MAKALAH MODUL SARAF & JIWA
CLOSTRIDIUM BOTULINUM
Disusun oleh : Nadilla De Putri (FAA 114 008) Dian Triyeni Asi (FAA 113 016) Clarissa Charolina Triany (FAA 114 022) Nuurika Ahsana (FAA 114 033)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PALANGKA RAYA 2017
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Terdapat tujuh strain botulism, masing masing memproduksi protein yang berpotensi sebagai neurotoxin. Tipe A, B, E dan F menyebabkan botulism pada manusia. Tipe C-alpha menyebabkan botulism pada unggas domestik dan liar. Tipe C-beta dan D menyebabkan botulism pada ternak. Tipe ketujuh dari botulism, strain G, telah diisolasi dari contoh tanah, tetapi jarang dan belum menunjukkan hubungan yang menyebabkan botulism manusia atau binatang. Tipe A dan beberapa tipe B dan tipe F mendekomposisikan protein binatang dan menyebabkan bau dari makanan yang membusuk, dan daging busuk. Tipe E dan beberapa tipe B,C, D dan F tidak proteolytic (mereka tidak mencerna protein binatang). Ketika muncul, tipe botulism ini tidak dapat terdeteksi dengan bau yang kuat. Bakteri clostridium merupakan bakteri yang heat resistant dan dapat bertahan dari perebusan yang lama. Untuk menghancurkan spora yang ada, makanan harus dipanaskan hingga temperatur 120 oC atau lebih, seperti dalam penggunaan pressure cooker. Racun yang diproduksi oleh bakteri dapat dihancurkan oleh panas. Untuk menghancurkan toxin yang bersumber dari makanan, makanan harus dipanaskan hingga 85 oC atau lebih selama lima menit, atau merebus sedikitnya selama 10 menit. Bakteri botulinum akan berbahaya bila aktif secara metabolisme dan memproduksi racun botulinus. Dalam keadaan spora, botulinum tidak berbahaya. Panas dapat memungkinkan spora aktif dan berkecambah dan panas juga dapat membunuh bakteri lain yang menjadi saingan dengan Clostridium Botulinum dalam mendapatkan host Waktu inkubasi Clostridium botulinum adalah 12 sampai 36 jam. Gejala klinis yang disebabkan intoksikasi diantaranya adalah gangguan pencernaan akut yang diikuti oleh pusing-pusing dan muntah-muntah, bisa juga diare, lelah, pening dan sakit kepala. Gejala lanjut konstipasi, kesulitan menelan dan berbicara, lidah
bisa membengkak dan tertutup, beberapa otot lumpuh, dan kelumpuhan bisa menyebar kehati dan saluran pernafasan. Kematian bisa terjadi dalam waktu tiga sampai enam hari. Gejala klinis akan muncul 2- 36 jam setelah mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi Clostridium botulinum. Bakteri Clostridium botulinum umum terdapat pada makanan kaleng dengan pH lebih dari 4,6. Kerusakan makanan kaleng dipengaruhi oleh jenis makanan dan jenis mikroba yang terdapat didalamnya. Keracunan makanan sering terjadi di Indonesia. Keracunan tersebut dapat disebabkan oleh adanya organisme penyebab keracunan makanan seperti misalnya Clostridium botulinum. Bakteri ini hidup di tanah, karenanya mudah sekali mengkontaminasi bahan makanan. C. botulinum dapat mengkontaminasi hampir semua jenis makanan, baik yang berkadar karbohidrat tinggi maupun yang berkadar protein tinggi. Di Amerika Serikat C. botulinum tipe A umumnya terdapat di tanah yang bersifat netral hingga basa (sekitar pH 7.5) dengan kondisi bahan organik rendah, sedangkan tipe B sering dijumpai pada tanah yang sedikit asam (pH 6.3) dengan kandungan bahan organik tinggi. Tipe A dan B itu jarang ditemui di perairan, namun di Inggris C. botulinum lebih banyak ditemukan di perairan dengan tipe B sebagai tipe yang dominan. Di Asia C. botulinum tipe A dan B tersebar luas. Dari sampel tanah daerah subtropik dan tropik sering ditemukan C. botulinum tipe A dan B. Daerah yang berpenduduk merupakan daerah yang lebih tinggi terkontaminasi bakteri ini dibandingkan daerah tidak berpenduduk. Sebanyak 12 sampel tanah dari Pulau Jawa yang positif mengandung C. botulinum, sebanyak 73% mengandung toksin botulin tipe C dan D. Di Amerika Utara penyebab botulismus umumnya ialah toksin tipe A, di Finlandia dan Alaska tipe E, sedangkan di Eropa Utara dan Tengah ialah toksin tipe B. Kerja
ketujuh
serotipe
toksin
ini
ialah
menghambat
pelepasan
neurotransmiter. Dalam melaksanakan fungsinya ketujuh serotipe ini memiliki substrat yang berbeda (Tabel1).
