ini disebut tipe ayam petelur medium. Tubuh ayam ini tidak kurus, tetapi juga tidak terlihat gemuk. Telurnya cukup banyak dan juga dapat menghasilkan daging yang banyak. Ayam ini disebut juga dengan ayam tipe dwiguna, karena warnanya yang cokelat, maka ayam ini disebut dengan ayam petelur cokelat yang umumnya mempunyai warna bulu yang cokelat juga. Orang mengatakan telur cokelat lebih disukai daripada telur putih, kalau dilihat dari warna kulitnya memang lebih menarik yang cokelat daripada yang putih, tapi dari segi gizi dan rasa relatif sama. Satu hal yang berbeda adalah harganya dipasaran, harga telur cokelat lebih mahal daripada telur putih. Hal ini dikarenakan telur cokelat lebih berat.
2.3. Periode Pertumbuhan Ayam Petelur
Ayam ras petelur adalah ayam yang dipelihara dengan tujuan untuk menghasilkan banyak telur dan merupakan produk akhir ayam ras dan tidak boleh disilangkan kembali (Sudaryani dan Santosa, 2000). Berdasarkan fase pemeliharaannya, fase pemeliharaan ayam petelur dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase starter (umur 1 hari--6 minggu), fase grower (umur 6--18 minggu), dan fase layer/petelur (umur 18 minggu--afkir) (Fadilah dan Fatkhuroji, 2013).
Fase grower pada ayam petelur, terbagi kedalam kelompok umur 6--10 minggu atau disebut fase awal grower dimana terjadi pertumbuhan anatomi dan sistem hormonal pada fase ini. Sedangkan, pada umur 10--18 minggu sering disebut dengan fase developer dimana pada fase ini perkembangan ditandai dengan pertumbuhan anatomi kerangka ayam dan otot (daging) yang lebih dominan. (Fadilah dan Fatkhuroji, 2013). Pada fase ini kontrol pertumbuhan dan keseragaman perlu dilakukan, karena berkaitan dengan sistem reproduksi dan produksi ayam tersebut. Periode grower secara fisik tidak mengalami perubahan yang berarti, perubahan hanya dari ukuran tubuhnya yang semakin bertambah dan bulu yang semakin lengkap serta kelamin sekunder yang mulai nampak. Selama periode ini terjadi perkembangan ukuran dan terbentuknya rangka, perkembangan organ tubuh, perkembangan hormonal, dan perkembangan organ reproduksi (Rasyaf, 1995).
Pullet memiliki tahapan perkembangan tubuh yang kompleks sesuai periode umurnya (starter dan grower). Masa starter merupakan masa pembelahan sel (hiperplasia) sehingga perkembangan organ sangat dominan di masa ini. Oleh karena itu, masa ini mempunyai andil 50% bahkan 90% terhadap keberhasilan pemeliharaan pullet (Fadilah dan Fatkhuroji, 2013). Periode grower terjadi perkembangan ukuran sel (hipertrofi). Fase ini frame size (kerangka tubuh) berkembang mencapai bentuk sempurna. Periode grower memiliki 3 waktu kritis yang harus diperhatikan oleh peternak yaitu umur 6--7 minggu, 12 minggu, dan 14 minggu. Antara minggu 6 dan 7 adalah puncak perkembangan frame size dimana 80% frame size sudah mencapai dimensi akhir. Oleh karena itu, saat penimbangan berat badan di minggu kelima, ayam-ayam yang belum memiliki frame size optimal dipisahkan lalu tetap diberikan ransum starter dan diberikan multivitamin (Adlan dkk., 2012). Lebih lanjut dinyatakan bahwa perkembangan kerangka tubuh minggu ke-12 telah mencapai maksimal, sehingga setidaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan peternak, yaitu mengejar ketinggalan frame size (berat badan) sebelum minggu ke-12, dan mempertahankan berat tubuh yang sudah sama atau 10% di atas standar untuk menghadapi masa awal bertelur. Selain tercapainya berat tubuh yang sesuai dan perkembangan frame size yang optimal, tingkat keseragaman ayam juga perlu tetap diperhatikan (Adlan dkk., 2012).
Perkembangan pesat organ reproduksi dan juga medulary bone (bagian tulang yang menyimpan cadangan kalsium untuk cangkang telur pada ayam) terjadi pada minggu ke-14. Periode ini, ketersediaan vitamin D dan kalsium sangat dibutuhkan rendahnya asupan kalsium dan vitamin D saat awal bertelur akan menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas telur saat puncak produksi sehingga sebaiknya peternak perlu menyediakan kalsium dan vitamin D dalam jumlah yang cukup (Adlan dkk., 2012). Hal penting lainnya dalam pemeliharaan fase grower adalah memperhatikan konsumsi pakan per hari baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Pembatasan pemberian ransum dilakukan bila bobot tubuh yang diperoleh melebihi standar. Bila bobot tubuh sejalan dengan kurva yang ada, pada umur 10 minggu, ransum dapat diubah dari ransum starter ke grower. Jika berat kelompok lebih rendah, pemberian ransum starter diatur sampai berat badannya sesuai dengan umurnya. Sementara, pemberian ransum grower harus berkualitas baik dan memenuhi kebutuhan asam amino. Ransum yang mengandung protein dan asam amino yang rendah akan menyebabkan naiknya lemak tubuh (gemuk), dan akan menyebabkan ayam makan terlalu banyak pada masa grower dan bermasalah pada awal produksi (Rasyaf, 1995).
2.4. Tehnik Memelihara Ayam Petelur
Sebelum usaha beternak dimulai, seorang peternak wajib memahami 3 (tiga) unsur produksi yaitu: manajemen (pengelolaan usaha peternakan), breeding (pembibitan) dan feeding (makanan ternak/pakan) .
