PRESENTASI KASUS LEPTOSPIROSIS
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Panembahan Senopati Bantul
Disusun Oleh : Yanuar Mahatma Hata Sari 20120310108
Diajukan Kepada : dr. Warih Tjahjono, Sp.PD
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMDIYAH YOGYAKARTA BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL 2016
PRESENTASI KASUS LEPTOSPIROSIS
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Panembahan Panembahan Senopati Bantul
Disusun Oleh : Yanuar Mahatma Hata Sari 20120310108
Dokter Penguji :
dr. Warih Tjahjono, Sp.PD
2
BAB I PENDAHULUAN
Leptospirosis
adalah
penyakit
bacterial
penyebab
morbiditas
dan
mortalitas di seluruh dunia, Meskipun penyakit iniendemik di kota ataupun desa serta dapat timbul epidemic sporadic. Penyakit ini sering tidak terdiagnosis karena tanda dan gejalanya sulit dibedakan dari penyakit endemis lainnya serta kurangnya laboraturium diagnosis. Di Indonesia di tahun 2012 dilaporkan terdapat 239 kasus dengan 29 kasus kematian (Amin, 2016). Leptospira ditularkan melalui urin yang terinfeksi, melalui invasi mukosa atau kulit yang tidak utuh. Infeksi dapat terjadi dengan kontak langsung atau melalui kontak dengan air atau tanah yang tercemar. Pada keadaan ideal, leptospira dapat bertahan selama 16 hari di air dan 24 hari di tanah. Petani, pegawai kebersihan (pembuang samapah), pemelihara binatang, orang yang berolah raga air, dan nelayan merupakan kelompok risiko tinggi terkena Leptospirosis (Depkes RI, 2014). Gejala tidak khas dari Leptospirosis berupa demam, nyeri kepala, mual muntah dan sering dianggap sebagai manifestasi penyakit infeksi virus. Sebanyak 90% kasus Leptospirosis bermanifestasi penyakit demam akut berprognosis baik dengan sisa 10% mempunyai gambaran klinis berat hingga menyebabkan kematian. Manifestasi berat dari Leptospirosis berupa Leptospirosis ikterik atau sering disebut Weil disesase dengan manifestasi klinik berupa demam, ikterus, gagal ginjal, dan perdarahan.(Mansjoer, 2009). Penyebaran penyakit ini terkait dengan pekerjaan petani, peternak dan penjagalan hewan serta sanitasi yang buruk dan pemukiman yang tidak teratur (Rahmawati, 2013). Kejadian Leptopirosis berkaitan dengan faktor lingkungan. Hasil yang di dapat menyatakan bahwa beberapa faktor lingkungan menjadi faktor resiko terjadinya Leptopirosis berat (Priyanto, 2008). Leptopirosis di Indonesia pada tahun 2005-2011 tersebar di DKI Jakarta, Jawa Barat (Bandung), Jawa Tengah (Demak, Purworejo, Klaten, Semarang, Pati), DIY, Jawa Timur
3
(Ponorogo, Gresik, Malang), Bengkulu (Kaur), Kep.Riau (Tanjung Uban) dan Sulawesi Selatan (Makassar, Gowa, Maros, Pinrang) (Ningsih, et al 2014). Di bantul sendiri pada tahun 2010 terdapat 116 kasus leptosprirosis dengan 19 kasus kematian. Pada tahun 2015 tercatat lima kecamatan sebagai wilayah endemis Leptospirosis, kecamatan Sedayu, Bantul, Kasihan, Sewon Sewon dan Pleret. Sejumlah daerah itu pada tahun 2015 ditemukan kasus Leptospirosis dengan jumlah tinggi dibanding belasan kecamatan lainnya. Pada kasus ini 90% menyerang petani, karena aktivitasnya kerap berada di wilayah basah yang mudah tercemar kencing tikus (Febrian, 2016).
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Leptospirosis termasuk penyakit zoonosis yang paling sering terjadi di dunia. Leptospirosis juga dikenal dengan nama flood fever atau demam banjir karena memang muncul dikarenakan banjir. Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang dapat menyerang manusia dan binatang. Dibeberapa negara Leptospirosis dikenal dengan nama demam icterohemorrhagic, demam lumpur, penyakit swinherd , demam rawa, penyakit weil , demam canicola (PDPERSI Jakarta, 2007) Spirochaeta Leptospira icterohaemorrahgiae diduga sebagai penyebab dari penyakit ini, koloninya bisa ditemukan di ginjal dan urin tikus. Tingginya angka mortalitas dari penyakit ini menjadikan penyakit ini penyakit penting pada manusia, tikus, anjing, babi dan sapi. (Swastiko, 2009). B. EPIDEMIOLOGI
Leptospirosis merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, khususnya di negara-negara yang beriklim tropis dan subtropis serta memiliki curah hujan yang tinggi. World Health Organization (WHO) menyebutkan kejadian Leptospirosis untuk negara subtropis adalah berkisar antara 0,1-1 kejadian tiap 100.000 penduduk per tahun, sedangkan di negara tropis berkisar antara 10 – 100 kejadian tiap 100.000 penduduk per tahun (WHO, 2003). Agen terpenting dalam penularan penyakit ini adalah hewan pengerat misalnya tikus. Beberapa jenis bateri ini khususnya Leptospira jenis spesis L. Ichterro haemorrhagiae banyak menyerang tikus besar. Agen lain yang dapat berperan dalam penularan penyakit ini misalnya anjing, kucing, kerbau hanya berperan sebagai hospes perantara. Kontak mukosa manusia dengan urin dari tikus yang mengandung Leptospira dipercaya sebagai jalan dari penularan penyakit ini (International Leptospirosis Society, 2007).
5
C. ETIOLOGI
Leptospira
adalah
genus
spiroketa
berukuran
6 –20
μm
dengan
karakteristik ujung yang berbentuk kait dengan motilitas yang tinggi. Genus Leptospira terdiri dari dua puluh jenis spesies, lima diantaranya termasuk spesies yang menyebabkan penyakit misalnya L. interrogans yang memiliki kurang lebih 250 serovar (Shakinah, 2015). Organisme Leptospira tidak dapat terlihat dengan menggunakan mikroskop cahaya biasa, namun dapat dilihat dalam kultur dan spesimen klinis dengan menggunakan mikroskop medan gelap. Kebutuhan nutrisi Leptospira yang khas menyebabkan leptospirosis tidak dapat tumbuh pada medium yang digunakan dalam proses kultur biasa. Leptospira secara khusus dapat dikultur pada media EMJH ( Ellinghausen – McCullough – Johnson – Harris) yang ditambahkan 0,1% agar. Kultur dapat diperiksa dengan menggunakan mikroskop lapangan gelap dalam interval mingguan (Vinetz, 2012).
Gambar 1. Leptospira melalui mikroskop medan gelap Sumber: Jawetz E et al , 2010.
Bakteri leptospira berbentuk spiral dengan ujung-ujung seperti pengait. Bentuk yang demikian menyebabkan leptospira dapat bergerak sangat aktif untuk maju, mundur,atau berbelok. Bakteri ini peka terhadap asam, bersifat aerobik obligat dengan pertumbuhan optimum pada suhu 28- 30’C dan pH 7,2-8,0. Meskipun di dalam air tawar dapat bertahan hidup sampai sekitar satu bulan, namun dalam air yang pekat seperti air selokan dan air laut leptospira akan cepat
6
mati. Lingkungan yang sesuai untuk hidup leptospira adalah tanah panas dan lembab seperti kondisi daerah tropis (Widoyono, 2008). Penyakit yang banyak ditemukan di negara beriklim tropis ini, disebabkan oleh Leptospira interrogans yang bisa terdapat pada air kemih binatang piaraan seperti anjing, lembu, babi,kerbau dan lain-lain, maupun binatang liar seperti tikus, musang, tupai dan sebagainya (Mansjoer, 2009). Menurut beberapa peneliti, yang tersering menginfeksi manusia adalah L. icterohaemorrhagia dengan reservoir tikus, L. canicola dengan reservoir anjing dan L. pomona dengan reservoir sapi dan babi (Zein, 2009). D. PATOGENESIS & PATOFISIOLOGI
Transmisi infeksi leptospira ke manusia dapat melalui berbagai cara, yang tersering adalah melalui kontak dengan air atau tanah yang tercemar bakteri leptospira. Bakteri masuk ke tubuh manusia melalui kulit yang lecet atau luka dan mukosa, bahkan dalam literatur disebutkan bahwa penularan penyakit ini dapat melalui kontak dengan kulit sehat (intak) terutama bila kontak lama dengan air.
