LAPORAN KELOMPOK TUTORIAL BLOK THT SKENARIO 1 “ Aduh telingaku bau! ”
Kelompok A2 : Anisa Rahmatia
(G0011027)
Arga Scorpianus R
(G0011035)
Bryan Pandu P
(G0011055)
Dorothy Eugene
(G0011075)
I Nym Surya Ari W
(G0011111)
Ines Aprilia S
(G0011115)
Jati Febryanto A. L. P
(G0011121)
Lina Kristanti W
(G0011127)
Shinta Amalia K
(G0011197)
Vanny Scarlett V
(G0011205)
Tutor : dr. Yuliana
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET 2012
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Latar Belakang Belakang
SKENARIO Aduh telingaku berbau busuk! busuk! Seoran Seorang g buruh buruh bangun bangunan an laki-la laki-laki ki usia usia 25 tahun, tahun, datang datang ke prakte praktek k dokter dokter umum umum dengan dengan keluha keluhan n utama utama teling telinga a kanan kanan mengel mengeluar uarkan kan cairan cairan kuning, kental dan berbau busuk. Pasien juga mengeluh telinga berdenging sehingga pendengaran terganggu, disertai kepala pusing. Pasien sejak s ejak remaja sering pilek, disertai hidung tersumbat bergantian kanan dan kiri terutama jika terpapar debu. Satu tahun yang lalu, telinga kanan keluar cairan encer, jernih dan ada sedikit darah. Riwayat kambuh-kambuhan terutama jika batuk dan pilek. Pada pemeriksaan otoskopi telinga kanan didapatkan: discharge mukopu mukopurul rulen en dan granul granuloma oma.. Rhinos Rhinoskop kopii anteri anterior or terdapa terdapat: t: discha discharge rge seromukous, konka hipertrofi, livide. Pemeriksaan pharing didapatkan: mukosa hiperemi. Selanjutnya, dokter merencanakan pemeriks aan penunjang.
B. Tujuan Tujuan Pembelajar Pembelajaran an
1. Maha Mahasi siswa swa mamp mampu u meng mengta tahu huii anat anatom omi, i, fisio fisiolo logi gi dan dan histo histolo logi gi sist sistem em pendengaran. 2. Mahasi Mahasiswa swa mengetah mengetahui ui macammacam-mac macam am pemeri pemeriksaa ksaan n pada pada hidung hidung,, teling telingaa dan tenggorokan. 3. Mahasi Mahasiswa swa menget mengetahu ahuii faktor faktor resiko resiko dan patofisi patofisiolo ologi gi dari Otitis Media Akut . Gejala, pemeriksaan penunjang, dan penatalaksanaannya. 4. Mahasi Mahasiswa swa menget mengetahu ahuii faktor faktor resiko resiko dan patofisi patofisiolo ologi gi dari Otitis Media Supuratif Kronis. Kronis . Gejala, pemeriksaan penunjang, dan penatalaksanaannya.
5. Maha Mahasi sisw swaa meng menget etah ahui ui fakt faktor or resi resiko ko dan dan pato patofi fisi siol olog ogii dari dari Rhinitis Allergica. Allergica. Gejala, pemeriksaan penunjang, dan penatalaksanaannya. 6. Maha Mahasi siswa swa meng menget etah ahui ui baga bagaim iman anaa hubu hubung ngan an anta antara ra riwa riwaya yatt peny penyak akit it dahulu dengan penyakit sekarang. 7. Maha Mahasi siswa swa meng menget etah ahui ui pato patofi fisio siolo logi gi geja gejala la-ge -geja jala la yang yang timb timbul ul pada pada skenario. 8. Mahasi Mahasiswa swa mengetah mengetahui ui penger pengertia tian n tinnit tinnitus, us, penyebab penyebab,, pemeri pemeriksaa ksaan n dan penatalaksanaannya.
BAB II PEMBAHASAN
A. Istilah-I Istilah-Istil stilah ah Asing Asing
Otoskopi; rhinoskopi anterior; discharge mukopurulen; granuloma; discharge seromukous; konka hipertrofi; livide;hiperemi
B. Identifikasi Masalah dan Pembahasan Pembahasan
1. Bagaimana Bagaimana anatomi, anatomi, fisiologi fisiologi dan histologi histologi sistem pendengaran? pendengaran? Anatomi Sistem Pendengaran Pendengaran
Organon auditus terdiri dari tiga bagian, yaitu: auris eksterna, auris media, dan auris interna. Auris eksterna terdiri dari auriculae dan meatus acusticus eksternus. Auris media terdiri dari membrana tympanica, cavum tympani, ossiculae auditivae, musculi ossiculae auditivae dan tuba auditiva eustachii Sement Sementara ara auris auris media media terdirid terdiridari ari labyri labyrintu ntuss membra membranac naceus eus dan labyrintus osseus. Membrana tympanica terdiri dari dua pars, yaitu: pars tensa dan pars flaccida. Pars tensa terdiri dari tiga lapisan, yaitu: stratum cutaneum, lamina propria dan stratum mukosum. Sementara pars flaccida hanya terdiri dari dua lapisan saja, yaitu: pars cutaneum dan pars mukosum. Di tengah-tengah memb membra rane ne
tymp tympan anic icaa terd terdap apat at peno penonj njol olan an akib akibat at pend pendesa esaka kan n dari dari
manubrium mallei yang disebut umbo. umbo. Dari umbo, membrane tympanica dapat dapat dibagi dibagi menjad menjadii empat empat kuadra kuadran n yaitu yaitu kuadra kuadran n anteri anterior or superio superior, r, anterior anterior inferior, inferior, posterior posterior superior superior dan posterior inferior. Pada kuadran kuadran anterior anterior inferior inferior terdapat terdapat daerah yang memantulkan memantulkan cahaya cahaya bila disinari yang disebut cone of light. Ossiculae auditivae terdiri dari os malleus, os incus dan os stapes. Ossiculae tersebut berfungsi untuk menghantarkan getaran dari membrane tymp tympan anic icaa ke auris auris inte intern rna. a. Pada Pada os mall malleu euss dile dileka kati ti oleh oleh m. tenso tensor r
tympanica dan pada os stapes dilekati oleh m. stapedius. Kedua musculi tersebut berfungsi untuk meredam getaran os malleus maupun os stapes. Labyrintus osseus adalah kumpulan organ berdinding tulang pada auris interna. Terdiri dari vestibulum, kanalis semi sirkularis dan cochlea. Labyrintus membranaceus berupa membrane yang berada di dalam labyrintus osseus. Terdiri dari duktus semi sirkularis, utriculus, sacculus dan duktus cochlearis. Di dalam labyrintus osseus terdapat cairan yang disebut perilymphe dan di dalam labyrintus membranaceus terdapat cairan endolymphe.
Fisiologi Sitem Pendengaran
Telinga secara anatomis terbagi menjadi tiga bagian yaitu telinga luar, tengah dan dalam. Telinga luar dan tengah berperan dalam transmisi suara melalui udara menuju telinga bagian dalam yang terisi cairan. Pada telinga dalam ini, terjadi amplifikasi energi suara. Di sana juga terdapat dua macam sistem sensoris yaitu koklea yang mengkonversikan gelombang suara menjadi impuls saraf dan vestibular apparatus yang berguna untuk keseimbangan (Sherwood, 2010). Pendengaran merupakan persepsi saraf terhadap suara yang terdiri dari aspek identifikasi suara dan lokalisasinya. Suara merupakan sensasi yang
dihasilkan saat getaran longitudinal molekul lingkungan luar yang menghantam membran timpani (Barrett, 2011).
Gelombang suara
merupakan getaran udara yang merambat yang terdiri dari area bertekanan tinggi disebabkan kompresi molekul udara dan area bertekanan rendah yang disebabkan oleh rarefaction molecule. Kecepatan suara adalah sekita 344 m/s pada suhu 20 ⁰C di permukaan air laut. Semakin tinggi suara dan altitudenya, kecepatan rambat suara makin tinggi (Barrett, 2011).
Suara dikarakteristikan berdasarkan tone,
intensitas dan kualitas. Pitch atau tone ditentukan oleh frekuensi getaran. Makin besar frekuensinya, makin tinggi pitch-nya. Telinga manusia mampu mendengar suara dengan frekuensi dari 20 sampai 20.000 Hz. Namun, yang paling sensitif adalah antara 1.000-4.000 Hz. Suara pria dalam percakapan normalnya sekitar 120 Hz sedangkan wanita mencapai 250 Hz. Jumlah pitch yang dapat dibedakan oleh orang normal adalah sekitar 2000, tetapi musisi yang terlatih dapat lebih dari itu. Suara yang paling mudah dibedakan nadanya adalah suara dengan frekuensi 1000-3000 Hz. Lebih atau kurang dari itu akan semakin sulit dibedakan. Intensitas atau kekerasan tergantung oleh amplitudo gelombang suara atau perbedaan tekanan antara daerah gelombang bertekanan tinggi akibat kompresi dan daerah bertekanan rendah akibat rarefaction. Dalam interval suara yang dapat didengar, makin besar amplitudonya, makin keras suara tersebut terdengar. Kekerasan atau kebisingan suara diukur dengan satuan dB (desibel)yang
merupakan
dibandingkan dengan suara pendengaran).
Suara
dengan
pengukuran logaritmis teredup
dari intensitas
yang bisa didengar
kebisingan
melebihi
100
(ambang dB
dapat
menyebabkan kerusakan permanen pada koklea (Barrett, 2011). Suara dengan range 120 sampai 160 dB seperti alarm kebakaran maupun pesawat jet diklasifikasikan sebagai suara yang menyakitkan; 90110 dB (subway, bass drum, gergaji mesin) diklasifikasikan sebagai suara yang ekstrem tinggi; 60-80dB (alarm jam, lalu lintas yang bising, percakapan) diklasifikasikan sebagai sangat keras; 40-50 dB (hujan, bising
ruangan normal) moderate, dan 30 dB (bisikan, perpustakaan) sebagai redup. (Yarnick, 1995). Timbre atau kualitas suara tergantung pada overtone yang merupakan frekuensi tambahan yang menumpuk pada pitch atau tone dasar. Misalnya adalah nada C pada terompet akan terdengar berbeda dengan piano. Overtone inilah yang dapat
menyembabkan suara
dapat
memiliki
karakteristik yang berbeda-beda.
1. Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari pinna/auris (daun telinga) dan meatus akustikus eksterna. Pinna adalah struktur menonjol yang merupakan kartilago terbalut kulit. Fungsi utamanya adalah mengumpulkan dan menghubungkan
suara
menuju
meatus
akustikus
eksterna.
Karena
bentuknya, pinna secara parsial membatasi suara yang berasal dari belakang sehingga timbrenya akan berbeda. Dengan begitu, kita dapat membedakan apakah suaranya berasal dari depan atau belakang. Lokalisasi suara yang berasal dari kanan atau kiri ditentukan oleh dua hal. Pertama adalah gelombang suara mencapai telinga yang lebih dekat terlebih dahulu sebelum sampai ke telinga yang lebih jauh. Kedua adalah saat mencapai telinga yang lebih jauh, intensitas suaranya akan lebih kecil dibandingkan telinga yang lebih dekat. Selanjutnya, korteks auditori mengintegrasikan kedua hal tersebut untuk menentukan lokalisasi sumber suara. Oleh karena itu, lokalisasi suara akan lebih sulit dilakukan jika hanya menggunakan satu telinga. Jalur masuk pada telinga luar dilindungi oleh rambut halus. Kulit yang membatasi kanal tersebut berisi kelenjar keringat termodifikasi yang menghasilkan serumen (earwax), yang akan menangkap partikel-partikel asing yang halus (Sherwood, 2010).
2. Telinga Tengah
Telinga tengah mengirimkan pergerakan vibratori dari membran timpani menuju cairan pada telinga dalam. Ada tiga tulang ossicle yang membantu proses ini yaitu malleus, incus dan stapes yang meluas dari telinga tengah. Malleus menempel pada membran timpani sedangkan stapes menempel pada oval window yang merupakan gerbang menuju koklea yang berisi cairan.
3. Membran timpangi (gendang telinga)
Membran timpani berada pada perbatasan telinga luar dan tengah. Area tekanan tinggi da rendah pada gelombang suara akan menyebabkan membran timpani bergetar ke dalam dan ke luar. Supaya membran tersebut dapat secara bebas bergerak kedua arah, tekanan udara istirahat pada kedua sisi membran timpani harus sama. Membran sebelah luar terkekspos pada tekanan atmosfer yang melewati meatus akustikus eksterna sedangkan bagian dalam menghadapi tekanan atmosfer dari tuba eustachius yang menghubungkan telinga tengah ke faring. Secara normal, tuba ini tertutup tetapi dapat dibuka dengan gerakan menguap, mengunyah dan menelan. Pada perubahan tekanan eksternal yang cukup signifikan seperti saat dalam pesawat, membran timpani menonjol dan menimbulkan rasa nyeri ketika tekanan luar telinga berubah sementara bagian dalam tidak berubah. Pembukaan tuba eustachius dengan menguap dapat membantu untuk menyamakan tekanan tersebut (Sherwood, 2010). Saat membran timpani bergetar, tulang-tulang tersebut bergerak dengan frekuensi yang sama , mentransmisikan frekuensi tersebut dari menuju
oval
window.
Selanjutnya,
tiap-tiap
getaran menghasilkan
pergerakan seperti gelombang pada cairan di telinga dalam dengan frekuensi yang sama dengan gelombang suara aslinya. Sistem osikular mengamplifikasikan tekanan dari gelombang suara pada udara dengan dua mekanisme untuk menghasilkan getaran cairan pada koklea. Pertama adalah karena permukaan area dari membran timpani lebih
besar
dari
oval window,
tekanan ditingkatkan
ketika
gaya
yang
mempengaruhi membran timpani disampaikan oleh ossicle ke oval window (tekanan=gaya/area).
Kedua
adalah
kerja
dari ossicle
memberikan
keuntungan mekanis lainya. Kedua hal tersebut meningkatkan gaya pada oval window sampai 20 kali. Tambahan tekanan tersebut penting untuk menghasilkan pergerakan cairan pada koklea. Beberapa otot tipis di telinga tengah dapat berkontraksi secara refleks terhadap suara keras (70 dB) menyebabkan membran timpani menebal dan menyebabkan pembatasan gerakan pada rangkaian ossicle. Pengurangan pergerakan pada struktur telinga tengah akan mengurangi transmisi dari suara yang keras tersebut ke telinga dalam guna melindungi bagian sensoris dari kerusakan. Refleks tersebut berlangsung relatif lambat, terjadi setidaknya sekitar 40 msec sesudah pajanan terhadap suara keras. Oleh karena itu, hanya bisa melindungi dari suara yang berkepanjangan, bukan suara yang sangat tiba-tiba seperti ledakan (Sherwood, 2010).
4. Koklea
Koklea adalah sebuah struktur yang menyerupai siput yang merupakan bagian dari telinga dalam yang merupakan sistem tubular bergurung
yang
berada
di
dalam
tulang
temporalis.
Berdasarkan
panjangnya, komponen fungsional koklea dibagi menjadi tiga kompartemen longitudinal yang berisi cairan. Duktus koklear yang ujungnya tidak terlihat dikenal sebagai skala media, yang merupakan kompartemen tengah. Bagian yang lebih di atasnya adalah skala vestibuli yang mengikuti kontur dalam spiral dan skala timpani yang merupakan kompartemen paling bawah yang mengikuti kontur luar dari spiral. Cairan di dalam skala timpani dan skala vestibuli disebut perilimfe. Sementara itu, duktus koklear berisi cairan yang sedikit berbeda yaitu endolimfe. Bagian ujung dari duktus koklearis di mana cairan dari kompartemen atas dan bawah bergabung disebut dengan helikotrema. Skala vestibuli terkunci dari telinga tengah oleh oval window, tempat stapes
menempel. Sementara itu, skala timpani dikunci dari telinga tengah dengan bukaan kecil berselaput yang disebut round window. Membran vestibular tipis membentuk langit-langit duktus koklear dan memisahkannya dari skala vestibuli. Membran basilaris
membentuk dasar duktus koklear yang
memisahkannya dengan skala timpani. Membran basilar ini sangat penting karena di dalamnya terdapat organ korti yang merupakan organ perasa pendengaran (Sherwood, 2010).
1) Aliran gelombang getaran melewati skala vestibuli dan skala timpani yang berguna untuk meredam tekanan (bukan persepsi suara). 2)Aliran gelombang yang berkaitan dengan persepsi suara akan melewati shorcut menembus membran vestibularis lalu mencapai membran basilaris yang di dalamnya terdapat organ korti sebagai reseptor stimulus suara
5. Sel Korti dan Sel Rambut
Dalam organ korti pada satu koklea terdapat sekitar 15.000 sel rambut yang menjadi reseptor suara. Sel-sel tersebut tersusun dalam baris paralel empat. Satu baris berupa sel rambut dalam dan tiga lainnya merupakan sel rambut dalam. Pada masing-masing sel rambut akan ada penonjolan sekitar
100 rambut yang dikenal sebagai stereosilia (mikrovili yang diperkuat dengan aktin). Sel-sel rambut ini merupakan mekanoreseptor yang menghasilkan sinyal neural ketiga permukaan rambutnya mengalami deformasi
secara
mekanis berkaitan dengan pergerakan cairan di telinga dalam. Stereosilia ini berkontak dengan membran tektorial, struktur mirip tenda yang menjalar pada seluruh panjang organ korti. Kerja mirip piston yang dilakukan stapes melawan oval window menghasilkan gelombang tekanan pada kompartemen atas. Karena cairan tidak dapat dikompresi, tekanan dihamburkan dalam dua arah ketika stapes menyebabkan oval window menggembung ke belakang yaitu dengan pergeseran round window dan defleksi membran basilar. Gelombang tekanan tersebut akan menekan perilimfe ke depan pada kompartemen atas, kemudian ke helikotrema dan ke kompartemen bawah. Selanjutnya, hal tersebut menyebabkan round window menggembung ke arah luar (ke arah telinga tengah) untuk mengkompensasi peningkatan tekanan. Ketika stapes bergerak ke arah belakang dan menarik oval window ke arah telinga tengah, perilimfe akan bergeser ke arah berlawanan, menggantikan area yang tadinya diisi round window. Jalur ini tidak menghasilkan persepsi suara, hanya mengurangi tekanan saja. Gelombang tekanan yang berkaitan dengan persepsi suara akan menggunakan jalur pintas. Gelombang tekanan pada kompartemen atas ditransfer melalui membran vestibular yang tipis ke duktus koklear dan melalui membran basilar ke kompartemen bawah. Hal tersebut selanjutnya akan memfasilitasi round window untuk menggembung ke arah luar dan dalam. Perbedaan utama pada jalur ini adalah transmisi gelombang tekanan melalui membran basilar menyebabkan membran tersebut bergerak ke atas dan ke bawah atau bergetar yang sinkron dengan gelombang tekanan. Akibatnya sel rambut pada organ korti yang ada di sana juga ikut bergerak. Sel rambut yang berfungsi untuk mendengar adalah sel rambut dalam. Sel tersebut mentransformasikan gaya mekanis suara menjadi impuls
elektris pendengaran. Stereosilia pada sel reseptor tersebut berkontak dengan membran tektorial yang kaku sehingga sel tersebut akan membelok kembali (bolak-balik), saat membran basilar yang berosilasi menggeser posisinya. Gerakan bolak-balik tersebut akan menyebabkan pembukaan dan penutupan kanal kation secara mekanis pada sel rambut menghasilkan depolarisasi atau hiperpolarisasi sesuai dengan frekuensi suara penstimulus. Stereosilia pada masing-masing sel rambut tersusun ke dalam baris-baris yang berurutan sesuai dengan tinggi (seperti tangga). Tip links, yang merupakan CAMs (cell adhesion molecules), menghubungkan ujung stereosilia dalam barisan tersebut. Saat membran basilar bergerak ke atas, bundle stereosilia membengkok ke arah membran yang paling tinggi, meregangkan tip links tersebut. Peregangan tersebut akan membuka kanal kation. K+ lebih banyak ditemukan di endolimfe daripada yang ditemukan di dalam sel. Beberapa kanal kation memang sudah terbuka dalam keadaan istirahat yang memungkinkan K+ mengalir. Semakin banyak kanal yang terbuka, lebih banyak K+ yang memasuki sel rambut. Tambahan K+ ini akan mendepolarisasi sel rambut. Sebaliknya, saat membran basilaris turun, terjadilah hiperpolarisasi karena makin banyak K+ yang tidak bisa masuk sel (Sherwood, 2010). Sel rambut tidak menghasilkan potensial aksi melainkan akan bersinaps secara kimia dengan ujung serat saraf afferen nervus koklearis. Kadar K+ yang rendah menyebabkan sel rambut dalam mengeluarkan secara spontan neurotransmiter melalui eksositosis yang diinduksi oleh Ca2+ dalam kondisi tidak ada stimulasi. Depolarisasi akan menyebabkan pembukaan kanal bergerbang listrik Ca2+. Akibatnya terjadilah peningkatan kecepatan pengeluaran neurotransmitter. Pada hiperpolarisasi, terjadi hal yang sebaliknya.1 Potensial membran istirahat sel rambut adalah sekitar -60 mV. Saat stereosilia terdorong ke arah kinosilia, potensial membran dapat berkurang menjadi -50 mV (Barrett, 2011).