Penyiapan Sarana dan Peralatan :
Kandang
Sistem perkandangan ayam petelur dapat berupa litter dan cage. Sistem litter menggunakan alas berupa sekam atau serbuk gergaji,. Sistem cage dapat berupa single bird cage (diisi satu ekor ayam, disebut juga kandang tipe baterai), multiple bird cage (diisi 2 ekor ayam atau lebih, tidak lebih dari 8 – 10 ekor), dan colony cage (diisi 20 – 30 ekor ayam). Lebar bangunan kandang untuk ayam petelur saat fase layer sebaiknya sekitar 8 m apabila tipe kandang terbuka, jika lebar kandang 12 m maka perlu dilengkapi dengan ridge ventilation. ventilasi yang kurang baik mengakibatkan amoniak dari ekskreta akan mejadi racun bagi ayam, menimbulkan gangguan pernafasan, penurunan produksi, dan penyakit cacing untuk ayam yang dipelihara di kandang litter. Pemberian cahaya sebaiknya 14 jam per hari, yaitu kombinasi antara cahaya matahari dan cahaya lampu sebagai tambahan, tujuannya untuk meningkatkan produksi telur, mempercepat dewasa kelamin, mengurangi sifat mengeram, dan memperlambat molting (perontokan bulu) (Kartasudjana dan Suprijatna, 2006).
Suhu optimal untuk pemeliharaan ayam petelur strain Hy-Line Brown fase layer yaitu 18 – 27%, dengan batas kelembaban 40 – 60%. Intensitas cahaya sekitar 20 lux. Sistem kandang dapat berupa litter (kepadatan maksimum 8 ekor/m2), slat (kepadatan maksimum 10 ekor/m2) atau kombinasi litter-slat (kepadatan maksimum 9 ekor/m2). Sarang untuk bertelur berbentuk boks, satu sarang dengan ukuran 30 x 40 x 50 cm dapat digunakan maksimum untuk delapan ekor ayam. Sarang tidak diperlukan dalam sistem perkandangan cage (sangkar) (Hy-Line International, 2010).
Cage dapat dibuat bertingkat hingga tiga deck atau lebih. Deck disusun membentuk frame A agar ekskreta ayam dari deck atas langsung jatuh ke lantai atau tempat penampungan ekskreta dan tidak jatuh ke deck di bawahnya. Partisi untuk cage dapat berupa solid (tertutup) atau wire. Partisi yang berbentuk wire berfungsi untuk mengoptimalkan pertukaran udara di dalam cage. Cage untuk ayam petelur dapat terbuat dari berbagai bahan seperti logam, plastik, kayu, atau bambu (Lelystad, 2004).
b. Peralatan
Litter ( alas bertelur )
Alas lantai/litter harus dalam keadaan kering, maka tidak ada atap yang bocor dan air hujan tidak ada yang masuk walau angin kencang. Tebal litter setinggi 10 cm, bahan litter dipakai campuran dari kulit padi/sekam dengan sedikit kapur dan pasir secukupnya, atau hasil serutan kayu dengan panjang antara 3–5 cm untuk pengganti kulit padi/sekam.
Tempat bertelur
Penyediaan tempat bertelur agar mudah mengambil telur dan kulit telur tidak kotor, dapat dibuatkan kotak ukuran 30 x 35 x 45 cm yang cukup untuk 4–5 ekor ayam. Kotak diletakkan dididing kandang dengan lebih tinggi dari tempat bertengger, penempatannya agar mudah pengambilan telur dari luar sehingga telur tidak pecah dan terinjak-injak serta dimakan. Dasar tempat bertelur dibuat miring dari kawat hingga telur langsung ke luar sarang setelah bertelur dan dibuat lubang yang lebih besar dari besar telur pada dasar sarang.
Tempat bertengger
Tempat bertengger untuk tempat istirahat/tidur, dibuat dekat dinding dan diusahakan kotoran jatuh ke lantai yang mudah dibersihkan dari luar. Dibuat tertutup agar terhindar dari angin dan letaknya lebih rendah dari tempat bertelur.
Tempat makan dan minum
Tempat makan dan minum harus tersedia cukup, bahannya dari bambu, almunium atau apa saja yang kuat dan tidak bocor juga tidak berkarat. Untuk tempat grit dengan kotak khusus.
Peyiapan Bibit
Ayam petelur yang akan dipelihara haruslah memenuhi syarat sebagai berikut, antara lain:
Ayam petelur harus sehat dan tidak cacat fisiknya.
Pertumbuhan dan perkembangan normal.
Ayam petelur berasal dari bibit yang diketahui keunggulannya.
Ada beberapa pedoman teknis untuk memilih bibit/DOC (Day Old Chicken) /ayam umur sehari:
Anak ayam (DOC ) berasal dari induk yang sehat.
Bulu tampak halus dan penuh serta baik pertumbuhannya .
Tidak terdapat kecacatan pada tubuhnya.
Anak ayam mempunyak nafsu makan yang baik.
Ukuran badan normal, ukuran berat badan antara 35-40 gram.
Tidak ada letakan tinja diduburnya.
2.5. Pakan Ayam Petelur
Kebutuhan nutrisi ayam petelur
Periode pertumbuhan ayam petelur dapat dibagi menjadi periode grower (umur 1 hari – 8 minggu), developer (umur 8 – 16 minggu), dan pre-lay (umur 17 – 24 minggu). Kebutuhan nutrisi periode grower yaitu 18,6% PK dan 3870 kkal/kg EM. Kebutuhan nutrisi periode developer yaitu 14,9% PK dan 2750 kkal/kg EM. Kebutuhan nutrisi periode pre-lay yaitu 18,0% PK dan 2755 kkal/kg EM (Al Nasser et al., 2005).
