MAKALAH DERADIKALISASI “ MEMPERKUAT PEMAHAMAN MENGENAI NILAI-NILAI NILAI -NILAI PANCASILA UNTUK MENCEGAH MASUKNYA PAHAM GERAKAN ISLAM TRANS NASIONAL”
PENYUSUN: 1. LIA WINARSO 2. ZEBFRI BAHRIL
Universitas 17 Agustus 1945 Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu politik Jl. Adi Sucipto no.26 Banyuwangi Tahun Akademik 2015/2016
A. Pendahuluan
Pasca reformasi yang ditandai dengan terbukanya kran demokratisasi telah menjadi lahan subur tumbuhnya kelompok Islam radikal. Fenomena radikalisme di kalangan umat Islam seringkali disandarkan dengan paham keagamaan, sekalipun pencetus radikalisme bisa lahir dari berbagai sumbu, seperti ekonomi, politik, sosial dan sebagainya. Radikalisme yang berujung pada terorisme menjadi masalah penting bagi umat Islam Indonesia dewasa ini. Dua isu itu telah menyebabkan Islam dicap sebagai agama teror dan umat Islam dianggap menyukai jalan kekerasan suci untuk menyebarkan agamanya. Sekalipun anggapan itu mudah dimentahkan, namun fakta bahwa pelaku teror di Indonesia adalah seorang Muslim garis keras sangat membebani psikologi umat Islam secara keseluruhan. Keterlibatan berbagai pihak dalam menangani masalah radikalisme dan terorisme sangat diharapkan. Tujuannya adalah untuk mempersempit ruang gerak radikalisme dan terorisme, serta kalau perlu menghilangkan sama sekali. Dalam konteks di atas, peran sekolah dan lembaga pendidikan sangat penting dalam menghentikan laju radikalisme Islam. Pendidikan dan lembaga pendidikan sangat berpeluang menjadi penyebar benih radikalisme dan sekaligus penangkal Islam radikal. Studi-studi tentang radikalisme dan terorisme mensinyalir adanya lembaga pendidikan Islam tertentu (terutama yang nonformal, seperti pesantren) telah mengajarkan fundamentalisme dan radikalisme kepada para peserta didik. Belakangan, sekolah-sekolah formal juga mulai mengajarkan elemen-elemen Islam radikal, misalnya mengajarkan kepada murid untuk tidak menghormat bendera Merah Putih saat upacara bendera. Dan yang menjadi elemen radikalisme adalah mempertentangkan antara Islam dengan Indonesia, misalnya dalam bentuk menolak hormat terhadap simbol Negara bendera merah. Peneliti bertanya kepada para informan apakah dalam kegiatan keagamaan siswa ada pengisi acara yang mengajarkan soal keharaman menghormat bendera. Seluruh informan menyatakan tidak ada ustadz yang mendorong siswa tidak menghormati simbol-simbol Negara. Deradikalisasi sebuah istilah yang berasal dari radikal, radikalisasi, radikalisme, radikal terorisme hingga tiba pada istilah deradikalisasi. Radikal atau radix istilah yang memiliki makna cara berpikir yang mengakar, tuntas, koomprehensif dan holistik, tentu kita semua sepakat dalam menggunakan istilah radikal yang memilikii makna kritis. Demikian pula radikalisasi merupakan cara ynag ditempuh agar cara berpikir secara kritis dapat diwujudkan, kriteria cara berpikir yang radikal adalah objektif, sistematis dan universal. Seorang pelajar dan mahasiswa harus berpikir radikal, yaitu berpikir secar objektif sistematis
dan universal. Hasil cara berpikir demikian menjadi komprehensif, kritis akomodatif bukan kritis anarkis Deradikalisasi yang menjadi ulasan dalam karya ilmiah ini, merupakan proses transformasi cara berpikir, aksi, dan perilaku yang radikal anarkis menuju kepada sebuah pembentukan ide, cara berpikir radikal yang komprehensif, moderat, holistik , kritis akomodatif bukan kritis yang anarkis. Deradikalisasi merupakan sebuah strategi yang dijalankan oleh mantan teroris , mantan nara pidana teroris, keluargam jaringan dan pihak yang terindikasi radikal teroris. Siklus deradikalisasi bukan hanya ditujukan pada kelompok yang terpapar dengan faham radikal anarkis setelah diproses hukum dan berketepatan hukum dan setelah mereka kembali ketengah masyarakat. Jika tiap orang memahami konsep deradikalisasi pada prinsipnya juga serupa dengan maksud Tuhan menurunkan syari’at Islam. Dalam kitab al- Muwaffat karya besar Imam alSyathibiy menjelaskan bahwa tujuan utama Tuhan menurukan syari’at Islam adalah memelihara lima prinsip yang mendasar, pertama memlihara jiwa, kedua, mememlihara agama, ketiga memelihara akal, keempat memelihara keturunan, kelima memelihara harta benda. Banyak capaian , success story dan leason learnt yang telah ditorehkan program deradikalisasi oleh Direktorat Deradikalisasi BNPT. Namun, masih membutuhkan waktu dalam menjalankan program deradikalisasi yang menghadapi banyak tantangan, baik tantangan secara internal instutisi, substansi, sumber daya manusia, dan regulasi, maupun tantangan secara eksternal dari banyak lapisan masyarakat. Merubah mindset seseorang radikal anarkis