18
LEMBAGA-LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
Mata Kuliah : Ilmu pendidikan islam
Dosen Pengampu : Drs. Abdullah Thahir, M.Si
Disusun oleh :
Semester IV.A
Nama : Muhammad Nur Fajri R
Nim/Nimko : 14010016/8072114016
Semester IV.A
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DDI
PINRANG
TAHUN 2016
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Pendidikan di Indonesia telah berlangsung jauh-jauh hari sebelum terbentuknya Republik Indonesia. Pendidikan di Indonesia sudah ada sejak zaman kuno, oleh sebab itu sejarah pendidikan di Indonesia bisa dibilang cukup panjang. Pada awalnya pendidikan di Indonesia muncul sejak zaman kuno, kemudian mulai berkembang saat agama hindu-budha masuk ke Indonesia. Masuknya agama hindhu ke Indonesia memberi dampak yang cukup signifikan terhadap system pendidikan di Indonesia. Sistem pendidikan Hindu-Buddha dikenal dengan istilah karsyan. Karsyan adalah tempat yang di peruntukan bagi betapa dan untuk orang-orang yang mengundurkan diri dari keramaian dunia dengan tujuan mendekatkan diri dengan dewa tertinggi. Karsyan dibagi menjadi dua bentuk yaitu patapan dan mandala. Pendidikan terus berkembang terutama di daerah-daerah yang menjadi pusat kerajaan, seperti di Sriwijaya yang berdiri sebuah universitas.
Pendidikan islam pada umumnya muncul dan berkembang karena pengaruh seorang tokoh agama, yang sering di sebut kiayi. Khusus di pulau jawa, tokoh agama itu disebut wali. Pada umumnya para wali mendirikan sebuah pesantren untuk mengajarkan agama islam.
Pendidikan Islam semakin berkembang sejalan dengan adanya ide-ide cemerlang dari para tokoh Islam itu sendiri dalam mengembangkan pendidikan Islam.
RUMUSAN MASALAH
Bagaimana Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia?
Metode apa yang sering digunakan dalam pendidikan pesantren?
PEMBAHASAN
Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia
Masjid dan Langgar
Mesjid fungsi utamanya adalah untuk tempat shalat yang lima waktu ditambah dengan sekali dalam satu minggu shalat Jum'at dan dua kali dalam satu tahun untuk shalat hari raya. Selain dari mesjid ada juga tempat ibadah yang disebut dengan langgar bentuknya lebih kecil dari mesjid dan hanya di gunakan untuk shalat lima waktu, bukan untuk shalat jum'at.
Selain dari fungsi utama mesjid dan langgar di fungsikan juga untuk tempat pendidikan di tempat ini dilakukan pendidikan buat orang dewasa maupun anak-anak. Pengajian buat orang dewasa adalah penyampaian-penyampaian ajaran Islam oleh mubaligh kepada para jama'ah dalam bidang yang berkenaan dengan akqidah, ibadah dan akhlak. Sedangkan pengajian yang dilaksanakan ialah anak-anak berpusat kepada pengajian Al-Qur'an menitik beratkan kepada kemampuan membaca dengan baik sesuai dengan kaidah-kaidah bacaan, selain dari itu anak-anak juga diberikan pendidikan keimanan, ibadah dan akhlak.
Sistem pengajaran di masjid, sering memakai sistem halaqah, yaitu guru membaca dan menerangkan pelajaran sedangkan siswa mempelajari atau mendengar saja, hampir mirip dengan sistem klasikal yang berlaku sekarang. Salah satu sisi baik dari sistem halaqah ialah pelajar-pelajar diminta terlebih dahulu mempelajari sendiri materi-materi yang akan diajarkan oleh gurunya, sehingga seolah-olah pelajar menselaraskan pemahamannya dengan pemahaman gurunya tentang maksud dari teks yang ada dalam sebuah kitab. Sistem ini mendidik palajar belajar secara mandiri.
