UNIVERSITAS JEMBER LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN G U I L L A N E - B A R R E SY D R OME (GBS) DI RUANG 26 IRNA I RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SAIFUL ANWAR MALANG
OLEH: Intan Dwi Arini, S. Kep NIM 182311101078
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS JEMBER OKTOBER, 2018
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan
Pendahuluan dan
Asuhan
Keperawatan pada Pasien dengan
Guillane-Barre Syndrome (GBS) di Ruang 26 IRNA I RSUD Dr. Saiful Anwar Malang telah disetujui dan disahkan pada : Hari, Tanggal : Tempat
:
Malang,
Oktober 2018
Mahasiswa
Intan Dwi Arini,S.Kep NIM 182311101078 182311101078
Pembimbing Akademik Fakultas Keperawatan Universitas Jember
Pembimbing Klinik Ruang 26 IRNA 1 RSUD dr. Saiful Anwar Malang
Ns. Jon Hafan Sutawardana, M.Kep., Sp.Kep.MB NIP. 198401022 198401022 201504 1 002 002
Susimiasih, Amd.Kep NIP. 19740713 19740713 200701 2 011 011
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Konsep Penyakit 1. Anatomi Fisiologi Sistem Saraf Perifer Sistem saraf adalah pusat kontrol tubuh, pengaturan dan jaringan komunikasi. Otak dan sumsum tulang belakang berkomunikasi dengan seluruh bagian tubuh melalui cranial nerves (saraf-saraf kepala) dan spinal nerves (saraf-saraf tulang belakang). Saraf-saraf tersebut adalah bagian dari sistem saraf perifer yang membawa informasi sensoris ke sistem saraf pusat dan membawa pesan-pesan dari sistem saraf pusat ke otot-otot dan kelenjar-kelenjar di seluruh tubuh atau disebut juga dengan sistem saraf somatik (somatic nervous system).Sistem saraf tepi (SST) dibagi menjadi beberapa unit yang lebih kecil. Kategori kedua ini Terdiri dari 12 pasang saraf tengkorak (kranial) yang berasal dari batang otak dan 31 pasang saraf tulang belakang (spinal) yang berasal dari sum-sum tulang belakang. SST membawa impuls saraf yang dibentuk oleh reseptor sensorik, seperti reseptor nyeri dan suara, ke SSP. Ia juga membawa impuls saraf dari SSP ke efektor, yaitu: otot, kelenjar, dan jaringan adiposa (Kemenkes RI, 2016). Menurut Gunadarma (2016), sistem saraf perifer terbagi menjadi 3 bagian utama, yaitu : 1.1 SISTEM SARAF SOMATIK (SOMATIC NERVOUS SYSTEM) 1.1.1 Saraf-saraf Tulang Belakang (Spinal Nerves) Saraf tulang belakang yang merupakan bagian dari sistem saraf somatik; dimulai dari ujung saraf dorsal dan ventral dari sumsum tulang belakang (bagian di luar sumsum tulang belakang). Saraf-saraf tersebut mengarah keluar rongga dan bercabang-cabang disepanjang perjalanannya menuju otot atau reseptor sensoris yang hendak dicapainya. Cabang-cabang saraf tulang belakang ini umumnya disertai oleh pembuluh-pembuluh darah, terutama cabang-cabang yang menuju otot-otot kepala (skeletal muscles). Soma sel dari axon-axon saraf tulang belakang yang membawa informasi sensoris ke otak dan sumsum tulang belakang terletak di luar sistem saraf pusat (kecuali untuk sistem visual karena retina mata adalah bagian dari otak). Axon-axon yang datang membawa informasi sensoris ke
susunan saraf pusat ini adalah saraf-saraf afferent. Soma-soma sel dari axon yang membawa informasi sensori stersebut berkumpul di dorsalrootganglia. Neuronneuron ini merupakan neuron-neuron unipolar. Batang axon yang bercabang di dekat soma sel, mengirim informasi ke sumsum tulang belakang dan ke organorgan sensoris. Semua axon di dorsal root menyampaikan informasi sensori motorik.
