LAPORAN PENDAHULUAN HEPATOMA 1. DEFINISI Karsinoma hepatoseluler atau hepatoma adalah tumor ganas hati primer dan paling sering ditemukan daripada tumor ganas hati primer lainnya seperti limfoma maligna, fibrosarkoma, dan hemangioendotelioma. Hepatocellular Carcinoma (HCC) atau disebut juga hepatoma atau kanker hati primer atau Karsinoma Hepato Selular (KHS) adalah satu dari jenis kanker yang berasal dari sel hati (Misnadiarly, 2007). 2. ETIOLOGI a. Virus Hepatitis B Hubungan antara infeksi kronik HBV dengan timbulnya hepatoma terbukti kuat, baik secara epidemiologis, klinis maupun eksperimental. Sebagian besar wilayah yang hiperendemik HBV menunjukkan angka kekerapan hepatoma yang tinggi. Umur saat terjadinya infeksi merupakan faktor resiko penting karena infeksi HBV pada usia dini berakibat akan terjadinya kronisitas. Karsinogenitas HBV terhadap hati mungkin terjadi melalui proses inflamasi kronik, peningkatan proliferasi hepatosit, integrasi HBV DNA ke dalam DNA sel penjamu, dan aktifitas protein spesifik-HBV berinteraksi dengan gen hati. Pada dasarnya, perubahan hepatosit dari kondisi inaktif menjadi sel yang aktif bereplikasi menentukan tingkat karsinogenesis hati. Siklus sel dapat diaktifkan secara tidak langsung akibat dipicu oleh ekspresi berlebihan suatu atau beberapa gen yang berubah akibat HBV. Infeksi HBV dengan pajanan agen onkogenik seperti aflatoksin dapat menyebabkan terjadinya hepatoma tanpa melalui sirosis hati. b. Virus Hepatitis C Di wilayah dengan tingkat infeksi HBV rendah, HCV merupakan faktor resiko penting dari hepatoma. Infeksi HCV telah menjadi penyebab paling umum karsinoma hepatoseluler di Jepang dan Eropa, dan juga bertanggung jawab atas meningkatnya insiden karsinoma hepatoseluler di Amerika Serikat, 30% dari kasus karsinoma hepatoseluler dianggap terkait dengan infeksi HCV. Sekitar 5-30% orang dengan infeksi HCV akan berkembang menjadipenyakit hati kronis. Dalam kelompok ini, sekitar 30% berkembang menjadi sirosis, dan sekitar 1-2% per tahun berkembang menjadi karsinoma hepatoseluler. Resiko karsinoma hepatoseluler pada pasien dengan HCV sekitar 5% dan muncul 30 tahun setelah infeksi. Penggunaan alkohol oleh pasien dengan HCV kronis lebih beresiko terkena karsinoma hepatoseluler 1
dibandingkan dengan infeksi HCV saja. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa penggunaan antivirus pada infeksi HCV kronis dapat mengurangi risiko karsinoma hepatoseluler secara signifikan. c. Sirosis Hati Sirosis
hati
merupakan
faktor
resiko
utama
hepatoma
di
dunia
dan
melatarbelakangi lebih dari 80% kasus hepatoma. Penyebab utama sirosis di Amerika Serikat dikaitkan dengan alkohol, infeksi hepatitis C, dan infeksi hepatitis B. Setiap tahun, 3-5% dari pasien dengan sirosis hati akan menderita hepatoma. Hepatoma merupakan penyebab utama kematian pada sirosis hati. Pada otopsi pada pasien dengan sirosis hati , 20-80% di antaranya telah menderita hepatoma. d. Aflatoksin Aflatoksin
B1
(AFB1)
meruapakan
mikotoksin
yang
diproduksi
oleh
jamur Aspergillus. Dari percobaan pada hewan diketahui bahwa AFB1 bersifat karsinogen. Aflatoksin B1 ditemukan di seluruh dunia dan terutama banyak berhubungan dengan makanan berjamur.1 Pertumbuhan jamur yang menghasilkan aflatoksin berkembang subur pada suhu 13°C, terutama pada makanan yang menghasilkan protein. Di Indonesia terlihat berbagai makanan yang tercemar dengan aflatoksin seperti kacang-kacangan, umbi-umbian (kentang rusak, umbi rambat rusak,singkong, dan lain-lain), jamu, bihun, dan beras berjamur. Salah satu mekanisme hepatokarsinogenesisnya ialah kemampuan AFB1 menginduksi mutasi pada gen supresor tumor p53. Berbagai penelitian dengan menggunakan biomarker menunjukkan ada korelasi kuat antara pajanan aflatoksin dalam diet dengan morbiditas dan mortalitas hepatoma. e. Obesitas Suatu penelitian pada lebih dari 900.000 individu di Amerika Serikat diketahui bahwa terjadinya peningkatan angka mortalitas sebesar 5x akibat kanker pada kelompok individu dengan berat badan tertinggi (IMT 35-40 kg/m2) dibandingkan dengan kelompok individu yang IMT-nya normal. Obesitas merupakan faktor resiko utama untuk non-alcoholic fatty liver disesease (NAFLD), khususnya non-alcoholic steatohepatitis (NASH) yang dapat berkembang menjadi sirosis hati dan kemudian berlanjut menjadi hepatoma. f.
