1
BAB I PENDAHULUAN 1.1
LATAR BELAKANG Apendisitis adalah suatu radang yang timbul secara mendadak pada apendiks
dan merupakan salah satu kasus akut abdomen yang paling sering ditemui. Apendiks disebut juga umbai cacing. Apendisitis sering disalah artikan dengan istilah usus buntu, karena usus buntu sebenarnya adalah caecum. Apendisitis akut merupakan radang bakteri yang dicetuskan berbagai faktor. Diantaranya hyperplasia jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks, dan caceing ascaris dapat juga menimbulkan penyumbatan. Appendisitis dapat terjadi pada setiap usia, perbandingan antara pria dan wanita mempunyai kemungkinan yang sama untuk menderita penyakit ini. Namun penyakit ini paling sering dijumpai pada dewasa muda antar umur 10- 30 tahun. Satu dari 15 orang pernah menderita apendisitis dalam hidupnya. Insiden tertinggi terdapat pada laki-laki usia 10-14 tahun dan wanita yang berusia 15-19 tahun. Laki- laki lebih banyak menderita appendisitis dari pada wanita pada usia pubertas dan pada usia 25 tahun. Appendisitis jarang terjadi pada bayi dan anak-nanak dibawah 2 tahun. Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan, obstruksi merupakan penyebab yang dominan dan merupakan pencetus untuk terjadinya apendisitis. Kuman-kuman yang merupakan flora normal pada usus dapat berubah menjadi patogen, menurut Schwartz kuman terbanyak penyebab apendisitis akut adalah Bacteriodes Fragilis bersama E.coli. 1.2
IDENTITAS PASIEN Nama
: An. A
Umur
: 12 tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Pekerjaan
: -
Pendidikan
: Pelajar SMP
2
Agama
: Islam
Alamat
: Jl. Sumbersari II / 99
Status Perkawinan : Belum Menikah Suku 1.3
: Jawa
ANAMNESIS 1. Keluhan Utama
: Nyeri perut kanan bawah
2. Riwayat Penyakit Sekarang : Sejak kurang lebih 3 hari yang lalu pasien mengeluh nyeri perut kanan bawah seperti ditusuk-tusuk, nyerinya terus-menerus, dibuat istirahat agak baikan, nyeri menjalar ke belakang perut. Sejak satu minggu yang lalu pasien mengeluh demam yang naik turun, disertai mual, tetapi tidak disertai muntah, dan nafsu makan pasien mulai menurun. Sejak 1 hari yang lalu nyeri terasa semakin hebat. Sebelumnya pasien sudah berobat
ke dokter dekat rumah keluhan
berkurang setelah minum obat yaitu diberi obat antibiotik dan anti nyeri, nyerinya kembali ketika obatnya habis. BAK lancar, tidak tersendat-sendat dan tidak didapatkan darah pada air seni nya. 3. Riwayat Penyakit Dahulu: -
Riwayat sakit serupa
-
Riwayat mondok
: disangkal
-
Riwayat sakit gula
: disangkal
-
Riwayat penyakit jantung
: disangkal
-
Riwayat hipertensi
: disangkal
-
Riwayat sakit kejang
: disangkal
-
Riwayat alergi obat
: disangkal
-
Riwayat alergi makanan
: disangkal
-
Riwayat alergi udara dingin : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga -
Riwayat keluarga dengan penyakit serupa : disangkal
-
Riwayat hipertensi
: disangkal
:
disangkal
3
-
Riwayat sakit gula
: disangkal
-
Riwayat jantung
: disangkal
5. Riwayat Kebiasaan -
Riwayat merokok
: (-)
-
Riwayat minum alkohol
: disangkal
-
Riwayat olah raga
: jarang olah raga
-
Riwayat pengisian waktu luang: bermain dengan teman dan berkumpul bersama keluarga
6. Riwayat Sosial Ekonomi : Penderita adalah seorang anak laki-laki berusia 12 tahun, seorang anak tinggal dengan ayah, ibu dan neneknya. Penderita adalah seorang pelajar SMP. Ayah pasien bekerja sebagai wiraswasta, ibu pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga. Saat ini penderita tinggal dalam extended family. Satus perekonomian keluarga menengah kebawah. Hubungan pasien dengan anggota keluarga yang lain dalam satu rumah baik-baik semua. 7. Riwayat Gizi: Penderita makan sehari-hari biasanya 3 kali dengan nasi sepiring, sayur, dan lauk pauk tahu, tempe. Terkadang dengan telur dan daging. Buah kadangkadang seperti pepaya. Kesan status gizi cukup. 1.4
ANAMNESIS SISTEM a.
Kulit
b. Kepala
: kulit gatal (-). : sakit kepala (-), berputar (-), cekot-cekot (-), rambut kepala tidak rontok, luka pada kepala (-), benjolan / borok di kepala (-).
c. Mata
: pandangan mata berkunang-kunang (-), penglihatan kabur (-), ketajaman penglihatan berkurang (-).
d. Hidung
: tersumbat (-), mimisan (-).
e. Telinga
: pendengaran berkurang (-), berdengung (-), keluar cairan (-).
4
f. Mulut
: sariawan (-), mulut kering (-), lidah terasa pahit (-), ngiler (-).
g. Tenggorokan
: sakit menelan (-), serak (-).
h. Pernafasan
: sesak nafas (-), , mengi (-), batuk (-),
i.
: berdebar-debar (-), nyeri dada (-)
Kadiovaskuler
j. Gastrointestinal : mual (+), muntah (-), diare (-), nafsu makan menurun (-), nyeri perut (-), tidak bisa BAB (+). k. Genitourinaria
: BAK lancar
l. Neurologik
: kejang (-), kelumpuhan kaki (-), kelumpuhan lidah (-)
m. Muskuloskeletal : kaku sendi (-), nyeri sendi (-), nyeri kaki (-), nyeri otot (-). n. Ekstremitas
1.5
:
o Atas kanan
: bengkak (-), sakit (-), luka (-)
o Atas kiri
: bengkak (-), sakit (-), luka (-)
o Bawah kanan
: bengkak (-), sakit (-), luka (-)
o Bawah kanan
: bengkak (-), sakit (-), luka (-)
PEMERIKSAAN FISIK 1. Keadaan Umum: lemah, tampak kesakitan, kesadaran compos mentis (GCS E4V5M6), kesan gizi cukup baik. 2. Tanda Vital BB
: 50 kg
TB
: 155 cm
BMI
: 20 (Normo weight)
Tensi
: 110/60 mmHg
Nadi
: 128 X/menit
Pernafasan : 18 X/menit Suhu
: 37,5˚c
3. Kepala: Bentuk mesocephal, luka (-), rambut tidak mudah dicabut, keriput (-), makula (-), atrofi m. temporalis (-), papula (-), nodula (-), bells palsy (-).
