MAKALAH KOMPLEKS HISTOKOMPATIBILITAS
Hari/Tanggal Kelompok/Kelas Nama Kelompok
: Selasa / 28 Februari 2016 : Kelompok 7 / Konversi 2016 :
1. Alfin Alfaisal (A 163 014)
2. Siti Darmiani (A 163 15)
Nama Dosen
: D. SAEFUL HIDAYAT, DRS, MS, APT
SEKOLAH TINGGI FARMASI INDONESIA BANDUNG 2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang berjudul “Komplek Histokompatibilitas”. Diharapkan Makalah ini nantinya dapat memberikan informasi serta bahan pembelajaran kepada kita semua. Akhir kata, penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal hingga selesai. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan Makalah ini, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan Makalah ini.
Bandung Februari, 2017
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR................................................................................ i DAFTAR ISI............................................................................................. ii BAB I PENDAHULUAN.......................................................................... 1 1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 2 1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................. 2 BAB II ISI ................................................................................................ 3 2.1 Pengertian Komplek Histokompatibilitas............................................... 3 2.2 Molekul Komplek Histokompatibilitas................................................... 4 2.3 Struktur Protein Komplek Histokompatibilitas ........................................... 9 2.4 Gen MHC dan Polimerfisme................................................................. 11 2.5 Hubungan dengan Penyakit Tertentu...................................................... 12 2.6 TCR (T-cell receptor) Sebagai Penentu Predisposisi Penyakit ................... 13 2.7 Penyakit Ekspresi Molekul MHC Kelas II.............................................. 13 2.8 Penyakit Autoimun............................................................................... 14 2.9 Respn Imun .................................................................................................. 17 BAB III KESIMPULAN .......................................................................... 21 3.1 Kesimpulan ....................................................................................... 21 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 2 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan mendasar disamping pangan, pendidikan dan pemukiman, karena dengan tubuh yang sehat manusia dapat hidup, tumbuh dan melakukan aktifitas dengan baik. Menurut Undang – undang kesehatan tahun 2009, kesehatan adalah kedaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Sistem kekebalan tubuh merupakan upaya perlindungan internal tubuhdari serangan bakteri, virus, jamur, protozoa bersel satu, dan parasit. Sistem kekebalan tubuh (sistem imun) adalah gabungan sel, jaringan, molekul yang memproduksi sel-sel khusus yang dibedakan dengan sistem peredaran darah dari sel darah, yang berkerja sama dalam melawan suatu infeksi penyakit ataupun masuknya benda asing kedalam tubuh. Semua sel imun mempunyai bentuk dan jenis sangat bervariasi dan bersirkulasi dalam sistem imun dan diproduksi oleh sumsum tulang. Sedangkan kelenjar limfe adalah kelenjar yang dihubungkan satu sama lain oleh saluran limfe yang merupakan titik pertemuan dari sel-sel sistem imun yang mempertahankan diri dari benda asing yang masuk kedalam tubuh. Sistem imun berdasarkan mekanisme kerjanya sistem imun terbagi atas Sistem Imun Humoral atau sistem imun jaringan atau diluar sel, yang berperan adalah Sel antibodi dan Sistem Imun Cellular (sistem imun yang bekerja pada sel yang terinfeksi antigen, yang berperan adalah sel T (Th, Tc, Ts).Bila pertahanan non spesifik belum dapat mengatasi invasi mikroorganisme maka imunitas spesifik akan terangsang.Mekanisme pertahanan spesifik adalah mekanisme pertahanan yang diperankan oleh sel limfosit, dengan atau tanpa bantuan
komponen
sistem
imun
lainnya
seperti
sel
makrofag
dan
komplemen.Dilihat dari caranya diperoleh maka mekanisme pertahanan spesifik disebut juga respons imun didapat. Komplek histokompabilitas atau yang biasa disebut MHC (Major histocompabillity complex) merupakan gen yang mempunyai peran sangat penting dalam respon-respon imun terhadap protein antigen, yang mana MHC akan bekerja sama dengan limfosit T dalam menjaga kekebalan tubuh. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan komplek histokompatibilitas? 2. Bagaimana pembagian dan struktur molekul komplek histokompatibilitas? 3. Apa saja kelainan-kelainan dasar imunologi dan kaitannya dengan komplek histokompatibilitas? 1.3 Tujuan Penulisan 1. Mengetahui pengertian komplek histokompatibilitas. 2. Mengetahui bagaimana pembagian dan struktur molekul komplek histokompatibilitas. 3. Mengetahui kelainan-kelainan dasar imunologi dan kaitannya dengan komplek histokompatibilitas.
