PENETAPAN KADAR CRP SECARA KUALITATIF
Nama : Novi Andareswari
NIM : BIJ012148
Rombongan : V
Kelompok : 3
Asisten : Syarif Maulana Yusuf
LAPORAN PRAKTIKUM IMUNOBIOLOGI
KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2015
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
CRP merupakan salah satu dari beberapa protein yang sering disebut sebagai protein fase akut dan digunakan untuk memantau perubahan-perubahan dalam fase inflamasi akut yang dihubungkan dengan banyak penyakit infeksi dan penyakit autoimun. Beberapa keadaan dimana CRP dapat dijumpai meningkat adalah radang sendi (rheumatoid arthritis), demam rematik, kanker payudara, radang usus, penyakit radang panggung (pelvic inflammatory disease, PID), penyakit Hodgkin, SLE, dan infeksi bakterial. CRP juga meningkat pada kehamilan trimester terakhir, pemakaian alat kontrasepsi intrauterus dan pengaruh obat kontrasepsi oral (Bellanti, 1993).
C-reactif (C-reactive protein, CRP) dibuat oleh hati dan dikeluarkan ke dalam aliran darah. CRP beredar dalam darah selama 6-10 jam setelah proses inflamasi akut dan destruksi jaringan. Kadarnya memuncak dalam 48-72 jam. Seperti halnya uji laju endap darah (erithrocyte sedimentation rate, ESR), CRP merupakan uji non-spesifik tetapi keberadaan CRP mendahului peningkatan LED selama inflamasi dan nekrosis lalu segera kembali ke kadar normalnya (Rose et al., 1979).
Tes CRP seringkali dilakukan berulang-ulang untuk mengevaluasi dan menentukan apakah pengobatan yang dilakukan efektif. CRP juga digunakan untuk memantau penyembuhan luka dan untuk memantau pasien paska bedah sebagai sistem deteksi dini kemungkinan infeksi. Tes CRP dapat dilakukan secara manual menggunakan metode aglutinasi atau metode lain yang lebih maju, misalnya sandwich imunometri. Tes aglutinasi dilakukan dengan menambahkan partikel latex yang dilapisi antibodi anti CRP pada serum atau plasma penderita sehingga akan terjadi aglutinasi. Untuk menentukan titer CRP, serum atau plasma penderita diencerkan dengan buffer glisin dengan pengenceran bertingkat (1/2, 1/4, 1/8, 1/16 dan seterusnya) lalu direaksikan dengan latex. (Boediana, 2001)
Tinjauan Pustaka
C- Reaktif protein adalah salah satu dari protein fase akut yang didapatkan dalam serum normal walaupun dalam jumlah yang kecil. Pada keadaan-keadaan tertentu dimana didapatkan adanya reaksi radang atau kerusakan jaringan (nekrosis), yaitu baik yang infektif maupun yang tidak infektif. Kadar CRP dalam serum dapat mengikat sampai 1000 kali (Handojo, 1982).
Banyak protein plasma mengikat secara akut sebagai respon terhadap penyakit, infeksi dan nekrosis jaringan. Protein- protein ini mencakup glikoprotein α-1-asam, α-1-anti tripsin, serum plasma haptoglogin. Fibrinogen dan protein C- Reaktif (CRP). Yang paling bermanfaat dari zat-zat tersebut adalah CRP karena berdasarkan cepatnya peningkatan sebagai respon terhadap penyakitakut dan cepatnya pembersihan setelah stimulus mereda (Sacher et al., 2004).
CRP adalah globula alfa abnormal yang cepat timbul adalah serum penderita dengan penyakit karena infeksi atau karena sebab-sebab lain. Protein ini tidak terdapat dalam darah orang sehat. Protein ini dapat menyebabkan pesipitasi hidrat arang C dari Pneumococcus. (Bonang, 1982) CRP merupakan fase, keadaannya meningkat 24 jam pasca infeksi, peradangan akut kerusakan jaringan. Unsur pokok dari mikroorganisme dan juga struktur sex manusia disebut juga CRP karena mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan C- pneumococcus polisakarida (Starr, 2000).
Tujuan
Tujan dari praktikum kali ini adalah mendeteksi keberadaan CRP dalam serum darah dan mengetahui kadar CRP dalam serum darah.
II. MATERI DAN METODE
Materi
Alat yang digunakan dalam praktikum kali ini yaitu mikropipet dan tip, plate CRP, serta batang pengaduk.
