FORMULASI DAN EVALUASI SEDIAAN OBAT HEWAN BENTUK SEMI PADAT
Makalah ini disusun untuk memenuhi memenuhi tugas mata kuliah Farmasi Farmasi Veteriner yang diampu oleh Rival Ferdiansyah, M. Farm., Apt.
Disusun Oleh: Mira Rafflesia
(A 151 086)
Princesa Elnovita T
(A 151 091)
Siti Saadah Fauziyah
(A 151 099)
Nur Baiti
(A 151 100) 100)
Joana Tania Debataraja
(A 151 104)
Mega Stevani
(A 151 107)
Devi Rahmawati
(A 151 109)
Ileka Sri Amanda
(A 151 110)
Siti Anatyastuti
(A 151 111)
SEKOLAH TINGGI FARMASI INDONESIA BANDUNG YAYASAN HAZANAH 2017
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Salah satu cabang ilmu farmasi melingkupi pengobatan pada hewan yang dikenal dengan farmasi veteriner. Pengobatan pada hewan berbeda dengan manusia dikarenakan perbedaan fisiologis antara keduanya sehingga sistem penghantaran obat yang digunakan pun berbeda. Begitu pula dengan formulasi sediaan obat hewan. Sediaan obat hewan yang diberikan secara topikal dapat berupa sediaan padat (bubuk kering), sediaan semi padat (krim, salep, dan pasta), dan cairan (larutan, suspensi, dan emulsi). Pada evaluasi sediaan semi padat pada hewan umumnya sama seperti evaluasi sediaan semi padat pada manusia. Evaluasi dibagi menjadi tiga, yaitu evaluasi fisik, evaluasi kimia, dan evaluasi biologi. CPOHB adalah singkatan dari Cara Pembuatan Obat Hewan Yang Baik , Baik , merupakan pedoman untuk mengatur seluruh proses produksi dan kontrol kualitas obat hewan secara baik dan benar sehingga dihasilkan suatu produk akhir obat hewan yang aman dan berkualitas. Melalui CPOHB, industri farmasi dapat memproduksi dan memasarkan sediaan obat hewan, di mana pada makalah ini dititik beratkan pada sediaan obat hewan bentuk semi padat.
1.2
Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, rumusan masalah dalam makalah ini, yaitu: 1.
Bagaimana preformulasi sediaan obat hewan?
2.
Bagaimana formulasi sediaan obat hewan bentuk semi padat?
3.
Apa saja evaluasi sediaan obat hewan bentuk semi padat?
4.
Apa yang dimaksud dengan CPOHB?
5.
Apa saja contoh sediaan obat hewan bentuk semi padat yang ada di pasaran?
1.3
Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut: 1.
Mengetahui preformulasi yang dilakukan dalam sediaan obat hewan.
2.
Mengetahui formulasi sediaan obat hewan bentuk semi padat.
3.
Mengetahui jenis evaluasi sediaan obat hewan yang dilakukan.
4.
Mengetahui tentang CPOHB.
5.
Mengetahui sediaan obat hewan bentuk semi padat yang ada di pasaran.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Preformulasi Preformulasi Sediaan Obat Hewan.
2.1.1 Definisi Preformulasi terdiri dari kata pre kata pre yang yang artinya sebelum dan formulasi dan formulasi yang artinya perumusan atau penyusunan. Dalam bidang farmasi termasuk farmasi veteriner, preformulasi dapat diartikan sebagai langkah awal yang dilakukan ketika akan membuat formula suatu sediaan obat baik untuk manusia maupun hewan. Preformulasi meliputi pengkajian tentang karakteristik atau sifat fisika-kimia dari bahan obat dan bahan tambahan obat yang akan diformulasi. 2.1.2 Tujuan Preformulasi Menentukan dan membuat formula yang tepat sehingga menghasilkan sediaan obat hewan yang stabil, berkhasiat, aman dan nyaman ketika digunakan untuk hewan. 2.1.3 Pertimbangan Umum Preformulasi Sebelum membuat formula sediaan obat hewan, beberapa hal yang harus dipertimbangkan, yaitu: A.
Sistem Penghantaran Obat. Desain dan sistem penghantaran sediaan obat hewan memerlukan pertimbangan yang berbeda dari formulasi obat untuk manusia. Beberapa pertimbangan untuk menentukan sistem penghantaran sediaan obat hewan: 1.
Kebiasaan diet hewan.
2.
Rumen.
3.
Canine dan Fenine.
Tipe dasar penghantaran obat pada hewan, yaitu: 1.
Digunakan untuk menghantarkan bentuk sediaan obat pada hewan.