menadi radikal yang akomodatif dan moderat, tidak semudah membalik jari tangan. Pengaruh virus ideologi takfiri telah menyebar sejak awal perjuangan Islam yang digoreskan dalam lembar sejarah perjuangan Nabi Muhammad SAW dan khulafa alRasyidun. Konsep saling mengkarkan telah mewarnai pergolakan sejarah masa lalu. Ideologi takfiri inilah yang menjadi tantangan substansif bagi umat Islam di seluruh dunia. Ideologi tersebut sangat jauh bertentangan dengan konsep Islam rahmatan lil alamin. Sebaliknya jika bukan rahmat, maka menjadilah laknatan lil alamain. Fenomena itulah yang kini mendera banyak negara yang berpenduduk muslim, banyak kalangan generasi muda yang menyebar di seluruh jagat raya . Deradikalisasi menegaskan sebuah pemaknaan bahwa islam bukan teroris, Islam tidak ada keterkaitan dengan aksi teror bunuh diri dan Islam bukan sekumpulan ajaran yang kaku, jumud. Namun, islam merupakn tatanan nilai yang senantiasa menyebarkan kedamaian, kentraman bagi seluruh alam jagat raya.
BAB II PEMBAHASAN
A. Latar belakang munculnya strategi deradikalisasi Maka saya rasa penting untuk memahami peta yang sesungguhnya dari stretegi yang akhirakhir ini secara sistemik di operasikan oleh BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), apa yang menjadi latar belakang dari strategi deradikalisasi dan apa yang sebenarnya menjadi target dari strategi ini. Sejauh kajian saya; deradikalisasi adalah bagian dari strategi kontra terorisme.Pendekatan Hard measure, belum dianggap bisa mereduksi dan menghabisi seluruh potensi yang mengarah ke tindakan ”terorisme”. Bahkan dianggap belum efektif menyentuh akar persoalan terorisme secara komprehensif. Begitu juga ketika strategi Law Enforcement dirasa kurang memberikan efek jera dan belum bisa menjangkau ke akar radikalisme. Sekalipun diakui cukup efektif untuk “disruption” tapi tidak efektif untuk pencegahan dan rehabilitasi sehingga masalah terorisme terus berlanjut dan berkembang. Deradikalisasi dan kontra-radikalisasi yang integratif pada konteks ini adalah sebagai upaya baik dalam bentuk langkah strategis maupun taktis untuk memotong seluruh variabel yang dipandang sebagai stimulan lahirnya tindakan ”terorisme” baik pra maupun pasca (terkait pembinaan terhadap narapidana dan mantan combatan). Maka program ini lebih banyak berbentuk ” soft approach”, baik kepada masyarakat secara luas, kelompok tertentu maupun kepada individu-individu tertentu yang masuk dalam jejaring kelompok yang di cap ”radikal”, ”teroris” dan semacamnya. Dan langkah ini diupayakan mendapat pijakan hukum dengan mempropagandakan ini bagian dari WOT. Dan catatan penting yang tidak boleh dilupakan; sebagian orang tidak sadar telah bersikap apologis terhadap istilah dan terminologi ”terorisme” yang dijajakan Barat didunia Islam dan di ekspos secara masif oleh media.Sebuah istilah yang menjadikan Islam Ideologi dan pemeluknya sebagai ”tersangka” atas tindakan beberapa individu atau sebagian orang yang menggunakan jalan kekerasan untuk meraih kepentinganya.Tanpa lagi mengkritisi kemungkinan drama ”terorisme” adalah pabrikasi dengan melibatkan intelijen asing. Di sini terlihat ada usaha pengalihan perhatian umat terhadap AS sebagai biang kerok lahirnya instabilitas sosial politik ekonomi didunia Islam termasuk Indonesia.Kemudian secara manipulatif AS memaksa kepada para penguasa dunia Islam untuk memberangus setiap potensi yang dapat mengancam dan membongkar kedok imperialisme-nya.Maka yang
dimaksud deradikalisasi di Indonesia jika melihat obyek sasaranya, jelas telah menempatkan gerakan-gerakan Islam yang menginginkan tegaknya syariat Islam secara kafah dalam bingkai negara sebagai bidikan. Awalnya pendekatan pisik semata (hard power ) di fokuskan kepada kelompok-kelompok Jihadis, tapi dianggap tidak menyelesaikan suatu gerakan ideologis. Dan pengemban strategi ini telah belajar dari pengalaman Indonesia selama lebih dari 50 tahun menangani DI/NII telah membuktikan bahwa hard power approach bukan approach bukan jawaban tepat. Asumsinya selama ideologi radikal mereka tidak bisa di netralisir, selama itu pula mereka terus melakukan aksi. Diambillah kasus situasi di Afghanistan dan Irak, oleh karena itu dalam deradikalisasi ada upaya menggeser menggeser kepada obyek sasaran lebih luas,yaitu kepada pihak yang dianggap pengusung ideologi radikal-fundamentalis. Yang diposisikan sebagai eksploitator terhadap faktor dan realitas ketimpangan sosial politik dalam konteks global maupun lokal Indonesia. Maka tampak, yang diinginkan dari proyek deradikalisasi adalah menyumbat pertumbuhan Islam ideologi yang dipandang membahayakan status quo yang sekuler.