Bahan yang digunakan antara lain antihuman CRP antibodi, serum sampel, serum kontrol positif, serta serum kontrol negatif.
Metode
Reagen antihuman CRP antibodi disesuaikan dengan temperature ruang dan dikocok pelan-pelan sampai homogen.
Serum sampel, serum kontrol positif, serta serum kontrol negatif dipipetkan pada plate CRP di tempat berbeda sebanyak 40µl.
Reagen antihuman CRP antibodi dipipetkan pada masing-masing sampel sebanyak 40µl.
Campuran sampel dan reagen dicampur dengan batang pengaduk berbeda dan dilebarkan sepanjang sisi lingkaran, kemudian digoyangkan selama 2 menit.
Campuran sampel dan reagen dalam plate diamati, terbentuk aglutinasi atau tidak.
Interpretasi hasil :
Hasil negatif : tidak terbentuk aglutinasi, kadar CRP < 6 mg/L
Hasil positif : terbentuk aglutinasi, kadar CRP > 6 mg/L
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Gambar 1. Hasi Uji CRP
Keterangan Gambar :
Kolom 1 : Reagen positif
Kolom 2 : Reagen negatif
Kolom 3 : Serum
Kolom 4 : Serum
Pembahasan
CRP merupakan salah satu protein fase akut yang termasuk ke dalam sistem imun non-spesifik humoral (molekul terlarut). Kadar CRP akan meningkat pada keadaan infeksi (peradangan dan kerusakan jaringan). Peningkatan kadar CRP sampai ratusan kali antara lain terjadi pertama karena infeksi bakteri. Selama respon fase akut, tingkat CRP meningkat pesat dalam waktu kurang lebih 6 jam mencapai puncaknya pada 48 jam. Kadar CRP akan meningkat sampai seratus kali lipat dari keadaan normal (kadar CRP normal 0,07-8,2 mg/dl). Kadar tertinggi tercapai setelah lebih kurang 3 hari dan setelah 2 minggu akan kembali normal. CRP disintesis dalam organ hati. Peningkatan CRP di dalam sel parenkim hati diduga dicetuskan oleh interleukin I yang berasal dari makrofag atau monosit yang terstimulasi. CRP akan berinteraksi dengan protein-protein komplemen untuk melawan infeksi. Penetapan kadar CRP sangat berguna karena dapat mengetahui perbaikan atau pengurangan keadaan peradangan atau infeksi dengan cepat (Soebandrio et al., 1990).
Praktikum ini dilakukan dengan cara menambahkan 1 tetes (40 µl) antihuman CRP antibodi pada masing-masing plate CRP untuk kontrol positif, kontrol negatif, dan serum darah kemudian masing-masing plate CRP ditambahkan antihuman CRP antibodi. Masing-masing campuran diaduk dengan pengaduk dan digoyangkan selama 2 menit. Interpretasi hasilnya yaitu apabila terdapat aglutinasi maka dapat dikatakan bahwa kadar CRP dalam sampel lebih dari 6 mg/L. Menurut Bellanti (1993), serum yang mengandung Ag CRP jika ditambahkan Ab CRP dalam latex maka akan terbentuk kompleks Ag-Ab, sedangkan apabila serum tidak mengandung Ag CRP maka tidak terbentuk kompleks Ag-Ab. Adanya ikatan antara antigen dan antibodi dapat diketahui dengan adanya reaksi aglutinasi namun, serum darah yang diketahui berasal dari orang yang sakit yang diharapkan mampu menghasilkan aglutinasi karena kadar CRP naik, memiliki kemungkinan lain dimana tidak terdapat aglutinasi dari serum darah tersebut karena kadar CRP nya telah menurun atau tingkat infeksi dan peradangannya tidak terlalu tinggi.