Sementara itu, sel rambut luar menjalankan fungsi elektromotili. Sel tersebut secara aktif dan sering mengubah panjangnya sebagai respon terhadap perubahan potensial
membran. Sel akan memendek saat
depolarisasi dan memanjang saat hiperpolarisasi. Perubahan tersebut akan mengamplifikasi pergerakan dari membran basilaris. Oleh karena itu, sel rambut luar akan membantu reseptor sensori supaya lebih sensitif terhadap intensitas suara dan diskriminasi bermacam pitch suara (Sherwood, 2010).
6. Diskriminasi Pitch, Timbre dan Kebisingan ( Loudness)
Diskriminasi pitch atau nada tergantung pada bentuk dari membran basilaris. Daerah yang berbeda dari membran basilaris secara alami bergetar secara maksimal pada frekuensi yang berbeda. Ujung sempit dekat oval window akan bergetar paling baik pada nada berfrekuensi tinggi sedangkan area yang luas dekat helikotrema paling baik pada nada rendah. Saat gelombang suara dengan frekuensi tertentu menyebabkan osilasi stapes, gelombang tersebut akan berjalan ke membran basilar yang memiliki daerah sensitif
terhadap
frekuensi
tersebut.
Energi
gelombangnya
akan
dihamburkan dengan adanya osilasi membran ini sehingga berakhir pada area maksimal tadi. Adanya overtone pada bermacam frekuensi akan menyebabkan membran basilaris bergetar secara simultan tetapi kurang intens dibandingkan nada dasarnya sehingga sistem saraf pusat dapat membedakan timbre suara. Sementara itu, diskriminasi kebisingan atau kenyaringan tergantung dari amplitudonya. Gelombang suara yang berasal dari sumber yang lebih keras akan menghantam gendang telinga (membran timpani) sehingga bergetar dengan lebih bertenaga meskipun frekuensinya tetap sama. Osilasi pada membran basilaris yang lebih besar akan diinterpretasikan sebagai suara yang lebih keras oleh sistem saraf pusat (Sherwood, 2010).
7. Korteks Auditori
Sebagaimana area pada membran basilaris yang berasosiasi dengan nada tertentu, korteks auditori primer pada lobus temporalis juga tersusun secara tonotopically. Masing-masing area pada membran basilaris tersebut terkait pada area spesifik pada korteks auditori primer (satu nada, satu neuron kortikal teraktivasi). Saraf afferen yang mengambil sinyal auditori dari sel rambut dalam akan keluar dari koklea melalui nervus auditori. Ada beberapa sinaps yang terjadi terutama pada batang otak dan nukleus geniculatum medial thalamus.Batang otak menggunakan input auditori untuk kewaspadaan dan bangun. Pada batang otak, jaras saraf auditori ini akan menuju baik sisi ipsilateral maupun kontralateralnya sehingga kedua lobus temporal akan mendapatkan impuls. Oleh karena itu, gangguan pada jaras di atas batang otak pada satu sisi tidak akan mengganggu pendengaran. Korteks auditori primer juga dapat menerima bermacam suara yang berbeda sedangkan korteks auditori yang lebih tinggi mengintegrasikan suara yang berbeda tersebut menjadi koheren sebagai pola yang berarti. Dengan begitu, kita dapat membedakan suara-suara terpisah yang masuk ke telinga dan memilih mana suara yang memang penting untuk didengarkan (Sherwood, 2010). Area auditori ternyata memiliki spesialisasi hemisfer. Pada area Brodman 22 diperkirakan merupakan tempat pemprosesan sinyal auditori yang berhubungan dengan pembicaraan. Dalam proses bahasa, bagian kiri lebih aktif daripada sisi kanan. Area 22 sebelah kanan lebih kepada melodi, nada dan intensitas suara. Jalur auditori bersifat sangat plastis yang sangat dimodifikasi oleh pengalaman. Pada orang yang mengalami tuli sebelum kemampuan berbahasanya berkembang, ternyata dengan melihat tanda-tanda bahasa juga akan mengaktivasi area assosiasi auditori. Sebaliknya, individu yang buta pada masa awal hidup dapat melokalisasi suara jauh lebih baik daripada mereka yang memiliki penglihatan normal. Plastisitas juga sangat nampak
pada musis yang dapat lebih peka terhadap suara dibanding non musisi (Barrett, 2011).
Histologi Sistem Pendengaran Telinga Luar
Auricula, atau pinna (sayap) terdiri ataas suatu lempeng cartilago elastic ireguler berbentuk corong, yang ditutupi secara erat oleh kulit dan menghantarkan gelombang suara ke dalam meatus acusticus externus. Saluran ini dilapisi oleh epitel skuamosa berlapis yang berlanjut dengan kulit auricular dan di dekat folikel rambutnya, kelenjar sebasea, dan kelenjar keringat apokrin termodifikasi yang disebut kelenjar seruminosa ditemukan pada submukosa. Serumen adalah materi kekuningan berlemak yang dihasilkan dari sekresi kelenjar sebasea dan seruminosa. Serumen mengandung berbagai protein, asam lemak jenuh, dan keratinosit yang terlepas dan memiliki sifat antimikroba protektif. Dinding meatus acusticus externus ditunjang oleh kartilago elastic di sepertiga luarnya, sedangkan os temporal menutup bagian dalam. Membran timpani berupa lembar epithelial. Sisi luarnya dilapisi epidermis dan permukaan dalamnya dilapisi epitel selapis kuboid yang menyatu dengan lapisan rongga timpani di telinga tengah. Di antara lapisan epitel tersebut terdapat lapisan tipis jaringan ikat fibrosa yang terdiri atas serat-serat kolagen dan elastin serta fibroblast. Telinga Tengah
Rongga timpani terutama dilapisi oleh selapis epitel kuboid yang berada di lamina propia yang sangat melekat pada periosteum. Di dekat tuba auditorius, epitel selapis ini secara berangsur berubah menjadi epitel bertingkat silindris bersilia yang melapisi tuba tersebut. Pada dinding medial bertulang telinga tengah terdapat dua area berlapis membrane dan tidak bertulang yaitu tingkap lonjong (fenestra ovalis) dan tingkap bundar (fenestra rotunda).