5
4. Mata: Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (+/+),reflek kornea (+/+), warna kelopak (coklat kehitaman), arkus senilis (+/+), radang (-/-). 5. Hidung: Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-), deformitas hidung (-), hiperpigmentasi (-), saddle nose (-). 6. Mulut : Bibir pucat (-), bibir kering (-), lidah kotor (-), papil lidah atrofi (-), tepi lidah hiperemis (+). 7. Telinga: Nyeri tekan mastoid (-), sekret (-), pendengaran berkurang (-), cuping telinga dalam batas normal. 8. Tenggorokan: Tonsil membesar (-), pharing hiperemis (-). 9. Leher: JVP tidak meningkat, trakea ditengah, pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran kelenjar limfe (-), lesi pada kulit (-). 10. Toraks: Simetris, bentuk normochest, retraksi interkostal (-), retraksi subkostal (-), spider nevi (-), venectasi (-), pembesaran kelenjar limfe (-) - Cor :I : ictus cordis tak tampak P : ictus cordis tak kuat angkat P : batas kiri atas :SIC II linea para sternalis sinistra batas kanan atas :SIC II linea para sternalis dekstra batas kiri bawah :SIC V 1 cm lateral linea medio clavicularis sinistra batas kanan bawah :SIC IV linea para sternalis dekstra pinggang jantung :SIC III linea para sternalis sinistra (batas jantung kesan tidak melebar A : Bunyi Jantung I–II intensitas normal, regular, bising (-) - Pulmo: Statis (depan dan belakang) I : pengembangan dada kanan sama dengan kiri. P : fremitus raba kanan sama dengan kiri P : sonor/sonor +
+
+ +
+
6
→
A: suara dasar vesikuler suara tambahan ronki/ whizing -
11.
-
Sistem Collumna Vertebralis:
I : deformitas (-), skoliosis (-), kiphosis (-), lordosis (-) P : nyeri tekan (-) P : Nyeri ketuk costo vertebralis (-) 12. Ektremitas:
palmar eritema(-/-) akral dingin
oedem
ulkus
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
13. Sistem genetalia: dalam batas normal 14. Pemeriksaan Neurologik: Fungsi Luhur
: dalam batas normal
Fungsi Vegetatif : dalam batas normal Fungsi Sensorik : N N N N Fungsi motorik : K 5 5 5 5
T
N N
N N
RF
2 2
2 2
RP
15. Pemeriksaan Psikiatrik: Penampilan
: sesuai umur, perawatan diri cukup
Kesadaran
: kualitatif tidak berubah ; kuantitatif compos mentis
Afek
: appropriate
Psikomotor
: normoaktif
Proses pikir
: bentuk :realistik
Insight
isi
:waham (-), halusinasi (-), ilusi (-)
arus
:koheren
: baik
-
-
7
16. Status lokalis (Abdomen) I A P P
: : : :
dinding perut sejajar dengan dinding dada, venektasi (-) peristaltik (+) normal timpani seluruh lapang perut supel, nyeri tekan (+) di McBurney di regio inguinal dextra, hepar dan
lien tak teraba, psoas sign (+), obturator sign (+) 1.6
PEMERIKSAAN PENUNJANG:
Tanggal 28-9-2012 Hematologi: Item periksa
Hasil pemeriksaan
Nilai normal satuan
Hemoglobin
15,5
12-16
g/dl
Leukosit
14.900
4-10
ribu/mm3
Trombosit
197.000
150-400
ribu/mm
LED
-
2-20
mm/jam
PCV/HCT
49,5
37-48
%
Eritrosit
6,00
4,0-5,5
juta/mm3
Hitung jenis eosinofil
1
1-3
Hitung jenis basofil
7
0-1
Hitung jenis N.Stab
-
2-6
Hitung jenis N.Segmen
84
50-70
Hitung jenis lymphosit
8
20-40
Hitung jenis monosit
-
2-8
Tanggal 29-9-2012 Faal Hemostasis: Item periksa
Hasil pemeriksaan
Nilai normal
satuan
Waktu perdarahan
2
1-3
menit
Waktu pembekuan
12
9-15
menit
USG: Edema pada appendiks
8
1.8
RESUME : Sejak kurang lebih 3 hari yang lalu pasien mengeluh nyeri perut kanan bawah
seperti ditusuk-tusuk, nyerinya terus-menerus, dibuat istirahat agak baikan, nyeri menjalar ke belakang perut. Sejak satu minggu yang lalu pasien mengeluh demam yang naik turun, disertai mual, tetapi tidak disertai muntah, dan nafsu makan pasien mulai menurun. Sejak 1 hari yang lalu nyeri terasa semakin hebat. Sebelumnya pasien sudah berobat ke dokter dekat rumah keluhan berkurang setelah minum obat yaitu diberi obat antibiotik dan anti nyeri, nyerinya kembali ketika obatnya habis. Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran composmentis (GCS 456), pada abdomen terdapat nyeri tekan pada McBurney di regio inguinalis dextra. Pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan, leukositosis 14.900 (↑), Hematokrit 49,5 (↑), Hitung jenis basofil 7 (↑), Hitung jenis neutrofil segmen 84 (↑), Hitung jenis limfosit 8 (↓), dari USG ada edema pada appendik. 1.9
WORKING DIAGNOSA Appendisitis akut
1.10
DIAGNOSA BANDING a. Appendisitis b. Urolithiasis c. Colitis
1.11 DIAGNOSIS HOLISTIK An. A dengan usia 12 tahun adalah penderita appendisitis. An. A tinggal dalam Extended Family dengan ibu, ayah, dan neneknya. Hubungan An. A dengan keluarganya harmonis, dan dalam kehidupan sosial, An. N adalah anak yang lumayan aktif di sekolahnya. i Diagnosis dari segi biologis : Appendisitis Akut ii Diagnosis dari segi psikologis : Hubungan An. A dengan ayah, ibu, dan anggota keluarga yg lain baik, di buktikan dengan saling membantu antar anggota keluarga apabila salah satu
9
anggota keluarga sakit yang lainnya membantu menyelesaikan pekerjaan rumah. iii Diagnosis dari segi sosial : Penderita hanya sebagai anggota masyarakat biasa, di lingkungan sekolahnya lumayan aktif dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar maupun kegiatan ekstrakulikuler. Jikab ada waktu luang pasien biasanya main dengan teman-teman sekolahnya ataupun dengan tetangga rumah. 1.12 PENATALAKSANAAN DI RUMAH SAKIT Medikamentosa: Pre-Operasi. Infus RL (Ringer Lactat ) 20 tpm Antrain 3x1 amp iv Amoxan 3x1 amp iv Profenid supp Non medikamentosa pre-operasi - Stabilisasi: Airway (saluran napas), breathing (pernapasan), circulation -
