BAB I TINJAUAN PUSTAKA I.1. INTERAKSI OBAT Obat dapat berinteraksi dengan makanan, zat kimia yang masuk dari lingkungan, atau dengan obat lain. Dalam hal ini pembahasan akan kami batasi hanya pada interaksi antar obat. Interaksi antar obat dapat berakibat menguntungkan ataupun merugikan. Pengobatan dengan beberapa obat sekaligus (polifarmasi) memudahkan terjadinya interaksi obat dan dapat terjadi interaksi yang merugikan. Dari suatu survei yang dilakukan pada tahun 1977 didapati kesimpulan bahwasanya peningkatan insidensi efek samping diperkirakan akibat terjadinya interaksi obat akibat banyaknya jenis ataupun jumlah obat yang diberikan secara bersamaan. Interaksi obat dianggap penting secara klinik jika mengakibatkan peningkatan toksisitas dan/atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi, terutama jika menyangkut menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit. Demikian juga interaksi yang menyangkut obat-obatan yang biasa digunakan atau yang sering diberikan bersama tentu lebih penting daripada obat yang jarang dipakai. dipakai. Insidensi interaksi obat yang dianggap penting secara klinis sukar diperkirakan oleh sebab : 1. Dokumentasinya yang masih sangat kurang, 2. Seringkali lolos dari pengamatan karena kurangnya pengetahuan dari para dokter akan mekanisme dan kemungkinan terjadinya interaksi obat, dan 3. Kejadian atau keparahan interaksi dipengaruhi oleh variasi individual, penyakit tertentu, dan faktor – faktor – faktor faktor lain. Secara garis besar, mekanisme interaksi obat dapat dibedakan atas 3 mekanisme, yaitu interaksi farmaseutik / inkompatibilitas, inkompatibilitas, interaksi farmakokinetik dan interaksi farmakodinamik. farmakodinamik.
I.2. INKOMPATIBILITAS Inkompatibilitas / Interaksi Farmaseutik terjadi di luar tubuh (sebelum obat diberikan) antara obat yang tidak dapat dicampur (inkompatibel). Pencampuran obat yang demikian menyebabkan terjadinya interaksi langsung baik secara fisik ataupun kimiawi (hasilnya tampak sebagai pembentukan endapan, perubahan warna, dan lain-lain). Interaksi ini biasanya mengakibatkan inaktivasi obat. Bagi seorang dokter, inkompatibilitas yang penting adalah interaksi antar obat suntik dan interaksi antara obat suntik dan cairan infus. Banyak obat suntik tidak kompatibel dengan berbagai obat suntik yang lain baik dengan bahan obatnya maupun bahan oembawanya (transporter) dan terdapat lebih dari 100 macam obat tidak dapat dicampurkan dengan cairan infus. Kecuali jika jelas tidak ada reaksi, maka dianjurkan untuk tidak mencampurkan obat suntik dalam satu semprit ataupun dengan cairan infus.
I.3. INTERAKSI FARMAKOKINETIK Interaksi Farmakokinetik terjadi jika salah satu obat memengaruhi absorpsi, distribusi, metabolisme atau ekskresi obat kedua, sehingga kadar plasma obat kedua meningkat atau menurun dam dapat berakibat terjadinya toksisitas atau penurunan efek dari obat tersebut. Interaksi farmakokinetik tidak dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang berinteraksi, sekalipun struktur kimianya mirip, karena terdapatnya variasi sifat-sifat fisiokimia yang menyebabkan variasi sifat-sifat farmakokinetiknya. farmakokinetiknya.
I.3.1. INTERAKSI DALAM ABSORPSI DI SALURAN CERNA 1. Interaksi Langsung Interaksi secara fisik/kimiawi antar obat dalam lumen saluran cerna sebelum absorpsi dapat mengganggu proses absorpsi. Hal ini dapat dihindari jika obat yang berinteraksi diberikan dengan interval waktu minimal 2 jam.