Ossicula auditus terdiri atas malleus, incus, dan stapes. Malleus menempel pada jaringan ikat membrane timpani dan stapes melekat pada jaringan ikat membrane di tingkap lonjong. Tulang-tulang ini berartikulasi di sendi synovial yang bersama-sama periosteum sepenuhnya dilapisi epitel selapis gepeng. Telinga Dalam
Telinga dalam berada sepenuhnya di dalam os temporal, dimana sederetan ruang yang saling berhubungan, labirin bertulang, menamping serangkaian saluran kontinu berlapis epitel yang terisi cairan dan bilik yang membentuk labirin membranosa yang lebih kecil. Labirin membranosa berasal dari vesikel ectodermal, otokista, yang melekuk ke dalam jaringan ikat di dalamnya selama minggu keempat
perkembangan embrio,
kehilangan kontak dengan ectoderm permukaan, dan menjadi terbenam pada rudiment bakal os temporal. Selama proses tersebut, vesicula otica berubah bentuk, yang membentuk 2 cabang utama di labirin membranosa. Pada setiap struktur lapisan epitel memiliki area luas mekanoreseptor sensorik kolumner yang disebut sel rambut di region khusus: 1. Dua macula utriculus dan sacculus 2. Tiga crista ampullaris di pelebaran region ampula pada setiap duktus semicircularis 3. Organ corti spiral panjang pada duktus cochlearis Cochlea berukuran panjang sekitar 35 mm dan membentuk dua setengah putaran di sekeliling inti tulang yang disebut modiolus. Modiolus memiliki pembuluh darah dan bsadan sel dan processus cabang akustik saraf cranial ke delapan di ganglion cochleare atau ganglion spirale. Semua region labirin bertulang terisi perilimfe dengan komposisi ion yang serupa dengan cairan serebrospinal dan cairan ekstrasel jaringan lain, tetapi memiliki sedikit protein. Perilimfe dihasilkan dari mikrovaskuler periosteum dan dialirkan melalui suatu duktus perilymphaticus ke dalam ruang subarachnoid yang berdekatan. Cairan ini menahan dan menyangga labirin membranosa tertutup yang melindunginya dari dinding keras labirin
bertulang. Labirin membranosa terisi dengan endolimfe, yang juga mengandung sedikit protein dan lebih lanjut ditandai oleh kadar kalium yang tinggi (150 mM) dan natrium yang rendah (16 mM), yang serupa dengan kadarnya dalam cairan intrasel. Endolimfe dihasilkan terutama oleh kapiler di stria vaskularis di dinding duktus cochlearis dan mengalir dari vestibulum ke dalam sinus venosa dura mater oleh duktus endolymphaticus yang kecil. Sacculus dan utriculus terdiri atas suatu selubung tipis jaringan ikat yang dilapisi epitel selapis gepeng. Labirin membranosa melekat pada periosteum labirin oseosa melalui untaian jariga ikatyang mengandung mikrovaskuler yang menyuplai jaringan labirin membranosa. Kedua macula pada dinding sacculus dan utriculus adalah area kecil sel neuroepitel kolumner yang dipersarafi oleh cabang nervus vestibularis. Makula sacculus dan utriculus terdiri atas penebalan dinding yang memiliki beberapa ribu sel rambut mekanosensitif beserta sel penyangga kolumner dengan inti basal, dan ujung saraf. Ujung apical setiap sel rambut memiliki sebuah kinosilium dengan sebuah badan basal dan suatu aksonema termodifikasi mikrotubulus ganda dan seberkas stereosilia kaku panjang yang tidak bercabang dan berjumlah 60-100. Stereosilia muncul dari region apical yang banyak mengandung aktin, lempeng kutikula, yang berperan mengembalikan struktur kaku yang menonjol ke posisi normalnyasetelah menekuk. Stereosilia tersusun dalam barisan yang semakin memanjang dengan stereosilia terpanjang – sekitar 100 µm – yang berada dekat dengan kinosilium. Ujung stereosilia dan kinosilia terbenam dalam suatu lapisan gelatinosa proteoglikan kental yang disebut membrane otolitik, dengan bagian luarnya yang terisi dengan struktur berkapur yang disebut otolit (atau otokonia) Di ujung basalnya, semua sel rambut bersinaps dengan ujung saraf aferen (ke otak). Sejumlah sel rambut (tipe I) memiliki ujung basal bundar yang dikelilingi oleh calyx terminalis aferen. Ujung basal sebagian besar sel rambut (tipe II) berbentuk silindris dan memiliki lebih banyak ujung
tonjolan yang khas dari saraf aferen (dari otak) yang memodulasi sensitivitas mekanoreseptor ini. Setiap sel rambut juga dikelilingi oleh sel penyangga, yang dapat memiliki berbagai fungsi selain menyediakan penyangga fisis untuk mekanoreseptor. Pelebaran ampula di setiap duktus semicircularis memiliki suatu area mekanoreseptor mirip rebung memanjang (crista ampullaris). Crista secara histologist serupa dengan macula, dengan sel rambut, sel penyokong, dan ujung saraf. Akan tetapi lapisan proteoglikan bernama cupula yang melekat pada berkas rambut sel sensoris lebih tebal dan tidak memiliki otolit. Di sepanjang permukaan duktus cochlearis dipisahkan dari scala vestibule oleh membrane vestibularis. Struktur yang sangat tipis ini terdiri atas suatu membrane basal dengan epitel skuamosa selapis di setiap sisinya: satu mesotel yang menghadap skala vestibule dan bagian alain lapisan duktus cochlearis. Sel-sel di kedua lapisan memiliki taut erat yang luas yang membantu menjaga gradient ion yang sangat besar pada kedua sisi membrane di antara endolimfe dan perilimfe. Di dinding lateral duktus cochlearis terdapat stria vaskularis, suatu epitel unik yang menghasilkan dan memmelihara endolimfe untuk seluruh lapisan membranosa. Stria vaskularis menutup suatu jaringan kapiler dan terdiri dari sel yang mempunyai banyak lekukan basal yang dalam pada membrane plasmanya, di membrane ini terdapat banyak mitokondria. Cairan dan pompa K+ dari kapiler oleh sel epitel tersebut dilepaskan ke dalam duktus cochlearis sebagai endolimfe. Di dinding yang memisahkan duktus cochlearis dari scala tympani adalah struktur kompleks yang disebut organ spiral (organ corti) yang memiliki reseptor auditorik khusus dalam bentuk sel rambut yang berespons terhadap berbagai frequensi udara. Organ spiral berada di lamina basal – membrane basilaris. Sel rambut luar (outer hair cell) terdapat dalam tiga baris di dekat fenestra ovalis, yang bertambah hingga lima baris di dekat apeks koklea. Terdapat sebaris sel rambut dalam (inner hair cell) yang memiliki susunan linear stereosilia pendek, sedangkan OHC masing-masing
memiliki
barisan melengkung
steereosilia panjang.
Tidak
terdapat
kinosilium yang dijumpai pada sel rambut koklea, yang memungkinkan simetrisitas sel yang penting untuk perannya pada tranduksi sensoris. Ujung stereosilia tertinggi OHC terbenam di dalam membrana tectorial, suatu lapisan aseluler yang terjulur di atas organ spiral dari modiolus. Membrana tectoria terdiri atas berkas halus kolagen (tipe II, V, IX dan XI), proteoglikan terkait dan protein lain serta dibentuk selama periode embrionik dari sekresi sel yang melapisi region di dekatnya (limbus spiral). Sel rambut luar dan dalam memiliki ujung saraf aferen dan eferen dengan IHC yang lebih banyak dipersarafi. Badan sel neuron bipolar berada di suatu inti tulang modiolus dan membentuk ganglion spirale. Kedua tipe utama sel penyokong kolumner berhubungan dengan sel rambut organ spiral tersebut. Sel pilar dibuat kaku oleh berkas keratin dan membatasi sebuah ruang segitiga berbentuk corong diantara sel rambut luar dan dalam. Sel falang mengelilingi dan menyokong langsung sel rambut dalam dan luar, yang hampir sepenuhnya menutupi setiap IHC, tetapi hanya menutupi ujung basal OHC (Mescher, 2011). 2. Apa saja pemeriksaan fisik pada telinga, hidung dan tenggorokan? Pemeriksaan Telinga, Hidung dan Tenggorokan a. Pemeriksaan Telinga Otoskopi
Alat yang digunakan untuk pemeriksaan telinga adalah lampu kepala, corong telinga, otoskop, pelilit kapas, pengait serumen, pinset telinga dan garputala. Mula-mula dilihat keadaan dan bentuk daun telinga, daerah belakang telinga. Dengan menarik daun telinga ke atas dan ke belakang, liang telinga menjadi lebih lrus dan akan mempermudah untuk melihat keadaan liang telinga ddan membran timpani. Pakai otoskop untuk melihat lebih jelas bagian-bagian membran timpani. Hal-hal yang perlu diperhatikan ketika memeriksa menggunakan otoskop adalah adakah
serumen, bagaimana konsistensi, warna dan baunya, adakah reaksi inflamasi di liang telinga, bagaimana kondisi membran timpani, apakah utuh, bagaimana penampakannya, dsb. Uji pendengaran dilakukan dengan memakai garputala dan dari hasil pemeriksaan dapat diketahui jenis ketulian apakah tuli konduktif atau tuli perspektif. Uji penala yang dapat dilakukan adalah uji Rinne, uji Weber dan uji Scwabah. (Soepardi, E.A., 2007) Dari hasil pemeriksaan otoskopi pada skenario didapatkan discharge mukopurulen dan granuloma. Granuloma dan discharge mukopurulen menandakan adanya infeksi yang sudah berlangsung lama, karena granuloma sendiri khas jika terjadi infeksi yan lama pada telinga. Discharge yang keluar menandakan sudah adanya perforasi pada membran timpani sebagai jalan keluar discharge. Hal-hal di atas menandakan terjadinya infeksi kronis pada rongga telinga bagian tengah (auris media).
b. Pemeriksaan Hidung Rhinoskopi
Memeriksa rongga hidung bagian dalam dari depan disebut rhinoskopi anterior. Diperlukan spekulum hidung. Vestibulum hidung, septum nasi terutama bagian anterior, konka inferior, konka media, meatus sinus paranasal dan keadaan mukosa rongga hidung harus diperhatikan. Hal ini dilakukan pada bagian kiri mapun kanan juga. Untuk melihat bagian belakang hidung dilakukan pemeriksaan rhinoskopi posterior sekaligus untuk melihat keadaan nasofaring. Untuk melakukan pemeriksaan rhinoskopi posterior diperlukan spatula lidah dan kaca nasofaring. Sebelum kaca ini dimasukkan, suhu kaca dites terlebih dahulu pada kulit belakang kiri pemeriksa. Pasien diminta membuka mulut, lidah dua petiga anterior ditekan dengan spatula lidah. Setelah itu kaca dimasukkan sampai ke nasofaring. Mula-mula perhatikan bagian belakang septum dan choana. Kemudian kaca diputar
ke lateral sedikit untuk melihat konka superior, konka media, meatus superior dan meatus media. Kaca diputar lebih ke laterallagi sehingga dapat diindentifikasi torus tubarius, muara tuba Esutachius dan fossa Rossenmuler . Pada skenario didapatkan hasil pemeriksaan rhinoskopi anterior pada pasien terdapat discharge seromukous, konka hipertrofi dan livide. Livide merupakan tanda khas yang terjadi pada rhinitis allergica yang persisten. Dan pada rhinitis allergica yang persisten juga terdapat adanya konka yang hipertrofi dan adanya discharge seromukous. (Soepardi, E.A., 2007)
c.
Pemeriksaan Faring, Rongga Mulut, Hipofaring dan Laring
Dengan lampu kepala dan lidah yang ditekan memakai spatula lidah mula-mula dilihat dinding belakang faring serta kelenjar limfatika, uvula, arkus faring, tonsil, mukosa pipi, gusi dan gigi. Perlu diperhatikan bagaimana penampakan mukosa di rongga mulut dan faring, adakah massa atau tumor, atau adakah peradangan atau ulkus. Pemriksaan hipofaring dan laring memakai kaca laring. Kaca laring dihangatkan dengan api lampu spirtus agar tidak terjadi pengembuna pada kaca laring. Pasien diminta menjulurkan lidah sejauh mungkin.