Diabetes Mellitus Tidak lama ditengarai bahwa DM menjadi faktor resiko baik untuk penyakit hati
kronis maupun untuk hepatoma melalui terjadinya perlemakan hati dan steatohepatitis non-alkoholik (NASH). Di samping itu, DM dihubungkan dengan peningkatan kadar insulin dan insulin-like growth factors (IGFs) yang merupakan faktor promotif potensial untuk kanker. Indikasi kuatnya aasosiasi antara DM dan hepatoma terlihat dari banyak 2
penelitian. Penelitian oleh El Serag dkk. yang melibatkan173.643 pasien DM dan 650.620 pasien bukan DM menunjukkan bahwa insidensi hepatoma pada kelompok DM lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan insidensi hepatoma kelompok bukan DM. g. Alkohol Meskipun alkohol tidak memiliki kemampuan mutagenik, peminum berat alkohol (>50-70 g/hari atau > 6-7 botol per hari) selama lebih dari 10 tahun meningkatkan risiko karsinoma hepatoseluler 5 kali lipat. Hanya sedikit bukti adanya efek karsinogenik langsung dari alkohol. Alkoholisme juga meningkatkan resiko terjadinya sirosis hati dan hepatoma pada pengidap infeksi HBV atau HVC. Sebaliknya, pada sirosis alkoholik terjadinya HCC juga meningkat bermakna pada pasien dengan HBsAg positif atau anti-HCV positif. Ini menunjukkan adanya peran sinergistik alkohol terhadap infeksi HBV maupun infeksi HCV. 3. PATOFISIOLOGI Hepatoma 75 % berasal dari sirosis hati yang lama/menahun. Khususnya yang disebabkan oleh alkoholik dan post nekrotik. Pedoman diagnostik yang paling penting adalah terjadinya kerusakan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Pada penderita sirosis hati yang disertai pembesaran hati mendadak. Matastase ke hati dapat terdeteksi pada lebih dari 50 % kematian akibat kanker. Diagnosa sulit ditentukan, sebab tumor biasanya tidak diketahui sampai penyebaran tumor yang luas, sehingga tidak dapat dilakukan reseksi lokal lagi. Stadium hepatoma : a. Stadium I : Satu fokal tumor berdiameter < 3 cm b. Stadium II : Satu fokal tumor berdiameter > 3 cm. Tumor terbatas pada segment I atau multi-fokal tumor terbatas padlobus kanan atau lobus kiri hati c. Stadium III : Tumor pada segment I meluas ke lobus kiri (segment IV) atau ke lobus kanan segment V dan VIII atau tumor dengan invasi peripheral ke sistem pembuluh darah (vascular) atau pembuluh empedu (biliary duct) tetapi hanya terbatas pada lobus kanan atau lobus kiri hati d. Stadium IV :Multi-fokal atau diffuse tumor yang mengenai lobus kanan dan lobus kiri hati. atau tumor dengan invasi ke dalam pembuluh darah hati (intra hepaticvaskuler ) ataupun pembuluh empedu (biliary duct) atau tumor dengan invasi ke pembuluh darah di luar hati (extra hepatic vessel) seperti pembuluh darah vena limpa (vena lienalis) atau vena cava inferior-atau adanya metastase keluar dari hati (extra hepatic metastase).
3
Pathway Virus hepatitis C
Virus hepatitis B
Alkohol, steroid
Aflatoksin
anabolic, androgen
Integrasi DNA virus ke DNA sel hati
Infeksi sel hati
Mutasi gen
yang
berlebihan, Bahan kontrasepsi oral,
Peningkatan poliferasi hepatosit
Inflamasi kronik
Penimbunan zat besi berlebihan
Sirosis hepatik
dalam hati
Hepatoma
Anoreksia, mual
Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan
Asites
Dinding perut menegang
Diafragma tertekan
Gangguan rasa nyaman nyeri
Gangguan ventilasi
Pembedahan Diskontinuitas jaringan
Insisi bedah
Luka post operasi
Gangguan rasa nyaman nyeri
Resiko infeksi 4
yang
4. MANIFESTASI KLINIS a. Gangguan nutrisi b. Penurunan berat badan yang baru saja terjadi c. Kehilangan kekuatan d. Anoreksia e. Anemia f.