1.1.2 Saraf-saraf Kepala (Cranial Nerves) Saraf-saraf kepala terdiri dari 12 pasang saraf kepala yang meninggalkan permukaan ventral otak. Sebagian besar saraf-saraf kepala ini mengontrol fungsi sensoris dan motorik di bagian kepala dan leher. Salah satu dari kedua belas pasang tersebut adalah saraf vagus, yang merupakan saraf nomor sepuluh yang mengatur fungsi-fungsi organ tubuh di bagian dada dan perut. Disebut "vagus" atau saraf yang berkelana karena cabang-cabang sarafnya mencapai rongga dada dan perut. Seperti yang telah dijelaskan di atas; soma sel dari axon-axon yang membawa informasi sensoris ke otak dan sumsum tulang belakang terletak di luar sistem saraf pusat (kecuali untuk sistem visual). Informasi somatosensoris (juga dari indera perasa di lidah) diterima melalui saraf-saraf kepala oleh neuron-neuron unipolar. Informasi pendengaran, vestibular, dan visual diterima melalui neuronneuron bipolar. Informasi indera penghidu (penciuman lewat hidung) diterima melalui olafctury bulbs. Olfactory bulbs adalah salah satu bagian otak yang kompleks karena terdiri dari jaringan-jaringan saraf yang rumit.
1.2 SISTEM SARAF AUTONOM (AUTONOMIC NERVOUS SYSTEM) Autonomic Nervous System (sistem saraf autonom) mengatur fungsi otot-otot halus, otot jantung, dan kelenjar-kelenjar tubuh (autonom berarti mengatur diri sendiri). Otot-otot halus terdapat di bagian kulit (berkaitan dengan folikel-folikel rambut di tubuh, di pembuluhpembuluh darah, di mata (mengatur ukuran pupil dan akomodasi lensa mata), di dinding serta jonjot usus, di kantung empedu dan di kandung kemih. Jadi dapat disimpulkan bahwa organ organ yang dikontrol oleh sistem saraf autonom memiliki fungsi untuk melangsungkan "proses vegetatif'
(proses mandiri dan paling dasar) di dalam tubuh. Sistem saraf autonom terdiri dari dua sistem yang berbeda secara anatomis, yaitu bagian simpatetik dan bagian parasimpatetik. Organ dalam tubuh dikontrol oleh kedua bagian tersebut meskipun tiap bagian memberikan efek yang berlawanan. Contohnya, bagian simpatetik meningkatkan detak jantung, sedangkan bagian parasimpatetik menurunkan detak jantung.
1.2.1 Saraf Simpatetik dari Sistem Saraf Autonom Sebagian besar saraf simpatetik terIibat dalam aktivitas yang berhubungan dengan pengeluaran energi dari tubuh.Contohnya meningkatan aliran darah ke otot-otot kepala, sekresi epinephrine (meningkatkan detak jantung dan kadar gula dalam darah) dan piloerection (ereksi bulu/rambut pada mamalia atau tegaknya bulu roma pada manusia) yang terjadi karena kerja sistem saraf autonom yang simpatetik selama periode peningkatan aktivitas. Soma sel dari neuron motorik simpatetik terletak di substansia grisea dari sumsum tulang belakang di bagian thorax (dada) dan lumbar (panggul). Axonnya keluar melalui ventral root. Setelah bertemu dengan saraf-saraftulang belakang, axon tersebut bercabang dan melalui sympathetic ganglia. Sebagai catatan, perlu diingat bahwa berbagai sympathetic ganglia berhubungan dengan ganglia didekatnya, yaitu di bagian bawah dan atasnya sehingga membentuk ikatan simpatetik (sympathetic chain). Axon-axon yang meninggalkan sumsum tulang belakang melalui ventral root disebut dengan neuron-neuron preganglion (preganglionic neuron), kecuali adrenal medulla yang axon preganglionnya masuk ke ganglia dari ikatan simpatetik, tetapi tidak semuanya bersynapsis ditempat tersebut. Beberapa neuron preganglion meninggalkan sumsum tulang belakang menuju ganglia simpatetik lain yang terIetak di organ-organ internal. Semua axon dari neuron preganglion bersinapsis ke neuron disalah satu ganglia tujuannya. Neuron-neuron tempat bersinapsis disebut neuron postganglion (postganglionic neuron). Selanjutnya, neuron postganglion mengirim axon ke organ tujuan, seperti usus halus, perut, ginjal, dan kelenjar keringat
1.2.2 Saraf Parasimpatetik dari Sistem Saraf Autonom Saraf parasimpatetik dari sistem saraf autonom mendukung aktivitas tubuh yang
berkaitan
dengan
peningkatan
penyimpanan
energi
dalamtubuh.