2
BAB II ISI
2.1 Pengertian Komplek Histokompatibilitas Kompleks histokompatibilitas atau yang biasa disebut dengan major histocompatibility complex atau MHC) adalah sekumpulan gen yang ditemukan pada semua jenis vertebrata. Gen tersebut terdiri dari ± 4 juta bp yang terdapat di kromosom nomor 6 manusia dan lebih dikenal sebagai kompleks antigen leukosit manusia (HLA). Protein MHC yang disandikan berperan dalam mengikat dan mempresentasikan antigen peptida ke sel T. Molekul permukaan sel yang bertanggung
jawab
terhadap
rejeksi
transplan
dinamakan
molekul
histokompatibilitas, dan gen yang mengkodenya disebut gen histokompatibilitas. Nama ini kemudian disebut dengan histokompatibilitas mayor karena ternyata MHC bukan satu-satunya penentu rejeksi. Terdapat pula molekul lain yang walaupun lebih lemah juga ikut menentukan rejeksi, yang disebut molekul histokompatibilitas minor. Pada saat ini telah diketahui bahwa molekul MHC merupakan titik sentral inisiasi respons imun. Jean-Baptiste-Gabriel-Joachim Dausset (lahir 19 Oktober 1916; umur 97 tahun) ialah seorang imunolog perancis. Ia menerima penghargaan nobel dalam fisiologi
atau
kedokteran tahun
1980
bersama
dengan Baruj
Benacerraf dan George Davis Snell untuk penemuan dan pencirian gen yang menyusun kompleks histokompatibilitas.
3
2.2 Molekul Komplek Histokompatibilitas Gen MHC berhubungan dengan gen imunoglobulin dan gen reseptor sel T (TCR = T-cell receptors) yang tergabung dalam keluarga supergen imunoglobulin, tetapi pada perkembangannya tidak mengalami penataan kembali gen seperti halnya gen imunoglobulin dan TCR. Daerah MHC sangat luas, sekitar 3500 kb di lengan pendek kromosom 6, meliputi regio yang mengkode MHC kelas I, II, III, dan protein lain, serta gen lain yang belum dikenal, yang mempunyai peran penting pada fungsi sistem imun. MHC juga memiliki peranan dalam proses komunikasi antarsel. Banyak mekanisme sistem imun yang tergantung dari interaksi antara komponen selular dari sistem imun. Interaksi tergantung dari 2 mekanisme yaitu kontak spesifik antar sel dan tingkat kelarutan molekul yang dihasilkan dari respons terhadap antigen. APC (Antigen Presenting Cell) akan mempresentasikan antigen dengan bantuan MHC-II agar lebih mudah dikenali oleh T-cell receptor. Aktivasi sel T akan menghasilkan berbagai molekul sitokin. Molekul sitokin berfungsi sebagai media komunikasi antgar sel. Sinyal yang dihasilkan tersebut akan memicu kerja dari sel T sitotoksik. Tingkat komunikasi antar sel yang terjadi bergantung dari sinyal yang dihasilkan dari kontak antara reseptor sel T dan molekul MHC. Peranan dari molekul MHC sangatlah krusial dalam proses aktivasi sel T. Sel T yang telah teraktivasi akan berkembang menjadi sel T helper subtype Th1 atau Th2. Sel T helper tersebut akan melepaskan spectrum sitokinin yang mengaktifkan sel T lainnya pada sistem selular atau sitotoksik yang akan membantu sel B untuk diferensiasi menjadi sel plasma yang berfungsi untuk memproduksi antibodi. Molekul sitokinin yang dihasilkan akan ditransportasikan melalui membrane sel.
4
Ekspresi gen MHC bersifat kodominan, artinya gen orang tua akan tampak ekspresinya pada anak mereka. Selain itu jelas terlihat beberapa gen yang terkait erat dengan gen MHC dan mengkode berbagai molekul MHC yang berbeda, karena itu gen MHC disebut sebagai gen multigenik. Pada populasi terlihat bahwa setiap gen tersebut mempunyai banyak macam alel sehingga MHC bersifat sangat polimorfik. Untuk memudahkan maka semua alel pada gen MHC yang berada pada satu kromosom disebut sebagai haplotip MHC. Setiap individu mempunyai dua haplotip, masing-masing satu dari ayah dan ibu yang akan terlihat ekspresinya pada individu tersebut. Pada bagian gen terdapat 2 kelas MHC, yaitu MHC kelas I dan MHC kelas II dimana MHC kelas I dan MHC kelas II digunakan untuk mengenali antigen. Molekul MHC kelas I berfungsi membawa antigen kepada sel-sel limfosit T pembunuh dan molekul MHC kelas II berfungsi membawa antigen ke sel-sel limfosit T penolong. A. Molekul MHC Kelas I Pada manusia terdapat 3 macam molekul MHC kelas I polimorfik, yaitu HLA-A, HLA-B, dan HLA-C. Molekul HLA kelas I terdiri dari rantai berat α polimorfik yang berpasangan nonkovalen dengan rantai
