LABIOSCHISIS Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu Bedah Mulut IV Diampuh oleh : drg. Prihartiningsih, S.U., Sp.BM (K)
Oleh KELOMPOK 3 KELAS A Dyah Ayu Yoanita
8649
Nyayu Wulan T. U.
8691
Dessy Pratiwi S.
8651
Cindy Noni Barita
8695
Rahma Arifah
8659
Lynda Milsa Novellia
8697
Indria Kusuma W.
8665
Fertylian P. P.
8699
Intan Kartika P. S.
8669
Yuninda Lintang D.
8701
Hayu Qommaru Z.
8671
Raina N. W.
8703
Amalia Perwitasari
8677
Sarah Harfineisya
8705
Bramita Beta A.
8683
Siti Ramadania W.
8711
Yusvina Qoriatur R.
8689
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2013
BAB I PENDAHULUAN
Pertumbuhan dan perkembangan merupakan dua peristiwa yang berbeda sifatnya, namun satu sama lain erat hubungannya dan sulit dipisahkan secara tegas. Pertumbuhan dan
perkembangan
berjalan
seiring.
Pertumbuhan
organ
tubuh
selalu
disertai
perkembangan dalam pendewasaan kemampuan fungsionalnya. Dengan demikian apabila pertumbuhan berlangsung secara optimal maka kemampuan fungsi dari organ tersebut juga akan berlangsung secara optimal. Sebaliknya apabila terjadi gangguan dalam pertumbuhan, maka perkembangan kemampuan organ juga akan mengalami hambatan (Manoeroeng, 1995). Pertumbuhan dan perkembangan wajah serta rongga mulut merupakan proses yang kompleks. Bila terdapat gangguan pada waktu pertumbuhan dan perkembangan wajah serta rongga mulut embrio, akan timbul kelainan antara lain labioschisis atau celah bibir (Gilarsi, 2001). Labioschisis dapat terjadi pada satu sisi (unilateral) maupun kedua sisi (bilateral) secara simetris atau tidak simetris. Keadaan ini tergantung tingkat keparahan gangguan dalam proses pembentukan embrional (Soelistiono, 2006). Labioschisis termasuk kelainan kraniofasial yang terjadi pada proses pembentukan janin pada masa kandungan ibunya. Kecacatan yang terjadi pada bagian wajah dan mulut menyebabkan bayi mengalami cacat fisik, mental maupun psikis. Penyebab labioschisis belum diketahui pasti namun ada dua faktor yang berperan dalam timbulnya celah bibir, yaitu faktor keturunan dan faktor lingkungan (Lee, 2008; Lalwani, 2010; Vinod, 2009). Faktor lingkungan berperan dalam terjadinya celah bibir pada fase kritis penyatuan bagian-bagian bibir dan palatum. Pada wanita hamil yang mengkonsumsi obat-obatan secara berlebihan seperti kortison, aspirin, obat-obatan antikonvulsi dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya labioschisis. Radiasi yang berlebihan juga dapat meningkatkan resiko terjadinya cacat bayi, juga pada ibu yang mempunyai kebiasaan merokok dan waktu hamil masih diteruskan juga mempunyai resiko terjadinya cacat pada bayinya (Lee, 2008; Lalwani, 2010; Edward & Watson, 1980). Faktor herediter dianggap sebagai faktor yang sudah dapat dipastikan sebagai penyebab terjadinya celah bibir. Brophy (1971) mencatat beberapa kasus anggota keluarga yang mempunyai kelainan wajah dan palatal yang terdapat pada beberapa generasi. Kelainan ini tidak selalu serupa, namun bervariasi antara celah bibir unilateral dan bilateral. Pada 1
beberapa teori mengikuti hukum Mendel. Schroder menyebutkan bahwa 75% dari faktor keturunan yang menimbulkan celah bibir adalah resesif dan hanya 25% bersifat dominan (Gilarsi, 2001). Insidensi celah bibir dengan atau tanpa celah langit-langit bervariasi tergantung dari etnis, dimana insiden pada orang asia lebih besar daripada orang kulit putih dan kulit hitam. Secara umum angka kejadian celah bibir dengan atau tanpa celah langit-langit 1:750-1000 kelahiran, insidensi pada ras Asia 1:5000 kelahiran, ras Caucasian 1:750 kelahiran, ras African American 1:2000 kelahiran. Variasi celah bibir lebih sering terjadi pada anak laki-laki (Sudiarsa & Prihatiningsih, 2009). Insiden bibir sumbing di Indonesia belum diketahui. Hidayat, dkk. di propinsi Nusa Tenggara Timur antara April 1986 sampai Nopember 1987 melakukan operasi pada 1004 kasus bibir sumbing atau celah langit-langit pada bayi, anak maupun dewasa di antara 3 juta penduduk (Hidayat, 2009). Gangguan pertumbuhan ini tidak saja menyulitkan penderita, namun juga menimbulkan kesulitan pada orangtua, terutama ibu. Tidak saja dalam hal pemberian makan namun juga efek psikologis karena penampilan merupakan suatu hal yang penting dalam berinteraksi dengan masyarakat (Gilarsi, 2001). Dalam makalah ini, penulis akan membahas mengenai definisi, klasifikasi, tampakan klinis, etiologi, faktor resiko, pathogenesis, gangguan yang ditimbulkan akibat labioschisis serta diagnosis pre-natal dan post-natal-nya.