Tabel 1. Lokasi gen dan substrat toksin botulin. No
Toksin
Lokasi gen
Substrat
1.
BoNT/A
Kromosom
SNAP-25
2.
BoNT/B
Kromosom
Synaptobrevin 2
3.
BoNT/C1
Bakteriofag
Syntaxin, SNAP-25
4.
BoNT/D
Bakteriofag
Synaptobrevin 2
5.
BoNT/E
Kromosom
SNAP-25
6.
BoNT/F
Kromosom
Synaptobrevin 2
7.
BoNT/G
Plasmid
Synaptobrevin 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Botulisme adalah suatu keadaan yang jarang terjadi dan bisa berakibat fatal, yang disebabkan oleh keracunan toksin (racun) yang diproduksi oleh Clostridium botulinum. Toksin ini adalah racun yang sangat kuat dan dapat menyebabkan kerusakan saraf dan otot yang berat. Karena menyebabkan kerusakan berat pada saraf, maka racun ini disebut neurotoksin. 2.2 Ciri Khas Morfologi
Clostridium botulinum adalah bakteri gram positif berbentuk batang, terdapat tunggal, berpasangan, atau dalam rantai, anaerobic, tak berspora, tak berkapsul, motil, peritikus, berukuran 5 µ x 1 µ, tidak bersimpai, bergerak dengan flagel peririkh, membuat spora lonjong subterminal dan membengkak melebihi besar badan kuman. Bersifat pleomorfik & terlihat sendiri-sendiri/ tersusun dalam bentuk rantai, memproduksi eksotoksin yang menyebabkan botulisme.
2.3 Struktur Antigen
Bakteri
ini
dikelompokkan menjadi
grup
I-IV
berdasarkan
sifaf
proteolitiknya dan memiliki tujuh struktur antigen yakni antigen (A-G), serta antigen somatik.
2.4 Produksi Toksin
Terdapat secara luas di alam, kadang ada dalam feses binatang. Terdapat enam tipe berdasarkan toksin, yaitu A, B, C, D, E, F. Pada manusia didapatkan tipe A, B,dan E. Eksotoksin yang dikeluarkan adalah protein dengan BM 70.000 yang termolabil (1000C-20 menit menjadi inaktif). Dosis letal untuk manusia = 1 g.ɱ Kerja toksin adalah memblokir pembentukan atau pelepasan asetilkolin padahubungan saraf otot sehingga terjadi kelumpuhan otot.
2.5 Epidemiologi Di USA dilaporkan sekitar 110 kasus terjadi tiap tahunnya. Dan sekitar
25% nya foodborne botulisme, 72% infant botulisme dan sisanya adalah wound botulisme. Foodborne botulisme biasanya karena mengkonsumsi makanan kaleng. Wound botulisme meningkat karena penggunaan heroin terutama di california. 2.7 Klasifikasi
Terdapat 3 jenis botulisme, yaitu : - Foodborne botulism, merupakan akibat dari mencerna makanan yang tercemar - Wound botulism, disebabkan oleh luka yang tercemar - Infant botulism, terjadi pada anak-anak, karena mencerna makanan yang tercemar.