Lidah
dipegang
dengan
tangan
kiri
memakai
kain
kasa.Kemudian kaca laring dimasukkan ke dalam mulut dengan arah ke bawah. Melalui kaca dapat dilihat hiofaring dan laring. (Soepardi, E.A., 2007)
3. Bagaimana
patofisiologi,
manifestasi
klinis,
pemeriksaan
dan
penatalaksanaan dari Otitis Media Akut ? Dan apa saja etiologi serta faktor resikonya? Otitis Media Akut (OMA) Etiologi dan Faktor Resiko
Otitis media akut bisa disebabkan oleh bakteri dan virus. Bakteri yang paling sering ditemukan adalah
Streptococcus pneumaniae, diikuti oleh
Haemophilus influenza, Moraxella catarrhalis, Streptococcus grup A, dan Staphylococcus aureus. Beberapa mikroorganisme lain yang jarang ditemukan adalah Mycoplasma pneumaniae, Chlamydia pneumaniae, dan Clamydia tracomatis. Broides et al menemukan prevalensi bakteri penyebab OMA adalah H.influenza 48%, S.pneumoniae 42,9%, M.catarrhalis 4,8%, Streptococcus grup A 4,3% pada pasien usia dibawah 5 tahun pada tahun 1995-2006 di Negev, Israil. Sedangkan Titisari menemukan bakteri penyebab OMA pada pasien yang berobat di RSCM dan RSAB Harapan Kita Jakarta pada bulan Agustus 2004 – Februari 2005 yaitu S.aureus 78,3%, S.pneumoniae 13%, dan H.influenza 8,7%. Virus terdeteksi pada sekret pernafasan pada 40-90% anak dengan OMA, dan terdeteksi pada 20-48% OMA. Virus yang
cairan telinga tengah anak dengan
sering sebagai penyebab OMA adalah respiratory
syncytial virus. Selain itu bisa disebabkan virus parainfluenza (tipe 1,2, dan 3), influenza A dan B, rinovirus, adenovirus, enterovirus, dan koronavirus. Penyebab yang jarang yaitu sitomegalovirus dan herpes simpleks. Infeksi bisa disebabkan oleh virus sendiri atau kombinasi dengan bakteri lain (Broides, 2009).
Patofisiologi
Otitis media akut terjadi karena terganggunya faktor pertahanan tubuh. Sumbatan pada tuba Eustachius merupakan faktor utama penyebab terjadinya penyakit ini. Dengan terganggunya fungsi tuba
Eustachius,
terganggu pula pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah sehingga kuman masuk dan terjadi peradangan. Gangguan fungsi tuba Eustachius ini menyebabkan terjadinya tekanan negatif
di telingah tengah,
yang
menyebabkan transudasi cairan hingga supurasi. Pencetus terjadinya OMA adalah infeksi saluran pernafasan atas (ISPA).
Makin sering anak-anak terserang ISPA, makin besar kemungkinan terjadinya OMA. Pada bayi dan anak terjadinya OMA dipermudah karena: 1. morfologi tuba eustachius yang pendek, lebar, dan letaknya agak horizontal; 2. sistem kekebalan tubuh masih dalam perkembangan; 3. adenoid pada anak relatif lebih besar dibanding orang dewasa dan sering terinfeksi sehingga infeksi dapat menyebar ke telinga tengah. Beberapa faktor lain mungkin juga berhubungan dengan terjadinya penyakit telinga tengah, seperti alergi, disfungsi siliar, penyakit hidung dan/atau sinus, dan kelainan sistem imun. Klasifikasi
Ada 5 stadium OMA berdasarkan pada perubahan mukosa telinga tengah, yaitu: 1. Stadium Oklusi Stadium ini ditandai dengan gambaran retraksi membran timpani akibat tekanan negatif telinga tengah. Membran timpani kadang tampak normal atau berwarna suram. 2. Stadium Hiperemis Pada stadium ini tampak pembuluh darah yang melebar di sebagian atau seluruh membran timpani, membrane timpani tampak hiperemis disertai edem. 3. Stadium Supurasi Stadium ini ditandai edem yang hebat telinga tengah disertai hancurnya sel epitel superfisial serta terbentuknya eksudat purulen di kavum timpani sehingga membran timpani tampak menonjol (bulging) ke arah liang telinga luar. 4. Stadium Perforasi Pada stadium ini terjadi ruptur membran timpani sehingga nanah keluar dari telinga tengah ke liang telinga. 5. Stadium Resolusi Pada stadium ini membran timpani berangsur normal, perforasi membran timpani kembali menutup dan sekret purulen tidak ada lagi. Bila
daya tahan tubuh baik atau virulensi kuman rendah maka resolusi dapat terjadi walaupun tanpa pengobatan. Ada juga yang membagi OMA menjadi 5 stadium yang sedikit berbeda yaitu: 1. stadium kataralis; 2. stadium eksudasi; 3. stadium supurasi; 4. Stadium penyembuhan; dan 5. stadium komplikasi. Pemeriksaan dan Diagnosis
Diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal berikut: 1. Penyakitnya muncul mendadak (akut); 2. Ditemukannya tanda efusi di telinga tengah. Efusi dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda berikut: menggembungnya gendang telinga, terbatas /tidak adanya gerakan gendang telinga, adanya bayangan cairan di belakang gendang telinga, cairan yang keluar dari telinga; 3. Adanya tanda / gejala peradangan telinga tengah, yang dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda berikut: kemerahan pada gendang telinga, nyeri telinga yang mengganggu tidur dan aktivitas normal. Diagnosis OMA dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat. Gejala yang timbul bervariasi bergantung pada stadium dan usia pasien. Pada anak –anak umumnya keluhan berupa rasa nyeri di telinga dan demam. Biasanya ada riwayat infeksi saluran pernafasan atas sebelumnya. Pada remaja atau orang dewasa biasanya selain nyeri terdapat gangguan pendengaran dan telinga terasa penuh. Pada bayi gejala khas adalah panas yang tinggi, anak gelisah dan sukar tidur, diare, kejang-kejang dan sering memegang telinga yang sakit. Beberapa teknik pemeriksaan dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis OMA, seperti otoskop, otoskop pneumatik, timpanometri, dan timpanosintesis.Dengan otoskop dapat dilihat adanya gendang telinga yang menggembung, perubahan warna gendang telinga menjadi kemerahan atau agak kuning dan suram, serta cairan di liang telinga. Jika konfirmasi diperlukan, umumnya dilakukan dengan otoskopi pneumatik. Gerakan gendang telinga yang berkurang atau tidak ada sama sekali dapat dilihat dengan pemeriksaan ini. Pemeriksaan ini meningkatkan
sensitivitas diagnosis OMA. Namun umumnya diagnosis OMA dapat ditegakkan dengan otoskop biasa. Untuk mengkonfirmasi penemuan otoskopi pneumatik dilakukan timpanometri. Timpanometri dapat memeriksa secara objektif mobilitas membran timpani dan rantai tulang pendengaran. Timpanometri merupakan konfirmasi penting terdapatnya cairan di telinga tengah. Timpanometri juga dapat mengukur tekanan telinga tengah dan dengan mudah menilai patensi tabung miringotomi dengan mengukur peningkatan volume liang telinga luar. Timpanometri punya sensitivitas dan spesifisitas 70-90% untuk deteksi cairan telinga tengah, tetapi tergantung kerjasama pasien. Timpanosintesis, diikuti aspirasi dan kultur cairan dari telinga tengah, bermanfaat pada anak yang gagal diterapi dengan berbagai antibiotika, atau pada imunodefisiensi. Timpanosintesis merupakan standar emas untuk menunjukkan adanya cairan di telinga tengah dan untuk mengidentifikasi patogen yang spesifik. Menurut beratnya gejala, OMA dapat diklasifikasi menjadi OMA berat dan tidak berat. OMA berat apabila terdapat otalgia sedang sampai berat, atau demam dengan suhu lebih atau sama dengan 39ºC oral atau 39,5ºC rektal, atau keduanya. Sedangkan OMA tidak berat apabila terdapat otalgia ringan dan demam dengan suhu kurang dari 39ºC oral atau 39,5ºC rektal, atau tidak demam. Terapi
Pengobatan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pada stadium oklusi pengobatan terutama dilakukan bertujuan untuk membuka
kembali tuba Eustachii, sehingga tekanan negative di telinga tengah hilang. untuk itu diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,5% dalam larutan fisiologis (untuk <12 Tahun) atau HCl efedrin 1% dala, larutan fisiologis (untuk >12 Tahun dan orang dewasa). Selain itu sumber infeksi harus diobati. Antibiotika diberikan apabila penyebab utamanya adalah kuman, bukan virus atau alergi. Terapi pada stadium presupurasi ialah antibiotika, obat tetes hidung dan analgetika. Antibiotika yang dianjurkan adalah dari golongan
penisilin atau ampisilin. Terapi awal diberikan penisilin intramuscular agar didapatkan konsentrasi yang adekuat dalam darah, sehingga tidak terjadi mastoiditis yang terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa, dan kekambuhan. Pemberian antibiotika dianjurkan selama 7 hari. Bila pasien alergi terhadap penisilin bisa diberikan eritromisin. Pada anak, ampisilin diberikan dengan dosis 50-100 mg/Kg BB per hari dibagi dalam 4 dosis, atau amoksisilin 40 mg/kg BB per hari dibagi dalam 3 dosis, atau eritromisin 40 mg/kg BB per hari Pada stadium supurasi selain diberikan antibiotika, idealnya harus disertai dengan mirigotomi, bila membrane timpani masih utuh, dengan miringotomi gejala –gejala klinis lebih cepat hilang dan rupture dapat dihindari. Pada stadium perforasi sering terlihat secret banyak keluar dan kadang terlihat secret keluar secara berdenyut (pulsasi). Pengobatan yang diberikan adalah obat cuci telinga H202 3% selama 3-5 hari serta antibiotika yang adekuat. Biasanya secret akan hilang dan perforasi dapat menutup kembali dalam waktu 7-10 hari. Pada stadium resolusi , maka membrane timpani berangsur normal kembali, sekret tidak ada lagi dan perforasi membrane timpani menutup (Djaafar, 2007). Komplikasi
Komplikasi yang serius adalah: a. Infeksi pada tulang di sekitar telinga tengah (mastoiditis atau petrositis) b. Labirintitis (infeksi pada kanalis semisirkuler) c. Kelumpuhan pada wajah d. Tuli e. Peradangan pada selaput otak (meningitis) f.