B.
Landasan Teologis Gerakan Islam Trans-nasional Begitu banyak teks-teks suci agama dijadikan legistimasi gerakan, bagaimana
menyikapinya? Riffat Hasan menawarkan jalan yang menarik untuk menjelaskannya, karena fundamentalisme Islam semestinya tentang Islam fundamental, jawaban dari apakan fundamentalisme Islam baik atau buruk didasarkan pada apakah fundamental itu baik?jika iya maka Islam fundamental juga baik begitu juga sebaliknya. Islam transnasional merupakan sebuah gerakan Islam yang bergerak di lintas dunia. Transnasional adalah nama lain dari istilah Globalized istilah Globalized (globalisasi) (globalisasi) Islam, fundamentalisme, Islam kanan, dan Islam radikal. Gerakan Islam transnasional merupakan pola gerakan Islam yang mondial yang hendak membenamkan cita-cita Islam di pelbagai dunia . Sedangkan definisi fundamentalisme yang lebih menekankan kepada kewajiban kembali kepada prinsip prinsip fundamental sebagaimana telah dibincangkan oleh kalangan sarjana, seperti Musa Kailani, Jan Hjarpe dan Leonard Binder. Pendapat Musa Kailani di dalam karyanya mengartikan fundamentalisme sebagai gerakan sosial keagamaan yang mengajak umat Islam kembali pada prinsip-prinsip Islam yang fundamental dan kembali pada kemurnian etika dengan cara mengintegrasikan prinsip fundamental tersebut secara positif positif (berdasarkan doktrin agama). agama). Sedangkan Jan Hjarpe
mendefinisikan fundamentalisme tidak jauh beda dengan yang telah dikemukakan Musa Kailani. Ia mendefinisikan fundamentalisme sebagai sikap keyakinan kepada Al-Qur'an dan Sunnah sebagai dua sumber otoritatif yang mengandung norma-norma politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan untuk menciptakan masyarakat yang baru. Ungkapan serupa juga telah dikemukakan oleh Leonard Binder dalam bukunya yang berjudul "Religion and Politics in Pakistan” dimana dia menyatakan bahwa fundamentalisme merupakan aliran keagamaan yang bercorak romantis pada Islam periode awal. Keyakinan mereka menempatkan doktrin Islam sebagai sumber doktrin yang lengkap, sempurna, dan mencakup segala macam persoalan. Istilah fundamentalisme dalam Islam sering disebut dengan al-Ushuliyyah alIslamiyyah (fundamentalisme Islam), al-Salafiyyah (warisan leluhur), al-Shahwah alIslamiyyah (kebangkitan Islam), al-Ihya' al-Islami (kebangunan Islam kembali), al-Badil alIslami (alternatif Islam). Namun istilah fundamentalisme bila dikaitkan dengan Islam masih banyak kalangan yang menolak istilah tesebut, karena istilah fundamentalisme berasal dari tradisi kristiani. Perjalanan panjang merintis jalan kepada Allah adalah amat rumit dan berliku, sementara apabila tidak memperoleh pembimbing (mursyid) salah-salah bisa tersesat di tengah jalan disebabkan banyak dan beragamnya godaan baik berupa ilusi optik maupun dorongan nafsu syahwat. Proses perjalanan menuju tingkatan hakikat tidak dapat digambarkan melalu logika rasional semata karena pencapaian hakikat itu adalah berupa gugusan pengalaman rohani yang tidak terperikan berupa kenikmatan substansial (syatahat). Oleh karena itu semakin terjal jalan yang hendak dilalui maka akan semakin kelu lidah untuk mengilustrasikannya. Menyebabkan seseorang yang semakin dekat dengan Tuhannya semakin sulit untuk menjelaskan gambaran dari pengembaraan tersebut. Itulah yang menjadi faktor utama mengapa untuk