Jika energi pakan saat fase layer terlalu rendah (kurang dari 2600 kkal), konsumsi pakan lebih banyak sehingga FCR meningkat dan efisiensi pakan menurun. Sebaliknya jika energi pakan terlalu tinggi akan terjadi penurunan konsumsi (Harms et al., 2000). Kebutuhan PK dan EM pada fase layer tidak sama, tergantung dari umur ayam, produksi telur, dan konsumsi pakan. Hal yang perlu diperhatikan yaitu makin sedikit jumlah pakan yang dikonsumsi, kandungan PK dan EM harus ditingkatkan. Kebutuhan PK dan EM fase layer pada berbagai tingkatan umur dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kebutuhan PK dan EM Fase Layer untuk Strain Hy-Line Brown
Umur
27 – 32 minggu
33 – 44 minggu
45 – 58 minggu
59 minggu
Hen Day Production
94 – 96%
89 – 93%
85 – 88%
< 85%
Konsumsi
93 – 113 g
100 – 120 g
100 – 120 g
99 – 119 g
Kebutuhan PK
15,04 – 18,28%
13,96 – 16,75%
13,33 – 16%
13,03 – 15,66%
Kebutuhan EM
2778 – 2867 Kkal/kg
2734 – 2867 Kkal/kg
2679 – 2867 Kkal/kg
2558 – 2833 Kkal/kg
Sumber: Hy-Line Internasional, 2010.
Protein pakan sebagian besar digunakan untuk produksi telur, hanya sebagian kecil untuk hidup pokok. Semakin tinggi tingkat produksi maka kebutuhan protein juga semakin tinggi (Suprijatna et al., 2005). Protein pakan harus mencukupi kebutuhan asam-asam amino untuk menunjang produksi yang optimal (Leeson, 2008). Kebutuhan asam amino bagi ayam petelur fase layer dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Standar Kebutuhan Asam Amino untuk Strain Hy-Line Brown
Umur
27 – 32 minggu
33 – 44 minggu
45 – 58 minggu
59 minggu
HDP
94 – 96%
89 – 93%
85 – 88%
< 85%
Lisin (mg)
931
920
876
821
Metionin (mg)
448
443
422
395
Metionin + Sistin (mg)
805
815
776
727
Treonin (mg)
700
692
659
618
Triptofan (mg)
213
211
201
188
Arginin (mg)
978
966
920
863
Isoleusin (mg)
722
714
680
637
Valin (mg)
844
834
794
744
Sumber: Hy-Line Internasional, 2010.
Kebutuhan vitamin dan mineral untuk ayam petelur strain Hy-Line Brown fase layer dapat dilihat pada Tabel 3 dan 4.
Tabel 3. Standar Kandungan Vitamin Ransum pada Fase Layer
Vitamin
Kandungan dalam 1000 Kg Ransum
Vitamin A (IU)
8.000.000*
Vitamin D(IU)
500.000**
Vitamin E (IU)
5.000**
Vitamin K (mg)
500**
Thiamin (mg)
1.700*
Riboflavin (mg)
5.500*
Asam pantotenat (mg)
6.600*
Niasin (mg)
28.000*
Piridoksin (mg)
3.300*
Biotin (mg)
100**
Kolin (mg)
500.000**
Vitamin B12 (mg)
22,18*
Sumber: * Hy-Line Internasional, 2010
**North danBell, 1990.
Tabel 4. Kebutuhan Mineral Ayam Petelur Tipe Medium pada Fase Layer
Mineral
Umur 21 – 40 minggu
Umur > 40 minggu
Kalsium (%)
3,00
3,25
Fosfor (total, %)
0,50
0,50
Natrium (mg/kg)
0,15
0,15
Mangan (mg/kg)
110
110
Seng (mg/kg)
50
50
Sumber: North dan Bell, 1990.
Kalsium dan fosfor merupakan mineral utama yang diperlukan untuk pembentukan cangkang telur. Pakan ayam petelur fase layer harus mengandung kalsium sebanyak 3 – 4% (Harms et al., 1996). Defisiensi kalsium akan menyebabkan cangkang telur menjadi tipis dan mudah retak. Jika absorbsi kalsium pakan tidak memenuhi kebutuhan pembentukan cangkang, kalsium diambil dari tulang medulair (Riczu dan Korver, 2009). Imbangan Ca : P yang terlalu luas dapat menimbulkan ricketsia, yaitu tiap unsur yang berlebihan menyebabkan mengendapnya unsur lain di dalam usus sehingga tidak bisa dimanfaatkan tubuh. Imbangan Ca : P sebaiknya sebesar 9 : 1 saat puncak produksi, 11 : 1 saat produksi sebesar 89 – 93%, selanjutnya 13 : 1 hingga ayam diafkir (Hy- Line International, 2010).
Lemak merupakan sumber energi tinggi dalam pakan unggas. Asam linoleat dan arakhidonat adalah asam lemak esensial karena tidak dapat disintesis tetapi harus ada di dalam pakan. Pakan yang tidak mengandung cukup asam linoleat menyebabkan pertumbuhan terhambat, terjadi akumulasi lemak di hati, dan lebih rentan terhadap infeksi pernafasan. Defisiensi asam arakhidonat pada ayam petelur menyebabkan ukuran telur kecil. Asam arakhidonat dapat disintesis dari asam linoleat (Suprijatna et al., 2005). Standar kebutuhan asam linoleat dalam pakan ayam petelur fase layer dari umur 27 minggu hingga lebih dari 59 minggu adalah 1,00 g/hari (Hy-Line International, 2010).
Tata laksana pemberian pakan
Rata-rata ayam petelur fase layer strain Hy–Line Brown mengkonsumsi 114 – 120 gram pakan per hari sehingga pemberian pakan tiap hari sekitar 120 gram per ekor ayam. Air merupakan komponen nutrien yang paling penting, apabila ayam kekurangan air minum, konsumsi pakan akan menurun sehingga produktivitasnya menurun. Air minum hanya dibatasi pada saat-saat tertentu, misalnya sebelum vaksinasi melalui air minum (Hy-Line International, 2010).
Ayam dapat bertelur dengan optimal apabila pakan diberikan secara ad libitum, yaitu selalu tersedia sepanjang hari. Pakan bentuk pellet memiliki palatabilitas yang paling baik. Bentuk pakan seperti campuran crumble dan mash umum digunakan dalam ransum hasil formulasi sendiri dan relatif lebih ekonomis. Ayam harus distimulasi untuk mengkonsumsi pakan, salah satunya dengan memberikan biji-bijian setengah hancur, misalnya jagung. Pakan di dalam tempat pakan diusahakan selalu kering dan diganti dengan yang baru setiap hari untuk mencegah timbulnya jamur. Air bersih untuk minum harus selalu tersedia atau ad libitum (Shirt, 2010).