5
nonpolimorfik β2-mikroglobulin yang bukan dikode oleh gen MHC. Rantai α yang mengandung 338 asam amino terdiri dari 3 bagian, yaitu regio hidrofilik ekstraselular, regio hidrofobik transmembran, dan regio hidrofilik intraselular. Regio ekstraselular membentuk tiga domain αl, α2, dan α3. Domain α3 dan β2-mikroglobulin membentuk struktur yang mirip dengan imunoglobulin tetapi kemampuannya untuk mengikat antigen sangat terbatas. Molekul HLA kelas I terdapat pada hampir semua permukaan sel berinti mamalia, yang berfungsi untuk presentasi antigen pada sel T CD8 (pada umumnya Tc). Oleh karena itu perlu terdapat ekspresi MHC kelas I di timus untuk maturasi CD8. B. Molekul MHC Kelas II Pada manusia terdapat 3 macam molekul MHC kelas II polimorfik, yaitu HLA-DR, HLA-DQ, dan HLA-DP. Molekul HLA kelas II terdiri dari 2 rantai polimorfik α dan β yang terikat secara nonkovalen, dan masingmasing terdiri dari 229 dan 237 asam amino yang membentuk 2 domain. Seperti halnya rantai α HLA kelas I, maka rantai α dan β kelas II terdiri dari regio hidrofilik ekstraselular, regio hidrofobik transmembran, dan regio hidrofilik intraselular. Selain itu terdapat pula rantai nonpolimorfik yang disebut rantai invarian, berfungsi untuk pembentukan dan transport molekul MHC kelas II dengan antigen. Molekul MHC kelas II terdapat pada sel makrofag dan monosit, sel B, sel T aktif, sel dendrit, sel Langerhans kulit, dan sel epitel, yang umumnya timbul setelah rangsangan sitokin. Fungsi molekul MHC kelas II adalah untuk presentasi antigen pada sel CD4 (umumnya Th) yang merupakan sentral respons imun, karena itu sel yang mempunyai molekul MHC kelas II umumnya disebut sel APC (antigen presenting cells).
6
Molekul MHC kelas II perlu terdapat dalam timus untuk maturasi sel T CD4 .
Tabel 2.1 Perbedaan MHC Kelas I dan MHC Kelas II MHC Kelas I
MHC Kelas II
Tersusun dari 2 rantai yaitu: rantai Tersusun dari 2 rantai yaitu rantai α : α: α1,α2,α3 dan rantai β2- α1,α2, dan rantai : β1 , β2 mikroglobulin. Mempunyai 1 transmembran yang membran sel APC
molekul Mempunyai 2 molekul transmembran menembus yang menembus membran sel APC
Pada proses sintesisnya, sisi Pada proses sintesisnya, sisi pengikatan pengikatan Ag tidak ditempati Ag ditempati oleh molekul penghalang: Li oleh molekul penghalang dan CLIP, diperlukan HLA-DM untuk melepaskan CLIP dari ikatanya sehingga dapat ditempati oleh fragmen peptide antigen. MHC I berikatan dengan sel T CD MHC II berikatan dengan sel T CD 4 8
7
Mempresentasikan Ag intraseluler, ukuran fragmen peptida 8-10 asam amino, sehingga fragmen antigen virus dipresentasikan oleh MHC kelas I Enzim yang berperan pembentukan peptide proteosom sitosolik.
Mempresentasikan Ag ekstraseluler, dengan ukuran fragmen peptida lebih dari 13 asam amino sehingga fragmen bakteri akan dipresentasikan oleh MHC II
dalam Enzim yang berperan dalam pembentukan adalah peptide adalah protease endosom dan lisosom (misalnya katepsin).
Tempat pepide berikatan dengan Tempat peptide berikatan dengan MHC di MHC adalah di reticulum kompartemen khusus dalam vesikel endoplasma Dipresentasikan oleh semua sel Dipresentasikan oleh sel berinti. Sel menjadi tidak makrofage dan lymposit B. terdeteksi oleh sel NK, sehingga dapat menghentikan aktivitas sel NK, Diekspresikan hematopoietik
pada
dendritik,
sel Diekspresikan pada sel hematopoietik dan sel stromal pada timus
Terdapat beberapa molekul lain yang dikode pula dan daerah MHC tetapi mempunyai fungsi yang berbeda dengan molekul MHC kelas I dan II. Suatu daerah dalam MHC yang dikenal sebagai regio MHC kelas III mengkode sejumlah protein komplemen (C2, B, C4A, C4) dan enzim sitokrom p450 2lhidroksilase. Selain itu terdapat pula gen sitokin TNF a dan b, atau gen lain yang mengkode molekul yang berfungsi untuk pembentukan dan transport molekul MHC dalam sel. βα Gen respons imun (Ir) semula diterangkan pada hewan percobaan sebagai gen yang menentukan respons imun individu terhadap antigen asing tertentu. Dengan pemetaan genetika klasik terlihat bahwa gen Ir mirip dengan gen MHC kelas II, sehingga diangap bahwa molekul MHC keIas II adalah produk gen Ir. 8