Gambar 2. Transmisi Leptospira ke manusia
(Sumber: Interational Leptospirosi Society, 2014)
7
Selain melalui kulit atau mukosa, infeksi leptospira bisa juga masuk melalui konjungtiva. Bakteri leptospira yang berhasil masuk ke dalam tubuh tidak menimbulkan lesi pada tempat masuk bakteri. Hialuronidase dan atau gerak yang menggangsir ( burrowing motility ) telah diajukan sebagai mekanisme masuknya leptospira ke dalam tubuh (Zein, 2006). Selanjutnya bakteri leptospira virulen akan mengalami multiplikasi di darah dan jaringan. Sementara leptospira yang tidak virulen gagal bermultiplikasi dan dimusnahkan oleh sistem kekebalan tubuh setelah 1 Leptospira virulen mempunyai kemampuan motilitas
atau 2 hari infeksi.
yang tinggi, lesi primer
adalah kerusakan dinding endotel pembuluh darah dan menimbulkan vaskulitis serta merusak organ. Vaskulitis yang timbul dapat disertai dengan kebocoran dan ekstravasasi sel. Patogenitas
leptospira
yang penting adalah
perlekatannya
pada
permukaan sel dan toksisitas selular . Lipopolysaccharide (LPS) pada bakteri leptospira mempunyai aktivitas endotoksin yang berbeda dengan
endotoksin
bakteri gram negatif, dan aktivitas lainnya yaitu stimulasi perlekatan netrofil pada sel endotel dan trombosit, sehingga terjadi
agregasi trombosit disertai
trombositopenia. Bakteri leptospira mempunyai fosfolipase yaitu suatu hemolisis yang mengakibatkan lisisnya eritrosit dan membran sel lain yang mengandung fosfolipid (Sharma, 2007). Pada Leptospirosis berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi mikro dan meningkatkan permeabilitas kapiler, sehingga
menyebabkan kebocoran cairan
dan hipovolemia. Hipovolemia akibat dehidrasi dan perubahan permeabilitas kapiler salah satu penyebab gagal ginjal. Pada gagal ginjal tampak pembesaran ginjal disertai edema dan perdarahan subkapsular, serta nekrosis tubulus renal. Sementara perubahan yang terjadi pada hati bisa tidak tampak secara nyata. Secara
mikroskopik tampak perubahan patologi berupa nekrosis
sentrolobuler disertai hipertrofi dan hiperplasia sel Kupffer . Kerusakan hati yang terjadi akan mengakibatkan timbulnya ikterus, meskipun ada beberapa ahli
8
mengemukakan ikterus antara lain disebabkan oleh hemolisis dan obstruksi bilier. Edem intra-alveolar dan intersisial dapat terlihat pada jaringan paru. Pada vaskulitis berat dapat terjadi perdarahan paru (Soeroso, 2008).
Gambar 3. Perubahan yang terjadi di Hati pada Leptospirosis
(Sumber Soeroso,2008) Keterlibatan ginjal menyebabkan nekrosis tubuler dan nefritis intersisialis, sehingga terjadi gagal ginjal akut yang memerlukan dialisis. Pada jantung dapat ditemukan petekie pada endokardium, edem intersisiel miokard, dan arteritis koroner. Perdarahan, nekrosis fokal dan reaksi inflamasi dapat ditemukan pada kelenjar adrenal, sehingga dapat memperberat kolaps vaskuler yang berkaitan dengan kejadian Leptospirosis yang fatal. E. MANIFESTASI KLINIS
9
Gambaran klinis Leptospirosis bervariasi, mulai dari gejala subklinik sampai berat, yaitu demam biasa dengan onset yang tiba-tiba sampai gejala kegagalan multiorgan yang disertai komplikasi jaundice, gagal ginjal, dan perdarahan serius (Weil’s di sease) yang meningkatkan angka kematian. Kekhasan perdarahan pada Leptospirosis adalah adanya perdarahan intra-alveolar yang intens dengan gambaran infiltrasi sel radang dan ekstravasasi sel darah merah dari kapiler. Secara teoritis, perdarahan bisa merupakan akibat defek pada hemostasis primer atau ketidakseimbangan pada hemostasis sekunder. Aktivasi siklus koagulasi sehubungan dengan proses infeksi dapat menimbulkan gambaran klinis yang beragam, mulai dari peningkatan marker laboratoris yang tidak signifikan hingga sindrom trombohaemorragic berat seperti: coagulation (DIC),
disseminated intravascular
haemolytic uraemic syndrom
(HUS),
thrombotic
thrombocytopenic purpura (TTP), dan vaskulitis (Wageenar, 2007) Gambaran klinik pada Leptospirosis berkaitan dengan penyakit febril umum dan tidak cukup khas untuk menegakkan diagnosis. Secara khas penyakit ini bersifat bifasik, yaitu fase leptospiremi/ septikemia dan fase imun.
Gambar 4. Perjalanan penyakit Leptospirosis Sumber: (Rampengan, 2016)
10
1. Fase leptospiremi atau septikemia
Masa inkubasi dari leptospira virulen adalah 7-12 hari, rata- rata 10 hari. Untuk beberapa kasus, dapat menjadi lebih singkat yaitu 2 hari atau bahkan bisa memanjang sampai 30 hari. Fase ini ditandai adanya demam yang timbul dengan onset tiba-tiba, menggigil, sakit
kepala, mialgia, ruam kulit, mual, muntah,
conjunctival suffusion, dan tampak lemah. Demam tinggi dan bersifat remiten bisa mencapai 40ºC sebelum mengalami penurunan suhu tubuh. Conjunctival suffusion merupakan tanda khas yang biasanya timbul pada hari ke-3 atau ke-4 sakit. Selama fase ini, leptospira dapat dikultur dari darah atau cairan serebrospinal penderita. Tes serologi menunjukkan hasil yang negatif
sampai
setidaknya 5 hari setelah onset gejala (Wageenar, 2007). Pada fase ini mungkin dijumpai adanya hepatomegali, akan tetapi splenomegali kurang umum dijumpai. Pada hitung jumlah platelet, ditemukan adanya penurunan jumlah platelet dan trombositopeni purpura. Pada urinalisis ditemukan adanya proteinuri, tetapi kliren kreatinin biasanya masih dalam batas normal sampai terjadi nekrosis tubular atau glomerulonefritis. 2. Fase imun
Fase kedua ini ditandai dengan leptospiuria dan berhubungan dengan timbulnya antibodi IgM dalam serum penderita. Pada kasus yang ringan ( mild case) fase kedua ini berhubungan dengan tanda dan gejala yang minimal, sementara pada kasus yang berat ( severe case) ditemukan manifestasi terhadap gangguan meningeal dan hepatorenal yang dominan. Pada manifestasi meningeal akan timbul gejala meningitis yang ditandai dengan sakit kepala, fotofobia, dan kaku kuduk. Keterlibatan sistem saraf pusat pada Leptospirosis sebagian besar timbul sebagai meningitis aseptik. Pada fase ini dapat terjadi berbagai komplikasi, antara lain neuritis optikus, uveitis, iridosiklitis, dan neuropati perifer (Kartikawati E. 2012).