melakukan studi perkelanaan spritual diperlukan bimbingan dari seorang yang telah lebih dahulu melakukan perjalanan spiritualitas agama dengan kata lain mereka disebut khalifah. Kata khalifah banyak terdapat dalam berbagai ayat dalam Al-Qur'an sedangkan yang paling kongkrit adalah pernyataan Al-Qur'an pada Surat Al-Baqarah 30: Dan ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada malaikat bahwa sesungguhnya Aku (Allah) menjadikan di muka bumi khalifah; mereka (malaikat) berkata apakah Engkau akan menjadikan padanya orang yang akan berbuat kerusakan dan melakukan pertumpahan darah; Ia (Allah) berkata sesungguhnya Aku (Allah) lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. Dari pernyataan ayat di atas kata khalifah sesungguhnya merujuk kepada semua anak Adam yang bernama
“manusia”. Kata khalifah tidak dikhususkan untuk menuju kepada seorang pribadi atau kelompok masyarakat tertentu, kitab tafsir jalalain menafsirkan kata Khalifah dengan ( ) yang artinya...... sedangkan Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya.......... lafal khilaf ah mengandung arti (
)
artinya....Akan tetapi dalam perkembangan semantiknya, kata khalifah memiliki pengertian khusus. Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, menurut komunitas penganut ajaran tarekat, khalifah adalah seorang yang telah memperoleh ijazah dari Imam tarekat untuk meneruskan kepemimpinan, salah satu tugasnya adalah melakukan pembimbingan kepada setiap muslim yang ingin menapaki jalan menuju pencapaian kedekatan kepada Illahi Rabbi melalui tahapan Syari’at, tarekat, hakikat dan ma'rifat.
Gerakan Realisasi Nash secara Tekstual
Rasulullah Muhammad SAW dalam sejarah kewahyuan memiliki dua fenomena yaitu penerima wahyu dan penyampai wahyu. Semenjak Rasul wafat maka fungsi yang pertama dinyatakan telah selesai dan tidak mungkin ada yang menerimanya lagi, karena beliau diyakini sebagai penutup segala Nabi dan Rasul. Namun untuk fungsi yang kedua terus berlanjut sepanjang masa hingga sang surya lelah berjalan dari timur ke barat. Fungsi yang kedua inilah yang menjadi bebas kesejarahan yang dipikulkan ke pundak pengganti beliau. Inilah kemudian yang dilekatkan kepada Abu Bakar Al Siddiq sebagai jabatan khalifah. Akan tetapi dalam perkembangan berikutnya tugas khalifah itu tidak hanya bermakna sebagai pengganti dalam melakukan penyiaran Islam (tabligh) namun berkembang menjadi terminologi baru dengan jabatan kenegaraan yaitu kepala negara yang memiliki makna ganda yaitu spritual (ulama) dan temporal (pemimpin duniawi).
Inilah perkembangan semantik yang kedua yaitu yang berkenaan dengan bidang politik. Tidak bisa dielakkan bahwa Islam sangat dekat dengan pranata politik. Hal ini disebabkan karena untuk menegakkan sebuah kebenaran ( izharul haqq) harus dilakukan melalui penggunaan kekuasaan. Sesuai dengan karakter Syari’at agama yang terakhir, Islam sangat berdekatan dengan seluruh aspek kehidupan. Oleh karena itu, maka dalam perkembangan kesejarahan kehadiran Islam kemudian menjelma menjadi pelembagaan kekuasaan yang disebut Islamdom (kerajaan Islam). Tidak lama setelah Rasullullah wafat, dalam jangka waktu lebih kurang satu generasi, maka ekspansi Islam telah merambah ke berbagai penjuru yang melahirkan berbagai imperium di antaranya yang lebih terkenal yaitu Umayyah, Abbasiyah dan Fatimiah.
