BAB II PEMBAHASAN
A. Sifat karakteristik Clostridium botulinum Clostridium botulinum adalah bakteri berbentuk bacil (batang), gram positif, anaerobik, dapat membentuk spora, gas dan dapat memproduksi racun syaraf yang kuat. Sporanya tahan panas dan dapat bertahan hidup dalam makanan dengan pemprosesan yang kurang sesuai atau tidak benar. Toksin dari Clostridium botulinum adalah suatu protein yang daya toksisitasnya sangat kuat sehingga sejumlah kecil dari toksin ini sudah cukup menyebabkan kematian.Toksin ini diserap dalam usus kecil dan melumpuhkan otot-otot tak sadar. Sifat toksin ini yang penting adalah labil terhadap panas. Ada 7 tipe bakteri ini yang berbeda berdasarkan spesifitas racun yang diproduksi, yaitu tipe A, B, C, D, E, F dan G. Tipe yang berbahaya adalah tipe A, B, E dan F pada manusia, serta tipe C dan D pada hewan.
B. Morfologi Clostridium botulinum Sel vegetative C. botulinum berbentuk batang dan berukuran cukup besar untuk ukuran bakteri. Panjang antara 3 µm hingga 7-8 µm. lebarnya antara 0,4 µm hingga 1,2 µm. C. botulinum termasuk bakteri Gram positif, spora yang dihasilkan oleh sel Clostridium secara struktural sangat berbeda dengan sel pada spesies itu sendiri, tapi yang terkenal adalah spora Clostridia yang bersifat pathogen. Lapisan paling luar spora disebut exosporium. Exosporium ini bervariasi antara masing-masing species, terkenal pada species yang bersifat patogen, termasuk C. botulinum. Lapisan di bawah exosporium disebut dengan membrane spora, terdiri atas protein yang strukturnya tidak biasa. Bagian tengah spora mengandung DNA spora, ribosom, enzim dan kation. Strain proteolitik C. botulinum dapat menghasilkan spora yang sangan resisten dengan pemanasan tinggi. C. botulinum merupakan bakteri Gram positif yang memiliki kandungan peptidoglikan antara 80-90% dari komponen dinding sel.
C. Fisiologi Clostridium botulinum C. botulinum termasuk bakteri yang bersifat mesophilic dengan suhu optimum untuk tumbuh yaitu 377 C untuk strain jenis A dan B serta 30 7 C untuk strain jenis E. suhu terendah strain jenis A dan B adalah 12,57 C namun pernah juga dilaporkan bahwa kuman dapat tumbuh pada suhu 107 C. disisi lain spora jenis E dikatakan mampu tumbuh dan mengahsilkan toksin pada suhu 3,37 C, sementara jenis F dilaporkan tumbuh dan menghasilkan toksin pada suhu 47 C. secara umum strain jenis E dan B bersifat nonproteolitik serta strain F suhu minimum untuk tumbuhnya lebih kurang 1 07 C lebih rendah daripada strain A dan B. sedangkan jenis E suhu maksimum 5 derajat lebih rendah dari strain A dan B dengan suhu optimumnya 307 C (suardana, 2001; Cliver, 1990; Jay, 1978). Produksi toksin dari C. botulinum tergantung dari kemampuan sel untuk tumbuh di dalam makanan dan menjadi autolysis disana (Suardana, 2001; Frazier dan Westhoff, 1988). Lebih lanjut produksi toksin dipengaruhi oleh kompososo dari makanan atau medium terutama glukosa atau maltosa yang diketahui sangan potensial terhadap produksi toksin, kelembaban, pH, potensial redok, kadar garam, temperature dan waktu penyimpanan. Berdasarkan atas pH, dilaporkan bahwa C. botulinum tidak mampu tumbuh pada pH di bawah 4,5. Lebih jauh dilaporkan bahwa organism akan tumbuh dengan baik dan menghasilkan toksin pada pH 5,5-8,0 (Suardana, 2001; Jay, 1978). Sedangkan Frazier dan Westhoff (1988) menyatakan bahwa nilai pH minimal untuk pertumbuhan sel vegetatif adalah 4,87 sedangkan untuk pertumbuhan spora 5,01 di dalam cairan kaldu. Nutrisi yang diperlukan