i
ix
Laporan Kerja Praktek Lapangan D3 FarmasiLaporan Kerja Praktek Lapangan D3 FarmasiApotek
Laporan Kerja Praktek Lapangan D3 Farmasi
Laporan Kerja Praktek Lapangan D3 Farmasi
Laporan Kerja Praktek Lapangan D3 Farmasi
Apotek
85
Laporan Kerja Praktek Lapangan D3 Farmasi
Apotek
74
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN BIDANG APOTEK
APOTEK KIMIA FARMA CIPACING – BANDUNG
PERIODE 01 MARET – 31 MARET 2017
Disusun Oleh :
DELVI LESTARI
31141035
PROGRAM STUDI DIPLOMA III
SEKOLAH TINGGI FARMASI BANDUNG
BANDUNG
2017
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN BIDANG APOTEK
APOTEK KIMIA FARMA CIPACING – BANDUNG
PERIODE 01 MARET – 31 MARET 2017
LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANGAN BIDANG APOTEK
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Ahli Madya Farmasi Dalam Program Studi Diploma III Farmasi
Sekolah Tinggi Farmasi Bandung
Disetujui Oleh :
Pembimbing
Pereseptor Dosen Pembimbing I
Apoteker Kimia Farma Cipacing Program Studi Dipoma III Farmasi
(Dilal Adlin Fadil, M. Farm., Apt) (Ani Anggriani, M.Si., Apt)
NIK : 201 03 028
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala berkah, rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat memperoleh kesehatan serta kesempatan untuk dapat menyelesaikan Laporan Praktek Kerja Lapangan Bidang Apotek ini dengan baik. Penyusunan laporan ini merupakan salah satu prasyarat dalam memperoleh gelar Ahli Madya Farmasi dalam Program Studi Diploma III Farmasi Sekolah Tinggi Farmasi Bandung Tahun Akademik 2016/2017.
Pada penulisan ini, penulis tidak lepas dari bimbingan, arahan, bantuan serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
Bapak Entris Sutrisno, S.Farm., MH.Kes., Apt, selaku Ketua Sekolah Tinggi Farmasi Bandung.
Ibu Ani Anggriani, M.Si., Apt, selaku Ketua Program Studi D III Farmasi dan dosen pembimbing di Sekolah Tinggi Farmasi Bandung.
Bapak Dilal Adlin Fadil, M. Farm., Apt, selaku pembimbing lapangan di Apotek Kimia Farma Cipacing – Rancaekek.
Ayah dan Ibu terima kasih atas limpahan doa, dukungan, dan motivasi yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan ini.
Seluruh karyawan Apotek Kimia Farma Cipacing yang selalu memberikan arahan dan pengetahuan.
Seluruh Staf Dosen dan Tata Usaha di lingkungan Sekolah Tinggi Farmasi Bandung, yang telah memberikan bantuan dan dukungan baik dari segi teoritis maupun moril dalam menyelesaikan studi penulis
Rekan-rekan Mahasiswa/I Sekolah Tinggi Farmasi Bandung, yang senantiasa memberikan masukan dan juga arahan dalam proses penyelesaian laporan ini.
Serta semua pihak yang memberikan kontribusi dalam proses penyusunan laporan ini yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan masih ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pihak yang membaca. Penulis memohon maaf apabila ada kesalahan-kesalahan dalam laporan ini. Penulis berharap semoga pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh selama menjalani PKL yang dituangkan dalam laporan ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang memerlukan.
Bandung, Maret 2017 Penulis
DELVI LESTARI
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI v
DAFTAR LAMPIRAN viii
DAFTAR GAMBAR ix
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan 3
1.3 Waktu dan Tempat 3
BAB II TINJAUAN UMUM APOTEK
2.1 Sejarah Apotek di Indonesia 4
2.2 Definisi Apotek 6
2.3 Landasan Hukum Apotek 7
2.4 Tugas dan Fungsi Apotek 8
2.5 Persyaratan Apotek 8
2.6 Cara Perizinan Apotek 12
2.7 Pengelolaan Apotek 14
2.7.1 Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, Dan
Bahan Medis Habis Pakai 14
2.7.2 Pelayanan Farmasi Klinik 21
2.7.3 Pengelolaan Resep 28
2.7.4 Pengelolaan Narkotika 29
2.7.5 Pengelolaan Psikotropika 32
2.8 Pengelolaan Sumber Daya 34
2.9 Peranan Tenaga Teknis Kefarmasian di Apotek 35
2.10 Penggolongan Obat Menurut Undang – Undang 36
2.10.1 Obat Bebas 36
2.10.2 Obat Bebas Terbatas 36
2.10.3 Obat Keras dan Obat Psikotropika 37
2.10.4 Obat Narkotika 38
2.10.5 Obat Wajib Apotek 39
2.10.6 Obat Generik 40
BAB III TINJAUAN KHUSUS
3.1 Sejarah PT. Kimia Farma (Persero), Tbk 41
3.2 Visi dan Misi PT. Kimia Farma (Persero) Tbk 42
3.3 PT. Kimia Farma Apotek 42
3.4 Apotek Kimia Farma Cipacing 45
3.4.1 Apotek Kimia Farma Cipacing 45
3.4.2 Struktur Organisasi dan Personalia 46
3.4.3 Pengelolaan Apotek 48
3.4.4 Pelayanan Farmasi Klinik 56
BAB IV TUGAS KHUSUS
4.1 Latar Belakang 58
4.2 Tinjauan Pustaka 60
4.2.1 Pengertian Antibiotik 60
4.2.2 Mekanisme Kerja Antibiotik 60
4.2.3 Golongan Obat Antibiotik 61
4.2.4 Faktor Kegagalan Terapi 63
4.2.5 Resistensi Bakteri 64
4.2.6 Penggunaan Antibiotik yang Rasional 66
4.3 Profil Penggunaan Antibiotik Oleh Responden 68
4.4 Pengaruh Pengetahuan Antibiotik Terdapat Rasionalitas Peri-
laku Penggunaan Antibiotik 70
4.5 Kesimpulan 72
4.6 Daftar Pustaka 72
BAB V PEMBAHASAN
Lokasi dan Lay Out 74
Kategori Produk 77
Pelayanan Kefarmasian 81
Administrasi Apotek 82
Pengadaan 82
Sumber Daya Manusia 84
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan 86
6.2 Saran 86
DAFTAR PUSTAKA 89
LAMPIRAN 90
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
LAMPIRAN 1 Pemusnahan Resep 91
LAMPIRAN 2 Pelaporan Pemakaian Narkotika 92
LAMPIRAN 3 Pelaporan Pemakaian Psikotropika 92
LAMPIRAN 4 Catatan Pengobatan Pasien 93
LAMPIRAN 5 Dokumentasi Pelayanan Informasi Obat 93
LAMPIRAN 6 Berita Acara Pemusnahan Obat Kedaluarsa/Rusak 94
LAMPIRAN 7 Kartu Stock 95
LAMPIRAN 8 Etiket 95
LAMPIRAN 9 Label 96
LAMPIRAN 10 Fraktur Dari Distributor 96
LAMPIRAN 11 Dropping Barang Mendesak Antara Apotek Kimia Farma 97
LAMPIRAN 12 Kertas Pembungkus Puyer 97
LAMPIRAN 13 Bon Pinjaman 97
LAMPIRAN 14 Surat Pesanan Psikotropika 98
LAMPIRAN 15 Lembar UPDS 98
LAMPIRAN 16 Lembar Copy Resep 99
LAMPIRAN 17 Lembar pengambilan Obat 99
LAMPIRAN 18 Contoh Resep 99
LAMPIRAN 19 Gondola Penyimpan an Obat di a rea ethical 100
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Penandaan Obat Bebas 36
Gambar 2.2 Penandaan Obat Bebas Terbatas 36
Gambar 2.3 Tanda Peringatan pada Obat Bebas Terbatas 36
Gambar 2.4 Penandaan Obat Keras 37
Gambar 2.5 Penandaan Obat Narkotika 38
Gambar 2.6 Penandaan Obat Generik 40
Gambar 3.1 Logo Kimia Farma 44
Gambar 4.1 diagram distribusi antibiotik yang digunakan responden selama
1-3 bulan terakhir 69
Gambar 5.1 Desain Layout Apotek Kimia Farma Cipacing 75
Gambar 5.2 Kondisi Area Swalayan 76
Gambar 5.3 Kondisi Area Farmasi (ethical) 76
Gambar 5.4 Island Gondola dan End Gondola 78
Gambar 5.5 Wall Gondola 79
Gambar 5.6 Check Out Counter 79
Gambar 5.7 Cooler 80
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kesehatan merupakan hak setiap warga negara Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, dan yang dimaksud dengan kesehatan itu sendiri adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis (Undang-Undang No. 36 Tahun 2009). Dimana kesehatan ini merupakan bagian penting dalam menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas untuk menunjang pembangunan nasional.
Salah satu wujud pembangunan nasional adalah pembangunan kesehatan yang bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa sehingga tercapai kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat untuk hidup sehat. Pembangunan kesehatan pada dasarnya menyangkut semua segi kehidupan, baik fisik, mental, maupun sosial ekonomi. Untuk mencapai pembangunan kesehatan yang optimal dibutuhkan dukungan sumber daya kesehatan, sarana kesehatan, dan sistem pelayanan kesehatan yang optimal. Salah satu sarana penunjang kesehatan yang berperan dalam mewujudkan peningkatan derajat kesehatan bagi masyarakat adalah apotek, termasuk di salamnya pekerjaan kefarmasian yang dilakukan oleh Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian (Agatha, 2012).
Apotek sebagai salah satu sarana pelayanan kesehatan yang memiliki peranan penting dalam meningkatkan kesehatan masyarakat, harus mampu menjalankan fungsinya dalam memberikan pelayanan kefarmasian dengan baik, yang berorientasi langsung dalam proses penggunaan obat pada pasien. Selain menyediakan dan menyalurkan obat serta perbekalan farmasi, apotek juga merupakan sarana penyampaian informasi mengenai obat atau persediaan farmasi secara baik dan tepat, sehingga dapat tercapai peningkatan kesehatan masyarakat yang optimal dan mendukung penyelenggaraan pembangunan kesehatan (KEPMENKES, 2002).
Di samping berfungsi sebagai sarana pelayanan kesehatan dan unit bisnis, apotek juga merupakan salah satu tempat pengabdian dan praktik tenaga teknis kefarmasian dalam melakukan pekerjaan kefarmasian. Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional (PP No. 51 Tahun 2009). Semua aspek dalam pekerjaan kefarmasian tersebut dapat disebut juga sebagai pelayanan kefarmasian. Dimana suatu sistem pelayanan kesehatan dikatakan baik, bila struktur dan fungsi pelayanan kesehatan dapat menghasilkan pelayanan kesehatan yang memenuhi persyaratan sebagai berikut, yaitu : tersedia, adil dan merata, tercapai, terjangkau, dapat diterima, wajar, efektif, efisien, menyeluruh, terpadu, berkelanjutan, bermutu, dan berkesinambungan (Azwar, 1996).
Pelayanan kefarmasian semula berfokus pada pengelolaan obat sebagai commodity menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Namun seiring berjalannya waktu dan semakin mudahnya informasi tentang obat yang diperoleh oleh masyarakat , maka saat ini terjadi perubahan paradigma pelayanan kefarmasian dari drug oriented menjadi patient oriented yang mengacu pada pharmaceutical care yang mengharuskan pharmacist untuk meningkatkan kemampuan berinteraksi dengan pasien maupun dengan tenaga kesehatan lainnya. Selain itu seorang farmasi juga harus mengetahui mengenai sistem manajemen di apotek (KEPMENKES, 2004).
Mengingat tidak kalah pentingnya peranan Tenaga Teknis Kefarmasian dalam menyelenggarakan apotek, kesiapan institusi pendidikan dalam menyedia-kan sumber daya manusia calon Tenaga Teknis Kefarmasian yang berkualitas menjadi faktor penentu. Oleh karena itu, Program Studi Diploma III Farmasi Sekolah Tinggi Farmasi Bandung bekerja sama dengan PT. Kimia Farma Apotek menyelenggarakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Apotek Kimia Farma Cipacing yang berlangsung dari tanggal 01 Maret – 31 Maret 2017. Kegiatan PKL ini memberikan pengalaman kepada calon Ahli Madya Farmasi untuk mengetahui pengelolaan suatu apotek dan pelaksanaan pengabdian Ahli Madya Farmasi khususnya di apotek.
Tujuan
Praktek Kerja Lapangan (PKL) yang dilaksanakan di Apotek Kimia Farma Cipacing bertujuan :
Membekali calon Ahli Madya Farmasi berupa wawasan pengetahuan, pengalaman, teknik operasional kegiatan farmasi di apotek yang meliputi manajerial, sosiologi, pelayanan kesehatan, serta komunikasi, informasi, edukasi sehingga diharapkan dapat memahami peran Ahli Madya Farmasi di apotek.
Mengetahui strategi pengadaan, pengelolaan obat, dan pelayanan pembekalan farmasi.
Mengetahui pelaksanaan pelayanan kefarmasian khususnya konsultasi dan konseling di Apotek Kimia Farma.
Mengetahui permasalahan-permasalahan yang terjadi di apotek, untuk dijadikan gambaran dan pembelajaran bagi mahasiswa dan menghadapi dinamika lapangan kerja kemudian hari.
Waktu dan Tempat
Pelaksanaan Praktek Kerja Lapangan untuk program studi Ahli Madya Farmasi dilaksanakan selama 1 (satu) bulan di Apotek Kimia Farma Cipacing Rancaekek-Bandung.
Alamat : Jl. Raya Cipacing Km. 21 Ranncaekek
Waktu Praktek Kerja Lapangan
Tanggal Pelaksanaan PKL : 01 Maret – 31 Maret 2017
Hari Pelaksanaan : Praktek kerja dijadwalkan selama 6 hari dalam seminggu dan satu hari libur
Waktu Pelaksanaan : Shift Pagi 08.00 - 15.00 WIB
Shift Siang 15.00 - 22.00 WIB
BAB II
TINJAUAN UMUM APOTEK
Sejarah Apotek di Indonesia
Farmasi sebagai profesi di Indonesia sebenarnya relatif masih muda dan baru dapat berkembang secara berarti setelah masa kemerdekaan. Pada zaman penjajahan, baik pada masa pemerintahan Hindia Belanda maupun masa pendudukan Jepang, kefarmasian di Indonesia pertumbuhannya sangat lambat, dan profesi ini belum dikenal secara luas oleh masyarakat. Sampai proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, para tenaga farmasi Indonesia pada umumnya masih terdiri dari asisten apoteker dengan jumlah yang sangat sedikit. Tenaga apoteker pada masa penjajahan umumnya berasal dari Denmark, Austria, Jerman dan Belanda. Namun, semasa perang kemerdekaan, kefarmasian di Indonesia mencatat sejarah yang sangat berarti, yakni dengan didirikannya Perguruan Tinggi Farmasi di Klaten pada tahun 1946 dan di Bandung tahun 1947. Lembaga Pendidikan Tinggi Farmasi yang didirikan pada masa perang kemerdekaan ini mempunyai andil yang besar bagi perkembangan sejarah kefarmasian pada masa-masa selanjutnya. Dewasa ini kefarmasian di Indonesia telah tumbuh dan berkembang dalam dimensi yang cukup luas dan mantap. Industri farmasi di Indonesia dengan dukungan teknologi yang cukup luas dan mantap. Industri farmasi di Indonesia dengan dukungan teknologi yang cukup modern telah mampu memproduksi obat dalam jumlah yang besar dengan jaringan distribusi yang cukup luas. Sebagian besar, sekitar 90% kebutuhan obat nasional telah dapat dipenuhi oleh industri farmasi dalam negeri (KEPMENKES, 1963).
Pada saat awal mulanya muncul kefarmasian, berbagai aspek dan perkembangan ilmu kefarmasian didasarkan urutan sejarah farmasi yang seharusnya dimulai dari zaman pra sejarah, zaman Babylonia-Assyria, zaman Mesir kuno, zaman Yunani kuno dan zaman abad pertengahan. Namun kali ini hanya membahas bagaimana sejarahnya farmasi yang berkembang di Indonesia. Mula – mula dari periode zaman penjajahan sampai perang kemerdekaan, kemudian setelah perang kemerdekaan sampai tahun 1958 serta pada periode tahun 1958 – 1967.
Periode Zaman Penjajahan sampai Perang Kemerdekaan
Tonggak sejarah kefarmasian di Indonesia pada umumnya diawali dengan pendidikan asisten apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.
Periode Setelah Perang Kemerdekaan Sampai dengan Tahun 1958
Pada periode ini jumlah tenaga farmasi, terutama tenaga asisten apoteker mulai bertambah jumlah yang relatif lebih besar. Pada tahun 1950 di Jakarta dibuka sekolah asisten apoteker Negeri (Republik) yang pertama , dengan jangka waktu pendidikan selama dua tahun. Lulusan angkatan pertama sekolah asisten apoteker ini tercatat sekitar 30 orang, sementara itu jumlah apoteker juga mengalami peningkatan, baik yang berasal dari pendidikan di luar negeri maupun lulusan dari dalam negeri.
Periode Tahun 1958 sampai dengan 1967
Pada periode ini meskipun untuk memproduksi obat telah banyak dirintis, dalam kenyataannya industri-industri farmasi menghadapi hambatan dan kesulitan yang cukup berat, antara lain kekurangan devisa dan terjadinya sistem penjatahan bahan baku obat sehingga industri yang dapat bertahan hanyalah industri yang memperoleh bagian jatah atau mereka yang mempunyai relasi dengan luar negeri. Pada periode ini, terutama antara tahun 1960 – 1965, karena kesulitan devisa dan keadaan ekonomi yang suram, industri farmasi dalam negeri hanya dapat berproduksi sekitar 30% dari kapasitas produksinya. Oleh karena itu, penyediaan obat menjadi sangat terbatas dan sebagian besar berasal dari impor. Sementara itu karena pengawasan belum dapat dilakukan dengan baik banyak terjadi kasus bahan baku maupun obat jadi yang tidak memenuhi persyaratan standar. Sekitar tahun 1960-1965, beberapa peraturan perundang-undangan yang penting dan berkaitan dengan kefarmasian yang dikeluarkan oleh pemerintah antara lain :
Undang-undang Nomor 9 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan
Undang-undang Nomor 10 tahun 1961 tentang barang
Undang-undang Nomor 7 tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan, dan
Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 1965 tentang Apotek. Pada periode ini pula ada hal penting yang patut dicatat dalam sejarah kefarmasian di Indonesia, yakni berakhirnya apotek dokter dan apotek darurat.
Dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 33148/Kab/176 tanggal 8 Juni 1962, antara lain ditetapkan :
Tidak dikeluarkan lagi izin baru untuk pembukaan apotek-dokter, dan
Semua izin apotek-dokter dinyatakan tidak berlaku lagi sejak tanggal 1 Januari 1963.
Sedangkan berakhirnya apotek darurat ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 770/Ph/63/b tanggal 29 Oktober 1963 yang isinya antara lain :
Tidak dikeluarkan lagi izin baru untuk pembukaan apotek darurat,
Semua izin apotek darurat Ibukota Daerah Tingkat I dinyatakan tidak berlaku lagi sejak tanggal 1Februari 1964, dan
Semua izin apotek darurat di ibukota Daerah Tingkat II dan kota-kota lainnya dinyatakan tidak berlaku lagi sejak tanggal 1 Mei 1964.Pada tahun 1963, sebagai realisasi Undang-undang Pokok Kesehatan telah dibentuk Lembaga Farmasi Nasional (Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 39521/Kab/199 tanggal 11 Juli 1963).