Abses Otak
g. Tanda-tanda terjadinya komplikasi: h. Sakit kepala i.
Tuli yang terjadi secara mendadak
j.
Vertigo (perasaan berputar)
k. Demam dan menggigil. (Boies, 2012).
4. Bagaimana
patofisiologi,
manifestasi
klinis,
pemeriksaan
dan
penatalaksanaan dari Otitis Media Supuratif Kronis? Dan apa saja etiologi serta faktor resikonya? Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK)
Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah infeksi kronik telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan keluarnya sekret dari telinga tengah secara terus menerus atau hilang timbul.Sekret mungkin encer atau kental, bening, atau nanah.Biasanya disertai gangguan pendengaran (Kapita Selekta, 2000). Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) dahulu disebut otitis media perforata (OMP) atau dalam sebutan sehari-hari congek.Yang disebut otitis media supuratif kronis ialah infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus menerus atau hilang timbul.Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah. Otitis media kronis adalah perforasi yang perforasi yang parmanen dari membrana timpani, dengan atau tidak dengan perubahan permanen pada telinga tengah (Helmi, 2002 ). Epidemiologi
Penyakit ini terdapat pada semua bangsa di seluruh dunia baik di negara berkembang maupun negara yang sudah maju. Di negara-negara sedang berkembang angka kejadian OMSK jauh lebih tinggi oleh karena beberapa hal misalnya higiene yang kurang, faktor sosio ekonomi, gizi yang rendah, kepadatan penduduk serta masih ada pengertian masyarakat yang salah terhadap penyakit ini sehingga mereka tidak berobat sampai tuntas. (Djaafar, 2002).
Menurut survei yang dilakukan pada 7 propinsi di Indonesia pada tahun 1996 ditemukan insiden Otitis Media Supuratif Kronik (atau yang oleh awam dikenall sebagai “congek”) sebesar 3% dari penduduk Indonesia. Dengan kata lain dari 220 juta penduduk Indonesia diperkirakan terdapat 6,6 juta penderita OMSK. Jumlah penderita ini kecil kemungkinan untuk berkurang bahkan mungkin bertambah setiap tahunnya mengingat kondisi ekonomi yang masih buruk, kesadaran akan kesehatan yang masyarakat yang masih rendah dan sering tidak tuntasnya pengobatan yang dilakukan (Djaafar, 2002). Etiologi
Sebagian besar OMSK merupakan kelanjutan dari Otitis Media Akut (OMA) dan sebagian kecil disebabkan oleh perforasi membran timpani akibat trauma telinga.Kuman penyebab biasanya kuman gram positif aerob, pada infeksi yang sudah berlangsung lama sering juga terdapat kuman gram negatif dan kuman anaerob (Djaafar, 2002). Kuman penyebab OMSK antara lain kuman Staphylococcus aureus (26%), Pseudomonas aeruginosa (19,3%), Streptococcus epidermidimis (10,3%), gram positif lain (18,1%) dan kuman gram negatif lain (7,8%). Biasanya pasien mendapat infeksi telinga ini setelah menderita saluran napas atas misalnya influenza atau sakit tenggorokan.Melalui saluran yang menghubungkan antara hidup dan telinga (tuba Auditorius), infeksi di saluran napas atas yang tidak diobati dengan baik dapat menjalar sampai mengenai telinga (Djaafar, 2002). Patofisiologi
Telinga tengah biasanya steril, meskipun terdapat mikroba di nasofaring dan faring. Secara fisiologik terdapat mekanisme pencegahan masuknya mikroba ke dalam telinga tengah oleh silia mukosa tuba Eustachius, enzim dan antibodi. Otitis media akut terjadi karena faktor pertahanan tubuh ini terganggu.Sumbatan tuba Eustachius merupakan faktor penyebab utama dari otitis media.Karena fungsi tuba Eustachius terganggu, pencegahan
invasi kuman ke dalam telinga tengah juga terganggu, sehingga kuman masuk ke dalam telinga tengah dan terjadi peradangan.(Djafar, 2000). Otitis media akut dengan perforasi membran timpani menjadi Otitis media supuratif kronis apabila prosesnya sudah lebih dari 2 bulan. Bila proses infeksi kurang dari 2 bulan, disebut otitis media supuratif subakut. Beberapa faktor yang menyebabkan OMA menjadi OMSK ialah terapi yang terlambat diberikan, terapi yang tidak adekuat, virulensi kuman tinggi, daya tahan tubuh pasien rendah (gizi kurang) atau higiene buruk (Djafar, 2000). Sebagian besar OMSK merupakan kelanjutan OMA yang prosesnya sudah berjalan lebih dari 2 bulan.Beberapa faktor penyebab adalah terapi yang terlambat, terapi tidak adekuat, virulensi kuman tinggi, daya tahan tubuh rendah, atau kebersihan buruk.Bila kurang dari 2 bulan disebut subakut.. Peradangan atau infeksi dari telinga tengah terjadi ketika tuba eustachius tersumbat (blacked). Tuba eustachius adalah saluran yang menghubungkan antara nasofaring dan telinga tengah.Otitis media kronis terjadi karena tuba eustachius tersumbat berulang-ulang (tersumbat dalam jangka waktu yang lama).Hal ini dapat terjadi karena alergi, infeksi multiperl, trauma telinga dan pembesaran adenoid.Ketika telinga tengah terinfeksi oleh bakteri atau kadang-kadang virus, ini bisa menjadi serius. Kemungkinan otitis media kronis merupakan sebab dari OMA yang tidak diobati secara optimal atau merupakan sebab dari infeksi telinga yang terjadi secara berulang Klasifikasi
OMSK dibagi dalam 2 jenis, yaitu benigna atau tipe mukosa, dan maligna atau tipe tulang.Berdasarkan sekret yang keluar dari kavum timpani secara aktif juga dikenal tipe aktif dan tipe tenang. Berdasarkan aktivitas sekret yang keluar dikenal juga OMSK tenang.OMSK aktif ialah OMSK dengan sekret yang keluar dari kavum timpani secara aktif, sedangkan OMSK tenang ialah yang keadaan kavum timpaninya terlihat basah atau kering.
Karena telinga tengah berhubungan dengan mastoid, maka otitis media kronik sering kali disertai mastoiditis kronik.Kedua peradangan ini dapat dianggap aktif atau inaktif.Aktif merujuk pada adanya infeksi dengan pengeluaran sekret telinga atau otorrhea akibat perubahan patologi dasar seperti kolesteatoma atau jaringan granulasi.Inaktif merujuk pada sekucle dari infeksi aktif terdahulu yang telah “terbakar habis”, dengan demikian tidak ada ottorhoe. Pasien dengan otitis media kronik inaktif seringkali mengeluh gangguan pendengaran. Mungkin terdapat gejala lain seperti vertigo, tinitus, atau suatu rasa penuh dalam telinga. Biasanya tampak perforasi membran timpani yang kering. Perubahan lain dapat menunjukkan timpanosklerosis (bercak-bercak putih pada membran timpani), hilangnya osikula yang terkadang dapat terlihat lewat perforasi membrana timpani, serta fiksasi atau terputusnya rangkaian osikula akibat infeksi terdahulu. Bila gangguan pendengaran dan cacat cukup berat, dapat dipertimbangkan koreksi bedah atau timpanoplasti. Pada OMSK benigna, peradangan terbatas pada mukosa saja, tidak mengenai
tulang.Perforasi
terletak
di
sentral.Jarang
menimbulkan
komplikasi berbahaya dan tidak terdapat kolesteatom (Djaafar, 2002). Proses peradangan pada OMSK tipe benigna terbatas pada mukosa saja,
dan
biasanya
tidak
mengenai
tulang.