2.8 Etiologi
Penyebabnya adalah Bakteri Clostridium botulinum memiliki bentuk spora. Spora ini dapat bertahan dalam keadaan dorman (tidur) selama beberapa tahun dan tahan tehadap kerusakan. Jika lingkungan di sekitarnya lembab, terdapat cukup makanan dan tidak ada oksigen, spora akan mulai tumbuh dan menghasilkan toksin. Beberapa toksin yang dihasilkan Clostridium botulinum memiliki kadar protein yang tinggi, yang tahan terhadap perusakan oleh enzim pelindung usus. Jika makan makanan yang tercemar, racun masuk ke dalamtubuh melalui saluran pencernaan, menyebabkan foodborne botulism. Sumber utama dari botulisme ini adalah makanan kalengan. Sayuran, ikan, buah dan rempah-rempah juga merupakan sumber penyakit ini. Demikian juga halnya dengan daging, produki susu, daging babi dan unggas. Wound botulism terjadi jika luka terinfeksi oleh Clostridium botulinum. Di dalam luka ini, bakteri menghasilkan toksin yang kemudian diserap masuk ke dalam aliran darah dan akhirnya menimbulkan gejala. Infant botulism sering terjadi pada bayi berumur 2-3 bulan. Berbeda dengan foodborne botulism, infant botulism tidak disebabkan karena menelan racun yang sudah terbentuk
sebelumnya. Botulisme ini disebabkan karena makan makanan yang mengandung spora, yang kemudian tumbuh dalam usus bayi dan menghasilkan racun. Penyebabnya tidak diketahui, tapi beberapa kasus berhubungan dengan pemberianmadu. Clostridium botulinum banyak ditemukan di lingkungan dan banyak kasus yang merupakan akibat dari terhisapnya sejumlah kecil debu atau tanah. 2.9 Patogenesis Patologi
Bersifat non invasive & pategenitasnya berdasarkan pembuatan toksin yang dibuat dalam makanan yang tercemar . C. botulinum biasanya menyebabkan keracunan makanan oleh toksin yangtermakan bersama dengan makanan. Pada beberapa kasus bakteri tumbuh danmenghasilkan toksin pada jaringan yang mati, kemudian menyebabkan kontaminasiluka,. Makanan yang sering tercemar dengan Clostridium adalah makanan yang berbumbu, makanan yang diasap, makanan kalengan yang dimakan tanpa dimasak terlebih dahulu, dalam makanan ini spora C. Botulinum tumbuh , dalam keadaan anaerob, bentuk vegetatif tumbuh dan menghasilkan toksin. Toksin bekerja dengan menghambat pelepasan asetilkolin pada sinaps dan hubungan saraf dan otot, mengakibatkan paralisis flaksid ( flaksid paralysis). Elektromiogram dan hasil tes kekuatan endrofonium (tensilon) menunjukan sifat yang khas.
2.10 Patofisiologi
Clostridium Botulinum berbiak melalui pembentukan spora dan produksi toksin. Racun botulisme diserap di dalam lambung, duodenum dan bagian pertama jejunum. Setelah diedarkan oleh aliran darah sistemik, maka racun tersebut melakukan blokade terhadap penghantaran serabut saraf kolinergik tanpa mengganggu saraf adrenegik. Karena blokade itu, pelepasan asetilkolin terhalang. Efek ini berbeda dengan efek kurare yang menghalang-halangi efek asetil kolin terhadap serabut otot lurik. Maka dari itu efek racun botulisme menyerupai
khasiat atropin, sehingga manifetasi klinisnya terdiri dari kelumpuhan flacid yang menyeluruh dengan pupil yang lebar (tidak bereaksi terhadapt cahaya), lidah kering, takikardi dan perut yang mengembung. Kemudian otot penelan dan okular ikut terkena juga, sehingga kesukaran untuk menelan dan diplopia menjadi keluhan penderita. Akhirnya otot pernafasan dan penghantaran impuls jantung sangat terganggu, hingga penderita meninggal karena apnoe dan cardiac arrest.
2.11 Tanda dan Gejala
Gejalanya terjadi tiba-tiba, biasanya 18-36 jam setelah toksin masuk, tapi dapat terjadi 4 jam atau paling lambat 8 hari setelah toksin masuk. Makin banyak toksin yang masuk, makin cepat seseorang akan sakit. Pada umumnya, seseorang yang menjadi sakit dalam 24 jam setelah makan makanan yang tercemar, akan mengalami penyakit yang sangat parah.
6
Gejala pertama biasanya berupa mulut kering, penglihatan ganda, penurunan kelopak mata dan ketidakmampuan untuk melihat secara fokus terhadap objek yang dekat. Refleks pupil berkurang atau tidak ada sama sekali. Pada beberapa penderita, gejala aawalnya adalah mual, muntah, kram perut dan diare. Pada penderita lainnya gejala-gejala saluran pencernaan ini tidak muncul, terutama pada penderita wound botulism. 6 Penderita mengalami kesulitan untuk berbicara dan menelan. Kesulitan menelan dapat menyebabkan terhirupnya makanan ke dalam saluran pernafasan dan menimbulkan pneumonia aspirasi. Otot lengan, tungkai dan otot-otot pernafasan akan melemah. Kegagalan saraf terutama mempengaruhi kekuatan otot.6 Pada 2/3 penderita infant botulism, konstipasi (sembelit) merupakan gejala awal. Kemudian terjadi kelumpuhan pada saraf dan otot, yang dimulai dari wajah dan kepala, akhirnya sampai ke lengan, tungkai dan otot-otot pernafasan.
