Kolesistitis Akut
Ega Jaya / 171 2006 0064
LAPORAN KASUS BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM SILOAM HOSPITAL KEBON JERUK
I.
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. R
Usia
: 27 Tahun
Jenis kelamin
: Pria
Alamat
: Jeruk Manis II, Kebon Jeruk.
Agama
: Islam
Status Menikah
: Belum
Tanggal Masuk RS
: 27 Oktober 2011
Tanggal pemeriksaan : 28 Oktober Oktober 2011 No. Rekam Medis
II.
: 00.00.00
ANAMNESIS
Anamnesis berupa Autoanamnesis pada tanggal 28 Oktober 2011
Keluhan Utama
Sakit perut kanan atas satu hari sebelum masuk Rumah Sakit Siloam Kebon Jeruk.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh rasa sakit perut kanan atas sejak satu hari yang lalu. Rasa nyeri timbul secara mendadak dan tajam seperti ditusuk-tusuk. Rasa nyeri ini tidak menyebar ke daerah tubuh yang lain. Rasa sakit bertambah setelah makan bubur. Pasien mengeluhkan adanya rasa mual dan demam. Tidak ada keluhan muntah, sesak nafas dan nyeri dada. BAK dan BAB pasien normal dan teratur. Pasien mengaku sudah berobat ke puskesmas dan diberikan obat, tetapi pasien tidak merasakan adanya perubahan yang berarti. Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan Periode 24 Oktober 2011 – 31 Desember 2011 Siloam Hospital Kebon Jeruk
1
Kolesistitis Akut
Ega Jaya / 171 2006 0064
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya. Riwayat kencing manis, darah tinggi, kolesterol, penyakit jantung dan asma -. Pasien juga tidak memiliki riwayat kanker. Pasien mengaku tidak mempunyai riwayat alergi terhadap makanan dan obat-obatan.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada yang mengalami hal serupa. Riwayat kencing manis, darah tinggi, asma maupun kanker di keluarga tidak ditemukan. Keluarga pasien tidak mempunyai riwayat alergi.
Riwayat Alergi
Pasien tidak memiliki alergi terhadap obat – obat – obatan obatan atau makanan tertentu.
III.
PEMERIKSAAN PEMERIKSAA N FISIK
Tanggal pemeriksaan: 28 Oktober 2011
1. Status Generalis Keadaan umum
: Sakit sedang
Kesadaran
: Compos mentis
GCS
: E4M6V5
Tekanan darah
: 110/70 mmHg
Nadi
: 107x/menit
Pernafasan
: 18x /menit
Suhu
: 37.4oC
2. Status Interna Kulit
Turgor kulit baik, tidak terdapat ikterik, petekie , sianosis ataupun udema, tidak terlihat pucat pada wajah dan telapak tangan, tidak terlihat kemerahan pada telapak
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan Periode 24 Oktober 2011 – 31 Desember 2011 Siloam Hospital Kebon Jeruk
2
Kolesistitis Akut
Ega Jaya / 171 2006 0064
tangan. Kulit terlihat cokelat kehitaman. Kepala
Normosefali, tidak ada lesi atau benjolan, tidak ada deformitas.
Rambut
Berwarna hitam dengan potongan rambut pendek
Mata
Palpebra normal, tidak terdapat ptosis, lagofthalmus, trauma dan strabismus. Konjungtiva tidak anemis dan sklera tidak ikterik pada kedua mata. Kornea jernih tidak ada sekret. Pupil bulat dan isokor dengan diameter 3 mm/3mm. Reflex cahaya langsung dan tidak langsung +/+. Gerak bola mata terkonjugasi ke segala arah.
Hidung
Bentuk normal, tidak ada deviasi atau pembengkakan. Septum nasi di tengah dan mukosa tidak hiperesmis. Tidak ada luka, sekret, perdarahan dan pernapasan cuping hidung.
Telinga
Bentuk telinga dan daun telinga normal. Tidak ada serumen, cairan, luka maupun perdarahan.
Gigi dan Mulut
Oral hygiene baik. Bibir dan mukosa mulut normal, tidak sianosis dan tidak ada deviasi. Bentuk dan permukaan lidah normal, pergerakkan baik, tidak ada tremor.
Tenggorokan
Dinding belakang faring tidak hiperemis. hiperemis. Tidak terdapat pembesaran tonsil (T1-T1). Uvula simetris dan terletak di tengah.
Leher
Tidak tampak adanya luka maupun massa. Tidak teraba adanya pembesaran kelenjar getah bening, parotis, tiroid dan tidak terdapat deviasi trakea.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan Periode 24 Oktober 2011 – 31 Desember 2011 Siloam Hospital Kebon Jeruk
3
Kolesistitis Akut
Ega Jaya / 171 2006 0064
Thoraks Jantung
Inspeksi
Pulsasi iktus kordis tidak terlihat
Palpasi
Iktus kordis teraba di garis ICS V, linea midklavikula kiri
Perkusi
Batas atas ICS 3 parasternal kiri. Batas kanan di ICS IV linea sternal kanan dan batas kiri di linea midklavikula kiri setinggi ICS V.
Auskultasi
BJ I dan II murni, reguler. Tidak ada gallop dan murmur.
Paru
Inpeksi
Simetris
saat
statis
maupun
dinamis. Tidak ada retraksi otototot interkostalis, tidak tampak adanya lesi atau massa. Palpasi
Ekspansi paru simetris dan baik. Fremitus kanan dan kiri normal dan simetris.
Perkusi
Sonor pada semua lapang paru
Auskultasi
Suara napas vesikular, Ronki -/-, wheezing -/-
Abdomen
Inpeksi
Dinding perut terlihat simetris, agak cembung, kulit ikterik (-), tidak
ada
pelebaran
vena,
pergerakan dinding perut sesuai irama pernapasan, massa (-)
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan Periode 24 Oktober 2011 – 31 Desember 2011 Siloam Hospital Kebon Jeruk
4
Kolesistitis Akut
Ega Jaya / 171 2006 0064
. Palpasi
Dinding
perut
supel,
distensi
abdomen (-), tidak teraba adanya massa, nyeri tekan (+) pada daerah Right Upper Quadrant (RUQ)
Hati
: Tidak teraba di bawah
arcus costae maupun di bawah prosesus xyphoideus Kandung Empedu: Murphy’s Sign positif Limpa : Tidak teraba Ginjal : Nyeri ketok CVA (-),
Ballottement (-). Kantong kemih : Nyeri tekan (-)
Perkusi
Timpani
di
seluruh
kuadran
abdomen. Auskultasi Punggung
Bising usus + normal
Simetris, tidak terlihat adanya bekas luka atau trauma dan tidak ada kelainan bentuk tulang belakang.
Ektremitas atas dan
Bentuk otot normotrofi, tidak ada udema, tidak ada
bawah
tremor, tidak ada deformitas, tidak ada kelainan kuku, akral hangat dan tidak ada sianosis.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan Periode 24 Oktober 2011 – 31 Desember 2011 Siloam Hospital Kebon Jeruk
5
Kolesistitis Akut
Ega Jaya / 171 2006 0064
Genitalia
IV.