Perforasi
terletak
di
sentral.Umumnya OMSK tipe benigna jarang menimbulkan komplikasi yang berbahaya.Pada OMSK tipe benigna tidak terdapat koleasteatom (Djaafar, 2003). OMSK tipe maligna disertai dengan kolesteatom.Perforasi terletak marginal, subtotal, atau di atik.Sering menimbulkan komplikasi yang berbahaya atau fatal (Djaafar, 2000). Yang dimaksud dengan OMSK tipe maligna ialah OMSK yang disertai dengan kolesteatoma.OMSK ini dikenal juga dengan OMSK tipe bahaya atau OMSK tipe tulang.Perforasi pada OMSK tipe maligna letaknya marginal atau di atik, kadang-kadang terdapat juga kolesteatoma pada
OMSK
dengan
perforasi
subtotal.Sebagian
besar
komplikasi
yang
berbahaya atau fatal timbul pada OMSK tipe maligna. Diagnosis Klinis
Mengingat bahaya komplikasi, OMSK maligna harus dideteksi sejak dini.Diagnosis pasti ditegakkan pada penemuan di kamar operasi. Beberapa tanda klinis sebagai pedoman adalah perforan pada marginal atau atik, abses atau fistel petroanrikuler, polip atau jaringan granulasi ditelinga tengah, sekret pembentuk nanah dan berbau khas . Pada
inspeksi
telinga
didapatkan
mukosa
telinga
hiperemisi
gelembung udara atau cairan di belakang membrana tympani.Membrani tympani tampak kering atau perforasi (terdapat lubang pada membran tympani) membrana tympani tampak reetraksi ke dalam. Kultur dari sekret didapatkan bakteri, bakteri tersebut dapat merupakan penyebab dari OMA yang resisten. X-ray atau CT scan kepala didapat penyebaran dari infeksi telinga tengah Uji fistula perlu dilakukan pada setiap kasus supurasi telinga tengah kronik dengan riwayat vertigo.Uji ini memerlukan pemberian tekanan positif dan negatif pada membrana timpani dan dengan demikian dapat diteruskan melalui rongga telinga tengah.Untuk tujuan ini dapat digunakan otoskop pneumatik bila dapat dipastikan pemasangan yang erat.Uji ini perlu rutin dikerjakan pada pasien-pasien dengan otitis media kronik, karena fistula sering kali ada sekalipun tanpa vertigo.Akan tetapi uji fistula yang berhasil negatif, belum dapat menyingkirkan kemungkinan adanya fistula. Terapi
Penatalaksanaan Terapinya sering lama dan harus berulang-ulang karena : 1. Adanya perforasi membran timpani yang permanen 2. Terdapat sumber infeksi di faring, nasofaring, hidung, dan sinus paranasal, 3. Telah terbentuk jaringan patologik yang ireversibel dalam rongga mastoid
4. Gizi dan kebersihan yang kurang Prinsip terapi OMSK tipe benigna ialah konservatif atau dengan medikamentosa.Bila sekret yang keluar terus menerus, maka diberikan obat pencuci telinga, berupa larutan H2O2 3% selama 3-5 hari.Setelah sekret berkurang, maka terapi dilanjutkan dengan memberikan obat tetes telinga yang mengandung antibiotika dan kartikosteroid.Banyak ahli berpendapat bahwa semua obat tetes yang dijual di pasaran saat ini mengandung antibiotika yang bersifat ototoksik.Oleh sebab itu penulis menganjurkan agar obat tetes telinga jangan diberikan secara terus menerus lebih dari 1 atau 2 minggu atau pada OMSK yang sudah tenang.Secara oral diberikan antibiotika dari golongan ampisilin, atau eritromisin, (bila pasien alergi terhadap penisilin), sebelum tes resistensi diterima.Pada infeksi yang dicurigai karena penyebabnya telah resisten terhadap ampisilin dapat diberikan ampisilin asam klavulanat. Bila sekret telah kering, tetapi perforasi masih ada setelah diobservasi selama
2
bulan,
maka
idealnya
dilakukan
miringoplasti
atau
timpanoplasti.Operasi ini bertujuan untuk menghentikan infeksi secara permanen, memperbaiki membran timpani yang perforasi, mencegah terjadinya komplikasi atau kerusakan pendengaran yang lebih berat, serta memperbaiki pendengaran. Bila terdapat sumber infeksi yang menyebabkan sekret tetap ada, atau terjadinya infeksi berulang, maka sumber infeksi itu harus diobati terlebih dahulu,
mungkin
juga
perlu
melakukan
pembedahan,
misalnya
adenoidektomi dan tonsilektomi. Prinsip terapi OMSK tipe maligna
ialah pembedahan, yaitu
mastoidektomi.Jadi, bila terdapat OMSK tipe maligna, maka terapi yang tepat
ialah
dengan
timpanopplasti.Terapi
melakukan konservatif
mastoidektomi dengan
dengan
atau
medikamentosa
tanpa
hanyalah
merupakan terapi sementara sebelum dilakukan pembedahan.Bila terdapat abses subperiosteal retroaurikuler, maka insisi abses sebaiknya dilakukan tersendiri sebelum kemudian dilakukan mastoidektomi.
Pencegahan
Pengobatan yang cepat dari OMA akan mencegah berkembangnya OMA menjadi OMC. Pemeriksaan ulangan sesudah pengobatan dari telinga yang terinfeksi akan menyakinkan bahwa penderita sudah sembuh. Komplikasi
Menurut Shanbough (2003) komplikasi OMK terbagi atas: a. Komplikasi Intratemporal i. Perforasi membrane timpani. ii. Mastoiditis akut. iii. Parese nervus fasialis. iv. Labirinitis. v. Petrositis. b. Komplikasi Ekstratemporal. i. Abses subperiosteal. c. Komplikasi Intrakranial. i. Abses otak. ii. Tromboflebitis. iii. Hidrocephalus otikus. iv. Empiema subdural/ ekstradural
5. Bagaimana
patofisiologi,
manifestasi
klinis,
pemeriksaan
dan
penatalaksanaan dari Rhinitis Allergica? Dan apa saja etiologi serta faktor resikonya? Rhinitis Allergica (RA)
Rhinitis alergi adalah inflamasi di dalam cavum nasi yang disebabkan oleh alergen, seperti debu, serbuk sari bunga, dan alergen lainnya. Patofisiologi
Rhinits alergi ini disebabkan reaksi imunologis tubuh yang berusaha melawan alergen yang terhirup ke dalam cavum nasi. Ketika sistem imun tubuh mengenali alergen dan menimbulkan reaksi oversensitifitas maka
sistem imun akan menghasilkan antibodi untuk melawan alergen tersebut. Antibodi adalah protein yang khusus dikeluarkan oleh cel dan beredar di darah untuk melawan firus dan infeksi. Reaksi alergi tidak akan muncul pada paparan pertama alergen, terdapat tahap pengenalan ‘sensitasi’ terlebih dahulu. Setelah tubuh meningkatkan sensitifitas terhadapa alergen tersebut, setiap tubuh terpapar alergen maka sel-sel tubuh pada bagian yang bersangkutan akan mengeluarkan zat-zat kima berupa Histamin yang nantinya kan menimbulkan rekasi alergi. Gejala
a. Primer i. Inflamasi membran mukosa hidung - nantinya kan menghalangi jalan udara ii. Produksi sekret mukus – disebabkan karena terdapat inflamasi dan menyebabkan bersin-bersin dan keluarnya sekret iii. Hidung gatal iv. Kesulitan dalam membau v. Mata berair b. Sekunder i. Batuk ii.
Sakit tenggorokan
iii.
Kelelahan
iv.
Sakit kepala Pemeriksaan
a. Anamnesis : gejala, onset, riwayat penyakit dahulu (alergi,dsb) b. Pemeriksaan fisik c. Test alergi : test kulit, pemeriksaan darah (IgE), penghitungan jumlah eosinophil pada sel darah putih Penatalaksanaan
a. Gaya hidup dan menghindari alergen b. Medikamentosa : i. Antihistamin
ii. Kortikosteroid iii. Decongestan c. Suntik alergi (imunoterapi)
6. Bagaimanakah hubungan antara riwayat penyakit dahulu dengan riwayat penyakit sekarang? Pada saat remaja pasien sering pilek saat terpapar debu dikarenakan pasien memiliki alergi terhadap debu sehingga memicu adanya rhinitis alergika. Karena tidak diobati hingga tuntas dan timbul berkali-kali hal ini berlanjut sebagai pencetus otitis media akut pada 1 tahun yang lalu. Otitis media bisa terjadi karena pada rhinitis alergika dapat terjadi penyumbatan tuba Eustachius. Hal ini menyebabkan tekanan negatif pada telinga tengah sehingga membran timpani retraksi dan menyebabkan pasien merasa nyeri, tahap ini disebut stadium oklusi. Berlanjut pada tahap hiperemis dimana membran timpani tampak pembuluh darahnya melebar serta edema. Sekret telah terbentuk namun masih sukar dilihat. Pada saat stadium supurasi membran timpani menonjol ke arah telinga luar akibat edema yang hebat pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel epitel superfisial, serta terbentuknya eksudat purulen di kavum timpani. Apabila tidak ditangani dan tekanan di telinga tengah tidak berkurang terjadilah iskemia, tromboflebitis dan nekrosis mukosa serta submukosa. Di tempat ini akan terjadi ruptur dan cairan yang tertumpuk pada kavum timpani akan mengalir ke telinga luar. Tidak menutupnya membran timpani pada stadium resolusi berlanjut pada penyakit otitis media supuratif kronis (OMSK) bila sudah lebih dari 2 bulan atau 8 minggu. Cairan kental, kuning, dan berbau busuk menandakan adanya infeksi pada telinga tengah yang merupakan invasi dari nasofaring melalui tuba auditiva. Lamanya pasien sejak mengeluhkan cairan keluar dari telinga 1 tahun yang lalu dapat menandakan pasien menderita otitis media supuratif kronis. (Mansjoer,2007)
7. Bagaimanakah patofisiologi terjadinya gejala-gejala pada skenario? Gejala pada Riwayat Penyakit Dahulu :
a. “Sering pilek dan hidung tersumbat bergantian kanan dan kiri terutama bila ada debu” Dari gejala diatas kemungkinan pasien menderita rhinitis alergika. Rhinitis alergika adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. (WHO, 2001) Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam. Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji ( Antigen Presenting Cell /APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II ( Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator)
sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk ( Performed Mediators) terutama histamine. (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008) Secara
garis
besar,
pengeluaran
histamine
oleh
tubuh
akan
menyebabkan, rasa gatal gidung dan bersin-bersin, hipersekresi kelenjar mukosa dan sel goblet ditambah meningkatnya permeabilitas kapiler, dan hidung menjadi tersumbat karena vasodilatasi sinusoid. (Swardana, 2000)
b. “Telinga kanan keluar cairan encer, jernih, dan ada darah. Kambuhkambuhan jika batuk pilek.” Gejala diatas merupakan kelanjutan dari gejala pasien yang sering menderita batuk pilek saat terpapar debu. Gejala diatas kemungkinan terjadi karena pasien terus terpapar oleh allergen, dan tidak melakukan pengobatan atau pencegahan supaya alerginya tidak kambuh. Kemungkinan pasien setahun yang lalu menderita otitis media, infeksinya berasal dari hidung pasien menyebar ke telinga tengah pasien melalui tuba auditiva eustachii, yang merupakan penghubung nasofaring dengan auris media. Setelah itu, terbentuk efusi di dalam auris media karena infeksi dari hidung itu sendiri. Cairan lama-lama terakumulasi di dalam auris media sehingga mendesak membrane timpani kearah lateral/bulging. Jika keadaan ini tidak diobati (seperti kemungkinan yang terjadi pada skenario), membrane timpani tidak dapat menahan cairan yang ada di dalam auris media, dan terjadi rupture membrane timpani/perforasi sehingga keluar cairan dan darah dari dalam telinga. Keadaan ini dapat terjadi kambuhkambuhan karena sumber infeksinya sendiri belum diobati. (Djaafar, 2012)
c.