Pemberian pakan saat tengah malam (midnight feeding) dapat dilakukan apabila diberikan cahaya yang cukup, yaitu dari lampu. Tujuan night feeding dan midnight feeding yaitu memberikan kesempatan bagi ayam untuk meningkatkan suplai kalsium dari saluran pencernaan secara langsung untuk pembentukan cangkang telur. Hal ini mencegah pengambilan kalsium dari tulang yang meningkatkan risiko pengeroposan tulang saat ayam mulai tua. Waktu pemberian pakan di pagi atau siang hari menyebabkan ayam mengabsorbsi zat-zat pakan sebagian besar untuk hidup pokok dalam sehari, regenerasi sel, mengatasi pengaruh lingkungan seperti cuaca sehingga tidak semuanya dimaksimalkan untuk pembentukan telur. Midnight feeding berlangsung saat telur sedang dibentuk sehingga materi pembentuknya dapat ditambahkan dari zat-zat pakan yang diabsorbsi oleh saluran pencernaan (Riczu dan Korver, 2009). Midnight feeding terbukti dapat meningkatkan kualitas cangkang telur dari segi ketebalan, kekuatan, persentase cangkang dari telur yang keluar pada pagi hari, yaitu sekitar jam 09.00 (Harms et al., 1996).
2.6. Manajemen Pencegahan dan Penanganan Penyakit
Biosekuriti merupakan metode terbaik untuk mencegah penyakit. Prosedur yang diterapkan dalam biosekuriti antara lain yaitu tidak mengunjungi flock ayam sehat setelah mengunjungi flock ayam sakit, melakukan fumigasi dan disinfeksi kandang sebelum kedatangan pullet. Pemeliharaan dengan sistem all in all out dalam suatu flock juga dapat mencegah penularan penyakit dari ayam tua ke ayam muda karena dalam sistem tersebut ayam pengadaan pullet dan pengafkiran dilakukan secara menyeluruh sehingga umur ayam yang dipelihara sama (Hy-Line International, 2010). Fumigasi dilakukan dengan menyemprotkan gas formaldehyde di kandang dan sekitarnya untuk mencegah penularan penyakit yang disebabkan oleh bakteri, protozoa, dan virus (Blakely dan Bade, 1998).
Beberapa jenis penyakit menyebar dengan luas dan sulit diberantas sehingga harus dilakukan vaksinasi rutin. Program vaksinasi yang wajib untuk ayam petelur antara lain untuk mencegah Newcastle Disease (ND), Infectious Bronchitis (IB), Infectious Bursal Disease (IBD), dan Avian Encephalomyelitis (AE) (Hy-Line International, 2010). Teknik vaksinasi antara lain dengan metode tetes mata (ocular), injeksi subcutan, air minum, maupun spray. Vaksin dengan metode tetes mata misalnya vaksin ND – IB untuk anak ayam berumur 3 hari. Metode injeksi intramuskuler misalnya vaksin ND untuk ayam usia 16-17, 30 dan 50 minggu. Metode wing web injection (tusuk sayap) misalnya vaksin fowl pox dan AE untuk ayam usia 18 minggu. Metode pemberian vaksin dengan air minum misalnya vaksin IBD (Gumboro) untuk ayam usia 32 dan 52 minggu serta vaksin ND La Sota. Metode pemberian vaksin melalui spray misalnya vaksin coccidiosis live untuk DOC (Kartasudjana dan Suprijatna, 2006; Spoolder, 2007).
Penyakit yang disebabkan oleh bakteri antara lain fowl cholerae dan infectious coryzae. Penyakit yang disebabkan oleh virus antara lain fowl pox. Penyakit yang disebabkan oleh protozoa antara lain leukosis. Penyakit parasit internal terutama disebabkan oleh cacing. Penyakit parasit eksternal disebabkan oleh kutu dan tungau (Blakely dan Bade, 1998). Fowl cholerae merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida yang ditandai dengan gejala diare, dalam kondisi kronis menyebabkan jengger dan pial bengkak, diare berwarna kuning hingga hijau, dan pembengkakan sendi. Pengobatannya yaitu dengan injeksi sulfadoxin secara intramuskuler. Infectious coryza disebabkan oleh bakteri Haemophilus gallinarum dengan gejala kesulitan bernafas, keluar lendir dari nostril dan mata, dalam kondisi kronis muka dan sekitar mata membengkak akibat penggumpalan eksudat. Pengobatannya yaitu dengan injeksi sulfadimetoksin dan streptomisin (Meerburg dan Kiljstra, 2007; Kartasudjana dan Suprijatna, 2006).
Fowl pox ditandai dengan tonjolan kehitaman pada jengger dan pial, disebabkan oleh virus Borreliota avium dan dapat dicegah dengan vaksinasi. Leukosis ditandai dengan pembengkakan hati dan limpa yang disebabkan oleh virus maupun protozoa seperti Plasmodium sp. yang ditularkan oleh nyamuk Anopheles. Leukosis yang disebabkan oleh Plasmodium sp. dapat diobati dengan injeksi sulfa, seperti sulfamonometoksin (Blakely dan Bade, 1998; Bappenas, 2010). Cacing parasit misalnya Ascaridia galli pada usus dan Heterakis gallinarum pada ceca, pengobatannya yaitu dengan Piperazine, Albendazole, dan Flubendazole (Hy-Line International, 2010).