Memberikan efek-efek seperti salivasi, sekresi kelenjar pencernaan, dan peningkatan aliran darah ke sistem gastrointestinal. Soma sel yang mengandung axon-axon preganglion di sistem saraf simpatetik terletak di dua bagian, yaitu selsel saraf di saraf-saraf kepala (terutama saraf vagus) dan substansia grisea di sumsum tulang belakang bagian sacral. Ganglia parasimpatetik teletak di dekat organ tujuan; axon postganglion cenderung lebih pendek. Terminal button dari axon postganglion parasimpatetik mensekresikan acetylcholine.
2.
Definisi Sindrom Guillain-Barre merupakan sindrom klinis yang ditunjukkan oleh
onset akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit mencakup demelinasi dan degenerasi selaput mielin dari saraf perifer dan kranial (Price dan Wilson, 1995 dalam Muttaqin, 2008).
Gullain Bare
Sindrom (GBS) merupakan kumpulan gejala kelemahan pada anggota gerak dan kadang-kadang disertai dengan sedikit kesemutan pada lengan atau tungkai, disertai menurunnya refleks (Depkes RI, 2011). Guillain-Barre Syndrome (GBS) merupakan kondisi langka yang mana sistem imun seseorang menyerang sistem saraf perifer (WHO, 2016). Guillain-Barre Syndrome atau GBS adalah penyakit yang disebabkan oleh kerusakan saraf tepi (Marisza Cardoba Foundation, 2017).
3.
Epidemiologi Angka kejadian penyakit GBS kurang lebih 0,6-1,6 setiap 10.000-40.000
penduduk. Perbedaan angka kejadian di negara maju dan berkembang tidak nampak, kasus ini cenderung lebih banyak pada pria dibandingkan wanita (Rahayu, 2011). Di Amerika Utara dan Eropa, angka polineuropati inflamasi demyelinasi akut terhitung sebanyak lebih dari 90% adalah GBS dengan angka insiden 0,6 hingga 1,9 kasus dalam 100.000 populasi (Kurniawan, 2013). Epidemiologi penyakit ini 1,11 per 100.000 orang/tahun dan lebih sering
menyerang anak-anak di atas 2 tahun. Sebanyak 30% penderita GBS juga mengalami infeksi dari Campylobacter jejuni dan 10% terkena infeksi CMV. Infeksi lain yang biasa timbul dengan GBS adalah EBV, Virus Varicella-zoster dan Mycoplasma pneumoniae (HMPD FK UNS, 2013). Data RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta menunjukkan pada akhir tahun 2013-2014 tercatat 48 kasus GBS dalam satu tahun dengan berbagai varian jumlahnya per bulan. Pada tahun 2015 berbagai kasus di RSCM mengalami kenaikan sekitar 10% (Mikail, 2015).
4.
Etiologi Etiologi GBS sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti
penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya GBS, antara lain (Wijayanti, 2016): a.
Infeksi virus atau bakteri GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi
kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal. b.
Virus: CMV, EBV, HIV, Varicella-zoster, Vaccinia/smallpox, Influenza, Measles, Mumps, Rubella, hepatitis, Coxsackie, Echo.
c.