1
2. Perubahan pH di Saluran Cerna Cairan saluran cerna yang alkalis (misalnya akibat antasid) akan meningkatkan kelarutan obat bersifat asam yang sukar larut dalam suasana asam (misalnya aspirin). Akan tetapi suasana alkalis di saluran cerna akan mengurangi kelarutan beberapa obat bersifat basa (misalnya ketonazol) dengan mengurangi absorpsinya. Berkurangnya keasaman lambung akan mengurangi pengrusakan obat yang tidak tahan asam, meningkatkan bioavailibitasnya dan mengurangi absorpsi Fe (yang diabsorpsi lebih baik bila suasana cairan lambung sangat asam). 3. Perubahan Waktu Pengosongan Lambung dan Waktu Transit dalam Usus Usus halus merupakan tempat absorpsi utama semua obat, termasuk yang bersifat asam dimana di usus halus absorpsi terjadi jauh lebih cepat daripada di Lambung. Oleh karena itu, makin cepat obat mencapai usus halus, makin cepat pula absorpsinya. Obat yang memperpendek waktu pengosongan lambung (misal metoklopramid) akan mempercepat absorpsi obat lain yang diberikan bersamaan. Sebaliknya, obat yang memperpanjang waktu pengosongan lambung akan memperlambat absorpsi obat lain. Kecepatan pengosongan lambung biasanya hanya memengaruhi kecepatan absorpsi tanpa memengaruhi jumlah obat yang diabsorpsi dan bioavailibitasnya. Pengecualian kepada obat yang mengalami metabolisme lintas pertama oleh enzim dalam dinding lambung dan usus halus. Waktu transit usus halus umumnya tidak memengaruhi absorpsi obat kecuali untuk obat yang sukar larut dalam cairan cerna (misal digoksin) dan obat yang diabsorpsi secara aktif hanya di satu segmen usus halus (misal Vitamin B12 di Ileum). Tapi kedua jenis obat tersebut dapat berkurang jumlah absorpsinya bila diberikan bersamaan dengan obat yang memperpendek waktu transit dalam usus (misal antasid garam Mg). Sebaliknya, obat yang memperpanjang waktu transit khusus akan meningkatkan bioavailibilitas kedua jenis obat tadi. 4. Kompetisi untuk Transporter Membran di Saluran Cerna Obat yang merupakan analog dari zat makanan (misal metildopa) diabsorpsi melalui transport membran yang sama dengan transporter untuk zat makanan tersebut sehingga dapat dihambat secara kompetitif oleh zat makanan yang bersangkutan. Ada juga kompetisi untuk transporter uptake dan efflux obat. 5. Perubahan Flora Usus Pemberian antibakteri berspektrum luas (misal tetrasiklin) akan mensupresi flora normal usus dan mengakibatkan peningkatan efektivitas antikoagulan oral (antagonis vitamin K), mengurangi efektivitasi sulfasalazin, meningkatkan bioavailibilitas levopoda dan mengurangi efektivitas kontrasepsi oral yang semuanya diberikan secara bersamaan. 6. Efek Toksik pada Saluran Cerna Terapi dengan asam mefanat menimbulkan sindrom malabsorpsi dan menyebabkan absorpsi obat lain jadi terganggu. 7. Mekanisme tidak diketahui Beberapa mengurangi jumlah absorpsi obat lain dengan mekanisme yang tidak diketahui.
I.3.2. INTERAKSI DALAM DISTRIBUSI 1. Interaksi dalam Ikatan Protein Plasma Banyak obat yang berikatan pada protein plasma (yang bersifat asam dengan albumin sementara yang basa dengan α1-glikoprotein). Jumlah protein plasma yang terbatas menyebabkan kompetisi antara obat-obat yang bersifat asam maupun basa untuk berikatan dengan protein yang sama. Tergantung dari afinitas dan kadar obat terhadap protein plasma, suatu obat dapat digeser dari ikatannya dengan protein plasma oleh obat lain dan
2
peningkatan kadar obat bebas menimbulkan peningkatan efek farmakologisnya. Tapi peningkatan tersebut menyebabkan meningkatnya eliminasinya sehingga dapat tercapai keadaan mantap dimana kadar obat total menurun tapi kadar obat yang bebas kembali seperti semula. Masalah klinis hanya timbul bila menyangkut obat dengan sifat yang dapat digeser, yaitu : 1. Memiliki ikatan yang kuat dengan protein plasma sehingga pergeseran sedikit saja akan meningkatkan kadar obat secara bermakna, 2. Memiliki batas keamanan yang sempit, sehingga peningkatan kadarnya menyebabkan toksisitas, 3. Telah terjadi efek toksik sebelum kompensasi di atas terjadi, dan 4. Eliminasinya mengalami kejenuhan, sehingga peningkatan kadar obat bebas tidak diikuti dengan peningkatan eliminasinya. Bila bagi obat penggeser, interaksi yang bermakan adalah : 1. Berikatan dengan albumin di tempat ikatan yang sama dengan obat yang digeser dengan ikatan yang kuat, dan 2. Pada dosis terapi kadarnya cukup tinggi untuk mulai menjenuhkan tempat ikatannya dengan albumin. 2. Kompetensi untuk Transporter Membran di Blood Brain Barrier dan Blood Barrier dengan Liquor Cerebrospinal. Misal : Loperamid adalah substrat dari p-glikoprotein, sementara kuinidin adalah substrat dari penghambat p-glikoprotein di Blood Brain Barrier, sehingga pemberian keduanya secara bersamaan akan menyebabkan hambatan p-glikoprotein dan menyebabkan loperamid dapat menembus Blood Brain Barrier dan menyebabkan efek samping sentral.