2.2 Definisi Apotek
Apotek merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan maka dalam pelayanannya harus mengutamakan kepentingan masyarakat yaitu menyediakan, menyiapkan dan menyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik dan keabsahannya. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2017 Tentang Apotek, apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker. Sedangkan yang dimaksud dengan Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien (PERMENKES No. 35 Tahun 2016).
Menurut peraturan Pemerintan Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009, Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyalurannya obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Sediaan Farmasi yang dimaksud adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika. Dalam pengelolaannya apotek harus dikelola oleh apoteker, yang telah mengucapkan sumpah jabatan yang telah memperoleh Surat Izin Apotek (SIA) dari Dinas Kesehatan setempat.
2.3 Landasan Hukum Apotek
Apotek merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan yang diatur dalam:
Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017 Tentang Apotek.
Peraturan Pemerintan Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2016 Tentang Registrasi, Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2014 Tentang Penggolongan Narkotika.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Penggolongan Psikotropika.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika.
Keputusan Menteri Kesehatan No. 347/MenKes/SK/VII/1990 tentang Obat Wajib Apotek, berisi Daftar Obat Wajib Apotek No. 1.
Keputusan Menteri Kesehatan No. 924/Menkes /Per/X /1993 tentang Daftar Obat Wajib Apotek No. 2.
Keputusan Menteri Kesehatan No. 1176/Menkes/SK/X/1999 tentang Daftar Obat Wajib Apotek No. 3.
2.4 Tugas dan Fungsi Apotek
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017 Tentang Apotek, apotek menyelenggarakan fungsi :
Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai; dan
Pelayanan farmasi klinik, termasuk di komunitas.
Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1980 Tentang Perubahan dan Tambahan Atas Peraturan Pemerintah RI Nomor 26 Tahun 1969 Tentang Apotek, tugas san fungsi apotek adalah :
Tempat pengabdian profesi seorang Apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan.
Sarana farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, dan penyerahan obat atau bahan obat.
Sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus mendistribusikan obat yang diperlukan masyarakat secara luas dan merata.
Sebagai sarana informasi obat kepada masyarakat dan tenaga kesehatan lainnya.
2.5 Persyaratan Pendirian Apotek
Suatu apotek baru dapat beroperasi setelah mendapat Surat Izin Apoteker (SIA). Surat Izin Apoteker (SIA) adalah surat yang diberikan Menteri Kesehatan Republik Indonesia kepada Apoteker atau Apoteker yang bekerja sama dengan pemilik sarana apotek untuk menyelenggarakan pelayanan apotek di suatu tempat tertentu (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2002).
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017 Tentang Apotek, pada BAB II pasal 4 menyebutkan persyaratan-persyaratan
Tenaga Kerja atau Personalia Apotek adalah sebagai berikut :
Lokasi
Jarak minimum antara apotek tidak lagi dipersyaratkan, tetapi tetap mempertimbangkan segi penyebaran dan pemerataan pelayanan kesehatan, jumlah penduduk, jumlah dokter, sarana pelayanan kesehatan dan hygiene lingkungan. Selain itu apotek dapat didirikan di lokasi yang sama dengan kegiatan pelayanan komoditi lainnya diluar sediaan farmasi (Firmansyah, M., 2009). Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat mengatur persebaran Apotek di wilayahnya dengan memperhatikan akses masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kefarmasian.
Bangunan
Bangunan apotek harus mempunyai luas yang memadai sehingga dapat menjamin kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi apotek (Firmansyah, M., 2009). Persyaratan teknis bangunan apotek setidaknya terdiri dari (Permenkes No. 9 Tahun 2017) :
Bangunan Apotek harus memiliki fungsi keamanan, kenyamanan, dan kemudahan dalam pemberian pelayanan kepada pasien serta perlindungan dan keselamatan bagi semua orang termasuk penyandang cacat, anak-anak, dan orang lanjut usia.
Bangunan Apotek harus bersifat permanen.
Bangunan bersifat permanen dapat merupakan bagian dan/atau terpisah dari pusat perbelanjaan, apartemen, rumah toko, rumah kantor, rumah susun, dan bangunan yang sejenis.
Sarana, Prasarana, dan Peralatan
Bangunan Apotek paling sedikit memiliki sarana ruang yang berfungsi :
penerimaan Resep;
Pelayanan Resep dan peracikan (produksi sediaan secara terbatas);
Penyerahan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan;
Konseling;
Penyimpanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan; dan
Arsip.
Prasarana Apotek paling sedikit terdiri atas:
instalasi air bersih;
instalasi listrik;
sistem tata udara; dan
sistem proteksi kebakaran.
Tenaga Kerja atau Personel Apotek
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2016 Tentang Perubaha atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 889/MENKES/PER/V/2011 Tentang Registrasi, Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian, tenaga kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian yang terdiri atas apoteker dan tenaga teknis kefarmasian. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker. Tenaga teknis kefarmasian adalah tenaga yang membantu apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga menengah Farmasi atau Asisten Apoteker.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1332/Menkes/SK/2002, personil apotek terdiri dari:
Apoteker Pengelola Apotek (APA) adalah apoteker yang telah memiliki Surat Izin Apotek.
Apoteker Pendamping adalah apoteker yang bekerja di apotek di samping APA dan atau menggantikan pada jam-jam tertentu pada hari buka apotek.
Apoteker Pengganti adalah Apoteker yang menggantikan APA selama APA tersebut tidak berada ditempat lebih dari 3 bulan secara terus- menerus, telah memiliki Surat Izin Kerja (SIK) dan tidak bertindak sebagai APA di apotek lain.
Asisten Apoteker adalah mereka yang berdasarkan peraturan perundang- undangan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai asisten apoteker yang berada di bawah pengawasan apoteker.
Selain itu, terdapat tenaga lainnya yang dapat mendukung kegiatan di apotek yaitu (Umar, M., 2011):
Juru resep adalah petugas yang membantu pekerjaan asisten apoteker.
Kasir adalah orang yang bertugas menerima uang, mencatat penerimaan, dan pengeluaran uang.
Pegawai tata usaha adalah petugas yang melaksanakan administrasi apotek dan membuat laporan pembelian, penjualan, penyimpanan, dan keuangan apotek.
Surat Izin Praktek Tenaga Kefarmasian
Setiap tenaga kefarmasian yang akan menjalankan pekerjaan kefarmasian wajib memiliki surat izin sesuai tempat tenaga kefarmasian bekerja. Surat izin tersebut berupa :
SIPA bagi Apoteker; atau
SIPTTK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian (Permenkes No. 31 Tahun 2016)
Sebelum mendapatkan SIPTTK, Tenaga Teknis Kefarmasian harus mempunyai STRTTK. Untuk memperoleh STRTTK sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, seorang Tenaga Teknis Kefarmasian harus memiliki Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian (STRTTK). STRTTK ini dapat diperoleh jika seorang Tenaga Teknis Kefarmasian memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Memiliki ijazah sesuai dengan pendidikannya;
Memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki surat izin praktek;
Memiliki rekomendasi tentang kemampuan dari apoteker yang telah memiliki STRA di tempat tenaga teknis kefarmasian bekerja; dan
Membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika kefarmasian
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 889/MENKES/PER/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktek, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian, Tenaga Teknis Kefarmasian harus mengajukan permohonan kepada kepala dinas kesehatan provinsi dan harus melampirkan :
Fotokopi ijazah Sarjana Farmasi atau Ahli Madya Farmasi atau Analis Farmasi atau Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker;
Surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki surat izin praktik;
Surat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika kefarmasian;
Surat rekomendasi kemampuan dari Apoteker yang telah memiliki STRA, atau pimpinan institusi pendidikan lulusan, atau organisasi yang menghimpun Tenaga Teknis Kefarmasian; dan
Pas foto terbaru berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar dan ukuran 2 x 3 cm sebanyak 2 (dua) lembar.
2.6 Cara Perizinan Apotek
Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017 Tentang Apotek, tata cara perizinan Apotek sebagai berikut :
Setiap pendirian Apotek wajib memiliki izin dari Menteri, yang kemudian akan melimpahkan kewenangan pemberian izin kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota berupa SIA.
SIA berlaku 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan.
Untuk memperoleh SIA, Apoteker harus mengajukan permohonan tertulis kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dengan menggunakan Formulir 1.
Permohonan SIA harus ditandatangani oleh Apoteker disertai dengan kelengkapan dokumen administratif meliputi:
Fotokopi STRA dengan menunjukkan STRA asli;
Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP);
Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Apoteker;
Fotokopi peta lokasi dan denah bangunan; dan
Daftar prasarana, sarana, dan peralatan.
Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak menerima permohonan dan dinyatakan telah memenuhi kelengkapan dokumen administratif, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menugaskan tim pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan setempat terhadap kesiapan Apotek dengan menggunakan Formulir 2.
Tim pemeriksa harus melibatkan unsur dinas kesehatan kabupaten/kota yang terdiri atas:
Tenaga kefarmasian; dan
Tenaga lainnya yang menangani bidang sarana dan prasarana.
Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak tim pemeriksa ditugaskan, tim pemeriksa harus melaporkan hasil pemeriksaan setempat yang dilengkapi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dengan menggunakan Formulir 3.
Paling lama dalam waktu 12 (dua belas) hari kerja sejak Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menerima laporan dan dinyatakan memenuhi persyaratan, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menerbitkan SIA dengan tembusan kepada Direktur Jenderal, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kepala Balai POM, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dan Organisasi Profesi dengan menggunakan Formulir 4.
Dalam hal hasil pemeriksaan dinyatakan masih belum memenuhi persyaratan, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota harus mengeluarkan surat penundaan paling lama dalam waktu 12 (dua belas) hari kerja dengan menggunakan Formulir 5.
Terhadap permohonan yang dinyatakan belum memenuhi persyaratan, pemohon dapat melengkapi persyaratan paling lambat dalam waktu 1 (satu) bulan sejak surat penundaan diterima.
Apabila pemohon tidak dapat memenuhi kelengkapan persyaratan, maka Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota mengeluarkan Surat Penolakan dengan menggunakan Formulir 6.
Apabila Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam menerbitkan SIA melebihi jangka waktu, Apoteker pemohon dapat menyelenggarakan Apotek dengan menggunakan BAP sebagai pengganti SIA.
Dalam hal pemerintah daerah menerbitkan SIA, maka penerbitannya bersama dengan penerbitan SIPA untuk Apoteker pemegang SIA.
Masa berlaku SIA mengikuti masa berlaku SIPA.
2.7 Pengelolaan Apotek
Pengelolaan sebagai proses yang dimaksud untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang dilakukan secara efektif dan efisien. Tujuannya adalah agar tersedianya seluruh pembekalan farmasi di apotek dengan mutu yang baik, jenis dan jumlah yang sesuai kebutuhan pelayanan kefarmasian bagi masyarakat yang membutuhkan. Pengelolaan di apotek meliputi pengelolaan terhadap obat dan pembekalan farmasi, pengelolaan terhadap resep, dan pengelolaan terhadap sumber daya (Permenkes, 2002).
Pengelolaan apotek berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2016, meliputi :
Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai; dan
Pelayanan farmasi klinik
2.7.1 Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, Dan Bahan Medis Habis Pakai
Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2014, meliputi perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pemusnahan, pengendalian, pencatatan dan pelaporan.
Perencanaan
Dalam membuat perencanaan pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai perlu diperhatikan pola penyakit, pola konsumsi, budaya dan kemampuan masyarakat.
Tujuan dari perencanaan adalah agar proses pengadaan obat atau perbekalan farmasi yang ada di apotek menjadi lebih efektif dan efisien sesuai dengan anggaran yang tersedia. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam penyusunan perencanaan adalah :
Pemilihan Pemasok, kegiatan pemasok (PBF), service (ketepatan waktu, barang yang dikirim, ada tidaknya diskon bonus, layanan obat expire date (ED) dan tenggang waktu penagihan), kualitas obat, dan perbekalan farmasi lainnya, ketersediaan obat yang dibutuhkan dan harga.
Ketersediaan barang atau perbekalan farmasi (sisa stok, rata-rata pemakaian obat dan satu periode pemesanan pemakaian dan waktu tunggu pemesanan, dan pemilihan metode perencanaan.
Adapun beberapa metode perencanaan, diantaranya :
Metode Konsumsi, memperkirakan penggunaan obat berdasarkan pemakaian sebelumnya sebagai perencanaan yang akan datang.
Metode Epidemiologi, berdasarkan penyebaran penyakit yang paling banyak terdapat di lingkungan sekitar apotek.
Metode Kombinasi, mengombinasikan antara metode konsumsi dan metode epidemiologi.
Metode Just In Time (JIT), membeli obat pada saat dibutuhkan.
Pengadaan
Suatu proses kegiatan yang bertujuan agar tersedia sediaan farmasi dengan jumlah dan jenis yang cukup sesuai dengan kebutuhan pelayanan. Pengadaan yang efektif merupakan suatu proses yang mengatur berbagai cara, teknik dan kebijakan yang ada untuk membuat suatu keputusan tentang obat-obatan yang akan diadakan, baik jumlah maupun sumbernya. Kriteria yang harus dipenuhi dalam pengadaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan adalah :
Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diadakan memiliki izin edar atau nomor registrasi.
Mutu, keamanan dan kemanfaatan sediaan farmasi dan alat kesehatan dapat dipertanggung jawabkan.
Pengadaan sediaan farmasi dan alat kesehatan berasal dari jalur resmi.
Dilengkapi dengan persyaratan administrasi.
Pengadaan di apotek dapat dilakukan dengan cara pembelian (membeli obat ke PBF) atau dengan cara konsinyasi (dimana PBF menitipkan barang di apotek dan dibayar setelah laku terjual). Proses pengadaan barang dengan cara pembelian dilakukan melalui beberapa tahap, diantaranya adalah sebagai berikut :
Persiapan
Persiapan ini dilakukan untuk mengetahui persediaan yang dibutuhkan apotek untuk melayani pasien. Persediaan yang habis dapat dilihat di gudang atau pada kartu stok. Jika barang memang habis, dapat dilakukan pemesanan. Persiapan dilakukan dengan cara data barang-barang yang akan dipesan dari buku defektan termasuk obat-obat yang ditawarkan supplier.
Pemesanan
Pemesanan dapat dilakukan jika persediaan barang habis, yang dapat dilihat dari buku defektan. Pemesanan dapat dilakukan langsung kepada PBF melalui telepon, E-mail maupun lewat salesmen yang datang ke apotek. Pemesanan dilakukan dengan menggunakan surat pemesanan (SP), surat pemesanan minimal dibuat 2 lembar (untuk supplier dan arsip apotek) dan di tanda tangani oleh apoteker. Biasanya SP dibuat 3 lembar. Untuk SP pembelian obat-obat narkotika dibuat menjadi 4 lembar (3 lembar diserahkan pada PBF yaitu warna putih, merah, biru dan satu lembar berwarna kuning sebagai arsip si di apotek). Untuk obat narkotika 1 surat permintaan hanya untuk satu jenis obat, sedangkan untuk psikotropika 1 surat permintaan bisa untuk satu atau lebih jenis obat.
Penerimaan
Merupakan kegiatan untuk menerima perbekalan farmasi yang telah diadakan sesuai dengan aturan kefarmasian, melalui pembelian langsung, tender, konsinyasi atau sumbangan. Penerimaan adalah kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis, spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam kontrak/pesanan. Penerimaan merupakan kegiatan verifikasi penerimaan/penolakan, dokumentasi dan penyerahan yang dilakukan dengan menggunakan "checklist" yang sudah disiapkan untuk masing-masing jenis produk yang berisi antara lain :
Kebenaran jumlah kemasan dan mencocokkan fraktur dengan SP
Kebenaran kondisi kemasan seperti yang diisyaratkan
Kebenaran jumlah satuan dalam tiap kemasan;
Kebenaran jenis produk yang diterima;
Tidak terlihat tanda-tanda kerusakan;
Kebenaran identitas produk;
Penerapan penandaan yang jelas pada label, bungkus dan brosur;
Tidak terlihat kelainan warna, bentuk, kerusakan pada isi produk,
Jangka waktu daluarsa yang memadai.
Penyimpanan
Penyimpanan adalah suatu kegiatan menata dan memelihara dengan cara menempatkan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diterima pada tempat yang dinilai aman dari pencurian dan gangguan fisik yang dapat merusak mutu obat. Penyimpanan harus menjamin stabilitas dan keamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan. Metode penyimpanan dapat dilakukan berdasarkan kelas terapi, bentuk sediaan dan alfabetis dengan menerapkan prinsip First ln First Out (FIFO) dan First Expired First Out (FEFO) disertai sistem informasi manajemen. Untuk meminimalisir kesalahan penyerahan obat direkomendasikan penyimpanan berdasarkan kelas terapi yang dikombinasi dengan bentuk sediaan dan alfabetis. Apoteker harus rnemperhatikan obat-obat yang harus disimpan secara khusus seperti narkotika, psikotropika, obat yang memerlukan suhu tertentu, obat yang mudah terbakar, sitostatik dan reagensia. Selain itu apoteker juga perlu melakukan pengawasan mutu terhadap sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diterima dan disimpan sehingga terjamin mutu, keamanan dan kemanfaatan sediaan farmasi dan alat kesehatan.
Pendistribusian
Pendistribusian adalah kegiatan menyalurkan atau menyerahkan sediaan farmasi dan alat kesehatan dari tempat penyimpanan sampai kepada unit pelayanan pasien. Sistem distribusi yang baik harus:
Menjamin kesinambungan penyaluran atau penyerahan.
Mempertahankan mutu.
Meminimalkan kehilangan, kerusakan dan kedaluarsa.
Menjaga ketelitian pencatatan.
Menggunakan metode distribusi yang efisien, dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku.
Menggunakan sistem informasi manajemen.
Pemusnahan
Sediaan farmasi yang sudah tidak memenuhi syarat sesuai standar yang ditetapkan harus dimusnahkan. Penghapusan dan Pemusnahan sediaan farmasi harus dilaksanakan dengan cara yang baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Prosedur pemusnahan obat hendaklah dibuat yang mencakup pencegahan pencemaran di lingkungan dan mencegah jatuhnya obat tersebut di kalangan orang yang tidak berwenang. Sediaan farmasi yang akan dimusnahkan supaya disimpan terpisah dan dibuat daftar yang mencakup jumlah dan identitas produk. Penghapusan dan pemusnahan obat baik yang dilakukan sendiri maupun oleh pihak lain harus didokumentasikan sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berikut ketentuan pemusnahan menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2014 :
Obat kedaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan jenis dan bentuk sediaan. Pemusnahan Obat kedaluwarsa atau rusak yang mengandung narkotika atau psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Pemusnahan Obat selain narkotika dan psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan oleh tenaga kefarmasian lain yang memiliki surat izin praktik atau surat izin kerja. Pemusnahan dibuktikan dengan berita acara pemusnahan menggunakan Formulir 1 sebagaimana terlampir.
Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun dapat dimusnahkan. Pemusnahan Resep dilakukan oleh Apoteker disaksikan oleh sekurang-kurangnya petugas lain di Apotek dengan cara dibakar atau cara pemusnahan lain yang dibuktikan dengan Berita Acara Pemusnahan Resep menggunakan Formulir 2 sebagaimana terlampir dan selanjutnya dilaporkan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota.