2.
Berupa implantasi atau sejenisnya yang digunakan untuk penggunaan jangka panjang. panjang.
B.
Bentuk Sediaan. Bentuk sediaan obat yang digunakan pada hewan dapat digunakan untuk pemakaian dalam maupun luar tubuh. Banyak sediaan obat hewan yang mengandung obat yang sama dengan sediaan obat untuk manusia, seperti macrolides endectocides, endectocides, salycilamide flukicides, flukicides, benzimidazole (antelmintika), dan derivat kloramfenikol.
C.
Bahan Tambahan. Bahan tambahan yang digunakan dalam formulasi obat hewan harus kompatibel (dapat tercampurkan) dengan bahan obat utama (zat aktif) dan bahan tambahan yang lain.
D.
Kestabilan Sediaan. Selama penyimpanan, sediaan obat hewan harus tetap dalam keadaan yang stabil, tidak menampakkan perubahan warna, bau, rasa, timbulnya kristal pada permukaan tablet dan kaplet, atau memisahnya air dan minyak pada sediaan krim dan emulsi.
2.2
Formulasi Sediaan Obat Hewan Bentuk Semi Padat.
Obat hewan adalah sediaan yang digunakan untuk mengobati hewan, membebaskan gejala, atau memodifikasi proses kimia dalam tubuh yang meliputi sediaan biologi, farmasetika, sintetis, dan sediaan alami. Dalam pembuatannya, proses kegiatan pengolahan dilakukan dengan pencampuran dan pengubahan bentuk bahan baku menjadi obat hewan. Obat hewan yang telah jadi kemudian didistribusikan ke masyarakat melalui pelaku kesehatan hewan seperti dokter hewan dan inseminator. Proses kegiatan pengadaan obat-obatan dilakukan oleh badan usaha milik negara atau milik daerah, swasta atau koperasi. Semua ini dilakukan untuk mengoptimalkan kemampuan hewan untuk berproduksi dan berkembang biak (Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2009). Sediaan obat hewan yang diberikan secara topikal dapat berupa sediaan padat (bubuk kering), sediaan semi padat (krim, salep, dan pasta), dan cairan (larutan, suspensi, dan emulsi).
Penghantaran sediaan topikal melalui sistem penghantaran transdermal yang mampu menembus barrier menuju aliran darah. Contoh sediaan transdermal untuk hewan, yaitu Fentanyl. Fentanyl adalah suatu agonis opioid sintetis yang dihantarkan melalui sistem penghantaran transdermal pada anjing, kucing, dan kuda.
2.2.1 Salep Salep adalah sediaan setengah padat ditujukan untuk pemakaian topikal pada kulit atau selaput lendir. Salep tidak boleh berbau tengik, kecuali dinyatakan lain kadar bahan obat dalam salep yang mengandung obat keras atau narkotika adalah 10% (FI IV). Pemberian obat berupa salep pada hewan dilakukan dengan cara mencukur bulu disekitar bagian yang akan diobati, dibersihkan, lalu baru diolesi salep. Agar salep dapat meresap ke dalam kulit, olesan salep tersebut diurut-urut dan ditekan-tekan karena apabila hanya diolesi saja, salep hanya menempel pada bulu atau kulit sehingga tidak efektif. Sediaan salep untuk hewan tidak hanya untuk kulit sebagai obat gatal atau luka seperti Demodis. Namun, bisa juga digunakan untuk mata, contohnya salep Terramycin Ophtalmic Ointment (salep mata) yang dapat digunakan untuk manusia dan hewan.
2.2.2 Krim Krim adalah bentuk sediaan semi padat mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai (FI IV). Krim berupa emulsi kental mengandung air tidak kurang dari 60% dan dimaksudkan untuk pemakaian luar (Fornas). Sediaan krim pada hewan biasanya digunakan untuk mengobati luka atau membasmi mikroba atau parasit pada kulit hewan.
2.2.3 Pasta Pasta adalah salep yang mengandung lebih dari 50% zat padat serbuk, karena merupakan salep yang tebal, keras, dan tidak meleleh pada suhu badan maka digunakan sebagai salep penutup atau pelindung (Anief). ( Anief). Pasta adalah sediaan semi padat yang mengandung satu atau lebih bahan obat yang ditujukan untuk pemakaiaan topikal (FI IV). Namun, dalam sediaan obat hewan, pasta dapat digunakan secara oral seperti Albendazole yang berkhasiat sebagai antelmintika pada hewan ternak. Cara pemberiannya dapat dicekokan langsung atau dicampur dengan pakan ternak.