6
Kerusakan saraf bisa hanya mengenai satu sisi tubuh. Masalah yang ditimbulkan bervariasi, mulai dari kelesuan yang ringan dan kesulitan menelan, sampai pada kehilangan ketegangan otot yang berat dan gangguan pernafasan. 6 2.12 Gambaran Klinis
Gejala akibat infeksi Clostridium botulinum biasanya setelah 18-24 jam makan toksin dengan keluhan penglihatan karena otot mata yang tidak ada koordinasi. Sulit menelan, sulit bicara, tanda-tanda paralisis bulber (bulber paralysis) berjalan progresif. Kematian biasanya karena paralisis otot pernafasan atau kelumpuhan jantung (cardiacarrest). Gejala gastrointestinal biasanya tidak menonjol. Tidak ada demam. Penderita tetap sadar sepenuhnya hingga menjelang kematian. Angka kematian botulismus adalah tinggi.Pada botulisme bayi, organisme yang masuk melalui makanan memproduksitoksin di usus bayi sehingga bayi mengalami badan lemah, tidak dapat buang air besar dan lumpuh.
2.13 Diagnosa
Kecurigaan akan botulisme sudah harus dipikirkan dari riwayat pasien dan pemeriksaan klinik. Bagaimanapun,baik anamnesa dan pemeriksaan fisik tidak cukup untuk menegakkan diagnosa karena penyakit lain yang merupakan diagnosa banding, seperti Guillain-Barre Syndrome, stroke dan myastenia gravis memberikan gambaran yang serupa. Dari anamnesa didapatkan gejala klasik dari botulisme berupa diplopia, penglihatan kabur, mulut kering, kesulitan menelan. Dari pemeriksaan fisik didapatkan kelemahan otot. Jika sudah lama, keluhan bertambah dengan paralise lengan, tungkai sampai kesulitan nafas karena kelemahan otot-otot pernafasan. Pemeriksaan tambahan yang sangat menolong untuk menegakkan diagnosa botulisme adalah CT-Scan, pemeriksaan serebro spinalis, nerve conduction test seperti electromyography atau EMG, dan tensilon test untuk myastenia gravis.
Diagnosa dapat ditegakkan dengan ditemukannya toksin botulisme di serum pasien juga dalam urin. Bakteri juga dapat diisolasi dari feses penderita dengan foodborne atau infant botulisme.
2.14 Komplikasi
Botulisme dapat menyebabkan kematian karena kegagalan nafas. Dalam 50 tahun terakhir, banyak pasien dengan botulisme yang meninggal menurun dari 50% menjadi 8%. Pasien dengan botulisme yang parah membutuhkan alat bantu pernafasan sebagai bentuk pengobatan dan perawatan yang intensif selama beberapa bulan. Pasien yang selamat dari racun botulisme dapat menjadi lemah dan nafas yang pendek selama beberapa tahun dan terapi jangka panjang dibutuhkan untuk proses pemulihan.
2.15 Diagnosa Banding
1. Sindroma Guillain-Barre Sebelum kelumpuhan timbul terdapat anamnesa yang khas yaitu infeksi traktus respiratorius bagian atas. Di antara masa infeksi tersebut sampai timbulnya kelumpuhan terdapat masa bebas gejala penyakit yang berkisar antara beberapa hari sampai 34 minggu. Kelumpuhan timbul pada keempat anggota gerak, pada umumnya bermula di bagian distal tungkai kemudian menjalar ke proksimal ke lengan, leher bahkan wajah serta otot penelan. Pada tahap permulaan gangguan miksi dan defekasi dapat menjadi ciri penyakit tersebut. Kelumpuhan ini bersifat flacid dan bilateral simetris. Bila radiks dorsalis terserang terdapat parestesia pada daerah lesi, sering pada tangan dan kaki (gloves and stocking). Pemeriksaan cairan serebrospinalis terdapat kadar protein yang tinggi yaitu 1000mg/100ml (normal 15-45mg/ml) sedangkan jumlah sel (limfosit dan sel mononuclear) biasanya dalam keadaan normal 0-3/mm³ dan tidak melebihi 5/mm³. Keadaan ini dikenal dengan sebutan dissociation cytoalbuminigue yang merupakan ciri khas sindroma ini.