Berdasarkan hasil praktikum menunjukkan bahwa reagen kontrol positif yang diuji pada plate 1 terbentuk gumpalan-gumpalan putih (aglutinasi) sehingga menunjukkan hasil positif dan dapat diketahui bahwa kontrol mengandung konsentrasi CRP dalam keadaan di atas kadar normal. Plate ke-2 yang ditetesi dengan reagen kontrol negatif menunjukkan tidak terbentuk aglutinasi. Plate ke-3 yang ditetesi dengan sampel serum menunjukkan tidak terbentuk gumpalan-gumpalan putih (tidak terjadi aglutinasi). Plate ke-4 yang ditetesi dengan sampel serum juga menunjukkan tidak terbentuk gumpalan-gumpalan putih (tidak terjadi aglutinasi). Hasil negatif diartikan bahwa di dalam plasma tidak mengandung konsentrasi CRP yang menandakan tidak terjadinya peradangan infeksi atau kerusakan jaringan. Menurut Speicher & Smith (1996), konsentrasi CRP dalam keadaan normal adalah 0,0008-0,004 g/L atau 0,08-4 mg/dL, sedangkan keadaan peradangan akut konsentrasinya kira-kira 0,4 g/l atau 40 mg/dL dengan waktu respon CRP yaitu antara 6-10 jam. Keadaan peradangan akut akan terjadi aglutinasi bila diadakan uji CRP dengan mencampurkan serum dengan reagen CRP. Aglutinasi ini terjadi karena antigen pada serum terikat pada suatu partikel yaitu pada partikel lateks CRP. Reaksi aglutinasi ini termasuk reaksi sekunder imunologik humoral. Kreirer & Mortensen (1990) menambahkan bahwa pembentukan gumpalan pada proses aglutinasi serupa dengan yang terjadi pada proses presipitasi. Reaksi presipitasi dapat diubah menjadi reaksi aglutinasi dengan penyerapan larutan yang terkandung dalam eritrosit.
Kadar CRP dalam tubuh akan meningkat seiring dengan terjadianya infeksi dan peradangan. Proses peradangan akan mengaktifkan makrofag terutama di dalam sinovium untuk mensintesa Interleukin-6 (IL-6). IL-6 akan merangsang sel hati untuk mensintesa protein fase akut yaitu C Reactive Protein (CRP), sehingga kadar dalam darah akan meningkat sampai 10 kali lipat dari normal. Pembentukan CRP akan meningkat dalam 4 sampai 6 jam setelah terjadi peradangan, jumlahnya bahkan berlipat dua dalam 8 jam setelah peradangan. Konsentrasi puncak akan tercapai dalam 36 jam sampai 50 jam setelah inflamasi. Kadar CRP akan terus meningkat seiring dengan proses inflamasi yang akan mengakibatkan kerusakan jaringan. Apabila terjadi penyembuhan akan terjadi penurunan kadar CRP secara cepat karena CRP memiliki masa paruh 4 sampai 7 jam (Utama, 2012). Menurut Pribadi & Dwi (2010), apabila terjadi penyembuhan atau perbaikan pada sel-sel yang mengalami inflamasi atau kerusakan, maka kadar CRP akan normal kembali setelah 2 minggu.
Banyak manfaat dari uji CRP untuk mengetahui berbagai macam penyakit akibat infeksi maupun peradangan, dilihat dari peningkatan konsentrasinya. Dalam diagnosis bakteri Pneumonia, CRP serum bermanfaat untuk membedakan kolitis ulseratif dari penyakit Crohn dan Lupus eritematosus sistemik, sebaliknya dari artritis reumatoid memperlihatkan sedikit atau tidak ada respon CRP kecuali ada penyakit infeksi berulang. Pada infark miokard suatu peningkatan tajam kadar CRP serum biasanya sejajar dengan luasnya enfark. Pada pasien luka bakar, peningkatan CRP serum berkaitan dengan beratnya luka bakar. Penurunan kadar CRP serum dapat menunjukkan terapi yang berhasil pada pielonefretis akut. Peningkatan mendadak kadar CRP serum merupakan ginjal (Speicher & Smith, 1996).
Penetapan kadar CRP sangat berguna karena dapat digunakan untuk mengetahui perbaikan atau pengurangan keadaan peradangan atau infeksi dengan cepat (Soebandrio et al., 1990). Menurut Speicher & Smith (1996), uji CRP memiliki beberapa manfaat diantaranya yaitu untuk mengetahui berbagai macam penyakit akibat infeksi maupun peradangan dengan melihat peningkatan konsentrasinya. Peranan CRP dalah sebagai opsonin dan dapat mengaktifkan komplemen dan CRP berperan pada pertahanan nonspesifik, karena dengan bantuan Ca dapat mengikat berbagai molekul yang terdapat pada banyak bakteri dan jamur (Supardi & Sukamto, 1999). Menurut Tizard (1982), di samping bersifat imunosupresif, CRP dapat meningkatkan fagositosis, menghambat fungsi trombosit dan mengaktivasi komplemen. Fungsinya tidak diketahui, tetapi telah disarankan bahwa CRP mencegah terjadinya autoimunitas terhadap antigen intraseluler yang dikeluarkan oleh jaringan rusak, sedangkan menurut Utama (2012), CRP sangat baik untuk menilai aktivitas penyakit dalam keadaan akut. Pemeriksaan ini relatif tidak mahal dan dapat diperoleh hasilnya dalam waktu cepat serta tidak memerlukan volume darah yang banyak. Zhang et al. (2013) menambahkan bahwa parameter imunologi seperti immunoglobulin, komplemen dan level CRP dapat berkorelasi dengan umur, jenis kelamin, dan lingkungan.