Bakteri: Campylobacter, Jejeni, Mycoplasma, Pneumonia, Typhoid, Borrelia B, Paratyphoid, Brucellosis, Chlamydia, Legionella, Listeria.
d.
Vaksinasi
e.
Pembedahan
f.
Penyakit sistematik, seperti keganasan, Systemic Lupus Erythematosus, tiroiditis, dan penyakit Addison.
5. Klasifikasi a. Radang polineuropati demyelinasi akut (AIDP), yang merupakan jenis GBS yang paling banyak ditemukan, dan sering disinonimkan dengan
GBS. Disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang membrane sel Schwann. b. Sindroma Miller Fisher (MFS), merupakan varian GBS yang jarang terjadi dan bermanifestasi sebagai paralisis desendens, berlawanan dengan jenis GBS yang biasa terjadi. Umumnya mengenai otot-otot okuler pertama kali dan terdapat trias gejala, yakni oftalmoplegia, ataksia, dan arefleksia. c. Neuropati aksonal motorik akut (AMAN) atau sindroma paralitik Cina; menyerang nodus motorik Ranvier dan sering terjadi di Cina dan Meksiko. Hal ini disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang aksoplasma saraf perifer. Penyakit ini musiman dan penyembuhan dapat berlangsung dengan cepat. d. Neuropati aksonal sensorimotor akut (AMSAN), mirip dengan AMAN, juga menyerang aksoplasma saraf perifer, namun juga menyerang saraf sensorik dengan kerusakan akson yang berat. Penyembuhan lambat dan sering tidak sempurna. e. Neuropati panautonomik akut, merupakan varian GBS yang paling jarang; dihubungkan dengan angka kematian yang tinggi, akibat keterlibatan kardiovaskular dan disritmia. 2) Ensefalitis batang otak Bickerstaff’s (BBE), ditandai oleh onset akut oftalmoplegia, ataksia, gangguan kesadaran, hiperefleksia atau refleks Babinski. Perjalanan penyakit dapat monofasik ataupun diikuti fase remisi dan relaps. Lesi luas dan ireguler terutama pada batang otak, seperti pons, midbrain, dan medulla. Meskipun gejalanya berat, namun prognosis BBE cukup baik.
6.
Patofisiologi Menurut Muttaqin (2008), patofisiologi Guillain-Barre Syndrome bermula
dari akson bermielin mengonduksi impuls saraf lebih cepat dibanding akson tidak bermielin. Sepanjang perjalanan serabut bermielin terjadi gangguan dalam selaput (nodus Ranvier) tempat kontak langsung antara membran sel akson dengan cairan
ekstraseluler. Membran sangat permiabel pada nodus tersebut, sehingga konduksi menjadi baik. Gerakan ion masuk dan keluar akson dapat terjadi dengan cepat banyak pada nodus Ranvier, sehingga impuls saraf sepanjang serabut bermielin dapat melompat dari satu nodus ke nodus lain (konduksi saltatori) dengan cukup kuat. Kehilangan selaput mielin pada Sindrom Guillain Barre membuat konduksi saltatori tidak mungkin terjadi dan transmisi impuls saraf dibatalkan.
7.
Manifestasi Klinis a. Gangguan motorik
Kelemahan otot secara asending dengan paralisis flaksid dan atropi
Kesulitan berjalan
Menurunnya atau tidak adanya reflex tendon dalam
Gangguan pernafasan (dispnea dan menurunnya bunyi nafas)
Kehilangan control bowel dan bladder
b. Gangguan sensorik
Paresthesia
Kram
Kerusakan saraf cranial
Kelemahan otot wajah
Dysphagia
Diplopia
Kerusakan saraf cranial (IX, X, XI, XII)
c. Gangguan saraf otonom
Tekanan darah tidak stabil
Kardiak disritmia
Takhikardia
8.