Pengendalian
Pengendalian persediaan dimaksudkan untuk membantu pengelolaan perbekalan (supply) sediaan farmasi dan alat kesehatan agar mempunyai persediaan dalam jenis dan jumlah yang cukup sekaligus menghindari kekosongan dan menumpuknya persediaan. Pengendalian persediaan yaitu upaya mempertahankan tingkat persediaan pada suatu tingkat tertentu dengan mengendalikan arus barang yang masuk melalui pengaturan sistem pesanan atau pengadaan (scheduled inventory dan perpetual inventory), penyimpanan dan pengeluaran untuk memastikan persediaan efektif dan efisien atau tidak terjadi kelebihan dan kekurangan, kerusakan, kedaluarsa, dan kehilangan serta pengembalian pesanan sediaan farmasi. Pengendalian persediaan dilakukan menggunakan kartu stok baik dengan cara manual atau elektronik. Kartu stok sekurang-kurangnya memuat nama Obat, tanggal kedaluwarsa, jumlah pemasukan, jumlah pengeluaran dan sisa persediaan.
Penarikan Kembali Sediaan Farmasi
Penarikan kembali (recall) dapat dilakukan atas permintaan produsen atau instruksi instansi pemerintah yang berwenang. Tindakan penarikan kembali hendaklah dilakukan segera setelah diterima permintaan instruksi untuk penarikan kembali. Untuk penarikan kembali sediaan farmasi yang mengandung risiko besar terhadap kesehatan, hendaklah dilakukan penarikan sampai tingkat konsumen. Apabila ditemukan sediaan farmasi tidak memenuhi persyaratan, hendaklah disimpan terpisah dari sediaan farmasi lain dan diberi penandaan tidak untuk dijual untuk menghindari kekeliruan. Pelaksanaan penarikan kembali agar didukung oleh sistem dokumentasi yang memadai.
Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai meliputi pengadaan (surat pesanan, faktur), penyimpanan (kartu stock), penyerahan (nota atau struck penjualan) dan pencatatan lainnya disesuaikan dengan kebutuhan.
Pelaporan terdiri dari pelaporan internal dan eksternal. Pelaporan internal merupakan pelaporan yang digunakan untuk kebutuhan manajemen Apotek, meliputi keuangan, barang dan laporan lainnya.
Pelaporan eksternal merupakan pelaporan yang dibuat untuk memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan meliputi pelaporan narkotika (menggunakan Formulir 3 sebagaimana terlampir), psikotropika (menggunakan Formulir 4 sebagaimana terlampir) dan pelaporan lainnya.
Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi merupakan tahapan untuk mengamati dan menilai keberhasilan atau kesesuaian pelaksanaan Cara Pelayanan Kefarmasian yang Baik disuatu pelayanan kefarmasian. Untuk evaluasi mutu proses pengelolaan sediaan farmasi dan alat kesehatan, dapat diukur dengan indikator kepuasan dan keselamatan pasien/ pelanggan/ pemangku kepentingan (stakeholders), dimensi waktu (time delivery), Standar Prosedur Operasional serta keberhasilan pengendalian perbekalan kesehatan dan sediaan farmasi.
Pelayanan Farmasi Klinik
Pelayanan farmasi klinik di Apotek merupakan bagian dari Pelayanan Kefarmasian yang langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 35 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan No. 35 Tahun 2014, Pelayanan farmasi klinik meliputi :
Pengkajian Resep
Kajian administratif meliputi:
Nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan;
Nama dokter, nomor surat izin praktik (sip), alamat, nomor telepon dan paraf; dan
Tanggal penulisan resep.
Kajian kesesuaian farmasetik meliputi:
Bentuk dan kekuatan sediaan;
Stabilitas; dan
Kompatibilitas (ketercampuran obat).
Pertimbangan klinis meliputi:
Ketepatan indikasi dan dosis Obat;
Aturan, cara dan lama penggunaan Obat;
Duplikasi dan/atau poli farmasi;
Reaksi Obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping Obat, manifestasi klinis lain);
Kontra indikasi; dan
Interaksi.
Jika ditemukan adanya ketidak sesuaian dari hasil pengkajian maka
Apoteker harus menghubungi dokter penulis Resep.
Dispensing
Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian informasi Obat. Setelah melakukan pengkajian Resep dilakukan hal sebagai berikut:
Menyiapkan Obat sesuai dengan permintaan Resep:
Menghitung kebutuhan jumlah Obat sesuai dengan Resep;
Mengambil Obat yang dibutuhkan pada rak penyimpanan dengan memperhatikan nama Obat, tanggal kadaluwarsa dan keadaan fisik Obat.
Melakukan peracikan Obat bila diperlukan
Memberikan etiket sekurang-kurangnya meliputi:
Warna putih untuk Obat dalam/oral;
Warna biru untuk Obat luar dan suntik;
Menempelkan label "kocok dahulu" pada sediaan bentuk suspensi atau emulsi.
Memasukkan Obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah untuk Obat yang berbeda untuk menjaga mutu Obat dan menghindari penggunaan yang salah.
Setelah penyiapan Obat dilakukan hal sebagai berikut:
Sebelum Obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan pemeriksaan kembali mengenai penulisan nama pasien pada etiket, cara penggunaan serta jenis dan jumlah Obat (kesesuaian antara penulisan etiket dengan Resep);
Memanggil nama dan nomor tunggu pasien;
Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien;
Menyerahkan Obat yang disertai pemberian informasi Obat;
Memberikan informasi cara penggunaan Obat dan hal-hal yang terkait dengan Obat antara lain manfaat Obat, makanan dan minuman yang harus dihindari, kemungkinan efek samping, cara penyimpanan Obat dan lain-lain;
Penyerahan Obat kepada pasien hendaklah dilakukan dengan cara yang baik, mengingat pasien dalam kondisi tidak sehat mungkin emosinya tidak stabil;
Memastikan bahwa yang menerima Obat adalah pasien atau keluarganya;
Membuat salinan Resep sesuai dengan Resep asli dan di paraf oleh Apoteker (apabila diperlukan);
Menyimpan Resep pada tempatnya;
Apoteker membuat catatan pengobatan pasien dengan menggunakan Formulir 5 sebagaimana terlampir.
Apoteker di Apotek juga dapat melayani Obat non Resep atau pelayanan swamedikasi. Apoteker harus memberikan edukasi kepada pasien yang memerlukan Obat non Resep untuk penyakit ringan dengan memilihkan obat bebas atau bebas terbatas yang sesuai.
Pelayanan Informasi Obat
Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh Apoteker dalam pemberian informasi mengenai Obat yang tidak memihak, dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan Obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat. Informasi mengenai Obat termasuk Obat Resep, Obat bebas dan herbal.
Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus, rute dan metode pemberian, farmakokinetika, farmakologi, terapeutik dan alternatif, efikasi, keamanan penggunaan pada ibu hamil dan menyusui, efek samping, interaksi, stabilitas, ketersediaan, harga, sifat fisika atau kimia dari Obat dan lain-lain.
Kegiatan Pelayanan Informasi Obat di Apotek meliputi:
Menjawab pertanyaan baik lisan maupun tulisan;
Membuat dan menyebarkan buletin/ brosur/ leaflet, pemberdayaan masyarakat (penyuluhan);
memberikan informasi dan edukasi kepada pasien;
Memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada mahasiswa farmasi yang sedang praktik profesi;
Melakukan penelitian penggunaan obat;
Membuat atau menyampaikan makalah dalam forum ilmiah;
Melakukan program jaminan mutu.
Pelayanan Informasi Obat harus didokumentasikan untuk membantu penelusuran kembali dalam waktu yang relatif singkat dengan menggunakan Formulir 6 sebagaimana terlampir.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam dokumentasi pelayanan Informasi Obat :
Topik Pertanyaan;
Tanggal dan waktu Pelayanan Informasi Obat diberikan;
Metode Pelayanan Informasi Obat (lisan, tertulis, lewat telepon);
Data pasien (umur, jenis kelamin, berat badan, informasi lain seperti riwayat alergi, apakah pasien sedang hamil/menyusui, data laboratorium);
Uraian pertanyaan;
Jawaban pertanyaan;
Referensi;
Metode pemberian jawaban (lisan, tertulis, per telepon) dan data Apoteker yang memberikan Pelayanan Informasi Obat.
Konseling
Konseling merupakan proses interaktif antara Apoteker dengan pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan Obat dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien.
Untuk mengawali konseling, Apoteker menggunakan three prime questions. Apabila tingkat kepatuhan pasien dinilai rendah, perlu dilanjutkan dengan metode Health Belief Model. Apoteker harus melakukan verifikasi bahwa pasien atau keluarga pasien sudah memahami Obat yang digunakan.
Kriteria pasien/keluarga pasien yang perlu diberi konseling:
Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatrik, gangguan fungsi hati dan/atau ginjal, ibu hamil dan menyusui).
Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (misalnya: TB, DM, AIDS, epilepsi).
Pasien yang menggunakan Obat dengan instruksi khusus (penggunaan corticosteroid dengan tapering down/off).
Pasien yang menggunakan Obat dengan indeks terapi sempit (digoxin, fenitoin, teofilin).
Pasien dengan polifarmasi; pasien menerima beberapa Obat untuk indikasi penyakit yang sama. Dalam kelompok ini juga termasuk pemberian lebih dari satu Obat untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis Obat.
Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah.
Tahap kegiatan konseling:
Membuka komunikasi antara Apoteker dengan pasien
Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan Obat melalui Three Prime Questions, yaitu:
Apa yang disampaikan dokter tentang Obat Anda ?
Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang cara pemakaian Obat Anda ?
Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang hasil yang diharapkan setelah Anda menerima terapi Obat tersebut ?
Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada pasien untuk mengeksplorasi masalah penggunaan Obat
Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah penggunaan Obat
Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien
Apoteker mendokumentasikan konseling dengan meminta tanda tangan pasien sebagai bukti bahwa pasien memahami informasi yang diberikan dalam konseling dengan menggunakan Formulir 7 sebagaimana terlampir.
Pelayanan Kefarmasian di Rumah (Home Pharmacy Care)
Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat melakukan Pelayanan Kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya.
Jenis Pelayanan Kefarmasian di rumah yang dapat dilakukan oleh Apoteker, meliputi :
Penilaian/pencarian (assessment) masalah yang berhubungan dengan pengobatan
Identifikasi kepatuhan pasien
Pendampingan pengelolaan Obat dan/atau alat kesehatan di rumah, misalnya cara pemakaian Obat asma, penyimpanan insulin
Konsultasi masalah Obat atau kesehatan secara umum
Monitoring pelaksanaan, efektifitas dan keamanan penggunaan Obat berdasarkan catatan pengobatan pasien
Dokumentasi pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian di rumah dengan menggunakan Formulir 8 sebagaimana terlampir.
Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien mendapatkan terapi Obat yang efektif dan terjangkau dengan memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek samping.
Kriteria pasien:
Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui.
Menerima Obat lebih dari 5 (lima) jenis.
Adanya multi diagnosis.
Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati.
Menerima Obat dengan indeks terapi sempit.
Menerima Obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi Obat yang merugikan.
Kegiatan:
Memilih pasien yang memenuhi kriteria.
Mengambil data yang dibutuhkan yaitu riwayat pengobatan pasien yang terdiri dari riwayat penyakit, riwayat penggunaan Obat dan riwayat alergi; melalui wawancara dengan pasien atau keluarga pasien atau tenaga kesehatan lain
Melakukan identifikasi masalah terkait Obat. Masalah terkait Obat antara lain adalah adanya indikasi tetapi tidak diterapi, pemberian Obat tanpa indikasi, pemilihan Obat yang tidak tepat, dosis terlalu tinggi, dosis terlalu rendah, terjadinya reaksi Obat yang tidak diinginkan atau terjadinya interaksi Obat
Apoteker menentukan prioritas masalah sesuai kondisi pasien dan
menentukan apakah masalah tersebut sudah atau berpotensi akan terjadi
Memberikan rekomendasi atau rencana tindak lanjut yang berisi rencana pemantauan dengan tujuan memastikan pencapaian efek terapi dan meminimalkan efek yang tidak dikehendaki
Hasil identifikasi masalah terkait Obat dan rekomendasi yang telah dibuat oleh Apoteker harus dikomunikasikan dengan tenaga kesehatan terkait untuk mengoptimalkan tujuan terapi.
Melakukan dokumentasi pelaksanaan pemantauan terapi Obat dengan menggunakan Formulir 9 sebagaimana terlampir.
Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap Obat yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis.
Kegiatan:
Mengidentifikasi Obat dan pasien yang mempunyai risiko tinggi mengalami efek samping Obat. Mengisi formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional dengan menggunakan Formulir 10 sebagaimana terlampir.
Faktor yang perlu diperhatikan:
Kerja sama dengan tim kesehatan lain.
Ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat.
Pengelolaan Resep
Resep yang telah dilayani harus disimpan selama tiga tahun. Resep yang disimpan diberi penandaan mengenai tanggal, bulan dan tahun pelayanan. Kemudian resep disusun rapih agar mampu ditelusuri bila sewaktu-waktu diperlukan. Tanggal terdekat dengan bulan layanan ditempatkan yang lebih mudah dijangkau agar mampu ditelusuri dengan cepat. Untuk pengelolaan resep narkotik dan psikotropika. Pada saat pelayanan resep narkotika diberi tanda garis warna merah. Resep narkotika dan psikotropika harus terarsip dengan baik dan dicatat dalam buku penggunaan obat narkotika dan psikotropika. Resep narkotika diarsipkan dan disimpan selama tiga tahun berdasarkan tanggal dan nomor urut resep.
Pengelolaan Narkotika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang tentang Narkotika (PERMENKES, 2015).
Pemesanan Narkotika
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 menyatakan bahwa Menteri Kesehatan memberikan izin kepada apotek untuk membeli, meracik, menyediakan, memiliki atau menyimpan untuk persediaan, menguasai, menjual, menyalurkan, menyerahkan, mengirimkan, membawa atau mengangkut narkotika untuk kepentingan pengobatan (Presiden Republik Indonesia, 2009). Pengadaan narkotika di apotek dilakukan dengan pesanan tertulis melalui Surat Pesanan Narkotika kepada Pedagang Besar Farmasi (PBF) PT. Kimia Farma. Surat Pesanan Narkotika harus ditandatangani oleh APA dengan mencantumkan nama jelas, nomor SIK, SIA dan stempel apotek. Satu surat pesanan terdiri dari rangkap empat dan hanya dapat untuk memesan satu jenis obat narkotika (Umar M., 2011).
Penyimpanan Narkotika
Apotek harus mempunyai tempat khusus untuk menyimpan narkotika dan harus dikunci dengan baik. Tempat penyimpanan narkotika di apotek harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Harus dibuat seluruhnya dari kayu atau bahan lain yang kuat.
Harus mempunyai kunci ganda yang kuat.
Dibagi menjadi dua bagian masing-masing bagian dengan kunci yang berlainan. Bagian pertama dipergunakan untuk menyimpan morfin, petidin dan garam-garamnya serta persediaan narkotika sedangkan bagian kedua dipergunakan untuk menyimpan narkotika yang dipakai sehari-hari.
Apabila tempat khusus tersebut berupa lemari berukuran kurang dari 40×80×100 cm, maka lemari tersebut harus dibuat melekat pada tembok atau lantai.
Lemari khusus tidak boleh digunakan untuk menyimpan barang lain selain narkotika, kecuali ditentukan oleh Menteri Kesehatan.
Anak kunci lemari khusus harus dipegang oleh pegawai yang dikuasakan
Lemari khusus harus ditempatkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum.
Pelayanan Resep Mengandung Narkotika
Apotek hanya melayani pembelian narkotika berdasarkan resep dokter sesuai dengan ketentuan Surat Edaran Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan No. 336/E/SE/77 antara lain dinyatakan :
Sesuai dengan bunyi pasal 7 ayat (2) UU No. 9 tahun 1976 tentang Narkotika, apotek dilarang melayani salinan resep yang mengandung narkotika, walaupun resep tersebut baru dilayani sebagian atau belum dilayani sama sekali.
Untuk resep narkotika yang baru dilayani sebagian atau belum dilayani sama sekali, apotek boleh membuat salinan resep tetapi salinan resep tersebut hanya boleh dilayani oleh apotek yang menyimpan resep aslinya.
Salinan resep dari resep narkotika dengan tulisan iter tidak boleh dilayani sama sekali. Oleh karena itu dokter tidak boleh menambah tulisan iter pada resep-resep yang mengandung narkotika.
Pelaporan Narkotika
Berdasarkan UU No. 35 tahun 2009 pasal 14 ayat (2) dinyatakan bahwa industri farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib membuat, menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran narkotika yang berada dibawah penguasaannya. Laporan tersebut meliputi laporan pemakaian narkotika dan laporan pemakaian morfin dan petidin. Laporan harus di tanda tangani oleh apoteker pengelola apotek dengan mencantumkan SIK, SIA, nama jelas dan stempel apotek, kemudian dikirimkan kepada Kepala Suku Dinas Kesehatan dengan tembusan kepada :
Kepala Dinas Kesehatan Propinsi setempat.
Kepala Balai POM setempat.
Penanggung jawab narkotika PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. (khusus Apotek Kimia Farma).
Arsip.
Laporan penggunaan narkotika tersebut terdiri dari:
Laporan penggunaan sediaan jadi narkotika
Laporan penggunaan bahan baku narkotika
Laporan khusus penggunaan morfin dan petidin
Laporan narkotika tersebut dibuat setiap bulannya dan harus dikirim selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya
Selain laporan dalam bentuk printout, laporan penggunaan obat narkotika di lakukan melalui online SIPNAP (Sistem Pelaporan Narkotika dan Psikotropika). Asisten apoteker setiap bulannya menginput data penggunaan narkotika dan psikotropika melalui SIPNAP lalu setelah data telah terinput data tersebut di import (paling lama sebelum tanggal 10 pada bulan berikutnya). Laporan meliputi laporan pemakaian narkotika untuk bulan bersangkutan (meliputi nomor urut, nama bahan/sediaan, satuan, persediaan awal bulan), pasword dan username didapatkan setelah melakukan registrasi pada dinkes setempat (sipnap.binfar.depkes.go.id).
Pemusnahan Narkotika
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015, pemegang izin khusus, apoteker pimpinan apotek, atau dokter yang memusnahkan narkotika harus membuat berita acara pemusnahan paling sedikit rangkap tiga. Berita acara pemusnahan memuat :
Hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan.
Nama pemegang izin khusus, apoteker pimpinan apotek, atau dokter pemilik narkotika.
Nama seorang saksi dari pemerintah dan seorang saksi lain dari perusahaan atau badan tersebut.
Nama dan jumlah narkotika yang dimusnahkan.
Cara pemusnahan.
Tanda tangan penanggung jawab apotek/pemegang izin khusus, dokter pemilik narkotika, dan saksi-saksi.
Kemudia berita acara tersebut dikirimkan kepada Suku Dinas Pelayanan Kesehatan dengan tembusan:
Balai POM setempat
Penanggung jawab narkotika PT. Kimia Farma (Persero) Tbk.
Arsip
Pengelolaan Psikotropika
Ruang lingkup pengaturan Psikotropika adalah zat/bahan baku atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2015) :
Menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan.
Mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika.
Memberantas peredaran gelap psikotropika
Secara garis besar pengelolaan psikotropika meliputi (Presiden Republik Indonesia, 1997):
Pemesanan Psikotropika
Obat golongan psikotropika dipesan dengan menggunakan Surat Pesanan Psikotropika yang ditandatangani oleh APA dengan mencantumkan nomor SIK. Surat pesanan tersebut dibuat rangkap dua dan setiap surat dapat digunakan untuk memesan beberapa jenis psikotropika.
Penyimpanan Psikotropika
Kegiatan ini belum diatur oleh perundang-undangan. Namun karena kecenderungan penyalahgunaan psikotropika, maka disarankan untuk obat golongan psikotropika diletakkan tersendiri dalam suatu rak atau lemari khusus dan membuat kartu stok psikotropika.