Tidak dievaluasi.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium (27 Oktober 2011)
Hematologi Lengkap Tes
Hasil
Unit
Nilai rujukan
Hemoglobin
14.8
g/dL
12 – 16
Jumlah leukosit
11.1
10³/ul
4 – 10
Basofil
0
%
0 – 1
Eosinofil
1
%
0 – 4
Batang
0
%
2 – 6
Segmen
67
%
50 – 70
Limfosit
27
%
20 – 40
Monosit
5
%
2 – 8
LED
20
Mm
0 – 20
Jumlah Eritrosit
5.25
10 /ul
4,2 – 5,4
Hematokrit
43.2
%
37 – 47
MCV
82.3
fL
81 – 96
MCHC
28.2
g/L
31 – 37
Jlh Trombosit
343
10 /ul
SGOT
22
U/L
5 - 34
SGPT
27
U/L
<55
Ureum Darah
17
Mg/dl
10 – 43
Hitung Jenis
3
150 – 400
Kimia darah
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan Periode 24 Oktober 2011 – 31 Desember 2011 Siloam Hospital Kebon Jeruk
6
Kolesistitis Akut
Ega Jaya / 171 2006 0064
Kreatinin Darah
0.90
Mg/dl
0.00 – 1.10
Natrium Darah
138
Mmol/L
135 – 145
Kalium Darah
3.3
Mmol/L
3.5 – 5.1
Klorida Darah
105
Mmol/L
97 – 111
Kalsium Total
8.7
Mg/dl
8.4 – 10.2
Bilirubin Total
1.99
mg/dl
0.2 – 1.2
Bilirubin Direk
0.69
mg/dl
0.0 – 0.5
Bilirubin Indirek
1.30
mg/dl
0.00 – 0.70
Amilase
38
U/L
Lipase
13
U/L
25 - 125 8 - 78
Urine Lengkap Tes
Hasil
Nilai rujukan
Warna
Kuning muda
Kuning
Kejernihan
Jernih
Jernih
Albumin
-
-
Glukosa
-
-
Eritrosit
0
<3
Leukosit
0
<1
Silinder
0
0
Sel Epitel
+
-
Kristal
-
-
pH
6.0
4.5 – 8.0
Berat Jenis
1.003
1.000 – 1.030
Bilirubin
-
-
Urobilin
N
0.1 – 0.9
Keton
-
Darah
-
-
Lekosit Esterase
-
-
Nitrit
-
-
Sedimen
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan Periode 24 Oktober 2011 – 31 Desember 2011 Siloam Hospital Kebon Jeruk
7
Kolesistitis Akut
Ega Jaya / 171 2006 0064
Laboratorium tanggal 30 Oktober 2011 Tes
Hasil
Unit
Nilai rujukan
Hemoglobin
15
g/dL
12 – 16
Jumlah leukosit
8.5
10³/ul
4 – 10
Basofil
0
%
0 – 1
Eosinofil
6
%
0 – 4
Batang
1
%
2 – 6
Segmen
40
%
50 – 70
Limfosit
46
%
20 – 40
Monosit
7
%
2 – 8
LED
18
Mm
0 – 20
Jumlah Eritrosit
5.32
10 /ul
4,2 – 5,4
Hematokrit
43.1
%
37 – 47
MCV
81.0
fL
81 – 96
MCHC
34.8
g/L
31 – 37
Jlh Trombosit
316
10 /ul
150 – 400
Hitung Jenis
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan Periode 24 Oktober 2011 – 31 Desember 2011 Siloam Hospital Kebon Jeruk
8
Kolesistitis Akut
Ega Jaya / 171 2006 0064
EKG (27 Oktober 2011)
Hasil: tachycardi
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan Periode 24 Oktober 2011 – 31 Desember 2011 Siloam Hospital Kebon Jeruk
9
Kolesistitis Akut V.
Ega Jaya / 171 2006 0064
RESUME
Pasien lelaki berusia 27 tahun datang ke UGD RS Siloam Kebon Jeruk dengan keluhan sakit di perut kanan atas sejak satu hari yang lalu. Nyeri perut timbul mendadak, terasa seperti di tusuk-tusuk, dan tidak menjalar ke bagian tubuh yang lain. Nyeri tersebut timbul sesaat setelah pasien makan bubur. Pasien mengeluhkan adanya rasa mual dan demam. Pasien mengaku sudah berobat ke puskesmas namun tidak ada perubahan yang berarti. Dari hasil pemeriksaan fisis didapatkan nyeri tekan positif di daerah RUQ ( Right Upper Quadrant) dan tanda Murphy positif. Hasil laboratorium menyatakan adanya leukositosis, hipokalemia, dan kenaikan jumlah bilirubin total, direk, dan indirek di dalam darah. Pemeriksaan MRCP juga memperlihatkan gambaran kolesistitis akut, yaitu berupa gambaran hiperechoic pada dinding kandung empedu dan hipoechoic pada bagian lumen kandung empedu.
VI.
DIAGNOSIS KERJA Kolesistitis Akut
VII.
DIAGNOSIS BANDING Kolesistitis Kronis Kolangitis Kolelithiasis Pankreatitis Akut
VIII.
PENGKAJIAN MASALAH Kolesistitis Akut ditegakan berdasarkan:
S: Pasien mengalami nyeri pada perut kanan atas yang timbul secara mendadak sejak 1 hari SMRS. Nyeri tersebut dideskripsikan pasien sebagai nyeri yang tajam seperti ditusuk-tusuk. Pasien mengaku tidak ada penjalaran nyeri kebagian lain. Nyeri timbul setelah makan bubur. Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan Periode 24 Oktober 2011 – 31 Desember 2011 Siloam Hospital Kebon Jeruk
10
Kolesistitis Akut
Ega Jaya / 171 2006 0064
Ada perasaan mual tetapi tidak ada muntah. Ada riwayat demam sebelumnya.
O: Pada pasien ditemukan tanda Murphy positif dan didapatkan adanya peningkatan jumlah leukosit sebesar 11.1 rb/ul, peningkatan bilirubin total, direk, dan indirek. Pada pemeriksaan MRCP didapatkan ada gambaran akut kolesititis pada pemeriksaan. Pada pemeriksaan USG abdomen, didapatkan keadaan kandung empedu yang membesar dengan dinding yang menebal, dan disimpulkan sebagai gambaran kolesistitis akut.