Terjadi asidosis respiratorik bila otot-otot pernafasan terkena. Merupakan keadaan gawat darurat yang dapat menimbulkan koma bahkan membawa kematian.
2.16 Pengobatan dan Pencegahan
Pengobatan Dengan pemberian antitoksin polivalen (tipe A, B, dan C) yang disuntikkan I.V. dan secara simptomatik terutama untuk pernafasan (pernafasan buatan). Pengobatan bila terjadi kelumpuhan pada pernafasan dapat dilakukan trakeomi (bedah batang tenggorokan) dan diberikan pernafasan buatan.
2.17 Uji Laboratorium Diagnostik
Toksin sering dapat ditemukan dalamserum penderita dan toksin dapat ditemukan pada makanan yang tersisa. Mencit yang disuntik intraperitoneal akan mati dengan segera. Tipe antigenik toksin yang diidentifikasi dengan cara menetralisasi dengan antitoksin spesifik pada mencit C.botulinum dapat dibuakan dari makanan yang tersisa dan dites pembentukan toksinnya, tepapi hal ini jarang dilakukan dan manfaatnya masih belum jelas.pada botulisme bayi, C.botulisme dan toksin dapat ditemukan dalam isi usus tetapi tidak terdapat dalam serum. Toksin dapat diperhatikan dengan hemaglutinasi pasif dan radioimunoassai.
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Clostridium botulinum adalah bakteri gram positif berbentuk batang, terdapat tunggal, berpasangan, atau dalam rantai, anaerobic, tak berspora, tak berkapsul, motil, peritikus, berukuran 5 µ x 1 µ, tidak bersimpai, bergerak dengan flagel peririkh, membuat spora lonjong subterminal dan membengkak melebihi besar badan kuman. Bersifat pleomorfik & terlihat sendiri-sendiri/ tersusun dalam bentuk rantai, memproduksi eksotoksin yang menyebabkan botulisme. Bakteri clostridium merupakan bakteri yang heat resistant dan dapat bertahan dari perebusan yang lama. Untuk menghancurkan spora yang ada, makanan harus dipanaskan hingga temperatur 120 oC atau lebih, seperti dalam penggunaan pressure cooker. Racun yang diproduksi oleh bakteri dapat dihancurkan oleh panas. Dari anamnesa didapatkan gejala klasik dari botulisme berupa diplopia, penglihatan kabur, mulut kering, kesulitan menelan. Dari pemeriksaan fisik didapatkan kelemahan otot. Jika sudah lama, keluhan bertambah dengan paralise lengan, tungkai sampai kesulitan nafas karena kelemahan otot-otot pernafasan. Pemeriksaan tambahan yang sangat menolong untuk menegakkan diagnosa botulisme adalah CT-Scan. Diagnosa dapat ditegakkan dengan ditemukannya toksin botulisme di serum pasien juga dalam urin. Bakteri juga dapat diisolasi dari feses penderita dengan foodborne atau infant botulisme. Botulisme dapat menyebabkan kematian karena kegagalan nafas. Pasien yang selamat dari racun botulisme dapat menjadi lemah dan nafas yang pendek selama beberapa tahun dan terapi jangka panjang dibutuhkan untuk proses pemulihan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ditjen PP&PL. Botulisme. Diunduh dari http://www.pppl.depkes.go.id/catalogcdc/Wccfff171af7c2.htm pada 26 Oktober 2017 pukul 16. 40 WIB. 2. Anonynous. Botulisme. Diunduh dari http://alikastore.multiply.com/reviews/item/11) pada 27 Oktober 2017 pukul 14.45 WIB. 3. Anonynous. Botulisme. Diunduh http://www.cdc.gov/ncidod/dbrnd/diseaseinfo/botulism-9.htm Oktober 2017 pukul 14.50 WIB.
dari pada 27
4. Anonynous. Botulisme. . Diunduh dari http://www.en.wikipdia.org/wiki/botulism pada 27 Oktober 2017 pukul 14.53 WIB. 5. Anonynous. Botulisme. Diunduh http://www.nhdirect.nhs.uk/he.asp?articleid=57&linkid=2343 Oktober 2017 pukul 14.55 WIB.
dari pada 27
6. Sidharta P, Mardjono M, Neurologi klinis dasar, Dian Rakyat Jakarta, 2003, hal 42-43. 7. Peck, MW (2009). "Biologycoat and genomic analysis of Clostridium botulinum". Advances in microbial physiology. Advances in Microbial Physiology. 55: 183– 265, 320. ISBN 978-0-12-374790-7 .