Meunasah, Rangkang dan Dayah
Secara etimologi meunasah, secara etimologi berasal dari bahasa Arab, yakni madrasah, yang berarti tempat belajar. Dalam perjalanan waktu kata madrasah itu oleh masyarakat Aceh berubah menjadi meunasah. Terminologinya adalah tempat untuk salat dan juga digunakan untuk belajar tentang ilmu keislaman pada tingkat dasar termasuk orang yang baru belajar membaca al Qur'an. Ismuha mengungkapkan bahwa keberadaan meunasah yang ada di setiap desa atau kampung di seluruh Aceh , sejak zaman kerajaan Aceh, digunakan sebagai tempat belajar agama, mengaji, sebagai tempat salat lima waktu, tempat musyawarah, tempat penyelesaian sengketa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan sebagai tempat untuk berbagai kegiatan sosial dan keagamaan lainnya. Jadi kalau disebut sesorang sebagai teungku meunasah, maka dia adalah orang yang mengajar mengaji al Qur'an dan sering menjadi imam salat di meunasah. Taufik Abdullah, dalam Ismail Sunni, mengatakan bahwa sebelum suatu kampung dibangun, mereka (masyarakat Aceh) terlebih dahulu membangun meunasah sebagai tempat beribadah dan belajar, baru kemudian mendirikan perkempungan. Di samping sebagai tempai beribadah, meunasah juga berfungsi sebagai suatu tempat belajar tingkat dasar dalam tiap-tiap gampoung (kampung/desa) ketika itu.
Di tinjau dari segi pendidikan, meunasah adalah lembaga pendidikan awal bagi anak-anak yang dapat di samakan dengan tingkatan sekolah dasar. Di meunasah para murid di ajar menulis/membaca huruf Arab, ilmu agama dalam bahasa Jawi (Melayu), akhlak. Disetiap kampung di Aceh ada meunasah, sebagai tempat belajar bagi anak-anak.
Rangkang adalah tempat tinggal murid, yang di bangun di sekitar mesjid. Sistem pendidikan di Rangkang ini sama dengan sistem pendidikan di pesantren, murid-murid duduk membentuk lingkaran dan si guru menerangkan pelajaran, berbentuk halakah, metode yang disampaikan di dunia pesantren di sebut namanya dengan sorogan dan wetonan.
Rangkang itu dalam bentuk rumah, tetapi lebih sederhana, memiliki satu lantai saja, di kanan kiri gang pemisah (blog) masing-masing untuk 1-3 murid, kadang-kadang rumah yang tidak dipakai lagi oleh rang shaleh diwakafkan untuk siswa. Rumah tersebut di serahkan kepada guru untuk dijadikan sebagai rangkang.
Lembaga pendidikan khas Aceh yang selanjutnya disebut Dayah merupakan sebuah lembaga yang pada awalnya memposisikan dirinya sebagai pusat pendidikan pengkaderan ulama. Kehadirannya sebagai sebuah institusi pendidikan Islam di Aceh bisa diperkirakan hampir bersamaan tuanya dengan Islam di Nusantara. Kata Dayah berasal dari bahasa Arab, yakni zawiyah, yang berarti pojok Istilah zawiyah, yang secara literal bermakna sudut, diyakini oleh masyarakat Aceh pertama kali digunakan sudut mesjid Madinah ketika Nabi Muhammad saw berdakwah pada masa awal Islam. Pada abad pertengahan, kata zawiyah difahami sebagai pusat agama dan kehidupan mistik dari penganut tasawuf, karena itu, didominasi hanya oleh ulama perantau, yang telah dibawa ke tengah-tengah masyarakat. Kadang-kadang lembaga ini dibangun menjadi sekolah agama dan pada saat tertentu juga zawiyah dijadikan sebagai pondok bagi pencari kehidupan spiritual. Dhus, sangat mungkin bahwa disebarkan ajaran Islam di Aceh oleh para pendakwah tradisional Arab dan sufi; Ini mengidentifikasikan bagaimana zawiyah diperkenalkan di Aceh. Di samping itu, nama lain dari dayah adalah rangkang. Perbedaannya, eksistensi dan peran rangkang dalam kancah pembelajaran lebih kecil dibandingkan dengan dayah.
