LAPORAN PENDAHULUAN APPENDISITIS
I.
KONSEP TEORI
A. Anatomi & Fisiologi
Gambar 1.1 Usus Besar Sumber: anfis.mariapoppy.blogspot.com/2014/11/anatomi-fisiologi-si anfis.mariapoppy.blogspot.com/2014/11/anatomi-fisiologi-sistemstem pencernaan_28.html
Usus besar atau kolon yang panjangnya kira-kira satu setengah meter, adalah sambungan dari usus halus dan mulai di katup ileokolik atau ileoseka, yaitu tempat sisa makanan lewat, dimana normalnya katup ini tertutup dan akan terbuka untuk merespon gelombang peristaltik dan menyebabkan defekasi atau pembuangan. Usus besar terdiri atas empat lapisan dinding yang sama seperti usus halus. Serabut longitudinal pada dinding berotot tersusun dalam tiga jalur yang memberi rupa berkerut-kerut dan berlubang-lubang. Dinding mukosa lebih halus dari yang ada pada usus halus dan d an tidak memiliki vili. Didalamnya terdapat kelenjar serupa kelenjar tubuler dalam usus dan dilapisi oleh epitelium silinder yang memuat sela cangkir (Nugroho, 2011).
1
Usus besar terdiri dari: 1. Sekum Sekum adalah kantung tertutup yang menggantung dibawah area katup ileosekal. appendiks vermiformis merupakan suatu tabung buntu yangsempit, berisi jaringan limfoid, menonjol dari ujung sekum (Nugroho, 2011).
2. Kolon Kolon adalah bagian usus besar, mulia dari sekum sampai rektum. Kolon memiliki tiga bagian, yaitu: a. Kolon asenden: merentang dari sekum sampai ke tepi bawah hatti sebelah kanan dan membalik secara horizontal pada fleksura hepatika. b. Kolon traversum: merentang menyilang abdomen dibawah hati dan lambung sampai ke tepi lateral ginjal kiri, tempatnya memutar kebawah pada flkesura splenik. c. Kolon desenden: merentang ke bawah pada sisi kiri abdomen dan menjadi kolon sigmoid berbentuk S yang bermuara di rektum. (Nugroho, 2011)
3. Rektum Rektum adalah bagian saluran pencernaan selanjutnya dengan panjang 12 sampai 13 cm. Rektum berakhir pada saluran anal dan membuka ke eksterior di anus (Nugroho, 2011).
Gambar 1.2 Rektum Sumber: http://yayanakhyar.wordpress.com/tag/apendisitis/ 2
Appendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (4 inci), lebar 0,3 - 0,7 cm dan isi 0,1 cc melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal. Pada pertemuan ketiga taenia yaitu : taenia anterior, medial dan posterior. Secara klinis, appendiks terletak pada daerah Mc.Burney yaitu daerah 1/3 tengah garis yang menghubungkan spina iliaka anterior superior kanan dengan pusat. Lumennya sempit dibagian proksimal dan melebar dibagian distal. Namun demikian, pada bayi, appendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Persarafan parasimpatis pada appendiks berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesentrika superior dan arteri appendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada appendisitis bermula disekitar umbilikus (Nugroho, 2011). Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan kedalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Lendir dalam apendiks bersifat basa mengandung amilase dan musin. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk appendiks ialah IgA. Immunoglobulin tersebut sangat efektif sebagai perlindungan terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfa disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya disaluran cerna dan diseluruh tubuh. Appendiks berisi makanan
dan
mengosongkan
diri
secara
teratur
kedalam
sekum.
Karena
pengosongannya tidak efektif dan lumennya cenderung k ecil, maka apendiks cenderung menjadi tersumbat dan terutama rentan terhadap infeksi (Nugroho, 2011).