Penyerahan Psikotropika
Obat golongan psikotropika diserahkan oleh apotek, hanya dapat dilakukan kepada apotek lainnya, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan dan dokter kepada pengguna/pasien berdasarkan resep dokter
Pelaporan Psikotropika
Apotek wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika dan melaporkan pemakaiannya setiap bulan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada Kepala Balai Besar POM setempat dan 1 salinan untuk arsip apotek.
Laporan penggunaan psikotropika dilakukan setiap bulannya melalui SIPNAP (Sistem Pelaporan Narkotika dan Psikotropika). Asisten apoteker setiap bulannya menginput data penggunaan psikotropika melalui SIPNAP lalu setelah data telah terinput data tersebut di import. Laporan meliputi laporan pemakaian narkotika untuk bulan bersangkutan (meliputi nomor urut, nama bahan/sediaan, satuan, persediaan awal bulan). pasword dan username didapatkan setelah melakukan registrasi pada dinkes setempat (sipnap.binfar.depkes.go.id).
Pemusnahan Psikotropika
Pemusnahan psikotropika dilakukan bila berhubungan dengan tindak pidana, diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan atau tidak dapat digunakan dalam proses produksi, kedaluarsa atau tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Pemusnahan psikotropika dilakukan dengan pembuatan berita acara yang sekurang-kurangnya memuat tempat dan waktu pemusnahan; nama pemegang izin khusus; nama, jenis, dan jumlah psikotropika yang dimusnahkan; cara pemusnahan; tanda tangan dan identitas lengkap penanggung jawab apotek dan saksi-saksi pemusnahan.
Pengelolaan Sumber Daya
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, pengelolaan sumber daya terdiri dari :
Sumber Daya Manusia
Sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku apotek harus dikelola oleh seorang Apoteker yang profesional. Dalam pengelolaan apotek, Apoteker senantiasa harus memiliki kemampuan menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, mampu berkomunikasi antar profesi, menetapkan diri sebagai pemimpin dalam situasi multidisiplin, kemampuan mengelola SDM secara efektif, selalu belajar sepanjang karier dan membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan.
Keuangan
Laporan keuangan yang biasa dibuat di apotek adalah (Umar, M., 2011):
Laporan Laba-Rugi yaitu laporan yang menggambarkan tentang aliran pendapatan dan biaya operasional yang dikeluarkan selama periode waktu tertentu.
Laporan Neraca yaitu laporan yang menggambarkan tentang potret kondisi kekayaan apotek pada tanggal tertentu.
Laporan Aliran Kas yaitu laporan yang menggambarkan tentang aliran kas yang masuk dan keluar pada periode tertentu.
Administrasi
Dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di apotek, perlu dilaksanakan kegiatan administrasi yang meliputi (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2004):
Administrasi umum
Pencatatan, pengarsipan, pelaporan narkotika, psikotropika dan dokumentasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Administrasi pelayanan
Pengarsipan resep, pengarsipan catatan pengobatan pasien, pengarsipan hasil monitoring penggunaan obat.
Hal lain yang harus diperhatikan dalam pengelolaan apotek adalah (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 1993) :
Apoteker berkewajiban menyediakan, menyimpan dan menyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik dan keabsahannya terjamin.
Obat dan perbekalan farmasi lainnya yang karena suatu hal tidak dapat digunakan atau dilarang digunakan, harus dimusnahkan dengan cara dibakar atau ditanam atau dengan cara lain yang ditetapkan.
Peranan Tenaga Teknis Kefarmasian di Apotek
Menurut PP 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian, Tenaga Tknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apotker dalam menjalani pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Mnengah Farmasi/Asisten Apoteker.
Menurut PP 51 tahun 2009 pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk menigkatkan mutu kehidupan pasien.
Bentuk pekerjaan kefarmasian yang wajib dilaksanakan oleh seorang Tenaga Teknis Kefarmasian (menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1332/MENKES/X/2002 adalah sebagai berikut:
Melayani resep dokter sesuai dengan tanggung jawab dan standart profesinya.
Memberi informasi yang berkaitan dengan penggunaan/pemakaian obat.
Menghormati hak pasien dan menjaga kerahasiaan idntitas serta data kesehatan pasien.
Melakukan pengelolaan apotek.
Pelayanan informasi mengenai sediaan farmasi.
Penggolongan Obat Menurut Undang – Undang
Untuk menjaga keamanan penggunaan obat oleh masyarakat, maka pemerintah menggolongkan obat menjadi beberapa bagian, yaitu:
Obat Bebas
Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas adalah lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh : Parasetamol (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006).
Gambar 2.1 Penandaan Obat Bebas
Obat Bebas Terbatas
Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai dengan tanda peringatan. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh : CTM (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006).
Gambar 2.2 Penandaan Obat Bebas Terbatas
Tanda peringatan selalu tercantum pada kemasan obat bebas terbatas, berupa empat persegi panjang berwarna hitam berukuran panjang 5 (lima) centimeter, lebar 2 (dua) centimeter dan memuat pemberitahuan berwarna putih sebagai berikut (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006) :
Gambar 2.3 Tanda Peringatan pada Obat Bebas Terbatas
Obat Keras dan Obat Psikotropika
Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf K dalam lingkaran merah dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh : Asam Mefenamat. Obat psikotropika adalah obat keras baik alamiah maupun sintetis bukan narkotik, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Contoh : Diazepam, Phenobarbital (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006).
Gambar 2.4 Penandaan Obat Keras
Menurut UU No.5 Tahun 1997 psikotopika digolongkan menjadi (Presiden Republik Indonesia, 1997):
Psikotropika golongan I adalah psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: etisiklidina, tenosiklidina, dan metilendioksi metilamfetamin (MDMA).
Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: amfetamin, deksamfetamin, metamfetamin, dan fensiklidin.
Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: amobarbital, pentabarbital, dan siklobarbital.
Psikotropika golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: diazepam, estazolam, etilamfetamin, alprazolam.
4 Obat Narkotika
Obat narkotika adalah obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan menimbulkan ketergantungan. Contoh : Morfin, Petidin (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006). Obat narkotika ditandai dengan simbol palang medali atau palang swastika.
Gambar 2.5 Penandaan Obat Narkotika
Narkotika dibagi menjadi 3 golongan, yaitu (Peraturan Menteri KEsehatan Republik Indonesia, 2014):
Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh: kokain, opium, heroin, dan ganja.
Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan, digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh: fentanil, metadon, morfin, dan petidin.
Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Contoh: etilmorfina kodein, dan norkodeina.
Obat Wajib Apotek
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 347/MENKES/SK/VII/1990 tentang Obat Wajib Apotek, menerangkan bahwa obat wajib apotek (OWA) adalah obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep dokter oleh apoteker kepada pasien di apotek. Peraturan mengenai obat wajib apotek dibuat untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya sendiri guna mengatasi masalah kesehatan dan peningkatan pengobatan sendiri secara tepat, aman dan rasional (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 1990).
Obat yang dapat diserahkan tanpa resep dokter harus memenuhi kriteria (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 1993):
Tidak di kontra indikasikan pada wanita hamil, anak dibawah usia 2 tahun, dan orang tua diatas 65 tahun.
Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko akan kelanjutan penyakit.
Penggunaan tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan.
Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia.
Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri
Dalam melayani pasien yang memerlukan OWA, Apoteker di apotek diwajibkan untuk (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 1993b) :
Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang disebutkan dalam OWA yang bersangkutan.
Membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan.
Memberikan informasi, meliputi dosis dan aturan pakainya, kontra indikasi, efek samping dan lain-lain yang perlu diperhatikan oleh pasien.
Obat Generik
Obat generik adalah obat dengan nama resmi Internasional Non Proprietary Name (INN) yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia atau buku standar lainnya untuk zat berkhasiat yang dikandungnya (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010).
Gambar 2.6 Penandaan Obat Generik
BAB III
TINJAUAN KHUSUS
Sejarah PT. Kimia Farma (Persero), Tbk
Kimia Farma adalah perusahaan industri farmasi pertama di Indonesia yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda tahun 1817. Nama perusahaan ini pada awalnya adalah NV Chemicalien Handle Rathkamp & Co. Berdasarkan kebijaksanaan nasionalisasi atas eks perusahaan Belanda di masa awal kemerdekaan, pada tahun 1958, Pemerintah Republik Indonesia melakukan peleburan sejumlah perusahaan farmasi menjadi PNF (Perusahaan Negara Farmasi) Bhinneka Kimia Farma. Kemudian pada tanggal 16 Agustus 1971, bentuk badan hukum PNF diubah menjadi Persero Terbatas, sehingga nama perusahaan berubah menjadi PT. Kimia Farma (Persero) (Kimia Farma, 2012).
PT. Kimia Farma (Persero) pada saat itu bergerak dalam bidang usaha (Tim PKPA PT. Kimia Farma Apotek, 2012):
Industri farmasi
Industri kimia dan makanan kesehatan
Perkebunan obat
Pertambangan farmasi dan kimia
Perdagangan farmasi, kimia dan ekspor-impor.
Pada tanggal 4 Juli 2001, PT Kimia Farma (Persero) kembali mengubah statusnya menjadi perusahaan publik yaitu PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Bersamaan dengan perubahan tersebut, PT. Kimia Farma telah dicatatkan pada Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya (sekarang kedua bursa telah merger dan kini bernama Bursa Efek Indonesia) (Kimia Farma, 2012).
Selanjutnya pada tanggal 4 Januari 2002 dibentuk dua anak perusahaan yaitu PT. Kimia Farma Apotek dan PT. Kimia Farma Trading and Distribution (Tim PKPA PT. Kimia Farma Apotek, 2012). Berbekal pengalaman selama puluhan tahun, PT. Kimia Farma telah berkembang menjadi perusahaan dengan pelayanan kesehatan terintegrasi di Indonesia. PT. Kimia Farma kian diperhitungkan kiprahnya dalam pengembangan dan pembangunan bangsa, khususnya pembangunan kesehatan masyarakat Indonesia (Kimia Farma, 2012).
Visi dan Misi PT. Kimia Farma (Persero) Tbk
Visi
Menjadi korporasi bidang kesehatan terintegrasi dan mampu menghasilkan pertumbuhan nilai yang berkesinambungan melalui konfigurasi dan koordinasi bisnis yang sinergis.
Misi
Menghasilkan pertumbuhan nilai korporasi melalui usaha di bidang-
bidang:
Industri kimia dan farmasi dengan basis penelitian dan pengembangan produk yang inovatif.
Perdagangan dan jaringan distribusi.
Pelayanan kesehatan yang berbasis jaringan retail farmasi dan jaringan pelayanan kesehatan lainnya.
Pengelolaan aset-aset yang dikaitkan dengan pengembangan usaha perusahaan (Kimia Farma, 2012).
PT. Kimia Farma Apotek
PT Kimia Farma Apotek merupakan anak perusahaan yang dibentuk oleh PT. Kimia Farma Tbk., untuk mengelola apotek-apotek milik perusahaan yang ada. PT. Kimia Farma Apotek yang dahulu terkoordinasi dalam Unit Apotek Daerah (UAD) sejak bulan Juli tahun 2004 dibuat dalam orientasi Bisnis Manager (BM) dan Apotek pelayanan sebagai hasil restrukturisasi organisasi yang dilakukan. Manajemen PT. Kimia Farma Apotek melakukan perubahan struktur (restrukturisasi) organisasi dan sistem pengelolaan SDM dengan pendekatan efisiensi, produktivitas, kompetensi dan komitmen dalam rangka mengantisipasi perubahan yang ada.
Dalam upaya peningkatan kontribusi penjualan untuk memperbesar penjualan makan PT. Kimia Farma Apotek hingga tahun 2015 telah mengelola sebanyak 725 Apotek yang tersebar di seluruh tanah air yang memimpin pasar di bidang perapotekan dengan penguasaan pasar sebesar 19 % dari total penjualan apotek dari seluruh Indonesia. Penambahan jumlah apotek yang terus dikembangkan merupakan bagian dari strategi perusahaan dalam memanfaatkan momentum pasar bebas, dimana pihak yang memiliki jaringan luas seperti Kimia Farma akan diuntungkan. Apotek Kimia Farma melayani beberapa jenis pelayanan, yaitu penjualan langsung, pelayanan resep dokter, penyediaan, pelayanan praktik dokter, optik, dan pelayanan swalayan farmasi, seta pusat pelayanan informasi obat.
Salah satu perubahan yang dilakukan adalah dengan mengubah persepsi dan citra lama tentang kimia farma. Dengan konsep baru bahwa setiap apotek kima farma bukan lagi terbatas sebagai gerai untuk jual obat, tetapi menjadi pusat pelayanan kesehatan yang didukung oleh berbagai aktivitas penunjang seperti laboratorium klinik, optik, praktik dokter, dan gerai untuk obat-obatan tradisional indonesia. Perubahan yang dilakukan secara fisik antara lain dengan memperbarui penampilan eksterior dan interior dari apotek kimia farma yang tersebar di seluruh Indonesia. Bersamaan itu diciptakan pula budaya baru di lingkungan setiap apotek untuk lebih berorientasi kepada pelayanan konsumen, dimana setiap Apotek Kimia Farma haruslah mampu memberikan servis yang baik, menyediakan obat yang baik dan lengkap, berikut pelayanan yang cepat dan terasa nyaman.
Pada saat ini, unit Bisnis Manager (BM) dan Apotek Pelayanan, merupakan garda terdepan dari PT. Kimia Farma Apotek dalam melayani kebutuhan obat kepada masyarakat. Unit BM membawahi beberapa Apotek Pelayanan yang berada dalam suatu wilayah tertentu, dengan tugas menangani administrasi permintaan barang dari Apotek Pelayanan yang berada di bawahnya, administrasi pembelian/ pemesanan barang, administrasi piutang dagang, administrasi hutang dagang dan administrasi perpajakan. Fokus dari Apotek Pelayanan adalah pelayanan perbekalan farmasi dan informasi obat pasien, sehingga layanan apotek berkualitas dan berdaya saing mendukung dalam pencapaian laba melalui penjualan setinggi-tingginya.
Logo PT. Kimia Farma Apotek
Logo PT. Kimia Farma Apotek sama dengan PT. Kimia Farma (Persero) Tbk, yaitu matahari dengan jenis huruf italic seperti dapat dilihat pada gambar 3.1.
Gambar 3.1 Logo Kimia Farma
Pengertian
Maksud dari simbol matahari tersebut adalah :
Paradigma baru, mata hari terbit adalah tanda memasuki babak baru kehidupan yang lebih baik
Optimis, matahari memiliki cahaya sebagai sumber energi, cahaya tersebut adalah penggambaran optimisme Kimia Farma dalam menjalankan bisnisnya
Komitmen, matahari selalu terbit dari timur dan tenggelam dari arah barat secara teratur dan terus menerus memiliki makna adanya komitmen dan konsistensi dalam menjalankan segala tugas yang diemban oleh Kimia Farma dalam bidang farmasi dan kesehatan
Sumber energi, matahari sumber energi bagi kehidupan dan Kimia Farma baru memposisikan dirinya sebagai sumber energi bagi kesehatan masyarakat.
Semangat yang abadi, warna orange berarti semangat, warna biru berarti keabadian. Harmonisasi antara kedua warna tersebut menjadi satu makna yaitu semangat yang abadi.
Jenis Hurup
Dirancang khusus untuk kebutuhan Kimia Farma disesuaikan dengan nilai dan citra yang telah menjadi energi bagi Kimia Farma, karena prinsip sebuah identitas harus berbeda dengan identitas yang telah ada.
Sifat Hurup
Kokoh, memperlihatkan Kimia Farma sebagai perusahaan terbesar dalam bidang farmasi yang memiliki bisnis hulu hilir dan merupakan perusahaan farmasi pertama yang dimiliki Indonesia.
Dinamis, dengan jenis huruf Italic, memperlihatkan kedinamisan dan optimisme
Bersahabat, dengan jenis huruf kecil dan lengkung, memperlihatkan keramahan Kimia Farma dalam melayani konsumennya dalam konsep apotek jaringan. Konsep apotek jaringan sendiri telah di canangkan pada tahun 1998 yang artinya sudah kurang lebih 14 tahun kebijakan itu diberlakukan untuk menjadikan beberapa apotek bergabung ke dalam grup yang akhirnya diharapkan menjadi suatu jaringan apotek yang kuat.
Apotek Kimia Farma Cipacing
Apotek KF (Kimia Farma) Cipapcing merupakan salah satu apotek pelayanan yang tergabung dalam unit Business Manager Bandung. Apotek ini didirikan dengan aspek legal berupa SIPA (Surat Izin Pengelolaan Apotek) dan SIA (Surat Izin Apotek) yang dikeluarkan oleh suku dinas kesehatan Kabupaten Sumedang. Apotek Kimia Farma Cipacing berdiri dengan SIPA 445.9/2180/23/Dinkes/Apt/VIII/2014 atas nama Dilal Adlin Fadil, M. Farm., Apt.
Lokasi dan Tata Ruang Apotek
Lokasi merupakan salah satu unsur penting yang harus diperhataikan dalam pembuatan apotek. Apotek sebaiknya terletak pada saerah yang strategis dan terjangkau oleh akses transportasi yang mudah. Apotek Kimia Farma Cipacing terletak di Jalan Raya Cipacing KM. 21 Rancaekek. Apotek ini didirikan untuk melayani kebutuhan masyarakat sekitar dan masyarakat umum. Apotek berada di lokasi yang cukup strategis dan mudah dicapai oleh masyarakat, karena apotek terletak ditepi jalan raya yang dilalui kendaraan dua arah, banyak dilalui oleh angkutan umum, berdekatan dengan pemukiman penduduk, bank, rumah sakit, sekolah, dan rumah makan yang dapat turut menunjang keberhasilan apotek.
Desain luar apotek Kimia Farma Cipacing dibuat sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh PT. Kimia Farma Apotek dimana bagian depan apotek dilengkapi dengan papan nama apotek Kima Farma dengan warna biru tua dan logo jingga dengan tulisan Kimia Farma. Hal ini dibuat dengan tujuan agar masyarakat lebih mudah untuk menemukan apotek. Selain itu, juga tersedia area parkir yang cukup luas, yang di khususkan untuk pengunjung apotek.
Bangunan apotek terdiri dari 2 lantai yang dilengkapi dengan pendingin ruangan. Lantai dasar terdiri dari mushola dan kamar mandi. Lantai 1 terdiri dari apotek dan swalayan farmasi. Ruangan di apotek juga dilengkapi dengan pendingin udara dan penerangan yang baik sehingga memberikan kenyamanan baik bagi petugas apotek maupun pasien.
Struktur Organisasi dan Personalia
Struktur organisasi apotek Kimia Farma berpedoman pada ketentuan yang telah ditetapkan oleh PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Secara umum, struktur organisasi di semua Apotek Kima Farma sama, namun masing-masing apoteker pengelola apotek (APA) memiliki wewenang untuk menyesuaikan struktur organisasi dengan kondisi dan sarana yang dimiliki.
Apotek Kimia Farma Cipacing dipimpin oleh seorang APA yang dibantu oleh 1 apoteker pendamping, dan 3 orang asisten apoteker. Semua karyawan di apotek bertanggung jawab sepenuhnya kepada APA. Sedangkan APA bertanggung jawab pada BM atas semua kegiatan kefarmasian yang dilakukan di apotek. Untuk efisiensi dan efektivitas kerja, ditetapkan pembagian tugas dan tanggung jawab di setiap bagian, sebagai berikut :
Apotek Pengelola Apotek
Apoteker pengelola apotek bertanggung jawab terhadap semua kegiatan yang terjadi di apotek, baik di bidang teknis kefarmasian, administrasi, maupun bidang ketenagakerjaan.