Nyeri abdomen dapat ditemukan, disertai dengan pembesaran hati yang cepat serta permukaan yang teraba ireguler pada palpasi.
5. PEMERIKSAAN PENUNJANG a. Biopsi Biopsi aspirasi dengan jarum halus (fine needle aspiration biopsy) terutama ditujukan untuk menilai apakah suatu lesi yang ditemukan pada pemeriksaan radiologi imaging dan laboratorium AFP itu benar pasti suatu hepatoma. Cara melakukan biopsi dengan dituntun oleh USG ataupun CTscann mudah, aman, dan dapat ditolerir oleh pasien dan tumor yang akan dibiopsi dapat terlihat jelas pada layar televisi berikut dengan jarum biopsi yang berjalan persis menuju tumor, sehingga jelaslah hasil yang diperoleh mempunyai nilai diagnostik dan akurasi yang tinggi karena benar jaringan tumor ini yang diambil oleh jarum biopsi itu dan bukanlah jaringan sehat di sekitar tumor. b. Radiologi Untuk mendeteksi kanker hati stadium dini dan berperan sangat menentukan dalam pengobatannya. Kanker hepato selular ini bisa dijumpai di dalam hati berupa benjolan berbentuk kebulatan (nodule) satu buah,dua buah atau lebih atau bisa sangat banyak dan diffuse (merata) pada seluruh hati atau berkelompok di dalam hati kanan atau kiri membentuk benjolan besar yang bisa berkapsul.
c. Ultrasonografi Dengan USG hitam putih (grey scale) yang sederhana (conventional) hati yang normal tampak warna ke-abuan dan texture merata (homogen). USG conventional hanya dapat memperlihatkan benjolan kanker hatidiameter 2 cm – 3 cm saja. Tapi bila USG conventional ini dilengkapi dengan perangkat lunak harmonik sistem bisa mendeteksi benjolan kanker diameter 1 cm – 2 cm13, namun nilai akurasi ketepatan diagnosanya hanya 60%. d. CT scan
5
CT scann sebagai pelengkap yang dapat menilai seluruh segmen hati dalam satu potongan gambar yang dengan USG gambar hati itu hanya bisa dibuat sebagiansebagian saja. CTscann dapat membuat gambar kanker dalam tiga dimensi dan empat dimensi dengan sangat jelas dan dapat pula memperlihatkan hubungan kanker ini dengan jaringan tubuh sekitarnya. e. Angiografi Angiografi ini dapat dilihat berapa luas kanker yang sebenarnya. Kanker yang kita lihat dengan USG yang diperkirakan kecil sesuai dengan ukuran pada USG bisa saja ukuran sebenarnya dua atau tiga kali lebih besar. Angigrafi bisa memperlihatkan ukuran kanker yang sebenarnya. f.
MRI (Magnetic Resonance Imaging) MRI yang dilengkapi dengan perangkat lunak Magnetic ResonanceAngiography
(MRA) sudah pula mampu menampilkan dan membuat peta pembuluh darah kanker hati ini. g. PET (Positron Emission Tomography) Positron Emission Tomography (PET) yang merupakan alat pendiagnosis kanker menggunakan
glukosa
radioaktif
yang
dikenal
sebagai
flourine18
atau
Fluorodeoxyglucose (FGD) yang mampu mendiagnosa kanker dengan cepat dan dalam stadium dini. Caranya, pasien disuntik dengan glukosa radioaktif untuk mendiagnosis sel-sel kanker di dalam tubuh. Cairan glukosa ini akan bermetabolisme di dalam tubuh dan memunculkan respons terhadap sel-sel yang terkena kanker. PET dapat menetapkan tingkat atau stadium kanker hati sehingga tindakan lanjut penanganan kanker ini serta pengobatannya menjadi lebih mudah. Di samping itu juga dapat melihat metastase (penyebaran).