B. Definisi Appendisitis adalah peradangan yang terjadi pada appendix vermicularis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering pada anak-anak maupun dewasa. Appendisitis akut merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering ditemukan pada anak-anak dan remaja (NANDA, 2015). Appendisitis adalah peradangan pada appendiks vermiformis dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10 sampai 3
30 tahun. Kasus ini merupakan penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari rongga abdomen dan merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat. Klasifikasi appendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan apendisitis kronik (Nugroho 2011). 1. Appendisitis Akut Appendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang peritoneum lokal. Gajala apendisitis akut talah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke titik Mc. Burney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat (Nugroho, 2011).
2. Appendisitis Kronik Diagnosis appendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik appendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik appendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding appendiks, sumbatan parsial atau total lumen appendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa, dan adanya sel inflamasi kronik. Insiden appendisitis kronik antara 1-5% (Nugroho, 2011).
C. Etiologi Apendisitis akut merupakan merupakan infeksi bakteri. Sumbatan lumen appendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor appendiks dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan appendisitis adalah erosi mukosa appendiks karena parasit seperti E.histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional appendiks dan meningkatnya 4
pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini mempermudah timbulnya appendisitis akut (Ariawan, 2014).
D. Tanda dan Gejala 1. Suhu tubuh menjadi naik, demam (37,8 – (37,8 – 38,8 38,8 C) 2. Mual dan muntah 3. Nyeri perut sebelah kanan bawah, saat berjalan terasa sakit, ketika jongkok sakit berkurang 4. Bising usus menurun atau tidak ada sama sekali 5. Konstipasi 6. Disuria 7. Pada anak-anak, nyerinya bersifat menyeluruh di semua bagian perut 8. Badan lemah, nafsu makan berkurang, tampak meringis dan menghindari pergerakan (Ariawan, 2014)
E. Epidemiologi Terdapat sekitar 250.000 kasus appendisitis yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia usia 6-10 tahun. Appendisitis dapat mengenai semua kelompok usia, meskipun tidak umum pada anak sebelum usia sekolah. Hampir 1/3 anak dengan appendisitis akut mengalami perforasi setelah dilakukan operasi. Meskipun telah dilakukan peningkatan pemberian resusitasi cairan dan antibiotik yang lebih baik, appendisitis pada anak-anak, terutama pada anak usia prasekolah masih tetap memiliki angka morbiditas yang signifikan. Diagnosis appendisitis akut pada anak kadang-kadang sulit. Diagnosis yang tepat dibuat hanya pada 50-70 % pasien-pasien pada saat penilaian awal. Angka appendektomy negatif pada pediatrik berkisar 10-50 %. Riwayat perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang paling penting dalam mendiagnosis appendisitis (Ariawan, 2014). Di Amerika Serikat kasus apendisitis meliputi 11 per 10.000 populasi dan perbandingan insiden pada laki-laki dan wanita 3:1. Sekitar 70 % kasus appendisitis terjadi pada usia dibawah 30 tahun khususnya terbanyak pada usia 15-30 tahun. 5
Appendisitis akut sering terjadi pada usia 20-30 tahun, dengan ratio laki-laki dibandingkan dengan perempuan 1,4:1, risiko terjadi angka kekambuhan pada laki-laki 8,6 % dan perempuan 6,7 % di USA (Ariawan, 2014).
F. Patofisiologi Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Semakin lama mukus tersebut semakin banyak, namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi appendisitis akut lokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut appendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding appendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan appendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi appendisitis perforasi. Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak kearah appendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrate appendikularis. Peradangan pada appendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, kerena omentum lebih pendek pada appendiks lebih panjang, maka dinding appendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang sehingga memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah (Ariawan, 2014). Komplikasi yang dapat terjadi adalah perforasi appendiks, tanda-tanda perforasi yaitu meningkatnya nyeri,meningkatnya spasme dinding perut kanan bawah, ileus, demam, malaise, dan leukositisis. Kemudian peritonitis abses yang bila terbentuk abses appendik
6
maka akan teraba massa pada kuadran kanan bawah yang cenderung menggelembung pada rektum atau vagina. jika terjadi perintonitis umum tidakan spesifik yang dilakukan adalah operasi untuk menutup asal perforasi tersebut. T andanya berupa dehidrasi, sepsis, elektrolit darah tidak seimbang dan pneumonia (Ariawan, 2014).
Sumber: http://lpkeperawatan.blogspot.co.id/2014/01/laporan-pendahuluanappendisitis.html?m=1
G. Diagnosa Medis 1. Pemeriksaan Laboratorium 3
a. Hitung sel darah putih total meningkat di atas 10.000/m pada 85% pasien tiga perempatnya mempunyai hitung diferensial sel darah putih yang abnormal, mempunyai lebih dari 75% netrofil. 7
b. Pemeriksaan urine, tujuannya untuk menyingkirkan adanya kecurigaan batu ureter kanan dan infeksi saluran kencing. Adanya hematuria atau sel darah putih pada pemeriksaan urin menandakan adanya infeksi saluran kencing tetapi bukan berarti apendisitis akut dapat disingkirkan. c. C-Reactive Protein (CRP) dalam mendiagnosis apendisitis akut memiliki tingkat keakurasian hingga 91%, dimana CRP merupakan merupakan salah satu komponen protein, pentamer yang sering digunakan sebagai marker infeksi dalam darah. (NANDA, 2015)
2. Pemeriksaan Radiologi a. CT-Scan dan MRI memiliki akurasi 94-98%, sensitivitas 90-98%, spesitifitas 91-98%, positif prediktif value 92-98%. b. Pada pemeriksaan ultrasonografi akurasi dalam menegakkan diagnosis apendisitis akut mendekati 75-90%, spesifisitas antara 86-95%, dan nilai angka prediksi positif mencapai 91-94% serta akurasi secara keseluruhan sebesar 8796%. (NANDA, 2015)
3. Skoring Sistem Appendisitis Akut a. Skoring Alvarado Alfredo Alvarado pada tahun 1986 membuat sistem skor yang didasarkan atas tiga gejala, tiga tanda dan dua temuan laboratorium sederhana yang sering didapatkan pada apendisitis akut. Skor ini terdiri dari 10 poin dengan akronim MANTRELS. Berdasarkan sistem skoring ini, pasien yang dicurigai menderita apendisitis akut dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: 1) Skor 7-10 (emergency (emergency surgery group): group): semua penderita dengan skor ini disiapkan untuk operasi apendektomi 2) Skor 5-6 (observation (observation group): group): semua penderita dengan skor ini dirawat inap dan dilakukan observasi selama 24 jam dengan evaluasi secara berulang terhadap data klinis dan skoring. Jika kondisi pasien membaik yang 8
ditunjukkan dengan penurunan skor, penderita dapat dipulangkan dengan catatan harus kembali bila gejala menetap atau memburuk 3) Skor 1-4 (discharge (discharge home group): group): penderita pada kelompok ini setelah mendapat pengobatan secara simtomatis dapat dipulangkan dengan catatan harus segera kembali bila gejala menetap atau memburuk.