A: Kolesistitis akut dengan diagnosa banding kolesistitis kronis, kolangitis, kolelitihiasis, dan pankreatitis akut
P: Rencana Terapi non-medikamentosa:
Istirahat total Nutrisi Parenteral Diet Ringan
Terapi medikamentosa:
Pemberian inhalasi oksigen 2 lpm dengan NC
Pemberian infus RL 500cc 20tpm
Pemberian elektrolit (KCl 10mEq) drip dalam infus
Pemberian obat pengontrol asam lambung (Inj. Rainitidine 40mg (amp) dan Lansoprazole 1 x 30mg (vial) IV)
Pemberian obat anti inflamasi non steroid (Inj. Scelto 10mg (amp) dan Xevolac 2 x 1 IV)
Pemberian antibiotik (Cefoperazone 2 x 1gr (vial) IV)
Pemberian antispasmodic jika perlu (Scopolamine 2 x 1 IV)
I. PROGNOSIS
Ad vitam
: dubia ad bonam
Ad functionam
: dubia ad malam
Ad sanationam
: dubia ad malam
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan Periode 24 Oktober 2011 – 31 Desember 2011 Siloam Hospital Kebon Jeruk
11
Kolesistitis Akut
Ega Jaya / 171 2006 0064
F ollow Up
Kamis, 27 Oktober 2011 S
: pasien datang dari UGD dengan keluhan nyeri perut kanan atas sejak satu
hari yang lalu. Rasa nyeri timbul secara mendadak dan tajam seperti ditusuktusuk. Rasa nyeri ini tidak menyebar ke daerah tubuh yang lain. Rasa sakit bertambah setelah makan bubur. Pasien mengeluhkan adanya rasa mual dan demam. Tidak ada keluhan muntah, sesak nafas dan nyeri dada. BAK dan BAB pasien normal dan teratur. Pasien mengaku sudah berobat ke puskesmas dan diberikan obat, tetapi pasien tidak merasakan adanya perubahan yang berarti.
O
: KU sedang, kesadaran CM. TTV: TD 93/60 mmHg, nadi 107x/m, RR: 20x/m, suhu 37.4 0C. Sklera : Subikterik Cor: bunyi jantung murni regular, m (-), g(-). Pulmo: suara nafas vesikuler, ronkhi -/-, wh -/-. Abdomen: cembung, supel, BU + normal, nyeri tekan RUQ (+) Ekstremitas: akral hangat.
A
: Kolesistitis Akut
P
: 02 nasal canule 2 L/ menit IVFD Rl 500c, 20tpm, drip 10 mEq KCl Inj. Acran 1 amp Inj. Scelto 1 amp Cek Lab (DL, ur/kr, elektrolit, urine lengkap) USG Abdomen EKG
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan Periode 24 Oktober 2011 – 31 Desember 2011 Siloam Hospital Kebon Jeruk
12
Kolesistitis Akut
Ega Jaya / 171 2006 0064
Setelah konsul dengan dr.Sandra ditambah Stabixin 2 x 1 gr IV, Prosogan 1 x 1 IV, Buscopan 2 x 1 IV (prn), Pancreoflat 2 x 1 gr PO dan tambah pemeriksaan bilirubin, amilase dan lipase.
Jumat, 28 Oktober 2011 S
: pasien masih mengeluh rasa nyeri di bagian perut kanan atas, mual masih
dirasakan sedikit. O
: KU sedang, kesadaran CM. TTV: TD 118/83 mmHg, nadi 80x/m, RR: 18x/m, suhu 37.5 0C. Nyeri tekan abdomen positif
A
: Kolesistitis Akut
P
: IVFD Rl 500c, 20tpm, drip 10 mEq KCl Stabixin 2 x 1 gr IV Prosogan 1 x 1 IV Xevolac 2 x 1 IV Buscopan 2 x 1 IV (prn) Pancreoflat 2 x 1 gr PO Vomitas FDT 3 x 1 tab PO Pro Operasi setelah kondisi membaik
Sabtu, 29 Oktober 2011 S
: pasien merasa lebih baik, nafsu makan membaik.
O
: KU ringan, kesadaran CM. TTV: TD 135/90 mmHg, nadi 78x/m, RR: 18x/m, suhu 36.9 0C. Nyeri tekan abdomen positif
A
: Kolesistitis Akut
P
: aff infus steril Stabixin 2 x 1 gr IV Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan Periode 24 Oktober 2011 – 31 Desember 2011 Siloam Hospital Kebon Jeruk
13
Kolesistitis Akut
Ega Jaya / 171 2006 0064
Prosogan 1 x 1 IV Xevolac 2 x 1 IV Buscopan 2 x 1 IV (prn) Pancreoflat 2 x 1 gr PO Vomitas FDT 3 x 1 tab PO Cek ulang DL, Bilirubin Rencana pulang besok
Minggu, 30 Oktober 2011 S
: keluhan (-)
O
: KU ringan, kesadaran CM. TTV: TD 120/80 mmHg, nadi 80x/m, RR: 18x/m, suhu 36.9 0C.
A
: Kolesistitis Akut
P
: Hasil bilirubin dan DL bagus, pasien diperbolehkan untuk pulang
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan Periode 24 Oktober 2011 – 31 Desember 2011 Siloam Hospital Kebon Jeruk
14
Kolesistitis Akut
Ega Jaya / 171 2006 0064
TINJAUAN PUSTAKA PENDAHULUAN Peradangan akut dinding kandung empedu atau disebut juga dengan kolesistitis akut biasanya terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh batu. Sekitar 10 – 20% warga Amerika menderita kolelitiasis (batu empedu) dan sepertiganya juga menderita kolesistitis akut. Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita, usia tua dan lebih sering terjadi pada orang kulit putih. Pada wanita, terutama pada wanita – wanita hamil dan yang mengkonsumsi obat – obat hormonal, insidensi kolesistitis akut lebih sering terjadi. Beberapa teori mengatakan hal ini berkaitan dengan kadar progesteron yang tinggi yang menyebabkan statis aliran kandung empedu. Di Indonesia, walaupun belum ada data epidemiologis penduduk, insidens kolesistitis dan kolelitiasis di negara kita relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara – negara barat. Meskipun dikatakan bahwa pasien kolesistitis akut umumnya perempuan, gemuk dan berusia di atas 40 tahun, tetapi menuruit Lesman LA, dkk, hal ini sering tidak sesuai untuk pasien – pasien di negara kita. (Sudoyo W. Aru, et al, 2009) Kolesistitis akut sering berawal sebagai serangan kolik biliaris yang memburuk secara progresif. Sekitar 60 – 70% pasien melaporkan adanya riwayat serangan yang sembuh spontan. Namun, seiring dengan makin parahnya serangan, nyeri kolesistitis akut makin menjadi generalisata di abdomen kanan atas. Seperti kolik biliaris, nyeri kolesistitis dapat menyebar ke daerah antarskapula, skapula kanan atau bahu. Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan penggetaran atau pada pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien juga mengalami anoreksia dan sering mual. Kolesistitis akut merupakan suatu penyakit yang dapat mengganggu kualitas hidup pasien. (Sudoyo W. Aru, et al, 2009) Oleh karena itu dalam kesempatan ini akan dibahas mengenai beberapa hal berkaitan dengan penyakit peradangan pada dinding kandung empedu ini serta terapi yang sesuai.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan Periode 24 Oktober 2011 – 31 Desember 2011 Siloam Hospital Kebon Jeruk
15
Kolesistitis Akut
Ega Jaya / 171 2006 0064
KOLESISTITIS AKUT
Definisi
Kolesistitis akut (radang kandung empedu) adalah reaksi inflamasi akut dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Hingga kini patogenesis penyakit yang cukup sering dijumpai ini masih belum jelas (Isselbacher, K.J, et al , 2009).