6. PENATALAKSANAAN MEDIS Pemilihan terapi kanker hati ini sangat tergantung pada hasil pemeriksaan radiologi dan biopsi. Sebelum ditentukan pilihan terapi hendaklah dipastikan besarnya ukuran kanker,lokasi kanker di bagian hati yang mana, apakah lesinya tunggal (soliter) atau banyak (multiple), atau merupakan satu kanker yang sangat besar berkapsul, atau kanker sudah merata pada seluruh hati, serta ada tidaknya metastasis (penyebaran) ke tempat lain di dalam tubuh penderita ataukah sudah ada tumor thrombus di dalam vena porta dan apakah sudah ada sirrhosis hati. Tahap penatalaksanaan dibagi menjadi dua yaitu tindakan non-bedah dan tindakan bedah. a. Tindakan Bedah Hati Digabung dengan Tindakan Radiologi
6
Terapi yang paling ideal untuk kanker hati stadium dini adalah tindakan bedah yaitu reseksi (pemotongan) bahagian hati yang terkena kanker dan juga reseksi daerah sekitarnya. Pada prinsipnya dokter ahli bedah akan membuang seluruh kanker dan tidak akan menyisakan lagi jaringan kanker pada penderita, karena bila tersisa tentu kankernya akan tumbuh lagi jadi besar, untuk itu sebelum menyayat kanker dokter ini harus tahu pasti batas antara kanker dan jaringan yang sehat. Radiologilah satu-satunya cara untuk menentukan perkiraan pasti batas itu yaitu dengan pemeriksaan CT angiography yang dapat memperjelas batas kanker dan jaringan sehat sehingga ahli bedah tahu menentukan di mana harus dibuat sayatan. Maka harus dilakukan CT angiography terlebih dahulu sebelum dioperasi. Dilakukan CT angiography sekaligus membuat peta pembuluh darah kanker sehingga jelas terlihat pembuluh darah mana yang bertanggung jawab memberikan makanan (feeding artery) yang diperlukan kanker untuk dapat tumbuh subur. Sesudah itu barulah dilakukan tindakan radiologi Trans Arterial Embolisasi (TAE) yaitu suatu tindakan memasukkan suatu zat yang dapat menyumbat pembuluh darah (feeding artery) itu sehingga menyetop suplai makanan ke sel-sel kanker dan dengan demikian kemampua hidup (viability) dari sel-sel kanker akan sangat menurun sampai menghilang. Sebelum dilakukan TAE dilakukan dulu tindakan Trans Arterial Chemotherapy (TAC) dengan tujuan sebelum ditutup feeding artery lebih dahulu kanker-nya disirami racun (chemotherapy) sehingga sel-sel kanker yang sudah kena racun dan ditutup lagi suplai makanannya maka sel-sel kanker benar-benar akan mati dan tak dapat berkembang lagi dan bila sel-sel ini nanti terlepas pun saat operasi tak perlu dikhawatirkan, karena sudah tak mampu lagi bertumbuh. Tindakan TAE digabung dengan tindakan TAC yang dilakukan olehdokter spesialis radiologi disebut tindakan Trans Arterial Chemoembolisation (TACE). Selain itu TAE ini juga untuk tujuan supportif yaitu mengurangi perdarahan pada saat operasi dan juga untuk mengecilkan ukuran kanker dengan demikian memudahkan dokter ahli bedah. Setelah kanker disayat, seluruh jaringan kanker itu harus diperiksakan pada dokter ahli patologi yaitu satu-satunya dokter yang berkompentensi dan yang dapat menentukan dan memberikan kata pasti apakah benar pinggir sayatan sudah bebas kanker. Bila benar pinggir sayatan bebas kanker artinya sudahlah pasti tidak ada lagi jaringan kanker yang masih tertinggal di dalam hati penderita. Kemudian diberikan chemotherapy (kemoterapi) yang bertujuan meracuni sel-sel kanker agar tak mampu lagi tumbuh berkembang biak. Pemberian Kemoterapi dilakukan oleh dokter spesialis penyakit dalam bahagian onkologi (medical oncologist) ini secara intra venous (disuntikkan melalui pmbuluh 7