Tugas dan tanggung jawab apoteker pengelola apotek adalah :
Memimpin seluruh kegiatan apotek dan bertanggung jawab terhadap pengembangan serta kelangsungan hidup apotek .
Menyusun Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) sesuai dengan target yang akan dicapai, kebutuhan sarana, personalia dan anggaran dana, yang dibutuhkan serta mengusahakan kebijaksanaan dan strategi kerja agar program yang telah ditetapkan dapat terlaksana dengan baik.
Memberikan pelayanan kefarmasian kepada masyarakat, melaui pelayanan teknis farmasi dan informasi.
Mengelola, melaksanakan, dan mengawasi administrasi yang meliputi administrasi-administrasi umum, kefarmasian, keuangan, dan personalia.
Menguasai dan melaksanakan peraturan perundang-undangan farmasi yang berlaku, seperti pelaporan bulanan narkotika.
Melakukan kegiatan pengembangan dengan jalan mengikuti dan merencanakan usaha pengembangan apotek, meningkatkan pelaksanaan dan kegiatan usaha di bidang manajemen apotek.
Membuat laporan dan memberikan data kegiatan apotek kepada BM Bandung.
Apoteker Pendamping
Apoteker pendamping yaitu apoteker yang bekerja di apotek di samping APA dan/atau menggantikan pada jam-jam tertentu pada hari buka apotek. Apotek ini mempunyai satu orang Apoteker Pendamping yang melaksanakan pekerjaan kefarmasiannya sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan.
Tenaga Teknis Kefarmasian
Dalam melaksanakan kegiatan di Apotek TTK bertanggung jawab langsung kepada APA. Tugas dan tanggung jawab dari seorang tenaga teknis kefarmasian meliputi :
Menyiapkan permintaan resep (menimbang, meracik, dan mengemas etiket) sesuai permintaan resep.
Memeriksa kebenaran obat sebelum diserahkan kepada pasien meliputi bentuk sediaan, jumlah obat, nama, nomor resep dan cara pemakaian obat.
Membuat kuitansi dan salinan resep (copy resep) untuk obat yang perlu diulang, obat yang baru diserahkan sebagian, obat yang belum diserahkan atas permintaan pasien.
Memberikan harga pada setiap resep dokter yang masuk
Mengontrol persediaan obat di ruang racik'
Mengisi buku defekta bila persediaan obat sudah hampir habis
Menyerahkan obat dan perbekalan farmasi lainnya kepada pasien dan memberikan informasi lain yang diperlukan.
Pada keadaan darurat dapat menggantikan pekerjaan kasir, melayani penjualan obat bebas dan menggantikan juru resep.
Mencatat barang yang masuk dan keluar berdasarkan kartu stok
Turut berpartisipasi dalam pelaksanaan dan sanitasi atau kebersihan di ruang peracikan.
Pengelolaan Apotek
Apotek Kimia Farma Cipacing memberikan pelayanan setiap hari selama 14 jam. Jam kerja pegawai terbagi dalam 2 shift yaitu shift pagi dimulai dari jam 08.00-15.00 dan shift siang jam 15.00-22.00. Sebagai apotek pelayanan, kegiatan utama yang dilakukan meliputi kegiatan kefarmasian baik yang bersifat teknis maupun non teknis.
Kegiatan Teknis Kefarmasian
Kegiatan teknis kefarmasian yaitu terkait pengelolaan perbekalan farmasi yang meliputi pengadaan, penerimaan, penyimpanan, dan pemusnahan perbekalan farmasi.
Pengadaan Perbekalan Farmasi
Pengadaan pembekalan farmasi dilakukan untuk menjamin tersedianya perbekalan farmasi di apotek. Pengadaan perbekalan farmasi di Apotek Kimia Farma Cipacing dilakukan secara selektif menggunakan sistem Droping Center yang bersumber dari pareto, BPBA (Bon Permintaan Barang Apotek, dan disegerakan/Cito. Sistem pareto, yaitu sistem yang memprioritaskan penyediaan barang-barang yang laku atau berdasarkan kebutuhan dan seringnya barang tersebut dicari orang. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya menumpukan barang yang berlebih. Keuntungan lain dari sistem pareto adalah perputaran modal menjadi cepat, menghindari kerusakan barang, dan memperkecil kemungkinan barang hilang. Selain berdasarkan analisis pareto. Obat, alat kesehatan dan barang-barang HV (Handverkoop) yang tingal sedikit atau sudah habis dicatat di buku defekta yang tinggal sedikit atau sudah habis dicatat pada buku defekta dan statusnya tertulis pada data shaf komputer, kemudian pemesanan dan pembelian barang didasarkan pada data shaf. Jumlah yang akan dipesan didasarkan pada perkiraan kebutuhan sebelumnya. Barang-barang yang akan dipesan serta jumlahnya selanjutnya dibuat sebagai Bon Permintaan Barang Apotek (BPBA).
Pengadaan barang dilakukan melalui Unit Bisnis Bandung (BM Bandung). Permintaan barang dilakukan dengan mentransfer Bon Permintaan Barang Apotek (BPBA) melalui Kimia Farma Information System (KIS). Jika barang tidak tersedia di gudang BM, bagian pengadaan akan membuat SP ke PBF yang menjual obat tersebut, barang dari PBF akan disimpan di gudang yang selanjutnya di drop ke apotek yang memesan, namun jika pemesanan bersifat cito, PBF akan langsung mengirimkan ke apotek yang memesan. Namun, bila permintaan barang yang tercantum dalam Bon Permintaan Barang Apotek (BPBA) tidak sepenuhnya dipenuhi oleh BM Bandung selama 1 peride pemesanan, maka dicantumkan kembali barang tersebut pada BPBA selanjutnya.
Khusus untuk pengadaan narkotika dan psikotropika, pemesanan dilakukan oleh apotek melalui surat (SP) khusus yang harus di ditandatangani oleh APA. Untuk pemesanan narkotika, satu lembar SP hanya diperbolehkan untuk memesan satu jenis produk, kemudian barang akan dikirimkan langsung oleh PBF khusus narkotika, satu lembar SP hanya diperbolehkan untuk memesan satu jenis produk, kemudian barang akan dikirimkan langsung oleh PBF khusus untuk narkotika yaitu Kimia Farma ke apotek. Untuk pemesanan psikotropika, satu SP boleh mencantumkan lebih dari satu jenis produk, kemudian barang dikirimkan langsung oleh PBF yang di tunjuk ke apotek.
Pengadaan yang dilakukan oleh apotek dapat dikelompokkan menjadi pengadaan rutin, pengadaan mendesak, pengadaan tunai, dan konsinyasi. Untuk pengadaan yang bersifat mendesak, apotek juga dapat meminta langsung dari apotek Kimia Farma terdekat yang berada pada naungan BM yang sama, barang dapat diambil langsung di apotek Kimia Farma tertentu dan stok barang di masing-masing apotek Kimia Farma disesuaikan dengan menggunakan sistem Droping.
Penerimaan Perbekalan Farmasi
Penerimaan barang di Apotek Kimia Farma Cipacing dapat berasal dari dua sumber yaitu dari gudang BM dan dari distributor. Perbekalan farmasi yang telah dipesan akan dikirim ke apotek disertai faktur, kemudian petugas apotek melakukan pemeriksaan terhadap barang yang diterima meliputi nama, kemasan, jumlah, tanggal kedaluarsa, nomor batch dan kondisi barang serta dilakukan pencocokan antara faktur dengan surat pesanan yang meliputi nama, kemasan, jumlah, harga barang, diskon serta nama distributor.
Jika sudah sesuai maka paraf tanda tangan, nama petugas yang menerima barang, tanggal penerimaan, dan waktu kedatangan barang, untuk obat golongan psikotropika dan narkotika disertakan juga SIP APA. Setelah proses pengecekan dan penerimaan selesai, dilakukan proses Droping dengan menggunakan sistem KIS untuk memasukkan stok barang yang terkini setelah barang ditambahkan. Jika barang berasal dari PBF langsung, apabila barang yang diterima tidak sesuai, faktur diberi stempel blok penerimaan barang, dan fraktur diberi nomor. Faktur yang asli diserahkan ke PBF sebagai tanda terima dan akan digunakan sebagai alat tagih. Dua salinannya ditinggal di apotek untuk arsip, dan untuk diserahkan ke apotek administrator. Kemudian seluruh transaksi pembelian dimasukan kedalam data komputer pada kolom administrasi pembelian. Jika barang yang datang dari PBF tidak sesuai dengan surat pesanan, maka dibuat surat "retur" untuk kemudian barangnya dikembalikan ke distributor yang bersangkutan untuk selanjutnya ditukar. Namun, bila barang tersebut berasal dari BM maka dibuat retur ke BM.
Penyimpanan Perbekalan Farmasi
Secara garis besar Apotek Kimia Farma Cipacing dibagi menjadi 2 layout utama, yaitu area swalayan dan farmasi (ethical). Area swalayan terdiri dari golongan obat-obat bebas san bebas terbatas, alat kesehatan, serta produk kesehatan lainnya. Secara detail, pada area swalayan seluruh produk disusun dan dikelompokkan berdasarkan kategori. Kategori tersebut adalah skin care, soap and body wash, hair care, oral care, personal care, traditional medicine, vitamin and mineral, topical, first aid, baby diapers, baby and child care, milk and nutrition, food supplement, adult diapers, dan paper product. Kemudian pada tiap kategori tersebut, produk disusun berdasarkan abjad. Pada swalayan farmasi ini juga menyediakan informasi bagi pasien berupa brosur/leaflet.
Sedangkan pada area farmasi terdiri dari obat-obat ethical yang terdiri dari golongan G, narkotika, psikotropika dan obat-obat yang membutuhkan penanganan khusus seperti sediaan supositoria dan insulin. Pada area farmasi ini obat-obat dikelompokkan berdasarkan berdasarkan farmakologi nya dan pada setiap kelompok farmakologi disusun kembali berdasarkan abjad nya. Pengelompokan pada area faramasi ini terdiri dari vitamin, generic, antibiotik, pencernaan, hormon, antidiabetes, kardiovaskular, urinary, alergi, kontrasepsi, narkotika dan psikotropika, dan in health. Sebagian obat-obar pada area ini juga disusun berdasarkan bentuk sediaan yang membutuhkan suhu lemari pendingin dalam penanganannya. Jadi, penyimpanan sediaan farmasi di Apotek Kimia Farma Cipacing disusun berdasarkan kelas terapi (sifat farmakologis), bentuk sediaan, suhu stabilitas, dan disusun secara alfabetis. Diarea farmasi ini juga terdapat serangkaian kegiatan yang meliputi : penerimaan, pengawasan, pengendalian persediaan, dan pengeluaran obat.
Setiap asisten apoteker bertanggung jawab atas lemari penyimpanan obat yang telah ditetapkan, meliputi kerapian, kebersihan, dan kelengkapan/stok obat yang ada di lemarinya. Setiap pemasukan dan penggunaan obat/barang harus selalu di input kedalam komputer dan dicatat pada buku/ kartu stok, meliputi tanggal pengisian/ pengambilan, nomor dokumen, jumlah barang yang diisi/ diambil, sisa barang, dan paraf petugas yang melakukan pengisian/ pengambilan barang. Kartu stok harus selalu diisi dengan lengkap dan rapi serta diletakkan di masing-masing kotak obat/ barang.
Penyaluran Barang
Penyaluran Perbekalan farmasi di Apotek Kima Farma Cipacing meliputi :
Pelayanan Obat Atas Resep Tunai
Alurnya dimulai dengan diterimanya resep oleh petugas apotek, selanjutnya dilakukan pemeriksaan kelengkapan, kemudian diperiksa stok barangnya. Bila barang tersedia, maka petugas akan menghitung dan menginformasikan harga obat kepada pasien. Bila pasien setuju, pasien akan membayar harga obat, kemudian masing-masing resep dimasukkan kedalam komputer meliputi nomor urut resep, nama dokter, nama pasien, alamat pasien, harga dan jumlah obat yang dibeli. Kemudian obat disiapkan oleh bagian peracikan dan diberikan etiket serta aturan pakai nya yang jelas. Setelah semuanya siap, maka dilakukan pemeriksaan ulang sebelum diserahkan kepada pasien. Obat diserahkan kepada pasien disertai dengan informasi yang dibutuhkan serta salinan resep atau kuitansi apabila diperlukan. Petugas yang melakukan peracikan, masing-masing harus menandatangani kolom-kolom harga, timbang/ racik, periksa, etiket, kuitansi/copy resep, ambil dan serah yang tersedia dalam print-out resep, sesuai dengan tugas yang dikerjakannya.
Pelayanan Obat Tanpa Resep Dokter
Pelayanan ini dilakukan berdasarkan permintaan langsung dari pasien. Biasanya terdiri dari obat-obat wajib apotek yang dapat diberikan tanpa resep dokter atau obat-obat Untuk Pengobatan Diri Sendiri (UPDS), asisten apoteker terlebih dahulu akan menanyakan keluhan, gejala penyakit, dan juga menanyakan nama serta alamat pasien. Pada print-out pembayarannya ditempelkan formulir UPDS yang kemudian dikumpulkan dan di arsipkan setiap hari.
Pelayanan Obat Narkotika dan Psikotropika
Pelayanan obat-obatan narkotika hanya dapat dilakukan jika terdapat resep asli dari dokter. Resep yang diterima harus mencantumkan nama dokter, alamat, nomor SIP (Surat Izin Praktik), serta nama dan alamat pasien secara lengkap. Resep tersebut harus dipisahkan penyimpanannya, dan dibawah nama obatnya harus diberi tanda merah. Jika obat yang dibeli tidak seluruhnya, maka harus dibuat salinan resepnya dan hanya dapat ditebus kembali di apotek yang sama. Pengadaan dan penyerahan obat-obat narkotika harus dilaporkan setiap bulannya.
Pelayanan Obat Dengan Resep Kredit
Resep kredit adalah resep yang ditulis dokter yang bertugas pada suatu instansi atau perusahaan untuk pasien dari instansi yang telah mengadakan kerja sama dengan apotek yang sering disebut Ikatan Kerja Sama (IKS), pembayaran dilakukan dalam jangka waktu tertentu berdasarkan perjanjian yang telah disepakati bersama. Pelayanan resep kredit dapat dilakukan melalui faksi mili, telepon, selanjutnya asisten apoteker akan membuat salinan resep atau pasien datang sendiri membawa resep yang telah diberikan oleh dokter perusahaan. Prosedur pelayanan resep kredit pada dasarnya sama dengan pelayanan resep tunai, hanya saja pada pelayanan resep kredit terdapat beberapa perbedaan seperti:
Setelah resep kredit diterima dan diperiksa kelengkapannya maka tidak dilakukan penetapan harga dan pembayaran oleh pasien. Pasien cukup menunjukkan kartu identitas kepegawaian nya kepada petugas apotek dan memenuhi administrasinya, kemudian resep langsung dikerjakan oleh petugas apotek.
Penomoran resep kredit dibedakan dengan resep tunai. Resep diberi nomor urut resep dalam lembar pemeriksaan proses resep.
Pada saat penyerahan obat, petugas akan meminta tanda tangan pasien pada lembar tanda terima obat.
Resep, lembar penagihan, nomor resep, nama pasien dan harga obat dicatat dalam tanda terima kredit. Tanda terima kredit tersebut terdiri dari tiga rangkap, masing-masing untuk arsip, untuk pasien dan untuk penagih.
Resep disusun dan disimpan terpisah dari resep tunai kemudian dikumpulkan dan dijumlahkan nilai rupiahnya berdasarkan masing- masing instansi atau perusahaan dan dibuat lembar atau kuitansi penagihan untuk dilakukan penagihan pada saat jatuh tempo pembayaran sesuai kesepakatan bersama.
Kegiatan Non Teknis Kefarmasian
Kegiatan non teknis kefarmasian yang dilakukan oleh Apotek Kimia Farma Cipacing hanya berupa administrasi harian dalam bentuk :
Administrasi Resep
Administrasi ini berupa pencatatan data pasien, pembuatan kuitansi dan salinan resep.
Administrasi Non Resep
Administrasi keuangan
Secara berkala Apotek Kimia Farma Cipacing mempunyai kewajiban untuk melaporkan :
Bukti Setoran Kas (BSK)
Dibuat oleh kasir sebagai tanda terima dari APA atas hasil penjualan tunai pada tiap shift dan bukti setoran kas ini di validasi dan dicetak oleh APA.
Laporan Ikhtisar Penjualan Harian (LIPH)
Laporan ini dibuat pada akhir transaksi hari berjalan untuk pembayaran tunai. Laporan ini memberikan informasi jumlah penjualan OTC, UPDS, HV, debet dan tunai. Laporan ini dibuat dan divalidasi oleh APA. Khusus untuk laporan konsinyasi dibuat terpisah dan dicetak per supplier serta direkap tiap bulan.
Laporan Realisasi Penggunaan Dana Kas Kecil (LRPDKK)
Laporan ini merupakan laporan mengenai penggunaan kas kecil (petty cash) untuk keperluan operasional apotek, misalnya untuk pembayaran listrik, air, bensin, keamanan dan lain-lain. Laporan ini dibuat oleh bagian administrasi yang ditunjuk dan diketahui oleh APA, biasanya laporan ini divalidasi tiap 2 minggu.
Administrasi barang
Kegiatan meliputi pembuatan dan pengarsipan dokumen pembelian (faktur pembelian), defekta, Bon Permintaan Barang Apotek (BPBA), Surat Pesanan (terutama narkotika dan psikotropika), kartu stok, laporan stock opname dan lain-lain.
Administrasi SDM
Kegiatannya meliputi tata tertib pegawai, pengaturan jadwal kerja, absensi, lembur pegawai, perhitungan hari kerja, cuti dan lain-lain.
Pelayanan Farmasi Klinik
Tata Cara Pelayanan Obat Bebas
Tata cara pelayanan obat bebas di Apotek Kimia Farma melalui swalayan farmasi, dengan adanya swalayan farmasi pasien boleh memilih obat HV (obat bebas) menurut apa yang dibutuhkan oleh pasien. Dan letak dari obat HV tersebut sudah diletakkan di tempatnya masing-masing serta obat HV tersebut sudah dikelompokkan menurut khasiat obat dan diurutkan berdasarkan abjad agar pasien mudah mencari obat yang ingin dibeli, dan tidak bingung pada saat mencarinya dan terlihat lihat rapi dari pada ditata secara asal-asalan.
Tata Cara Pelayanan Obat Dengan Resep
Penerimaan Resep
Pemeriksaan keabsahan dan kelengkapan resep : Nama, alamat, SIP, tanda tangan atau paraf dokter penulis resep, nama obat, jumlah, aturan pakai, nama pasien, umur, alamat, dan nomor telepon.
Pemberian nomor resep
Penetapan harga
Pemeriksaan ketersediaan obat
Perjanjian dan pembayaran
Pengambilan obat semua atau sebagian
Ada atau tidak penggantian obat diatas persetujuan dokter
Pembayaran tunai atau kredit
Validasi dan penyerahan nomor resep
Pembuatan kuitansi dan salinan resep
Peracikan
Penyiapan etiket atau penandaan obat dan kemasan
Peracikan obat (hitung dosis resep, campur, kemas)
Penyajian hasil akhir peracikan
Pemeriksaan Akhir
Kesesuaian hasil peracikan dengan resep : Nomor resep, nomor obat, bentuk dan jenis sediaan obat, dosis pemakaian, aturan pakai, nama pasien, umur, alamat, dan nomor telepon.