Fisiologi Produksi dan Aliran Empedu
Empedu yang dibentuk dalam lobulus hati disekresi ke dalam jaringan kanalikuli yang kompleks, duktulus biliaris yang kecil dan duktus biliaris yang lebih besar yang mengalir bersama limfatik dan cabang vena porta dan arteri hepatika dalam traktus porta yang terletak antara lobulus hati. Duktus biliaris interlobulus ini bergabung membentuk duktus biliaris septum yang lebih besar yang bergabung untuk membentuk duktus hepatikus kanan dan kiri yang berlanjut sebagai duktus hepatikus komunis. Bersama dengan duktus sistikus dari kandung empedu, duktus hepatikus komunis bergabung membentuk duktus koledokus yang kemudian bergabung dengan duktus pankreatikus mayor lalu memasuki duodenum melalui ampulla Vater (Price SA, et al , 2006). Anatomi duktus biliaris secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 1. Empedu hati adalah cairan isotonik berpigmentasi dengan komposisi elektrolit yang menyerupai plasma darah. Komponen utama cairan empedu terdiri dari 82% air, 12% asam empedu, 4% lesitin dan fosfolipid lainnya serta 0,7% kolesterol yang tidak diesterifikasi. Unsur lain termasuk bilirubin terkonjugasi, protein (IgA), elektrolit, mukus, dapat pula obat atau hasil metabolisme lainnya.. Cairan empedu ditampung dalam kandung empedu yang memiliki kapasitas ± 50 ml. Selama empedu berada di dalam kandung empedu, maka akan terjadi peningkatan konsentrasi empedu oleh karena terjadinya proses reabsorpsi sebagian besar anion anorganik, klorida dan bikarbonat, diikuti oleh difusi air sehingga terjadi penurunan pH intrasistik (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan Periode 24 Oktober 2011 – 31 Desember 2011 Siloam Hospital Kebon Jeruk
16
Kolesistitis Akut
Ega Jaya / 171 2006 0064
Gambar 1 : Anatomi duktus biliaris.
(Sumber: Netter Atlas of Human Anatomy) Asam – asam empedu primer (asam kolat & kenodeoksikolat) dibentuk dari kolesterol di dalam hepatosit, diperbanyak pada struktur cincin hidroksilasi dan bersifat larut dalam air akibat konjugasi dengan glisin atau taurin dan diekskresi
ke dalam
empedu. Sekresi empedu membutuhkan aktivitas hepatosit (sumber empedu primer) dan kolangiosit yang terletak sepanjang duktulus empedu. Produksi empedu perhari berkisar 500 – 600 mL (Sudoyo W. Aru, et al, 2009). Asam empedu mempunyai kegunaan seperti deterjen dalam mengemulsi lemak, membantu kerja enzim pankreas dan penyerapan lemak intraluminal. Asam empedu primer dapat dialirkan ke duodenum akibat stimulus fisiologis oleh hormon kolesistokinin (CCK) (meskipun terdapat juga peranan persarafan parasimpatis), dimana kadar hormon ini dapat meningkat sebagai tanggapan terhadap diet asam amino rantai panjang dan karbohidrat. Adapun efek kolesistokinin diantaranya (1) kontraksi kandung empedu (2) penurunan resistensi sfingster Oddi (3) peningkatan sekresi empedu hati (4) meningkatkan aliran cairan empedu ke duodenum (Isselbacher, K.J, et al , 2009). Asam empedu primer yang telah sekresikan ke duodenum akan direabsorpsi kembali di ileum terminalis kemudian memasuki aliran darah portal dan diambil cepat oleh hepatosit, dikonjugasi ulang dan disekresi ulang ke dalam empedu (sirkulasi enterohepatik). Sekitar ± 20% empedu intestinal tidak direabsorpsi di ileum, yang kemudian dikonjugasi oleh bakteri kolon menjadi asam empedu sekunder yakni
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan Periode 24 Oktober 2011 – 31 Desember 2011 Siloam Hospital Kebon Jeruk
17
Kolesistitis Akut
Ega Jaya / 171 2006 0064
deoksikolat dan litokolat dan ± 50% akan direabsorpsi kembali (Isselbacher, K.J, et al , 2009).
Faktor Risiko/Etiologi dan Patogenesis
Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah stasis cairan empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) sedangkan sebagian kecil kasus (10%) timbul tanpa adanya batu empedu (kolesistitis akut akalkulus) (Huffman JL , et al, 2009). Batu biasanya menyumbat duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan empedu dan terjadi distensi kandung empedu. Distensi kandung empedu menyebabkan aliran darah dan limfe menjadi terganggu sehingga terjadi iskemia dan nekrosis dinding kandung empedu (Gambar 2). Meskipun begitu, mekanisme pasti bagaimana stasis di duktus sistikus dapat menyebabkan kolesistitis akut, sampai saat ini masih belum jelas. Diperkirakan banyak faktor yang dapat mencetuskan respon peradangan pada kolesistitis, seperti kepekatan cairan empedu, kolesterol, lisolesitin dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung empedu yang diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi. (Donovan JM, 2009). Peradangan yang disebabkan oleh bakteri mungkin berperan pada 50 sampai 85 persen pasien kolesistitis akut. Organisme yang paling sering dibiak dari kandung empedu para pasien ini adalah E. Coli, spesies Klebsiella, Streptococcus grup D, spesies Staphylococcus dan spesies Clostridium. Endotoxin yang dihasilkan oleh organisme – organisme tersebut dapat
menyebabkan hilangnya lapisan mukosa, perdarahan,
perlekatan fibrin, yang akhirnya menyebabkan iskemia dan selanjutnya nekrosis dinding kandung empedu (Cullen JJ, et al, 2009)
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan Periode 24 Oktober 2011 – 31 Desember 2011 Siloam Hospital Kebon Jeruk
18
Kolesistitis Akut
Ega Jaya / 171 2006 0064
Gambar 2 : Patofisiologi kolesistitis akut
(Sumber : www.wikisurgery.comimages99204.3_acute_cholecystitis.jpg)
Kolesistitis akut akalkulus terdapat pada 10 % kasus. Peningkatan resiko terhadap perkembangan kolesistitis akalkulus terutama berhubungan dengan trauma atau luka bakar yang serius, dengan periode pascapersalinan yang menyertai persalinan yang memanjang dan dengan operasi pembedahan besar nonbiliaris lainnya dalam periode pascaoperatif. Faktor lain yang mempercepat termasuk vaskulitis, adenokarsinoma kandung empedu yang mengobstruksi, diabetes mellitus, torsi kandung empedu, infeksi bakteri kandung empedu (misalnya Leptospira, Streptococcus, Salmonella atau Vibrio cholera) dan infeksi parasit kandung empedu. Kolesistitis akalkulus mungkin juga tampak bersama dengan berbagai penyakit sistemik lainnya (sarkoidosis, penyakit kardiovaskuler, sifilis, tuberkulosis, aktinomises) (Isselbacher, K.J, et al , 2009).