2
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi
Istilah yang digunakan untuk celah bibir ialah cheilos, labioshisis, harelip atau cleft lip. Cheilo, labio dan lip berarti bibir, sedangkan schisis, hare ataupun cleft berarti celah. Pengertian dari celah bibir (labioschisis) adalah kelainan bawaaan yang terjadi oleh karena tidak adanya penyatuan (fusi) secara normal dari bibir pada proses embrional yang dapat terjadi secara sebagian atau sempurna (Davis, 1964; Tjiptono dkk., 1989). Labioschisis, cleft lip, celah bibir atau bibir sumbing adalah kondisi dimana terdapatnya celah pada bibir atas diantara mulut dan hidung. Kelainan ini dapat berupa takik kecil pada bagian bibir yang berwarna sampai pada pemisahan komplit satu atau dua sisi bibir memanjang dari bibir ke hidung. Celah pada satu sisi disebut labioschisis unilateral, dan jika celah terdapat pada kedua sisi disebut labioschisis bilateral (Webmaster, 2008).
Gambar 1. Bayi dengan labioschisis Bibir sumbing merupakan cacat bawaan yang menjadi masalah tersendiri di kalangan masyarakat, terutama penduduk dengan status sosial ekonomi yang lemah, akibatnya operasi dilakukan terlambat dan malah dibiarkan sampai dewasa. Masalah ini banyak dialami selama proses kehamilan oleh ibu. Hal tersebut dapat berpengaruh terhadap perkembangan janin (Bustami, 1997). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bustami dan kawan-kawan diketahui bahwa alasan terbanyak anak penderita labioschisis terlambat (berumur antara 5 - 15 tahun) untuk dioperasi adalah keadaan sosial ekonomi yang tidak memadai dan pendidikan orang tua yang masih kurang (Bustami, 1997).
3
B. Etiologi
Penyebab terjadinya labioschisis belum diketahui dengan pasti. Kebanyakan ilmuwan berpendapat bahwa labioschisis muncul sebagai akibat dari kombinasi faktor genetik dan faktor-faktor lingkungan. Di Amerika Serikat dan bagian barat Eropa, para peneliti melaporkan bahwa 40% orang yang mempunyai riwayat keluarga labioschisis akan mengalami labioschisis. Kemungkinan seorang bayi dilahirkan dengan labioschisis meningkat bila keturunan garis pertama (ibu, ayah, saudara kandung) mempunyai riwayat labioschisis. Ibu yang mengkonsumsi alcohol dan narkotika, kekurangan vitamin (terutama asam folat) selama trimester pertama kehamilan, atau menderita diabetes akan lebih cenderung melahirkan bayi/ anak dengan labioschisis (Webmaster, 2009). Kelainan ini terjadi pada trimester pertama kehamilan, prosesnya karena tidak terbentuknya mesoderm pada daerah tersebut sehingga bagian yang telah menyatu (prosesus nasalis dan maksilaris) pecah kembali. Menurut Mansjoer dkk. (2005), hipotesis yang diajukan antara lain:
Insufisiensi zat untuk tumbuh kembang organ selama masa embrional dalam hal kuantitas (pada gangguan sirkulasi feto-maternal) dan kualitas (defisiensi asam folat, vitamin C, dan Zn)
Penggunaan obat teratologik, termasuk jamu dan kontrasepsi hormonal
Infeksi, terutama pada infeksi toxoplasma dan klamidia.