11
Menurut berat ringannya, Leptospirosis dibagi menjadi ringan
(non-
ikterik) dan berat (ikterik). Ikterik merupakan indikator utama dari Leptospirosis berat (Wageenar, 2007). 1. Leptospirosis ringan (non-ikterik)
Sebagian besar manifestasi klinik Leptospirosis adalah anikterik, dan ini diperkirakan mencapai 90% dari seluruh kasus Leptospirosis di masyarakat. Gejala Leptospirosis timbul mendadak ditandai dengan viral-like illness, yaitu demam, nyeri kepala, dan mialgia. Nyeri kepala bisa berat, mirip yang terjadi pada infeksi dengue, disertai nyeri retro orbitaldan fotofobia. Nyeri otot diduga terjadi karena adanya kerusakan otot sehingga kreatinin fosfokinase (CPK) pada sebagian besar kasus meningkat, dan pemeriksaan CPK ini dapat membantu penegakan diagnosis klinik Leptospirosis (Maha, 2006). Dapat juga ditemukan nyeri perut, diare, anoreksia, limfadenopati, splenomegali,
rash
makulopapular,
kelainan
mata
(uveitis,
iridosiklitis),
meningitis aseptik dan conjunctival suffusion. Pemeriksaan fisik yang khas adalah
conjunctival suffusion dan nyeri
tekan di daerah betis. Gambaran klinik terpenting Leptospirosis non-ikterik adalah meningitis aseptik yang tidak spesifik sehingga sering terlewatkan diagnosisnya. Sebanyak 80 -90% penderita Leptospirosis anikterik akan mengalami pleositosis pada cairan serebrospinal selama minggu ke-2 penyakit dan 50% diantaranya akan menunjukkan tanda klinis meningitis. Karena penderita memperlihatkan penyakit yang bersifat bifasik atau memberikan riwayat paparan dengan hewan, meningitis tersebut kadang salah didiagnosis sebagai kelainan akibat virus. Pasien dengan Leptospirosis non – ikterik pada umumnya tidak berobat karena keluhan bisa sangat ringan Pada sebagian pasien, penyakit ini bisa sembuh sendiri ( self-limited ) dan biasanya gejala kliniknya menghilang dalam waktu 2 sampai 3 minggu. Karena gambaran kliniknya mirip dengan penyakit demam akut yang lain, maka pada setiap kasus dengan keluhan demam akut, Leptospirosis anikterik harus dipikirkan 12
sebagai salah satu diagnosis banding, terutama di daerah endemik Leptospirosis seperti Indonesia. 2. Leptospirosis berat (ikterik)
Bentuk Leptospirosis yang berat ini pada mulanya dikatakan sebagai Leptospira ichterohaemorrhagiae, tetapi ternyata dapat terlihat pada setiap serotipe leptospira yang lain. Manifestasi Leptospirosis yang berat memiliki angka mortalitas sebesar 5-15%. Leptospirosis ikterik disebut juga dengan nama SindromWeil . Tanda khas dari sindrom Weil yaitu jaundice atau ikterik, azotemia, gagal ginjal, serta perdarahan yang timbul dalam waktu 4-6 hari setelah onset gejala dan dapat mengalami perburukan dalam minggu ke-2. Ikterus umumnya dianggap sebagai indikator utama Leptospirosis berat. Pada Leptospirosis ikterik, demam dapat persisten sehingga fase imun menjadi tidak jelas atau nampak overlapping dengan fase leptospiremia. Perbedaan manifestasi klinik Leptospirosis anikterik dan ikterik:
Sindroma, Fase
Gambran klinik
Spesimen Laboratorium
Leptospirosis
Demam tinggi, nyeri kepala,
Darah, LCS
anikterik
mialgia, nyeri perut, mual,
Urin
Fase leptospiremia
muntah, conjunctival suffusion
Fase imun
Demam ringan, nyeri kepala, muntah, meningitis aseptik
Leptospirosis ikterik
Demam, nyeri kepala,
Darah, LCS
Fase leptospiremia
mialgia, ikterik, gagal
(minggu 1)
dan fase imun
ginjal, hipotensi, manifestasi
Urin (minggu ke-2)
(sering overlapping) perdarahan, pneumonitis hemorrargik, leukositosis
13
Manifestasi klinis pada beberapa organ: 1. Mata
Pada fase akut dapat ditemukan dilatasi pembuluh darah konjungtiva, perdarahan subkonjungtiva, dan retinal vasculitis. Sedangkan pada fase imun, sering ditemukan iridosiklitis. Conjunctival suffusion merupakan tanda khas yang biasanya timbul pada hari ke-3 atau ke-4 sakit. 2. Saluran Cerna
Gejala klinik pada saluran cerna termasuk ikterus, hepatitis, kolesistitis, pankreatitis, dan perdarahan saluran cerna. Terdapat peningkatan ringan kadar enzim transaminase dan gamma-GT, namun pada anak yang menderita ikterus kadar enzim transaminase dapat normal; sedangkan bilirubin pada Weil disease dapat mencapai 30 mg/dl. Pada Leptospirosis yang disertai keluhan nyeri perut, mual dan muntah perlu dipikirkan adanya pankreatitis. 3. Paru
Gejala klinik dapat berupa batuk, hemoptisis, dan pneumonia. Pada pemeriksaan foto toraks dapat ditemukan infiltrat unilateral atau bilateral, dan efusi pleura. Gangguan pernafasan dapat berkembang menjadi adult respiratory distress syndrome (ARDS) yang memerlukan tindakan intubasi dan ventilator. 4. Sistem syaraf pusat
Meningitis pada Leptospirosis mempunyai hubungan yang klasik dengan fase imun. Nyeri kepala merupakan gejala awal. Leptospira dapat ditemukan pada likuor serebrospinal pada fase leptospiremia. Limfosit predominan terjadi pada hari ke-4. Hitung jenis mencapai puncak antara hari ke-5 sampai hari ke-10. Meskipun lebih dari 80% ditemukan organisme pada biakan likuor serebrospinal pada kasus meningitis, hanya setengah dari kasus tersebut terdapat tanda rangsang meningeal.
14
5. Ginjal
Kelainan ginjal dapat bervariasi selama perjalanan penyakit. Pada urinalisis dapat ditemukan piuria, hematuria, dan proteinuia yang steril. Nekrosis tubulus akut dan nefritis interstisial merupakan 2 kelainan ginjal klasik pada Leptospirosis. Nekrosis tubulus akut dapat disebabkan langsung oleh leptospira, sedangkan nefritis terjadi lebih lambat yang diduga berhubungan dengan komplek antigen-antibodi pada fase imun. Fungsi ginjal yang semula normal dapat menjadi gagal ginjal yang memerlukan dialisis. Hipokalemia sekunder dapat terjadi akibat rusaknya tubulus. Hiperkalemia yang berhubungan dengan asidosis metabolik dan hiponatremia telah dilaporkan pada kasus Leptospirosis. Gagal ginjal akut yang ditandai oleh oliguria atau poliuria dapat timbul 4 – 10 hari setelah gejala timbul. 6. Kulit
Ruam pada kulit dapat timbul dalam bentuk makulopapular dengan eritema, urtikaria, petekie, atau lesi deskuamasi. 7. Otot
Miositis sering timbul pada minggu pertama dan berakhir hingga minggu ketiga atau keempat dari perjalanan penyakit. Perdarahan pada otot, sebagian pada dinding abdomen dan ekstremitas bawah menyebabkan nyeri yang hebat dan diyakini sebagai penyebab akut abdomen. 8. Perdarahan
Perdarahan dapat terjadi pada 39% pasien yang berupa epistaksis, perdarahan gusi, hematuria, hemoptisis, dan perdarahan paru. 9. Sistem kardio-vaskular
Vaskulitis akibat leptospira dapat menimbulkan syok hipovolemik dan pembuluh darah yang kolaps. Komplikasi pada jantung terjadi pada kasus berat. Dapat timbul miokarditis, arteritis koroner, dan pada beberapa pasien ditemukan
15
friction rubs. Pada pemeriksaan EKG dapat dijumpai kelainan berupa blok AV derajat 1, inversi gelombang T, elevasi segmen ST, dan disritmia. 10. Kelenjar getah bening
Limfadenopati pada kelenjar ketah bening leher, aksila, dan mediastium dapat timbul dan berkembang selama perjalanan penyakit. Pada kasus yang berat, perubahan fase pertama ke fase kedua mungkin tidak terlihat, akan tetapi timbul demam tinggi segera disertai jaundice dan perdarahan pada kulit, membrana mukosa, bahkan paru. Selain itu ini sering juga dijumpai adanya hepatomegali, purpura, dan ekimosis. Gagal ginjal, oliguria, syok, dan miokarditis juga bisa terjadi dan berhubungan dengan mortalitas penderita. F. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdassarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang. Berdasarkan Kriteria Faine WHO, ada anamnesis dan pemeriksaan apakah terdapat: a. Sakit kepala mendadak b. Conjunctival suffusion c. Demam d. Meningismus, nyeri otot e. Ikterik f.
Albuminuria atau azotemia
Apakah terdapat faktor epidemiologik: Riwayat dengan kontak binatang pembawa leptospira, pergi ke hutan, rekreasi, tempat kerja, diduga atau diketahui kontak dengan air yang terkontaminasi.