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan Periode 24 Oktober 2011 – 31 Desember 2011 Siloam Hospital Kebon Jeruk
19
Kolesistitis Akut
Ega Jaya / 171 2006 0064
Selain itu, dapat timbul juga pada pasien yang dirawat cukup lama yang mendapat nutrisi secara parenteral. Hal ini dapat terjadi karena kandung empedu tidak mendapatkan stimulus dari kolesistokinin (CCK) yang berfungsi untuk mengosongkan kantong empedu, sehingga terjadi statis dari cairan empedu. (Sitzmann JV , et al, 2008).
Tanda dan Gejala Klinis
Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik perut di sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta kenaikan suhu tubuh. Keluhan tersebut dapat memburuk secara progresif. Kadang – kadang rasa sakit menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa reda. Berat ringannya keluhan sangat bervariasi tergantung dari adanya kelainan inflamasi yang ringan sampai dengan gangren atau perforasi kandung empedu. Sekitar 60 – 70% pasien melaporkan adanya riwayat serangan yang sembuh spontan (Sudoyo W. Aru, et al, 2009). Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan penggetaran atau pada pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien mengalami anoreksia dan sering mual. Muntah relatif sering terjadi dan dapat menimbulkan gejala dan tanda deplesi volume vaskuler dan ekstraseluler. Pada pemeriksaan fisis, kuadran kanan atas abdomen hampir selalu nyeri bila dipalpasi. Pada seperempat sampai separuh pasien dapat diraba kandung empedu yang tegang dan membesar. Inspirasi dalam atau batuk sewaktu palpasi subkosta kudaran kanan atas biasanya menambah nyeri dan menyebabkan inspirasi terhenti (tanda Murphy) (Sudoyo W. Aru, et al, 2009). Ketokan ringan pada daerah subkosta kanan dapat menyebabkan peningkatan nyeri secara mencolok. Nyeri lepas lokal di kuadran kanan atas sering ditemukan, juga distensi abdomen dan penurunan bising usus akibat ileus paralitik, tetapi tanda rangsangan peritoneum generalisata dan rigiditas abdomen biasanya tidak ditemukan, asalkan tidak ada perforasi. Ikterus dijumpai pada 20% kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila konsentrasi bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatik. Pada pasien – pasien yang sudah tua dan dengan diabetes mellitus, tanda dan gejala yang ada tidak terlalu spesifik dan kadang hanya berupa mual saja (Sudoyo W. Aru, et al, 2009). Walaupun manifestasi klinis kolesistitis akalkulus tidak dapat dibedakan dengan kolesistitis kalkulus, biasanya kolesistitis akalkulus terjadi pada pasien dengan keadaan inflamasi kandung empedu akut yang sudah parah walaupun sebelumnya tidak terdapat Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan Periode 24 Oktober 2011 – 31 Desember 2011 Siloam Hospital Kebon Jeruk
20
Kolesistitis Akut
Ega Jaya / 171 2006 0064
tanda – tanda kolik kandung empedu. Biasanya pasien sudah jatuh ke dalam kondisi sepsis tanpa terdapat tanda – tanda kolesistitis akut yang jelas sebelumnya (Isselbacher, K.J, et al , 2009).
Diagnosis Banding
Keterlambatan penegakkan diagnosis kolesistitis akut, dapat menyebabkan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas pasien. Pada pasien – pasien yang dirawat di ICU, kecurigaan terhadap timbulnya kolestitis akut akalkulus harus dipertimbangkan bila telah terdapat tanda dan gejala, hal ini untuk mencegah terjadinya perburukan kondisi pasien. (Sudoyo W. Aru, et al, 2009) Diagnosis banding untuk nyeri perut kanan atas yang tiba – tiba, perlu dipikirkan seperti penjalaran nyeri saraf spinal, kelainan organ di bawah diafragma seperti appendiks yang retrosekal, sumbatan usus, perforasi ulkus peptikum, pankreatitis akut, pielonefritis dan infark miokard. Pada wanita hamil kemungkinannya dapat preeklampsia, appendisitis dan kolelitiasis. Pemeriksaan lebih lanjut dan penanganan harus dilakukan segera karena dapat mengancam nyawa ibu dan bayi (Yates MR , et al, 2009).
Diagnosis
Diagnosis kolesistitis akut biasanya dibuat beradasarkan riwayat yang khas dan pemeriksaan fisis. Trias yang terdiri dari nyeri akut kuadran kanan atas, demam dan leukositosis sangat sugestif. Biasanya terjadi leukositosis yang berkisar antara 10.000 sampai dengan 15.000 sel per mikroliter dengan pergeseran ke kiri pada hitung jenis. Bilirubin serum sedikit meningkat [kurang dari 85,5 µmol/L (5mg/dl)] pada 45 % pasien, sementara 25 % pasien mengalami peningkatan aminotransferase serum (biasanya kurang dari lima kali lipat). Pemeriksaan alkali phospatase biasanya meningkat pada 25 % pasien dengan kolesistitis. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan pankreatitis, namun amilase dapat meningkat pada kolesistitis. Urinalisis diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan pielonefritis. Apabila keluhan bertambah berat disertai suhu tinggi dan menggigil serta leukositosis berat, kemungkinan terjadi empiema dan perforasi kandung empedu dipertimbangkan (Isselbacher, K.J, et al , 2009).
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan Periode 24 Oktober 2011 – 31 Desember 2011 Siloam Hospital Kebon Jeruk
21
Kolesistitis Akut
Ega Jaya / 171 2006 0064
Pemindaian saluran empedu dengan radionuklida (mis. HDA) dapat memberikan konfirmasi bila pada pemeriksaan pencitraan hanya tampak duktus kandung empedu tanpa visualisasi kandung empedu (Isselbacher, K.J, et al , 2009). Foto polos abdomen tidak dapat memperlihatkan gambaran kolesistitis akut. Hanya pada 15 % pasien kemungkinan dapat terlihat batu tidak tembus pandang (radiopak) oleh karena mengandung kalsium cukup banyak (Gambar 3). Kolesistografi oral tidak dapat memperlihatkan gambaran kandung empedu bila ada obstruksi sehingga pemeriksaan ini tidak bermanfaat untuk kolesistitis akut. Gambaran adanya kalsifikasi diffus dari kandung empedu (empedu porselain) menunjukkan adanya keganasan pada kandung empedu (Towfigh S, et al, 2010) Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) sebaiknya dikerjakan secara rutin dan sangat bermanfaat untuk memprlihatkan besar, bentuk, penebalan dinding kandung empedu, batu dan saluran empedu ekstra hepatik. Nilai kepekaan dan ketepatan USG mencapai 90 – 95%. Adapun gambaran di USG yang pada kolesistitis akut diantaranya adalah cairan perikolestik, penebalan dinding kandung empedu lebih dari 4 mm dan tanda sonographic Murphy. Adanya batu empedu membantu penegakkan diagnosis (Roe J , 2009).