Tabel 3.1 Skoring Alvarado Karakteristik
Skor
M: Migration M: Migration of pain to the RLQ
1
A: Anorexia A: Anorexia
1
N: Nausea N: Nausea dan vomiting
1
T: Tenderness in RLQ
2
R: Rebound R: Rebound pain in RLQ
1
E: Elevated E: Elevated temperature
1
L: Leucocytosis L: Leucocytosis
2
S: Shift to the left of WBC
1
Total
10
Sumber: Ariawan (2014)
b. Skoring AIR ( Appendicitis Appendicitis Inflammatory Response) Response) Berdasarkan sistem skoring ini, pasien yang dicurigai menderita apendisitis akut dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu : 1) Skor AIR 0-4 (low (low probability): probability): kelompok pasien yang tidak menderita apendisitis akut. 2) Skor AIR 5-8 (intermediate (intermediate group): group): semua penderita dengan skor ini dirawat inap dan dilakukan observasi selama 24 jam dan di evaluasi secara berulang terhadap data klinis dan skoring. Jika kondisi pasien membaik yang ditunjukkan dengan penurunan skor, penderita dapat dipulangkan dengan catatan harus kembali bila gejala menetap atau memburuk
9
3) Skor AIR 9-12 (high (high probability): probability): kelompok pasien yang menderita apendisitis akut
Tabel 3.2 Sistem Skoring AIR Karakteristik
Vomiting Pain in RLQ Rebound tenderness or muscular defense 1. Light 2. Medium 3. Strong Body temperature > 38,5 C Polymorphonuclear leukocytes 1. 70 – 70 – 84 84 % 2. 85 % WBC count 1. > 10.0 x 109/l 2. 15.0 x 109/l CRP concentration 1. 10 – 10 – 49 49 g/dl 2. 50 g/dl Total
Skor
1 1 1 2 3 1 1 2 1 2 1 2 12
Sumber: Ariawan (2014)
H. Penatalaksanaan 1. Non Medis a. Mengkonsumsi buah-buahan b. Mengkonsumsi sayur-sayuran c. Tidak dianjurkan memakan makanan siap saji (Ariawan, 2014) 2. Medis Appendiktomi merupakan pembedahan untuk mengangkat appendik yang dilakukan untuk meurunkan perforasi. Appendiktomi dapat dilakukan secara terbuka atau laparoskopi. Appendiktomi terbuka dillakukan insisi Mc. Burnney yang biasanya dilakukan oleh para ahli. Pada appendisitis yang tanpa komplikasi maka tidak perlu diberikan antibiotik, kecuali pada appendisitis perforata. Penundaan tindakan bedah yang diberikan antibiotik dapat menimbulkan abses atau 10
perforasi. Terapi Farmakologis preoperatif antibiotik untuk menurunkan resiko infeksi pasca bedah (Ariawan, 2014).
II.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian 1. Pengkajian Keperawatan a. Identitas pasien post apendikitis yang menjadi dasar pengkajian meliputi nama, kebanyakan terjadi pada laki -laki, umur 20 - 30 tahun, pendidikan, pekerjaan, agama, alamat, diagnosa medis, nomor rekam medis, tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian. b. Identitas penanggung jawab meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, agama, alamat, hubungan dengan klien. c. Keadaan umum pada pasien post operasi appendiitis akut mencapai kesadaran penuh,keesadaran menunjukan keadaan sakit ringan sampai berat tergantung pada periode rasa nyeri. Tanda vital pada umumnya stabil kecuali akan menggalami kesakitan pada pasien yang mengalami perforasi appendik. d. Keluhan utama pada saat dikaji, pasien dengan post operasi appendisitis paling sering di temukan adalah nyeri. Nyeri yang dirasakan pasien seperti di remasremas ataupun rasa nyeri seperti ditusuk tusuk. e. Riwayat kesehatan sekarang saat pengkajian, yang diuraikan dari mulai masuk tempat perawatan sampai dilakukan pengkajian. Keluhan pada saat dikaji pasien yang telah menjalani operasi appendisitis pada umumnya mengeluh nyeri pada luka operasi. f. Riwayat kesehatan dahulu tentang pengalaman penyakit sebelumnya, apakah berpengaruh pada penderita penyakit yang diderita sekarang serta apakah pernah mengalami pembedahan sebeluumnya. g. Riwayat kesehatan keluarga tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama seperti pasien, dikaji pula mengenai pen yakit keturunan dan menular lainnya. (Ariawan, 2014)
11
2. Pemeriksaan Fisik a. Mc.Burney Sign Melakukan penekanan terhadap titik Mc.Burney titik Mc.Burney ( ( Mc. Burney’s Burney’s point ) yang terdapat di 2/3 antara umbilikus dan spina iliaka anterior superior (SIAS). Jika (+) berarti terdapat nyeri tekan pada Mc.Burney Mc.Burney tetapi jika (-) tidak ada nyeri tekan.