I.3.3. INTERAKSI DALAM METABOLISME 1. Hambatan Metabolisme Obat Hal ini menyangkut obat-obat yang merupakan substrat enzim metabolisme sitokrom P450. Pemberian bersama salah satu substrat dengan salah satu penghambat enzim yang sama akan meningkatkan kadar plasma substrat sehingga meningkatkan efek atau toksisitasnya. Efek hambatan metabolissme menjadi lebih nyata jika menyangkut obat yang metabolismenya menyangkut kejenuhan atau dengan pasien yang memiliki penyaki hati berat, dll. 2. Induksi Metabolisme Obat Banyak obat yang larut dalam lemak dapat menginduksi sintesis enzim metabolisme di hati dan mukosa saluran cerna. Tergantung dari jenis enzim yang diinduksinya, suatu zat penginduksi dapat mempercepat metabolisme beberapa obat tapi tak memengaruhi metabolisme obat yang lain. Jika metabolit hanya sedikit, maka zat penginduksi mengurangi efek obat sehingga dosis obat perlu ditingkatkan tapi bila yang terjadi sebalikya,zat penginduksi malah meningkatkan efek atau toksisitas obat. 3. Perubahan Aliran Darah Hepar (Q H) Obat yang dimetabolisme oleh Hepar dengan kapasitas tinggi, klirens heparnya sangat dipengaruhi oleh perubahan dari Q H. 4. Gangguan Ekskresi Empedu dan Sirkulasi Enterohepatik Gangguan ini dapat terjadi akibat kompetisi antar obat dan metabolit obat untuk sistem transport yang sama. Sirkulasi enterohepatik dapat dikurangi dengan menyupresi bakteri usus yang menghidrolisiskan konjugat obat sehingga mengurangi reabsorpsi atau dengan mengikat obat yang dibebaskan sehingga tidak direabsorpsi.
I.3.4. INTERAKSI DALAM EKSKRESI GINJAL 1. Gangguan Ekskresi Ginjal Akibat Kerusakan Ginjal Oleh Obat
3
Aminoglikosida dapat merusak ginjal, sehingga bila diberikan bersamaan dengan obat lain yang eliminaasinya melalui ginjal maka akan terjadi akumulasi obat dan menimbulkan toksisitas. 2. Kompetisi untuk Sekresi Aktif di Tubulus Ginjal Terjadi akibat kompetisi antara obat dan metabolit obat untuk sistem transpor aktif yang sama yakni p-glikoprotein untuk kation organik dan zat netral dan MRP untuk anion organik dan konjugat. 3. Perubahan pH Urin Perubahan ini menghasilkan klirens ginjal yang berarti secara klinis jika fraksi obat yang dieks-kresi utuh oleh ginjal cukup besar dan obat berupa basa lemah atau asam lemah. 4. Perubahan Kesetimbangan Natrium Tubuh Total Diuretik menyebabkan kehilangan natrium dan sebagai kompensasi, di tubulus proksimal ginjal akan terjadi reasbsorpsi natrium. Jika litium diberikan bersamaan, litium akan direabsorpsi se-perti natrium dan mengakibatkan keracunan litium. Begitu pula dengan AINS.