2.2.4 Gel Gel atau jeli merupakan sistem semi padat terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar, terpenetrasi oleh suatu cairan (FI IV). Pluronic Lecithin Organogel (PLO) (PLO) adalah contoh gel yang digunakan secara transdermal. Komposisi miselar pada PLO meningkatkan penetrasi bahan aktif di dalam suatu formulasi pada kulit hewan. Sifat dari gel PLO yaitu tidak toksik dan dapat ditoleransi dengan baik. Gel transdermal digunakan untuk mengobati beberapa penyakit yang menyerang anjing dan kucing seperti penyakit jantung dan hipertiroid. Selain digunakan secara topikal, gel dapat digunakan secara oral, contohnya Nutriplus Gel untuk menambah vitamin dan mineral pada anjing yang diberikan secara oral atau dicampurkan dalam makanannya.
2.3
Evaluasi Sediaan Obat Hewan Bentuk Semi Padat.
2.3.1 Evaluasi Umum. Evaluasi sediaan semi padat pada hewan umumnya sama seperti evaluasi sediaan semi padat pada manusia. Evaluasi dibagi menjadi tiga, yaitu evaluasi fisik, evaluasi kimia, dan evaluasi biologi. Evaluasi fisik meliputi stabilitas sediaan, evaluasi kimia meliputi kadar dan stabilitas zat aktif, sedangkan evaluasi biologi meliputi cemaran mikroba terutama untuk sediaan steril dan sediaan luka terbuka. Beberapa evaluasi fisik yang sering dilakukan adalah: A.
Evaluasi Organoleptis. Pengamatan organoleptis dilakukan untuk menguji kualitas suatu sediaan menggunakan panca indra manusia. Pengamatan dilakukan dengan mengamati perubahan bentuk, warna, dan bau sediaan (Septiani, 2011).
B.
Evaluasi Homogenitas. Pemeriksaan homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah sediaan semi padat yang dibuat homogen atau tidak. Evaluasi dilakukan dengan menggunakan dua buah kaca objek. Sejumlah
tertentu sediaan dioleskan pada sekeping kaca objek dan kemudian kaca objek yang lainnya ditempelkan pada kaca objek yang sudah diolesi sediaan. Suatu sediaan harus menunjukkan susunan yang homogen dan tidak terlihat adanya butiran kasar (Ditjen POM, 1979). C.
Penentuan pH Sediaan. Penentuan pH sediaan dilakukan dengan menggunakan alat pH meter. Rentang nilai pH yang aman untuk sediaan setengah padat adalah sekitar 4,5 – 6,5 6,5 (Soeratri, 2005).
D.
Pemeriksaan Viskositas. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui kekentalan suatu sediaan. Sediaan semi padat harus memiliki kekentalan yang sesuai karena berpengaruh terhadap kenyamanan saat penggunaan. Pengukuran viskositas dilakukan dengan viskometer. Sediaan dituang ke dalam gelas piala, selanjutnya dipasang spindle dan diturunkan ke dalam sediaan hingga batas yang ditentukan. Pengukuran dilakukan dengan kecepatan yang diatur. Pemeriksaan viskositas dilakukan pada waktu tertentu setelah penyimpanan suhu ruang dan suhu 40 oC (Marinda, 2012).
E.
Pemeriksaan Daya Sebar. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui kemampuan menyebar sediaan pada kulit hewan. Sekitar 1 gram sediaan diletakkan diantara 2 kaca akrilik. Pada bagian atas diberi beban dengan berat sekitar 19 gram dan dibiarkan selama 1 menit, kemudian diukur diameter sebarnya. Setelah itu ditambahkan kembali beban dengan berat 20 gram dan diukur diameter sebarnya. Hal ini dilakukan hingga beban maksimum di atas sediaan seberat 99 gram. Selanjutnya dibuat grafik hubungan antara beban dan luas sebar sediaan (Swastika, 2013 dan Voight, 1994).
F.
Pemeriksaan Daya Lekat. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan oleh sediaan untuk melekat pada kulit hewan. Sebanyak 0,25 gram sediaan diletakkan di atas objek gelas yang telah ditentukan luasnya,
kemudian di atasnya diletakkan ojek gelas lainnya. Objek gelas kemudian dipasang pada alat uji dan diberi beban 1 kg selama 5 menit, kemudian dilepas dengan beban seberat 80 gram. Dicatat waktunya hingga kedua gelas objek tersebut terlepas (Naibaho, 2013). G.