Eickelman dan Piscatori menjelaskan bahwa pandangan integratif antara agama dan negara didukung oleh empat puluh lebih referensi di dalam al- Qur’an tentang perlunya “ketaatan kepada Allah, Nabi-Nya, dan orang-orang yang berkuasa diantara kamu”(Surat An Nisa’:59), hal ini telah dipraktikan oleh Rasulullah SAW, dimana pada saat yang bersamaan bertindak sebagai pemimpin spiritual sekaligus komunitas politik. Secara teoritik, Javid Iqbal menjelaskan, bahwa negara Islam adalah negara Allah, negara yang memberlakukan Syar i’at Islam, dan kedaulatan ditangan Tuhan (Allah SWT). Dalam pengertian ini negara Islam memiliki tiga komponen penting, yaitu: 1. masyarakat muslim, 2. hukum Islam atau Syari’at Islam, 3. Khalifah. Tiga komponen ini menjadi prasyarat berdirinya negara Islam yang sah. Formulasi ini kemudian dijabarkan lebih lanjud oleh Hasan Al-Turabi, bahwa negara Islam memiliki landasan teologis yang kuat, yakni:1. negara Islam tunduk pada doktrin tauhid, yang meniscayakan religiusitasnya dan sebaliknya menolak sekularitas, 2. negara Islam bukanlah negara yang dibatasi oleh wilayah teritorial (nasionalitas), karena kesetiaan utama hanya diberikan kepada Tuhan, setelah itu barulah diserahkan kepada masyarakat (umat). Karena itu, Islam tidak memperbolehkan adanya kesetiaan terbatas, entitas atau teritorial, 3. negara Islam bukanlah suatu kesatuan yang berdaulat, karena ia tunduk kepada norma-norma Syari’at yang lebih tinggi, yang mewakili kehendak Tuhan. Bahkan oleh Abu A’la Al -Maududi, negara Islam diletakkan pada prinsip utamanya pada pengakuan kedaulatan Tuhan sebagai sumber segala hukum. Bahkan, tidak seorangpun yang dapat menetapkan hukum, kecuali Allah SWT sebagai pemilik kedaulatan tunggal.
C. Ancaman Radikalisme Islam di Indonesia dan Solusi Pada tataran ideologis dan politis, jelas perubahan ini membawa implikasi bahwa aksi terorisme yang terjadi dalam satu setengah dasawarsa di negeri ini tidak bisa hanya dilihat sebagai kelanjutan dari gerakan separatism DI/TII dan NII sebagaimana pada dekade limapuluhan. Sebab ideologi transnasional Islam radikal tidak lagi mengenal batas-batas geografis dan nasion (kebangsaan) lagi. Ideologi jihadi (berperang) dan takfiri (mengkafirkan) yang digunakan juga memiliki perbedaan dengan ideologi Islam politik ala DI/TII. Bagi penganut ideologi takfiri, maka kendati sesama Muslim pun apabila tidak mengikuti kelompok tersebut, dianggap telah keluar dari Islam. Ajaran ideologi jihadi dan takfiri ini, misalnya, sangat kentara dalam buku-
buku ABB yang disebarluaskan di kalangan kelompok tersebut dan juga dapat diakses oleh publik, seperti Tadzkirah (Nasehat/ Peringatan). Demikian pula jika dilihat dari segi jangkauan gerakan Islam radikal transnasional seperti Al-Qaeda dan ISIS (Islamic State in Iraq and Shams, Negara Islam di Irak dan Syam), mereka tidak hanya memperjuangkan cita-cita suatu nasion sebagaimana pengertian negara bangsa (nation state). Perubahan nama dari ISIS menjadi “Islamic State” (IS) atau “Negara Islam” yg dilakukan oleh Abu Bakar al Baghdadi, menunjukkan perubahan dari tuju an perjuangan yang terbatas pada geografi dua negara menuju sebuah imperium atau Kekhalifahan Islam. Gagasan Kekhalifahan Islam jelas memiliki klaim territorial yang lebih luas ketimbang hanya Negara Islam Indonesia ala DI/TII atau NII. Namun demikian bukan hal yang tidak mungkin jika kelompok-kelompok NII dan tokoh-tokoh mereka melakukan transformasi ideologi dan menjadi bagian dari gerakan Kekahlifahan atau Imperium Islam tersebut. Pada aspek strategi dan taktik, pengaruh jangkauan global dari gerakan radikal Islam transnasional memiliki perbedaan besar dengan kelompok seperti NII, terutama dalam pemanfaatan teknologi, khususnya teknologi informasi untuk keperluan rekruitmen dan kampanye atau propaganda serta komunikasi antara jejaring mereka. Secara umum, sebagai akibat dari obsesi ideologi politik mereka, sangat ironis bagaimana mungkin mereka yang tidak mengerti tentang Islam akan memperjuangkan Islam.Lemahnya pemahaman yang mendalam ini menjadi penyebab utama mereka terlena dan tergoda memperjuangkan gagasan yang dikemas dalam term-term Arab yang identik dengan Islam. Secara umum, retorika kelompok-kelompok seperti ini adalah pengantar pada aksi-aksi kekerasan. Di dalamnya agama telah dimanipulasi sedemikian rupa untuk menyediakan dorongan teologis bagi para pengikut garis keras agar bersedia melakukan apa pun, hingga membunuh atau bunuh diri sekalipun jika dibutuhkan, demi mencapai tujuan politik mereka.