I.4. INTERAKSI FARMAKODINAMIK Interaksi Farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja pada reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi efek aditif, sinergistik atau antagonistik tanpa terjadi perubahan kadar obat dalam plasma. Interaksi farmakodinamik seringkali dapat diekstra-polasikan ke obat lain yang segolongan dengan obat yang berinteraksi. Kebanyakan interaksi farmakodinamik dapat diramalkan kejadiannya sehingga mekanismenya dapat dihindarkan. I.4.1. INTERAKSI PADA RESEPTOR Biasanya merupakan antagonisme antara agonis dan anatagonis dari reseptor yang bersangkutan. I.4.2.INTERAKSI FISIOLOGIK Interaksi pada sistem fisiologik yang sama dapat menghasilkan peningkatan atau penurunan respon (potensiasi atau antagonisme). I.4.3. PERUBAHAN DALAM KESETIMBANGAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT Perubahan ini mengubah efek obat, terutama yang bekerja pada jantung, transmisi neuromuskular dan ginjal.
I.4.4.GANGGUAN MEKANISME AMBILAN AMINE DI UJUNG SARAF ADRENERGIK Penghambat saraf adrenergik diambil oleh ujung saraf adrenergik dengan mekanisme transport aktif untuk norepineprin. Mekanisme ini diperlukan agar obat tersebut dapat bekerja, dapat dihambat secara kompetitif oleh amnie simpatomimetik atau obat yang menekan nafsu makan. Dengan demikian, obat-obat ini mengantagonisasi efek hipotensif penghambat saraf adrenergik .
I.4.5.INTERAKSI DENGAN PENGHAMBAT MONOAMINE OKSIDASE (MAO) Penghambat MAO yang digunakan sebagai obat saat ini hanya satu,yaitu moklobemid yang reversibel. Moklobemid menghasilkan akumulasi norepineprin dalam jumlah besar di ujung saraf adrenergik dan pemberiannya bersama dengan amine simpatomimetik menyebabkan pelepasan norepineprin dalam jumlah besar sehingga dapat terjadi krisis hipertensi, sakit kepala, dan terkadang perdarahan intraserebral. Pemberian penghambat MAO bersama penghambat ambilan serotonin dapat menimbulkan sindrom serotonin akibat kadar serotonin yang berlebihan di otak dan perifer.
4
BAB II ANALISIS INTERAKSI OBAT I I.1. COPIE RECIPE Copie Recipe didapat dari suatu Apotek dan berisikan tiga jenis obat. Dengan menggunakan jenis obat-obatan yang terdapat di Copie Recipe tersebut, kami berusaha melakukan pendekatan analisis terhadap interaksi yang terjadi baik itu secara farmaseutik, farmakokinetik, maupun farmakodinamik. Berikut adalah lampiran dari Copie Recipe tersebut dengan nama dokter pemberi resep disamarkan.
5
II.2. KETERANGAN OBAT II.2.1. SANMOL Komposisi Indikasi
Dosis Kontraindikasi Efek Samping
II.2.2. LODIA Komposisi Indikasi Dosis
Kontraindikasi Efek Samping
:Paracetamol :Meredakan nyeri termasuk sakit kepala dan sakit gigi. Meredakan demam akibat flu dan paskaimunisasi. :Dewasa 500-1000 mg, anak-anak 250-500 mg. :Pasien dengan penyakit hati atau gangguan fungsi ginjal. :Reaksi hematologi, reaksi kulit, dan reaksi alergi lainnya.
: Loperamide : Diare yang bukan disebabkan infeksi bakteri, diare kronik akibat IBD. : Diare akut non spesifik. Dosis awal 2 tab, dosis lazim 1-2 tab 1-2x/hari. Diare kronik 2-4 tab/hari dalam dosis terbagi. Maks 8 tab/hari. Bila setelah 48 jam tidak ada perbaikan, hentikan terapi. : Konstipasi, bayi : Nyeri abdomen, megakolon toksik, pusing, lelah, ruam kulit.