untuk pertumbuhan bersifat komplek, diperlukan asam amino, vitamin B dan mineral. C. botulinum jenis A dan B memerlukan kadar air 0,94 dan jenis E pada 0,97 dilaporkan bahwa kadar garam 10% atau 50% sukrosa akan menghambat pertumbuhan jenis A dan B. Tar dalam Jay (1987) menyatakan bahwa pada konsentrasi 24-500 ppm dapat menghambat jenis A lebih dari sebulan pada suhu optimum dengan pH 5,9-7,6. Di dalam penelitian pembentukan toksin jenis E dan pertumbuhan sel didalam kalkun yang diinkubasikan pada suhu 307C, Midura et al, dalam Jay (1978) menemukan bahwa spora jenis E akan memperbanyak diri dan menghasilkan toksin dalam waktu 24 jam. Penampakan toksin bertepatan dengan pertumbuhan sel selama 2 minggu setelah toksin berada di luar sel hidup. Penemuan ini mengungkapkan bahwa
kemungkinan ditemukannya toksin jenis E di dalam makanan tanpa ditemukan sel jenis E. alat perumbuhan dengan terjadinya penurunan potensial redok.
D. Gejala Clostridium botulinum Akibat Clostridium botulinum, biasanya akan timbulnya gejala dalam waktu 12-36 jam, dan masa sakit dapat berlangsung selama 4 jam hingga 8 hari. Gejala awal mungkin termasuk distensi perut, diari ringan dan muntah. Efek dimulai pada syaraf bagian kepala sehingga menyebabkan penglihatan kabur/ganda dan kesulitan menelan, kemudian menyebar ke punggung sehingga menyebabkan kelumpuhan otot lengan, otot pernapasan, dan mungkin juga otot kaki. Pada bayi dibawah 1 tahun, gejala yang timbul antara lain sembelit, tidak nafsu makan, lesu dan menangis tidak biasa serta lumpuh.
E. Penyakit yang disebabkan Clostridium botulinum Penyakit yang ditimbulkan akibat Clostridium botulinum termasuk intoksikasi. Intoksikasi adalah penyakit yang disebabkan karena tertelannya toksin dalam makanan yang sebelumnya diproduksi oleh mikroba dalam makanan. C. botulinum menghasilkan neurotoksin, yaitu toksin yang bersifat meracuni syaraf atau bersifat neurotoksi. Botulisme merupakan penyakit yang disebabkan oleh racun (toksin) yang diproduksi C. botulinum. Ada 3 jenis utama botulisme, yaitu : 1. Foodborne Botulisme Disebabkan karena makanan yang mengandung toksin botulisme. 2. Wound Botulisme Disebabkan toksin dari luka yang terinfeksi oleh Clostridium botulinum. 3. Infant Botulisme Disebabkan karena spora dari bakteri botulinum, yang kemudian berkembang dalam usus dan melepaskan toksin. Semua bentuk botulisme dapat fatal dan merupakan keadaan darurat. Foodborne botulisme merupakan jenis botulisme yang paling berbahaya karena banyak orang dapat tertular dengan mengkonsumsi makanan yang tercemar. F. Cara mencegah Clostridium botulinum
Cara pencegahan dan penanggulangan kontaminasi oleh C. botulinum dengan melihat efek yang diakibatkan, harus ada asumsi bahwa spora dapat terkandung pada semua makanan mentah, cara pencegahan untuk perkembangan spora dan produksi toksin dalam makanan dapat diterapkan dengan cara proses thermal efektif fan dengan formulasi produk yang tepat, dimana setiap perubahan yang terjadi pada suatu proses dan formulasi produk harus teliti dan dibuat dengan menerapkan metode HACCP, dengan tujuan dapat mengontrol dan menghancurkan keberadaan Clorstridium botulinum. Penggunaan pengawet untuk mengendalikan pertumbuhan C. botulinum efektif a makanan. Contoh pengawet-pengawet yang digunakan sorbates, paraben, polyphosphates, fenolik antioksida, askorbat, metabisulfit, dan fumarates. Cara pencegahan kontaminasi Clostridium botulinum juga dapat diterapkan selama proses penyimpanan, seperti