darah vena) yaitu epirubucin/dexorubicin 80 mg digabung dengan mitomycine C 10 mg. Dengan cara pengobatan seperti ini usia harapan hidup penderita per lima tahun 90% dan per 10 tahun 80%. b. TindakanNon-bedah Hati Tindakan non-bedah merupakan pilihan untuk pasien yang datang pada stadium lanjut.. Termasuk dalam tindakan non-bedah ini adalah: 1) Embolisasi Arteri Hepatika (Trans Arterial Embolisasi = TAE) Pada prinsipnya sel yang hidup membutuhkan makanan dan oksigen yang datangnyabersama aliran darah yang menyuplai sel tersebut. Pada kanker timbul banyak sel-sel baru sehingga diperlukan banyak makanan dan oksigen, dengan demikian terjadi banyak pembuluh darah baru (neo-vascularisasi) yang merupakan cabang-cabang dari pembuluh darah yang sudah ada disebut pembuluh darah pemberi makanan (feeding artery) Tindakan TAE ini menyumbat feeding artery. Caranya dimasukkan kateter melalui pembuluh darah di paha (arteri femoralis) yang seterusnya masuk ke pembuluh nadi besar di perut (aorta abdominalis) dan seterusnya dimasukkan ke pembuluh darah hati (artery hepatica) dan seterusnya masuk ke dalam feeding artery. Lalu feeding artery ini disumbat (di-embolisasi) dengan suatu bahan seperti gel foam sehingga aliran darah ke kanker dihentikan dan dengan demikian suplai makanan dan oksigen ke sel-sel kanker akan terhenti dan sel-sel kanker ini akan mati. Apalagi sebelum dilakukan embolisasi dilakukan tindakan trans arterial chemotherapy yaitu memberikan obat kemoterapi melalui feeding artery itu maka sel-sel kanker jadi diracuni dengan obat yang mematikan. Bila kedua cara ini digabung maka sel-sel kanker benar-benar terjamin mati dan tak berkembang lagi.Dengan dasar inilah embolisasi dan injeksi kemoterapi intra-arterial dikembangkan dan nampaknya memberi harapan yang lebih cerah pada penderita yang terancam maut ini. Angka harapan hidup penderita dengan cara ini per lima tahunnya bisa mencapai sampai 70% dan per sepuluh tahunnya bisa mencapai 50%. 2) Infus Sitostatika Intra-arterial Menurut literatur 70% nutrisi dan oksigenasi sel-sel hati yang normal berasal dari vena porta dan 30% dari arteri hepatika, sehingga sel-sel ganas mendapat nutrisi dan oksigenasi terutama dari sistem arteri hepatika. Bila Vena porta tertutup oleh tumor maka makanan dan oksigen ke sel-sel hati normal akan terhenti dan sel-sel tersebut akan mati. Dapatlah dimengerti kenapa pasien cepat meninggal bila sudah ada penyumbatan vena porta ini . 8
Infus sitostatika intra-arterial ini dikerjakan bila vena porta sampai ke cabang besar tertutup oleh sel-sel tumor di dalamnya dan pada pasien tidak dapat dilakukan tindakan transplantasi hati oleh karena ketiadaan donor, atau karena pasien menolak atau karena ketidakmampuan pasien. Sitostatika yang dipakai adalah mitomycin C 10 – 20 Mg kombinasi dengan adriblastina 10-20 Mg dicampur dengan NaCl (saline) 100 – 200 cc. Atau dapat juga cisplatin dan 5FU (5 Fluoro Uracil). Metoda ballon occluded intra arterial infusion adalah modifikasi infus sitostatika intra-arterial, hanya kateter yang dipakai adalah double lumen balloncatheter yang di-insert (dimasukkan) ke dalam arteri hepatika. Setelah ballon dikembangkan terjadi sumbatan aliran darah, sitostatika diinjeksikan dalam keadaan ballon mengembang selama 10 – 30 menit, tujuannya adalah memperlama kontak sitostatika dengan tumor. Dengan cara ini maka harapan hidup pasien per lima tahunnya menjadi 40% dan per sepuluh tahunnya 30% dibandingkan dengan tanpa pengobatan adalah20% dan 10%. 3) Injeksi Etanol Perkutan (Percutaneus Etanol Injeksi = PEI) Pada kasus-kasus yang menolak untuk dibedah dan juga menolak semua tindakan atau pasien tidak mampu membiayai pembedahan dan tak mampu membiayai tindakan lainnya maka tindakan PEI-lah yang menjadi pilihan satusatunya. Tindakan injeksi etanol perkutan ini mudah dikerjakan, aman, efek samping ringan, biaya murah, dan hasilnya pun cukup memberikan harapan. PEI hanya dikerjakan pada pasien stadium dini saja dan tidak pada stadium lanjut. Sebagian besar peneliti melakukan pengobatan dengan cara ini untuk kanker bergaris tengah sampai 5 cm, walaupun pengobatan