II.2.3. SANPRIMA FORTE Komposisi :Co-trimoxazole: Trimethoprim 160 mg, sulfamethoxazole 800 mg. Indikasi :Infeksi pada traktus respiratori, gastrointestinal, genitourinari, kulit, dan septikemia. Dosis :Dewasa dan anak-anak > 12 tahun 1 tab. Max: 1½ tab Kontraindikasi :Gangguan fungsi hati dan ginjal, hipersensitif terhadap sulfonamid, diskrasia darah. Kehamilan dan laktasi, bayi < 2 bulan. Porfiria. Efek Samping :Gangguan GI, sindrom stevens johnson, dan lyell’s syndrome. Jarang, hepatitis, gangguan darah, kolitis pseudomembranosa.
6
II.3. INTERAKSI OBAT II.3.1. INTERAKSI F ARMASEUTIK Tidak ada interaksi farmaseutik antara ketiga obat ini karena tidak ada pencampuran secara farmaseutik.
II.3.2. INTERAKSI F ARMAKOKINETIK II.3.2.1. SANMOL DAN LODIA SANMOL
ABSORPSI
DISTRIBUSI
METABOLISME
LODIA
Absorbsi cepat dan hampir sempurna. Bioavailabilitas mendekati 100% Berikatan dengan protein plasma sebesar 25%.
Kurang diabsorbsi dengan baik oleh usus.
90-95% dimetabolisme di hati oleh enzim sitokrom P450 2E1 dan 1A2. Waktu paruh 1-4 jam. Renal
Dimetabolisme di hati oleh enzim sitokrom P450 3A4.
Ikatan dengan protein plasma sebanyak 97%.
Tidak diketahui
INTERAKSI YANG TERJADI Tidak terjadi interaksi.
Sama-sama berikatan dengan protein plasma; Tidak mengalami interaksi.
Tidak diketahui.
EKSKRESI
II.3.2.2. RADIN DAN DEXANTA SANMOL
ABSORPSI
SANPRIMA FORTE
Absorbsi cepat dan hampir sempurna. Bioavailabilitas mendekati 100% Berikatan dengan protein plasma sebesar 25%.
DISTRIBUSI
90-95% dimetabolisme di hati oleh enzim sitokrom P450 2E1 dan 1A2. Waktu paruh 1-4 jam. METABOLISME
Renal EKSKRESI
7
Diabsorbsi dengan baik di usus. 65-70% trimethoprim terikat dengan protein plasma. 65-70% sulfamethoxazole terikat dengan protein plasma. Trimethoprim dimetabolisme oleh enzim sitokrom P450 2C8. Sulfamethoxazole dimetabolsime oleh enzim sitokrom P450 2C9. Waktu paruh 10 jam. Trimethoprim 50-60% diekskresi di ginjal. Sulfamethoxazole diekskresi di ginjal.
INTERAKSI YANG TERJADI Tidak terjadi interaksi. Sama-sama berikatan dengan protein plasma;
Tidak terjadi interaksi.
Memperberat kerja ginjal karena kedua obat diekskresikan melalui urin.
II.3.2.3. DEXANTA DAN PUMPITOR
ABSORPSI
LODIA
SANPRIMA FORTE
Kurang diabsorbsi dengan baik oleh usus.
Diabsorbsi dengan baik di usus.
Ikatan dengan protein plasma sebanyak 97%.
65-70% trimethoprim terikat dengan protein plasma. 65-70% sulfamethoxazole terikat dengan protein plasma. Trimethoprim dimetabolisme oleh enzim sitokrom P450 2C8. Sulfamethoxazole dimetabolsime oleh enzim sitokrom P450 2C9. Waktu paruh 10 jam. Trimethoprim 50-60% diekskresi di ginjal. Sulfamethoxazole diekskresi di ginjal.
DISTRIBUSI
Dimetabolisme di hati oleh enzim sitokrom P450 3A4. METABOLISME
Tidak diketahui EKSKRESI
INTERAKSI YANG TERJADI Tidak terjadi interaksi. Sama-sama berikatan dengan protein plasma;
Tidak terjadi interaksi.
Tidak diketahui.
II.3.3. INTERAKSI FARMAKODINAMIK II.3.3.1. PUMPITOR DAN RADIN
Mekanisme kerja
SANMOL
LODIA
Bekerja di sistem saraf pusat, meningkatkan threshold nyeri dengan menghambat COX-1 dan COX-2. Tidak seperti NSAID, paracetamol tidak menghambat COX di jaringan peripheral sehingga tidak memiliki sifat antiinflammasi.