Studi tentang struktur molekul kelas I dan II, serta tempat ikatan antigen pada molekul kelas II, memperkuat anggapan bahwa molekul kelas II merupakan mediator gen Ir. Keragaman tempat ikatan antigen dalam berbagai molekul kelas II, serta perbedaan kemampuan molekul kelas II tertentu untuk mengikat antigen spesifik, menimbulkan dugaan bahwa hanya molekul keIas II tertentu saja yang dapat mempresentasikan suatu antigen tertentu pula. Hal ini terlihat pada pemetaan bahwa hanya individu yang mempunyai gen kelas II tertentu saja yang dapat bereaksi terhadap suatu antigen khusus. Contoh tentang efek gen Ir pada manusia adalah respons antibodi IgE terhadap antigenragweed Ra5 yang sangat berhubungan dengan HLA-DR2, serta respons IgE terhadap antigen ragweed Ra6 yang sangat berhubungan dengan HLA-DR5. Walaupun belum jelas terbukti, antigen ragweed dipercaya terikat pada molekul MHC kelas II. 2.3 Struktur Protein Komplek Histokompatibilitas Protein MHC pada manusia pertama kali ditemukan pada tahun 1950, yaitu ketika dilakukan transfusi darah ditemukan antibodi yang bereaksi dengan suatu glikoprotein baru pada permukaan sel leukosit dari orang lain dalam suatu populasi. Protein pada membran leukosit ini disebut human leukocyte antigens atau HLA. Istilah ini digunakan sebagai sinonim dari protein MHC. Kemudian molekul HLA diketahui dapat menjadi target dari imunitas seluler. Apabila leukosit dari dua individu yang berbeda dan tidak ada hubungan keturunan diinkubasi bersama, maka sel T dari masing-masing individu akan bereaksi melawan protein HLA yang diekspresikan oleh sel T yang lain (aktifasi dan proliferasi). Hal ini juga terjadi apabila dilakukan transplantasi jaringan/organ dari suatu individu kepada individu yang lain. Dalam hal ini protein HLA bertindak sebagai penanda (marker) yang dapat membedakan masing-masing sel individu dalam suatu populasi. Dalam hal ini protein MHC bertindak sebagai penghalang (barier) untuk terjadinya histokompatabilitas, yaitu kemampuan jaringan dari satu 9
individu yang ditransplantasikan untuk dapat diterima oleh individu lain, dari terjadinya penolakan secara imunologis. Disamping kepentingan klinis tersebut, fungsi normal dari molekul MHC adalah untuk menyajikan antigen kepada sel T. Protein MHC terdiri dari dua kelas struktur, yaitu protein MHC kelas I dan kelas II. A. Protein MHC kelas I Protein MHC kelas I ditemukan pada semua permukaan sel berinti. Protein ini bertugas mempresentasikan antigen peptida ke sel T sitotoksik (Tc) yang secara langsung akan menghancurkan sel yang mengandung antigen asing tersebut. Protein MHC kelas I terdiri dari dua polipeptida, yaitu rantai membrane integrated alfa (α) yang disandikan oleh gen MHC pada kromosom nomor 6, dan non-covalently associated beta-2 mikroglobulin (β2m). Rantai α akan melipat dan membentuk alur besar antara domain α1 dan α2 yang menjadi tempat penempelan molekul MHC dengan antigen protein. Alur tersebut tertutup pada pada kedua ujungnya dan peptida yang terikat sekitar 8-10 asam amino. MHC kelas satu juga memiliki dua α heliks yang menyebar di rantai beta sehingga dapat berikatan dan berinteraksi dengan reseptor sel T. B. Protein MHC kelas II Protein MHC kelas I terdapat pada permukaan sel B, makrofag, sel dendritik, dan beberapa sel penampil antigen (antigen presenting cell atau APC) khusus. Melalui protein MHC kelas II inilah, APC dapat mempresentasikan antigen ke sel-T penolong (Th) yang akan menstimulasi reaksi inflamatori atau respon antibodi.MHC kelas II ini terdiri dari dua ikatan non kovalen polipeptida integrated-membrane yang disebut α dan β. Biasanya, protein ini akan berpasangan untuk memperkuat kemampuannnya untuk berikatan dengan reseptor sel T. Domain α1 dan β1 akan membentuk tempat untuk pengikatan MHC dan antigen.
10
2.4 Gen
MHC
dan
polimorfisme Pada manusia, gen yang
mengkodekan MHC terletak
pada kromosom nomor 6 dan terbagi menjadi dua kelas gen, yaitu kelas I untuk MHC I dan kelas II untuk MHC II[4]. Kelompok gen yang termasuk kelas I terdiri dari tiga lokus mayor yang disebut B, C, dan A, serta beberapa lokus minor yang belum diketahui. Setiap lokus mayor menyandikan satu polipeptida tertentu. Pada gen pengkode rantai alfa, terdapat banyak alel atau dengan kata lain bersifat polimorfik. Rantai beta-2-mikroglobulin dikodekan oleh gen yang terletak di luar kompleks gen MHC, namun apabila terjadi kecacatan pada gen tersebut maka antigen kelas I tidak bisa dihasilkan dan dapat terjadi defisiensi sel T sitotoksik. Kompleks gen kelas II terdiri dari tiga lokus yaitu DP, DQ, dan DR yang masingmasing mengkodekan satu rantai alfa atau beta.Rantai polipetida yang dihasilkan akan saling berikatan dan membentuk antigen kelas II. Seperti halnya antigen kelas II, antigen kelas II juga bersifat polimorfik (unik) karena lokus DR dapat terdiri atas lebih dari satu macam gen penyandi rantai beta. 2.5 Hubungan dengan penyakit tertentu
11
Selain peran dalam rejeksi transplan, beberapa alel spesifik mempunyai hubungan dengan penyakit tertentu yang umumnya mempunyai kelainan dasar imunologik. Mayoritas penyakit tersebut berhubungan dengan HLA kelas II, dan ini menunjukkan peran penting molekul kelas II untuk presentasi antigen pada sel T CD4. Hubungan itu dinyatakan dengan nilai risiko relatif. Semakin besar nilai tersebut untuk alel HLA tertentu maka semakin meningkat pula risiko seseorang untuk mendapat penyakit tersebut. Terdapat beberapa hipotesis untuk menerangkan asosiasi penyakit dengan HLA ini, yaitu: a. Molekul HLA berperan sebagai reseptor etiologi penyakit (misalnya virus dan toksin), seperti molekul CD4 yang berperan sebagai reseptor HIV. b. HLA bersifat selektif terhadap antigen, yaitu hanya pada lekukan tertentu saja yang mengikat antigen tertentu dan menyebabkan individu yang memilikinya menderita sakit. c. HLA memiliki kemiripan molekul dengan agen penyebab penyakit, ada dua alternatif: (a) agen penyebab dianggap sebagai antigen diri (self) maka tidak ada respon imun atau (b) agen penyebab dianggap antigen asing (non self) sehingga menimbulkan respon imun yang menyerang HLA sehingga terjadi kerusakan jaringan seperti pada kasus autoimun. d. Terjadi penyimpangan ekspresi molekul HLA kelas II pada sel yang tidak biasa; saat terjadi proses rutin degradasi molekul spesifik pada permukaan sel akan menyebabkan fragmen peptida terikat pada tempat ikatan antigen molekul kelas II sehingga terbentuk kompleks imun yang merangsang respon imun terhadap molekul spesifik tersebut.
Molekul HLA dapat berlaku sebagai reseptor untuk etiologi penyakit seperti virus atau toksin. Dugaan ini berdasarkan bukti bahwa molekul lain pada permukaan sel dapat berlaku sebagai reseptor etiologi, misalnya molekul CD4 selaku reseptor HIV.
12
Hanya tempat ikatan antigen pada lekukan molekul HLA tertentu saja yang dapat mengikat suatu antigen penyebab penyakit. Jadi hanya individu yang mempunyai molekul HLA seperti itu saja yang dapat menderita penyakit tersebut. 2.6 TCR (T-cell receptors) sebagai penentu predisposisi penyakit TCR bertanggung jawab terhadap predisposisi untuk suatu penyakit, tetapi karena pengenalan antigen oleh sel T ditentukan oleh molekul HLA maka sebetulnya asosiasi dengan penyakit tersebut adalah dengan HLA. Agen penyebab menyerupai molekul HLA. Hipotesis ini memiliki dua alternatif. Pertama, karena kemiripan agen penyebab dengan molekul HLA maka akan dianggap sebagai antigen diri sehingga dapat menimbulkan kerusakan tubuh tanpa perlawanan sistem imun. Kedua, agen penyebab dikenal sebagai antigen asing sehingga mendapat perlawanan respons imun, dan karena mirip dengan molekul HLA maka sistem imun tubuh akan menyerang molekul HLA pula sehingga terjadi kerusakan jaringan seperti pada penyakit autoimun. 2.7 Penyimpangan ekspresi molekul MHC kelas II Diduga bahwa induksi ekspresi kelas II pada permukaan sel yang tidak biasa mengekspresikan molekul tersebut dapat menimbulkan penyakit. Dalam keadaan normal, molekul spesifik pada permukaan sel selalu mengalami pergantian dan degradasi. Bila sel tersebut tidak mempunyai ekspresi molekul kelas II maka degradasi molekul spesifik itu tidak membawa akibat bila terpajan antigen. Tetapi bila pada sel tersebut timbul ekspresi molekul kelas II, maka degradasi molekul spesifik tersebut akan memulai pemrosesan antigen. Fragmen peptida molekul spesifik yang mengalami degradasi tadi akan terikat pada tempat ikatan antigen molekul kelas II, sehingga terbentuk kompleks imun yang merangsang respons imun terhadap molekul spesifik tersebut. Bila hanya molekul kelas II tertentu saja (misalnya HLA-DR3) yang dapat mengikat fragmen molekul spesifik, barulah terlihat asosiasi antara HLA dengan penyakit tertentu.
13
2.8 Penyakit Autoimun Penyakit Auto Imun (PAI) adalah suatu keadaan dengan ciri-ciri ‘ketidakmampuan’ sistim imun untuk membedakan sel atau jaringan sendiri (self) dari sel atau jaringan asing (nonself), jaringan tubuh dianggap antigen asing dan timbul respon imun humoral (RIH)/ seluler (RIS) dengan merusak jaringan oleh limfosit T/ makrofag dan membentuk antibody. Penyakit autoimun dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya: A.Pemaparan sequestered antigen Pembentukan Ag dalam organ tertutup kemudian Ag terisolasi sehingga tidak kontak dengan jaringan limforetikuler
dan
tidak terjadi respon
imun. Tetapi jika Ag keluar dari organ dan terpapar Limforetikuler (Sistim imun) pembentukan Antibodi (misalnya terhadap sperma, terhadap lensa mata).
Pemaparan saja tidak cukup, tapi harus melalui ekspresi antigen
melalui APC dan berbagai mediator yang terlibat dalam respons imun. B. Gangguan mekanisme homeostatik Dalam keadaan normal sel T dan sel B autoreaktif selalu ada; Tubuh mempunyai
mekanisme
homeostatik
yang
melindunginya
terhadap
rangsangan dari jaringan tubuh yang tidak dikendaki, melalui : 1. Menyingkirkan sel autoreaktif saat perkembangan. 2. Penekanan respons yang tidak dikehendaki di kemudian hari . 3. Menyingkirkan klon sel-sel autoreaktif . Kunci mekanisme ini adalah pengendalian sel T (Th/Ts) baik di timus atau perifer . C. Reaksi silang dan molekuler mimicry Autoantigen
mengalami modifikasi/perubahan struktur autoantigen
(gangguan sintesis/perubahan epitop baru) sehingga sel T terkecoh dan terpacu membentuk autoreaktifitas perubahan autoantigen : 14
1. Penggabungan autoantigen dengan substansi dari luar (virus) . 2. Masuknya Ag yang punya struktur molekul mirip autoantigen (molekuler mimicry) sehingga terjadi reaksi silang (Ag streptokokus pada demam rematik mirip dengan sel-sel jaringan jantung) D. Gangguan mekanisme pengaturan oleh jaringan idiotip – antiidiotip Mekanisme pengaturan dapat terganggu jika ada virus. Reaksi autoimun dapat terjadi : jika epitop pada virus menunjukkan struktur yang sama dengan idiotip pada reseptor T atau B autoreaktif, jika idotip pada Ab yang pembentukannya dirangsang oleh virus, menunjukkan struktur yang dengan idiotip pada sel T dan sel B autoreaktif, atau merupakan anti idiotip bagi reseptor T & B. Virus yang menginfeksi sel memproduksi hormon sehingga terjadi pembentukan antihormon yang dapat merusak sel yang bersangkutan, juga menyulut pembentukan antiidiotip yang merangsang reaksi sitotoksik terhadap sel yang memiliki reseptor hormon tersebut. E. Kesalahan ekspresi MHC kelas II Autoantigen terpapar dengan limfosit T, disertai penampilan antigen melalui MHC kelas II. Secara normal autoreaktifitas yang potensial terbatas pada beberapa sel, mis. Makrofag, sel B, sel T. Dimana ekspresi Ag MHC II dapat diinduksi oleh berbagai faktor, diantaranya virus. Jika MHC kelas II diekspresikan di permukaan maka auto Ag menjadi potensial untuk merangsang autoimunitas. F. Stimulasi non imunologik Stimulasi sel B secara non selektif sebagai aktivator poliklonal. Produk dari mikroba (lipopolisakarida, enzim proteolitik), beberapa jenis virus Ebstein Baa (EBV) dapat juga merangsang limfosit B membentuk antibodi poliklonal langsung tanpa memerlukan bantuan sel T penolong. Stimulasi terjadi akibat interaksi langsung dengan sel B, atau dengan cara menginduksi
15
sel T atau mekrofag untuk mensekresi faktor non spesifik, sehingga sel B terangsang untuk membentuk autoantibodi. G. Genetik Faktor genetik utama yang berkaitan dengan penyakit autoimun adalah MHC kelas II: 1. Korelasi positif beberapa PAI dengan spesifisitas HLA 2. HLA DR3 dengan penyakit Addison’s 3. HLA DR4 dengan artritis rheumatoid Spektrum penyakit autoimun meliputi: 1. Penyakit autoimun yang spesifik organ (Hashimoto, myxedema primer, anemia pernisiosa). 2. Penyakit autoimun yang tidak spesifik organ/sistemik (SLE, Skleroderma, dermatomyositis, Artritis reumatoid juvenil) 3. Penyakit autoimun yang kerusakannya cenderung spesifik organ tertentu, tetapi autoantibodi yang dibentuk tidak spesifik organ tersebut (anemia hemolitik autoimun, ITP, sirosis bilier primer). Sebagian besar penyakit yang berhubungan dengan HLA adalah kelompok penyakit autoimun, dan prototip asosiasi ini adalah hubungan antara HLA-B27 dan spondilitis angkilosis. Dengan risiko relatif 91, maka individu ras Kaukasia HLA-B27 (+) mempunyai risiko 91 kali lebih besar untuk mendapat spondilitis angkilosis dibandingkan dengan individu HLA-B27 (-). Ekspresi molekul MHC pada berbagai ras dapat berbeda bermakna sehingga harus selalu dibandingkan dengan kontrol. Contohnya, HLA-B27 terdapat pada 48% ras hitam penderita spondilitis angkilosis di USA dibandingkan dengan 2% pada kelompok kontrol ras yang sama sehingga risiko relatif ras hitam di USA adalah 31.
16
Karena daerah MHC sangat luas maka dapat saja terjadi rekombinasi genetik pada berbagai lokus individu. Rekombinasi ini tidak seluruhnya terjadi secara acak karena terbukti bahwa beberapa alel memperlihatkan kecenderungan tinggi untuk merangkai dengan alel lain, yang disebut sebagai rangkaian yang tidak seimbang (linkage disequilibrium). Jadi dapat saja suatu penyakit yang selama ini kita kenal sebagai berhubungan dengan alel MHC tertentu, sebetulnya dipengaruhi alel lain yang terangkai dengan alel terdahulu. Contohnya adalah sindrom Sjogren yang dikenal berhungan dengan HLA-B8, sebetulnya dipengaruhi oleh HLA-DR3 yang terangkai dengan HLA-B8. Yang sangat menarik adalah bahwa ternyata hubungan antara penyakit autoimun dengan HLADR3 cukup sering terlihat. 2.9 Respons imun Keadaan lain yang dihubungkan dengan MHC adalah respons imun. Kemampuan individu untuk membuat respons imun adekuat berhubungan dengan regio MHC kelas II, yang menentukan kemampuan presentasi antigen kepada sel T yang harus berkaitan dengan molekul HLA. Selain itu antigen tertentu lebih suka bergabung dengan molekul HLA tertentu pula. Jadi suatu molekul HLA kelas II dapat lebih baik mengikat antigen dibanding molekul HLA kelas II lainnya, sehingga presentasi antigen pun akan lebih efektif. Karena itu jenis HLA seseorang akan menentukan baik-buruknya respons imun yang berhubungan dengan produk MHC miliknya. Terjadinya respon imun spesifik dimulai saat reseptor pada limfosit mengenali antigen. Reseptor limfosit B berupa antibodi yang terikat di membran dapat mengenali bermacam makromolekul serta bahan kimia kecil yang terlarut pada permukaan sel, sedangkan limfosit T hanya dapat mengenali fragmen peptida dari antigen protein setelah peptida tersebut dipresentasikan oleh MHC pada sel pejamu. Antibodi di permukaan membran limfosit B berperan dalam pengenalan antigen berupa protein, polisakarida, lipid dan zat kimia kecil. Sel B akan 17
berdiferensiasi menjadi sel yang mensekresi antibodi yang akan masuk ke dalam sirkulasi dan cairan mukosa, berikatan dengan antigen, kemudian menetralisasi dan mengeliminasinya. Reseptor pengenal antigen di sel B dan antibodi umumnya bisa mengenali antigen dalam bentuk aslinya. Folikel limfoid di kelenjar getah bening dan limfa banyak mengandung follicular dendritic cells (FDC) yang berfungsi mempresentasikan antigen kepada sel B yang teraktivasi. Sel FDC berikatan dengan antibodi yang menyelubungi antigen dengan mempergunakan reseptor Fc. Reseptor terhadap komplemen C3d dipergunakan untuk berikatan dengan komplek komplemen antigen. Pada respon imun humoral antigen tersebut dikenali limfosit B spesifik dan berfungsi menyeleksi sel B yang afinitasnya tinggi. Sebagian besar limfosit T mengenali antigen peptida yang terikat pada molekul MHC pada sel APC. Pada setiap individu berbagai klon sel T dapat mengenali peptida tersebut, dan disebut restriksi MHC. Setiap sel T punya spesifitas ganda, T cell receptor (TCR) mengenali peptida antigen dan sekaligus mengenali molekul MHC yang membawanya. Limfosit T naif memerlukan APC agar dapat memulai respon imun. Antigen protein yang masuk ke tubuh akan ditangkap oleh APC, dikumpulkan di organ limfoid perifer dan memicu respon imun. Pada epitel yang merupakan pertahanan fisik terhadap infeksi, terkandung sekumpulan APC golongan sel dendrit yang masih imatur dan belum efisien dalam menstimulasi sel T. Sel dendrit menangkap antigen mikroba yang masuk ke epitel dengan cara (1) fagositosis apabila antigen berwujud partikel, dan (2) pinositosis untuk antigen terlarut. Reseptor pada sel dendrit akan mengenali residu manosa terminal pada glikoprotein mikroba. Saat makrofag dan sel epitel bertemu mikroba maka epitel akan mengeluarkan sitokin tumor necrosis factor (TNF) dan interleukin I (IL-I). Sitokin menyebabkan sel dendrit yang telah menangkap antigen terlepas dari epitel.
18
Reseptor kemokin yang dihasilkan kelenjar getah bening yang penuh sel T akan mengarahkan sel dendrit menuju pembuluh limfe, kemudian bergerak ke kelenjar getah bening regional, dan selama migrasi tersebut sel dendrit akan mengalami maturasi dari semula sel yang menangkap antigen menjadi sel APC yang menstimulasi limfosit T. Pada proses maturasi terjadi sintesis molekul MHC dan kostimulatornya, selanjutnya diekspresikan di permukaan APC. Mikroba yang berhasil menembus epitel dan memasuki jaringan parenkim akan ditangkap oleh sel dendrit imatur dan dibawa ke kelenjar getah bening; sedangkan antigen terlarut di saluran limfe akan diambil sel dendrit di kelenjar getah bening; dan antigen dalam darah diambil oleh sel dendrit dalam limfa. Antigen protein dikumpulkan dalam kelenjar getah bening sehingga bertemu sel T naif yang rutin bersirkulasi melewati getah bening minimal sehari sekali. Respon sel T naif terhadap antigen terhitung efisien, dimulai di kelenjar getah bening dalam waktu 12-18 jam setelah masuknya antigen ke dalam tubuh. Pada respon imun tergantung sel T (T cell dependent immune response) interdigitating dendritic cells merupakan sel yang paling potensial mengaktifasi sel T naif. Sel dendrit juga mempengaruhi sifat respon imun, misalnya terdapat sel dendrit yang mengarahkan diferensiasi sel T CD4 naif untuk melawan satu jenis mikroba. Jenis sel APC yang lain adalah makrofag yang tersebar di semua jaringan, yang pada respon imun selular berfungsi memfagosit mikroba dan mempresentasikan pada sel T efektor. Selanjutnya sel T efektor mangaktivasi makrofag agar membunuh mikroba. Limfosit B yang teraktivasi akan berperan penting dalam respon imun humoral, yaitu mencerna antigen protein dan mempresentasikan pada sel T helper. Sel APC dapat memulai respon sel T CD8 terhadap antigen mikroba seluler dengan cara memakan sel yang terinfeksi dan mempresentasikan antigen kepada limfosit T CD8. Selanjutnya sel T naif akan teraktivasi menjadi spesifik terhadap antigen tersebut. Presentasi oleh sel T yang memakan sel terinfeksi bisa juga dilakukan terhadap sel T CD4.
19
BAB III PENUTUP 3.1 KESIMPULAN
Komplek Histokompatibilitas merupakan satu set gen yang sangat polimorfik, produknya dipaparkan pada permukaan beberapa sel. Gen-gen MHC mempunyai peran yang sangat penting dalam respon-respon imun terhadap protein antigen. Hal ini karena limfosit T dengan antigen spsifik tidak dapat mengenali antigen dalam bentuk bebas atau terlarut, tetapi hanya mengenali antigen dalam bentuk peptida yang terikat secara kovalen dengan molekul MHC. Dengan kata lain, MHC membantu memaparkan peptida-peptida antigen kepada limfosit T. Pada bagian gen terdapat 2 kelas MHC, yaitu MHC kelas I dan MHC kelas II dimana MHC kelas I dan MHC kelas II digunakan untuk mengenali antigen. Molekul MHC kelas I berfungsi membawa antigen kepada sel-sel limfosit T pembunuh dan molekul MHC kelas II berfungsi membawa antigen ke sel-sel limfosit T penolong. Alel spesifik mempunyai hubungan dengan penyakit tertentu yang umumnya mempunyai kelainan dasar imunologik. Mayoritas penyakit tersebut berhubungan dengan HLA kelas II, dan ini menunjukkan peran penting molekul kelas II untuk presentasi antigen pada sel T CD4. Hubungan itu dinyatakan dengan nilai risiko relatif. Semakin besar nilai tersebut untuk alel HLA tertentu maka semakin meningkat pula risiko seseorang untuk mendapat penyakit tersebut.
20
DAFTAR PUSTAKA David S. Wilkes, William J. Burlingham (2004). Immunobiology of organ transplantation. Springer. (Inggris) ISBN 978-0-306-48328-8. Pandjassarame Kangueane (2009). Bioinformation Discovery: Data to Knowledge in Biology. Springer. (Inggris) ISBN 978-1-4419-05185. Anthony L. DeFranco, Richard M. Locksley, Miranda Robertson (2007). Immunity: the immune response in infectious and inflammatory disease. Oxford University Press. ISBN 978-0-19920614-8. Abdul Ghaffar, Prakash Nagarkatti (2009). "MHC: GENETICS AND ROLE IN TRANSPLANTATION". Microbiology and Immunology Online. Nobuaki Ishii, Mitsuro Chiba, Masahiro Iizuka, Hiroyuki Watanabe, Tomonori Ishioka, Osamu Masamune (1992). "Expression of MHC class II antigens (HLA-DR, -DP, and -DQ) on human gastric epithelium". Journal of Gastroenterology (Inggris) 27 (1): 23– 28. doi:10.1007/BF02775060. Arwin AP Akib, 2010, Komplek Histokompatibilitas Major, dalam Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak edisi kedua, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta. Zakiudin Munasir dan Nia Kurniati, 2010, Penangkapan dan Presnetasi Antigen, dalam Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak edisi kedua, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta.
21