paling optimal dikerjakan pada garis tengah kurang dari 3 cm. Pemeriksaan histopatologi setelah tindakan membuktikan bahwa tumor mengalami nekrosis yang lengkap. Sebagian besar peneliti menyuntikkan etanol perkutan pada kasus kanker ini dengan jumlah lesi tidak lebih dari3 buah nodule, meskipun dilaporkan bahwa lesi tunggal merupakan kasus yang paling optimal dalam pengobatan. Walaupun kelihatannya cara ini mungkin dapat menolong tetapi tidak banyak penelitian yang memadai dilakukan sehingga hanya dikatakan membawa tindakan ini memberi hasil yang cukup baik. 4) Terapi Non-bedah Lanilla Terapi non-bedah lainnya saat ini sudah dikembangkan dan hanya dilakukan bila terapi bedah reseksi dan Trans Arterial Embolisasi (TAE) ataupun
Trans
Arterial
Chemoembolisation 9
ataupun
Trans
Arterial
Chemotherapy tak mungkin dilakukan lagi. Di antaranya yaitu terapi Radio Frequency Ablation Therapy (RFA),Proton Beam Therapy, Three Dimentional Conformal Radiotherapy (3DCRT), Cryosurgery yang kesemuanya ini bersifat palliatif (membantu) bukan kuratif (menyembuhkan) keseluruhannya. 5) Tindakan Transplantasi Hati Bila kanker hati ini ditemukan pada pasien yang sudah ada sirrhosis hati dan ditemukan kerusakan hati yang berkelanjutan atau sudah hampir seluruh hati terkena kanker atau sudah ada sel-sel kanker yang masuk ke vena porta (thrombus vena porta) maka tidak ada jalan terapi yang lebih baik lagi dari transplantasi hati. Transplantasi hati adalah tindakan pemasangan organ hati dari orang lain ke dalam tubuh seseorang. Langkah ini ditempuh bila langkah lain seperti operasi dan tindakan radiologi seperti yang disebut di atas tidak mampu lagi menolong pasien. Akan tetapi,langkah menuju transplantasi hati tidak mudah, pasalnya ketersediaan hati untuk di-transplantasikan sangat sulit diperoleh seiring kesepakatan
global
yang
melarang
jual
beli
organ
tubuh.
Selain itu, biaya transplantasi tergolong sangat mahal. Dan pula sebelum proses transplantasi harus dilakukan serangkaian pemeriksaan seperti tes jaringan
tubuh
dan
darah
yang
tujuannya
memastikan
adanya
kesamaan/kecocokan tipe jaringan tubuh pendonor dan pasien agar tidak terjadi penolakan terhadap hati baru. Penolakan bisa berupa penggerogotan hati oleh zat-zat dalam darah yang akan menimbulkan kerusakan permanen dan
mempercepat
kematian
penderita.
Seiring
keberhasilan
tindakan
transplantasi hati, usia pasien setidaknya akan lebih panjang lima tahun.
7. KOMPLIKASI Komplikasi yang sering terjadi pada sirosis adalah asites, perdarahan saluran cerna bagian atas, ensefalopati hepatika, dan sindrom hepatorenal. Sindrom hepatorenal adalah suatu keadaan pada pasien dengan hepatitis kronik, kegagalan fungsi hati, hipertensi portal, yang ditandai dengan gangguan fungsi ginjal dan sirkulasi darah Sindrom ini mempunyai risiko kematianyangtinggi. Terjadinya gangguan ginjal pada pasien dengan sirosis hati ini baru dikenal pada akhir abad 19 dan pertamakali dideskripsikan oleh Flint dan Frerichs. Penatalaksanaan sindrom hepatorenal masih belum memuaskan; masih banyak kegagalan sehingga menimbulkan kematian. Prognosis pasien dengan penyakit ini buruk.
10
ASUHAN KEPERAWATAN HEPATOMA 1. PENGKAJIAN a. Identitas Nama, umur, jenis kelamin, alamat, agama, suku, bangsa, no. registrasi b. Riwayat kesehatan 1) Keluhan utama: klien biasanya mengeluh mual, muntah, nyeri perut kanan atas, pembesaran perut, berak hitam 2) Riwayat penyakit sekarang: biasanya klien awalnya mengalami mual, nyeri perut kanan atas, berak hitam, kemudian perut klien membesar dan sesak nafas. 3) Riwayat penyakit dahulu: biasanya klien pernah mengalami penyakit hepatitis B atau C atau D. Dan mengalami sirosis hepatic 4) Riwayat penyakit keluarga: biasanya salah satu atau lebih keluarga klien menderita penyakit hepatitis B atau C atau D. Biasanya ibu klien menderita hepatitis B atau C atau D yang diturunkan kepada anaknya pada waktu hamil. 