III
PEMBAHASAN
3.1. Pembahasan Pemberian Pakan Ayam Petelur dengan Jurnal Laying Chickens Response to Various Levels of Palm Kernel Cake in Diets
Pakan merupakan suatu hal yang penting untuk diperhatikan dalam pemeliharaan ayam petelur. Namun kebutuhan pakan yang semakin meningkat diperlukan keseimbangan dengan ketersediaan pakannya dan tetap mempertimbangkan biayanya. Berdasarkan teori dijelaskan bahwa pakan digunakan untuk menghitung FCR, jika energi pakan saat fase layer terlalu rendah (kurang dari 2600 kkal), konsumsi pakan lebih banyak sehingga FCR meningkat dan efisiensi pakan menurun. Sebaliknya jika energi pakan terlalu tinggi akan terjadi penurunan konsumsi (Harms et al., 2000). Kebutuhan PK dan EM pada fase layer tidak sama, tergantung dari umur ayam, produksi telur, dan konsumsi pakan. Hal yang perlu diperhatikan yaitu makin sedikit jumlah pakan yang dikonsumsi, kandungan PK dan EM harus ditingkatkan.
Pada jurnal dibahas untuk melakukan manajemen ternak dengan biaya yang lebih rendah, salah satunya dengan memanfaatkan hasil ikutan pertanian, yakni bungkil inti sawit. Bungkil inti sawit ini diyakini dapat mengurangi masalah pencemaran lingkungan dari hasil buangannya. BIS mengandung banyak metabolisme energi yaitu sebanyak antara 1479 - 2260 Kcal/kg. Kandungan nutrisi yang terkandung dalam BIS berbeda-beda, tergantung pada proses efisiensi ekstraksi lemak. Seratus dua puluh Lohmann Brown ayam petelur (40 minggu) yang dipelihara dengan gizi yang sama dan penanganan ransum dibagi menjadi empat, yaitu ransum yang dicampur dengan 0, 5, 10, dan 15 kg BIS pada masing-masing 4 macam ransum tersebut. Setiap macam ransum diperuntukkan kepada 15 ekor ayam petelur. Rata – rata bobot ayam sebesar 1.5 kg. Pakan dan minum diberikan secara adlibitum/terus menerus. Data dikumpulkan selama delapan minggu yaitu produksi telur, berat telur, nilai warna kuning yolk, ketebalan kulit telur, dan nilai Haugh Unit.
Pengurangan berat badan (BB) dengan penambahan BIS 15% dalam ransum dapat dikaitkan dengan kecernaan nutrisi rendah dengan penambahan BIS. Penjelasan didukung oleh Sundu dan Dingle (2003) sebelumnya telah melaporkan bahwa selama pemrosesan, BIS juga dapat mengalami reaksi Maillard (reaksi mannose dengan kelompok amino yang mengarah ke pembentukan brown kompleks) karena panas diterapkan dalam proses sebelum dan selama minyak ekstraksi dan ini mempengaruhi daya cerna.
Longe (1984) menemukan bahwa ayam petelur makan 20% BIS pada ransum menghasilkan telur lebih sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa makan 15% BIS pada ransum berpengaruh pada produksi telur, tapi tidak berpengaruh pada konsumsi pakannya. Hal ini mungkin disebabkan karena kandungan serat kasar yang tinggi pada BIS yang mengarah ke gangguan cerna nutrisi, terutama asam amino dan juga untuk ketidakseimbangan nutrisi. Skor warna kuning telur tampaknya telah dipengaruhi secara signifikan dengan penambahan BIS menjadi warna kuning meningkat. Peningkatan warna kuning telur akibat penambahan BIS yang tinggi dalam ransum bisa menjadi baik karena kebanyakan pelanggan lebih memilih warna kuning gelap. Tidak ada efek BIS yang signifikan terhadap berat telur (yang berkisar 62,48-68,53), ketebalan kulit telur dan Haugh Unit skor. Menurut United State Department of Agriculture (U.S.D.A), sebutir telur beratnya berkisar 56.7g atau lebih dengan Haugh skor unit 72 dan dianggap sebagai kualitas 'AA' (Panda, 1995). Semua nilai-nilai yang tercatat dalam penelitian ini nilai HU nya lebih dari 72 sehingga ayam petelur yang diberi ransum dicampur dengan BIS di berbagai tingkatan dapat dianggap berkualitas tinggi. Biaya pakan per kilogram ransum berkurang ketika BIS digunakan. Hal ini mengakibatkan harga yang lebih rendah dengan penggunaan BIS.
3.2. Pembahasan Pakan dengan Jurnal Performance of Chicken Layers as Affected By Calcium Supplement
Kalsium adalah nutrisi penting pada ayam petelur. Hal ini diperlukan untuk pembentukan cangkang telur dan itu juga diperlukan untuk menjaga integritas tulang. Untuk alasan ini kalsium telah ditambahkan pada ransum ayam petelur. Meskipun demikian, produsen telur menderita kerugian keuangan setiap tahun dari kualitas kerabang telur yang buruk dan dari hilangnya ayam karena kualitas tulang yang buruk menyebabkan ketimpangan pada ayam. Setelah umur ayam petelur 42 minggu, kualitas kulit telur menurun. Pada jurnal dibahas kegunaan dari penelitian adalah untuk memverifikasi kinerja ayam petelur bila diberikan suplemen kalsium. Secara khusus, tujuannya adalah :
Menentukan performa ayam petelur bila diberikan suplemen kalsium halus dan kasar selama fase kedua produksi
Menentukan kualitas cangkang telur yang dipengaruhi oleh kapur kasar dan halus.
Dalam hal parameter produksi telur, pemberian suplemen tidak mempengaruhi ayam untuk bertelur lebih banyak. Potensi genetik yang melekat pada ayam petelur untuk memproduksi telur tidak lebih ditingkatkan dengan suplemen kalsium. Seperti dengan berat cangkang telur, dapat ditarik kesimpulan dari hasil bahwa penambahan kalsium suplemen untuk ransum komersial ayam petelur yang mengandung 3,5% kalsium tidak menyebabkan peningkatan yang signifikan dalam berat cangkang telur. Di sisi lain ketebalan kulit telur secara signifikan dipengaruhi oleh suplemen kalsium. Ketebalan shell mempengaruhi kualitas telur yang memberikan kontribusi terhadap kerusakan kulit telur. Seperti yang disebutkan oleh Austic dan Nesheim (1990), cangkang terutama terdiri dari bahan mineral yang sebagian besar adalah kalsium karbonat diendapkan di dalam matriks organik. Matriks organik merupakan faktor penentu penting dari kualitas kulit telur (Britton dan Hale, 1977). Sebanding ketebalan cangkang sebelum suplementasi telah diamati menghasilkan % telur retak rendah. Pada usia ini, kebutuhan bahan organik dari ayam petelur yang memuaskan dipenuhi oleh ransum normal. Kerugian berkurang karena persentase telur retak pada fase produksi kedua yang lebih rendah, sehingga menyumbang peningkatan laba.