Faktor genetik
Etiologi intrinsik Herediter (Wong, 2004) 1. Mutasi gen Ditemukan sejumlah sindroma atau gejala menurut hukum Mendel secara autosomal, dominant, resesif dan x-linked . Pada otosomal dominan, orang tua yang mempunyai kelainan ini menghasilkan anak dengan kelainan yang sama. Pada otosomal resesif adalah kedua orang tua normal tetapi sebagai pembawa gen abnormal. X-linked adalah wanita dengan gen abnormal tidak menunjukan tanda-tanda kelainan sedangkan pada pria dengan gen abnormal menunjukan kelainan ini. 2. Kelainan Kromosom Celah bibir terjadi sebagai suatu expresi bermacam-macam sindroma akibat penyimpangan dari kromosom, misalnya Trisomi 13 (patau), Trisomi 15, Trisomi 18 (edwars) dan Trisomi 21. Pada setiap sel yang normal mempunyai 46 kromosom yang terdiri dari 22 pasang kromosom non-sex (kromosom 1 s/d 22 ) dan 1 pasang 4
kromosom sex ( kromosom X dan Y ) yang menentukan jenis kelamin. Pada penderita bibir sumbing terjadi Trisomi 13 atau Sindroma Patau dimana ada 3 untai kromosom 13 pada setiap sel penderita, sehingga jumlah total kromosom pada tiap selnya adalah 47. Jika terjadi hal seperti ini selain menyebabkan bibir sumbing akan menyebabkan gangguan berat pada perkembangan otak, jantung, dan ginjal. Namun kelainan ini sangat jarang terjadi dengan frekuensi 1 dari 8000-10000 bayi yang lahir.
Etiologi ekstrinsik Terjadinya labioschisis mungkin disebabkan adanya faktor toksik dan lingkungan
yang mempengaruhi gen pada periode fesi ke-2 belahan tersebut; pengaruh toksik terhadap fusi yang telah terjadi tidak akan memisahkan lagi belahan tersebut. Faktor lingkungan (ekstrinsik) yang terlibat antara lain: (Dewi dan Nanny, 2010) 1. Faktor usia ibu Dengan bertambahnya usia ibu waktu hamil daya pembentukan embrio pun akan menurun. Dengan
bertambahnya
usia
ibu
sewaktu
hamil,
bertambah pula resiko dari ketidaksempurnaan pembelahan meiosis
maka
yang akan
menyebabkan bayi dengan kehamilan trisomi. Wanita dilahirkan dengan kira-kira 400.000 gamet dan tidak memproduksi gamet-gamet baru selama hidupnya. Jika seorang wanita umur 35 tahun maka sel-sel telurnya juga berusia 35 tahun. Resiko mengandung anak dengan cacat bawaan bertambah besar sesuai dengan bertambahnya usia ibu. 2. Obat-obatan Obat yang digunakan selama kehamilan terutama untuk mengobati penyakit ibu, tetapi hampir janin yang tumbuh akan menjadi penerima obat. Penggunaan asetosal atau aspirin sebagai obat analgetik pada masa kehamilan trimeseter pertama dapat menyebabkan terjadinya celah bibir.Beberapa obat yang tidak boleh dikonsumsi selama hamil yaitu rifampisin,fenasetin, sulfonamide, aminoglikosid, indometasin, asam flufetamat, ibuprofen dan penisilamin, diazepam, kortikosteroid. Beberapa obat antihistamin
yang
digunakan
sebagai
antiemetik
selama
kehamilan
dapat
menyebabkan terjadinya celah langit-langit. 3. Nutrisi Contohnya defisiensi Zn, B6, Vitamin C, kekurangan asam folat pada waktu hamil. Insidensi kasus celah bibir dan celah langit-langit lebih tinggi pada masyarakat golongan ekonomi kebawah penyebabnya diduga adalah kekurangan nutrisi. 5