a. Tiga Aspek Kekerasan
Ketiga gerakan transnasional ini (Wahabi, Ikhwanul Muslimin, dan Hizbut Tahrir), hadir di Indonesia baik secara terbuka maupun sembunyi-sembunyi. Dengan ideologinya yang kaku, keras, dan ekstrem, didukung kekuatan dana dan sistem penyusupan ala komunisme, gerakangerakan transnasional ini menyusup ke hampir semua bidang kehidupan bangsa Indonesia. Ketiganya berusaha mengubah wajah Islam Indonesia yang umumnya santun dan toleran agar seperti wajah mereka yang sombong, garang, kejam, penuh kebencian, dan merasa berhak menguasai. Kekerasan yang mereka lakukan bisa dilihat dalam beberapa as pek. Pertama, kekerasan doktrinal, yakni pemahaman literal-tertutup atas teks-teks keagamaan dan hanya menerima kebenaran sepihak. Dalam hal ini, literalisme-tertutup telah memutus relasi kongkret dan aktual pesan-pesan luhur agama dari realitas sejarah, sosial, dan kultural. Akibatnya, pesan-pesan luhur agama diamputasi sedemikian rupa dan hanya menyisakan organ yang sesuai dengan ideologi mereka. Kedua, kekerasan tradisi dan budaya, dampak turunan dari yang pertama. Kebenaran sepihak yang dijunjung tinggi membuat mereka tidak mampu memahami kebenaran lain yang berbeda, dan praktik-praktik keagamaan umat Islam yang semula diakomodasi kemudian divonis sesat, dan pelakunya divonis musyrik, murtad, dan atau kafir. Kelompok-kelompok garis keras menolak eksistensi tradisi, karena itu mereka lazim menolak bermadzhab (alla madzhabiyyah), menolak tradisi tasawuf, dan berbagai praktikyang merupakan buah dari komunikasi teks-teks atau ajaran luhur agama dengan tradisi dan budaya umat Islam di berbagai daerah sepanjang sejarah. Akibatnya, terjadi salah kaprah dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam. Dengan dalih meniru Kanjeng Nabi, para anggota garis keras berpakaian a la busana Arab seperti gamis dan sorban, me- manjangkan jenggot, namun mereka abai atas akhlak Kanjeng Nabi, seperti santun, sabar, rendah hati, pemaaf, dan seterusnya. Ketiga, kekerasan sosiologis, dampak lanjutan dari dua kekerasan pertama, yakni aksi-aksi anarkis dan destruktif terhadap pihak lain yang dituduh musyrik, murtad, dan/ atau kafir. Kekerasan sosial ini kemudian menyebabkan ketakutan, instabilitas, dan kegelisahan sosial yang mengancam negara di manapun tempat mereka menyusup. Dan akumulasi dari ketiga kekerasan ini kemudian merusak nalar dan logika umat Islam, menyuburkan kesalahkaprahan dalam memahami Islam akibat jargon-jargon teologis yang diteriakkan dengan tidak
semestinya. Kebenaran, kemudian, lebih didasarkan pada jargon ideologis, bukan pada substansi pesan luhur agama yang disimbolkan oleh jargon yang bersangkutan. Menurut seorang pejabat tinggi Departemen Pertahanan Republik Indonesia (Dephan RI), ancaman terhadap Indonesia tidak datang dalam bentuk militer dari luar negeri. Ancaman yang sebenarnya justru berada di dalam negeri, dalam bentuk gerakan ideologi garis keras. Senjata untuk mengatasinya adalah Pancasila. Afiliasi tokoh-tokoh atau individu-individu aktivis garis keras lokal dengan salah satu gerakan transnasional tersebut terutama disebabkan oleh faktor-faktor seperti keuntungan finansial, kesem- patan untuk mendapat kekuasaan, lingkungan dan atau dislokasi sosial, dan/atau lemahnya pemahaman atas ajaran agama, terutama dalam hal spiritualitas. Faktor finansial merupakan bisnis terselubung gerakan garis keras. Seorang mantan tokoh Laskar Jihad di Indonesia secara terbuka menyatakan kepada peneliti kami, ketika aktif dalam gerakan dia mendapat tunjangan tak kurang dari Rp 3 juta setiap bulan. Di tengah krisis ekonomi yang berkepanjangan, godaan materi ini sangat berpengaruh bagi mereka yang masih lemah imannya. Hal ini bisa dimengerti, dana yang sangat besar memang bisa menghanyutkan iman dan menjadi lahan bisnis yang sangat menguntungkan