Berdasarkan hasil penelitian, untuk kulit telur kualitas yang lebih baik dalam hal ketebalan dan untuk keuntungan lebih, produktivitas ayam selama fase kedua produksi dapat dilengkapi dengan baik oleh kapur halus atau kasar atau cangkang tiram. Suplemen ini dapat diberikan setiap hari dengan laju 4 gram per ekor ayam dan harus diberikan sebagai topping.
3.3. Pembahasan Mengenai Perkandangan dengan Jurnal Effect Of Poultry Housing Systems On Egg Production
Pemeliharaan ayam petelur dipengaruhi oleh sistem perkandangan yang digunakan. Sistem perkandangan ayam petelur dapat berupa litter dan cage. Sistem litter menggunakan alas berupa sekam atau serbuk gergaji,. Sistem cage dapat berupa single bird cage (diisi satu ekor ayam, disebut juga kandang tipe baterai), multiple bird cage (diisi 2 ekor ayam atau lebih, tidak lebih dari 8 – 10 ekor), dan colony cage (diisi 20 – 30 ekor ayam). Pada jurnal di bahas mengenai sistem pemeliharaan ayam petelur di berbagai macam kandang. Baxter (1994) berkomentar bahwa "Keprihatinan atas kesejahteraan ayam dikurung muncul dalam dua bidang umum: pertama bahwa lingkungan tandus dalam kandang mencegah kinerja pola perilaku alami ayam, kedua, bahwa sejumlah kecil ruang di kandang memaksakan pembatasan pada kebebasan umum ayam bergerak".
Pemeliharaan di kandang konvensional
Percobaan dilakukan dengan 66.300 ayam petelur merata di lima rumah unggas. Sebuah sistem koloni konvensional yang digunakan. Dalam setiap kandang empat lapisan yang ditempatkan dengan daerah yang berguna yaitu 550 сm2 / ekor.
Pemeliharaan di kandang yang telah lengkap / diperkaya
Percobaan dilakukan dengan 123.430 ayam petelur merata di dua rumah unggas. Sistem koloni terdiri dari delapan kandang tingkat. Kapasitasnya adalah 60 ekor per kompartemen. Permukaan kompartemen adalah 45.225 сm2 yaitu 70 сm2 / ekor dan 600 сm2 daerah yang dapat digunakan / ekor.
Pemeliharaan di gudang - lantai slat dengan pupuk pit dan sampah (lantai / litter)
Percobaan dilakukan dengan 30.000 ayam petelur merata di empat rumah unggas. Lantai dengan kotoran pit ditutupi dengan plastik padat menduduki 2/3 dari total permukaan perumahan dan lainnya 1/3 adalah sampah. Kapasitasnya adalah 9 ayam per 1 m2. Hasil dari jurnal tersebut bahwa sistem perkandangan berpengaruh nyata terhadap produksi telur karena kandang akan memberikan kenyamanan pada ayam
.
3.4. Pembahasan Kondisi Ayam dengan Jurnal Regulasi Panas Tubuh Ayam Ras Petelur Fase Grower dan Layer
Ayam petelur termasuk hewan homoioterm dengan tingkat metabolisme yang tinggi, hewan yang dapat menjaga dan mengatur suhu tubuhnya agar tetap normal melalui proses homeostatis, temperatur tubuh akan konstan. Dikarenakan adanya reseptor dalam otaknya, yaitu hipotalamus. Ayam petelur mempunyai variasi temperatur normal yang dipengaruhi oleh faktor umur, faktor kelamin, faktor lingkungan, faktor panjang waktu siang dan malam, dan faktor makanan yang dikonsumsi (Frandson, 1992)
Pada masing-masing periode pertumbuhan, temperatur tubuh ayam petelur berbeda-beda, karena temperatur tubuh tidak selalu tetap dan adanya faktor di sekitar tubuh secara radiasi, konveksi, dan konduksi. Umumnya unggas, khususnya ayam petelur tidak memiliki kelenjar keringat, sehingga jalur utama untuk menjaga keseimbangan suhu adalah pelepasan panas melalui evaporasi dengan cara panting (Hoffman dan Walsberg 1999)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa respon permukaan tubuh ayam petelur dalam mengevaporasikan panas tubuh berbeda nyata baik pada fase grower maupun fase layer. Jengger merupakan bagian tubuh yang mengevaporasikan panas lebih tinggi, yaitu 30,1 C fase grower dan 30,7 C fase layer. Bulu kontur merupakan bagian permukaan tubuh yang paling tidak efektif mengevaporasikan panas yaitu, 25,7 C fasr grower dan 24,7 C fase layer.
Terkait dengan fungsi organ sebagai sebagai alat dalam mengevaporasikan panas maka organ-organ yang memiliki pembuluh darah kapiler yang banyak akan efektif sebagai organ yang mengevaporasikan panas lebih tinggi dengan meningkatkan laju alur dan proporsi darah ke organ-organ tersebut (Havenstein, et al., 2007).
- Respon Fisiologi Pernafasan
Pada tabel 2 ditunjukkan bahwa kondisi fisiologi pernafasan tampak mengalami perubahan dari fase grower ke fase layer. Perubuhan ini merupakan konsekuensi dari aktifitas themoregulasi guna mempertahankan suhu tubuh.