4. Penyakit infeksi Contohnya seperti infeksi rubella, sifilis, toxoplasmosis dan klamidiadapat menyebabkan terjadinya labioskizis dan labiopalatoskizis. 5. Radiasi Efek teratogenik sinar pengion jelas bahwa merupakan salah satu faktor lingkungan dimana dapat menyebabkan efek genetik yang nantinya bisa menimbulkan mutasi gen. Mutasi gen adalah faktor herediter. 6. Stress Emosional Korteks adrenal menghasilkan hidrokortison yang berlebih. Pada binatang percobaan telah terbukti bahwa pemberian hidrokortison yangmeningkat pada keadaan hamil menyebabkan labioskizis dan labipaltoskizis. 7. Trauma Celah bibir bukan hanya menyebabkan gangguan estetika wajah, tetapi juga dapat menyebabkan kesukaran dalam berbicara, menelan, pendengaran dan gangguan psikologis penderita beserta orang tuanya. Permasalahan terutama terletak pada pemberian minum, pengawasan gizi dan infeksi. Salah satu penyebab trauma adalah kecelakaan atau benturan pada saat hamil minggu kelima. Pertumbuhan dan perkembangan wajah serta rongga mulut merupakan suatu proses yang sangat kompleks. Bila terdapat gangguan pada waktu pertumbuhan dan perkembangan wajah serta mulut embrio, akan timbul kelainan bawaan. Kelainan bawaan adalah suatu kelainan pada struktur, fungsi maupun metabolisme tubuh yang ditemukan pada bayi ketika dia dilahirkan. Salah satunya adalah celah bibir dan langit-langit. Kelainan wajah ini terjadikarena ada gangguan pada organogenesis antara minggu keempat sampai minggu kedelapan masa embrio. Gangguan pertumbuhan ini tidak saja menyulitkan penderita, tetapi juga menimbulkan kesulitan pada orangtua, terutama ibu. Tidak saja dalam hal pemberian makan, tetapi juga efek psikologis karena mempunyai anak yang tidak sempurna.
C. Faktor Resiko
Faktor risiko adalah sesuatu yang meningkatkan kesempatan untuk mendapatkan penyakit. Faktor risiko terjadinya labioskizis meliputi: (Diego, 2002)
Faktor bayi: a.
Memiliki cacat lahir lahinnya 6
b.
Jenis kelamin laki-laki
c.
Memiliki saudara kandung, orang tua, atau kerabat dekat lainnya lahir dengan labioskizis. Genetika terbaik dapat menentukan resiko yang sebenarnya, yang dapat sangat bervariasi diantara para keluarga. Secara umum, jika satu anak dalam keluarga memiliki sumbing, anak berikutnya memiliki sekitar 4% juga memiliki sumbing. Jika hanya mamiliki bibir sumbing, resiko ini terjadi pada anak kedua adalah 2%.
Faktor ibu selama kehamilan a.
Memakai obat-obatan tertentu, seperti obat antiseizure terutama fenitoin atau retinoic acid digunakan untuk kondisi dermatologic, seperti jerawat.
b.
Mengkonsumsi alkohol (khususnya dalam pengembangan bibir sumbing).
c.
Memiliki penyakit atau infeksi.
d.
Memiliki kekurangan asam folat pada konsepsi atau selama awal kehamilan.
D. Klasifikasi
Labioschisis diklasifikasikan berdasarkan lengkap/ tidaknya celah yang terbentuk menurut Mansjoer dkk. (2005) adalah :
Komplit Cacat yang terjadi menyeluruh mulai dari rima oris sampai ke nares
Inkomplit Cacat yang terjadi hanya pada sebagian bibir bagian bawahnya saja tidak sampai ke lubang hidung Sedangkan berdasarkan lokasi/ jumlah kelainan labioschisis dibedakan menjadi (Anonim,
2008; World Craniofacial Foundation, 2011) :
Unilateral Bibir sumbing unilateral mungkin melibatkan beberapa bagian dari bibir atau seluruh ketinggian bibir. Tingkat celah di bibir sumbing parsial dapat berkisar dari vermilion hanya untuk dua-pertiga dari tinggi bibir. Otot orbicularis oris hanya terbagi pada bagian bawah bibir sumbing sedangkan sisanya dari otot dan kulit tetap utuh. Dalam banyak kasus bibir sumbing parsial unilateral, otot orbicularis oris dapat terbagi sepenuhnya,sehingga menciptakan alur kulit. Pemisahan otot dapat menyebabkan tonjolan di kedua sisi celah
Bilateral Celah terdapat pada kedua sisi 7
Gambar 2. Klasifikasi Labioschisis Klasifikasi labioschisis menurut Anonim (2011):
1. Unilateral incomplete Apabila celah sumbing terjadi hanya di salah satu sisi bibir dan tidak memanjang hingga ke hidung.