16
Kriteria Diagnosis Leptospirosis WHO SEARO 2009
Kriteria Diagnosis Leptospirosis WHO SEARO 2009
adalah kriteria
untuk menegakkan diagnosis Leptospirosis yang dihasilkan dalam pertemuan para ahli dalam “ Informal Expert consultation on Surveillance, Diagnosis and Risk Reduction of Leptospirosis” di Chennai-India pada tanggal 18-19 September 2009.
1. Kasus suspect demam akut (≥38,5ºC) dan/ atau nyeri kepala hebat dengan:
-
Myalgia
-
Kelemahan dan/ atau
-
Conjunctival suffusion
-
Riwayat
terpajan
dengan
lingkungan
yang
terkontaminasi
leptospira 2. Kasus probable (pada tingkat pelayanan kesehatan primer) a. Kasus suspect dengan 2 gejala di bawah ini:
- Nyeri betis -
Batuk dengan atau tanpa batuk darah
-
Ikterik
-
Manifestasi Perdarahan
-
Iritasi meningeal
-
Anuria/ oliguria dan/ atau proteinuria
-
Sesak napas
-
Aritmia jantung
-
Rash di kulit
b. Kasus probable (pada tingkat pelayanan kesehatan sekunder dan tersier)
-
Berdasarkan ketersediaan fasilitas laboratorium, kasus probable Leptospirosis adalah kasus suspect dengan IgM rapid test positif. dan/ atau
17
-
Temuan serologik yang mendukung (contoh : titer MAT ≥200 pada suatu sampel) dan/ atau
-
Ditemukan 3 dari di bawah ini: 1. Temuan pada urin : proteinuria, pus, darah 2. Neutrofilia relatif (>80%) dengan limfopenia 3. Trombosit < 100.000/mm³ 4. Peningkatan bilirubin > 2 mg% ; peningkatan enzim hepar yang meningkat moderat (serum alkali fosfatase, serum amilase, CPK)
3. Kasus confirm
Kasus confirm pada Leptospirosis adalah suatu kasus
suspect atau
probable dengan salah satu di bawah ini:
-
Isolasi kuman leptospira dari spesies klasik
-
Hasil PCR (+)
-
Serokonversi dari negatif ke positif atau peningkatan 4 kali pada titer MAT
-
Titer MAT = 400 atau lebih pada sampel tunggal Apabila kapasitas laboratorium tidak dapat ditetapkan: Positif dengan 2 tes
rapid diagnostik dapat dipertimbangkan
sebagai kasus confirm Pemeriksaan penunjang
Pada kasus Leptospirosisi an-ikterik dijumpai jumlah leukosit normal dengan neutrofilia, peningkatan lajuendap darah, dan protein dalam likuor serebrospinal.Kelainan pada paru dan jantung, peningkatan kadar bilirubin serum, fosfatase alkali, enzim amino transferase, kreatin fosfokinase, kreatinin dan ureum darah, serta trombositopenia pada umumnya terdapat pada leptospira ikterik. Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan isolasi dari organisme dari berbagai spesimen atau serokonversi antibodi 4 kali lipat antara akut dan konvalesens.
18
Bakteria dapat diisolasi dari darah atau liquor serebrospinal pada 10 hari pertama. Leptospira dapat diidentifikasi secara langsung dari jaringan yang terinfeksi dengan menggunakan mikroskop lapangan gelap atau dengan direct fluorescent- antibody assay. Biakan darah, liquor serebrospinal , urin, dan jaringan yang terkena (seperti ginjal) dapat memberikan hasil positif.. Leptospira dapat dibiak pada media tertentu (seperti Fletcher, Stuart, Ellinghausen) yang dikombinasikan dengan neomisin atau 5-fluorouracil. Selama 7-10 hari pertama setelah timbul gejala, sampel diambil dari darah dan likuor serebrospinal. Setelah itu dapat diambil dari urin dapat bertahan lebih lama sekitar beberapa minggu sampai bulan (Widoyono, 2012). Pemeriksaan serologis leptospira lebih berguna secara klinis jika diperiksa pada awal penyakit, akan tetapi kebanyakan uji serologis hanya dapat dilakukan oleh laboratorium tertentu. Microscopic agglutination test (MAT) dan indirect hemagglutination assay (IHA) adalah dua uji yang biasanya tersedia. Microscopic agglutination test menggunakan antigen yang diperoleh dari serovar leptospira yang umum ditemukan. Hasil positif didefinisikan sebagai peningkatan titer 4 kali antara fase akut dan konvalesens. Titer tunggal yang melebihi 1:200 atautiter serial yang melampaui 1:100 menunjukkan dugaan kearah infeksi leptospira, tapi keduanya tidak diagnostik. Sensitivitas and spesifisitas MAT berturut- turut adalah 92% dan 95%, sedangkan nilai prediktif positif 95% dan nilai prediktif negatif 100%. Hasil negatif palsu MAT dapat terjadi pada sampel tunggal yang diambil sebelum fase imun penyakit. G. PENATALAKSANAAN
Pengelolaan secara umum penderita Leptospirosis sama dengan penyakit sistemik akut yang lain. Rasa sakit diobati dengan analgetika, gelisah, dan cemas dikendalikan dengan sedatif, demam diberi
antipiretik, jika terjadi kejang
pemberian sesuai dengan keparahan penyakit dan komplikasi yang timbul.
19
Manajemen kasus dan kemoprofilaksis Leptospirosis berdasarkan Kriteria Diagnosis WHO SEARO 2009: Indikasi
Regimen dan dosis
Leptospirosis ringan (mild - Doxycycline (kapsul) 100 mg 2x/ hari selama 7 illness/ suspect case)
hari; atau - Amoxicillin atau Ampicillin (kapsul) 2 gr/ hari selama 7 hari
Leptospirosis berat ( severe - Penicillin G (injeksi) 2 juta unit IV / 6 jam selama case/ probable case)
7 hari; - Ceftrioxine (injeksi) 1 gr IV/ hari selama 7 hari
Kemoprofilaksis
-Doxycycline (kapsul) 100 mg
2x/ hari selama 7
hari; atau - Amoxicillin atau Ampicillin (kapsul) 2gr/ hari selama 7 hari
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam manajemen kasus Leptospirosis adalah segera merujuk penderita
Leptospirosis bila adanya indikasi pada
disfungsi organ ginjal, hepar, paru, terjadi perdarahan dan gangguan saraf. H. KOMPLIKASI
Terdapat beberapa komplikasi dari Leptospirosis,
diantaranya adalah
gagal ginjal akut (95% dari kasus), gagal hepar akut (72% dari kasus), gangguan respirasi akut (38% dari kasus), gangguan kardiovaskuler akut (33% dari kasus), dan pankreatitis akut (25% dari kasus). 1. Gagal ginjal akut
Gagal ginjal akut yang ditandai dengan oliguria atau poliuria dapat timbul 4-10 hari setelah gejala Leptospirosis terlihat. Terjadinya gagal ginjal akut pada penderita Leptospirosis melalui 3 mekanisme: a. Invasi/ nefrotoksik langsung dari leptospira
20
Invasi leptospira menyebabkan kerusakan tubulus dan glomerulus sebagai efek langsung dari migrasi leptospira yang menyebar hematogen menuju kapiler peritubuler kemudian menuju jaringan interstitium, tubulus, dan lumen tubulus. Kerusakan jaringan tidak jelas apakah hanya efek migrasi atau efek endotoksin leptospira b. Reaksi imunologi Reaksi imunologi berlangsung cepat, adanya kompleks imun dalam sirkulasi dan endapan komplemen dan adanya electron dence bodies dalam glomerulus, membuktikan adanya proses immune-complex glomerulonephritis dan terjadi tubulo interstitial nefritis. c. Reaksi non spesifik terhadap infeksi seperti infeksi yang lain → iskemia ginjal d. Hipovolemia dan hipotensi sebagai akibat adanya: - Intake cairan yang kurang - Meningkatnya evaporasi oleh karena demam - Pelepasan kinin, histamin, serotonin, prostaglandin, semua ini akan menyebabkan peningkatan permeabilitas
kapiler
sehingga terjadi kebocoran albumin dan cairan intravaskuler.
-
Pelepasan
sitokin
akibat
kerusakan
endotel
menyebabkan
permeabilitas sel dan vaskuler meningkat.
-
Hipovolemia dan hemokonsentrasi akan merangsang
RAA dan
menyebabkan vasokonstriksi.
-
Hiperfibrinogenemia akibat kerusakan endotel kapiler (DIC) menyebabkan viskositas darah meningkat.