Respon Fisiologis
Fase
Grower
Layer
Laju Respirasi
(per menit)
35
41
Denyut Jantung
(per menit)
233
256
Penelitian pada ayam petelur yang mengalami hipertemia, memberikan petunjuk bahwa pengaliran darah ke pembuluh kapiler di kulit; termasuk kaki, jaringan rongga hidung dan mulut serta otot-otot pernafasan meningkat sampai empat kali. Perubahan pengaliran darah ke jaringan perifer tersebut, terutama berkaitan dengan AVA yang memiliki volume besar dan resistensi rendah untuk mengalirkan darah yang diperlukan dalam pengeluaran panas.
Menurut Rahardja (2010), berbagai penelitian pada ternak unggas; ayam petelur yang mengalami hipertemia, memberikan petunjuk bahwa pengaliran darah ke pembuluh kapiler di kulit; termasuk kaki, jaringan rongga hidung dan mulut serta otot-otot pernafasan mengalami peningkatan yang signifikan. Sebaliknya pengaliran darah ke tulang, saluran pencernaan dan reproduksi menurun 40%-80% dari keadaan normal. Pada kondisi cekaman panas, hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaliran darah ke organ-organ vital, seperti otak, dipertahankan dengan mereduksi pengaliran darah ke organ-jaringan yang kurang vital, organ-jeroan dan perototan non-respirasi. Berdsarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan respon ayam fase layer dalam mengevaporasikan panas terutama pada jengger dan shank, serta terjadi perubahan respon hematology dan respirasi sebagai indikasi stres panas.
3.5. Pembahasan Faktor Produksi dengan Jurnal Analisis Penggunaan Faktor Produksi Pada Perusahaan Ayam Ras Petelur (Studi Kasus Pada Ud. Kakaskasen Indah Dan Cv. Nawanua Farm)
Pengelolaan suatu usaha peternakan ayam ras petelur sangat penting memperhitungkan aspek-aspek korbanan dalam mencapai suatu tujuan perusahaan seperti memperoleh tingkat keuntungan yang layak. Setiap peternak dalam pengambilan keputusan pada suatu proses produksi harus memperhitungkan besarnya korbanan, mengingat setiap korbanan yang dilakukan untuk usaha produktif selalu memperhitungkan berapa besar keuntungan yang akan diperoleh. Kondisi perekonomian saat ini, banyak dipengaruhi oleh berbagai aspek sosial ekonomi antara lain adanya kenaikan tarif bahan bakar minyak yang mengakibatkan meningkatnya harga-harga input. Usaha peternakan ayam ras petelur semakin berkembang, baik dalam skala usaha kecil maupun skala yang lebih besar. Hal ini disebabkan karena ternak ayam ras petelur mampu berproduksi 200 - 250 butir/ tahun/ekor dan ayam ras petelur yang sudah afkir (tidak produktif) mudah dipasarkan sebagai sumber daging asal ternak.
Pada jurnal dibahas mengenai analisis faktor produksi di perusahaan peternakan ayam ras petelur UD. Kakaskasen Indah dan perusahaan peternakan ayam ras petelur CV. Nawanua Farm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masing-masing peternak telah cukup berpengalaman dan mempunyai keahlian dalam pengelolaan perusahaan peternakan ayam ras petelur karena peternak memiliki pengalaman dalam bidang peternakan. Faktor yang mendorong peternak tetap berusaha dalam peternakan tersebut disebabkan karena manajer yang menangani usaha peternakan ayam ras petelur sudah dapat dikatakan menguasai usaha yang dilakukannya. Aktivitas pekerjaan yang dilakukan ialah menggiling butiran bahan pakan, menyusun ransum, pemberian pakan dan air minum, membersihkan kandang dan peralatan, perawatan ternak dan membersihkan lingkungan kandang serta membantu dalam hal pemasaran produk baik telur, ayam afkir maupun feses (kotoran ternak) sebagai pupuk kandang.
Bibit ayam (DOC) yang sudah datang dimasukkan dalam kandang yang sudah dibersihkan, disanitasi, dan diberi pemanas dengan suhu 370C sampai 380 C. Perlakuan yang dilakukan memberikan air minum ditambahkan dengan larutan gula, hal ini dimaksudkan untuk mencegah stress pada bibit ayam. Vaksin diberikan setelah 3 hari dimaksudkan untuk mencegah parasit pada ayam yang datangnya dari kandang. rata-rata jumlah komposisi bahan pakan yang diberikan pada kedua perusahaan yaitu konsentrat 25,87%, jagung 28,51%, dedak 28,09%, dan tepung ikan 17,53%. Pemberian pakan yang dilakukan pada perusahaan UD. Kakaskasen Indah dan CV. Nawanua Farm sebanyak 2 kali pada pukul 08.00 dan pada pukul 13.00. Jumlah pakan oleh kedua perusahaan peternakan ayam ras petelur diberikan rata-rata 80,42 gram/ekor/hari, jumlah pakan yang diberikan tersebut sudah sesuai dengan anjuran yang h arus diberikan pada ternak ayam ras petelur walaupun masih pada standar minimum yaitu 79,99-100 gram/ekor/hari. Produksi telur pada masing-masing perusahan setiap minggu berbeda, hal ini dipengaruhi skala usaha yang dimiliki.
Nilai Break Even Point (BEP unit) dan Break Even Point (BEP rupiah) yang diperoleh pada masing-masing perusahaan peternakan ayam ras petelur CV. Nawanua Farm dan UD. Kakaskasen Indah di Kota Tomohon berada pada volume produksi yang menguntungkan sebab sudah beroperasi diatas nilai titik impas.
IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Ayam petelur adalah ayam-ayam betina dewasa yang dipelihara khusus untuk diambil telurnya.
Jenis ayam petelur di Indonesia dibagi menjadi 2 yaitu ayam petelur ringan dan ayam petelur medium.beda ayam petelur ringan dan ayam petelur medium adalah ayam petelur ringan itu lebih ringan / lebih kurus dibandingkan dengann ayam petelur medium.
Periode pertumbuhan ayam petelur ada 3 yaitu : fase grower, fase pre layer dan fase layer.
Pemeliharaan ayam petelur memiliki 3 aspek yaitu manajemen (pengelolaan usaha peternakan), breeding (pembibitan) dan feeding (makanan ternak/pakan).