Dayah atau rangkang dianggap sama dengan pesantren di Jawa atau surau di Sumatera Barat, namun ketiga lembaga pendidikan ini tidaklah persis sama. Setidaknya bila ditnjau dari segi latar belakang historisnya. Pesantren sudah ada sebelum Islam tiba di Indonesia.Masyarakat Jawa kuno telah mengenal lembaga pendidikan yang mirip dengan pesantren yang diberi nama dengan pawiyatan. Di lembaga ini guru yang disebut Ki ajar hidup dan tinggal bersama dengan muridnya yang disebut Cantrik. Disinilah terjadi proses pendidikan, dimana Ki ajar mentransfer ilmunya dan nilai-nilai kepada cantriknya.Kata pesantren berasal dari "santri" yang berarti seorang yang belajar agama Islam, demikian pesantren mempunyai arti tempat orang berkumpul untuk belajar agama Islam. Sedangkan surau di Minangkabau merupakan suatu institusi penduduk asli Minangkabau yang telah ada sebelum datangnya Islam ke wilayah tersebut. Di era Hindu – Budha di Minangkabau, suarau mempunyai kedudukan penting dalam struktur masyarakat. Fungsinya lebih dari sekedar tempat aktifitas keagamaan. Menurut ketentuan Adat, suarau berfungsi sebagai tempat berkumpulnya para remaja, laki-laki dewasa yang belum kawin atau duda.Dengan demikian ketiga institusi ini pada prinsipnya memiliki latar belakang historis yang berbeda, namun mempunyai fungsi yang sama.
Surau
Dalam kamus bahasa Indonesia, surau di artikan tempat (rumah) ummat islam melakukan ibadahnya (shalat, mengaji dan sebagainya), pengertian apabila dirinci mempunyai arti bahwa surau berarti suatu tempat bangunan kecil untuk tempat shalat, tempat belajar mengaji anak, tempat wirid (pengajian agama) bagi orang dewasa.
Di pandang dari sudut budaya keberadaan suarau sebagai perwujudan dari budaya Minagkabau yang matriachat. Anak-anak yang sudah akil baligh, tidak lagi layak tinggal dirumah orang tuanya, sebab saudara-saudara perempuannya akan kawin.
Surau berfungsi sebagai lembaga sosial budaya, dalah fungsinya sebagai tempat pertemuan par apemuda dalam upaya mensosialisasikan diri mereka. Selain dari itu suarau juga berfungsi sebagai tempat persinggahan dan peristirahatan para musafir yang sedng menempuh perjalanan, dengan demikian suarau mempunya multifungsi.
Sistem pendidikan disuaru banyak kemiripannya dengan sistem pendidikan di pesantren. Murid tidak terikat dengan sistem administrasi yang ketat. Syekh atau guru mengajar dengan metode bendongan dan sorongan, ada juga murid yang berpindah kesurau lain dia sudah merasa cukup memperoleh ilmu di surau terdahulu. Dari segi mata pelajaran yang diajarkan di surau sebelum masuknya ide-ide pembaruan pemikiran islam pada awal abad ke-20 adalah mata pelajaran agama yang berbasis kepada kitab-kitab klasik.
Pesantern
Pesantren adalah sekolah Islam berasrama yang terdapat di Indonesia yang bertujuan untuk memperdalam pengetahuan tentang al-Qur'an dan Sunnah Rasul dengan mempelajari bahasa Arab dan kaidah-kaidah tata bahasa-bahasa Arab. Pesantren merupakan pendidikan islam tertua di Indonesia yang berfungsi sebagai pusat dakwah dan pengembangan agama islam. Kata pesantren berasal dari bahsa tamil yang berarti "guru mengaji" namun ada juga yang menyebut berasal dari bahsa sansekerta "shstri" yang berarti orang-orang yang mempelajari buku-buku suci atau orang yang melek huruf.