Iskemia ginjal, glomerulonefritis, tubulo interstitial nefritis, dan invasi kuman menyebabkan terjadinya nekrosis → gagal ginjal akut. 2. Gagal hepar akut
Di hepar terjadi nekrosis sentrilobuler fokal dengan proliferasi sel Kupfer disertai kolestasis.Terjadinya ikterik pada Leptospirosis disebabkan oleh beberapa hal, antara lain karena kerusakan sel hati, gangguan fungsi ginjal
21
yang akan menurunkan ekskresi bilirubin sehingga meningkatkan kadar bilirubin darah, terjadinya perdarahan pada jaringan dan hemolisis intravaskuler akan meningkatkan kadar bilirubin, proliferasi sel Kuppfer sehingga terjadi kolestatik intra hepatik. 3. Gangguan respirasi dan perdarahan paru
Adanya keterlibatan paru biasanya ditandai dengan gejala yang bervariasi, diantaranya: batuk, dispnea, dan hemoptisis sampai dengan Adult Respiratory Distress Syndrome ( ARDS ) dan Severe Pulmonary Haemorrhage Syndrome ( SPHS ). Paru dapat mengalami perdarahan dimana patogenesisnya belum diketahui secara pasti. Perdarahan paru terjadi diduga karena masuknya endotoksin secara langsung sehingga menyebabkan kerusakan kapiler dan terjadi perdarahan. Perdarahan terjadi pada pleura, alveoli, trakeobronkial, kelainan berupa kongesti septum paru, perdarahn alveoli multifokal, dan infiltrasi sel mononuklear. Pada pemeriksaan histologi ditemukan adanya kongesti pada septum paru, oedem dan perdarahan alveoli multifokal, esudat fibrin. Perdarahan
paru
dapat
menimbulkan
kematian
pada
penderita
Leptospirosis. 4. Gangguan kardiovaskuler
Komplikasi kardiovaskuler pada Leptospirosis dapat berupa gangguan sistem konduksi, miokarditis, perikarditis,
endokarditis, dan
arteritis koroner. Manifestasi dari gangguan kardiovaskuler ini sangat bervariasi dari tanpa keluhan sampai
bentuk yang berat berupa gagal
jantung kongestif yang fatal. Selama fase septikemia, terjadi migrasi bakteri, endotoksin, produk enzim atau antigen karena lisisnya bakteri, akan meningkatkan permeabili tas endotel dan memberikan manifestasi awal penyakit vaskuler. 5. Pankreatitis akut
Sebenarnya pankreatitis akut adalah komplikasi yang jarang ditemui pada pasien Leptospirosis berat. Pankreatitis terjadi karena adanya nekrosis dari sel-sel pankreas akibat infeksi bakteri leptospira (acute
22
necrotizing pancreatitis). Selain itu, terjadinya pankreatitis akut pada Leptospirosis bisa disebabkan karena komplikasi dari gagalnya organorgan tubuh yang lain (multiple organ failure), syok septik, dan anemia berat ( severe anemia). I. PROGNOSIS
Mortalitas pada Leptospirosis berat sekitar 10%, kematian paling sering disebabkan karena gagal ginjal, perdarahan masif atau ARDS. Fungsi hati dan ginjalakan kembali normal, meskipun terjadi disfungsi berat,bahkan pada pasien yang menjalani dialisis. Sekitarsepertiga kasis yang menderita meningitis aseptik dapatmengalami nyeri kepala secara periodik. Beberapapasien dengan riwayat uveitis
Leptospirosis
mengalamikehilangan
ketajaman
penglihatan
dan
Pengendalian Leptospirosis di masyarakat sangat terkait dengan
hasil
pandanganyang kabur. J. PENCEGAHAN
studi faktor - faktor risiko terjadinya Leptospirosis. Oleh karena itu pengendalian Leptospirosis terdiri dari pencegahan primer dan pencegahan Pencegahan primer adalah bagaimana agar orang sehat sebagai
sekunder. sasaran bisa
terhindar dari Leptospirosis, sehingga kegiatannya bersifat promotif, termasuk disini proteksi spesifik dengan cara vaksinasi. Sedangkan pencegahan sekunder yang sasarannya adalah orang yang sudah sakit Leptospirosis, dicegah agar orang tersebut terhindar dari komplikasi yang nantinya dapat menyebabkan kematian. Prinsip kerja dari pencegahan primer adalah mengendalikan agar tidak terjadi kontak leptospira dengan manusia, yang meliputi: a. Pencegahan hubungan dengan air atau tanah yang terkontaminasi Para pekerja yang mempunyai risiko tinggi terinfeksi
leptospira,
misalnya pekerja irigasi, petani, pekerja laboratorium, dokter hewan, harus memakai pakaian khusus yang dapat melindungi kontak dengan air atau tanah yang terkontaminasi leptospira. Misalnya dengan menggunakan sepatu bot, masker, sarung tangan.
23
b. Melindungi sanitasi air minum penduduk Dalam hal ini dilakukan pengelolaan air minum yang baik, dilakukan filtrasi dan deklorinai untuk mencegah invasi leptospira. c. Pemberian vaksin Vaksinasi diberikan sesuai dengan leptospira di tempat tersebut, akan memberikan manfaat cukup poten dan aman sebagai pencegahan bagi pekerja risiko tinggi. Pencegahan dengan serum imun spesifik telah terbukti melindungi pekerja laboratorium. Vaksinasi terhadap hewan peliharaan efektif untuk mencegah Leptospirosis. d. Pencegahan dengan antibiotik kemoprofilaksis e. Pengendalian hospes perantara leptospira Roden yang diduga paling poten sebagai karier
leptospira adalah
tikus. Untuk itu dapat dilakukan beberapa cara seperti penggunaan racun tikus, pemasangan jebakan, penggunaan bahan rodentisida, dan menggunakan predator roden. f.
Usaha promotif Untuk menghindari Leptospirosis dilakukan dengan
cara edukasi,
dimana antara daerah satu dengan daerah yang lain mempunyai serovar dan epidemi Leptospirosis yang berbeda. Untuk mendukung usaha promotif ini
diperlukan
peningkatan kerja
antar sektor
yang
dikoordinasikan oleh tim penyuluhan kesehatan masyarakat Dinas Kesehatan setempat Pokok - pokok cara pengendalian Leptospirosis juga memperhatikan hasil studi faktor risiko terjadinya Leptospirosis, antara lain usia, jenis kelamin, higiene perorangan seperti kebiasaan mandi, riwayat ada luka, keadaan lingkungan yang tidak bersih, disamping pekerjaan, sosial ekonomi, populasi tikus, dan lain-lain. Perlu diperhatikan bahwa Leptospirosis lebih sering terjadi pada laki-laki dewasa, mungkin disebabkan oleh paparan pekerjaan dan kegiatan sehari-hari (Kementrian Kesehatan RI. 2013).