Gambar 2.1 Pemeriksaan Mc.Burney Pemeriksaan Mc.Burney Sign
b. Rovsign’s Sign Melakukan penekanan di beberapa titik dari mulai region iliaka kiri hingga region iliaka kanan dengan arah berlawanan jarum jam. Jika (+) berarti terdapat nyeri tekan pada sepanjang titik penekanan yang bisa menjalar hingga daerah kuadran kanan bawah (kuadran di sekitar appendiks) dan jika (-) tidak ada nyeri tekan.
Gambar 2.2 Pemeriksaan Rovsign’s Pemeriksaan Rovsign’s Sign c. Blumberg’s Sign Blumberg’s sign biasa sign biasa disebut juga den gan nyeri rebound atau atau nyeri lepas. Dengan cara melakukan penekanan perlahan, lalu melepaskan penekanan tersebut secara tiba-tiba. Penekanan dilakukan secara tegak lurus di empat kuadran abdomen.
12
Gambar 2.3 Pemeriksaan Blumberg’s Pemeriksaan Blumberg’s Sign
d. Psoas Sign Melakukan penarikan otot psoas dengan cara melakukan ekstensi pada paha. Pemeriksaan ini disebut juga cope’s psoas test atau obraztsova’s sign. sign. Posisikan pasien untuk miring ke kiri (left (left lateral decubitus), decubitus), kedua tahan bokong pasien dengan tangan kiri, ketiga tarik kaki pasien kea rah pemeriksa dengan menggunakan tangan kanan. Jika (+) berarti timbul nyeri pada kuadran kanan bawah abdomen saat melakukan manuver dan (-) tidak ada nyeri saat melakukan manuver.
Gambar 2.4 Pemeriksaan Psoas Pemeriksaan Psoas Sign
e. Obturatur Sign Melakukan pemeriksaan otot obturatur internus dengan cara melakukan rotasi internal pada kaput tulang femur. Pertama, kaki pasien diangkat dan lututnya difleksikan 90 tegak lurus, kedua tarik kaki pasien kearah pemeriksa untuk memberikan efek rotasi internal pada femur. Jika (+) timbul nyeri pada kuadran kanan bawah abdomen saat melakukan manuver dan jika (-) tidak ada nyeri saat melakukan manuver.
13
Gambar 2.5 Pemeriksaan Obturatur Sign f. Dunphy’s Sign Menyuruh pasien untuk batuk, jika (+) akan muncul nyeri di wilayah abdomen saat pasien batuk dan (-) tidak ada nyeri di wilayah abdomen saat pasien batuk.
Gambar 2.6 Pemeriksaan Dunphy’s Pemeriksaan Dunphy’s Sign
g. Aaton’s Sign Pemeriksaan
ini
bisa
dilakukan
bersamaan
dengan
pemeriksaan
Mc.Burney Mc.Burney dengan melakukan penekanan pada Mc.Burney pada Mc.Burney yang terdapat pada 2/3 antara umbilikus dan spina iliaka anterior superior (SIAS). Jika (+) akan muncul nyeri di derah epigastrium saat titik Mc.Burney titik Mc.Burney ditekan ditekan dan (-) tidak ada nyeri di daerah epigastrium saat titik Mc.Burney titik Mc.Burney ditekan. ditekan.
Gambar 2.7 Pemeriksaan Aaton’s Pemeriksaan Aaton’s Sign
14
h. Aure- Rozanova’s Rozanova’s Sign Melakukan palpasi ringan dnegan menggunakan jari pada segitiga petit ( petit petit triangle). triangle). Jika (+) akan terasa nyeri pada wilayah yang di palpasi dan (-) tidak terasa nyeri.