Pakan pada ayam petelur berbeda-beda disesuaikan dengan kebutahan dari setiap fase pertumbuhannya dan juga kebutuhan nutrisi pakannya dapat dipengaruhi pula oleh strain.
Ada banyak penyakit yang dapat menjangkit dalam tubuh ayam. Penyakit ini bisa disebkan karena jamur, bakteri, virus dan protozoa.
3.2. Saran
Kepada pembaca yang ingin beternak ayam petelur, hendaknya banyak-banyaklah membaca buku mengenai cara perawatan dan perlakuan yang akan akan diberikan kepada ayam. Sehingga nantinya apabila telah beternak dapat menghasilkan telur – telur yang berkualitas dan bisa menjadi pengusaha ayam petelur yang sukses. Peternak juga harus mamahami tentang suplemen pendukung makanan pokok sangat penting sekali.
DAFTAR PUSTAKA
Adlan, M., Y. Utomo, F. Afmy, dan N. Fitriany. 2012. Laporan Penilaian Ternak Unggas Ayam Petelur. Fakultas Peternakan. Universitas Jendral. Soedirman. Purwokerto.
Al Nasser, A., A. Al Saffar, M. Mashaly, H. Al Khalaifa, F. Khalil, M. Al Baho, dan A. Al Haddad. 2005. A Comparative Study On Production Efficiency Of Brown And White Pullet. Bulletin of Kuwait Institute for Scientific Research 1 (1): 1 – 4.
Amrullah, K. 2003. Manajemen Ternak Ayam Broiler. IPB Press : Bogor.
Austic, R. E. and M. C. Neshiem. 1990. Poultry Production 13th edition. Lea and Febiger, Philadelphia.
Bappenas. 2010. Strategi Peningkatan Pertumbuhan Subsektor Peternakan Mendukung Peningkatan Pendapatan dan Diversifikasi (Draft). Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta.
Baxter, M. R., 1994. The Welfare Problems Of Laying Hens In Battery Cages. Veterinary Record, 134: 614 – 619.
Blakely, J. dan D.H. Bade. 1998. Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta (Diterjemahkan Oleh B. Srigandono).
Britton, W. M. and K. K. Hale Jr. 1977. Amino Acid Analysis Of Shell Membranes Of Eggs From Young And Old Hens Varying In Shell Quality. Poultry Science 56: 865-871
Cahyono, B. 1995. Cara Meningkatkan Budidaya Ayam Ras Pedaging (Broiler). Pustaka Nusatama. Yogyakarta.
Fadilah, R. dan Fatkhuroji. 2013. Memaksimalkan Produksi Ayam Ras Petelur. PT AgroMedia Pustaka. Jakarta.
Frandson, R.D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak Edisi 4. UGM Press. Yogyakarta.
Havenstein, G. Ferket J. Grimes, M. A. Qureshi and K.E. Nestor. 2007. Comparison of The Performance of 1966-versus 2003 Type Turkeys When Fed Representative 1966 and 2003. Turkey Diet: Growth Rate, Livability and Feed Conversion. Poult. Sct. 86:232-240.
Harms, R.H., C.R. Douglas, dan D.R. Sloan. 1996. Midnight Feeding Of Commercial Laying Hens Can Improve Eggshell Quality. Journal of Poultry Applied Science Research 5 :1 -5.
. 2000. Performance Of Four Strains Pf Commercial Layers With Major Changes In Dietary Energy. Journal of Applied Poultry Research 9: 535 – 541.
Hoffman TY CM. Walsberg GE. 1999. Anatomi dan Fisiologi Ternak. UGM Press. Yogyakarta.
Hy-Line International. 2010. Hy-Line Brown Intensive Systems Performance Standards. http://www.hyline.com/redbook/performance. Diakses tanggal 5 November 2016 pukul 10.23 WIB.
Kartasudjana, R. dan E. Suprijatna. 2006. Manajemen Ternak Unggas. Penebar Swadaya, Jakarta.
Leeson, S. 2008. Production For Commercial Poultry Nutrition. Journal Applied Poultry Research (17): 315 – 322.
Lelystad, P.V. 2004. Welfare Aspects Of Various Systems For Keeping Laying Hens. The EFSA Journal (197): 1-23
Longe OG (1984). Effects Of Increasing The Fibre Content Of A Layer Diet. Br. Poult. Sci., 25: 187-193.
Meerburg, B.G dan A. Kiljstra. 2007. Role Of Rodents In Salmonella And Campylobacter Transmission. Journal of Science Food Agriculture (87): 2774 – 2781.
North, M.O. dan D.D. Bell. 1990. Commercial Chicken Production Manual. Van Nostrand Reinhold,New York.
Panda PC (1995). Text Book on Egg and Poultry Technology. VIKAS Publishing House. PVT Limited, India, p. 32.
Rasyaf, M. 1995. Seputar ayam Kampung. Kanisius. Yogyakarta.
. 2008. Beternak Ayam Pedaging. Penebar Swadaya: Jakarta.
Riczu, C. dan D. Korver. 2008. Effects Of Midnight Feeding On The Bone Density And Egg Quality Of Brown And White Table Egg Layers. Canadian Poultry Magazine (7): 35 – 38.
Shirt, V. 2010. How to Feed Chickens Part 2. http://www.poultry.allotreatment.org.uk/keeping-chickens/feeding-chickens_2.php. Diakses tanggal 6 November 2016 pukul 21.56 WIB.
Spoolder, H.A.M. 2007. Perspective Animal Welfare In Organic Farming System. Journal of Science Food Agriculture 87: 2741 – 2746.
Sudaryani, T dan H. Santosa. 2000. Pembibitan Ayam Ras. Cetakan V. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sundu B, Dingle J (2003). Use Of Enzymes To Improve The Nutritional Value Of Palm Kernel Meal And Copra Meal. Proceed. Queensland Poultry Sci. Symposium Australia, 1(14): 1-15.
Suprijatna, E., U. Atmomarsono, dan R. Kartasujana. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta.