Tugas Kosmetologi dan Teknologi Kosmetik
“Formulasi dan Evaluasi Anti Jerawat Topikal dari Ekstrak Ketumbar ” Dosen : Dra. Nurul Akhatik, M.Si., Apt.
Disusun Oleh :
Afnita Mifturopah
14330141
Miftahul Jannah
14330143
PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS FARMASI INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL 2017
KATA PENGANTAR Dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, penulisan makalah Kosmetologi dan Teknologi Kosmetik ini telah diselesaikan yang merupakan makalah yang sederhana, hanya membahas secara singkat mengenai Formulasi mengenai Formulasi dan Evaluasi Formulasi Anti Jerawat Topikal dari Ekstrak Ketumbar. Makalah ini ditujukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kosmetologi dan Teknologi Kosmetik yang disampaikan oleh Ibu Dra. Nurul Akhatik, M.Si., Apt. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, khususnya kepada Ibu Dra. Nurul Akhatik, M.Si., Apt selaku dosen Kosmetologi dan Teknologi Kosmetik yang telah memberikan tugas ini. Penulis memperoleh banyak manfaat setelah menyusun menyusun makalah ini. Menyadari akan keterbatasan dan kemampuan, kemampuan, kami bersedia menerima kritik dan saran yang bersifat membangun. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca.
Jakarta, November 2017
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ...........................................................................................................
i
Daftar Isi ....................................................................................................................
ii
BAB I
BAB II
Pendahuluan 1.1 Latar Belakang ....................................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah ...............................................................................
2
1.3 Tujuan Penulisan .................................................................................
2
Tinjauan Pustaka 2.1 Tanaman Ketumbar .............................................................................
3
2.2 Jerawat (Acne Vulgaris) ......................................................................
4
2.3 Uji Aktivitas Mikroba .........................................................................
6
2.4 Gel .......................................................................................................
7
BAB III Metodologi Penelitian 3.1 Bahan dan Metode ...............................................................................
9
3.2 Formulasi Anti Jerawat Topikal ..........................................................
9
3.3 Prosedur Pengambilan Ekstrak Ketumbar ...........................................
10
3.4 Cara Pembuatan Gel ............................................................................
10
3.5 Evaluasi Sediaan Gel Anti Jerawat Topikal dari Ekstrak Ketumbar...
11
3.6 Prosedur Uji Aktivitas Mikroba ..........................................................
12
BAB IV Pembahasan 4.1 Hasil ....................................................................................................
16
4.2 Pembahasan .........................................................................................
17
BAB V Penutup 5.1 Kesimpulan..........................................................................................
20
Daftar Pustaka ............................................................................................................
21
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit kulit di Indonesia pada umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri, jamur, parasit dan penyakit alergi. Infeksi bakteri merupakan salah satu penyebab penyakit pada kulit seperti jerawat (Acne vulgaris) yang menyerang lebih dari 85% kalangan remaja di seluruh dunia. Prevalensi jerawat menunjukkan bahwa tingkat keparahan jerawat semakin menurun seiring bertambahnya usia. Jerawat dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain produksi sebum yang berlebihan, hiperkeratinasi abnormal pada folikel, hiperkeratinosit, dan aktivitas bakteri Salah satu solusi mengatasi jerawat antara lain dengan penggunaan o bat-obat antijerawat. Namun, semakin tinggi penggunaan antibiotik dalam waktu yang cukup lama maka semakin tinggi pula mikroorganisme yang bersifat resisten. Adanya perkembangan resistensi antibiotik maka penggunaan antibiotik tersebut harus dibatasi. Kulit yang berminyak menyebabkan pori-pori tersumbat, Propionibacterium acne dan Staphylococcus epidermidis adalah organisme utama yang pada umumnya memberi kontribusi terhadap terjadinya jerawat. Propionibacterium acnes adalah termasuk gram-positif berbentuk batang, tidak berspora, sedangkan Staphylococcus epidermidis sel gram positif berbentuk bulat biasanya tersusun dalam bentuk kelompok-kelompok yang tidak teratur seperti anggur. Ramuan sebagai bahan pengobatan jerawat topikal menempati posisi teratas karena aman, cair, familiar bagi pengguna, ekonomis, mudah didapat dan multifungsi. Angka dari Kesehatan Dunia Organisasi menyarankan bahwa 4 miliar orang, siapa yang membuat hampir 70% populasi dunia, adalah pengguna herbal obat untuk b eberapa tujuan perawatan kesehatan primer. Oleh karena itu dibutuhkan kosmetika untuk mengobati jerawat agar bakteri penyebab jerawat tersebut dapat dihilangkan. Sediaan anti jerawat telah banyak beredar di pasaran, baik dalam bentuk gel, salep, krim dan losio tetapi dari jenis sediaan tersebut salep lebih cocok digunakan untuk jerawat. Sediaan dalam bentuk gel banyak digunakan dalam pembuatan tata rias rambut, rias wajah dan perawatan kulit. Keuntungan dari sediaan gel yaitu tidak lengket 1
dan juga merupakan sediaan yang cepat menguap dan dapat menghantarkan obat dengan baik ke kulit hal ini menyebabkan jerawat bisa cepat kering. Saat ini masih banyak masyarakat yang lebih memilih menggunakan kosmetika tradisional, meskipun penggunaannya sedikit rumit namun lebih aman untuk kesehatan kulit. Banyak tumbuh-tumbuhan di sekitar kita yang dapat dimanfaatkan untuk kesehatan maupun kecantikan. Salah satu cara alternatif yang dapat ditempuh adalah dengan memanfaatkan antibakteri alami yang berpotensi untuk menghambat atau membunuh bakteri yang resisten terhadap antibiotik tertentu, diantaranya adalah tanaman ketumbar (Coriandrum sativum L.).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah ekstrak air ketumbar memiliki potensi untuk melawan bakteri p enyebab jerawat? 2. Bagaimana hasil dari uji aktivitas antimikroba yang dilakukan pada formulasi anti jerawat topikal dari ekstrak air ketumbar?
1.3 Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui potensi ekstrak air ketumbar dalam melawan bakteri pen yebab jerawat. 2. Untuk mengetahui hasil dari uji aktivitas antimikroba yang dilakukan pada formula anti jerawat topikal dari ekstrak air ketumbar.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Ketumbar ( Coriandrum sativum L.)
Taksonomi tanaman ketumbar dapat diklasifikasi sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Sub kelas
: Rosidae
Ordo
: Apiales
Famili
: Apiaceae
Genus
: Coriandrum
Spesies
: Coriandrum sativum Linn.
Tanaman ketumbar berupa semak semusim (terna), dengan tinggi 20- 100 cm yang terdiri akar, batang, daun, bunga dan buah. Buahnya berbentuk bulat yang berwarna kuning kecoklatan. Buah ketumbar ini mengandung beberapa komponen minyak atsiri, salah satu senyawa aktifnya berasal dari senyawa monoterpen asiklik yaitu linalool yang berjumlah sekitar 60-75%. Buah ketumbar ini berkhasiat untuk pengobatan diare, nyeri perut akibat kembung, nyeri saat haid, gangguan lambung, serta diketahui memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri Gram positif dan Gram negatif. Aktivitas antibakteri yang dimiliki tan aman obat tradisional dapat dimanfaatkan untuk pengobatan infeksi pada kulit termasuk jerawat. 2.1.1
Kandungan tanaman ketumbar
Ketumbar Mengandung beberapa komposisi zat kimia, seperti sabinene, myrcene, a-terpinene, ocimene, linalool, geraniol, dekanal, desilaldehida, trantridecen, asam petroselinat, asam oktadasenat, d-mannite, skopoletin, p-simena, kamfena, dan felandren.
2.1.2
Manfaat tanaman ketumbar
3
Coriandrum sativum secara medis terbukti memiliki aktivitas terapeutik seperti hipoglikemik, anti inflamasi, hipolipidemik, antioksidan, anti jaringan parut properti karena adanya asam salisilat dan anti aktivitas mikroba melawan bakteri dan jamur.
2.2 Jerawat (Acne vulgaris)
Jerawat (Acne vulgaris) adalah penyakit radang folikel rambut (kelenjar pilosebasea) pada kulit yang timbul karena aktivitas hormon androgen yang merangsang produksi sebum yang berlebihan,
hiperkeratinasi
abnormal
pada
folikel,
hiperkeratinosit,
kolonisasi
bakteri
Propionibacterium acne, Staphylococcus epidermidis dan Malassezia furfur di kanal folikuler yang merangsang timbulnya peradangan pada kulit. Acne vu lgaris merupakan kelainan kulit yang umum terjadi pada lebih dari 85% populasi dunia, khususnya remaja. Adanya produksi sebum yang meningkat menyebabkan penyumbatan aliran sebum ke permukaan kulit sehingga terjadi akumulasi sebum pada folikel rambut. Akumulasi sebum tersebut akan memicu bakteri penyebab jerawat menghasilkan lipase sehingga sebum trigliserida terhidrolisis menjadi asam lemak b ebas. Komponen sebum ini akan membentuk komedo yang semakin membesar sehingga merangsang timbulnya peradangan pada kulit yaitu jerawat.
2.2.1
Patogenesis
Beberapa faktor bertanggung jawab atas patogenesis jerawat sebagai sebum, diferensiasi folikel abnormal, hormon, bakteri Propionibacterium acne dan Staphylococcus epidermidis, pembengkakan dan nutrisi.
Hormon: Androgen hanya memiliki peran pemunculan dalam pengembangan jerawat karena mereka (testosteron dan dehirotestosteron) merangsang proliferasi dan diferensiasi sebosit dan keratinosit infundibular 14. Selama pubertas, peningkatan dehirotestosteron (DHT) dapat menyebabkan hiperkeratisasi oleh tindakan mereka pada keratinosit infundibular. Hyperkeratinisation pada infundibulum folikuler dan saluran sebaceous adalah salah satu peristiwa paling penting dalam perkembangan lesi jerawat.
Sebum: Sebum adalah produk sekresi kaya lipid dari kelenjar sebaceous, yang disekresikan oleh sebocytes yang bersama dengan keratinosit dapat bertindak sebagai
4
sel kekebalan pada kulit. Tingkat keparahan jerawat berbanding lurus dengan produksi sebum. Sekresi sebum meningkat karena pembesaran kelenjar sebaceous di bawah tindakan stimulasi androgen. Sebum pada pasien jerawat ditandai dengan adanya lipoperoksida karena peroksidasi dari squalene dan kadar antioksidan sebum antioksidan yang berkurang.
Diferensiasi folikular epitel abnormal, ditandai dengan perubahan paling utama pada unit pilosebase pada pasien jerawat. Sel desquamated cornified dari kanal atas folikel menjadi tidak normal; alih-alih menjalani proses penumpahan dan pelepasan normal melalui lubang folikular, sel-sel ini membentuk steker hiperkeratotik mikroskopik yang masih ada (microcomedo) di kanal folikular. Proses ini disebut comedogenesis. Pembesaran microcomedo yang progresif menimbulkan comedo yang terlihat secara klinis yang bisa menjadi komedo/kepala hitam (muncul datar atau sedikit terangkat dan menggelembung dari orifice folikular), berwarna hitam karena oksidasi pigmen melanin, atau sebagai komedo tertutup/kepala putih, memiliki permukaan tertutup.
Bakteri Propionibacterium acne adalah anaerobic obligat diptheroid yang berada di bawah permukaan kulit manusia dan menempati androgen yang merangsang folikel sebaceous. Stres oksidatif dalam unit pilosebaceous mengubah lingkungan dari aerobik menjadi anaerobik yang paling sesuai untuk bakteri gram positif ini. Ini menyebabkan terjadinya inflamasi pada jerawat. Staphylococcus epidermidis juga merupakan populasi flora kulit manusia dan merupakan organisme aerobik yang terkait dengan infeksi superfisial dalam unit sebaceous.
Peradangan: Peradangan adalah akibat langsung atau tidak langsung proliferasi P. acne. Bakteri menghasilkan lipase ekstraselular yang menghidrolisis trigliserida sebum menjadi gliserol, digunakan oleh organisme sebagai substrat pertumbuhan, dan lemak asam, yang memiliki proinflammatory dan comedogenic properti. Selanjutnya, P.acne dapat mengaktifkan keratinosit dan sebosit melalui molekul TLR, CD14 dan CD1. TLR2 adalah diekspresikan pada permukaan makrofag sekitarnya folikel pilosebaceous pada lesi jerawat. Aktivasi TLR2 menyebabkan pemicu faktor transkripsi faktor dengan demikian produksi sitokinin yang sepanjang den gan IL8 dan IL 12, dilepaskan dari TLR2 positif Monosit, menghasilkan lesi inflamasi jerawat. Jerawat inflamasi terdiri dari pustula, papula dan nodul14. 5
Nutrisi: Jerawat juga didorong oleh faktor pertumbuhan (terutama faktor pertumbuhan
mirip insulin [IGF-1]) yang bekerja pada kelenjar sebaceous dan keratinosit. Produk susu mengandung steroid 5α-reduced harmones dan prekursor steroid lainnya dari DHT yang menggerakkan fungsi kelenjar sebaceous. Minum susu menyebabkan IGF1 langsung naik melalui elevasi yang tidak proporsional pada gula darah dan kadar insulin serum. Beban glikemik tinggi makanan juga menyebabkan peningkatan IGF-1 pada DHT. IGF-1 Tingkat selama masa remaja berhubungan erat dengan aktivitas jerawat dan kemungkinan sinergis dengan steroid hormon.Melalui studi berbasis populasi yang sedang terjadi mengamati bahwa sebagai diet westernize, prevalensi jerawat meningkat. Studi menunjukkan hubungan antara jerawat dan terpilih pola diet makanan terpilih15. 2.2.2
Pengobatan
Tujuan pengobatan jerawat adalah mencegah timbulnya jaringan parut akibat jerawat, mengurangi proses peradangan kelenjar polisebasea dan frekuensi eksaserbasi jerawat, serta memperbaiki penampilan pasien. Ada tiga hal yang penting pada pengobatan jerawat, yaitu: a. Mencegah timbulnya komedo, biasanya digunakan bahan pengelupas kulit. b. Mencegah pecahnya mikrokomedo atau meringankan reaksi peradangan. c. Mempercepat resolusi lesi peradangan. Pengobatan terhadap jerawat dapat dikategorikan menjadi dua yaitu pengobatan yang diberikan dengan resep dokter dan tanpa resep dokter. Obat jerawat tanpa resep dokter seperti benzoil peroksida, sulfur, dan asam salisilat memiliki efek samping iritasi dan tak jarang mengakibatkan parakeratolitik. Pengobatan dengan resep dokter pun tak jarang menggunakan antibiotik seperti klindamisin, eritromisin, tetrasiklin, asam azeloat, tretinoin, dan adaps lanae. Penggunaan antibiotik tersebut dalam jangka panjang dapat menimbulkan resistensi, fotosensitivitas, kerusakan organ dan imunohipersensitivitas. 2.3 Uji aktivitas antimikroba
Aktivitas antibakteri diukur secara in vitro untuk menentukan potensi zat antibakteri dalam larutan, konsentrasi dalam cairan tubuh dan jaringan, serta kepekaan mikroorganisme terhadap obat pada konsentrasi tertentu. Stabilitas obat, pH lingkungan, komponen-komponen pembenihan, 6
besarnya inokulum, masa pengeraman, dan aktivitas metabolik mikroorganisme merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi aktivitas antibakteri in vitro sehingga harus diperhatikan. Metode pengukuran daya antibakteri ada dua macam, yaitu : a. Dilusi Metode dilusi digunakan untuk menghitung konsentrasi minimal antibakteri yang dibutuhkan untuk menghambat atau membunuh mikroorganisme. Prinsipnya adalah antibakteri diencerkan sampai diperoleh beberapa konsentrasi. Pada dilusi cair, masingmasing konsentrasi sampel ditambah suspensi bakteri dalam media. Konsentrasi terendah dimana terjadi penghambatan pertumbuhan bakteri yang ditunjukkan dengan tidak adanya kekeruhan disebut Kadar Hambat Minimal (KHM). Pada dilusi padat tiap konsentrasi sampel dicampur dengan media agar lalu ditanami bakteri. Konsentrasi yang mempunyai hambatan masing-masing digores pada media padat dan diinkubasi hingga didapat Kadar Bunuh minimal (KBM). b. Difusi Metode difusi digunakan untuk menentukan sifat suatu bakteri uji yaitu p eka, resisten atau intermediet terhadap suatu antibakteri. Prinsipnya yaitu uji aktivitas berdasarkan pengamatan luas daerah hambatan pertumbuhan bakteri dari titik awal pemberian ke daerah difusi. Pada metode difusi ini dikenal beberapa metode, yaitu metode Kirby-Bauer (disk diffusion) dan metode sumuran. Terdapat dua macam zona dalam pembacaan hasil pengukuran daya antibakteri dengan metode difusi, yaitu : 1) Zona radikal adalah daerah di sekitar disk dimana tidak ditemukan adanya pertumbuhan bakteri sama sekali 2) Zona irradikal adalah daerah di sekitar disk dimana hanya terjadi penghambatan pertumbuhan bakteri tetapi bakteri tersebut tidak mati. Pengukuran aktivitas antibakteri dilakukan dengan mengukur diameter zona tersebut. 2.4 Gel
Menurut Farmakope Indonesia edisi IV, gel kadang-kadang disebut jeli, merupakan sistem semipadat terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar, terpenetrasi oleh suatu cairan.
7
Menurut Formularium Nasional, gel adalah sediaan bermassa lembek, berupa suspensi yang dibuat dari zarah kecil senyawa anorganik atau makromolekul senyawa organik, masingmasing terbungkus dan saling terserap oleh cairan.
2.4.1
Keuntungan dan kerugian gel
1) Keuntungan sediaan gel Untuk hidrogel: efek pendinginan pada kulit saat digunakan, penampilan sediaan yang jernih dan elegan, pada pemakaian di kulit setelah kering meninggalkan film tembus pandang, elastis, mudah dicuci dengan air, pelepasan obatnya baik, kemampuan penyebarannya pada kulit baik. 2) Kekurangan sediaan gel Untuk hidrogel: harus menggunakan zat aktif yang larut di dalam air sehingga diperlukan penggunaan peningkat kelarutan seperti surfaktan agar gel tetap jernih pada berbagai perubahan temperatur, tetapi gel tersebut sangat mudah dicuci atau hilang ketika berkeringat, kandungan surfaktan yang tinggi dapat menyebabkan iritasi dan harga lebih mahal.
.
8
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Bahan dan Metode
a. Bahan yang digunakan:
Daun dan biji kering Coriandrum sativum atau ketumbar
Carbopol 934
PEG 400
Propylene glycol
Methyl paraben
Propyl paraben
Triethanolamine
Air destilasi
Propionibacterium acne Staphylococcus epidermidis
b. Metode yang digunakan:
Metode disk diffusion
Metode pengenceran agar
3.2 Formulasi anti jerawat topikal
Komposisi
Massa (mg) Fa1
Fa2
Fa3
Fa4
0.5
1
1.5
2
PEG 400
5
5
5
5
Propylene glycol
15
15
15
15
Methyl paraben
0.15
0.15
0.15
0.15
Propyl paraben
0.03
0.03
0.03
0.03
Carbopol 934
9
Triethanolamine
q.s
q.s
q.s
q.s
Distilled water q.s
100
100
100
100
3.3 Prosedur pengambilan ekstrak ketumbar
Daun hijau dari ketumbar dikeringkan di tempat teduh.
Setelah kering, daun ketumbar ditumbuk untuk dijadikan bubuk.
200 g bubuk ketumbar dimaserasi dengan air suling selama 7 hari pada suhu kamar (25 ± 2ᵒC).
Kemudian dilakukan agitasi, peredaran pelarut sering dipertahankan untuk menurunkan lapisan batas fenomena dan meningkatkan efisiensi proses ekstraksi.
Setelah 7 hari, larutan yang diekstraksi tadi disaring dan m arc ditekan.
Lalu kedua tegangan cairan itu dan cairan yang diekspresikan digabungkan bersama. Kemudian ekstrak yang diperkaya, yang disebut miscella, di dalamnya terkonsentrasi sebuah
Selanjutnya ekstrak dikeringkan dengan menggunakan evaporator vakum rotary pada suhu rendah. Prosedur ini digunakan untuk mempersiapkan hydroethanolic dan ekstrak halus dengan sedikit modifikasi pada jenis pelarut yang digunakan etanol air suling (60:40) digunakan untuk ekstrak hidroksanolik sedangkan eter digunakan untuk ekstrak halus.
3.4 Cara pembuatan gel
Sejumlah metil paraben yang telah ditimbang dilarutkan dalam 5 ml air panas dan propil paraben ditambahkan dengan sedikit pendinginan air untuk karbohidrat yaitu karbopol 934 yang didispersikan dengan pengadukan terus menerus selama 20 menit setelah penambahan dari 50 ml air suling.
Dispersi ini disimpan semalaman dalam perendaman. Dalam gelas lain d itambahkan propilen glikol dan polietilen glikol (PEG 400).
Campuran ini seiring dengan konsentrasi dari ekstrak berair yang sesuai dengan MIC-nya dimasukkan ke dalam gelas karbohidrat dengan pengadukan. Volume dibuat dengan air suling dan pengadukan dilakukan dengan cepat. 10
Trietanolamina ditambahkan dan membentuk gel menyesuaikan pH menjadi 6,8.
3.5 Evaluasi sediaan gel anti jerawat topikal ekstrak ketumbar
a. Parameter fisik Parameter fisik formulasi diperiksa secara visual yang terdiri dari:
Warna
: Warna formulasi diperiksa melawan latar belakang putih.
Konsistensi
: Konsistensi diperiksa dengan menerapkannya ke kulit.
Keg Greasiness : Tingkat greasiness dinilai dengan aplikasi ke kulit.
Bau
: Bau gel diperiksa dengan cara mencampur gel ke dalam air.
b. pH Sekitar 20 mg formulasi diambil dalam gelas kimia dan dilakukan pengukuran pH dengan menggunakan pH digital meter dalam waktu 24 jam setelah pembuatan. c. Viskositas Viskositas gel yang diformulasikan ditentukan dengan menggunakan Brookfield viscometer spindle # 7 pada 50 rmps dan 25ᵒC. Pembacaan dial yang sesuai pada viskometer itu dicatat. Kemudian poros diturunkan secara berturut-turut. Untuk m embaca dial dikalikan dengan faktor yang disebutkan dalam katalog. d. Extrudability Extrudability didefinisikan sebagai berat dalam gram yang dibutuhkan untuk mengekstrusi pita perumusan dengan panjang 0.5cm dalam 10 detik. Formulasi gel diisi dengan standar yang dibatasi tabung aluminium yang dapat dilipat dan disegel dengan cara crimping sampai akhir. Tabung ditempatkan di antara dua slide dan dijepit. Bobot 500 g ditempatkan di atas slide dan kemudian tutupnya dilepas. Panjang pita Dari formulasi yang keluar dalam 10 detik itu dicatat. e. Uji daya sebar atau spreadibility Spreadibility menunjukkan luas area dimana gel siap men yebar pada aplikasi ke kulit atau bagian yang terkena. Efisiensi bioavailabilitas gel juga tergantung pada nilai Spreadibility. Spreadibilitas didefinisikan dalam istilah waktu dalam detik diambil o leh geser atas untuk lepas gel ditempatkan di antara dua slide, di bawah beban te rtentu. Semakin sedikit waktu yang dibutuhkan untuk pemisahan dua slide, semakin baik pen yebarannya. Sekitar 500mg dari Formulasi adalah pasir yang terjepit di antara dua slide, masing-masing dengan 11
dimensi 6x2cm. Berat 100g ditempatkan di atas sehingga antara formula kedua slide ditekan secara seragam untuk membentuk lapisan tipis. Bobot berat telah dilepas dan kelebihan formulasi yang menempel pada slide telah dibatalkan. Pergeseran bawah dipasang pada papan peralatan dan Slide atas dipegang pada tali non-fleksibel yang mana beban 20g diaplikasikan dengan bantuan katrol sederhana yang berada di tingkat horizontal dengan slide tetap. Waktu yang ditempuh oleh upper slide untuk meluncur dari lower slide Spreadibility = m x l / t. Dimana, m = berat yang terikat pada upper slide, l = panjang dari slide kaca (6cm), t = waktu dalam detik.
3.6 Prosedur Uji aktivitas antimikroba
a. Uji aktivitas antibakteri Propionibacterium acne (P. acne) itu diinkubasi dalam media agar ASLA selama 48 jam di bawah kondisi anaerobik dan disesuaikan untuk menghasilkan kira-kira 1x108 CFU/ml pelat agar-agar dilapisi dengan inokulum. Saringan kertas saring steril dengan diameter 6mm ditempatkan secara aseptis pada piring yang diinoku lasi dan dilakukan diimpregnasi dengan bahan uji (100mg/ml ekstrak). Pelat dibiarkan pada suhu sekitar 30 menit untuk memungkinkan melebihi pra difusi sebelum inkubasi pada suhu 37 ° C selama 72 jam dalam kondisi anaerob dalam wadah anaerobik (Hi-Media) dengan bensin dan indicator tablet dan wadah disimpan dalam inkubator selama 72 jam di 37 ± 1ᵒC. Paket gas yang mengandung asam sitrat, sodium karbonat dan natrium borohidrida digunakan untuk memelihara dan memeriksa anaerobosis. Tablet indicator biru metilen berubah dari merah muda akhirnya menjadi pink muda, yang menunjukkan kondisi pencapaian anaerobic. Kultur Staphylococcus epidermidis (S.epidermidis) disiapkan dalam medium di nutrien agar selama 24 jam dalam kondisi aerobik. Uji contoh ini Bakteri aerob diinkubasi pada suhu 37 ° C selama 24 jam dalam kondisi aerobik. Aktivitas anti bakteri itu diperkirakan dengan mengukur diameter zona inhibisi. Semua tes difusi disk dilakukan dalam tiga Percobaan terpisah dan aktivitas antibakteri itu dinyatakan sebagai mean ± standar deviasi. Clindamycin fosfat digunakan sebagai standar dan kontrol digunakan untuk menentukan kapasitas pertumbuhan medium. b. Penentuan Konsentrasi Hambat Minimum
12
Nilai konsentrasi hambat minimum (MIC) adalah ditentukan dengan metode pengenceran agar. Materi uji ditambahkan secara aseptik ke 20 ml aliquot cairan steril pada kisaran bahan uji yang sesuai (0,05mg / ml-5mg / ml). Solusi agar yang dihasilkan di vortex pada kecepatan tinggi selama 15 detik atau sampai benar-benar tersebar, segera dituangkan ke dalam petri plate steril lalu didiamkan selama 30 menit. Pelat kemudian diinokulasi P.acne. Pelat yang diinokulasi dibiarkan sampai inokulum telah diterbentuk dan kemudian diinkubasi dalam kondisi anaerob di 370°C selama 72 jam di kantong gas (Hi-Media) dengan tabung bensin dan indikator tablet dan wadahnya disimpan dalam inkubator untuk durasi yang ditentukan pada suhu yang ditentukan. Paket gas yang mengandung asam sitrat, natrium karbonat dan natrium borohidrida digunakan untuk menjaga dan memeriksa anaerobiosis. Tablet indikator biru metilen berubah dari merah muda pink muda-pink muda yang akhirnya menunjukkan pencapaian kondisi anaerobik. Sampel uji S.epidermidis disiapkan dalam nutrisi agar media dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 ° C dalalm kondisi aerobic. Setelah masa inkubasi, piring diamati dan dicatat untuk kehadiran atau tidak adanya pertumbuhan. Dari hasilnya, MIC itu dicatat sebagai konsentrasi terendah zat uji dimana tidak adanya pertumbuhan yang diamati. Konsentrasi bakterisida minimum (MBC) ditentukan dengan mensubkontrakkan sampel ke piring agar steril dari tiga pelat uji, dengan masing – masing bakteri, yang tidak menunjukkan pertumbuhan selama penentuan MIC. Pelat untuk masing-masing bakteri diinkubasi mengikuti prosedur yang sama dengan yang dijelaskan dalam penentuan MIC. Minimum Nilai konsentrasi bakterisida ditafsirkan sebagai pengenceran tertinggi (konsentrasi terendah) dari sampel yang tidak menunjukkan pertumbuhan pada piring agar-agar. c. Studi antimikroba pada formulasi Solusi dari gel disiapkan dengan menggunakan 100 mg gel dalam 10 ml dimetil sulfoksida. Anti bakteri Aktivitas diuji dengan metode difusi yang baik. P. jerawat itu diinkubasi dalam media agar ASLA selama 48 jam di bawah kondisi anaerobik dan disesuaikan untuk menghasilkan kira-kira 1x108 CFU / ml, pelat agar dipadatkan dibuat pola dengan inokulum di permukaan. Sumur equidistance dipotong di piring dengan bantuan penggerek 8mm. Di masing – masing Sumur ini larutan gel di DMSO ditempatkan dan pelat dibiarkan pada suhu kamar selama 30 menit ke pra difusi sebelum inkubasi pada 13
suhu 37 ° C selama 72 jam dalam kondisi anaerobik dalam wadah anaerobik (Hi-Media) dengan tas bensin dan indikator tablet dan tasnya disimpan dalam inkubator selama 72 jam pada suhu 37 ± 1ᵒC. Paket gas mengandung asam sitrat, natrium karbonat dan natrium borohidrida digunakan untuk merawat dan memeriksa anaerobiosis. Tablet indikator biru metilen berubah dari merah muda pink muda-pink muda yang akhirnya menunjukkan pencapaian kondisi anaerobik. Kultur S. epidermidis disiapkan dalam nutrien agar sedang 24 jam dalam kondisi aerobik. Uji sampel dari bak teri aerobik ini diinkubasi pada suhu 37 ° C selama 24 tahun jam dalam kondisi aerobic. Aktivitas anti bakteri diperkirakan dengan mengukur diameter zona inhibisi. Semua tes difusi baik dilakukan dalam tiga percobaan terpisah dan aktivitas antibakteri itu dinyatakan sebagai mean ± standar deviasi. d. Stabilitas formulasi Stabilitas formulasi dinilai dengan garis panduan yang dikeluarkan oleh Konferensi Internasional pada Harmonisasi (ICH) pada tanggal 27 Oktober 1993. e. Konsentrasi obat Kadar obat dari formulasi ditentukan dengan melarutkan jumlah gel secara akurat dalam 1mg 100 ml pelarut (buffer fosfat pH 6,8 + etanol di rasio 40:60). Solusi dijaga agar tidak bergerak selama 4 jam dan kemudian disimpan selama 6 jam untuk pembubaran lengkap formulasi. Kemudian solusinya disaring, saringan membran 0.45mm dan pengenceran yang tepat dibuat dan solusi menjadi sasaran analisis spektrofotometri. Kadar obatnya dihitung dari persamaan regresi linier yang diperoleh d ari data kalibrasi. f. Penelitian difusi in-vitro Penelitian difusi in-vitro untuk semua formulasi (Fa1-Fa4) dilakukan dengan menggunakan sel difusi Franz. Aparatus sel difusi dibuat secara lokal sebagai tabung silinder tertutup dan terbuka dengan luas 3.7994 cm2 dan Tinggi 100m, memiliki luas difusi 3.8 cm2. Sebuah Timbang dengan jumlah formulasi yang setara dengan 1gm dari Obat ditempatkan pada membran dialisis-70 (Hi Media) dan sedikit direndam dalam 100 ml reseptor medium (buffer fosfat pH 6,8+ etanol dalam perbandingan 40:60) yang terus diaduk dan suhunya dipertahankan pada suhu 37ᵒC ± 1ᵒC. Aliquot dari 1ml ditarik dari masing-masing sistem pada interval waktu 5, 10, 15, 30, 60, 120, 240 dan 360 min dianalisis untuk kandungan obat menggunakan spektrofotometer UV. g. Kinetika pelepasan obat 14
Untuk mempelajari kinetika pelepasan yang dioptimalkan formulasi, data yang diperoleh dari penelitian invitro release diplot dalam berbagai mo del kinetic.
15
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Table 1: Antibacterial activity of coriander aqueous extract. Zone of inhibition b (mm), mean ±SD
Test sample
P.acne
S.epidermidis
MIC
P.acne
S.epidermidis
Aqueous extract 21.5±1.4 20.6±1.09 1.7 mg/ml 2.1 mg/ml Hydroethanolic 19.1±1.0 18.1±1.9 2.5 mg/ml 3 mg/ml extract Ethereal extract 11.6±1.4 10.6±1.6 4.3 mg/ml 5 mg/ml b = diameter of zone of inhibition including disc diameter of 4mm.
Table 5: Antibacterial activity of formulations Formulation
Zone
of
inhibition
(mm),
mean±SD
P.acne
S.epidermidis
Fa1
21.5±1.2
20.6±1.06
Fa2
21.4±.1.0
20.5±1.02
Fa3
21.3±0.9
20.4±1.0
Fa4
21.3±.1.2
20.4±0.8
MH
20.4±0.6
20.4±0.9
Clin
31.8±2.6
30.9±2.4
All experiments were performed in triplicate. MH = marketed formulation, Clin = Clindamycin phosphate
16
Table 3: Physicochemical properties of semisolid formulations of coriander aqueous extract. Spreadability
Extrudability
Viscosity
(g/sec)a
(g)a
(cps)a
***
41.5±.7
542.9±.2
34.5±.8
6.9±.04
**
43±.2
545.6±.8
35.6±.6
Fa3
6.8±.07
**
45±.9
549.4±.7
37.1±.1
Fa4
7.1±.04
**
46.5±.4
552.8±.5
38.4±.4
pHa
Consistencya
Fa1
6.8±.01
Fa2
Formulation
a = mean ± standard deviation, *** = very good, ** = good.; All experiments were performed in triplicate.
Table 4: Drug content and in-vitro release Formulation
Drug content (%,
% cumulative release
m/m)
Fa1
94.5
93
Fa2
93.4
92
Fa3
90
88
Fa4
88.5
87
All experiments were performed in triplicate
A: Fa 1 First order release kinetic model
B: Fa 1 Zero order release kinetic model
17
C: Fa 1 Higuchi model.
4.2 Pembahasan
Ekstrak cair ketumbar menunjukkan zona penghambatan 21,5 ± 1,4 dan 20,6 ± 1,09 mm serta nilai MIC 1,7 mg / ml dan 2,1 mg / ml terhadap P.acne dan S. epidermidis. Aktivitas ekstrak air ini lebih banyak daripada ekstrak hidroksanolik dan ekstrak ethereal. (Tabel 1]). Formulasi tersebut dikembangkan dengan ekstrak air ketumbar menggunakan carbopol 934 sebagai bahan pembentuk gel dalam konsentrasi 0,5% (Fa1), 1% (Fa2), 1,5% (Fa3) dan 2% (Fa4) b / b. Semua formulasi berwarna coklat dan memiliki bau khas ketumbar. Semua formulasi bersifat glossy dan tembus. Formulasi Fa1 ditemukan memiliki konsistensi yang sangat baik dan Fa 2 memiliki konsistensi yang baik. Seperti ditunjukkan pada tabel 3, pH formulasi berkisar antara 6,8-7,1, yang mungkin sesuai untuk aplikasi topikal tanpa ketidaknyamanan. Viskositas dari formulasi berkisar antara 34,5 ± 0,8 sampai 38,4 ±, 4cps. Viskositas formulasi meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi karbopol. Penyebaran dan ekstrudabilitas formulasi ditemukan berkisar antara 41,5 ± 0,7 sampai 46,5 ± 4 g / detik dan masing-masing 542,9 ± 0,2 sampai 552,8 ± 0,5g. Viskositas diamati meningkat dengan penurunan tingkat penyebaran dan sebaliknya. Konsentrasi obat dalam basis dermatologis ditemukan berkisar antara 88,5 sampai 94,5% (Tabel [4]). Ini membuktikan bahwa metode ini cocok untuk persiapan bentuk sediaan topikal. Seperti yang ditunjukkan oleh nilai kadar obat, tidak ada penurunan obat selama proses persiapan. Difusi obat kumulatif setelah 6 jam ditemukan 93% untuk Fa1 yang tertinggi di antara semua formulasi. Ini dianggap berasal dari peningkatan difusi obat dari gel karena viskositasnya yang rendah, sifat lembut dan sifat agen gelling yang digunakan. Dengan demikian formulasi dengan isi karbopol 0,5% w / w (Fa1) ditemukan memiliki hasil yang paling optimal. Hasil dari studi stabilitas menunjukkan bahwa formulasi tidak menunjukkan adanya perubahan pada ph, viskositas, penyebaran, konsistensi, ekstrudabilitas dan kadar obat dan karenanya ditemukan stabil. Ketika formulasi dikenai penyelidikan antimikroba, kemudian ditemukan bahwa semua memiliki penghambatan terhadap P. acne dan S. epidermidis. Di antara semua formulasi, formulasi Fa1 telah menunjukkan zona penghambatan yang hampir sama seperti yang ditunjukkan oleh ekstrak air (Tabel 5). Telah diamati bahwa Fa1 telah menunjukkan zona penghambatan yang lebih besar daripada formulasi herbal yang dipasarkan, oleh karena itu lebih efektif daripada formulasi
18
yang dipasarkan. Clindamycin phosphate ditemukan memiliki aktivitas lebih besar daripada formulasi yang dikembangkan. Jadi Fa1 ditemukan sebagai formulasi yang paling optimal. Data difusi invitro dari formulasi ekstrak ketumbar yang dioptimalkan, Fa1, dikenai model kinetik sebagai model orde nol, orde pertama, hi guchi dan hixon-crowell. Kriteria seleksi (R2) dan persamaan yang paling menggambarkan kinetika pelepasan obat invitro diberikan dalam Tabel [6]. Pelepasan obat dari formulasi optimal ditemukan mengikuti kinetika pelepasan pesanan pertama. Korelasi yang lebih tinggi, seperti yang ditunjukkan oleh R2, diamati untuk kinetika pelepasan matriks higuchi dalam formulasi yang dioptimalkan (Gambar 1), menunjukkan difusi sebagai mekanisme pelepasan obat yang kemungkinan besar terjadi. Dalam difusi, laju pelarutan obat dalam matriks harus jauh lebih tinggi daripada laju difusi obat yang meninggalkan matriks. Hal ini mungkin disebabkan sifat agen gelling yang digunakan.
19
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari makalah yang telah kami buat serta penelitian yang kami bahas, dapat disimpulkan bahwa:
Ekstrak cair ketumbar menunjukkan zona penghambatan 21,5 ± 1,4 dan 20,6 ± 1,09 mm serta nilai MIC 1,7 mg / ml dan 2,1 mg / ml terhadap P.acne dan S. epidermidis.
Formulasi Fa1 memiliki konsistensi yang sangat baik. Seperti ditunjukkan pada tabel 3, pH formulasi berkisar antara 6,8-7,1 yang sesuai untuk aplikasi topikal.
Viskositas dari formulasi berkisar antara 34,5 ± 0,8 sampai 38,4 ±, 4c ps.
Penyebaran dan ekstrudabilitas formulasi ditemukan berkisar antara 41,5 ± 0,7 sampai 46,5 ± 4 g / detik dan masing-masing 542,9 ± 0,2 sampai 552,8 ± 0,5g.
Konsentrasi obat dalam basis dermatologis ditemukan berkisar antara 88,5 sampai 94,5%.
Hasil dari studi stabilitas menunjukkan bahwa formulasi tidak menunjukkan adan ya perubahan pada ph, viskositas, penyebaran, konsistensi, ekstrudabilitas dan kadar obat dan karenanya ditemukan stabil.
20
DAFTAR PUSTAKA
Vats, Aditi and Sharma, Pranav. 2012. “Formulation and Evaluation of Topical Anti Acne Formulation Of Coriander Extract”. Int. J. Pharm. Sci. Rev. Res. Volume 16(2), pp: 22, 97-103. Brunton, L., K. Parker., D. Blumenthal., I. Buxton. 2010. Goodman & Gilman Manual Farmakologi dan Terapi. Jakarta: EGC. Lina Winarti. 2013. Diktat kuliah fakultas farmasi universitas jember
formulasi
sediaan semisolid ” formulasi salep, krim, gel, pasta, dan suppositoria”. Fakultas Farmasi Universitas Jember. Volume 1, hal 55-56. Lachman, L., Lieberman, A. H. dan Kanig, J. L. 1994. “Teori dan Praktek Farmasi Industri II . Penerjemah: Siti Suyatmi. Jakarta: Univesitas Indonesia. ”
Yuindartanto, A. 2010. “ Acne Vulgaris . Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. ”
Jakarta: Universitas Indonesia.
21