Pada umumnya pesantren terdiri dari beberapa element atau unsur, yaitu:
Pondok
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional yang lebih menekankan aspek moralitas kepada santri dalam kehidupan ini karenanya untuk nilai-nilai tersebut diperlukan bimbingan yang matang kepada santri, untuk memudahkan itu diperlukan sebuah asrama sebagai tempat tinggal dan belajar di bawah bimbingan seorang kiayi.
Masjid
Masjid merupakan elemen yang paling penting, sebab masjid merupakan tempat pusat kegiatan yang ada bagi umat Islam. Masjid di jadikan sebagai pusat pendidikan. Seorang kiyai yang ingin mengembangkan pasantren, bisanya yang pertama didirikan adalah masjid di dekat rumahnya, karena dengan demikian berarti Ia telah memulai sesuatu dengan simbol keagaman, yaitu Masjid yang merupakan rumah Allah, dimana di dalamnya dipenuhi dengan rahmat dan ridho Allah SWT .
Santri
Santri adalah siswa yang tinggal di pesantrenseorang santri harus memperoleh kerelaan sang kyai, dengan mengikuti segenap kehendaknya dan melayani segenap kepentingannya. Pelayanan harus dianggap sebagai tugas kehormatan yang mrupakan ukuran penyerahan diri itu. Kerelaan kyai ini, yang dikenal dipesantren dengan nama "barokah", adalah alasan tempat berpijaknya santri di dalam menuntut ilmu.
Kitab kuning
Kitab Kuning, pada umumnya dipahami sebagai kitab- kitab keagamaan berbahasa Arab, mengunakan aksara Arab, yang dihasilkan oleh para ulama dan pemikir muslim lainnya di masa lampau, hususnya yang berasal dari Timur Tengah. Kitab Kuning mempunyai format sendiri yang khas dan warna kertas "kekuning-kuningan".pada umunya isinya menyinggung masalah syaria'at atau fiqih dan masalah-masalah keimanan.
Kiayi
kyai merupakan unsur kunci dalam pesantren, karena itu sikap hormat (takzim) dan kepatuhan mutlak terhadap kyai adalah salah satu nilai pertama yang ditanamkan kepada santri. Kyai dengan karomahnya, adalah orang yang senantiasa dapat memahami keagungan Allah dan rahasia alam. Dengan demikian, kyai dianggap memiliki kedudukan yang tidak terjangkau, utamanya oleh orang biasa. Karena karomahnya, santri dan masyarakat menyerahkan kekuasaan yang luas pada kyai, dan biasanya mereka percaya hanya orang-orang tertentu yang bisa mewarisi karomahnya tersebut seperi keturunannya dan santri kepercayaannya.
Ada dua metode yang sering digunakan dalam pendidikan pesantren, yaitu:
Metode Wetonan
Yaitu metode dimana Kiai membaca suatu kitab dalam waktu tertentu, dan santri dengan membawa kitab yang sama mendengarkan dan menyimak bacaan kiai tersebut. Dalam sistem pengajaran yang semacam ini tidak mengenal absen. Santri boleh datang dan tidak boleh datang, juga tidak ada ujian. Apakah santri itu memahami apa yang dibaca Kiai atau tidak, hal itu tidak bisa diketahui. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa sistem pengajaran di Pondok Pesantren itu adalah bebas, yaitu bebas mengikuti kegiatan belajar dan bebas untuk tidak mengikuti kegiatan belajar.
Metode Sorongan
Yaitu metode dimana santri (biasanya yang pandai) menyedorkan sebuah kitab kepada kiai untuk dibaca di hadapan kiai itu. Dan kalau ada kesalahan langsung dibetulkan oleh kiai itu. Di Pondok Pesantren yang besar, mungkin untuk dapat tampil di depan kiainya dalam membawakan/ menyajikan materi yang ingin disampaikan, dengan demikian santri akan dapat memahami dengan cepat terhadap suatu topik yang telah ada papa kitab yang dipegangnya.