(sirkulasi), disability (evaluasi neurologis), exposure (kontrol lingkungan) Setelah stabil, observasi keluhan nyeri dan kaji tingkat nyeri pasien Berikan lingkungan yang nyaman dan tenang Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat analgetik Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian diet yang sesuai sebelum
dilakukan operasi (puasa makan dan minum) Penatalaksanaan Saat Operasi Non-medikamentosa - Observasi TTV - Observasi balance cairan - Meminta bantuan doa kepada keluarga pasien Penatalaksanaan Saat Post-Operasi Non medikamentosa a. Edukasi Edukasi terhadap pasien dan keluarga mengenai : - Penyakit yang timbul akibat appendiksitis. - Makna perlunya pemantauan dan pengendalian penyakit - Komplikasi dari appendisitis - Intervensi Farmakologi dan non- Farmakologi b.Cukup Istirahat dan tidur
10
Penderita sebaiknya tidur yang cukup 6-8 jam setiap harinya dan tidak memaksakan diri dalam melakukan aktivitas sehari- hari agar luka bekas operasi cepat kering dan tidak menimbulkan luka baru. c. Mengurangi stres dan beban pikiran Mengurangi/menghindari stres dengan lebih mendekatkan diri kepada allah dengan menyerahkan segala sesutunya kembali pada allah. d. Pemberian nutrisi: banyak makan-makanan yang mengandung protein dan banyak minum air Medikamentosa Post-Op: infus RD5 (Ringer Dextrosa) 1500 cc / 24 jam Ceftriaxon 2 x ½ g iv Ranitidin 2 x ½ amp iv Ketesse/Antrain 3 x 25 mg (1 cc) iv B comp 1x1 po Amociclav 2x1 po Mefinal 2x1 po 1.13 FOLLOW UP Tanggal 28 September 2012 S: pasien mengeluh nyeri perut kanan bawah O: KU lemah, tampak sakit sedang, composmentis, GCS 456, gizi kesan cukup Tanda Vital : T: 110/70 mmHg
RR: 18x/menit
N: 80x/menit BB: 50 kg TB: 155 cm
S: 37,5˚c BMI: 20 (normo weight)
Status lokalis: nyeri perut di McBurney Pemeriksaan laboratorium: Leukosit: 14.900 (↑), HCT: 49,5 (↑), USG? A : appendisitis P : - terapi medika mentosa: infus RL (Ringer Lactat) 20 tpm, Antrain 3x1, Amoxan 3x1 - planning Operasi Tanggal 29 September 2012
11
S: nyeri post operasi O: KU cukup, composmentis, GCS 456, gizi kesan cukup Tanda Vital : T: 100/60 mmHg
RR: 18x/menit
N: 80x/menit BB: 50 kg TB: 155 cm
S: 37˚c BMI: 20 (normo weight)
Status lokalis: nyeri perut di McBurney A : apendisitis P : terapi medika mentosa: infus RD 5% (Ringer Dextrose ) 30 tpm, inj Antrain 3x1, inj Amoxan 3x1 Tanggal 30 September 2012 S: nyeri post operasi masih tetap O: KU baik, composmentis, GCS 456, gizi kesan cukup Tanda Vital : T: 110/70 mmHg
RR: 18x/menit
N: 80 x/menit BB: 50 kg TB: 155 cm
S: 37˚c BMI: 20 (normo weight)
Status lokalis: nyeri perut di McBurney A : appendisitis P : terapi medika mentosa: infus RD 5% (Ringer Dextrose ) 30 tpm, inj Antrain ½ amp, inj Ceftriaxon ½ gr Tanggal 01 Oktober 2012 S: pasien mengatakan nyeri post op mulai berkurang O: KU baik, composmentis, GCS 456, gizi kesan cukup Tanda Vital : T: 110/80 mmHg
RR: 18x/menit
N: 80 x/menit BB: 50 kg TB: 155 cm
S: 37˚c BMI: 20 (normo weight)
Status lokalis: nyeri perut di McBurney A : appendisitis
12
P : terapi medika mentosa: infus RD 5% (Ringer Dextrose ) 30 tpm, inj. Ketesse 25 mg, inj Ceftriaxon 1 gr Mengukur urin Tanggal 02 Oktober 2012 S:keluhan nyeri post op berkurang O: KU baik, composmentis, GCS 456, gizi kesan cukup Tanda Vital : T: 110/80 mmHg
RR: 18x/menit
N: 94 x/menit BB: 50 kg TB: 155 cm
S: 37˚c BMI: 20 (normo weight)
Status lokalis: nyeri perut di McBurney A : appendisitis P : terapi medika mentosa: infus RD 5% (Ringer Dextrose ) 30 tpm, inj. Ceftriaxone 1 gr Tanggal 03 Oktober 2012 S: keluhan nyeri post op berkurang O: KU baik, composmentis, GCS 456, gizi kesan cukup Tanda Vital : T: 110/80 mmHg
RR: 20x/menit
N: 88 x/menit BB: 50 kg TB: 155 cm
S: 37˚c BMI: 20 (normo weight)
Status lokalis: nyeri perut di McBurney A : appendisitis P : terapi medika mentosa: infus RD 5% (Ringer Dextrose ) 30 tpm, inj. Ceftriaxone 1 gr, memberi obat oral B-comp 1x1, mefinal 3x1 Tanggal 04 Oktober 2012 S: keluhan nyeri post op sudah tidak ada O: KU baik, composmentis, GCS 456, gizi kesan cukup Tanda Vital : T: 120/80 mmHg N: 92 x/menit
RR: 20x/menit S: 36,5˚c
13
BB: 50 kg TB: 155 cm
BMI: 20 (normo weight)
Status lokalis: nyeri perut di McBurney A : appendisitis P : terapi medika mentosa: memberi obat oral B-comp 1x1, Mefinal 3x1, Amociclav 2x1 Pasien boleh pulang 1.14 FLOW SHEET Nama
: An. A
Diagnosis : Apendisitis akut No 1
Tanggal 28-9-12
Vital sign T : 110/70
BB/TB 50/155
BMI Keluhan 20 nyeri perut
N : 80x/mnt
2
3
29-9-12
30-9-12
kanan bawah
01-10-12
medikamentosa,
RR: 18x/mnt
terapi nonmedika
S : 37,5˚c
mentosa (diet)
T : 100/60
Rencana operasi. Terapi
50/155
20
nyeri post op
N : 80x/mnt
medikamentosa,
RR: 18x/mnt
terapi nonmedika
S : 37˚c T : 110/70
50/155
20
mentosa (diet) Nyeri post op Terapi
N : 80 x/mnt
mulai
medikamentosa,
RR: 18x/mnt
berkurang
terapi nonmedika
S : 37˚c 4
Rencana Terapi
T : 110/80
mentosa (diet dan 50/155
20
bed rest. Nyeri post op Terapi
N : 80x/mnt
mulai
medikamentosa,
RR: 18x/mnt
berkurang
terapi nonmedika
S : 37˚c
mentosa (diet dan
14
5
02-10-12
T : 110/80
50/155
20
N : 94x/mnt
6
03-10-12
berkurang
04-10-12
medikamentosa,
RR: 18x/mnt
terapi nonmedika
S : 37˚c
mentosa (diet dan
T : 110/80
50/155
20
N : 88x/mnt
7
bed rest. Nyeri post op Terapi
bed rest. Nyeri post op Terapi berkurang
medikamentosa,
RR: 20x/mnt
terapi nonmedika
S : 37˚c
mentosa (diet dan
T : 120/80
50/155
20
bed rest. Keluhan nyeri Terapi
N : 92x/mnt
post op sudah medikamentosa,
RR: 20x/mnt
tidak ada
S : 36,5˚c
terapi nonmedika mentosa (diet dan bed rest. Pasien boleh pulang.
1.15
PROGNOSIS Dengan diagnosis dan pembedahan yang cepat, tingkat mortalitas dan
morbiditas penyakit ini sangat kecil. Angka kematian lebih tinggi pada anak dan orang tua. Apabila appendiks tidak diangkat, dapat terjadi serangan berulang. Pada pasien ini prognosis baik.
15
BAB II IDENTIFIKASI FUNGSI- FUNGSI KELUARGA
2.1
KARAKTERISTIK DEMOGRAFI KELUARGA
Daftar Anggota Keluarga yang Tinggal dalam Satu Rumah
No
Nama
Status
L/P
Umur Pendidikan Pekerjaan
Pasien
Ket
Klinik 1.
Tn. N
Ayah
L
40 th
SMA
swasta
-
Ayah
2.
Ny. S
Ibu
P
35 th
SMA
IRT
-
Ibu
3.
An. A
Anak
L
15 th
SMP
Pelajar
-
-
-
4. Ny. P Nenek Bentuk Keluarga 2.2
P 55 th SD : Extended Family
Pasien Appendisitis Nenek
FUNGSI HOLISTIK 1. Fungsi Biologis
:
Keluarga terdiri atas penderita (An. A 12 tahun), ibunya yaitu Ny. S, Ayahnya yaitu Tn. N dan , neneknya yaitu Ny.P 2. Fungsi Psikologis
:
Hubungan keluarga di antara mereka terjalin baik, terbukti dengan adanya komunikasi antar anggota keluarga, dan hubungan sama anak dan anggota keluarga yang lain baik. 3. Fungsi Sosial :
16
Keluarga ini tidak mempunyai kedudukan sosial tertentu dalam masyarakat, hanya sebagai anggota masyarakat biasa. Penderita sering berkumpul dengan teman-teman seusianya, seperti bermain bola. An. A sangat menghargai budaya tradisi Jawa, hal ini dapat dilihat pada pergaulan mereka sehari-hari yang menggunakan bahasa Jawa, tata karma jawa dan kesopanan sehari-hari masih diperhatikan. Kesimpulan: Hubungan kelurga An. A berjalan baik semua komunikasi antar anggota keluraga baik dengan lingkungan sekolah dan rumah (tetangga) juga baik. 2.3
FUNGSI FISIOLOGIS APGAR Terhadap Keluarga
An. A
Tn. N
Ny. S
Ny.P
Saya puas bahwa saya dapat kembali A
P
ke keluarga saya bila saya menghadapi 2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
dan saya membagi waktu bersama- 2
2
2
2
masalah Saya puas dengan cara keluarga saya membahas
dan
membagi
masalah 2
dengan saya Saya puas dengan cara keluarga saya menerima dan mendukung keinginan
G
saya untuk melakukan kegiatan baru atau arah hidup yang baru Saya puas dengan cara keluarga saya mengekspresikan kasih sayangnya dan
A
merespon
emosi
saya
seperti
kemarahan, perhatian dll Saya puas dengan cara keluarga saya R
sama 10
10
10
10
17
APGAR skore kelurga Tn. N= 10+10+10+10= 40:4 = 10 → Fungsi Fisiologis Baik. Skoring :
2.4
Hampir selalu
: 2 poin
Kadang – kadang
: 1 poin
Hampir tak pernah : 0 poin
FUNGSI PATOLOGIS DENGAN ALAT SCREEM SCREEM SUMBER PATHOLOGY KET Social Interaksi sosial yang baik antar anggota keluarga juga dengan saudara. Partisipasi mereka dalam masyarakat Cultural
_
misalnya mengikuti tahlil rutin, pengajian, Kepuasan atau kebanggaan terhadap budaya baik, hal ini dapat dilihat dari pergaulan sehari-hari baik, banyak tradisi budaya yang masih diikuti. Sering mengikuti acara-acara
_
yang bersifat hajatan. Menggunakan bahasa jawa dan Religius
Indonesia, tata krama dan kesopanan Pemahaman terhadap ajaran agama cukup, demikian juga -
Economy
dalam ketaatannya dalam beribadah. Ekonomi keluarga ini termasuk perekonomian menengah kebawah. Pendapatannya sudah mencukupi untuk standard
+
hidup layak sehari hari, namun pada saat sakit pasien Educatio n Medical
mengalami masalah sama perekonomiannya. Tingkat pendidikan dan pengetahuan keluarga ini cukup baik, dimana Tn. N merupakan lulusan SMP. Keluarga ini belum menganggap pemeriksaan rutin kesehatan sebagai kebutuhan, akan tetapi pasien jika merasa sakit, pasien mencari pelayanan dokter terdekat.
Kesimpulan :
-
18
Hubungan keluarga An. A baik-baik semua, namun pada perekonomiannya cukup buat kehidupan sehari-hari akan tetapi pada saat sakit dan butuh biaya banyak untuk dilakukan operasi jadi pasien merasa kurang. 2.5
GENOGRAM :
Tn. N
Ny.S
An. A
Keterangan: Laki- laki Perempuan
X
meninggal Pasien
2.6
INFORMASI POLA INTERAKSI: Diagram pola interaksi keluarga An. A Ny.S
An. A
Tn.M
Ny.K
19
Keterangan: : Berhubungan Baik
BAB III IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESEHATAN 3.1
Identifikasi faktor perilaku keluarga 1. Pengetahuan Keluarga mempunyai pengetahuan yang cukup baik tentang kesehatan karena tingkat pendidikannya cukup baik. Menurut pendapat semua keluarga anggota, yang dimaksud kondisi sehat adalah suatu kondisi dimana seseorang tidak menderita penyakit sehingga bisa melakukan aktivitasnya dengan baik. 2. Sikap Keluarga ini peduli terhadap kesehatan penderita. Selama keluarga pasien sakit anggota keluarga yang lain ikut menjaga dan memperhatikan kesehatan pasien. 3. Tindakan Keluarga pasien mengantarkan An. A berobat kedokter dekat rumah pada saat pasien mengeluh kesakitan, setelah dibawa ke dokter umum dekat rumah keluhan masih menetap keluarga pasien langsung membawa pasien ke rumah sakit terdekat untuk mendapat pertolongan lebih lanjut.
3.2
Identifikasi faktor non perilaku 1. Lingkungan Rumah yang dihuni keluarga ini cukup baik. Rumah pasien sudah merupakan rumah yang sudah memenuhi standar kesehatan. Luas bangunan cukup, ada halaman depan, pencahayaan cukup, ventilasi cukup. Sumber air keluarga ini berasal dari PDAM, kamar mandi dan jamban sudah ada. Air minum yang digunakan memakai air galon.
20
2. Pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, praktek, dokter, apotik, dan lain sebagainya tergolong dekat dengan rumah keluarga An. A, sehingga keluarga mudah mendapatkan pelayanan medis yang baik dan tepat. Keluarga pasien memperhatikan kesehatan antar keluarganya apabila ada yang sakit langsung dibawa berobat. 3. Keturunan Pasien tidak mempunyai riwayat penyakit yang diturunkan.
Lingkungan : rumah cukup memenuhi syarat kesehatan
Pengetahuan: keluarga cukup memahami penyakit penderita Sikap: keluarga cukup peduli terhadap penyakit penderita
Keluarga An. Ny. A T Keluarga Keluarga An. Ny. A T Keluarga
Tindakan: keluarga mengantarkan An.A untuk berobat
Faktor Perilaku Faktor Non Perilaku
Keturunan : tidak didapatkan sakit pada keturunan.
Pelayanan Kesehatan : Jika sakit An. A ke dokter praktek
21
BAB IV IDENTIFIKASI LINGKUNGAN RUMAH 4.1
Lingkungan Luar Rumah An. A tinggal bersama dengan ayah, ibu, dan neneknya. Rumah ini
mempunyai pagar pendek, mempunyai halaman depan, Saluran pembuangan limbah sudah tersalur ke got. Pembuangan sampah di rumah di bakar di perkarangan yang kosong. 4.2
Lingkungan Dalam Rumah Dinding rumah terbuat dari batu bata yang di cat, sedangkan lantai rumah
sudah menggunakan keramik. Rumah ini terdiri dari enam ruangan yaitu ruang tamu, 3 kamar tidur, satu dapur dan satu kamar mandi. Rumah ini mempunyai dua pintu untuk keluar masuk (di bagian depan). Keluarga ini sudah mempunyai fasilitas MCK keluarga dan fasilitas air dari PDAM. Ventilasi udara masih cukup tedapat 5 jendela dengan lubang ventilasi untuk pertukaran udara. 4.3
Denah Rumah
P e k a r a n g a n
Kamar Mandi
Dapur
Kamar Tidur III
Ruang Tamu + ruang nonton TV
Halaman depan
Kamar Tidur II
Kamar Tidur I
22
4.4
Daftar Masalah a. Masalah medis Appendisitis Akut b. Masalah non medis Status perekonomian menengah kebawah. c. Diagram permasalahan An. A
Masalah Medis
Masalah Non Medis
Sejak kurang lebih 3 hari yang lalu pasien mengeluh nyeri perut kanan bawah seperti ditusuk-tusuk, nyerinya terus-menerus, dibuat istirahat agak baikan, nyeri menjalar ke belakang perut. Sejak satu minggu yang lalu pasien mengeluh demam yang naik turun, disertai mual, tetapi tidak disertai muntah, dan nafsu makan pasien mulai menurun. Sejak 1 hari yang lalu nyeri terasa semakin hebat.
Status perekonomian mengengah kebawah sehingga mempengaruhi kesehatan pasien
23
BAB V PEMBAHASAN 5.1
Pengertian Apendiks Apendiks atau umbai cacing adalah suatu organ yang terdapat pada sekum
yang terletak pada proximal colon. Apendiks dalam bahasa latin disebut sebagai Appendiks vermiformis, ditemukan pada manusia, mamalia, burung, dan beberapa jenis reptil. Apendiks pada awalnya dianggap sebagai organ tambahan yang tidak mempunyai fungsi tetapi saat ini diketahui bahwa fungsi apendiks adalah sebagai organ imunologik dan secara aktif berperan dalam sekresi immunoglobin (Ig-A) walaupun dalam jumlahkecil. Apediks berisi makanan dan mengosongkan diri secara teratur ke dalam sekum.Karena pengosongannya yang tidak efektif, dan lumennya kecil, apendiks cenderungmenjadi tersumbat dan terutama rentan terhadap infeksi. Apendisitis
adalah
peradangan
dari
apendiks
vermiformis,
dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang lakilaki berusiaantara 10-30 tahun. 5.2
Anatomi Apendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjang kira-kira
10cm dan berpangkal pada sekum, tepatnya di daerah perbatasan dengan usus ileum kuadran kanan bawah. Apendiks memiliki lumen sempit dibagian proximal danmelebar pada bagian distal. Saat lahir, apendiks pendek dan melebar dipersambungan dengan sekum. Selama anak-anak, pertumbuhannya biasanya berotasi ke dalam retrocaecal tapi masih dalam intraperitoneal. Pada apendiks terdapat 3 tanea coli yang menyatu dipersambungan caecum dan bisa berguna dalam menandakan tempat untuk mendeteksi apendiks. Posisi apendiks terbanyak adalah
24
Retrocaecal (74%) lalumenyusul Pelvic (21%), Patileal(5%), Paracaecal (2%), subcaecal(1,5%) dan preleal(1%). Apendiks dialiri darah oleh arteri apendicular yang merupakan cabang dari bagian bawa arteri ileocolica. Arteri apendiks termasuk akhir arteri. Apendiks memiliki lebih dari 6 saluran limfe melintangi mesoapendiks menuju ke nodus limfe ileocaecal.Anatomi lokasi apendiks :
5.3
Fisiologis Fungsi
appendiks
pada
manusia
belum
diketahui
secara
pasti.
Diduga berhubungan dengan sistem kekebalan tubuh. Lapisan dalam appendix menghasilkan lendir. Lendir ini secara normal dialirkan ke appendiks dan secum. Hambatan aliran lendir di muara appendix berperan pada patogenesis appendicitis Appendiks menghasilkan lendir 1 – 2 ml perhari yang bersifat basa mengandung amilase, tripsin dan musin. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum. Hambatan aliran lendir di muaraappendiks berperan pada patofisiologi appendiks. Imunoglobulin sekretor yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated LymphoidTissue) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk appendiks, ialah Ig A. Imunglobulin itu sangat efektif sebagai perlindungan terhadap infeksi tapi pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem Imunoglobulin tubuh sebab jaringan limfe kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlah disaluran cerna danseluruh tubuh.
25
5.4
Pengertian Apendisitis Akut Apendisitis biasa disebabkan oleh adanya penyumbatan lumen apendiks oleh
hyperplasia folikel
limfoid,
fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis
akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Apendisitis akut adalah proses radang bakteria yang timbul secara mendadak, apendisitis disebabkan oleh berbagai faktor.