5) Riwayat imunisasi: biasanya klien tidak diimunisasi untuk penyakit hepatitis B c. Pemeriksaan fisik 1) Keadaan umum Biasanya klien terlihat lemah, letih, dengan perut membesar dan sesak nafas, penurunan BB. 2) TTV TD: >120/80 mmHg N: >100 x/mnt RR: <16 x/mnt S: >37,5oC 3) Kepala dan leher Biasanya terjadi pernafasan cuping hidung, ikterus, muntah 4) Thoraks Biasanya terjadi retraksi dada dikarenakan kesulitas bernafas, penggunaan otot-otot bantu pernafasan 5) Abdomen Biasanya terjadi pembesaran hati (hepatomegali), permukaan hati terasa kasar, asites, nyeri perut bagian kanan atas dengan skala 7-10, splenomegali 6) Ekstremitas Biasanya terjadi gatal-gatal, kelenahan otot
11
7) Breath Biasanya klien mengalami sesak nafas 8) Blood Biasanya klien anemi dikarenakan adanya perdarahan 9) Brain Jika sudah metastase akan terjadi enselofaty hepatik 10) Bowel Biasanya klien mengalami anoreksia, mual, muntah, melena, bahkan mungkin terjadi hematomesis. Terjadi penurunan BB, turgor kulit lebih dari 2 detik, rambut kering, mukosa oral kering, penurunan serum albumin. 11) Blader Biasanya klien mengeluarkan urin berwarna seperti teh pekat 12) Bone Jika terjadi metastase ke tulang akan terjadi nyeri tulang d. Pola fungsi kesehatan 1) Pola aktivitas Biasanya klien mengalami gangguan dalam beraktivitas dikarenakan nyeri, kelemahan otot, mual, dan muntah 2) Pola nutrisi Biasanya klien mengalami anoreksia, mual dan muntah 3) Pola eliminasi Biasanya klien mengeluarkan urin berwarna seperti teh dan pekat. 4) Pola istirahat Biasanya klien mengalami insomnia 5) Pola seksual Biasanya klien mengalami penurunan libido 6) Pola spiritual Biasanya klien terganggu dalam menjalani ibadah 2. DIAGNOSA a. Pre operasi 1) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan adanya asites dan penekanan diafragma. 2) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, mual. 3) Nyeri berhubungan dengan tegangnya dinding perut. Akibat asites
12
b. Post operasi 1) Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan luka post operasi. 2) Resiko infeksi berhubungan dengan luka post operasi. 3. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN Pre operasi Dx 1
: Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan adanya asites dan penekanan diafragma.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam pernafasan klien kembali normal KH
:
-
Tidak mengeluh sesak napas,
-
RR 16 – 24 X/menit.
-
Hasil Lab BGA Normal
-
Tidak ada pernafasan cuping hidung
-
Tidak ada penggunaan otot-otot bantu pernafasan Intervensi
Rasional
1. Pertahankan Posisi semi fowler
2. Observasi gejala kardinal dan monitor tanda-tanda ketidakefektifan pola napas 3. Berikan penjelasan tentang penyebab sesak dan motivasi utuk membatasi aktivitas 4. Kolaborasi dengan tim medis (dokter) dalam pemberian diuretik, batasi asupan cairan, dan aspirasi asites. Dx 2
1. Posisi ini memungkinkan tidak terjadinya penekanan isi perut terhadap diafragma sehingga meningkatkan ruangan untuk ekspansi paru yang maksimal dan mengurangi peningkatan volume darah paru sehingga memperluas ruangan yang dapat diisi oleh udara 2. Pemantau lebih dini pada perubahan sehingga dapat diambil tindakan penanganan segera. 3. Pengertian klien akan mengundang partispasi klien dalam mengatasi permasalahan yang terjadi 4. Untuk mengurangi asites dan cairan dalam cavum peritoneum sehingga pola nafas kembali normal (16-24x/menit)
: Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, mual
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x24 jam kebutuhaan nutrisi klien terpenuhi KH
:
-
BB klien naik
-
Serum albumin normal 13
-
Makanan 1 porsi habis
-
Klien tidak terlahat lemas
Intervensi 1. Kolaborasi dengan dokter pemberian vitamin.
2.
3.
4. 5. 6.