Madrasah
Kata madrasah dalam bahasa Arab berarti tempat atau wahana untuk mengenyam proses pembelajaran. Dalam bahasa Indonesia madrasah disebut dengan sekolah yang berarti bangunan atau lembaga untuk belajar dan memberi pengajaran.
Dari pengertian di atas maka jelaslah bahwa madrasah adalah wadah atau tempat belajar ilmu-imu keislaman dan ilmu pengetahuan keahlian lainnya yang berkembang pada zamannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa istilah madrasah bersumber dari Islam itu sendiri.
Sekolah-Sekolah Dinas
Setelah indonesia merdeka, ditetapkan departemen yang membidangi dan mengurus masalah agama adalah departemen agama. Departemen agama berdiri sejak tanggal 3 Januari 1946, dengan Mentri Agamanya yang pertama M. Rasyidi, BA. Dari sekian banyak tugas Departemen ini, salah diantaranya ada bidang pendidikan. Dengan ditanda tanganinya SKB 3 Mentri yang berisikan tentang peraturan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri yang berlaku mulai 1 Januari 1947.
Pada surat keputusan bersama ini dijelaskan:
Guru-guru agama diangkat, diberhentikan dan sebagainya oleh Mentri Agama, atas instansi agama yang bersangkutan
Begitu pula segala biaya untuk pendidikan agama itu menjadi tanggungan Kementirian Agama.
Berdasarkan SKB tersebut, maka Kementrian Agama berkewajiban untuk mengangkat dan mengadakan guru agama, dalam hal mengadakan guru agama menjadi persoalan bagaimana mendapatkan tenaga guru untuk mengajar agama disekolah-sekolah. Pada Tanggal 15 Agustus 1950 Kepala Bagian Pendidikan Agama mengeluarkan Surat Edaran No. 277/C/C-9 yang berdasarkan anjuran pembukaan Sekolah Guru Agama Islam (SGAI) yang dibagi kepada dua bagian, yaitu 5 tahun setelah tamat Sekolah Rakyat, atau Madrasah Rendah dan 2 tahun setamat SMP atau Madrasah Lanjutan Pertama. Disamping SGAI juga dianjurkan dibuka SGHAI (Sekolah Guru Hakim Agama Islam) yang lama pelajarannya 4 tahun sesudah SMP atau Madrasah Tsanawiyah. Dengan Penetapan Mentri Agama No. 7 Tgl. 15 Februari 1951 seluruh SGAI di ubah namanya menjadi PGA (Pendidikan Guru Agama) yang lama belajarnya 5 tahun Sesudah Sekolah Rakyat atau Madrasah Rendah dan SGHAI di ubah menjadi SGHA (Sekolah Guru Hakim Agama) yang pelajarannya 4 tahun setamat SMP atau Madrasah Tsanawiyah.
Berdasarkan penetapan Mentri Agama No. 35 Tgl. 21 November 1953 terhitung mulai tahun ajaran 1953/1954 lama belajar di PGA menjadi 6 tahun dan PGAP (Pendidikan Guru Agama Pertama) PGAA (Pendidikan Guru Agama Atas) 2 tahun.
Penetapan Menteri Agama No. 14 Tgl. 19 Mei 1954 SGHA terdiri dari 4 bagian. Bagian A (sastra), B (Ilmu Pasti), C (Ilmu Agama), D (Hukum Agama) berangsur di hapuskan kecuali bagian D kemudian dijadikan PHIN (Pendidikan Hukum Islam Negeri) yang lama belajarnya 3 tahun setelah PGAP. PHIN yang sejak berdirinya hanya ada satu buah di Yogyakarta sedangkan PGA berkembang, baik negeri maupun swasta di seluruh Indonesia.
Sekolah Dinas maksudnya adalah setelah lulus dari sekolah tersebut di angkat menjadi pegawai negeri dan karena itu murid-murid di kedua sekolah ini harus berikatan dinas sesuai dengan Peraturan Menteri Agama No. 8 Tahun 1951. Karena kekurangan anggaran negara sejak tahun 1969 tidak lagi disediakan ikatan dinas.