Uji Stabilitas (Cycling (Cycling Test ). ). Sediaan disimpan pada suhu 4 ± 2
o
C selama 24 jam, kemudian o
dipindahkan ke dalam oven yang bersuhu 40 ± 2 C selama 24 jam (satu siklus). Uji ini dilakukan sebanyak 6 siklus atau selama 12 hari kemudian diamati adanya pemisahan fase (Marinda, 2012). 2.3.2 Evaluasi Khusus Krim. A.
Pengukuran Diameter Globul Rata-Rata Sediaan Krim. Diameter globul rata-rata diukur menggunakan mikroskop optik. Dengan cara sediaan krim diletakkan pada kaca objek dan diamati dengan mikroskop perbesaran 10 x 10. Gambar yang diamati diukur diameter globulnya. Pengukuran diameter globul rata-rata dilakukan pada waktu dan suhu yang ditentukan setelah dilakukan cycling test (Martin, 1993).
B.
Penentuan Ukuran Droplet. Untuk menentukan ukuran droplet suatu sediaan krim dilakukan menggunakan mikroskop. Sediaan diletakkan pada objek glass, glass, kemudian diperiksa adanya tetesan – tetesan fase dalam ukuran dan penyebarannya.
2.4
CPOHB
2.4.1 Definisi CPOHB adalah singkatan dari Cara Pembuatan Obat Hewan Yang Baik , merupakan pedoman untuk mengatur seluruh proses produksi dan kontrol kualitas obat hewan secara baik dan benar sehingga dihasilkan suatu produk akhir obat hewan yang aman a man dan berkualitas. Hal tersebut didasari oleh: A.
Peraturan Pemerintahan RI Nomor 78 Tahun 1992 tentang Obat Hewan.
B.
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 466 Tahun 1999 tentang Pedoman CPOHB.
C.
Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Peternakan Nomor 247 Departemen Pertanian Tahun 1999 tentang petunjuk Operasional Penerapan CPOHB.
D.
Farmakope Obat Hewan Indonesia.
2.4.2 Tujuan Penerapan CPOHB merupakan salah satu bentuk sistem pengawasan kualitas produksi dan diterapkan untuk memperoleh jaminan mutu obat hewan. Sistem produksi dirancang untuk menjamin obat hewan yang diproduksi dengan mutu dan jumlah yang benar sesuai se suai dengan SOP. 2.4.3 Manfaat Penerapan C.
Jaminan Kualitas. Jaminan kualitas terkait distribusi obat dari pabrik hingga sampai ke konsumen. Penerapan SOP akan menghindari variasi dalam proses produksi sehingga proses produksi antara satu nomor batch batch dengan nomor batch batch obat yang lain akan sama sehingga kualitas yang dihasilkan seragam.
D.
Jaminan Pelayanan. Pencantuman keterangan yang jelas mengenai indikasi, komposisi obat, aturan pakai, kadaluarsa hingga cara penyimpanan termasuk dalam jaminan pelayanan. Hal tersebut ditujukan agar peternak memiliki panduan dalam menggunakan obat.
2.4.4 Penerapan CPOHB Dalam Industri Farmasi A.
Produk dan Proses Produksi. Aspek yang dilihat dimulai dari bahan baku obat hewan, proses produksi hingga menjadi produk obat yang sudah jadi yang mengacu pada standar nasional seperti Farmakope Indonesia (FI) dan Farmakope
Obat
Hewan
Indonesia
(FOHI)
maupun
standar
internasional seperti US Pharmacopeia (USP), Pharmacopeia (USP), British British Pharmacopeia (BIP), dan Office International des Epizooties (OIE). Epizooties (OIE).
B.
Pekerja. Menerapkan prosedur sanitasi dan hygiene hygiene personal yang baik serta pengecekan kesehatan karyawan secara berkala agar tidak ada atau minimal kontaminasi pada produk obat yang dihasilkan sehingga aman dan berkualitas. Pekerja harus memiliki pengetahuan mengenai hal-hal yang baru dalam sistem CPOHB dan diterapkan oleh pekerja.
C.
Lingkungan. Aspek lingkungan ini ditujukan untuk mempertahankan kelestarian lingkungan di sekitar industri serta masyarakat di sekitar industri agar tetap nyaman dan tenang. Program yang dijalankan antara lain sanitasi dan pengaturan pembuangan limbah agar tidak mencemari lingkungan dan menghasilkan produksi yang bersih. Hal yang dapat diterapkan adalah produksi bersih, Instalasi Pengolahan Air limbah (IPAL), dan Baku Mutu Air Limbah (BMAL).
D.