Kesesuaian salinan resep dengan resep yang asli
Kebenaran kuitansi
Penyerahan Obat dan Pemberian Informasi
Pelayanan obat harus disertai dengan penjelasan informasi obat
Tanda terima pasien atau penerimaan obat
Layanan Purna Jual
Komunikasi dan informasi tiap waktu
Penggantian obat bila diperlukan
BAB IV
TUGAS KHUSUS
IV.1 Latar Belakang
Obat merupakan komponen pelayanan kesehatan yang sangat mempengaruhi kesembuhan penyakit dan komplikasi yang mungkin timbul. Disisi lain, kesalahan pemberian obat sering berujung pada kondisi serius hingga menyebabkan kematian (Fitrianingsih, D & Zulkoni, A, 2009). Saat ini antibiotik merupakan salah satu obat yang dapat diperoleh dengan mudah oleh masyarakat tanpa menggunakan resep dokter di apotek dan biasanya tanpa disertai dengan pemberian informasi yang memadai dari pekerja pelayanan kesehatan. Informasi yang kurang disertai dengan pengetahuan pasien yang sangat kurang dalam penggunaan antibiotik yang tepat merupakan salah satu faktor penyebab meningkatnya resistensi mikroorganisme terhadap beberapa jenis antibiotik (Mayasari, D, 2013).
Pendidikan tentang pengetahuan antibiotik terhadap masyarakat menjadi salah satu upaya untuk meminimalisir terjadinya resistensi. Di beberapa negara telah melakukan sosialisasi terhadap masyarakat mengenai pengetahuan tentang antibiotik. Peran apoteker sangatlah penting dalam pelayanan informasi obat melalui konseling dan monitoring penggunaannya. Memerlukan proses dan waktu yang panjang sehingga penggunaan antibiotik tidak dapat diawasi secara langsung, sehingga memungkinkan untuk penggunaan yang kurang tepat (Depkes, 2008).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sangat mengkhawatirkan tingginya peningkatan jumlah resistensi bakteri di semua wilayah di dunia. Pengobatan dengan antibiotik tanpa resep dokter, tidak hanya terjadi di negara-negara sedang berkembang, tetapi juga di negara- negara maju. Selebihnya di negara-negara Eropa seperti Romania, dan Lithuania, juga ditemukan prevalensi yang tinggi pada pengobatan sendiri dengan antibiotik (AL-Azzam, 2007). Penelitian di Riyadh, Saudi Arabia juga menunjukkan tingginya penggunaan antibiotik tanpa resep dokter yaitu 77, 6%. Penggunaan antibiotik tertinggi untuk mengobati sakit tenggorokan dan diare (90%), diikuti oleh infeksi saluran kencing (75%), bronkhitis akut (73%), otitis media (51%) dan sinusitis akut (40%). Metronidazole (89%) dan ciprofloxacin (86%) yang umumnya diberikan untuk diare dan infeksi saluran urine, sedangkan amoxicillin/klavulanat diberikan (51%) untuk kasus lainnya (Abdulhak et al, 2011). Dari pernyataan di atas dapat di simpulkan bahwa penggunaan antibiotik banyak digunakan pada kasus diare dan ISPA.
Salah satu efek samping yang ditakutkan dari antibiotik adalah munculnya bakteri yang resisten terhadap antibiotik tersebut. Munculnya resistensi ini akan merugikan pasien dan beban negara menjadi lebih besar. Sebagai gambaran, pemerintah USA mengeluarkan tambahan 20 milyar USD untuk menanggung biaya kesehatan, 35 milyar USD untuk biaya sosial karena resistensi. Dan terjadi kematian 2x lebih besar karena antibiotik (APUA, 2010). Data di Inggris, menyebutkan bahwa seseorang yang menderita resistensi terhadap satu macam antibiotik, menanggung biaya 3,62 pound disbanding jika tidak terjadi resistensi. Data di Indonesia belum ada penelitian yang mengeksplorasi beban yang harus ditanggung pasien maupun negara akibat resistensi ini.
Kurangnya pengetahuan tentang penggunaan antibiotik menyebabkan kesalahan dalam penggunaan. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional dapat menyebabkan resistensi. Resistensi merupakan kemampuan bakteri dalam menetralisir dan melemahkan daya kerja antibiotik. Masalah resistensi selain berdampak pada morbiditas dan mortalitas juga memberi dampak negatif terhadap ekonomi dan sosial yang sangat tinggi. Pada awalnya resistensi terjadi di tingkat rumah sakit, tetapi lambat laun juga berkembang di lingkungan masyarakat, khususnya Streptococcus Pneumoniae (SP), Staphylococcus aureus, dan Eescherichia Coli (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2406 / MENKES/ PER / XII/ 2011) dalam Fernandez, Beatrix Anna Maria (2013). Dampak negatif akibat penggunaan antibiotika yang tidak rasional adalah resistensi kuman terhadap banyak obat (multidrug-resistance). Hal ini mengakibatkan pengobatan menjadi tidak efektif, peningkatan morbiditas maupun mortalitas pasien, dan peningkatan biaya kesehatan (Directorate General of Medical Care Mini try of Health Republic of Indonesia, 2005) dalam Fernandez, Beatrix Anna Maria (2013).
Namun, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan pada penggunaan antibiotik di kalangan masyarakat diperlukan edukasi dan berbagai aspek yang berkaitan dengan penggunaan antibiotik, agar tingkat pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang antibiotik dan penggunaannya dapat mencapai tahap yang diinginkan. Sehingga tidak terjadi penyalahgunaan antibiotik di kalangan masyarakat. Hal ini dapat difasilitasi dengan komunikasi yang lebih efektif antara tenaga medis dengan pasien (masyarakat pada umumnya), sehingga meningkatkan pengetahuan dan pemahaman pasien dan masyarakat terhadap keuntungan dan kerugian antibiotik. Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang "Pengetahuan Masyarakat tentang Antibiotik dan Penggunaannya di masyarakat.
IV.2 Tinjauan Pustaka
IV.2.1 Pengertian Antibiotik
Antibiotik merupakan senyawa yang dihasilkan oleh mikroba yang berfungsi untuk membunuh atau menekan pertumbuhan bakteri. Prinsip umum terapi dengan menggunakan antibiotik yaitu memiliki efek samping yang rendah bagi tubuh manusia dan mempunyai toksisitas selektif terhadap bakteri patogen (Nugroho, 2011).
IV.2.2 Mekanisme Kerja Antibiotik
Beberapa antibiotik bekerja terhadap dinding sel (penisilin dan sefalosforin) atau membran sel (kleompok polimiksin), tetapi mekanisme kerja yang terpenting adalah perintangan selektif metabolisme protein bakteri sehingga sintesis protein bakteri dapat terhambat dan kuman musnah atau tidak berkembang lagi misalnya kloramfenikol dan tetrasiklin.
Diluar bidang terapi, antibiotik digunakan dibidang peternakan sebagai zat gizi tambahan guna mempercepat pertumbuhan ternak, dan unggas yang diberi penisilin, tetrasiklin erithomisin atau basitrasin dalam jumlah kecil sekali dalam sehari harinya, bertumbuh lebih besar dengan jumlah makanan lebih sedikit (Halim, H.. 2003).
IV.2.3 Golongan Obat Antibiotik
Penggolongan antibiotik dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Siswandono dan Soekardjo, 2000):
Berdasarkan struktur kimia antibiotik
Berdasarkan struktur kimianya, antibiotik dikelompokkan sebagai berikut:
Golongan Aminoglikosida, antara lain amikasin, dibekasin, gentamisin, kanamisin, neomisin, netilmisin, paromomisin, sisomisin, streptomisin, tobramisin.
Golongan Beta-Laktam, antara lain golongan karbapenem (ertapenem, imipenem, meropenem), golongan sefalosporin (sefaleksin, sefazolin, sefuroksim, sefadroksil, seftazidim), golongan beta-laktam monosiklik, dan golongan penisilin (penisilin, amoksisilin).
Golongan Glikopeptida, antara lain vankomisin, teikoplanin, ramoplanin dan dekaplanin.
Golongan Makrolida, antara lain eritromisin, azitromisin, klaritromisin, roksitromisin.
Golongan Tetrasiklin, antara lain doksisiklin, oksitetrasiklin, klortetrasiklin.
Golongan Polipeptida, antara lain polimiksin dan kolistin.
Golongan Kuinolon, antara lain asam nalidiksat, siprofloksasin, ofloksasin, norfloksasin, levofloksasin, dan trovafloksasin.
Golongan Oksazolidinon, anatara lain linezolid.
Golongan Sulfonamida dan turunannya, antara lain sulfadiazin, sulfametoksazol, dapson, dan asam paraaminosalisilat.
Golongan Diaminopirimidin, antara lain trimetoprim dan pirimetamin.
Golongan Turunan Nitrobenzen, antara lain kloramfenikol.
Golongan Linkosamida, antara lain klindamisin dan linkomisin.
Golongan Nitroimidazol, antara lain metronidazol dan tinidazol.
Golongan Turunan Asam Nikotinat, antara lain isoniazid, pirazinamid, dan etionamid.
Golongan Antibiotik Polien, antara lain nistatin dan amfoterisin B.
Golongan Turunan Azol, antara lain mikonazol, ketokonazol, dan flukonazol.
Golongan Nitrofuran,antara lain nitrofurantoin dan furazolidin.
Antibiotik lain yang penting, seperti rifampisin, etambutol, spektinomisin, griseofulvin, tiasetazon, clofazimin.
Berdasarkan aktivitas antibiotik
Berdasarkan aktivitasnya, antibiotik dikelompokkan sebagai berikut (Kee dan Hayes, 1996):
Antibiotik spektrum luas (broad spectrum)
Golongan ini efektif untuk melawan beberapa jenis organisme, contohnya seperti tetrasiklin dan sefalosporin efektif terhadap organisme baik gram positif maupun gram negatif. Antibiotik berspektrum luas sering kali dipakai untuk mengobati penyakit infeksi yang belum diidentifikasi dengan pembiakan dan sensitifitas.
Antibiotik spektrum sempit (narrow spectrum)
Golongan ini efektif untuk melawan satu jenis organisme, contohnya penisilin dan eritromisin dipakai untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram positif. Karena antibiotik berspektrum sempit bersifat selektif, maka obat-obat ini lebih aktif dalam melawan organisme tunggal tersebut daripada antibiotik berspektrum luas.
Berdasarkan pola bunuh antibiotik
Terdapat 2 pola bunuh antibiotik terhadap kuman yaitu (Anonim, 2008):
Time dependent killing.
Pada pola ini antibiotik akan menghasilkan daya bunuh maksimal jika kadarnya dipertahankan cukup lama di atas kadar hambat minimal (KHM) kuman, sebagai contoh adalah pada antibiotik penisilin, sefalosporin, linezoid, dan eritromisin.
Concentration dependent killing.
Pada pola ini antibiotik akan menghasilkan daya bunuh maksimal jika kadarnya relatif tinggi atau dalam dosis besar, tetapi tidak memerlukan mempertahankan kadar tinggi ini dalam waktu lama, misalnya pada antibiotik golongan aminoglikosida dan fluorokuinolon.
IV.2.4 Faktor Kegagalan Terapi
Keberhasilan terapi dengan antibiotik pada kasus infeksi dapat dilihat secara klinik dan mikrobiologi dimana secara klinik dapat digambarkan dengan kondisi pasien yang membaik, sedangkan secara mikrobiologi dapat dilihat dari eradikasi mikroorganisme yang menginfeksi. Berikut ini adalah faktor–faktor yang dapat menyebabkan kegagalan terapi antibiotik (Tripathi, 2008).
Pemilihan jenis antibiotik, dosis, rute pemberian, durasi pengobatan yang tidak sesuai dengan kasus infeksi.
Penatalaksanaan terapi dengan antibiotik yang terlambat diberikan.
Pertahanan tubuh pasien yang menerima antibiotik sangat buruk, seperti pada pasien leukimia, neutropenia dan kasus infeksi lainnya.
Kesalahan atau kegagalan dalam mengatasi hal-hal mekanik seperti drainase abses, empisema, pengeluaran batu ginjal, pencucian luka, teknik debrimen.
Terapi penyakit yang tidak tepat penyebabnya dengan antibiotik misalnya penyakit yang disebabkan oleh virus, malignansi, parasit.
Munculnya organisme resisten atau organisme yang menginfeksi berubah sehingga dapat menyebabkan kekambuhan.
IV.2.5 Resistensi Bakteri
Resistensi didefinisikan sebagai tidak terhambatnya pertumbuhan bakteri dengan pemberian antibiotik secara sistemik dengan dosis normal yang seharusnya atau kadar hambat minimalnya (Tripathi, 2003). Resistensi terjadi ketika bakteri berubah dalam satu atau lain hal yang menyebabkan turun atau hilangnya efektivitas obat dalam mengobati infeksi. Bakteri yang mampu bertahan hidup dan berkembang biak, menimbulkan lebih banyak bahaya. Kepekaan bakteri terhadap kuman ditentukan oleh kadar hambat minimal yang dapat menghentikan perkembangan bakteri (Bari dkk.,2008). Suatu bakteri dapat menjadi resisten terhadap antibiotik karena sebagai berikut (Nugroho, 2011):
Bakteri mensintesis suatu enzim yang dapat menginaktivasi antibiotik, misalnya Staphylococci merupakan bakteri memproduksi enzim β lactamase yang dapat memecah cincin β-lactam dari penisilin (antibiotik golongan β-lactam).
Bakteri mengubah sisi ikatan obat (drug-binding site), misalnya perubahan protein sisi ikatan pada subunit 50S yang diperatarai plasmid mengakibatkan resistensi terhadap eritromisin.
Bakteri mengembangkan jalur lain untuk menghindari reaksi yang dihambat oleh antibiotik, misalnya pada kasus resistensi bakteri terhadap trimetropim. Produksi dihidrofolat reduktase oleh plasmid yang tidak mempunyai afinitas terhadap trimetropim mengakibatkan resistensi terhadap antibiotik tersebut. Resistensi sulfonamid juga diperantarai plasmid, menghasilkan bentuk dihidropteroat sintetase oleh plasmid tersebut dengan afinitas rendah terhadap sulfonamid, namun berafinitas tinggi terhadap p-amino benzoic acid (PABA).
Bakteri menurunkan pengambilan obat kembali (drug uptake), misalnya gen resisten dalam plasmid yang mengkode protein yang dapat terinduksi dalam membran bakteri, mengakibatkan proses efluks yang tergantung energi (energy-dependent efflux) terhadap tetrasiklin.
Terdapat beberapa faktor yang mendukung terjadinya resistensi, antara lain (Depkes RI, 2011):
Penggunaannya yang kurang tepat (irrasional) dimana pemakaiannya terlalu singkat, dalam dosis yang terlalu rendah, diagnosa awal yang salah, dalam potensi yang tidak adekuat.
Faktor yang berhubungan dengan pasien yaitu pada pasien dengan pengetahuan yang salah akan cenderung menganggap wajib diberikan antibiotik dalam penanganan penyakit meskipun disebabkan oleh virus, misalnya flu, batuk-pilek, demam yang banyak dijumpai di masyarakat. Pasien dengan kemampuan finansial yang baik akan meminta diberikan terapi antibiotik yang paling baru dan mahal meskipun tidak diperlukan. Bahkan pasien membeli antibiotik sendiri tanpa peresepan dari dokter (self medication). Sedangkan pasien dengan kemampuan finansial yang rendah seringkali tidak mampu untuk menuntaskan regimen terapi.
Peresepan dalam jumlah besar, meningkatkan unnecessary health care expenditure dan seleksi resistensi terhadap obat-obatan baru. Peresepan meningkat ketika diagnosa awal belum pasti. Klinisi sering kesulitan dalam menentukan antibiotik yang tepat karena kurangnya pelatihan dalam hal penyakit infeksi dan tatalaksana antibiotiknya.
Penggunaan monoterapi dibandingkan dengan penggunaan terapi kombinasi, penggunaan monoterapi lebih mudah menimbulkan resistensi.
Perilaku hidup tidak sehat terutama bagi tenaga kesehatan, misalnya tidak mencuci tangan setelah memeriksa pasien atau desinfeksi alat-alat yang akan dipakai untuk memeriksa pasien.
Penggunaannya untuk hewan dan binatang ternak dimana antibiotik juga dipakai untuk mencegah dan mengobati penyakit infeksi pada hewan ternak. Dalam jumlah besar antibiotik digunakan sebagai suplemen rutin untuk profilaksis atau merangsang pertumbuhan hewan ternak. Bila dipakai dengan dosis subterapeutik, akan meningkatkan terjadinya resistensi.
Promosi komersial dan penjualan besar-besaran oleh perusahaan farmasi serta didukung pengaruh globalisasi, memudahkan terjadinya pertukaran barang sehingga jumlah antibiotik yang beredar semakin luas. Hal ini memudahkan akses masyarakat luas terhadap antibiotik.
Kurangnya penelitian yang dilakukan para ahli untuk menemukan antibiotik baru
Lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah dalam distribusi dan pemakaian antibiotik, misalnya, pasien dapat dengan mudah mendapatkan antibiotik meskipun tanpa peresepan dari dokter. Selain itu juga kurangnya komitmen dari instansi terkait baik untuk meningkatkan mutu obat maupun mengendalikan penyebaran infeksi.
IV.2.6 Penggunaan Antibioti yang Rasional
WHO menyatakan bahwa lebih dari setengah peresepan obat diberikan secara tidak rasional. Kriteria pemakaian obat yang rasional, antara lain (Depkes RI, 2008):
Sesuai dengan indikasi penyakit
Pengobatan didasarkan atas keluhan individual dan hasil pemeriksaan fisik yang akurat.
Diberikan dengan dosis yang tepat
Pemberian obat memperhitungkan umur, berat badan dan kronologis penyakit.
Cara pemberian dengan interval waktu pemberian yang tepat
Jarak minum obat sesuai dengan aturan pemakaian yang telah ditentukan.
Lama pemberian yang tepat
Pada kasus tertentu memerlukan pemberian obat dalam jangka waktu tertentu.
Obat yang diberikan harus efektif dengan mutu terjamin
Hindari pemberian obat yang kedaluarsa dan tidak sesuai dengan jenis keluhan penyakit. Tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau. Jenis obat mudah didapatkan dengan harganya relatif murah.
Meminimalkan efek samping dan alergi obat
Prinsip penggunaan antibiotik yang bijak menurut Kepmenkes tahun 2011, yaitu:
Penggunaan antibiotik bijak yaitu penggunaan antibiotik dengan spektrum sempit, pada indikasi yang ketat dengan dosis yang adekuat, interval dan lama pemberian yang tepat.
Kebijakan penggunaan antibiotik (antibiotic policy) ditandai dengan pembatasan penggunaan antibiotik dan mengutamakan penggunaan antibiotik lini pertama.
Pembatasan penggunaan antibiotik dapat dilakukan dengan menerapkan pedoman penggunaan antibiotik, penerapan penggunaan antibiotik secara terbatas (restricted), dan penerapan kewenangan dalam penggunaan antibiotik tertentu (reserved antibiotics).
Indikasi ketat penggunaan antibiotik dimulai dengan menegakkan diagnosis penyakit infeksi, menggunakan informasi klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium seperti mikrobiologi, serologi, dan penunjang lainnya. Antibiotik tidak diberikan pada penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus atau penyakit yang dapat sembuh sendiri (self-limited).
Pemilihan jenis antibiotik harus berdasar pada:
Informasi tentang spektrum kuman penyebab infeksi dan pola kepekaan kuman terhadap antibiotik.