Perguruan Tinggi Islam
Pendidikan Tinggi Islam
Mahmud Yunus mengemukakan bahwa di Padang Sumatera Barat pada tanggal 9 Desember 1940 telah berdiri perguruan tinggi Islam yang dipelopori oleh Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI).
Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN)
PTAIN yang berdiri diresmikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1950, baru beroperasi secara praktis pada tahun 1951. Dimulailah perkuliahan perdana pada tahun tersebut dengan jumlah siswa 67 orang dan 28 orang siswa persiapan dengan pimpinan fakultasnya adalah KH. Adnan.
PTAIN ini mempunyai jurusan Tarbiyah, Qadha, dan Dakwah dengan lama belajar 4 tahun pada tinggkat bakalaureat dan doktoral. Mata pelajaran agama didampingi mata pelajaran umum terutama yang berkenaan dengan jurusan. Mahasiswa Jurusan Tarbiyah diperlukan pengetahuan umum mengenai ilmu pendidikan, dan begitu juga jurusan lainnya diberikan pula pengetahuan umum yang sesuai dengan jurusannya.
Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA)
Dengan di tetapkannya peraturan bersama Menteri Agama, Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan pada tahun 1951 No. K/651 tanggal 20 Januari 1951(Agama) dan No. 143/K tanggal 20 Januari 1951 (pendidikan), maka pendidikan agama dengan resmi di masukkan kesekolah-sekolah negeri dan swasta. Berkenaan dengan itu, dan berkaitan dengan peraturan-peraturan sebelumnya, maka departemen agama untuk kesuksesan pendidikan agama di sekolah-sekolah. Sehubungan dengan itu untuk merealisasikan salah satu tugas tersebut pemerintah mendirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) dengan maksud dan tujuan guna mendidik dan mempesiapkan pegawai negeri akan mencapai ijazah pendidikan semi akademi dan akademi untuk dijadikan ahli didik agama pada sekolah-sekolah lanjutan, baik umum maupun kejuruan dan agama.
Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Setelah PTAIN berusaha kuranag lebih 9 tahun, maka lembaga pendidikan tinggi di maksud telah mengalami perkembangan. Dengan perkembangan tersebut dirasakan bahwa tidak mampu menampung keluasan cakupan ilmu-ilmu keislaman tersebut kalau hanya berada di bawah satuan payung fakultas saja. Berkenaan dengan itu timbullah ide-ide, gagasan-gagasan untuk mengembangkan cakupan PTAIN kepada yang lebih luas.
Untuk menciptakan IAIN memerlukan proses yang cukup serius, ringkasnya penggabungan dua lembaga yang pada mulanya berdiri masing-masing PTAIN dan ADIA , berdasarkan pasal 2 peraturan Perisiden No. 11 Tahun 1960 tersebut Mentari agama mengeluarkan sebuah ketetapan Menteri Agama No. 43 Tahun 1960 tentang penyelenggaraan Institut Agama Islam Negeri dan sebagai pelaksanaannya di keluarkanlah Peraturan Menteri Agama No. 8 tahun 1961 tentang pelaksanaan penyelenggaraan IAIN.
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
IAIN-IAIN pada awalnya cabang dari Yogyakarta atau Jakarta menjadi IAIN yang berdiri sendiri. Demikianlah hingga tahu 1973 IAIN tercatat 14 di seluruh Indonesia.
IAIN yang berdidri sendiri itu, berdasarkan kebutuhan berbagai daerah membuka cabang pula di luar IAIN induknya sehingga IAIN menjadi berkembang di berbagai daerah, dalam perkembangan itu muncullah duplikasi fakultas.