Gambar 3. Labioschisis unilateral incomplete
2. Unilateral complete Apabila celah sumbing terjadi hanya di salah satu sisi bibir dan memanjang hingga ke hidung.
Gambar 4. Labioschisis unilateral complete 3. Bilateral complete Apabila celah sumbing terjadi di kedua sisi bibir dan memanjang hingga ke hidung.
8
Gambar 5. Labioschisis bilateral complete E. Pathogenesis
Bibir sumbing timbul akibat tidak menyatunya berbagai prosesus yang membentuk wajah. Bibir sumbing meliputi prosesus alveolar dan palatum. Celah dapat terjadi unilateral, terutama di sisi kiri atau bilateral. Sebagian besar bayi dengan bibir sumbing tidak memiliki malformasi yang terkait. Celah fasial dapat dideteksi saat prenatal dengan pemeriksaan ultrasound , namun tidak sampai akhir kehamilan. Celah dapat diperbaiki secara pembedahan dengan perbaikan fungsional dan kosmetik, namun seringkali beberapa terapi dibutuhkan sampai usia sekolah (Mossey & Castilla, 2003). Labioschisis merupakan hasil dari kegagalan perkembangan orofasial pada minggu ke enam hingga dua belas dari kehidupan embrio. Hidung pertama kali muncul dalam bentuk pembengkakan medial dan lateral pada bagian bawah prosesus fronto nasal. Pada minggu ke enam hingga ke tujuh, prosesus maksila (bagian atas dari lengkung faring pertama) yang berkembang kemudian bergabung dengan prominensia nasal medial sehingga keduanya bersatu. Seiring dengan berjalannya proses ini celah antara prosesus maksila dan prominensia nasal medial hilang dan bibir atas mulai terbentuk. Proses ini menghasilkan palatum primer yang terdiri dari tiga bagian yaitu : 1.
Komponen labial atau filtral
2.
Segmen sentral, yang nantinya kan berkembang menjadi lengkung gigi anterior yang mengandung empat insisivus maksila
3.
Elemen palatal triangular, yang meluas dari tulang alveolar ke foramen insisivum.
Adanya perubahan atau gangguan pada proses ini dapat mneyebabkan labioschisis unilateral atau bilateral, termasuk di dalamnya defek tulang alveolar dan deformitas nasal (Hansen dan Puder, 2009). Labioschisis dapat terjadi karena beberapa sebab dan dapat berupa malformasi, disrupsi, atau deformasi. Ketika defek yang terjadi merupakan hasil dari proses perkembangan abnormal yang diturunkan, seperti pada kasus kelainan genetik, hal ini disebut dengan malformasi. Saat proses perkembangan berjalan normal namun 9
terganggu karena adanya faktor ekstrinsik, seperti paparan teratogen, hal ini disebut dengan istilah disrupsi. Deformasi terjadi ketika terdapat gaya mekanis yang mengganggu proses perkembangan normal, contohnya pada kasus Sindrom Pierre Robin di mana hipoplasi mandibula menyebabkan letak lidah lebih ke posterior sehingga mengganggu fusi lempeng palatal lateral (Kenner dan Lott, 2013).
F. Gangguan yang ditimbulkan Labioschisis
a.
Masalah Asupan Makanan Masalah asupan makanan atau nutrisi merupakan masalah pertama yang terjadi pada bayi penderita labioschisis. Adanya labioschisis memberikan kesulitan pada bayi untuk melakukan hisapan pada payudara ibu ataupun dot. Keadaan tambahan yang ditemukan yaitu reflex hisap dan reflex menelan pada bayi dengan labioschisis tidak sebaik bayi normal, kondisi tersebut mengakibatkan bayi menghisap lebih banyak udara pada saat menyusu sehingga asupan nutrisi yang diperoleh bayi menjadi berkurang (Kurniawan dan Israr, 2009).
b.