“Sekret kuning, kental, dan bau busuk dari telinga.” Seperti yang telah dijelaskan, pasien setahun yang lalu kemungkinan
besar menderita otitis media. Akan tetapi, karena mungkin pasien tidak melakukan pengobatan atau pengobatan setahun yang lalu tidak adekuat, telinga tengah pasien tetap mengeluarkan cairan, ditambah daya tahan tubuh pasien yang lemah dikarenakan pasien mempunyai alergi terhadap debu dan terpajan setiap hari. Karena penyakit yang dideritanya sudah mencapai kronis, maka keadaan sekret yang keluar pun berbeda dibandingkan setahun yang lalu, yakni kuning, kental dan berbau busuk. (Balqis, 2013)
d. “Telinga berdengung dan kepala pusing.” Gejala yang dirasakan pasien adalah tinnitus. Pada tinitus terjadi aktivitas elektrik pada area auditorius yang menimbulkan perasaan adanya bunyi, namun impuls yang ada bukan berasal dari bunyi eksternal yang ditransfor-masikan, melainkan berasal dari sumber impuls abnormal di dalam tubuh pasien sendiri. Impuls abnormal itu dapat ditimbulkan oleh berbagai kelainan telinga. Tinitus dapat terjadi dalam berbagai intensitas. Tinitus dengan nada rendah, seperti bergemuruh atau nada tinggi, seperti berdengung. Tinitus dapat terus menerus atau hilang timbul terdengar. Tinitus biasanya dihubungkan dengan tuli sensorineural dan dapat juga terjadi karena gangguan konduksi. Tinitus yang disebabkan oleh gangguan konduksi, biasanya berupa .bunyi dengan nada rendah. Jika disertai dengan inflamasi, bunyi dengung ini terasa ber-denyut (tinitus pulsasi).Tinitus dengan nada rendah dan terdapat gangguan konduksi, biasanya terjadi pada sum-batan liang telinga karena serumen atau tumor, tuba katar, otitis media, otosklerosis dan Iain-lain. (Djaafar, 2012)
8. Apakah pengertian dan penyebab tinnitus? Bagaimana patofisiologi, pemeriksaan dan penatalaksanaannya? Tinnitus
Tinnitus adalah keadaan dimana terdengar suara di telinga atau di kepala tanpa adanya stimulus akustik. Suara yang terdengar dapat berupa nada murni atau nada multiple dan dapat pula berupa nada tinggi, nada rendah, berdenging, bergemuruh, bunyi ‘klik ’ , bunyi mendesis, kasar, berdenyut, atau menetap. Tinnitus merupakan hasil aktifitas abnormal di perjalanan saraf yang diterima sebagai sensasi suara dalam pendengaran. Hal ini merupakan suatu sistem yang kompleks dan bukan merupakan suatu penyakit. Secara epidemiologi sekitar 10% penduduk pernah mengalami tinnitus, 1% mengalami tinnitus berat. Kebanyakan pasien berusia 50-71 tahun. Penyebab tinnitus
Penyebab umum: a. Kotoran telinga berlebihan b. Infeksi telinga c. Cedera kepala d. Penyakit kardiovaskuler e. Penyakit Meniere f. Degenerasi ossiculae auditivae g. Paparan bising Penyebab lain: a. Idiopatik b. Hearing loss c. Presbyacusis d. Neuroma akustik e. Obat-obatan f. Lesi pembuluh darah intra cranial
Tinnitus dapat dibedakan menjadi tinnitus subyektif dan obyektif. Seseorang dikatakan tinnitus obyektif bila tinnitusnya dapat didengar pemeriksa. Bila mempunyai karakter berdenyut atau timbul pada keadaan tertentu, ada kemungkinan karena pembuluh darah yang abnormal, tuba eustachii abnormal atau masalah otot tympani. Tinnitus yang berasal dari pembuluh darah yang abnormal biasanya berbunyi halus, berdesir, berdenyut sesuai irama jantung. Keadaan yang dapat menyebabkan tinnitus objektif adalah arterio venosus shunt, arterial bruit, venosus hum, dan patulous tuba eustachii. Tinnitus yang berasal dari neurosensoral belum dapat dijelaskan fisiologinya, dapat disebabkan oleh kelainan cochlea, n. cochlearis, dan hiperaktifitas sel rambut. Tinnitus berhubungan kuat dengan depresi dan anxietas karena dapat mempengaruhi tidur dan konsentrasi. Evaluasi pasien dengan tinnitus
a. Bagaimana karakteristik suara dan kualitas hidup pasien b. Riwayat hilang pendengaran c. Ada tidaknya paparan bising d. Pemakaian obat-obatan ototoksik e. Pemeriksaan saraf telinga f. Diagnose banding g. Tinnitus subyektif / obyektif Pemeriksaan yang dilakukan
a. Inspeksi cavum auditorius, auris eksterna, membrana tympanica, n. V, VI, VII, articulation temporomandibularis, auskultasi jantung, arteri karotis, region periaural b. Pemeriksaan otoskopi melihat adanya penyakit auris eksterna dan auris media, kotoran telinga, mobilitas abnormal membrane tympanica dan ossicula auditiva, kontraksi musculi auris media. c. Evaluasi vestibulokoklearis, test audiologi, evaluasi vestibuler, pemeriksaan radiologi
d. Evaluasi
cochlear,
pure-tone
audiometri,
ABR
( Auditory
Brainstem Response), speech audiometric, test tone decay, impedance audiometric, reflex akustik, test reflex decay. Penatalaksanaan tinnitus
Beberapa tinnitus dapat
dieliminasi
dengan obat-obatan atau
pembedahan. Vasodilator, zat anestesi, Xanax, lidocain, antidepresan dapat mensupresi tinnitus. Terkadang beberapa kasus tinnitus dapat mengalami resolusi spontan, tetapi banyak juga yang menetap. Pengobatan didasarkan pada kelainan yang didapat seperti bila ada kotoran telinga maka telinga dibersihkan, bila ada infeksi telinga maka diberi pengobatan. Pada tinnitus subyektif karena penyebabnya sering tidak diketahui maka pengobatan pun menjadi sulit. Bila dengan obat-obatan tidak ada perbaikan maka diberikan TRT (Tinnitus Retraining Therapy), yaitu suatu cara dimana pasien diberikan suara lain sehingga keluhan suara berdenging tidak dirasakan lagi. Hal ini bisa dilakukan dengan mendengar radio FM yang tidak sedang melakukan siaran terutama pada saat tidur. Bila tinnitus disertai gangguan pendengaran dapat diberikan alat bantu dengar yang disertai masking.
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Hasil anamnesis pada pasien di skenario didapatkan keterangan adanya infeksi pada telinga pasien. Dari riwayat penyakit dahulu pasien yang sering pilek saat remaja, apalagi jika terpapar debu dicurigai adanya riwayat alergi yang cukup lama. Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior ditemukan adanya discharge seromukous, konka hipertrofi dan livide, dan yang terakhir ini merupakan tanda khas pada kejadian rhinitis allergica. Dan pada pemeriksaan otoskopi, telinga kanan didapatkan adanya discharge mukopurulen, dan granuloma. Granuloma itu sendiri merupakan tanda bahwa telah terjadi rekasi radang yang kronis yang ditemukan biasanya pada otitis media supuratif kronis (OMSK). OMSK sendiri dapat terjadi jika telah terjadi otitis media akut (OMA) terlebih dahulu. Jika dilihat dari riwayat penyakit dahulu pasien, rhinitis kronis dapat menyebabkan gangguan pada tuba eustachii yang akhirnya menyebabkan oklusi dari tuba eustachii. Oklusi tersebut menimbulkan tekanan negatif pada telinga tengah yang nantinya menghalangi keluarnya sekret dari telinga tengah ke nasofaring. Dengan adanya infeksi yang masuk ke tuba akibat rhinitis dan juga kegagalan tuba untuk mngeluarkan sekretnya menimbulkan terjadinya infeksi pada telinga tengah (OMA). Karena terjadinya OMA pada pasien tidak dilakukan pengobatan yang adekuat dan dibiarkan saja, maka lama-elamaan timbullah otitis media supuratif kronis (OMSK). Karena itu, dalam tatalaksana seharusnya tidak hanya dilakukan pengobatan medikamentosa, seperti antibiotik, antiinflamasi, antinyeri, tetapi juga perlu dilakukan pembersihan telinga tengah. Selain itu, pasien perlu diberikan edukasi mengenai pencegahan timblnya rhinitis allergica dengan menghindari bahan-bahan yang memicu
Saran
Dalam diskusi tutorial ini, mahasiswa sudah cukup aktif. Namun masih kurang dalam penelusuran literature yang valid. Tutor sudah baik dalam menjaga situasi diskusi dan juga mengarahkan mahasiswa. Sehingga tujuan pembelajaran yang ada dapat tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Adams GL, Boies LR, Higler PA. Penyakit Telinga Tengah dan Mastoid. Boies, Buku Ajar Penyakit THT Ed. 6. Jakarta:EGC;88-119 Balqis, Nora. 2011. Gambaran otitis media supuratif kronik di RSUP. H.Adam Malik tahun 2008. http://www.repository.usu.ac.id (Diakses tanggal 28 Agustus 2013) Barrett, E., dkk. 2011. Ganong’s Review of Medical Physiology: Hearing & Equilibrium 23rd Ed . Singapore: Mc Graw Hill. p.203-13. Broides, A., dkk. Acute otitis media caused by Moraxella catarrhalis: Epidemiologic and Clinical Characteristic. Clinical Infectious Diseases 2009;49:1641–7. Djaafar, Z.A., Helmi Restuti R.D. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, Edisi Keenam. Jakarta: FKUI Djaafar, Z.A.. 2003. Otittis Media Supuratif Kronik , dalam Soepardi, S.A., dkk, (ed), Penatalaksanaan Penyakit dan Kelainan Telinga Hidung Tenggorok, Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FK UI Helmi. 2002. Komplikasi Otitis Media Supuratif Kronis dan Mastoiditis, dalam Soepardi, E.A., dkk, (ed), Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FK UI Henochowicz, S. I. 2012. Allergic rhinitis. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000813.htm. (Diakses
tanggal 3 September 2013) Medicinesia. 2012. Fisiologi Pendengaran. http://www.medicinesia.com/kedokteran-dasar/penginderaan-kedokterandasar/fisiologi-pendengaran/. (Diakses tanggal 1 September 2013)