Pemeriksaan Penunjang Menurut Japardi (2002), pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada
penyakit Guillain-Barre Syndrome meliputi: a. Fungsi lumbal berurutan : memperlihatkan fenomena klasik dari tekanan normal dan jumlah sel darah putih yang normal, dengan peningkatan protein nyata dalam 4-6 minggu. Biasanya peningkatan protein tersebut tidak akan tampak pada 4-5 hari pertama, mungkin diperlukan pemeriksaan seri pungsi lumbal (perlu diulang untuk dalam beberapa hari). b. Elektromiografi : hasilnya tergantung pada tahap dan perkembangan sinrdom yang timbul. Kecepatan konduksi saraf diperlambat pelan. Fibrilasi (getaran yang berulang dari unit motorik yang sama) umumnya terjadi pada fase akhir. c. Darah lengkap : terlihat adanya leukositosis pada fase awal. d. Foto rontgen : dapat memperlihatkan berkembangnya tanda-tanda dari gangguan pernapasan, seperti atelektasis, pneumonia. e. Pemeriksaan fungis paru : dapat menunjukan adanya penurunan kapasitas vital, volume tidal, dan kemampuan inspirasi.
9.
Penatalaksanaan Farmakologi dan Non-Farmakologi 9.1 Penatalaksanaan nonfarmakologi diantaranya:
Penanganan intensif : posisi istirahat yang sesuai untuk membebaskan jalan napas sangat dibutuhkan, karena kebanyakan kematian pada pasien GBS biasanya berhubungan dengan komplikasi karena kegagalan ventilasi atau gagal napas dan disfungsi otonom. Penanganan intensif ini termasuk pula terapi pernapasan, cardiac monitoring, suplemen nutrisi, monitoring untuk komplikasi seperti pneumonia, infeksi saluran kemih dan septikemia.
Rehabilitasi yang disesuaikan dengan keadaan pasien yang mencakup :
1) Terapi fisik : dengan latihan ROM dan posisi yang benar untuk menghindari pemndekan otot dan kontraktur sendi. 2) Terapi okupasi dan rekreasi : memperbaiki fungsional tubuh semaksimal mungkin 3) Terapi bicara : untuk pasien dengan kelemahan orofaringeal
9.2 Penatalaksanaan farmakologi diantaranya :
Agen
Imunomodulator
(Imunoglobulin
Intravena).
Contoh:
Carimune NF, Gammaplex, Privigen. Obat-obatan ini digunakan untuk memperbaiki aspek klinis dan imunologi dari pasien GBS. Mekanisme kerja : dapat mengganggu reseptor pada sel-sel di sistem retikuloendotelial
sehingga
produksi
antibodi
berkurang
dan
meningkatkan solubilitas dan pembersihan dari kompleks imun.
Low Molecular Weight Heparin. Contoh : Enoxaparin (Lovenox), Dalteparin. Obat ini digunakan sebagai profilaksis atau pencegahan terjadinya deep vein thrombosis (DVT). Mekanisme kerja : menghambat faktor Xa melalui ikatan dengan antitrombin.
Analgesik : untuk mengurangi rasa sakit pasien karena adanya gangguan
pada
sistem
sarafnya.