Hasil pemeriksaan mikrobiologi atau perkiraan kuman penyebab infeksi.
Profil farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik.
Melakukan de-eskalasi setelah mempertimbangkan hasil mikrobiologi dan keadaan klinis pasien serta ketersediaan obat.
Cost effective: obat dipilih atas dasar yang paling cost effective dan aman.
Penerapan penggunaan antibiotik secara bijak dilakukan dengan beberapa langkah sebagai berikut (Kepmenkes RI, 2011):
Meningkatkan pemahaman tenaga kesehatan terhadap penggunaan antibiotik secara bijak.
Meningkatkan ketersediaan dan mutu fasilitas penunjang
Menjamin ketersediaan tenaga kesehatan yang kompeten di bidanginfeksi.
Mengembangkan sistem penanganan penyakit infeksi secara tim (teamwork).
Membentuk tim pengendali dan pemantau penggunaan antibiotik secara bijak yang bersifat multi disiplin.
Memantau penggunaan antibiotik secara intensif dan berkesinambungan.
Menetapkan kebijakan dan pedoman penggunaan antibiotik secara lebih rincidi tingkat nasional, rumah sakit, fasilitas pelayanan kesehatan lainnya dan masyarakat.
IV.3 Profil Penggunaan Antibiotik Oleh Responden
Profil penggunaan antibiotik oleh responden disusun berdasarkan obat antibiotik yang paling sering digunakan selama satu sampai tiga bulan terakhir sebelum pre-test oleh responden dan bagai mana cara mendapatkannya, apa adakah dengan resep atau tanpa resep.
Dari gambar tersebut dapat dilihat perbandingan tiap obat antibiotik berdasarkan cara mendapatkannya yaitu dengan resep atau tanpa resep. Jumlah responden yang mendapat antibiotik dengan resep sebanyak 38 responden dan responden yang mendapat antibiotik tanpa resep sebanyak 62 responden. Secara keseluruhan Amoxicillin adalah obat antibiotik yang paling sering digunakan. Sedangkan yang paling jarang digunakan adalah Cefixime dan kotrimoksazol. Amoxicillin adalah obat antibiotik yang banyak dikonsumsi tanpa resep dan Cefadroxil adalah obat antibiotik yang paling banyak dikonsumsi dengan resep (Larasari, 2015).
Gambar 4.1 diagram distribusi antibiotik yang digunakan responden selama 1-3 bulan terakhir
Penggunaan antibiotik tanpa resep yang dilakukan responden dapat dijadikan sebagai cerminan perilaku masyarakat yang salah. Penggunaan antibiotik tanpa resep merupakan penggunaan antibiotik tidak rasional. WHO menyebutkan terdapat lebih dari 50 % obat-obatan di dunia diresepkan dan diberikan secara tidak tepat, tidak efektif, dan tidak efisien. Dari data yang diperoleh WHO, penggunaan obat di indonesia masih belum rasional terutama penggunaan antibiotik (Kemenkes, 2011).
Perilaku tidak rasional seorang individu seperti tidak menggunakan resep saat membeli antibiotik dipengaruhi oleh beberapa faktor. Diantaranya adalah pengetahuan dan kepercayaan sosial (Widayati, 2012). Para responden membeli antibiotik tanpa mengetahui penyakit penyakit apa yang sebenarnya diidapnya dan tidak mengetahui apakah antibiotik tersebut adalah obat yang tepat. Dari penelitian sebelumnya diketahui bahwa penggunaan antibiotik tanpa resep dapat dikarenakan para responden menyimpan sisa antibiotik yang telah diresapkan sebelumnya di rumah sehingga saat gejala yang sama timbul, mereka menggunakan antibiotik sisa (Abasaeed, 2009). Kondisi mendesak dan kesulitan mendapatkan pertolongan dari ahli juga dapat memicu penggunaan antibiotik tanpa resep (Khan, 2011). Tidak hanya itu, penggunaan antibiotik tanpa resep juga dikarenakan masyarakat mendapatkan hasil yang baik dengan menggunakan antibiotik yang terdahulu sehingga bisa digunakan untuk penyakit yang sama atau gejala penyakit yang sama (Fernandez, 2013).
IV.4 Pengaruh Pengetahuan Antibiotik Terdapat Rasionalitas Perilaku Penggunaan Antibiotik
Penggunaan antibiotik yang tepat oleh masyarakat membutuhkan pengetahuan yang tepat dan perilaku rasional dalam menggunakannya (Auta, 2013). Sering dijumpai pada masyarakat yang menggunakan obat secara tidak rasional diakibatkan pengetahuannya mengenai obat tersebut minim (Putra, 2010).
Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya bahwa perilaku menggunakan obat antibiotik dipengaruhi oleh pengetahuan penggunaan obat antibiotik (Lestari, 2014). Menurut WHO, pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi oleh pengalaman seseorang dapat dipengaruhi oleh pengalaman, faktor lingkungan orang tersebut seperti fisik maupun non fisik berupa sosial budaya yang mana pengalaman tersebut diketahui, dipersepsikan, dan diyakini sehingga muncul motivasi, niat untuk bertindak, dan akhirnya menjadi perilaku (Notoatmojo dalam Purnamaningrum, 2010).
Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan mata menghasilkan hasil yang sama yaitu pengetahuan tidak berhubungan dengan perilaku (Purnamaningrum, 2010). Hasil berbeda terdapat dalam penelitian yang dilakukan di Surabaya bahwa pengetahuan pengetahuan mempengaruhi rasionalitas perilaku penggunaan obat (Hantoro, 2014). Menurut Notoatmodjo, perilaku itu sendiri ditentukan atau dipengaruhi dari tiga faktor yaitu faktor predisposisi seperti pengetahuan, sikap, keyakinan, dan persepsi, lalu faktor pendukung seperti akses pada pelayanan kesehatan, keterampilan dan adanya referensi, dan faktor pendorong terwujud dalam bentuk dukungan keluarga, tetangga, dan tokoh masyarakat (Notoatmodjo, 2012).
Alasan mengapa dalam penelitian ini pengetahuan tidak berpengaruh terhadap rasionalitas perilaku penggunaan antibiotik masih belum jelas. Namun, pemahaman dan pengetahuan mengenai antibiotik sangat penting dimiliki masyarakat karena keputusan akhir seseorang dalam menggunakan antibiotik adalah berdasarkan pemahamannya (Norris et al dalam So Sun, 2011).
Karena penggunaan antibiotik tidak rasional dikalangan masyarakat maka menyebabkan timbulnya resistensi pada beberapa jenis antibiotik seperti antibiotik golongan beta laktam, resisten oleh Staphylococcus aureus. Resisten itu sendiri adalah kondisi ketika suatu strain bakteri dalam tubuh manusia menjadi resisten (kebal) terhadap antibiotik. Penyebab umumnya terjadi karena :
Penggunaan antibiotik untuk infeksi virus, dimana apabila seseorang terkena infeksi virus maka sangat percuma jika pengobatannya menggunakan antibiotik, karena antibiotik digunakan untuk mengobati infeksi bakteri bukan virus sehingga tidak akan memberikan efek apapun pada penderita infeksi karena virus dan malah dapat menyebabkan seseorang tersebut mengalami resistensi terhadap antibiotik tersebut.
Putus obat atau antibiotik tidak dihabiskan, konsumsi antibiotik yang tidak tuntas atau tidak dihabiskan dapat menyebabkan resistensi. Biasanya setelah beberapa hari mengkonsumsi antibiotik kondisi seseorang akan menjadi lebih baik sehingga bagi sebagian orang karena sudah merasa sehat maka ia menghentikan konsumsi antibiotik tersebut. Namun sebenarnya saat-saat tersebut merupakan waktu dimana bakteri masih dalam keadaan lemah dan belum sepenuhnya mati, maka jika penggunaan antibiotik pada saat tersebut dihentikan bakteri tersebut bisa kembali lagi hidup dan akan menjadi sangat kuat atau kebal terhadap antibiotik tersebut.
Sedangkan untuk pencegahannya dapat dilakukan dengan pemakaian antibiotik secara bijaksana. Baik dokter maupun pasien dapat turut berperan untuk mengurangi penyalahgunaan antibiotik. Antibiotik hanya boleh diresepkan ketika infeksi bakteri telah terjadi. Mengambil antibiotik untuk infeksi virus bukan hanya membuang-buang waktu dan biaya, tetapi juga membantu meningkatkan resistensi antibiotik. Selain itu, setiap pasien harus menyadari bahwa antibiotik harus tetap diambil sampai dosisnya habis meskipun gejala-gejala penyakit sudah hilang.
IV.5 Kesimpulan
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa :
Antibiotik yang banyak digunakan oleh responden amoxicillin. Amoxicillin adalah antibiotik yang paling banyak dikonsumsi tanpa resep dan cefadroxil adalah obat antibiotik yang paling banyak dikonsumsi dengan resep oleh responden.
Faktor yang mendorong masyarakat menggunakan antibiotik tanpa resep adalah karena pengetahuan dan kepercayaan sosial.
Beberapa golongan antibiotik saat ini mengalami resistensi terhadap beberapa bakteri, salah satunya golongan beta laktam terhadap bakteri Staphylococcus aureus.
Penyebab terjadinya resistensi yaitu karena penggunaan antibiotik untuk virus dan penggunaan antibiotik yang tidak tuntas (habis).
IV.6 Daftar Pustaka
Abasaeed, A. J. (2009). Self-Medication With Antibiotics by the Community of Abu Dhabi Emirates, United Arab Emitares. J Infect Dev Citries. 3(7):491-497
Auta. A. E. (2002). The Evolution of Guideline in Era of Cost Containment Surgical Prophylaxis. J Hosp Infect.
Binfar. (2011). Pedoman pelayanan Kefarmasian untuk Terapi Antibiotik. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Depkes R.I., 2008. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta
Fernandez, B. (2013). Studi Penggunaan Antibiotik Tanpa Resep Di Kabupaten Manggarai dan Manggarai Barat NTT. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya Vol. 2. No. 2. 1-17.
Fitrianingsih, D. & Zulkoni, A., 2009, Farmakologi Obat-obat dalam Praktek Kebidanan, Yogyakarta, Nuha Medika, 127-128.
Kee, J.L. dan Hayes, E.R.,1996, Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan, hal 140-145, 435-443, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.
Khan, S. J. (2011). Self-Medication With Antibiotics in Urban Areas of Pheswar. Gomal Journal of Medival Sciences Vol. 9 . No. 1. 19-22.
Larasari, Putri. (2015). Pengaruh Konseling Dengan Bantuan Leaflet Terhadap Pengetahuan Antibiotik Pada Masyarakat Patrang Kabupaten Jeember. Skripsi. Fakultas Farmasi. Universitas Jember.
Lestari, N. P. (2014). Hubungann Antara Pengetahuan Tentang Penggunaan Obat Antibiotik dan Perilaku Mengkonsumsi Obat Antibiotik di RW 05 PRUMNAS III Desa Bencongan Kabupaten Tangerang.
http://digilin.esaunggul.ac.id/hubungann-antara-pengetahuan-tentang-penggunaan-obat-antibiotik-dan-perilaku-mengkonsumsi-obat-antibiotik-di-rw-05-prumnas-iii-desa-bencongan-kabupaten-tangerang-2159.html
Diakses Pada 15 Mare 2017.
Nugroho, Taufan. 2011. Buku Ajar Obstetri untuk Mahasiswa Kebidanan. Yogyakarta : Nuha Medika. Nugroho, Taufan. 2011. Buku Ajar Obstetri untuk Mahasiswa Kebidanan. Yogyakarta : Nuha Medika.
Siswandono dan Soekardjo, B., 2000, Kimia Medisinal, Edisi 2, 228- 232, 234, 239, Airlangga University Press, Surabaya.
Widyawati. A. D. (2012). Knowledge and Beliefs About Antibiotic Among People inYogyakarta City Indonesia. A cross sectional population-based survey. Antimicrobial Resistance and Infection Control Vol .1.
BAB V
PEMBAHASAN
5.1 Lokasi dan Lay Out
Apotek Kimia Farma Cipacing terletak di lokasi yang strategis dan mudah diakses karena terletak di tepi jalan besar yang memiliki dua arah, cukup ramai, banyak dilalui oleh kendaraan pribadi maupun kendaraan umum. Kemudahan akses menuju apotek merupakan faktor penting sehingga pelanggan tidak enggan untuk datang ke apotek. Tidak hanya strategis dari segi letaknya yang berada di tepi jalan raya, Apotek Kimia Farma Cipacing juga dinilai strategis karena dikelilingi oleh daerah pemukiman penduduk, klinik/praktik dokter, sekolah, rumah sakit. Lokasi Apotek Kima Farma ini diperjelas dalam keputusan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2016 tentang sarana dan prasarana menurut standar pelayanan kefarmasian di apotek, dalam keputusan menteri ini disebutkan bahwa apotek berlokasi pada daerah yang mudah dikenal dan dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat.
Desain Lay out suatu apotek memegang peranan penting dalam keberhasilan suatu apotek. Dengan mengembangkan suatu desain lay out apotek yang efektif dan efisien, serta mempertimbangkan konsumen, maka penyajian produk akan optimal dan image apotek akan bagus sehingga menyebabkan konsumen akan tertarik untuk datang ke apotek tersebut. Desain lay out Apotek juga harus disesuaikan dengan lokasi apotek dan tingkat ekonomi yang masyarakat yang menjadi target pasar dari apotek tersebut. Misalnya berada pada daerah padat penduduk dan berada pada tepi jalan raya dua arah, atau berada dekat dari tempat fasilitas umum, seperti pasar, bank, dan rumah sakit.
Layout apotek secara umum, sarana yang terdapat di Apotek Kimia Farma Cipacing sudah sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 35 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek dimana apotek terdiri atas dua lantai yang dilengkapi dengan tempat parkir yang cukup luas. Lantai I merupakan apotek sebagai sarana farmasi dan basement merupakan mushola dan toilet. Pelayanan di bilik racik apotek terdapat ruangan persediaan obat, ruang peracikan, dan ruang penyerahan obat. Bagian pelayanan depan dengan mudah dilihat oleh konsumen yang datang, swalayan farmasi dan non farmasi dengan mudah dilihat. Sarana yang belum dimiliki oleh Apotek Kimia Farma Cipacing yaitu ruangan praktik dokter. Ruangan praktik dokter merupakan sarana yang diperlukan untuk menunjang pelayanan kesehatan yang optimal.
Desain layout Apotek Kimia Farma Cipacing dapat dilihat pada gambar 5.1. Dari gambar desain tersebut dapat kita lihat bahwa Apotek Kimia Farma Cipacing telah memiliki perencanaan layout yang baik dan sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh PT. Kimia Farma Tbk.
Area ethical Area Swalayan
Gambar 5.1 Desain Layout Apotek Kimia Farma Cipacing
Pada desain layout apotek diatas dapat dilihat secara garis besar apotek dibagi menjadi 2 area, yaitu area swalayan dan area farmasi (ethical).
Area swalayan telah diatur dengan baik dan mempertimbangkan arus konsumen di salam apotek sehingga konsumen yang datang ke apotek tidak akan merasa sesak. Pada area swalayan ini terdapat beberapa sarana display yang digunakan sebagai tempat memajang produk swalayan. Sarana display tersebut antara lain :
Lima buah island gondola
Empat buah end gondola
Empat buah wall gondola pada sisi kanan dan kiri apotek
Dua counter prescription
Satu buah lemari pendingin
Pada masing-masing island gondola juga terdapat top shelving. Island gondola terletak di tengah-tengah area swalayan apotek dan memiliki jarak antara gondola yang cukup lebar, hal ini bertujuan untuk memudahkan konsumen mencari produk yang diinginkan dengan leluasa. Wall gondola terletak pada sisi kanan dan kiri apotek sehingga dapat dengan mudah terlihat oleh konsumen yang baru datang. Area swalayan dan ethical dibatasi oleh meja kasir dan meja konsultasi apoteker. Area ini berada paling belakang dari pintu masuk apotek sehingga konsumen yang datang untuk menebus resep akan melewati area swalayan terlebih dahulu sebelum masuk area ethical. Area ethical dibuat lebih kecil daripada area swalayan karena tidak memerlukan pemajangan yang luas. Pada area ini juga terdapat tempat peracikan obat.
Gambar 5.2 Kondisi Area Swalayan
Gambar 5.3 Kondisi Area Farmasi (ethical)
Tempat peracikan terletak di bagian samping tempat penyimpanan obat. Ruangan peracikan obat dilengkapi dengan rak-rak yang digunakan untuk menyimpan obat, timbangan, blender, lumpang dan alu, bahan baku, dan alat-alat lainnya yang diguakan untuk meracik. Wastafel terletak di sudut ruangan digunakan untuk mencuci peralatan meracik yang telah digunakan.
Tata ruang dan bangunan Apotek Kimia Farma Cipacing ini sudah sesuai dengan KepMenKes RI No.1332/Menkes/SK/X/2002, dimana bangunan apotek ruang administrasi dan ruang kerja apoteker, ruang penyimpanan obat, ruang peracikan dan penyerahan obat, tempat pencucian obat dan toilet yang dilengkapi dengan sumber air yang memenuhi syarat kesehatan, penerangan yang baik, ventilasi dan sistem sanitasi yang baik dan memenuhi syarat higienis. Apotek Kimia Farma Cipacing juga memiliki papan nama yang memuat nama apotek, nama APA (Apoteker Pengelola Apotek), nomor SIA, alamat dan nomor telepon apotek.
Secara garis besar desain layout Apotek Kimia Farma Cipacing telah dibuat dengan baik, apotek dibuat sesuai dengan konsep Kimia Farma Apotek. Tata ruang apotek juga telah dibuat dengan dengan baik dan memikirkan arus konsumen, hal ini terlihat dari apotek yang tetap terasa lapang dan nyaman walaupun ramai oleh konsumen yang datang.
5.2 Kategori Produk
Pengelompokan produk merupakan hal yang penting dan harus dilakukan karena akan berdampak kepada efektifitas dan efisiensi dari apotek itu sendiri. Pengelompokan yang baik akan memudahkan petugas apotek dalam mencari obat yang dibutuhkan oleh pasien sehingga dapat mempercepat pelayanan kepada pasien dan meningkatkan kepuasan pasien. Pengelompokan produk yang baik juga akan memudahkan pasien dalam mencari obat-obatan yang mereka butuhkan di area swalayan, sehingga pada akhirnya dengan adanya strategi pengelompokan produk yang baik pada area swalayan akan meningkatkan keuntungan yang didapat oleh apotek itu sendiri.
Area swalayan merupakan tempat dimana pasien dapat memilih sendiri obat atau produk lain yang pasien butuhkan. Pada area swalayan seluruh produk disusun dan dikelompokkan berdasarkan kategori. Kategori tersebut yaitu, adalah skin care, soap and body wash, hair care, oral care, personal care, traditional medicine, vitamin and mineral, topical, first aid, baby diapers, baby and child care, milk and nutrition, food supplement, adult diapers, dan paper product. Pada setiap kategori yang telah ditentukan tersebut produk juga disusun berdasarkan jenis produk dan abjad dari produk itu sendiri.
Pada island gondola diletakkan produk kategori oral care, personal care, traditional medicine, vitamin and mineral, topical dan first aid. Produkproduk yang dipajang pada end gondola adalah produk-produk yang dikeluarkan oleh Kimia Farma dan juga produk yang sedang dalam masa promosi atau produk-produk yang melakukan kerja sama dengan Kimia Farma Apotek.