Masalah Dental Anak yang lahir dengan labioschisis mungkin mempunyai masalah tertentu yang berhubungan dengan kehilangan, malformasi dan malposisi dari gigi geligi pada area dari celah bibir yang terbentuk. Menurut Ellis dkk. (2012) area gigi yang hilang adalah incisuvus dan caninus.
c.
Deformitas nasal Deformitas nasal sering ditemukan pada bayi labioschisis oleh karena perluasan celah pada dasar hidung dan kartilago ala nasi. Pada columella nasi tertarik ke sisi yang tidak terdapat celah (Ellis dkk., 2012).
d.
Kesulitan Berbicara Kondisi celah bibir menyebabkan retardasi suara konsonan seperti p, b, t, d, k, g . Pada individu normal suara dibentuk oleh udara yang keluar dari paru-paru melewati pita suara dan masuk ke dalam rongga mulut. Posisi lidah, bibir, rahang bawah dan palatum lunak saling bekerjasama untuk menghasilkan bunyi. Adanya celah pada bibir menyebabkan terjadinya superimpose suara karena perubahan aliran udara dalam struktur rongga mulut (Ellis dkk., 2012). Kelainan ini sebaiknya secepat mungkin diperbaiki karena akan mengganggu pada
waktu menyususui dan akan mempengaruhi pertumbuhan normal rahang serta 10
perkembangan bicara. Penatalaksanaan labioschisis adalah operasi. Bibir sumbing dapat ditutup pada semua usia, namun waktu yang paling baik adalah bila bayi berumur 10 minggu, berat badan mencapai 10 pon, Hb 10g%. Dengan demikian umur yang paling baik untuk operasi sekitar 3 bulan (Bustami, 1997).
G. Diagnosis
Seorang dokter dapat mendiagnosa bibir sumbing atau sumbing langit-langit dengan memeriksa bayi yang baru lahir. Seorang bayi yang baru lahir dengan celah bibir dapat didiagnosis oleh tim spesialis medis segera setelah lahir (Berkowitz, Samuel, 2005). Diagnosis labioskisis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang. 1.
Anamnesis Pada anamnesis adanya keluhan yang diderita sejak lahir berupa celah pada bibir yang menyebabkan kesulitan menyusui, makan, berbicara, dan kesulitan mendengar. Riwayat keluarga dengan keluhan serupa, adanya riwayat defisiensi nutrisi/vitamin pada ibu dan penggunaan obat-obatan teratogenik selama trimester
pertama
kehamilan, serta adanya riwayat penyalahgunaan alkohol dan kebiasaan merokok saat hamil (Hopper, 2007). 2. Pemeriksaan Fisis Pada pemeriksaan Fisis di daerah wajah diagnosis labioskisis dapat di tegakkan. Pembagian berdasarkan International Classification of the Diseases (ICD), mencakup celah anatomis organ terlibat, lengkap atau tidaknya celah, unilateral atau bilateral; digunakan untuk sistem pencatatan dan pelaporan yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO) (Hopper, 2007). 3. Pemeriksaan Penunjang Pada saat dalam kehamilan, pemeriksaan celah dini pada janin dapat kita lihat dengan menggunakan transvagina ultrasonografi pada minggu ke-l1 masa kehamilan dan bisa juga dideteksi dengan menggunakan transabdominal ultrasonografi pada usia kehamilan minggu ke-16 (Hopper, 2007).