24
BAB III LAPORAN KASUS A. IDENTITAS PASIEN
Nama
: Bp M
No RM
: 37-39-58
Umur
: 63 tahun
Alamat
: Sundi Kidul rt. 29, Argorejo, Sedayu, Bantul
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Petani
Masuk RS
: 03 Januari 2017
B. ANAMNESA 1. Keluhan Utama : Betis kaki kanan dan kiri terasa pegal dan kaku
terutama saat berjalan dirasakan sejak 4 hari SMRS 2. Keluhan Tambahan : Demam sejak 7 hari yang lalu 3. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien rujukan puskesmas Sedayu II dengan suspek Leptospirosis, Betis kaki kanan dan kiri terasa pegal dan kaku terutama saat berjalan sejak 4 SMRS, keluhan disertai dengan demam sejak 7 HSMRS. Pusing (+), mual (+), muntah (-), batuk (+) kadang-kadang, pilek (-), nyeri perut (+) bagian ulu hati (+), nafsu makan menurun, BAB (+) cair 3x, lender darah (-), BAK (+) sedikit, BAK berwarna kuning pekat (seperti teh) (+). Riwayat DM (-), Hipertensi (+), Asma (-), alergi obat (-), riwayat minum alcohol (), riwayat merokok (+), riwayat sebelumnya menderita gejala serupa disangkal. Pekerjaan sehari-hari sebagai petani. 4. Riwayat Penyakit Dahulu
-
Riwayat hipertensi (+)
-
Riwayat diabetes melitus (-)
-
Riwayat penyakit asma (-)
-
Riwayat alergi obat (-)
25
5. Riwayat Penyakit Keluarga
-
Riwayat Hipertensi : (+)
-
Riwayat alergi : (-)
-
Riwayat DM : (-)
6. Riwayat Sosial
-
Pekerjaan : petani
C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
: Sedang
Kesadaran
: Compos Mentis
Vital sign H1MRS Tekanan darah
: 150/80 mmHg
Nadi
: 96kali/menit, reguler, tegangan dan isi cukup
Suhu
: 38,6’C
Frekuensi pernafasan : 24 kali/menit
Status Umum -
Kepala
: normocephal
-
Mata
:
Conjungtiva Anemis (-/-) Sklera Ikteris (+/+) Conjungtiva suffusion (+/+) -
Hidung
:
Discharge (-/-) pendarahan (-/-) devisiasi septum (-/-) nafas cuping (-/-) -
Mulut
:
sianosis (-) lidah kotor (-)
26
mukosa bibir lembab (+) tonsil T1/T1 faring hiperemis (-) stomatitis (-) -
Telinga
:
Simetris serumen (-/-) gendang telinga intak (+/+) -
Leher
:
pembesaran kelenjar thyroid (-) JVP tidak meningkat, kaku kuduk (-) -
Thorax Jantung
Inspeksi
: Ictus cordis tak tampak
Palpasi
: Ictus cordis teraba di SIC IV linea midclavicula kiri
Perkusi
: Sonor
Auskultasi : S1&S2 tunggal, reguler, bising (-) Paru-paru
Inspeksi
: Simetris, retraksi (-), ketinggalan gerak (-)
Palpasi
: Vokal fremitus kanan kiri sama, ketinggalan gerak nafas (-)
Perkusi
: Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-) -
Abdomen : Supel (+) peristaltik (+) nyeri tekan (+): region epigastric, hipocondriaca kanan-kiri, dan lumbal kanan hepar dan lien tak teraba membesar
27
-
Ekstremitas
:
Edema (-) akral hangat (+) CRT < 2 detik nyeri tekan gastrocnemius (+/+) D. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan darah rutin Pemeriksaan 3/01/2017
Nilai
Hasil
Rujukan
Satuan
Hb
12,7
14,0-18.0
g/dl
AL
16,89
4-10
103/uL
AE
4,07
4,50-5,50
10 6/uL
AT
272
150-450
10 3/uL
Hmt
37,3
42-52
vol%
Eosinofil
0
2-4
%
Basofil
1
0-1
%
Batang
6
2-5
%
Segmen
80
51-67
%
Limfosit
8
20-35
%
Monosit
5
4-8
%
PEMERIKSAAN FUNGSI GINJAL Pemeriksaan
Hasil
Rujukan
Satuan
Ureum
94
17-43
mg/dl
Kreatinin
4,19
0,6 – 1,1
mg/dl
Asam urat
8,90
3,60-8,20
mg/dl
CRP Kuantitatif
120
<6
mg/L
ASTO
Negatip
Negatip
Reumathoid Factor
Negatip
Negatip
3/01/2017
SERO – Imunologi
28
Pemeriksaan Sero Imunologi Leptospirosis (5-1-2016)
IgM Leptospira
(+)
IgG Leptospirosis
(-)
Radiologis Thorax PA Cardiomegali Corakan vaskuler pulmo meningkat
E. DIAGNOSIS BANDING
1. Demam Typhoid 2. Dengue Fever
F. DIAGNOSIS KERJA
Leptospirosis
G. PENATALAKSANAAN
Inf NaCl 25 tpm Inj. Amoxicilin 4x1gram Inj. Furosemide 2A/24jam Inj. Esomeprazole 1A/24 jam Fosfi 2x1 gram Paracetamol 3 x 500 (kp) Planning: -
Cek sputum cat gram, BTA, K/S
H. FOLLOW UP Tgl/jam
3/1/2017
Perjalanan Penyakit
Laboratorium&Terapi
S : Pasien rujukan puskesmas Sedayu II
29
Laboratorium
06.00
dengan suspek Leptospirosis, Betis kaki
Hb:12,7
kanan dan kiri terasa pegal dan kaku
AL:16,89
terutama saat berjalan sejak 4 SMRS,
AE: 4,07
keluhan disertai dengan demam naik-
AT: 271
turun sejak 7 HSMRS. Pusing (+), mual
Hmt: 37,3
(+), muntah (-), batuk (+) kadang-kadang,
Eos: 0
pilek (-), nyeri perut (+) bagian ulu hati Bas: 1 (+), nafsu makan menurun minum sedikit,
Btg: 6
BAB (+) cair 3x, lender darah (-), BAK
Seg: 80
(+) sedikit, BAK berwarna kuning pekat
Lim: 8
(seperti
Mono: 5
teh)
(+).
Riwayat
DM
(-),
Hipertensi (-), Asma (-), alergi obat (-),
Ureum: 94
riwayat
riwayat
Creatinin: 4,19
sebelumnya
Asam urat:8,90
minum
merokok menderita
(+),
alcohol
(-),
riwayat
gejala
serupa
disangkal. CRP Kuantitatif: 120
Pekerjaan sehari-hari sebagai petani.
ASTO: negatip
Riwayat Penyakit: HT (+), DM (-)
Reumathoid Factor:
Riwayat Sosial: Pekerjaan pasien sebagai negatip petani Riwayat obat rutin: -
TERAPI
O: KU: Sedang, CM
Inf NaCl 25 tpm
TD: 150/70
Inj. Amoxicilin 4x1gram
HR: 96x
Inj. Furosemide 2A/24jam
RR: 24x
Inj. Esomeprazole 1A/24
T: 38,60C
jam
Kepala: normocephali, mata CA -/-, SI Fosfi 2x1 gram +/+
Paracetamol 3 x 500 (kp)
Mulut : Mukosa buccal lembab (+), faring
hiperemis
(-),
lidah PLANNING
kotor (-), candidiasis oral (-) Leher : Limfonodi tidak teraba besar,
30
Cek sputum cat gram, BTA, K/S
JVP tidak meningkat. Thorax: simetris, retraksi (-), perkusi sonor,
suara
dasar
paru
vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), weezing (-/-) Cor: S1 S2 reguler murni, bising jantung (-), ictus cordis teraba (-) Abdomen: peristaltik (+), perkusi: timpani Nyeri tekan: nyeri tekan (+): region
epigastric,
hipocondriaca
kanan
-kiri,
dan lumbal kanan
Ekstremitas : akral hangat edema Nyeri gastrocnemius (+/+) A: Febris H-7 susp. Leptospirosis Hipertensi Hiperuricemia 4/1/2017 05.30
S:Pasien mengeluh kaki pegal-pegal, tungkai nyeri jika untuk berjalan, pusing (+) cekot-cekot,mual (+), muntah (-), batuk (+) kadang sampai sesak, BAK sedikit warna kuning pekat, BAB (-). Nafsu makan menurun, minum sedikit. Nyeri tungkai (+).
TERAPI
Inf NaCl 25 tpm Inj. Amoxicilin 4x1gram Inj. Furosemide 2A/24jam Inj. Esomeprazole 1A/24 jam
O: KU: CM
Fosfi 2x1 gram
TD: 120/80 mmHg
Paracetamol 3 x 500 (kp) OBH syrup 3x1c
HR: 76x/menit
31
RR: 22x/menit
Diit TKTPlembek
T: 36,40 C
PLANNING
Kepala : masa (-), mata CA -/-, SI +/+ Mulut : Mukosa buccal lembab (+), faring
hiperemis
(-),
Cek Ro thorax IgG & IgM anti dengue Ureum & Creatinin
lidah
kotor (-), candidiasis oral (-) Leher : Limfonodi tidak teraba besar, JVP tidak meningkat. Thorax: simetris, retraksi (-), perkusi sonor,
suara
dasar
paru
vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), weezing (-/-) Cor: S1 S2 reguler murni, bising jantung (-), ictus cordis teraba (-) Abdomen: peristaltik (+), perkusi: timpani Nyeri tekan:
Ekstremitas : akral hangat
,
edema Nyeri gastrocnemius (+/+) A: Febris H-8 susp. Leptospirosis Hipertensi Hiperuricemia 5/1/2017 06.00
S:Pasien mengatakan kondisi lebih baik, kaki pegal-pegal sudah berkurang, pusing (+) sudah berkurang, nyeri ulu
32
Laboratorium
Hb:12,2 AL:10,20
hati (-), batuk (+) kadang sesak, BAK warna seperti teh sedikit, BAB tidak ada keluhan. Nafsu makan masih sedikit.