para agennya. Keuntungan finansial ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para petualang yang ingin mendapat keuntungan instan tanpa perlu bekerja keras. Orang-orang yang merasa punya kemampuan namun tidak punya peran sosial yang diimpikan, sering menemukan aktualisasi diri dalam kelompok-kelompok garis keras. Di dalamnya mereka mendapatkan peran dan posisi penting karena mampu merekrut dan mengatur pengikutnya serta menarik perhatian publik. Semakin banyak memperoleh pengikut dan sering muncul dalam liputan pers, semakin terpuaskan keinginannya untuk dianggap penting dan mendapat perhatian publik. Sepertinya publikasi pers menjadi pemuas impian yang telah lama tak tercapai untuk menjadi orang penting dan terkenal. Hal ini terlihat jelas antara lain dalam sebuah interview kolumnis asing dengan salah seorang Pimpinan kelompok garis keras pada bulan April 2007. Namun faktor terpenting dan barangkali menjadi alasan kebanyakan orang terpesona dengan gerakan garis keras adalah dangkalnya pemahaman mereka tentang agama (baca: ajaran Islam). Jargon- jargon garis keras seperti membela Islam, penerapan syari’ah, maupun penegakan Khilafah Islamiyah, bagi umat Islam yang tidak mempunyai pemahaman
mendalam tentang ajaran agamanya bisa menjadi ungkapan yang sangat ampuh dan mempesona. Pada saat yang sama, para penolak jargon-jargon tersebut bisa dengan mudah dituduh menolak syari’ah, bahkan menolak Islam. Tuduhan semacam ini lazim dilontarkan oleh orang-orang yang merasa sok tahu tentang Islam, mereka yang merasa sebagai yang paling benar dalam memahami Islam. Sikap arogan ini membuat mereka lebih suka menyalahkan siapa pun yang tidak sama dengan dirinya, dan tidak mampu melakukan introspeksi. Sikap demikian lahir karena tidak adanya sikap berislam secara sejati, sikap berserah diri seutuhnya kepada Allah swt. dan rendah hati sepenuhnya sebagaimana pesan utama Islam sendiri. Dangkalnya pemahaman ini menjelma menjadi kesalahkaprahan akut, mereka tidak mampu membedakan antara sumber ajaran Islam dari pemahaman atas sumber ajaran tersebut. Mereka juga tidak mampu mengurai kompleksitas relasi antara ajaran agama dengan realitas sosial, budaya, ekonomi, maupun politik. Dalam hal ini, agama yang mengandung pesan-pesan luhur dan sangat menekankan akhlak mulia, kemudian direduksi menjadi seperangkat diktum yang tak berperasaan berdasarkan batasan-batasan ideologis dan/ atau platform partai. Sungguh sayang, sementara beberapa umat Islam baik yang awam maupun yang berpendidikan tinggi telah dengan tulus mendukung agenda garis keras semata karena terpesona dengan jargon-jargon yang mereka gunakan, para tokohnya terus membangun simbiosa mutualistik — dengan para oportunis, individu yang sangat dangkal pemahamannya tentang Islam, atau yang idealis — yang darinya keuntungan personal diperoleh. Bukanlah sebuah kebetulan bahwa ada kelompok-kelompok garis keras yang merekrut anggota baru dengan sistem sel seperti dilakukan Ikhwanul Muslimin dan HTI, karena dengan cara demmikian mereka bisa lebih mudah dan efektif mengendalikan pengikutnya. Perekrutan dengan sistem sel merupakan media paling mudah untuk reorientasi, atau cuci otak, berdasarkan ideologi gerakan mereka. Deradikalisasi merupakan kerja lanjutan setelah diketahui akar radikalismenya. Tetapi deradikalisasi juga dapat dimaksudkan untuk langkah antisipasi sebelum radikalisme terbentuk. Penelitian ini sejatinya adalah mencari formula antisipatif terhadap elemen-elemen radikalisme yang mungkin ada dalam proses pembelajaran PAI. Elemen-elemen radikalisme itu ternyata ada sekalipun kecil skalanya, baik dalam buku ajar maupun kegiatan pembelajaran ekstra kerohanian Islam. Jangan dilupakan bahwa salah satu sekolah yang menjadi objek kajian ini telah mendapati salah satu peserta didik terindikasi paham radikal.