Untuk menyahuti jiwa dan peraturan, yakni untuk menghindari terjadinya duplikasi tersebut serta untuk menjadikan fakultas-fakultas tersebut mandiri dan lebih dapat mengembangkan diri tidak terikat kepada peraturan yang mengengkang oleh IAIN induknya maka, maka fakultas-fakultas tersebut dilepasskan dari IAIN induknya masing-masing yang secara administrasi tidak lagi memiliki ikatan dengan IAIN induknya masing-masing. Setelah dipisahkan itu bernamalah lembaga ini menjadi STAIN. Yang dulunya bernama Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara Padangsidimpuan, berubah menjadi STAIN Padangsidimpuan, demikian seterusnya.
Beda IAIN dengan STAIN adalah. Jika Institut menyelenggarakan program akademik dan/atau profesional dalam sekelompok disiplin ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian yang sejenis. Sedangkan sekolah tinggi menyelenggarakan program pendidikan akademik dan/profesional dalam lingkup satu disiplin ilmu tertentu.
Universitas Islam Negeri
Beberapa tahun belakangan ini ada pikiran yang ingin mengembangkan IAIN menjadi Universitas. Rintisan kearah itu telah mulai di laksanakan. Ada beberapa modal dasar yang dimiliki IAIN yang menjadikan landasannya bagi pengembangannya.
Landasan filosofis dan konstitusional
Sosiologis
Edukatif
Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS)
UII setelah dinegerikan menjadi PTAIN tahun 1950, kemudian PTAIN digabungkan dengan ADIA menjadi IAIN, dan dari IAIN dari fakultas-fakultas daerahnya menjadi STAIN, fakultas yang non agama UII (ekonomi, hukum, dan pendidikan) tetap menjadi fakultas swasta. Fakultas swasta menjadi berkembang dan sekarang ditambah dengan fakultas-fakultas lain.
Universitas Islam yang semacam ini sudah tersebar luas di Indonesia, ada yang di asuh oleh organisasi-organisasi Islam dan ada pula yang brbentuk yayasan yang tidak bernaung dalam satu organisasi Islam, seperti UISU (Universitas Islam Sumatera Utara).
Universitas-Universitas Islam yang di bawah langsung organisasi Islam, tercatat misalnya Universitas Muhammadiyah, Universitas Nahdatul Ulama dll, universitas yang diasuh oleh organisasi maupun independen, fakultas keagamaan ini dibawah pengawasan Koordinator Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (Kopertais) pada wilayah setempat.
Untuk menetapkan ciri keislaman pada universitas-universitas Islam Swasta tersebut pendidikan agama Islam pada fakultas nonkeagamaan tidak hanya terbatas di beri 2 SKS saja seperti yang dilaksanakan di universitas-universitas negeri. Di universitas agama Islam swasta diberikan pendidikan agama Islam yang bervariasi di atas 2 SKS, sebagai contohnya Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) Medan diberikan Pendidikan Agama Islam di setiap semesternya.
Permasalahan pokok yang belum bisa di tuntaskan oleh universitas-universitas Islam Swasta adalah inti dari permasalahannya bagaimana memasukkan nilai-nilai Islam kedalam disiplin ilmu sekuler. Praktik yang dilakukan sekarang diberbagai Universitas Islam tersebut masih tampak pilahnya antara ilmu keagamaan dengan ilmu non keagamaan. Sebetulnya idealitasnya adalah menyatukan kedua rumpun ilmu itu dalam satu kesatuan. Untuk lebih memperdalam hal ini dapat kita cari informasi nya di buku "Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Islam di Indonesia" karangan Prof. Dr. H. Haidar Putra Daulay, MA.
Pendidikan Islam Non-Formal
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 26 telah memberikan batasan tentang apa yang dimaksud dengan pendidikan nonformal tersebut, satuan pendidikan non formal tersebut terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim serta satuan pendidikan sejenisnya.
Di Indonesia, jauh sebelumnya adanya pendidikan Islam formal di pesantren, sekolah, madrasah dan pendidikan tinggi, telah berlangsung pendidikan non formal. Para Mubaligh berdatangan dari luar Indonesia melakukan pendidikan secara non formal. Mesjid atau tempat-tempat lain merupakan pusat kegiatan pendidikan tersebut. Pendidikan nonformal ini ditunjukkan kepada masyarakat ramai, sedangkan untuk mendidika murid-murid mereka, mereka lakukan dengan cara khusus.