B. Clinical Pathways Faktor-faktor predisposisi terjadi 2-3 minggu sebelum onset meliputi adanya ISPA, infeksi gastrointestinal dan tindakan bedah saraf Selaput mielin hilang akibat dari respon alergi, respon autoimun, hi poksemia, toksik kimia dan insufisiensi vaskular
Proses demeilinisasi
Konduksi saltatori tidak terjadi dan tidak ada transmisi
Gangguan fungsi saraf perifer dan kranial
Gangguan fungsi saraf kranial : III, IV, V, VI, VII, IX, X
Paralisis pada okular, wajah dan otot orofaring, kesulitan berbicara, mengunyah dan menelan
Gangguan saraf perifer dan neuromuskular
Parastesia (kesemutan kebas) dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh dan otot wajah
Gangguan menelan Kelemahan fisik umum, paralisis otot wajah
Paralisis lengkap, mengenai otot pernafasan
Resiko tinggi gagal nafas (ARDS), penurunan kemampuan batuk peningkatan sekresi mukus
Kelemahan
Tidak dapat melakukan ADL secara mandiri
Penurunan tonus otot seluruh tubuh, perubahan estetika wajah Gangguan mobilitas fisik
Defisit perawatan diri: mandi
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
C. Konsep Asuhan Keperawatan a. Identitas Klien
Sindroma Guillain-Barre (SGB) merupakan penyebab kelumpuhan yang cukup sering dijumpai pada usia muda atau anak-anak dibawah usia 4 tahun. b. Keluhan Utama
Anak dengan SGB, mengalami kelemahan otot baik kelemahan fisik secara umum maupun lokalis seperti melemahnya otot-otot pernapasan. c. Riwayat Kesehatan Dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkah klien mengalami ISPA, infeksi gastrointestinal, dan tindakan bedah saraf. Pemakaian obat-obatan yang sering digunakan klien, seperti pemakaian obat kortikosteroid, pemakaian jenis-jenis antibiotik, dan reaksi resisten terhadap antibiotik. d. Riwayat kesehatan sekarang
Keluhan yang paling sering ditemukan pada klien GBS dan merupakan komplikasi berat GBS adalah gagal napas. Melemahnya otot pernapasan membuat klien dengan gangguan ini berisiko lebih tinggi terhadap hipoventilasi dan infeksi pernapasan berulang. Disfagia juga dapat timbul, mengarah pada aspirasi. Keluhan kelemahan ekstremitas atas dan bawah hampir sama seperti keluhan klien yang terdapat pada klien stroke. e. Pengkajian psikosoio dan spiritual
Pengkajian psikologis klien GBS meliputi beberapa penilaian yang memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien. pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun masyarakat
f.
Pemeriksaanfisik
Pada klien GBS biasanya didapatkan suhu tubuh normal. Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan dengan tanda-tanda penurunan curah jantung. Peningkatan frekuensi pernapasan berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme umum dan adanya infeksi pada sistem pernapasan dan adanya akumulasi sekret akibat insufisiensi pernapasan. TD didapatkan ortostatik hipotensi atau TD meningkat berhubungan dengan penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis. -
B1 (Breathing) Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan karena infeksi saluran pernapasan dan yang paling sering didapatkan pada klien GBS adalah penurunan frekuensi pernapasan karena melemahnya fungsi otot-otot pernapasan. Palpasi biasanya taktil fremitus siembang kanan dan kiri. Aukultasi bunyi napas tambahan seperti ronki pada klien dengan GBS berhubungan adengan akumulasi sekret dari infeksi saluran napas.
-
B2 (Blood) Pengkajian pada sistem kardiovaskuler pada klien GBS didapatkan bradikardi yang berhubungan dengan penurunan perfusi perifer. TD didapatkan ortostatik hipotensi atau TD meningkat (hipertensi transien) berhubungan dengan penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.
-
B3 (Brain) Pengkajian B3 merupakan pemeriksaan focus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya
-
Tingkat Kesadaran Pada klien GBS biasnya kesadaran klien compos mentis.Apabila klien mengalami penurunan tingkat kesadaran maka penilaian GCS sangat penting untuk monitoring pemberian asuhan.
-
Fungsi Serebri Status mental: observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara klien dan observasi ekspresi wajah, dan aktivitas motorik yang pada klien GBS tahap lanjut disertai penurunan tingkat kesadaran biasanya status mental klien mengalami perubahan.
-
Pemeriksaan Saraf Kranial a. Saraf I. Biasanya pada klien GBS tidak ada kelainan pada fungsi penciuman. b. Saraf II. Tes ketajaman pengelihatan menunjukkan kondisi normal. c. Saraf III, IV, dan VI. Penurunan kemampuan membuka dan menutup kelopak mata, terjadi paralisis ocular. d. Saraf V. Pada klien GBS didapatkan paralisis pada otot wajah sehingga mengganggu proses mengunyah. e. Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris karena adanya paralisis unilateral. f. Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi. g. Saraf IX dan X. Paralisis otot orofaring, kesukaran berbicara, mengunyah, dan menelan.Krmampuan menelan kurang baik sehingga mengganggu pemenuhan nutrisi via oral. h. Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.Kemempuan mobilisasi leher baik. i.
Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi, indra pengecapan normal.
-
Sistem Motorik Kekuatan otot menurun, kontrol keseimbangan dan koordinasi pada klien GBS tahap lanjut mengalami perubahan.Klien mengalami kelemahan motorik secara umum sehingga mengganggu mobilitas fisik.
-
Pemeriksaan Refleks Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau periosteum derajat refleks pada respons normal.
-
Gerakan Involunter Tidak ditemukan adanya tremor, kejang, dan distonia
-
Sistem Sensorik Parestesia (kesemutan) dan kelemahan otot kali, yang dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh, dan otot wajah. Klien mengalami penurunan kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri dan suhu
-
B4 (Bladder) Pemeriksaan
pada
sistem
kandung
kemih
biasanya
didaptkan
berkurangnya volume keluaran urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal. -
B5(Bowel) Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien GBS menurun karena anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunyah serta gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral menjadi berkurang.
-
B6(Bone) Penurunan kekuatan otot dan penururnan tingkat kesadaran menurunkan mobilitas klien secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu oleh orang lain.
D. Diagnosa Keperawatan 1) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan otot tubuh 2) Gangguan menelan berhubungan dengan paralisis pada otot orofaring 3) Defisit perawatan diri: mandi berhubungan dengan kelemahan
Perencanaan Keperawatan No. Diagnosa Tujuan & Kriteria Hasil 1 Hambatan mobilitas fisik NOC (00085) Koordinasi pergerakan (0212)
setelah dilakukan perwatan selama 3 x 24 jam mobilitas fisik pasien membanik dengan kriteria hasil: 1. Dapat mengontrol kontraksi pergerakkan 2. Dapat melakukan kemantapan pergerakkan 3. Dapat menahan keseimbangan pergerakkan
Intervensi NIC : Peningkatan Mekanika Tubuh (0140) 1. Bantu pasien latihan fleksi untuk memfasilitasi mobilisasi sesuai indikasi 2. Berikan informasi tentang kemungkinan posisi penyebab nyeri otot atau sendi 3. Kolaborasi dengan fisioterapis dalam mengembangkan peningkatan mekanika tubuh sesuai indikasi Peningkatan Latihan: Latihan Kekuatan (0201) 4. Sediakan informasi mengenai fungi otot, latihan fisiologis, dan konsekuensi dari penyalahgunaannya 5. Bantu mendapatkan sumber yang diperlukan untuk terlibat dalam latihan otot progresif 6. Spesifikkan tingkat resistensi, jumlah pengulangan, jumlah set, dan frekuensi dari sesi latihan menurut lefel kebugaran dan ada atau tidaknya faktor resiko 7. Instruksikan untuk beristirahat sejenak setiap selesai satu set jika dipelukan 8. Bantu klien untuk menyampaikan atau mempraktekan pola gerakan yan dianjurkan tanpa beban terlebih dahulu sampai gerakan yang benar sudah di pelajari Terapi Latihan : Mobilitas Sendi (0224) 9. Tentukan batas pergerakan sendi dan efeknya terhadap fungsi sendi 10. Kolaborasikan dengan ahli terapi fisik dalam mengembangkan dan
2.