Memperlambat motilitas usus dan dengan mempengaruhi pergerakan air dan elektrolit di usus. Loperamide merupakan nonselective calcium channel blocker dan mengikat opioid mureceptor. Pada konsentrasi tinggi, loperamide mengikat reseptor NMDA dan calmodulin.
8
INTERAKSI YANG TERJADI Tidak terjadi interaksi.
Reseptor
1. Prostaglandin G/H synthase 1 2. Prostaglandin G/H synthase 2
1. Voltage-dependent P/Q-type calcium channel subunit alpha-1A 2. Glutamate [NMDA] receptor subunit epsilon-4 3. Glutamate [NMDA] receptor subunit epsilon-2 4. Calmodulin 5. Delta-type opioid receptor 6. Glutamate [NMDA] receptor subunit epsilon-3 7. Glutamate [NMDA] receptor subunit epsilon-1 8. Mu-type opioid receptor 9. Corticotropinlipotropin
Tidak terjadi interaksi.
II.3.3.2. RADIN DAN DEXANTA
Mekanisme kerja
Reseptor
SANMOL
SANPRIMA FORTE
Bekerja di sistem saraf pusat, meningkatkan threshold nyeri dengan menghambat COX-1 dan COX-2. Tidak seperti NSAID, paracetamol tidak menghambat COX di jaringan peripheral sehingga tidak memiliki sifat antiinflammasi.
Sulfamethoxazole menghambat enzim dihydrofolate synthetase pada bakteri mengakibatkan intervensi pada konversi paminobenzoic acid (PABA) menjadi folic acid. Trimethoprim menghambat dihydrofolate reductase dan bertindak sinergis dengan sulfonamide. 1. FolC bifunctional protein [Includes: Folylpolyglutamate synthase 2. Dihydrofolate reductase 3. Bifunctional dihydrofolate reductasethymidylate synthase
1. Prostaglandin G/H synthase 1 2. Prostaglandin G/H synthase 2
9
INTERAKSI YANG TERJADI Tidak ada interaksi.
Tidak ada interaksi.
II.3.3.3. PUMPITOR DAN DEXANTA LODIA
SANPRIMA FORTE
Mekanisme kerja
Memperlambat motilitas usus dan dengan mempengaruhi pergerakan air dan elektrolit di usus. Loperamide merupakan nonselective calcium channel blocker dan mengikat opioid mureceptor. Pada konsentrasi tinggi, loperamide mengikat reseptor NMDA dan calmodulin.
Sulfamethoxazole menghambat enzim dihydrofolate synthetase pada bakteri mengakibatkan intervensi pada konversi paminobenzoic acid (PABA) menjadi folic acid. Trimethoprim menghambat dihydrofolate reductase dan bertindak sinergis dengan sulfonamide.
Reseptor
1. Voltagedependent P/Qtype calcium channel subunit alpha-1A 2. Glutamate [NMDA] receptor subunit epsilon-4 3. Glutamate [NMDA] receptor subunit epsilon-2 4. Calmodulin 5. Delta-type opioid receptor 6. Glutamate [NMDA] receptor subunit epsilon-3 7. Glutamate [NMDA] receptor subunit epsilon-1 8. Mu-type opioid receptor 9. Corticotropinlipotropin
1. FolC bifunctional protein [Includes: Folylpolyglutamate synthase 2. Dihydrofolate reductase 3. Bifunctional dihydrofolate reductasethymidylate synthase
10
INTERAKSI YANG TERJADI Tidak terjadi interaksi
Tidak terjadi interaksi
BAB III KESIMPULAN 1. Tidak terjadi interaksi farmaseutik antara ketiga obat. 2. Tidak terjadi interaksi farmakokinetik antara ketiga obat. 3. Tidak terjadi interaksi farmakodinamik antara ketiga obat.
DAFTAR PUSTAKA
MIMS Indonesia ISO Indonesia Volume 39-2004 ISSN 0854-4492 http//:www.drugs.com medicastore.com www.drugbank.ca http://chealth.canoe.ca www.dechacare.com
11