AE: 3,94
O: KU: Sedang, CM
Eos: 1
TD: 130/80
Bas: 1
HR: 108x
Btg: 4
RR: 24x
Seg: 73
T: 36,80C
Lim: 15
AT: 498 Hmt: 34,3
Kepala: masa(-), mata CA -/-, SI +/+
Mono: 6
Mulut : Mukosa buccal lembab (+),
Ureum: 117
faring
hiperemis
(-),
lidah Creatinin: 2,85 kotor (-), candidiasis oral (-) IgM Leptospira: Positip Leher : Limfonodi tidak teraba besar,
IgG Leptospira: Negatip
JVP tidak meningkat. Thorax: simetris, retraksi (-), perkusi Mikrobiologi Pewarnaan BTA: negatip sonor, suara dasar paru vesikuler (+/+), ronkhi (+/+), Pewarnaan Gram Bahan: sputum weezing (-/-) Epitel: Positip Cor: S1 S2 reguler murni, bising jantung Lekosit PMN: 80% (-), ictus cordis teraba (-) Mononyclear: 20% Abdomen: peristaltik (+), perkusi: timpani Nyeri tekan:
Ekstremitas : akral hangat
Bakteri Batang Gram (+):Positip Gram (-): negatip Jamur: positip Trichomonas:Lain-lain: -
edema Nyeri gastrocnemius (+/+) sedikit menurun
TERAPI
Inf NaCl 25 tpm
Hasil Foto thorax
Inj. Amoxicilin 4x1gram
Cardiomegali
Inj. Furosemide 2A/24jam
33
Corakan vaskuler pulmo meningkat
Inj. Esomeprazole 1A/24 jam
A:
Fosfi 2x1 gram
Febris H-9 Leptospirosis
Paracetamol 3 x 500 (kp)
Hipertensi
OBHsyr 3x1c
Hiperuricemia
Chlorpromazine
Bronkitis akut
3x1/2 tab
25mg
Diit TKTP lembek
PLANNING
USG upper abdomen Cek darah rutin besok
6/1/2017 06.00
S: Batuk ngikil (+) semalam tidak bias tidur, sesak (+),pusing (+) meningkat saat batuk-batuk,badan terasa pegal pegal terutama tungkai kaki.
Laboratorium
Hb:11,6 AL:10,05 AE: 3,79
O: KU: Sedang, CM
AT: 485
TD: 130/80
Hmt: 35,3
HR: 80x
Eos: 1
RR: 26x
Bas: 1
T: 36,80C
Btg: 6
Kepala: masa (-), mata CA -/-, SI +/+ , conjungtiva suffusion (+/+)
Lim: 16
Mulut : Mukosa buccal lembab (+), faring
hiperemis
(-),
Leher : Limfonodi tidak teraba besar, JVP tidak meningkat.
34
dasar
TERAPI
Inf NaCl 25 tpm Inj. Amoxicilin 4x1gram
Thorax: simetris, retraksi (-), perkusi suara
Mono: 5
lidah
kotor (-), candidiasis oral (-)
sonor,
Seg: 71
paru
(stop)
Inj. Furosemide 2A/24jam
vesikuler (+/+), ronkhi (+/+), Inj. Esomeprazole 1A/24 weezing (-/-)
jam
Cor: S1 S2 reguler murni, bising jantung Fosfi 2x1 gram (-), ictus cordis teraba (-) Abdomen: peristaltik (+), perkusi: timpani Nyeri tekan:
Ekstremitas : akral hangat
Paracetamol 3 x 500 (kp) OBHsyr 3x1c Diit TKTP lembek + Ceforoxim 2x500 + Fluconazole tab 2x1 PLANNING
Cek ureum & Creatinin
edema Nyeri gastrocnemius (+/+)
besok
Hasil USG: tak tampak kelainan Hepar, Vesica fellea, gaster, dan rem A: Febris H-10 Leptospirosis Hipertensi Hiperuricemia 7/1/2017
S: Pasien mengatakan masih batuk (+), sesak napas menurun, pegal-pegal di badan dan tungkai berkurang, pusing (-) BAB lembek 2x , BAK (+) banyak sudah jernih. nafsu makan dan minum membaik.
Laboratorium
O: KU: Sedang, CM
Inf NaCl 25 tpm
Fungsi Ginjal
Ureum: 46 Creatinin: 1,22 TERAPI
TD: 150/80
Inj. Amoxicilin 4x1gram
HR: 84x
(stop)
RR: 26x
Inj. Furosemide 2A/24jam
T: 38,20C
Inj. Esomeprazole 1A/24
Kepala: masa (-), mata CA -/-, SI +/+, jam conjungtiva suffusion (+/+)
35
Fosfi 2x1 gram
Mulut : Mukosa buccal lembab (+), faring
hiperemis
(-),
lidah Ceforoxim 2x500
kotor (-), candidiasis oral (-) Leher : Limfonodi tidak teraba besar, JVP tidak meningkat. Thorax: simetris, retraksi (-), perkusi sonor,
suara
dasar
Paracetamol 3 x 500 (kp)
paru
Fluconazole tab 2x1 OBHsyr 3x1c Diit TKTP lembek + Candesartan1x8mg
vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), +Ciprofloxacin 2x200mg weezing (-/-) Cor: S1 S2 reguler murni, bising jantung PLANNING (-), ictus cordis teraba (-) Abdomen: peristaltik (+), perkusi: timpani Nyeri tekan:
Ekstremitas : akral hangat edema Nyeri gastrocnemius (+/+) menurun A: Febris H-11 Leptospirosis Hipertensi Hiperuricemia Acute Renal Failure 8/1/2016 06.00
S: Pasien mengatakan pegal-pegal dibadan dan di kaki mulai berkurang dari pada awal masuk,, pusing (-),. nafsu makan dan minum baik. BAK (+) banyak sudah jernih, BAB lembek (-)
Cek K/S SPUTUM Jenis Spesimen: Sputum Hasil
Pembiakaan:
Enterobacter aerogenes Sensitif:
O: KU: Sedang, CM
36
1.
TD: 140/80
Amikasin
HR: 84x
Anoxillin Clavulanic Acid
RR: 20x
Ampicilin Subactam
T: 36,30C
Cefepime
Kepala: masa (-), mata CA -/-, SI -/-
Ceftazidime
Mulut : Mukosa buccal lembab (+),
Fosfomyin
faring
hiperemis
(-),
lidah Gentamicin
kotor (-), candidiasis oral (-)
Imipenem
Leher : Limfonodi tidak teraba besar,
Meropenem
JVP tidak meningkat.