Rasional dalam 1. Dengan pemberian vitamin membantu proses metabolisme, mempertahankan fungsi berbagai jaringan dan membantu pembentukan sel baru. Jelaskan pada klien tentang pentingnya 2. Pengertian klien tentang nutrisi mendorong nutrisi bagi tubuh dan diit yang di klien untuk mengkonsumsi makanan sesuai tentukan dan tanyakan kembali apa yang diit yang ditentukan dan umpan balik klien telah di jelaskan. tentang penjelasan merupakan tolak ukur penahanan klien tentang nutrisic. Bantu klien dan keluarga 3. Dengan mengidentifikasi berbagai jenis mengidentifikasi dan memilih makanan makanan yang telah di tentukan Diharapkan yang mengandung kalori dan protein klien kooperatif tinggi Sajikan makanan dalam keadaan 4. Dengan penyajian yang menarik diharapkan menarik dan hangat. dapat meningkatkan selera makan Anjurkan pada klien untuk menjaga 5. Dengan kebersihan mulut menghindari rasa kebersihan mulut. mual sehingga diharapkan menambah rasa Monitor kenaikan berat badan 6. Dengan monitor berat badan merupakan sarana untuk mengetahui perkembangan asupan nutrisi klien
Dx 3
: gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan tegangnya dinding perut
akibat asites Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam skala nyeri berkurang KH
:
-
Klien terlihat tenang
-
Skala nyeri 0-3
-
TD 120/80 mmHg
-
Nadi 60-100 x/mnt Intervensi
Rasional
1. Lakukan kolaborasi dengan dokter dalam 1. Analgesik bekerja mengurangi reseptor pemberian analgesik (perhatikan fungsi nyeri dalam mencapai sistim saraf sentral faal hepar) 2. Atur posisi klien yang enak sesuai 2. Dengan posisi miring ke sisi yang sehat dengan keadaan disesuaikan dengan gaya gravitasi,maka dengan miring kesisi yang sehat maka terjadi pengurangan penekanan sisi yang sakit 3. Awasi respon emosional klien terhadap 3. Keadaan emosional mempunyai dampak proses nyeri pada kemampuan klien untuk menangani nyeri 14
4. Ajarkan teknik pengurangan dengan teknik distraksi 5. Observasi tanda-tanda vital
nyeri 4. Teknik distraksi merupakan teknik pengalihan perhatian sehingga mengurangi emosional dan kognitif 5. Deteksi dini adanya kelainan
Post operasi Dx 1
: gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan luka post operasi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan manejemen nyeri selama 3 x 24 jam diharapkan nyeri klien berkurang KH
:
-
Klien terlihat tenang
-
Skala nyeri 0-3
-
TD 120/80 mmHg
-
Nadi 60-100 x/mnt
Intervensi Evaluasi 1. Observasi cemas, mudah terangsang, 1. Petunjuk non verbal ini dapat menangis, gelisah, gangguan tidur menindikasikan adanya/ derajat nyeri yang dialami 2. Pantau tanda-tanda vita 2. Kecepatan jantung biasanya meningkat karena nyeri. TD mungkin meningkat karna ketidaknyamanan insisi tetapi dapat l menurun atau tkidak stabil. 3. Berikan tindakan nyaman, bantu aktivitas 3. Dapat meningkatkan relaksasi atau perawatan diri dan dorong aktvitas perhatian tak langsung dan menurunkan senggang sesuai indikasi. frekuensi/ kebutuhan dosis analgesic. 4. Beritahu pasien bahwa wajar saja, 4. Adanya nyeri menyebabkan tegangan otot meskipun lebih baik, untuk meminta yang mengganggu sirkulasi, memperlambat analgesic segera setelah penyembuhan, dan memperberat nyeri ketidaknyamanan menjadi dilaporkan 5. Kolaborasikan pemberian obat sesuai 5. Biasanya diberikan untuk control nyeri indikasi seperti profiksene dan adekuat dan menurunkan tegangan otot, asetaminofen yang memperbaiki kenyamanan pasien dan meningkatkan penyembuhan Dx 2
: resiko infeksi berhubungan dengan luka post operasi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan klien dapat melaporkan factor resiko yang berkaitan dengan infeksi dan kewaspadaan yang diperlukan KH -
: Klien dapat menhidentifikasi factor-faktor resiko dan intervensi untuk mengurangi infeksi
-
Klien dapat mempertahankan lingkungan aseptic yang aman 15
-
Tidak ada tanda-tanda infeksi
Intervensi Rasional 1. Control infeksi, sterilisasi dan 1. Mekanisme yang dirancang untuk prosedur/kebijakan aseptic mencegah infeksi 2. Periksa kulit untuk memeriksa adanya 2. Gangguan pada integritas kulit atau dekat infeksi yang terjadi. dengan lokasi operasi adalah sumber kontaminasi luka. 3. Identifikasi gangguan pada tehnik 3. Kontaminasi dengan lingkungan/ kontak aseptic dan atasi dengan segera pada personal akan menyebabkan daerah yang waktu terjadi. steril menjadi tidak steril sehingga dapat meningkatkan resiko infeksi. 4. Kolaborasikan pemberian antibiotic jika 4. Dapat diberikan secara profilaksis bila perlu. dicurigai terjadinya infeksi atau kontaminasi. REFERENSI: 1. http://adinata007.blogspot.com/2012/03/bab-ii-pembahasan-2.html 2. http://wantohape.wordpress.com/2010/01/07/askep-hepatoma/
16