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan Periode 24 Oktober 2011 – 31 Desember 2011 Siloam Hospital Kebon Jeruk
22
Kolesistitis Akut
Ega Jaya / 171 2006 0064
Gambar 3 : Foto polos abdomen, tampak batu – batu empedu berukuran kecil
(sumber: http://emedicine.medscape.com/article/365698-overview) Sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan CT scan abdomen dan MRI dilaporkan lebih besar dari 95% (Gambar 4). Pada kolesistitis akut dapat ditemukan cairan perikolestik, penebalan dinding kandung empedu lebih dari 4 mm, edema subserosa tanpa adanya ascites, gas intramural dan lapisan mukosa yang terlepas. Pemeriksaan dengan CT – scan dapat memperlihatkan adanya abses perikolesistik yang masih kecil yang mungkin tidak terlihat pada pemeriksaan USG (Kim YK , et al, 2009).
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan Periode 24 Oktober 2011 – 31 Desember 2011 Siloam Hospital Kebon Jeruk
23
Kolesistitis Akut
Ega Jaya / 171 2006 0064
Gambar 4 : CT – scan abdomen, tampak batu – batu empedu dan penebalan dinding kandung empedu.
(sumber: http://emedicine.medscape.com/article/365698-overview) Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA atau 96n Tc6 Iminodiacetic acid mempunyai nilai sedikit lebih rendah dari USG tapi teknik ini tidak mudah (Gambar 5). Normalnya gambaran kandung empedu, duktus biliaris komunis dan duodenum terlihat dalam 30-45 menit setelah penyuntikan zat warna. Terlihatnya gambaran duktus koledokus tanpa adanya gambaran kandung empedu pada pemeriksaan kolesistografi oral atau scintigrafi sangat menyokong kolesistitis akut (Sudoyo W. Aru, et al, 2009).
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan Periode 24 Oktober 2011 – 31 Desember 2011 Siloam Hospital Kebon Jeruk
24
Kolesistitis Akut
Ega Jaya / 171 2006 0064
Gambar 5 : Kiri: Normal scintigrafi, HIDA mengisi kandung empedu setelah 45 menit. Kanan: HIDA tidak mengisi kandung empedu setelah 1 jam 30 menit
(sumber: http://emedicine.medscape.com/article/365698-overview)
Endoscopic Retrogard Cholangiopancreatography (ERCP) dapat digunakan untuk melihat struktur anatomi bila terdapat kecurigaan terdapat batu empedu di duktus biliaris komunis pada pasien yang beresiko tinggi menjalani laparaskopi kolesistektomi (Sahai AV , et al, 2009). Pada pemeriksaan histologi, terdapat edema dan tanda – tanda kongesti pada jaringan. Gambaran kolesistitis akut biasanya serupa dengan gambaran kolesistitis kronik dimana terdapat fibrosis, pendataran mukosa dan sel – sel inflamasi seperti neutrofil. Terdapat gambaran herniasi dari lapisan mukosa yang disebut dengan sinus RokitanskyAschoff. Pada kasus – kasus lanjut dapat ditemukan gangren dan perforasi (Kumar V, et al , 2009)
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan Periode 24 Oktober 2011 – 31 Desember 2011 Siloam Hospital Kebon Jeruk
25
Kolesistitis Akut
Ega Jaya / 171 2006 0064
Tatalaksana Terapi konservatif
Walaupun intervensi bedah tetap merupakan terapi utama untuk kolestasis akut dan komplikasinya, mungkin diperlukan periode stabilisasi di rumah sakit sebelum kolesistektomi. Pengobatan umum termasuk istirahat total, perbaiki status hidrasi pasien, pemberian nutrisi parenteral, diet ringan, koreksi elektrolit, obat penghilang rasa nyeri seperti petidin dan antispasmodik. Pemberian antibiotik pada fase awal sangat penting untuk mencegah komplikasi seperti peritonitis, kolangitis dan septisemia. Golongan ampisilin, sefalosporin dan metronidazol cukup memadai untuk mematikan kuman – kuman yang umum terdapat pada kolesistitis akut seperti E. Coli, Strep. faecalis dan Klebsiela, namun pada pasien diabetes dan pada pasien yang memperlihatkan tanda sepsis gram negatif, lebih dianjurkan pemberian antibiotik kombinasi (Isselbacher, K.J, et al , 2009). Berdasarkan rekomendasi Sanford, dapat diberikan ampisilin/sulbactam dengan dosis 3 gram / 6 jam, IV, cefalosporin generasi ketiga atau metronidazole dengan dosis awal 1 gram, lalu diberikan 500 mg / 6 jam, IV. Pada kasus – kasus yang sudah lanjut dapat diberikan imipenem 500 mg / 6 jam, IV. Bila terdapat mual dan muntah dapat diberikan anti – emetik atau dipasang nasogastrik tube. Pemberian CCK secara intravena dapat membantu merangsang pengosongan kandung empedu dan mencegah statis aliran empedu lebih lanjut. Pasien – pasien dengan kolesistitis akut tanpa komplikasi yang hendak dipulangkan harus dipastikan tidak demam dengan tanda – tanda vital yang stabil, tidak terdapat tanda – tanda obstruksi pada hasil laboratorium dan USG, penyakit – penyakit lain yang menyertai (seperti diabetes mellitus) telah terkontrol. Pada saat pulang, pasien diberikan antibiotik yang sesuai seperti Levofloxasin 1 x 500 mg PO dan Metronidazol 2 x 500 mg PO, anti-emetik dan analgesik yang sesuai (Isselbacher, K.J, et al , 2009). Terapi bedah
Saat kapan dilaksanakan tindakan kolesistektomi masih diperdebatkan, apakah sebaiknya dilakukan secepatnya (3 hari) atau ditunggu 6 – 8 minggu setelah terapi konservatif dan keadaaan umum pasien lebih baik. Sebanyak 50 % kasus akan membaik tanpa tindakan bedah. Ahli bedah yang pro operasi dini menyatakan, timbul gangren dan komplikasi kegagalan terapi konservatif dapat dihindarkan dan lama perawatan di rumah sakit menjadi lebih singkat dan biaya daat ditekan. Sementara yang tidak setuju Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan Periode 24 Oktober 2011 – 31 Desember 2011 Siloam Hospital Kebon Jeruk
26
Kolesistitis Akut
Ega Jaya / 171 2006 0064
menyatakan, operasi dini akan menyebabkan penyebaran infeksi ke rongga peritoneum dan teknik operasi lebih sulit karena proses infalamasi akut di sekitar duktus akan mengaburkan anatomi (Wilson E , et al, 2010). Namun, kolesistostomi atau kolesistektomi darurat mungkin perlu dilakukan pada pasien yang dicurigai atau terbukti mengalami komplikasi kolesistitis akut, misalnya empiema, kolesistitis emfisematosa atau perforasi. Pada kasus kolesistitis akut nonkomplikata, hampir 30 % pasien tidak berespons terhadap terapi medis dan perkembangan penyakit atau ancaman komplikasi menyebabkan operasi perlu lebih dini dilakukan (dalam 24 sampai 72 jam). Komplikasi teknis pembedahan tidak meningkat pada pasien yang menjalani kolesistektomi dini dibanding kolesistektomi yang tertunda. Penundaan intervensi bedah mungkin sebaiknya dicadangkan untuk (1) pasien yang kondisi medis keseluruhannya memiliki resiko besar bila dilakukan operasi segera dan (2) pasien yang diagnosis kolesistitis akutnya masih meragukan (Wilson E , et al, 2010). Kolesistektomi dini/segera merupakan terapi pilihan bagi sebagian besar pasien kolesistitis akut. Di sebagian besar sentra kesehatan, angka mortalitas untuk kolesistektomi darurat mendekati 3 %, sementara resiko mortalitas untuk kolesistektomi elektif atau dini mendekati 0,5 % pada pasien berusia kurang dari 60 tahun. Tentu saja, resiko operasi meningkat seiring dengan adanya penyakit pada organ lain akibat usia dan dengan adanya komplikasi jangka pendek atau j angka panjang penyakit kandung empedu. Pada pasien kolesistitis yang sakit berat atau keadaan umumnya lemah dapat dilakukan kolesistektomi dan drainase selang terhadap kandung empedu. Kolesistektomi elektif kemudian dapat dilakukan pada lain waktu (Mutignani M , et al, 2009) Sejak diperkenalkan tindakan bedah kolesistektomi laparoskopik di Indonesia ada awal 1991, hingga saat ini sudah sering dilakukan di pusat – pusat bedah digestif. Di luar negeri tindakan ini hampir mencapai angka 90% dari seluruh kolesitektomi. Konversi ke tindakan kolesistektomi konvensional menurut Ibrahim A. dkk, sebesar 1,9% kasus, terbanyak oleh karena sukar dalam mengenali duktus sistikus yang diakibatkan perlengketan luas (27%), perdarahan dan keganasan kandung empedu. Komplikasi yang sering dijumpai pada tindakan ini yaitu trauma saluran empedu (7%), perdarahan, kebocoran
empedu.