Selain dari kegiatan pendidikan formal tersebut di kalangan masyarakat terdapat pula pendidikan agama nonformal. Pendidikan agama nonformal ini di Indonesia lebih terkenal dengan sebutan majelis taklim. Kegiatan majlis taklim ini adalah bergerak dalam bidang dakwah Islam, lazimnya disampaikan dalam bentuk ceramah, tanya jawab oleh seorang ustadz atau kiai di hadapan para jamaahnya. Kegiatan ini telah dijaadwalkan waktu dab ditentukan tempatnya.
Ada beberapa esensi dari majlis taklim ini, yaitu:
Lembaga pendidikan Islam nonformal
Pendidik
Peserta didik (jama'ah)
Adanya materi yang disampaikan
Dilaksanakan secara teratur
Tujuan untuk mencapai derajat ketakwaan kepada Allah SWT.
Di pandang dari sudut teori pendidikan, bahwa majlis Taklim adaldah salah satu di antara pusat pendidikan di samping rumah tangga dan sekolah. Ki Hajar Dewantara menyebutkan ada tiga pusat pendidikan (tri pusat) pendidikan rumah tangga, sekolah, dan masyarakat. Majlis Taklim ini tergolong pada pendidikan Islam di Masyarakat.
Selain dari Majlis Taklim di kalangan remaja muncul pula lembaga pendidikan nonformal dalam bentuk pesantren kilat. Kegiatan berlangsung satu atau dua minggu, yang lebih tepat dikelompokkan pada pelatihan.
Dengan demikian, pendidikan Islam itu bisa dilaksanakan dalam bentuk lembaga kursus, misalnya kursus membaca dan menafsirkan Al-Qur'an, bisa dalam bentuk pelatihan, misalnya pesantren kilat, bisa dalam bentuk kelompok belajar dan pusat kegiatan belajar masyarakat serta yang terbanyak tersebar di masyarakat adalah Majlis Taklim.
PENUTUP
KESIMPULAN
Lembaga dan sarana-sarana Pendidikan Islam di Indonesia ada Sembilan yaitu :
Masjid dan Langgar
Meunasah, Rangkang dan Dayah
Surau
Pesantern
Madrasah
Sekolah-Sekolah Dinas
Perguruan Tinggi Islam
Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS)
Pendidikan Islam Non-Formal
DAFTAR PUSTAKA
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007
A. Hasyimi, Mnera Johan Bandung: Bulan Bintang, 1976
Ismail Sunni, Bunga Rampai Tentang Aceh, Jakarta: Batara Karya Aksara, 1980
Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi: Pesantren dan Madrasah, Yogjakarta: Tiara Wacana, 2001
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Hidayakarya, 1979
Nurul Huda dkk, Pedoman Majlis Taklim, Proyek Penerangan, Bimbingan Dakwah Khutbah Agama Islam Pusat, Jakarta: LP3ES, 1980
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 20-21.
A. Hasyimi, Mnera Johan (Bandung: Bulan Bintang, 1976), hlm. 104.
Ismail Sunni, Bunga Rampai Tentang Aceh (Jakarta: Batara Karya Aksara, 1980), hlm. 211.
Haidar Putra Daulay, Op.Cit., hlm. 24.
Muntasir, Dayah dan Ulama dalam Masyarakat Aceh, dalam Sarwah, vol II, hlm. 43.
Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi: Pesantren dan Madrasah (Yogjakarta: Tiara Wacana, 2001), hlm. 7.
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 144.
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan Pertengahan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 50
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Cet. VII; Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hlm. 889.
Haidar Putra Daulay, Op.Cit., hlm 134-135.
Ibid., hlm. 140-142
Ibid., hlm. 149-150.
Nurul Huda dkk, Pedoman Majlis Taklim, Proyek Penerangan, Bimbingan Dakwah Khutbah Agama Islam Pusat, (Jakarta: LP3ES, 1980), hlm. 5.