pemilihan kemasan untuk produk makanan yang baik untuk mengurangi resiko dari botulisme dan memasak makanan yang dikalengkan secara benar dan menghindari makanan kaleng jika kemasan kaleng sudah menggembung. Cara pencegahan kontaminasi yang lainnya dapat dilakukan proses sterilisasi secara kuat, dan pemberian pH asam ataupun konsentrasi garam karena C. botulinum ini sangat resisten terhadap panas, tahan pada suhu 1007 C selama 3-5 jam, tetapi daya tahan ini akan berkurang pada pH asam atau konsentrasi garam. Bagi industri yang memproduksi produk pangan yang kerat kaitannya dengan bakteri ini dapat melakukan sterilisasi dan penggunaan panas serta nitrit pada daging yang dipasteurisasi dan akan dikalengkan. Sedangkan bagi rumah tangga atau pusat penjualan makanan yaitu dengan melakukan pengolahan produk pangan yang dikalengkan tersebut dengan cara direbus. Bakteri ini dapat menyerang produk pangan yang tidak disimpan dengan baik, olek sebab itu dilakukan cara menyimpan produk pangan tersebut dengan baik seperti misalnya disimpan di dalam lemari pendingin. Hindari pula mengkonsumsi pangan kaleng yang kemasannya telah mengembang. G. Catatan insiden Clostridium botulinum Kasus mengenai botulisme yang ditemukan di seluruh dunia yang mencerminkan tentang pola makan dan wabah yang terjadi di suatu daerah relatif jarang ditemukan. Rataan tertinggi mengenai kasus botulisme di dunia yang berasal dari laporan nasional terdapat di Negara Republik Georgia. Namun jika berbicara mengenai kejadian kasus botulisme, terdapat di Uni Eropa tepatnya di Negara Polandia, dimana resiko tertinggi berada pada
makanan ruma yang diawetkan seperti pada makanana kaleng ataupun minuman botol yang dikonsumsi setiap harinya. Kasus botulisme di Amerika Serikat yang paling umum yaitu botulisme pada bayi. Makanan pada bayi yang dapat menyebabkan kasus botulisme pada bayi terdapat pada madu dan kemungkinan terbesar juga terdapat pada sirup glukosa. Botulisme bayi terjadi karena perkembangbiakan C. botulinum di dalam sistem pencernaan yang berasal dari makanan atau minuman yang mengandung spora C. botulinum. Wabah botulisme yang terkenal di United Kingdom terkait dengan makanan yang diproduksi secara komersial banyak ditemukan di makanan seperti salmon kaleng dan hazelnut yang digunakan sebagai penyedap dalam produk seperti “Yoghurt” dan “Kentang Pasta”. Di tempat lainnya makanan yang dapat menyebabkan botulisme yaitu pada makanan seperti kentang panggang, salad kentang yang terbuat dari kentang panggang, ikan asin, produk-produk sayur dan minyak (bawang putih dan aubergines), brie dan keju mascarpone dan yang terakhir keju yang mengandung bawang merah dan ikan asap (panas dan dingin). Di negara Thailand sendiri wabah besar yang terjadi terkait dengan piring yang berisi rebung dan diawetkan dan terjadi selama musim semi tahun 2006, yang mengakibatkan kurang lebih 143 orang yang sakit terkena efek ini walaupun tidak ada korban jiwa. Dan kasus terakhir terjadi di Amerika Serikat pada tahun 2006, wabah yang terjadi diakibatkan karena adanya penyalahgunaan suhu pada produksi jus wortel.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Daftar Pusaka
Buckle, F.A; RA Edwards, G H fleet dan M. Wotton. 1987. Ilmu Pangan. UI Press. Jakarta. http://mahesanti.blogspot.com/2012/11/clostridium-botulinum_28.html (online) diakses tanggal 27 Febuari 2015. http://www.biologiedukasi.com/2014/11/mengenal-lebih-dekat-clostridium.html diakses tanggal 27 Febuari 2015.
(online)