Menurut
kebanyakan
ahli
bedah
tindakan
kolesistektomi
laparoskopik ini sekalipun invasif mempunyai kelebihan seperti mengurangi rasa nyeri pasca operasi. Menurunkan angka kematian, secara kosmetik lebih baik, memperpendek lama perawatan di rumah sakit dan mempercepat aktivitas pasien (Siddiqui T , et al,
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan Periode 24 Oktober 2011 – 31 Desember 2011 Siloam Hospital Kebon Jeruk
27
Kolesistitis Akut
Ega Jaya / 171 2006 0064
2008). Pada wanita hamil, laparaskopi kolesistektomi terbukti aman dilakukan pada semua trimester (Cox MR , et al, 2008) Adapun beberapa kontraindikasi dari laparoskopi kolesistektomi diantaranya adalah:
Resiko tinggi terhadap anastesi umum
Tanda – tanda perforasi kandung empedu seperti abses, fi stula dan peritonitis
Batu empedu yang besar atau dicurigai keganasan
Penyakit hati terminal dengan hipertensi portal dan gangguan sistem pembekuan darah (Wilson E , et al, 2010).
Komplikasi kolesistitis Empiema dan hidrops
Empiema kandung empedu biasanya terjadi akibat perkembangan kolesistitis akut dengan sumbatan duktus sistikus persisten menjadi superinfeksi empedu yang tersumbat tersebut disertai kuman – kuman pembentuk pus. Biasanya terjadi pada pasien laki - laki dengan kolesistitis akut akalkulus dan juga menderita diabetes mellitus. Gambaran klinis mirip kolangitis dengan demam tinggi, nyeri kuadran kanan atas yang hebat, leukositosis berat dan sering keadaan umum lemah. Empiema kandung empedu memiliki resiko tinggi menjadi sepsis gram negatif dan/atau perforasi. Diperlukan intervensi bedah darurat disertai perlindungan antibiotik yang memadai segera setelah diagnosis dicurigai (Gruber PJ , et al, 2009). Hidrops atau mukokel kandung empedu juga terjadi akibat sumbatan berkepanjangan duktus sistikus biasanya oleh sebuah kalkulus besar. Dalam keadaan ini, lumen kandung empedu yang tersumbat secara progresif mengalami peregangan oleh mukus (mukokel) atau cairan transudat jernih (hidrops) yang dihasilkan oleh sel – sel epitel mukosa. Pada pemeriksaan fisis sering teraba massa tidak nyeri yang mudah dilihat dan diraba menonjol dari kuadran kanan atas menuju fossa iliaka kanan. Pasien hidrops kandung empedu sering tetap asimtomatik, walaupun nyeri kuadran kanan atas kronik juga dapat terjadi. Kolesistektomi diindikasikan, karena dapat timbul komplikasi empiema, perforasi atau gangren (Gruber PJ , et al, 2009).
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan Periode 24 Oktober 2011 – 31 Desember 2011 Siloam Hospital Kebon Jeruk
28
Kolesistitis Akut
Ega Jaya / 171 2006 0064
Gangren dan perforasi
Gangren kandung empedu menimbulkan iskemia dinding dan nekrosis jaringan bebercak atau total. Kelainan yang mendasari antara lain adalah distensi berlebihan kandung empedu, vaskulitis, diabetes mellitus, empiema atau torsi yang menyebabkan oklusi arteri. Gangren biasanya merupakan predisposisi perforasi kandung empedu, tetapi perforasi juga dapat terjadi pada kolesistitis kronik tanpa gejala atau peringatan sebelumnya abses (Chiu HH , et al, 2009). Perforasi lokal biasanya tertahan dalam omentum atau oleh adhesi yang ditimbulkan oleh peradangan berulang kandung empedu. Superinfeksi bakteri pada isi kandung empedu yang terlokalisasi tersebut menimbulkan abses. Sebagian besar pasien sebaiknya diterapi dengan kolesistektomi, tetapi pasien yang sakit berat mungkin memerlukan kolesistektomi dan drainase abses (Chiu HH , et al, 2009). Perforasi bebas lebih jarang terjadi tetapi menyebabkan angka kematian sekitar 30%, Pasien ini mungkin memperlihatkan hilangnya secara transien nyeri kuadran kanan atas karena kandung empedu yang teregang mengalami dekompresi, tetapi kemudian timbul tanda peritonitis generalisata (Chiu HH , et al, 2009).
Pembentukan fistula dan ileus batu empedu
Fistulisasi dalam organ yang berdekatan melekat pada dinding kandung empedu mungkin diakibatkan dari inflamasi dan pembentukan perlekatan. Fistula dalam duodenum sering disertai oleh fistula yang melibatkan fleksura hepatika kolon, lambung atau duodenum, dinding abdomen dan pelvis ginjal. Fistula enterik biliaris “bisu/tenang” yang secara klinis terjadi sebagai komplikasi kolesistitis kronik pernah ditemukan pada 5 % pasien yang menjalani kolesistektomi (Isselbacher, K.J, et al , 2009). Fistula kolesistoenterik asimtomatik mungkin kadang didiagnosis dengan temuan gas dalam percabangan biliaris pada foto polos abdomen. Pemeriksaan kontras barium atau endoskopi saluran makanan bagian atas atau kolon mungkin memperlihatkan fistula, tetapi kolesistografi oral akan hampir tidak pernah menyebabkan opasifikasi baik kandung empedu atau saluran fistula. Terapi pada pasien simtomatik biasanya terdiri dari kolesistektomi, eksplorasi duktus koledokus dan penutupan saluran fistula (Isselbacher, K.J, et al , 2009).