Gangguan (00103)
menerapan sebuah program latihan 11. Dukung latihan ROM aktif, sesuai jadwal yang teraktur dan terencana 12. Instruksikan pasien atau keluarga cara melakukan latihan ROM pasif, dan aktif 13. Bantu pasien ntuk membuat jadwal ROM Sediakan petujuk tertulis untuk melakukan latihan menelan NOC NIC Status menelan (1010) Pencegahan aspirasi (3200) Pencegahan aspirasi (1918) 1. Monitor kesadaran, reflek batuk, dan kemampuan menelan Setelah dilakukan perawatan 2. Skrining adanya disfagia selama 3x24 jam fungsi menelan 3. Monitor status pernafasan pasien membaik dengan kriteria 4. Potong makanan menjadi potogan-potongan kecil hasil: Terapi menelan (1860) 1. Tidak terdapat sisa makanan 5. Ajari pasien mengucapkan kata “ash” untuk meningkatkan elevasi langitdi mulut langit halus 2. Kemampuan mengunyah 6. Instruksikan pasien tidak bicara saat makan 3. Reflek menelan sesuai 7. Sediakan permen tusuk atau loli untuk dihisap pasien dengan tujuan dengan waktunya meningkatkan kekuatan lidah 4. Penerimaan makanan 8. Monitor tanda dan gejala aspirasi 5. Mempertahankan kebersihan mulut 6. Memilih makanan sesuai dengan kemampuan menelan 7. Memilih makanan dan cairan dengan konsistensi yang
tepat 3.
Defisit perawatan diri: NOC mandi (00108) Perawatan diri: mandi (0305) Perawatan diri: kebersihan (0301) Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan perawatan diri pasien: mandi tidak mengalami gangguan dengan kriteria hasil: 1. Keluarga mampu melakukan 2. Mencuci tangan pasien 3. Membersihkan telinga 4. Menjaga kebersihan untuk kemudahan bernafas 5. Mempertahankan kebersihan mulut 6. Memperhatikan kuku jari tangan 7. Memperhatikan kuku jari kaki 8. Mempertahankan kebersihan tubuh
NIC Bantuan perawatan diri: mandi/kebersihan (1801) 1. Fasilitasi pasien untuk menggosok gigi dengan tepat 2. Fasilitasi pasien untuk seka dengan tepat 3. Monitor kebersihan kuku 4. Monitor integritas kulit 5. Jaga kebersihan secara berkala 6. Dukung keluarga berpartisipasi dalam mempertahankan kebersihan dengan tepat
Daftar Pustaka Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Guillain Barre Sindrom. http://www.depkes.go.id/article/print/1628/guillain-barresindrom.html [Diakses pada tanggal 17 Oktober 2018]. Gunadarma.
2016.
Anatomi
Sistem
Saraf
Perifer.
http://www.elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/psikologi_faal/bab5 _anatomi_sistem_saraf_perifer.pdf [Diakses pada tanggal 17 Oktober 2018]. HMPD
FK
UNS.
2013.
Guillain-Barre
http://hmpd.fk.uns.ac.id/guillain-barre-syndrome/
Syndrome. [Diakses
pada
tanggal 17 Oktober 2018]. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Anatomi Fisiologi Manusia. Jakarta: Pusat Pendidikan Sumber Daya Manusia Kesehatan. Japardi,
Iskandar.
2002.
Sindroma
Guillain-Barre.
http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi46.pdf [Diakses pada tanggal 17 Oktober 2018]. Marisza Cardoba Foundation. 2017. Autoimmune: The True Story. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Mikail, B. 2015. Penderita Guillain Barre Syndrome (GBS) meningkat di Kalangan
Usia
Produktif.
http://health.kompas.com/read/2012/04/14/09265323/Penderita Guillain
Barre
Syndrome
( GBS).Meningkat.di.Kalangan.Usia.Produktif. [Diakses pada tanggal 17 Oktober 2018]. Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika. Kurniawan, S. N. 2013. Sindroma Guillain-Barre dalam Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan II Neurologi Malang 2013. Malang: PT Danar Wijaya.
Rahayu,
Tutiek.
2011.
Mengenal
Guillain
Barre
Syndrome
(GBS).
https://journal.uny.ac.id/index.php/wuny/article/download/3525/pdf [Diakses pada tanggal 17 Oktober 2018] Wijayanti, Sri. 2016. Aspek Klinis dan Penatalaksanaan Guillain-Barre Syndrome. https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_dir/0dfd19341a5d5 2541d3f26a1e8872809.pdf [Diakses pada tanggal 17 Oktober 2018]. World
Health
Organization
(WHO).
2016.
Guillain-Barre
Syndrome.
http://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/guillain barr%C3%A9-syndrome [Diakses pada tanggal 17 Oktober 2018].