5.5
Etiologi Apendisitis Akut Apendisitis akut dapat disebabkan oleh beberapa sebab terjadinya proses
radang bakteria yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus diantaranya Hiperplasia jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks, dan cacing askaris yang menyumbat. Ulserasi mukosa merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini. namun ada beberapafaktor yang mempermudah terjadinya radang apendiks, diantaranya : Faktor sumbatan: Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia jaringan lymphoid sub mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan sebablainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing. Obsrtruksi yang disebabkan oleh fekalith dapat ditemui pada bermacam-macam apendisitis akut diantaranya ;fekalith ditemukan 40% pada kasus apendisitis kasus sederhana, 65% pada kasus apendisitis akut
26
ganggrenosa tanpa ruptur dan 90% pada kasus apendisitis akut dengan rupture. Faktor Bakteri: Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada apendisitis akut. Adanya fekolith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk dan memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks, pada kultur didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodesfragililis dan E.coli, lalu Splanchicus, lacto-bacilus, Pseudomonas. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob sebesar 96% dan aerob <10%. Kecenderungan familiar. Hal ini dihubungkan dengan tedapatnya malformasi yang herediter dari organ, apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang mudahterjadi apendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan makanan dalamkeluarga terutama dengan diet rendah serat dapat memudahkan terjadinya fekolith danmengakibatkan obstruksi lumen. Faktor ras dan diet: Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari. Bangsa kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko lebih tinggi dari Negara yang pola makannya banyak serat. Namun saat sekarang, kejadiannya terbalik. Bangsa kulit putih telah merubah pola makan mereka ke pola makan tinggi serat. Justru Negara berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini beralih ke pola makan rendah serat, memiliki resiko apendisitis yang lebih tinggi. Faktor infeksi saluran pernapasan: Setelah mendapat penyakit saluran pernapasan akut terutama epidemi influenza dan pneumonitis, jumlah kasus apendisitis ini meningkat. Namun, hati-hati karena penyakit infeksi saluran pernapasan dapat menimbulkan seperti gejala permulaanapendisitis. 5.6
Patofisiologi Obstruksi lumen Appendiks adalah titik awal munculnya gangren atau perforasi
appendisitis. Walau bagaimanapun pada beberapa kasus appendisitis yang dini lumen
27
appendiks masih utuh walaupun sudah ada inflamasi mukosa dan hiperplasia limfoid. Agen infeksi seperti virus (terbanyak) akan mengawali respon inflamasi pada lumen appendiks yang sempit sehingga timbul obstruksi luminal. Obstruksi dengan sekresi mukosa yang terus menerus dan eksudat inflamasi akan meningkatkan tekanan intraluminal, ini akan menghambat aliran limfa. Luminal Capacity Appendic adalah 0.1ml, bila sekresinya 0.5ml. Mukosa dari appendiks mempunyai sifat khusus dimana ia masih dapat menghasilkan sekresi pada tekanan yang tinggi sehingga distensi dari lumen akan terus meningkat. Distensi ini akan merangsang ujung saraf viseral yang mensarafi appendiks sehingga muncul nyeri. Nyeri awalnya dirasakan pada umbilikal dan kwadran bawah epigastrium dengan nyerinya yang tumpul dan difus. Nyeri ini dirasakan pada umbilikal karena persarafan appendiks berasal dari Thorakal 10 yang lokasinya pada umbilikal. Maka nyeri pada umbilikal merupakan suatu reffered pain. Distensi dari appendiks juga akan meningkatkan peristalsis usus sehingga menimbulkan nyeri kolik. Distensi appendiks dengan mukus ini dikenali dengan Mucocele Appendiks. Selain faktor-faktor ini kuman komensal dalam appendiks yang bermultiplikasi juga akan meningkatkan distensi dari appendiks. Pada kondisi ini resolusi dapat terjadi dengan spontan atau dengan antibiotik. Apabila penyakitnya berlanjut, distensi appendiks yang semakin bertambah ini akan menyebabkan obstruksi vena dan iskemia pada dinding appendiks.Tekanan dalam lumen yang semakin meningkat akan meningkatkan tekanan vena dan menyebabkan oklusi venula dan kapiler, tetapi aliran arteriol tidak terganggu sehingga akan menimbulkan kongesti vaskular appendiks. Kongesti ini akan menimbulkan refleks nausea dan muntah diikuti dengan nyeri viseral yang semakin meningkat. Selanjutnya apabila serosa dari appendiks mulai terganggu ,diikuti dengan kehadiran Muscularis Hiatus dan peritonitis lokal, akan menimbulkan gejala nyeri alih ke kuadran kanan bawah. Bila invasi dari bakteri bertambah dalam, akan muncul gejala-gejala demam, takikardia dan leukositosis akibat absorbsi toxin bakteri dan produk dari jaringan yang mati. Peritonitis merupakan komplikasi yang sangat di kwatirkan pada appendicitis akut. Peritonitis terjadi akibat migrasi bebas bakteri melalui dinding appendiks yang iskemik, perforasi gangren appendiks atau melalui abses appendiks
28
yang lanjut. Faktor-faktor yang mempermudah terjadinya peritonitis adalah usia lanjut, immunosupresi, diabetes mellitus, obstruksi fecalit pada lumen appendiks, pelvic appendic dan riwayat operasi abdomen, karena ini mengurangi kemampuan omentum untuk menutupi penyebaran kontaminan peritonitis. Pasien dengan faktor-faktor di atas lebih mudah mengalami perburukan klinisyang berakhir dengan peritonitis diffuse dan Sindroma Septik Sistemik. Apendisitis Akut Katarhalis: Bila terjadi obstruksi, sekresi mukosa menumpuk dalam lumen apendiks, terjadi peninggian tekanan dalam lumen, tekanan ini mengganggu aliran limfe, mukosaapendiks jadi menebal, edem dan kemerahan. Pada apendiks edema mukosa ini mulaiterlihat dengan adanya luka-luka kecil pada mukosa. Apedisitis Akut Purulenta: Tekanan dalam lumen yang terus bertambah yang disertai edema, menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding apendiks dan menimbulkan thrombus. Hal ini akan memperberat iskemik dan edema pada apendiks. Bakteri yang dalam normal terdapat di daerah ini berinvasi ke dalam dinding, menimbulkan infeksi serosa, sehingga serosa jadi suram, karena dilapisi eksudat dan fibrin. Karena infeksi akan terbentuk nanah terjadi peritonitis lokal. Apendisitis Akut Gangrenosa: Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu terutama bagian ante mesentrial yang peredarannya paling minimal, hingga terjadi infrak dan ganggren.
Apendisitis Perforata: Bila apendiks yang sudah ganggren itu pecah, terjadilah perofasi.