11
Gambar 6. Labioskisis bilateral pada fetus usia 18 minggu Namun dalam mendiagnosis deformitas bibir atau langit-l angit ultrasonographer harus dapat melihat wajah janin. Hal ini sering tidak mudah dan tes mungkin harus diulangi beberapa kali. Salah satu studi besar melaporkan bahwa kurang dari sepertiga dari deformitas (celah) bibir dan langit-langit kasus sebelumnya didiagnosis dengan USG. Tingkat deteksi bervariasi tergantung pada keahlian sonographer, kehamilan usia, kehadiran anomali lain, dan keterampilan radiolog membaca film (Egan, 2009). Jika celah pada bibir dapat dideteksi, maka janin kemungkinan mengalami malformasi, gangguan kromosom atau kedua-duanya. Bagaimanapun seorang dokter ahli dapat mendiagnosa sekitar 80% dari pemeriksaan prenatal jika mereka menggunakan ultrasonografi 3 dimensi. Untuk mendeteksi celah pada langit-langit sepertinya agak sulit jika menggunakan ultrasonografi. MRI lebih memiliki ketelitian lebih baik dibandingkan ultrasonografi (Egan, 2009).
Gambar 7. (a) USG 3-dimensi memperlihatkan adanya facial cleft pada fetus usia 22 minggu dan (b) facial cleft pada usia kehamilan 32 minggu
12
DAFTAR PUSTAKA
Dewi, Lia., Nanny, Vivian. 2010. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Jakarta: Salemba Medika Diego. F. 2002. Cleft lip and palate, from origin to treatment . Oxford university press, inc. New york Edward M. & Watson A.C.H., 1980, Advances in The Management of Cleft Palate, Edinburgh, Churchill Livingstone, pp 27-47. Egan, T; Gregory, A, 2009, Facial Plastic, Reconstructive, and Trauma Surgery, New York: Marcell Dekker. Ellis E, Peterson LJ, Hupp JR, Tucker MR. 2012. Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery. 4th. Mosby: Elsevier. h. 628-629. Gilarsi, T.R., 2001, Celah Bibir, Faktor Penyebab dan Penanggulangannya, http://www.tempo.co.id//medika/arsip/042001/sek-2.htm (22/11/2013). Hansen, A. dan Puder, M., 2009, Manual Neonatal Surgical Intensive Care, second edition, PMPH, New York. Hopper, RA; Cutting, C; Grayson B, 2007, Grabb and Smith’s Plastic Surgery, Philadelpia: Lippincott Williams and Wilkins. Kenner, C.A. dan Lott, J.W., 2013, Comprehensive Neonatal Nursing Care, fifth edition, Springer, Kurniawan L dan Israr YA. 2009. Labioschisis. Riau: Fakultas Kedokteran Universitas Riau. h. 5 Lalwani, A.K., 2010, Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology. Head & Neck Surgery, A Lange Medical book, New York, pp 323-338. Lee, K.J., 2008, Essential otolaryngonolgy. Head and Neck Surgery, 9th edition, Mc M Lanna, M Rustico, 2007, Three-dimensional Ultrasound and Genetic Syndromes, Donald School Journal of Ultrasound in Obsteric and Gynecology , Volume 1 No. 3: 54-59, http://www.jaypeejournals.com/eJournals/ShowText , 23, November 2013 Manoeroeng, S.M., 1995, Pengaruh Bibir Sumbing/Langit-langit Sumbing terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Anak, Kumpulan Makalah Ilmiah, FKG USU, 99-113. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, et al. Sumbing Bibir dan Langitan. Dalam : Kapita Selekta. Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius – FK UI. 2005. Mitchell, RN, dkk. 2008. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit Robbins dan Cotran, ed.7. Elsevier Inc : USA. Sudiarsa, I.K. & Prihatiningsih, 2009, Koreksi Bibir Sumbing Bilateral Komplit dan Tidak Komplit dengan Menggunakan Metode Barsky di Bawah Anestesi Umum, Majalah Kedokteran Gigi, 16(1): 63-68. Vinod, K., 2009, Textbook of Oral and Maxillofacial Surgery. 2nd ed, Arya Publishers House, New Delhi, pp 572-585. Webmaster. Bibir sumbing. Disitasi dari : http://www.klikdokter.com/ illness/detail/104.htm. Pada tanggal 15 November 2009. Perbaharuan terakhir : Januari 2008. Webmaster. Cleft Lip and Palate. Disitasi dari : http://www.healthofchild ren.com/C/CleftLip-and-Palate.html?Comments[do]=mod&Comments[id] =4.htm. Pada tanggal : 13 November 2009. Perbaharuan terakhir : Janurai 2009. Wong, Dona L.2004. Pedoman Klinis Keperawatan Pedriatik . Jakarta : EGC.