Inspeksi Diri. Inspeksi diri berkala dilakukan melalui audit internal yang dilakukan untuk mengevaluasi setiap poin dalam proses produksi. Tujuannya untuk melaksanakan CPOHB dengan baik, mengetahui gambaran keberhasilan pelaksanaan CPOHB dalam perusahaan, serta untuk mengetahui kekurangan dan memberikan masukan agar CPOHB bisa diterapkan lebih baik lagi.
E.
Dokumentasi dan Penanganan Keluhan. Setiap proses produksi yang berlangsung, bahan baku, dan produk obat hewan jadi yang dihasilkan selalu terdokumentasi. Hal ini bertujuan agar produk obat hewan yang dihasilkan selalu berkualitas, aman, dan terstandarisasi. Selain itu, bila ada keluhan konsumen dapat ditangani dan ditelusuri dengan cepat dan mudah karena ada dokumentasi yang sudah dibuat, jadi penanganan keluhan dapat diatasi cepat dan tepat.
2.5
Jenis Sediaan Obat Hewan Bentuk Semi Padat di Pasaran.
2.5.1 Obat Dalam Negeri. A.
Anti Pick (Obat Bebas Terbatas). Bentuk Sediaan : Pasta Komposisi
: Creecylic acid 10%
Indikasi
: Mengobati luka dan mencegah kanibalisme.
Perhatian
: Simpan obat di tempat yang kering dan tertutup rapat, terhindar dari sinar matahari langsung.
Cara Pemakaian : Oleskan pada luka. Kemasan
: Wadah plastik isi 18 gram. (Deptan RI No. D 0703145 PTM)
B.
Cil (Obat Bebas Terbatas). Bentuk Sediaan : Salep Komposisi
: Formaldehyde solution 1,6%
Indikasi
: Untuk pengobatan cacar, infeksi, dan luka.
Perhatian
: Simpan obat di tempat yang kering dan tertutup rapat, terhindar dari sinar matahari langsung.
Cara Pemakaian Pemakaian : Oleskan pada bagian yang luka. Kemasan
: Wadah plastik isi 18 gram (Deptan RI No. D 0703145 PTM)
C.
Sulfanilamide Salep (Obat Bebas Terbatas) Bentuk Sediaan : Salep Komposisi
: Mengandung sulfanilamide.
Indikasi
: Mengatasi luka-luka infeksi pada kulit.
Peringatan
: Hanya untuk pemakaian luar.
Cara Pemakaian : Dioleskan di bagian luka sekali atau dua kali sehari. Kemasan
: 75 gram, 500 gram, 1 kg. (Deptan RI No. D 0510074 PTM)
2.5.2 Obat Luar Negeri. A.
Nutriplus Gel. Bentuk Sediaan : Gel Komposisi
: Mengandung vit. A, D 3, B1, B2, B6, B12, E, dan Nicotinamide.
Indikasi
: Antidefisiensi vitamin dan mineral pada anjing dan kucing.
Dosis
: 1 – 2 2 sendok teh/5 kg BB atau 10 cm/5 kg BB.
Cara Pemakaian : Diberikan secara oral oral atau atau dicampurkan dalam pakan. Untuk mempercepat persembuhan, persembuhan, dapat diberikan 2 kali lipat. Untuk mempermudah pemberian, berikan sedikit pada mulut hewan, setelah hewan mencoba, baru diberikan sesuai dengan dosis yang dianjurkan. Kemasan
: Tube 120 gram. (Virbac, Perancis)
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1995. Farmakope 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV . Indonesia: Departemen Kesehatan Anief, Moh. 2007. Farmasetika Cetakan IV . Yogyakarta: Universtias Gadjah Mada Press Martin. 1970. Physical 1970. Physical Pharmacy, Second Edition. Edition. Philadelphia: Lea & Febiger Asosiasi Obat Hewan Indonesia. 2001. Setengah Abad Ayam Ras di Indonesia – Chicken Industry. Indonesia: Asosiasi Obat Hewan Keputusan
Menteri
Pertanian
Nomor
302/Kpts/KP.150/6/2003.
Tentang
Pembentukan Panitia Penilai Cara Pembuatan Obat Hewan Yang Baik (CPOHB). Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. 2000. Pusat Penelitian Peternakan Badan Litbang Pertanian, Pertanian, Departemen Pertanian. Voight, R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi Terjemahan. Terjemahan . Yogyakarta: Universtias Gadjah Mada Press Marinda, Wenny Silvia. 2012. Formulasi dan Uji Stabilitas Fisik Gel Liposom yang Mengandung Fraksinasi Ekstrak Metanol Kulit Manggis (Garcinia mangostana L.) sebagai Antioksidan . Depok: Universitas Indonesia.