Apedisitis Infiltrat yang Fixed: Perforasi yang terjadi pada daerah ganggren sehingga nanah dan produksi infeksi mengalir ke dalam rongga perut dan menyebabkan peritonitis generalisata serta abses sekunder. Bila mekanisme pertahanan tubuh cukup baik, tubuh berusaha melokalisir tempat infeksi tersebut dengan cara membentuk “walling off” oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum, yaitu membentuk gumpalan masa phlegmon
29
yang melekat erat satu dengan yang lainnya. Dalam keadaan ini tubuh berhasil melokalisir daerah infeksi secara sempurna. Apendisitis Abses: Bila masa lokal yang terbentuk berisi nanah. Apendsitis Kronis: Jika apendisitis infiltrat menyembuh dengan adanya gejala hilang timbul. 5.7
Gambaran Klinis Apendisitis akut sering tampil dengan gejala yang khas yang didasari oleh
radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak oleh rangsang peritoneum lokal. Gejala klasik apendisitis merupakan nyeri visceral di daerah epigastium di sekita umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang ada muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik Mc.Burney, disini nyeri akan dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan pencahar. Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi. Bila terdapat perangsangan peritoneum biasanya pasien mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk. Bila apendiks terletak retrosekal di luar rongga perut, karena letaknya terlindung sekum maka tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul saat berjalan, karena kontraksi otot polos psoas mayor yang menegang dari dorsal. Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat menimbulkan gejala
dan
tanda
rangsangan
sigmoid
atau
rectum
hingga
peristaltik
meningkat, pengosongan rectum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing, karena rangsangan dindingnya. Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit di diagnosis sehingga tidak ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. a. Pemeriksaan
30
Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5 C. Bila suhu lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terjadi perbedaan suhu aksilar dan rectal sampai 1˚c. Pada inspeksi abdomen tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses apendicular. Pada palpasi didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa disertai nyeri lepas. Defans muskuler menunjukan adanya rangsangan peritoneum parietal. Nyeri tekan perut kanan bawah ini merupakan kuncidiagnosis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri di perutkanan bawah yang disebut tanda Rovsing. Pada apendisitis retrosekal atauretroileal diperlukan palpasi dalam untuk menentukan adanya rasa nyeri. Peristaltik usus sering normal, peristaltik usus dapat hilang karena ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata. Pemeriksaan colok dubur menyebabkan nyeri bila daerah infeksi bisa dicapai dengan jaritelunjuk, misalnya pada apendisitis pelvika. a. Diagnosis Appendisitis
akut
dan pemeriksaan
didiagnosis
fisik,
memudahkandiagnosis
dan klinis
secara
klinis
pemeriksaan apendisitis,
dengan
penunjang
para
klinisi
anamnesis
Untuk telah
lebih berhasil
mengembangkan berbagai metode diagnosis. Salah satunya adalah dengan menggunakan indeksalvarado, berikut adalah indeks alvarado:
31
Dari tabel di atas dapat ditarik kesimpulan dengan menjumlah setiap skor, kemudian kemungkinan diagnosis apendisitis adalah berdasarkan pembagian interval nilai yang diperoleh tersebut. 1. Skor >8 : Berkemungkinan besar menderita apendisitis. Pasien ini dapat langsung diambil tindakan pembedahan tanpa pemeriksaan lebih lanjut. Kemudian perlu dilakukan konfirmasi dengan pemeriksaan patologi anatomi. 2. Skor 2-8 : Tingkat kemungkinan sedang untuk terjadinya apendisitis. Pasien ini sebaiknya dikerjakan pemeriksaan penunjang seperti foto polosabdomen ataupun CT scan. 3. Skor <2 : Kecil kemungkinan pasien ini menderita apendisitis. Pasien ini tidak perlu untuk di evaluasi lebih lanjut dan pasien dapat dipulangkan dengancatatan tetap dilakukan follow up pada pasien ini. 5.8
Penatalaksanaan Penatalaksanaan pasien dengan apendisitis akut meliputi terapi medis dan
terapi bedah. Terapi medis terutama diberikan pada pasien yang tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah, dimana pada pasien diberikan antibiotik. Namun sebuah penelitian prospektif menemukan bahwa dapat terjadi apendisitis rekuren dalam beberapa bulan kemudian pada pasien yang diberi terapi medis saja. Selain itu terapi medis juga berguna pada pasien apendisitis yang mempunyai risiko operasi yang tinggi. Namun pada kasus apendisitis perforasi, terapi medis diberikan sebagai terapi awal berupa antibiotik dan drainase melalui CT-scan pada absesnya. The Surgical Infection Society menganjurkan pemberian antibiotik profilaks sebelum pembedahan dengan menggunakan antibiotik spektrum luas kurang dari 24 jam untuk apendisitis non perforasi dan kurang dari 5 jam untuk apendisitis perforasi. Penggantian cairan dan elektrolit, mengontrol sepsis, antibiotik sistemik adalah pengobatan pertama yang utama pada peritonitis difus termasuk akibat apendisitis dengan perforasi.
32
1. Cairan intravena cairan yang secara massive ke rongga peritonium harus di ganti segera dengan cairan intravena, jika terbukti terjadi toxix sistemik, atau pasien tua atau kesehatan yang buruk harus dipasang pengukur tekanan vena central. Balance cairan harus diperhatikan. Cairan atau berupa ringer laktat harus
di
infus
secara
cepat
untuk
mengkoreksi
hipovolemia
dan
mengembalikan tekanan darah serta pengeluaran urin pada level yang baik. Darah di berikan bila mengalami anemia dan atau dengan perdarahan secara bersamaan. 2. Antibiotik Pemberian antibiotik intraven diberikan untuk antisipasi bakteri patogen, antibiotik initial diberikan termasuk gegerasi ke 3 cephalosporins, ampicillin – sulbaktam, dll, dan metronidazol atau klindanisin untuk kuman anaerob. Pemberian antibiotik postops harus di ubah berdasarkan kulture dan sensitivitas. Antibiotik tetap diberikan sampai pasien tidak demam dengan normal leukosit. Setelah memperbaiki keadaan umum dengan infus, antibiotik serta pemasangan pipa nasogastrik perlu dilakukan pembedahan sebagai terapi definitif dari appendisitis perforasi. Perlu dilakukan insisi yang panjang supaya mudah dilakukan pencucian rongga peritonium untuk mengangkat material seperti darah, fibrin serta dilusi dari bakteria. Pencucian cukup dengan larutan kristaloid isotonis yang hangat, penambahan antiseptik dan antibiotik untuk irigasi cenderung tidak berguna bahkan malah berbahaya karena menimbulkan adhesive (misal tetrasiklin atau provine iodine), anti biotik yang diberikan secara parenteral dapat mencapai rongga peritonium dalam kadar bakterisid. Tapi ada juga ahli yang berpendapat bahwa dengan penambahan tetrasiklin 1 mg dalam 1 ml larutan garam dapat mengendalikan sepsis dan bisul residual, padakadar ini antibiotik bersifat bakterisid terhadap kebanyakan organisme. Walaupun sedikit membuat kerusakan pada permunkaan peritonial tapi tidak ada bukti bahwa menimbulkan resiko perlengketan. Tapi zat lain seperti iodine tidak populer. Setelah pencucian seluruh cairan di rongga peritonium seluruh cairan harus diaspirasi.