Aglutinasi (penggumpalan) merupakan salah satu cara yang digunakan untuk menetapkan kadar CRP. Aglutinasi menunjukkan bahwa adanya infeksi bakteri atau peradangan yang terbentuk karena interaksi Ag-Ab yang terjadi langsung setelah pengikatan awal atau sesudah reaksi primer yang terikat pada satu partikel. Reaksi aglutinasi merupakan reaksi antar Ag dan Ab yang terdapat dipermukaan sel sehingga dibentuk anyaman melalui ikatan silang antara sel-sel itu dengan perantara antibodi. Reaksi aglutinasi dipakai untuk determinasi kuman dan untuk mengetahui tipe dari sel-sel tertentu, selain itu, dapat dipakai untuk penentuan antibodi di dalam serum bahkan titernya (Bellanti, 1993).
Pemeriksaan CRP merupakan uji laboratorium yang dapat membantu untuk menentukan derajat beratnya suatu penyakit. Pemeriksaan CRP dapat dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Pemeriksaan CRP secara kualitatif yaitu pemeriksaan yang bertujuan untuk mendeteksi keberadaan CRP dalam sampel tanpa mengetahui besarnya kadar CRP, contoh pemeriksaan CRP secara kualitatif yaitu metode aglutinasi atau metode lain yang lebih maju, misalnya sandwich imunometri. Berbeda dengan pemeriksaan CRP secara kualitatif, pemeriksaan CRP secara kuantitatif yaitu pemeriksaan yang bertujuan untuk mengetahui besarnya kadar CRP dalam sampel, contoh pemeriksaan ini yaitu menggunakan metode ELISA (Enzim Linked Immunosorbent Assay) (Boedina, 2001).
Penyakit yang berhubungan dengan C-RP adalah PJK (Penyakit Jantung Koroner) yaitu suatu keadaan abnormal yang disebabkan oleh disfungsi jantung dan pembuluh darah. Penyumbatan pada arteri koroner ini dapat sebagian maupun total dari satu atau lebih arteri koroner dan atau cabang-cabangnya. PJK didefinisikan sebagai adanya stenosis 50 % minimal pada satu arteri koroner yang dibuktikan dari pemeriksaan angiografi. Derajat stenosis pada arteri koroner dapat dilihat dengan tindakan angiografi dan biasanya diukur dengan evaluasi visual dari persentasi pengurangan diameter relatif terhadap segmen normal yang berdekatan. Aterosklerosis merupakan dasar penyebab utama terjadinya PJK dan proses multifaktorial dengan mekanisme yang saling terkait. Proses aterosklerosis awalnya ditandai dengan adanya kelainan dini pada lapisan endotel, pembentukan foam cell (sel busa) dan fatty streaks (kerak lemak), pembentukan fibrous plaque (lesi jaringan ikat) dan proses ruptur plak aterosklerotik yang tidak stabil. Marker yang dapat digunakan untuk melihat adanya inflamasi adalah C-Reactive Protein (CRP) (Rose et al., 1979).
Pemeriksaan CRP dapat mendeteksi adanya inflamasi akut dan kerusakan jaringan yang berat pada PJK stabil dimana terjadi inflamasi derajat rendah dan kerusakan jaringan yang terjadi hanya sedikit sehingga tidak mengakibatkan peningkatan kadar CRP yang tinggi, melainkan berada dalam rentang konsentrasi yang rendah (< 10 mg/L) sehingga dikembangkan suatu pemeriksaan yang disebut high sensitivity -C Reactive Protein (hs-CRP). Pemeriksaan hs-CRP dapat digunakan untuk mendeteksi secara dini adanya proses inflamasi pada PJK karena dapat mengukur kadar CRP dalam kuantitas yang sangat kecil dan diukur dengan metode yang sangat sensitif (Speicher & Smith, 1996).