Tobramycin
Thorax: simetris, retraksi (-), perkusi TERAPI sonor,
suara
dasar
paru Inf NaCl 25 tpm
vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), Inj. Amoxicilin 4x1gram weezing (-/-)
(stop)
Cor: S1 S2 reguler murni, bising jantung Inj. Furosemide 2A/24jam (-), ictus cordis teraba (-) Abdomen: peristaltik (+),
Inj. Esomeprazole 1A/24 jam
perkusi: timpani
Paracetamol 3 x 500 (kp)
Nyeri tekan:
Ceforoxim 2x500 Fluconazole tab 2x1
Ekstremitas : akral hangat
OBHsyr 3x1c Diit TKTP lembek
edema Nyeri gastrocnemius (-/-)
+ Candesartan1x8mg +Ciprofloxacin 2x200mg
A: Febris H-12 Leptospirosis
PLANNING
BLPL Hipertensi Obat pulang : Lanzoprazole tab 1x1
Bronkitis akut
37
OBH syrup 3x1c Fluconazole tab 1x1 Candesartan 1x8mg Clanexy 3x500mg
38
BAB IV PEMBAHASAN
Seorang pasien laki-laki berumur 62 tahun dengan keluhan demam sejak 7 hari SMRS dan kedua tungkai kaki nyeri apalagi saat untuk berjalan suadah 4 HSMRS, pusing (+), mual (+), muntah (-), batuk (+) ngikil, nyeri perut bagian ulu hati (-), sesak nafas kadang-kadang jika batuk ngikil, nafsu makan menurun, BAK sedikit dan berwarna kuning pekat, BAB cair 2x. Mempunyai riwayat hipertensi. Analisis pertama yang perlu diperhatikan adalah keluhan demam. Hampir semua penyakit disertai demam, tetapi hal ini bisa lebih menjurus kepada penyakit infeksi. Tanda adanya mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh sehingga mengaktifkan sistem set point di hipotalamus sehingga respon tubuh adalah demam. Pada kasus Leptospirosis tipikal demam bisa terus menerus tinggi atau hanya subfebris, tergantung lama dari inkubasinya. Inkubasi bakteri ini dalam tubuh manusia antara 2 hingga 26 hari. Demam pada kasus leptospira disebabkan oleh fase leptospiremia dimana leptospira beredar di peredaran darah pasien dan menimbulkan gejala sistemik lainnya seperti yang dialami pasien ini adanya demam, nyeri kepala, nyeri otot betis, paha dan pinggangterutamasaat ditekan, nausea, mialgia, malaise, dl. Gejala ini terjadi saat hari ke 4-7 . Fase ke dua adalah fase imun yang berlangsung 4-30 minggu, dimana akan terjadi peningkatan titer antibody, ditemukan nyeri juga leher pada perut dan kaki. Conjungtival suffusion dan conjungtival injection dengan icterus merupakan tanda patognomic untuk leptospirosis (Rampengan, 2016). Dari aspek usia, pasien berumur 62 tahun dimana merupakan usia lanjut yang rentan terkena infeksi. Penyakit Leptospirosis sering menyerang usia dewasa diakibatkan faktor pekerjaannya yang lebih terpapar oleh hewan yang terinfeksi dan lingkungan yang terkontaminasi (Noor, 2011). Pasien sehari-hari bekerja sebagai petani di sawah dan ladang. Menurut penelitian Betty (2012) tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
39
Leptospirosis di Kabupaten Bantul, faktor terbanyak yang mempengaruhi adalah faktor lingkungan dimana aktivitas di lingkungan berair merupakan kejadian tertinggi selain riwayat luka, kondisi kebersihan rumah dan lingkungan, keberadaan tikus dan penggunaan alas kaki. Berdasarkan hasil penelitian, petani dan peternak lebih memiliki resiko yang besar untuk terpapar penyakit ini. Ini disebabkan penderita Leptospirosis waktu menggunakan sumber air bersih untuk pertanian telah tercemar dengan bakteri Leptospirosis atau perilaku kebiasaan membersihkan kaki, tangan, dan tubuh lainnya tidak menggunakan sabun setelah kontak dengan air yang tergenang dan telah terkontaminasi dengan bakteri Leptospirosis (Mansjoer, 2009). Pasien sejak masuk RS mengeluhkan badan pegal-pegal, ini merupakan salah satu tanda stadium pertama dari infeksi Leptospirosis yaitu rasa nyeri pada otot terutama otot besar yaitu otot gastrocnemius dan punggung. Gejala tersebut akan muncul antara 4-9 hari dalam masa inkubasi. Keluhan tidak mau makan pada lansia bisa disebabkan karena kondisi mulut yang tidak enak untuk mengecap atau dari rasa tidak nyaman pada perut (Jayanegara, 2016). Pemeriksaan penunjang yang merupakan uji imunoserologik juga penting untuk diagnosis leptospirosis. Pada umumnya antibody terhadap leptospirosis baru ditemukan setelah hari ke 7 atau ke-10. Pada pasien pemeriksaan imunoserologiknya dilakukan pada hari ke-9,dan didapatkan hasil IgM hasilnya positip dan IgG negatip, ini berarti pasien saat ini sedang menderita leptospirosis dan belum pernah terinfeksi sebelumnya (Rampengan, 2016). Penatalaksanaan pada kasus Leptospirosis prisip umumnya dengan terapi suportif dan simtomatik.Pemberian nutrisi perlu diperhatikan, karena nafsu makan pasien menurun, nutrisi dan cairan yang masuk harus sei mbang dengan kebutuhan kalori sehingga tidak membebani fungsi ginjal dan hati yang menurun. .Pemberian antibiotic yang paling tepat adalah saat fase leptospiremia, pada minggu awal terjadinya infeksi, dan dapat diberikan tanpa menunggu hasil laboratorium. Inf NaCl 25 tpm
40
Inj. Amoxicilin 4x1gram Inj. Furosemide 2A/24jam Inj. Esomeprazole 1A/24 jam Fosfi 2x1 gram Paracetamol 3 x 500 (kp) Pada pasien ini diberikan obat injeksi Amoxicillin 4 x 1 mg, pemberian antibiotik ini harus dimulai secepat mungkin. Pada kasus leptosprirosis terdapat pilihan antibiotic seperti dibawah ini, Pengobatan dan Kemoprofilaksis Leptospirosis Indikasi
Regimen
Dosis
Leptospirosis ringan
Doksisiklin
2x 100mg
Ampisilin
2x500-700mg
Amoksisilin
4x500mg
Leptospirosis
PenisilinG
1,5 juta unit/6jam (iv)
sedang/berat
Ampisiln
1gram/ 6jam
Amoksisilin
1gram/6 jam
Doksisiklin
200mg/minggu
Kemoprofilaksis
Sumber: Leptospirosis - Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (2009)
41
DAFTAR PUSTAKA
Adang M. (2006). Diagnosis Laboratorium Leptospirosis. Mutiara Medika, p: 4353 Amin, L.Z.(2014). Pemilihan Antibiotik yang Rasional . Jakarta Mediscus p : 4045. Amin, L. Z. (2016). Leptospirosis. Jakarta: CKD-243- Volume 43.
Betty. (2012). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Leptospirosis Di Kabupaten Bantul . Yogyakarta: UGM press Depkes RI. (2014). Pedoman Penanggulangan Leptospirosis di Indonesia. Jakarta: Depkes RI Ditjen P2M dan PLP Dinkes Prop Jateng. (2011). Laporan Peningkatan Kasus Leptospirosis di Kota Semarang Bulan Maret 2004. Semarang: Dinkes Prop Jateng. International Leptospirosis Society. ILS World Wide Survey. Available from :http://www.leptonet/html/ilsworldwidesurvey.asp diakses 17 Maret 2016 Kartikawati
E.
(2012). Leptospirosis
Penyakit
yang
Ditularkan
oleh
Tikus.Ungaran: V-media. Kementrian Kesehatan RI. (2013). Surat Pengantar Waspada Leptospirosis. Jakarta : Kementrian Kesehatan.Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Maha MS. (2006). Gejala Klinis dan Pengobatan Leptospirosis. Jakarta: Cermin Dunia Kedokteran. Mansjoer. (2009). Faktor Resiko Lingkungan Terhadap Kejadian Leptospirosis di Jawa Tengah. Program Magister Kesehatan Lingkungan Pasca Sarjana Universitas Diponegoro
42
Noor, N.N.(2011). Pengantar Epidemolog Penyakit Menular . Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. PDPERSI Jakarta. (2007). Pedoman Penanggulangan Leptospirosis di Indonesia . Jakarta: Depkes RI Ditjen P2M dan PLP Rampengan, N. H. (2016, November 3). Leptospirosis. Journal Biomedic (JBM), 8, 143-150. Shakinah, S. (2015, Desember). Leptospira dan Penyakit Weil's. Medicinus, 4952. Sharma J, Suryavanshi M. Thrombocytopenia in Leptospirosis and role of platelet transfusion. Asian J transfus Sci 2007; 1: 52-5 Soeroso S, Ningsih S, editor.
Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit
Menular dan Penyehat Lingkungan. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008: 1-45 Swastiko, A. 2009. Kewaspadaan Terhadap Penyakit Leptospirosis. Jakarta: Depkes RI Ditjen P2M dan PLP Vinetz, J. (2012). Harrison's Principle of Internal Medicine (18 ed., Vol. 1). (A. F. DL Longo, Ed.) New York: McGraw Hill. Zein, U. (2009). Leptospirosis. In B. S. Aru W Sudoyo, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (5 ed., Vol. 3, pp. 2807-2811). Jakarta: Interna Publishing. Wageenar JFP, Goris MGA, Sakundarno MS, Gasem MH, Mairuhu ATA, de Kruif MD, et al. What role do coagulation disorder play in the pathogenesis of Leptospirosis. Tropical medicine and international health 2007 Jan; 12: 111-22 Widoyono. 2012. Penyakit Tropis: Epidemologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasan. Jakarta: Erlangga
43