Gambar 2.8 Pemeriksaan AurePemeriksaan Aure- Rozanova’s Rozanova’s Sign (www.argaaditya.com)
3. Pengkajian Pola Gordon a. Pola menejemen kesehatan - persepsi kesehatan: pada pasien appendisitis akut dengan post appendiktomi apabila sakit periksa ke dokter, periksa ke rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan yang tepat. b. Pola metabolik nutrisi: pada pasien appendisitis akut dengan post appendiktomi porsi makanan tidak habis, nafsu makan menurun, penurunan berat badan, mual, muntah dan kenaikan suhu tubuh. c. Pola eliminasi :pada pasien appendisitis akut dengan post appendiktomi BAK dan BAB tidak mengalami gangguan pada pasien post operasi appendikitis. d.
Pola aktivitas dan latihan: pada pasien appendisitis akut dengan post appendiktomi mudah berkeringat saat melakukan aktivitas, mengalami gangguaan melakukan aktivitas secara mandiri.
e. Pola istirahat tidur: pada pasien appendisitis akut dengan post appendiktomi istirahat tidur tidak mengalami gangguan pada pasien post operasi appendisitis. f. Pola Persepsi kognitif: pada pasien appendisitis akut dengan post appendiktomi fungsi indra penciuman, pendengaran, pengelihatan, perasa, peraba tidak mengalami gangguan, pasien merasakan nyeri,pasien mengetahui penyakit yang
15
dialaminya akan segera sembuh dengan dilakukan pengobatan medis yang sudah didapatkannya. g. Pola konsep diri dan persepsi diri: pada pasien appendisitis akut dengan post appendiktomi pasien cemas tentang penyakitnya, pasien percaya diri, pasien berharap penyakitnya segera sembuh dengan pengobatan medis. h. Pola hubungan peran: pada pasien appendisitis akut dengan post appendiktomi interaksi dalam rumah, linngkungan tidak mengalami gangguan. i.
Pola Reproduksi dan seksualitas: pada pasien appendisitis akut dengan post appendiktomi fungsi reproduksi dan seksualitas tidak ada gangguan.
j.
Pola toletansi terhadap stress - koping: pada pasien appendisitis akut dengan post appendiktomi emosi stabil, sabar dalam proses pengobatan.
k. Pola keyakinan nilai: pada pasien appendisitis akut dengan post appendiktomi dapat melaksanakan ibadah agama yang dianutnya dengan kemampuan yang dapat dimilikinya. (Ariawan, 2014)
B. Diagnosa Keperawatan a. Nyeri akut berhubungan dengan insisi pembedahan b. Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kurangnya asupan makanan yang adekuat d. Kecemasan pemenuhan informasi berhubungan dengan kesiapan meningkatkan pengetahuan penatalaksanaan pengobatan (Ariwan, 2014)
C. Intervensi dan Rasional a. Nyeri akut berhubungan dengan insisi pembedahan 1) Mengkaji skala nyeri R: pendekatan komprehensif untuk menentukan intervensi 2) Ajarkan tehnik relaksasi pada saat nyeri R: dapat menurunkan stimulus nyeri 16
3) Memberikan lingkungan yang tenang R: lingkungan yang tenang akan menurunkan stimulus nyeri 4) Memberikan posisi nyaman R: dapat mengurangi ketegangan pada insisi abdomen sehingga dapat mengurangi nyeri 5) Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga tentang penyebab nyeri dan lama nyeri akan berlangsung R: pengetahuan tentang mengurangi nyeri 6) Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat analgetik R: analgetik akan mengurangi rasa nyeri (Ariawan, 2014)
b. Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi 1) Monitor suhu tubuh sesering mungkin Rasional: mengetahui adanya perubahan suhu tubuh yang berlebihan 2) Monitor warna dan suhu kulit Rasional: mengetahui kehilangan suhu yang berlebihan 3) Monitor tekanan darah Rasional: mengetahu perubahan tanda vital tubuh 4) Monitor intake dan output Rasional: mengetahui kehilangan cairan tubuh 5) Monitor nilai leukosit Rasional: mengetahui jumlah leukosit normal atau tidak 6) Kolaborasi pemberian obat antipiretik Rasional: mengurangi peningkatan suhu tubuh akibat demam 7) Kolaborasi pemberian cairan intravena Rasional: memenuhi cairan tubuh (NANDA, 2015)
17
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kurangnya asupan makanan yang adekuat 1) Observesi mual muantah R: mengetahui keadaan pasien 2) Mengkaji makanan kesukaan pasien R: meningkatkan selera makan pasien 3) Menganjurkan makan porsi sedikt tapi sering R: menjaga terpenuhinya asupan makanan pada tubuh 4) Memberikan informasi yang tepat tentang kebutuhan nutrisi dan cara memenuhinya R: mengetahui pentingnya kebutuhan nutrisi untuk tubuh 5) Kolaborasi dengan ahli gizi R: untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pada klien. (Ariawan, 2014)
d. Kecemasan pemenuhan informasi berhubungan dengan kesiapan meningkatkan pengetahuan penatalaksanaan pengobatan 1) Mengobservasi tingkat pengetahuan pasien tentang penyakit R: mengetahui sejauh mana pengetahuan pasien tentang penyakitnya 2) Menganjurkan pasien dan keluarga mengungkapkan keadaan yang dirasakan R: mengetahui keadaan dan perasaan klien dan dapat memberikan informasi yang tepat tentang proses keperawatan yang akan di terima 3) Memberikan pendidikan kesehatan tentang pemahaman penyakitnya R: membantu pasien untuk mengetahui dan memahami penyakitnya. 4) Menganjurkan pasien untuk melakukan pengalihan perhatian sesuai kemampuan R: untuk mengurangi rasa cemas pada pasien (Ariawan, 2014)
D. Evaluasi a. Nyeri akut berhubungan dengan insisi pembedahan 1) Nyeri berkurang 2) Menunjukan ekspresi wajah tampak releks 18
3) Skala nyeri 1 - 3 (Ariawan, 2014)
b. Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi 1) Suhu tubuh dalam rentang normal 2) Nadi dan RR dalam rentang normal 3) Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing (NANDA, 2015)
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kurangnya asupan makanan yang adekuat 1) Kebutuhan nutrisi terpenuhi 2) Asupan makanan adekuat Mempertahankan berat badan dalam batas normal 3) Mempertahankan (Ariawan, 2014)
d. Kecemasan pemenuhan informasi berhubungan dengan kesiapan meningkatkan pengetahuan penatalaksanaan pengobatan 1) Kecemasan berkurang. 2) Menunjukan kemempuan pengetahuan dan keterampilan baru (Ariawan, 2014)
19
III.
DAFTAR PUSTAKA
Ariawan, Kiki. A. (2014). Asuhan Keperawatan Pada Ny. S Dengan Gangguan Sistem Pencernaan: Appendisitis Akut Dengan Post Appendiktomy Di Ruang Cempaka RSUD Pandan Arang Boyolali. Boyolali. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta: Naskah Dipublikasikan http://lpkeperawatan.blogspot.co.id/2014/01/laporan-pendahuluan-appendisitis.html?m=1. Diakses pada Minggu, 17 September 2017, pukul 09:30 WITA http://anfis.mariapoppy.blogspot.com/2014/11/anatomi-fisiologi-sistem pencernaan_28.html. Diakses pada Minggu, 17 September 2017, pukul 09:40 W ITA http://yayanakhyar.wordpress.com/tag/apendisitis/. Diakses pada Minggu, 17 September http://yayanakhyar.wordpress.com/tag/apendisitis/. 2017, pukul 09:35 WITA Nugroho, Taufan. (2011). Asuhan Keperawatan Maternitas, Anak, Bedah, Dan Penyakit Dalam. Dalam. Nuha Medika: Yogyakarta Nurarif, Huda Amin & Kusuma, Hardhi. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis Dan NANDA NIC-NOC Jilid 1. Mediaction: Jogjakarta (www.argaaditya.com).. Diakses Pada Jum’at, 22 September 2017, pukul 09:12 WITA (www.argaaditya.com)
20