Sensitifitasnya yang tinggi menyebabkan pemeriksaan hs-CRP dapat digunakan untuk memperkirakan resiko penyakit kardiovaskular dan memperkirakan adanya inflamasi aktif akibat infeksi bakteri atau virus dan trauma. Penelitian epidemiologis melaporkan bahwa risiko penyakit kardio vaskuler (CVD) digolongkan ke dalam resiko rendah, sedang, dan tinggi jika kadar high sensitivity C-reactive protein (hsCRP) masing masing <1 mg/L, 1 – 3 mg/L, dan > 3 mg/L (Susanto & Adam, 2009). Wakatsuki et al., (2002) menambahkan bahwa uji CRP juga dapat digunakan dalam terapi estrogen pada wanita menopause. Induksi estrogen akan meningkatkan CRP karena terdapat perubahan secara bebas interleukin-6 (IL-6) dimana terjadi stimulasi dari sekresi hati.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan sebelumnya dapat diambil kesimpulan bahwa :
Hasil praktikum menunjukkan bahwa pada reagen kontrol positif yang diuji pada plate 1 terbentuk aglutinasi, pada plate ke-2 yang ditetesi dengan reagen kontrol negatif menunjukkan tidak terbentuk aglutinasi, plate ke-3 yang ditetesi dengan sampel serum menunjukkan tidak terbentuk aglutinasi dan plate ke-4 yang ditetesi dengan sampel serum juga menunjukkan tidak terbentuk aglutinasi.
Hasil positif pada pemeriksaan CRP secara kualitatif mendiagnosa kadar CRP dalam sampel >6 mg/L namun kadar CRP secara pasti dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan CRP secara kuantitatif.
Saran
Saran yang dapat diberikan adalah sebaiknya pemeriksaan kadar CRP secara kuantitatif juga dilakukan supaya sesuai dengan tujuan yaitu dapat mengetahui kadar CRP dalam serum.
DAFTAR REFERENSI
Bellanti, J. A. 1993. Imunologi III. Yogyakarta : UGM Press.
Boedina, S. K. 2001. Imunologi Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta : FKUI Press.
Handojo, Indro. 1982. Serologi Klinik. Surabaya : Fakultas Kedokteran. UNAIR
Pribadi F.W., & Dwi Arini Ernawati. 2010. Efek Catechin terhadap Kadar Asam Urat, C-reactive Protein (CRP) dan Malondialdehid Darah Tikus Putih (Rattus norvegious) Hiperurisemia. Mandala of Health. 4(4):1-8.
Rose, N.R, F Milgrom, & C.J.V Oss. 1979. Principles of Imunology. New York : Macmillan Publishing Co. Inc.
Sacher, Ronald A. Richard, A.Mc Pherson.2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium Edisi 2. Jakarta : ECG.Kreirer, J.P & R.J Mortensen.1990. Inection, Resistance and Immunity. New York : Harper and Row Publishers Inc.
Starr, C. 2000. Biology, Concepts, and Applications 4th Edition. USA : Brooks/Cole.
Speicher, E.C & J.W Smith Jr. 1996. Pemilihan Uji laboratorium yang Efektif. Jakarta : ECG.
Supardi, I. & Sukamto. 1999. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan. Bandung : Alumni.
Susanto H. K. & John M. F. Adam. 2009. Plasminogen Activator Inhibitor-1 and High Sensitivity C-Reactive Protein in Obesity. The Indonesian Journal of Medical Science. 2(1):23-31.
Utama, I.M.G.D.L. 2012. Uji Diagnostik C-reactive Protein, Leukosit, Nilai Total Neutrofil dan Suhu pada Anak Demam dengan Penyebab yang Tidak diketahui. Sari Pediatri. 13(6):1-6.
Wakatsuki, A, N Ikenoue, K shinonara, K Watanabe, & T fukaya. 2002. Effect of Lower Dosage of Oral Conjugated Equine Estrogen on Inflamatory markers and Endothelia Function in Healthy Postmenopausal Women. Kochi : Department of Obstretics and Gynecology Kochi Medical School.
Zhang, X. L., Wei Pang, De-Yao Deng, Long-Bao Lv, Yue Feng, Yong-Tang Zheng. 2013. Analysis of Immunoglobulin, Complements And CRP Levels In Serum of Captive Northern Pig-Tailed Macaques (Macaca leonina). Zoological Research 35 (3): 196 203.