33
3. Terapi
bedah
meliputi
apendiktomi
dan
laparoskopik
apendiktomi.
Apendiktomi terbuka merupakan operasi klasik pengangkatan apendiks. Mencakup McBurney, Rocke-Davis atau Fowler-Weir insisi. Dilakukan diseksi melalui obliqueeksterna, oblique interna dan transversal untuk membuat suatu muscle spreading atau muscle splitting, setelah masuk ke peritoneum apendiks dikeluarkan ke lapangan operasi, diklem, diligasi dan dipotong. Mukosa yang terkena dicauter untuk mengurangi perdarahan, beberapa orang melakukan inversi pada ujungnya, kemudian sekum dikembalikan ke dalam perut dan insisi ditutup. Laparoskopik apendiktomi mulai diperkenalkan pada tahun 1987, dan telahsukses dilakukan pada 90-94% kasus apendisitis dan 90% kasus apendisitis perforasi. Saat ini laparoskopik apendiktomi lebih disukai. Prosedurnya, port placement terdiridari pertama menempatkan port kamera di daerah umbilikus, kemudian melihatlangsung ke dalam melalui 2 buah port yang berukuran 5 mm. Ada beberapa pilihanoperasi, pertama apakah 1 port diletakkan di kuadran kanan bawah dan yang lainnya dikuadran kiri bawah atau keduanya diletakkan di kuadran kiri bawah. Sekum danapendiks kemudian dipindahkan dari lateral ke medial. Berbagai macam
metodetersedia
untuk
pengangkatan
apendiks,
seperti
dectrocauter,
endoloops, staplingdevices.
Mengenai pemilihan metode tergantung pada ahli bedahnya. Apendiks kemudian diangkat dari abdomen menggunakan sebuah endobag. Laparoskopik apendiktomi mempunyai beberapa keuntungan antara lain bekas operasinya lebih bagusdari segi kosmetik dan mengurangi infeksi pascabedah. Beberapa penelitian jugamenemukan
34
bahwa laparoskopik apendiktomi juga mempersingkat masa rawatan dirumah sakit. Kerugian laparoskopik apendiktomi antara lain mahal dari segi biaya dan juga pengerjaannya yang lebih lama, sekitar 20 menit lebih lama dari apendiktomiterbuka. Namun lama pengerjaanya dapat dipersingkat dengan peningkatan pengalaman. Kontraindikasi laparoskopik apendiktomi adalah pada pasien dengan perlengketan intra-abdomen yang signifikan. 5.9
Komplikasi Komplikasi
yang
paling
sering
ditemukan
adalah
perforasi,
baik
berupa perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendindingan sehingga berupa masa yang terdiri dari kumpulan apendiks, sekum dan keluk usus. Perforasi apendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat serta meliputi seluruh perut dan perut menjadi tegang dan kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler di seluruh perut mungkin dengan pungtum maksimum di regio iliaka kanan, peristaltik usus menurun sampaimenghilang karena ileus paralitik kecuali di regio iliaka kanan, abses rongga peritoneum bisa terjadi bilamana pus yang menyebar bisa dilokalisir di suatu tempat. Paling sering adalah abses rongga pelvis dan subdiafragma. 5.10 Prognosis Bila ditangani dengan baik, prognosis apendiks adalah baik. Secara umumangka kematian pasien apendiks akut adalah 0,2-0,8%, yang lebih berhubungan dengan komplikasi penyakitnya daripada akibat intervensi tindakan.
35
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN KOMPREHENSIF 6.1
Kesimpulan holistik Diagnose holistic: An. A (12 tahun) adalah penderita appendisitis akut, tinggal
dalam extended family dengan kondisi keluarga yang harmonis. Status perekonomian pasien menengah kebawah, cukup dalam kebutuhan sehari-hari. Lingkungan keluarga yang cukup sehat dan merupakan anggota masyarakat biasa dalam kehidupan kemasyarakatan yang mengikuti beberapa kegiatan dilingkungannya. 1. Segi biologis Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang didapatkan hasil, bahwa An. A (12 tahun) adalah penderita appendisitis, tinggal di lingkungan yang cukup memenuhi kesehatan. 2. Segi sikologis Tn. N memiliki APGAR score 10 menunjukkan hubungan antar keluarga yang baik. Diantara keluarga apabila ada salah satu anggota keluarga yang sakit semua saling memperhatikan. 3. Segi sosial Keluarga ini merupakan anggota masyarakat biasa yang mengikuti acara di lingkungannya, dan hubungan antar tetangga juga baik. 6.2
Saran komprehensif
1. Promotif :
Mengadakan penyuluhan tentang pentingnya menjaga kebersihan lingkungan, penyuluhan
tentang
penyakit
appendisitis
(gejala
klinis,
penyebabnya,
komplikasi, penanggulangan), mengkonsumsi makanan yang tinggi serat.
36
2.
Preventif : Pasien untuk sementara tidak di perbolehkan makan makan pedas dalam dietnya.
3.
Kuratif Pre-op (tanggal 28 september 2012) Infus: Infus RL (Ringer Lactat ) 20 tpm Injeksi: Antrain 3x1 amp iv Amoxan 3x amp iv Profenid supp Post-op (tanggal 29 september – 4 oktober 2012) Infus: RD5 (Ringer Dextrosa) 1500 cc / 24 jam Injeksi: Ceftriaxon 2 x ½ g iv Ranitidin 2 x ½ amp iv Ketesse 3 x 25 mg B comp 1x1 po Amociclav 2x1 po Mefinal 2x1 po
4. Rehabilitatif
Rehabilitatif : edukasi dan motivasi pasien bahwa penderita post operasi appendisitis sebaiknnya membatasi segala aktifitas, terutama aktifis berat, makanmakanan yang mengandung protein, banyak minum air.
37
DAFTAR PUSTAKA Price, Silvya A., Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi6. Jakarta: EGC. Sudoyono, Aru W. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Sjamsuhidajat,Wim De Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi II. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Snell, Richard S. 2000. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC. Smink, D.S & Soybel, D.I. 2005. Appendix and Appendectomy In Small Intestine and Colon. Zinner, M.J and Ashley, S.W, (eds). Abdominal operations 11 st. New York:Mc Graw Hill inc. pp. 589-612. Addiss DG, Shafeer N, Fowler BS, et al. 1990. The Epidemiology of Appendicitis and Apendictomy in the United States. Am J Epidemiol 132:910. Hale DA, Molloy M, Pearl RH, et al. 1997. Apendictomy: A Contemporary Appraisal. Ann Surg 225: 252.