Gambar 5.4 Island Gondola dan End Gondola
Sedangkan untuk produk yang dipajang pada wall gondola antara lain adalah skin care, soap and body wash, hair care, baby diapers, baby and child care, milk and nutrition, food supplement, adult diapers, dan paper product. Pada bagian atas dari wall gondola ini diletakkan duratran yang digunakan sebagai media iklan atau promosi dari produk principal. Penyusunan produk pada wall gondola ini tersusun dengan rapi dan sesuai dengan kategorinya dan dalam penataan produk pun sudah baik. Sedangkan produk-produk yang dipajang di end gondola adalah produk-produk promosi dan juga produk-produk keluaran Kimia Farma.
Gambar 5.5 Wall Gondola
Pada check out counter juga diletakkan produk-produk promosi maupun produk Kimia Farma, hal ini dilakukan karena, check out counter merupakan tempat dimana pelanggan akan membayar barang yang dibelinya, jadi ini merupakan titik akhir sebelum pelanggan keluar dari apotek, jadi produk-produk yang dipajang di sini merupakan produk-produk promosi atau produk yang dirasa bisa menarik hati pelanggan untuk membelinya.
Gambar 5.6 Check Out Counter
Pada apotek juga terdapat cooler yang digunakan sebagai tempat tempat untuk menyimpan minuman, cooler yang terdapat di sini ada satu buah cooler yang terletak di samping kiri wall gondola.
Gambar 5.7 Cooler
Jenis obat yang disimpan pada area ethical adalah obat-obat golongan keras, narkotika, psikotropika, vitamin, dan obat yang memerlukan perlakuan khusus dalam penyimpanannya.
Penyimpanan dikelompokkan berdasarkan efek farmakologi (hormon, anti diabetes, cardiovascular, pencernaan, alergi, antibiotik, pernapasan, analgetik), generik, bentuk sediaan (sirup dan sirup kering antibiotik, krim dan salep, tetes mata, tetes telinga, inhaler), obat-obat untuk lembaga tertentu (misalnya ASKES/BPJS, Inhealth) dan penyimpanan khusus (di lemari es, misalnya insulin, suppositoria), masing-masing obat dalam kelompok tertentu di urutkan secara alfabetis dan diberikan label dengan warna tertentu untuk memudahkan pencarian. Jenis pengelompokan ini memiliki beberapa keuntungan, diantaranya adalah memudahkan Apoteker atau Asisten Apoteker untuk menawarkan pilihan dan merekomendasikan obat berdasarkan efek farmakologi obat tersebut dan menghindari adanya kesalahan pengambilan obat ataupun penyimpanan obat yang dikarenakan nama atau merek dagang yang hampir sama yang efek farmakologi nya jauh berbeda.
Obat golongan psikotropik disimpan di lemari khusus yang selalu terkunci. Obat golongan ini hanya dapat ditebus oleh pasien yang memiliki resep. Obat golongan narkotika juga disimpan dalam lemari khusus dengan pintu ganda yang selalu terkunci. Obat golongan ini hanya dapat ditebus oleh pasien yang membawa resep asli. Transaksi pembelian dan penyerahan obat golongan narkotika dan psikotropika terdokumentasi dengan baik dan dilaporkan secara berkala ke kantor pusat Kimia Farma Apotek dan pemerintah bagian terkait yakni Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota tebusan kepada Dinas kesehatan Propinsi tebusan kepada Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Pengelompokan produk pada Apotek Kimia Farma Cipacing telah dilakukan dengan baik. Setiap produk dipajang pada sarana display yang tepat dan sesuai dengan konsep dari Kimia Farma Apotek. Produk yang ada di apotek telah disusun berdasarkan jenis dan kategori produknya, baik itu produk obat-obatan, alat kesehatan, maupun produk lainnya. Penyusunan pada tiap kategori juga telah dilakukan dengan baik seperti penyusunan produk yang diurutkan berdasarkan abjad dan bentuk sediaan.
Pelayanan Kefarmasian
Apotek Kimia Farma Cipacing tidak hanya melayani penjualan obat OTC tetapi juga melayani pelayanan resep dokter, resep tunai, resep kredit, dan swamedikasi yang dikenal sebagai Upaya Penyembuhan Diri Sendiri (UPDS). Pasien yang ingin menebus resep obat dapat menyerahkan resep nya pada kasir, kemudian kasir akan melakukan pengecekan ketersediaan obat beserta melakukan skrining resep dan memberi harga obat-obat tersebut. Apabila pasien setuju dengan jumlah harga yang diinformasikan oleh kasir maka penyiapan obat baru akan dilakukan. Dalam penyiapan obat dilakukan berkali-kali pengecekan guna mengurangi kesalahan dalam pelayanan resep. Tahap selanjutnya adalah penyerahan obat oleh apoteker bersamaan dengan informasi obat berupa obat yang diberikan, aturan pakai, waktu minum, durasi, efek samping, interaksi obat dan waktu penyimpanan obat. Komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) di apotek ini masih kurang optimal, hal ini disebabkan adanya keterbatasan waktu apoteker dalam memberikan konseling pada pasien. Pada umumnya, petugas yang bekerja sudah melayani dengan baik, ramah, sigap dan mau membantu mengatasi kesulitan pelanggan. Selain itu, petugas juga cukup informatif dalam melayani pelanggan, berbicara dengan bahasa yang mudah dimengerti pasien dan cepat tanggap dalam mengatasi keluhan konsumen. Keadaan ini harus terus dipertahankan dan jika mungkin ditingkatkan.
Pelaporan yang dilakukan apoteker telah sesuai dengan yang dipersyaratkan bahwa untuk narkotika dilakukan setiap akhir bulan sedangkan untuk psikotropika dilakukan setiap satu tahun sekali. Pelaporan ini dilakukan dengan menunjukkan jumlah yang dipesan dengan jumlah yang telah dijual, agar adanya tranparansi penjualan secara sah sesuai resep dokter. Untuk resep yang mengandung morfin dan petidin harus melampirkan resepnya karena narkotika ini termasuk golongan II, yaitu narkotika yang memiliki potensi yang sangat kuat untuk menimbulkan ketergantungan sehingga sangat diatur ketat penggunaannya. Laporan dikirim ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dengan tembusan dinas Kesehatan Provinsi dan Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan setempat dan arsip Kimia Farma Apotek.
Administrasi Apotek
Proses administrasi di Apotek Kimia Farma Cipacing dilakukan secara komputerisasi untuk meningkatkan kelancaran dan efisiensi pelayanan apotek. Sistem ini juga membantu apotek untuk mencegah maupun mengatasi masalah yang mungkin baru diketahui setelah obat diserahkan ke pasien dimana sistem komputer pada kasir mengharuskan petugas memasukkan alamat dan nomor telepon pasien yang dapat dihubungi sebelum melakukan pencetakan struck pembayaran, begitu pula dengan informasi jumlah persediaan obat dilakukan secara komputerisasi. Walaupun informasi jumlah persediaan obat sudah dilakukan secara komputerisasi, petugas harus tetap mengeceknya secara manual karena terkadang sering terjadi selisih antara persediaan di komputer dan persediaan sebenarnya. Hal ini dilakukan untuk mencegah atau mengantisipasi kesalahan pada sistem komputerisasi dan sebagai bahan pengecekan stok obat.
Pengadaan
Selain ketersediaan sarana dan prasarana serta tenaga kerja yang profesional, ketersediaan perbekalan farmasi di apotek merupakan faktor penting lain untuk memberikan pelayanan yang optimal kepada pasien. Ketersediaan perbekalan farmasi dapat dicapai dengan pengelolaan, yang meliputi perencanaan, pengadaan, penyimpanan, dan pendistribusian obat yang baik. Pengelolaan persediaan di Apotek Kimia Farma Cipacing diawali dengan proses perencanaan. Perencanaan bertujuan untuk menentukan jenis, jumlah, dan waktu pemesanan sehingga sehingga mencegah terjadinya kekosongan, kekurangan, atau kelebihan persediaan farmasi. Hal-hal yang diperhatikan dalam melakukan perencanaan persediaan farmasi di Apotek Kimia Farma Cipacing persediaan barang atau stok, harga barang, pola konsumsi masyarakat, pola penyakit, sistem pareto, dan pola penulisan resep oleh dokter. Data-data historis tersebut dapat dirujuk berdasarkan data penjualan setiap produk pada bulan sebelumnya.
Persediaan farmasi yang sudah atau akan habis diperiksa tiap minggunya dan dicatat dalam buku defekta untuk kemudian diproses dan segera dilakukan pengadaan. Pengadaan barang di Apotek mengikuti sistem yang telah ditetapkan oleh PT. Kimia Farma Apotek melalui Bisnis Manajer (BM). Pemesanan barang untuk Apotek Kimia Farma Cipacing dilakukan melalui BM Bandung. BM berfungsi melaksanakan pengadaan, penyimpanan, dan pendistribusian barang untuk outlet-outlet yang berada di wilayahnya. Sistem tersebut akan meningkatkan efisiensi dalam hal pengadaan barang dan dapat memberikan keuntungan dari potongan harga yang diperoleh dari distributor karena pengambilan barang dalam jumlah besar. Selain itu, sistem perencanaan secara kolektif tersebut juga dapat menghindari pemesanan barang yang tidak dibutuhkan akibat tidak cukup faktur.
Barang-barang yang dibutuhkan oleh apotek dicatat dalam Bon Permintaan Barang Apotek (BPBA). Bagian gudang BM Bandung akan memeriksa persediaan barang. Jika barang yang dipesan oleh apotek pelayanan tersedia di gudang BM, akan dilakukan dropping barang tersebut oleh BM ke apotek yang bersangkutan. Jika barang yang dibutuhkan oleh apotek tidak tersedia di gudang, bagian pembelian BM akan melakukan pemesanan ke distributor. Pemesanan barang tersebut diproses kurang lebih 1 minggu setelah pemesanan. Apabila terdapat kebutuhan barang dalam jumlah kecil dan bersifat mendesak, apotek dapat meminta atau meminjam barang tersebut dari Apotek Pelayanan Kimia Farma lainnya melalui media telepon. Dengan adanya koordinasi antara apotek Pelayanan Kimia Farma, maka jumlah penolakan resep pasien karena tidak tersedianya obat dapat diminimalkan. Untuk pengadaan narkotika, apotek Kimia Farma Cipacing melakukan pemesanan melalui BM yang ditujukan kepada PBF Kimia Farma dengan menggunakan surat pemesanan khusus narkotika yang ditandatangani oleh APA.
Setelah barang datang di apotek, petugas akan mencocokkan barang dengan dropingannya, jika sudah sesuai selanjutnya barang akan dimasukkan ke tempat masing-masing dan dicatat pada kartu stok masing-masing, namun untuk barang- barang swalayan dan OTC barang yang masuk tidak ditulis di kartu stok.
Pengawasan persediaan obat atau barang dilakukan dengan mencatat barang atau obat yang disimpan dan masuk pada kartu stok. Setiap kotak penyimpanan obat atau barang dilengkapi dengan kartu stok yang berisi tanggal disimpan atau diambil, no. dokumen, jumlah yang disimpan atau diambil, jumlah sisa obat atau barang, paraf, tanggal kedaluarsa obat atau barang, dan nomor batch obat atau barang. Pencatatan barang masuk dan barang keuar (dibeli oleh pasien) dilakukan pada kartu stok. Pengeluaran barang dilakukan dengan sistem FIFO (First In First Out) dan FEFO (First Expired First Out).
Pengadaan barang yang dilakukan pada Apotek Kimia Farma Cipacing telah dilakukan dengan cukup baik, namun adakalanya tetap terjadi kekosongan barang di apotek yang menyebabkan konsumen tidak bisa mendapatkan barang yang mereka inginkan.
5.6 Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia yang ada di apotek Kimia Farma Cipacing juga telah memenuhi Peraturan Pemerintah RI tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. Dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian di Apotek Kimia Farma Cipacing, APA dibantu oleh satu orang apoteker pendamping, dan tiga orang tenaga teknis kefarmasian (asisten apoteker). Apotek Kimia Farma Cipacing buka selama 14 jam setiap harinya, dari hari senin sampai minggu. Sumber daya manusia di apotek dibagi dalam dua shift jam kerja, yaitu shift I pada jam 08.00-15.00, dan shift II pada jam 15.00-22.00 WIB. Namun terkadang dalam satu hari, terdapat shift yang tidak di dampingi apoteker yang bertugas. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan untuk melakukan koordinasi jam kerja antara APA dan apoteker pendamping sehingga pada setiap shift kerja selalu terdapat apoteker yang dapat melaksanakan pelayanan kefarmasian.
Program Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Apotek Kimia Farma Cipacing yang dilaksanakan selama 5 minggu telah banyak memberikan gambaran kepada calon tenaga teknis kefarmasian bagaimana tugas dan fungsi seorang asisten apoteker di apotek. Calon asisten apoteker juga mendapat informasi mengenai kegiatan yang dilakukan di apotek, baik kegiatan pelayanan kefarmasian maupun non teknis kefarmasian dalam rangka meningkatkan kepuasan pelanggan dan menjamin kelangsungan hidup apotek sebagai suatu unit bisnis.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan kegiatan Praktik Kerja Lapangan yang telah dilakukan di Apotek Kimia Farma Cipacing dapat disimpulkan:
Pelayanan di Apotek Kimia Farma mengacu kepada konsep Pharmaceutical Care melalui penerapan Standar Operating Procedure (SOP) untuk setiap aspek pelayanan.
Proses pengelolaan apotek meliputi pengelolaan manajerial dan pelayanan kefarmasian. Pengelolaan manajerial meliputi pengelolaan modal dan sarana apotek, administrasi keuangan, serta pengelolaan sumber daya manusia. Pengelolaan di bidang kefarmasian meliputi perencanaan kebutuhan obat, penyimpanan obat, pendistribusian obat, serta pelayanan informasi obat.
Pengadaan perbekalan farmasi dimaksudkan untuk menjamin tersedianya perbekalan farmasi di apotek. Pengadaan perbekalan farmasi mencakup obat, bahan obat, dan alat kesehatan. Pengadaan perbekalan farmasi di Apotek Kimia Farma Cipacing dilakukan secara selektif dengan menggunakan sistem dropping center, BPBA, dan disegerakan/Cito.
Pengelompokan produk merupakan hal yang penting dan harus dilakukan karena akan berdampak kepada efektifitas dan efisiensi dari apotek itu sendiri. Pengelompokan produk di Apotek Kimia Farma Cipacing disusun berdasarkan farmakologi, bentuk sediaan, dan alfabetis.
Saran
Saran yang dapat diberikan berdasarkan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Apotek Kimia Farma Cipacing, yaitu :
Perlu perencanaan pengadaan yang lebih baik pada apotek Kimia Farma Cipacing untuk mengatasi kekosongan produk yang terjadi pada apotek.
Sebaiknya disediakan kasir khusus swalayan farmasi agar konsumen tidak perlu mengantre bersama dengan pasien yang hendak membayar resep dan memudahkan konsumen untuk mengetahui harga produk yang diletakkan pada swalayan farmasi sebagai upaya dalam peningkatan pelayanan. Jika memungkinkan, dapat diletakkan harga dari tiap produk pada gondola peletakannya. Hal tersebut akan membantu konsumen dalam memutuskan alternatif produk yang akan dipilih berdasarkan perbandingan harga dan manfaat produk. Sebaiknya kasir khusus swalayan farmasi dijaga oleh petugas teknis kefarmasian (seperti asisten apoteker) agar dapat sekaligus berfungsi sebagai tempat pemberian informasi mengenai produk swalayan farmasi kepada konsumen.
Sebaiknya disediakan ruangan khusus untuk konseling obat oleh apoteker kepada pasien untuk meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian di apotek.
Perlu disiplin dan tindakan tegas dalam penulisan stok barang di kartu stok, sehingga tidak terjadi kekurangan obat atau kehilangan obat.
b. Perlu ditingkatkan sistem informasi di komputer dalam hal stok barang, sehingga pada saat pembeli datang tidak perlu dilakukan pengecekan ulang.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, Azrul. (1996). Menjaga Mutu Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Sinar Harapan.
Azwar, Azrul. (1996). Pengantar Administrasi Kesehatan. Jakarta: Sinar Harapan.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2006). Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Obat Bebas Terbatas. Jakarta.
Firmansyah, M. (2009). Tata Cara Mengurus Perizinan Usaha Farmasi dan Kesehatan. Jakarta: Transmedia Pustaka.
Kimia Farma. (2012). Laporan Tahunan (Annual Report) 2012. http://www.kimiafarma.co.id/.
Diakses Pada 15 Maret 2017.
Presiden Republik Indonesia. (1980). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1980 Tentang Perubahan dan Tambahan Atas Peraturan Pemerintah RI Nomor 26 Tahun 1965 Tentang Apotek. Jakarta.
Menteri Kersehatan Republik Indonesia. (1990). Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 347/MENKES/SK/VII/1990 Tentang Obat Wajib Apotik. Jakarta.
Menteri Kersehatan Republik Indonesia. (1993a). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 922/MENKES/PER/X/1993 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotik. Jakarta.
Menteri Kersehatan Republik Indonesia. (1993b). Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 919/MENKES/PER.X/1993 Tentang Kriteria Obat yang Dapat Diserahkan Tanpa Resep. Jakarta.
Menteri Kersehatan Republik Indonesia. (2002). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1332/MENKES/SK/X/2002 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor. 922/MENKES/PER/X/1993 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotik. Jakarta.
Menteri Kersehatan Republik Indonesia. (2004). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jakarta.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 889/MENKES/PER/V/2011 Tentang Registrasi, Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian. Jakarta.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2015). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, Dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, Dan Prekursor Farmasi. Jakarta.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2016). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2016 Tentang Perubaha atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 889/MENKES/PER/V/2011 Tentang Registrasi, Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian. Jakarta.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2016). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek. Jakarta.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2017). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2017 Tentang Apotek. Jakarta.
Presiden Republik Indonesia. (1976). Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika. Jakarta.
Presiden Republik Indonesia. (1997). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika. Jakarta.
Presiden Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Jakarta.
Presiden Republik Indonesia. (2009). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta
Presiden Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Jakarta.
Setiastuti, A.D. (2012). Laporan Praktek Profesi Apoteker di Apotek Kimia Farma No. 55 Jalan Kebayoran Lama No. 50 Jakarta Barat Periode 2 April – 12 Mei 2012. Jakarta : Universitas Indonesia.
Tim PKPA PT. Kimia Farma Apotek. (2012). Panduan dan Materi Praktek Kerja Profesi Apoteker di Apotek Kimia Farma. Jakarta: PT. Kimia Farma Apotek.
Umar, M. (2011). Manajemen Apotek Praktis Cetakan ke-4. Jakarta: Wira Putra Kencana.
Lampiran 1 Pemusnahan Resep
Lampiran 2 Pelaporan Pemakaian Narkotika
Lampiran 3 Pelaporan Pemakaian Psikotropika
Lampiran 4 Catatan Pengobatan Pasien
Lampiran 5 Dokumentasi Pelayanan Informasi Obat
Lampiran 6 Berita Acara Pemusnahan Obat Kedaluarsa/Rusak
Lampiran 7 Kartu Stok
Lampiran 8 Etiket
Lampiran 9 Label
Lampiran 10 Faktur Dari Distributor
Lampiran 11 Dropping Barang Mendesak Antara Apotek Kimia Farma
Lampiran 12 Kertas Pembungkus Puyer
Lampiran 13 Bon Pinjaman
Lampiran 14 Surat Pesanan Psikotropika
Lampiran 15 Lembar UPDS
Lampiran 16 Lembar Copy Resep
Lampiran 17 Lembar pengambilan Obat
Lampiran 18 Contoh Resep
Lampiran 19 Gondola Penyimpan an Obat di a rea ethical