Sekalipun itu terjadi pada masa dulu dan berskala kecil, hal ini harus diwaspadai agar tidak terulang kembali. Di samping mengetahui elemen dan akar radikalisme, strategi deradikalisasi juga perlu diketahui agar ‘obat’ sesuai dengan indikasi penyakitnya. Selanjutnya tujuan deradikalisasi perlu dirumuskan secara pasti, yakni mengembangkan Islam moderat. Hubungan kerja antara akar radikalisme strategi deradikalisasi dan tujuan deradikalisasi, dapat digambarkan dalam segitiga deradikalisasi (triangle of deradicalizaton) berikut ini: Deradikalisasi
Tujuan deradikalisasi Moderat (Wasathiyah)
Elemen & akar radikalisme
Proses menjadi Gambar 1. Triangle of Preventive and Preservative Deradicalization
Dari gambar di atas dapat dipahami bahwa deradikalisasi dapat dimulai langsung dari elemen maupun akar radikalisme yang dimaksudkan sebagai deradikalisasi pencegahan ( preventive deradicalization) dan pemeliharaan ( preservative deradicalization) Islam moderat. Dengan model ini, deradikalisasi bersifat proaktif dan tidak menunggu sampai terjadi, misalnya aksi terorisme. Selain itu, model yang pertama juga dapat digunakan untuk deteksi dini apakah seseorang atau sekelompok orang berpotensi berpikir dan bertindak radikal. Aktor yang terlibat dalam deradikalisasi model yang pertama ini adalah negara, pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat. Dalam konteks dunia pendidikan, pihak yayasan, sekolah, guru dan orang tua menjadi aktor utama Sedangkan isi atau program deradikalisasinya, meliputi halhal sebagai berikut: (1) re-edukasi (memahami Islam lebih utuh); (2) kampanye ukhuwwah islāmiyyah dan anti radikalisme. Di samping itu, deradikalisasi juga dapat dilakukan setelah seseorang menjadi radikal (curative deradicalization). Model ini bersifat menyembuhkan bagi pelaku radikalisme, baik sebelum maupun setelah terjadi aksi radikal (teror).
Deradikalisasi
Radikalisme
Elemen radikalisme akar radikalisme
Tujuan deradikalisasi Moderat (Wasathiyah)
Proses menjadi Gambar 2. Triangle of Deradicalization
Dari gambar di atas dapat dipahami dua hal. Pertama, seseorang yang menjadi radikal dalam pikiran dan paham keagamaan. Mereka membutuhkan strategi dan program deradikalisasi yang berbeda. Selain membutuhkan program deradikalisi gambar no. 1, juga dibutuhkan langkah-langkah yang lain, seperti: (1) dialog intensif; (2) pendekatan konseling dan psikologis. Aktor yang terlibat dalam deradikalisasi model yang pertama ini adalah guru PAI, pihak sekolah dan orang tua. Kedua, seseorang yang sudah melakukan tindakan teror, yang berhasil ditangkap, diadili dan dipenjarakan. Dalam hal ini, pemerintah sudah memiliki strategi deradikalisasi yang dilakukan oleh BNPT, yaitu re-edukasi, rehabilitasi, reintegrasi dan resosialisasi. Menurut ICG, deradikalisasi di atas masih perlu ditambah dengan reformasi penjara atau Lembaga Pemasyarakatan. Sedangkan isi atau program reedukasi pelaku teror dapat mengacu kebijakan pemerintah dalam menangani narapidana terorisme Islam radikal masih berupa konsep (ada yang masih sangat mentah) dan tentu tidak dapat langsung diterapkan (non-applicable). Diperlukan kajian lain yang dapat menghasilkan modul atau kurikulum deradikalisasi yang lengkap dan implementatif. Misalnya strategi dialog, bagaimana harus dilakukan dan bagaimana tahap-tahapnya, begitu pula dengan strategi bimbingan dan konseling. Deradikalisasi yang diwujudkan melalui suatu program memiliki kesamaan karakteristik di beberapa Negara. Persamaan program tersebut diketahui oleh CounterTerrorism Implementation Task Force (CTITF) ada sebelas jenis, yakni: a) pelibatan dan kerja sama dengan masyarakat umum, b) pelaksanaan program khusus dalam penjara, c) program pendidikan,
d) pengembangan dialog lintas budaya, e) pengupayaan keadilan sosial dan ekonomi, f) kerja sama global dalam penanggulangan terorisme, g) pengawasan terhadap cyber terorisme, h) perbaikan perangkat perundang-undangan, i) program rehabilitasi, j) pengembangan dan penyebaran informasi baik regional, dan k) pelatihan serta kualifikasi para agen yang terlibat di dalam melaksanakan kebijakan kontra radikalisasi. Program deradikalisasi memiliki multi tujuan bagi penanggulangan masalah terorisme secara keseluruhan, seperti: a) melakukan counter terrorism, b) mencegah proses radikalisme, c) mencegah provokasi, penyebaran kebencian, permusuhan antar umat beragama, d) mencegah masyarakat dari indoktrinasi, e) meningkatkan pengetahuan masyarakat untuk menolak paham teror (terorisme) f) memperkaya khazanah atas perbandingan paham Upaya pelaksanaan program tersebut ditujukan kepada; napi terorisme, tersangka terorisme, keluarga napi terorisme dan tersangka, anggota organisasi teroris (seperti JI) yang belum terlibat aksi terror, para simpatisan, dan masyarakat luas.