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan Periode 24 Oktober 2011 – 31 Desember 2011 Siloam Hospital Kebon Jeruk
29
Kolesistitis Akut
Ega Jaya / 171 2006 0064
Ileus batu empedu menunjuk pada obstruksi i ntestinal mekanik yang diakibatkan oleh lintasan batu empedu yang besar ke dalam lumen usus. Batu tersebut biasanya memasuki duodenum melalui fistula kolesistoenterik pada tingkat tersebut. Tempat obstruksi oleh batu empedu yang terjepit biasanya pada katup ileosekal, asalkan usus kecil yang lebih proksimal berkaliber normal. Sebagian besar pasien tidak memberikan riwayat baik gejala traktus biliaris sebelumnya maupun keluhan kolesistitis akut yang sugestif atau fistulisasi (Isselbacher, K.J, et al , 2009). Batu yang berdiameter lebih besar dari 2,5 cm dipikirkan memberi kecenderungan pembentukan fistula oleh erosi bertahap melalui fundus kandung empedu. Pemastian diagnostik ada kalanya mungkin ditemukan foto polos abdomen (misalnya obstruksi usus-kecil dengan gas dalam percabangan biliaris dan batu empedu ektopik berkalsifikasi) atau menyertai rangkaian gastrointestinal atas (fistula kolesistoduodenum dengan obstruksi usus kecil pada katup ileosekal). Laparotomi dini diindikasikan dengan enterolitotomi dan palpasi usus kecil yang lebih proksimal dan kandung empedu yang teliti untuk menyingkirkan batu lainnya (Isselbacher, K.J, et al , 2009).
Empedu limau (susu kalsium) dan kandung empedu porselin.
Garam kalsium mungkin disekresi ke dalam lumen kandung empedu dalam konsentrasi yang cukup untuk menyebabkan pengendapan kalsium dan opasifikasi empedu yang difus dan tidak jelas atau efek pelapis pada rontgenografi polos abdomen. Apa yang disebut empedu limau atau susu empedu secara klinis biasanya tidak berbahaya, tetapi kolesistektomi dianjurkan karena empedu limau sering timbul pada kandung empedu yang hidropik. Sedangkan kandung empedu porselin terjadi karena deposit garam kalsium dalam dinding kandung empedu yang mengalami radang secara kronik, mungkin dideteksi pada foto polos abdomen. Kolesistektomi dianjurkan pada semua pasien dengan kandung empedu porselin karena pada kasus presentase tinggi temuan ini tampak terkait dengan perkembangan karsinoma kandung empedu (Isselbacher, K.J, et al , 2009).
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan Periode 24 Oktober 2011 – 31 Desember 2011 Siloam Hospital Kebon Jeruk
30
Kolesistitis Akut
Ega Jaya / 171 2006 0064
Komplikasi pascakolesistektomi
Komplikasi dini
Komplikasi dini setelah kolesistektomi adalah atelektasis dan gangguan paru lainnya, pembentukan abses (sering subfrenik), perdarahan eksterna dan interna, fistula biliaris-enterik dan kebocoran empedu. Ikterus mungkin mengisyaratkan absorpsi empedu dari suatu sumber intraabdomen akibat kebocoran empedu atau sumbatan mekanis duktus koledokus oleh batu, bekuan darah intraduktus atau tekanan ekstrinsik. Untuk mengurangi insidensi komplikasi dini tersebut secara rutin dilakukan kolangiografi intraoperatif sewaktu kolesistektomi (Isselbacher, K.J, et al , 2009). Secara keseluruhan, kolesistektomi merupakan operasi yang sangat berhasil yang menghasilkan kesembuhan lengkap atau hampir lengkap atas gejala pada 75 sampai 90 persen pasien. Penyebab paling sering pada gejala pascakolesistektomi yang menetap adalah adanya gangguan ekstrabiliaris yang tidak diketahui (misalnya esofagitis refluks, ulkus peptikum, sindrom pascagastrektomi, pankreatitis atau sindroma usus iritabel). Namun, pada sebagian kecil pasien terdapat gangguan duktus kandung empedu ekstrahepatik yang menyebabkan gejala persisten. Apa yang disebut sebagai sindroma pascakolesistektomi mungkin disebabkan oleh (1) striktura biliaris, (2) batu empedu yang tertahan (3) sindroma tunggal ( stump) duktus sistikus (4) stenosis atau diskinesia sfingster Oddi atau (5) gastritis atau diare akibat garam empedu (Isselbacher, K.J, et al , 2009).
Sindroma tunggal duktus sistikus
Tanpa batu yang tampak secara kolangiografik, gejala kelainan mirip kolik biliaris atau kolestitis pada pasien pascakolesistektomi ini sering diperkirakan disebabkan oleh gangguan pada sisa duktus sistikus yang panjang (>1 cm) (sindroma tunggal duktus sistikus).
Namun,
penelitian
yang
cermat
memperlihatkan
bahwa
keluhan
pascakolesistektomi pada hampir semua pasien yang kompleks gejalanya semula diduga timbul akibat adanya tunggal duktus sistikus yang panjang juga dapat disebabkan oleh sebab lain. Dengan demikian, perlu dilakukan pemeriksaan cermat mengenai faktor lain yang menyebabkan gejala pascakolesistektomi sebelum menyatakannya sebagai sindroma tunggal duktus sistikus (Isselbacher, K.J, et al , 2009).
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan Periode 24 Oktober 2011 – 31 Desember 2011 Siloam Hospital Kebon Jeruk
31
Kolesistitis Akut
Ega Jaya / 171 2006 0064
Katarsis dan gastritis akibat garam empedu
Pasien pascakolesistektomi mungkin mempunyai gejala dan tanda gastritis, yang dihubungkan dengan refluks empedu duodenogastrik. Namun, data kuat yang menghubungkan
peningkatan
insidensi
gastritis
empedu
dengan
pembedahan
penyingkiran kandung empedu tidak cukup. Demikian pula, kejadian diare responsif – kolestiramin pada sejumlah kecil pasien yang menyertai kolesistektomi dihubungkan dengan perubahan sirkulasi kandung empedu enterohepatik (Isselbacher, K.J, et al , 2009).
Prognosis
Pada kasus kolesistitis akut tanpa komplikasi, perbaikan gejala dapat terlihat dalam 1 – 4 hari bila dalam penanganan yang tepat. Penyembuhan spontan didapatkan pada 85% kasus, sekalipun kadang kandung empedu menjadi tebal, fibrotik, penuh dengan batu dan tidak berfungsi lagi. Tidak jarang pula, menjadi kolesistitis rekuren. Kadang – kadang kolesistitis akut berkembang secara cepat menjadi gangren, empiema dan perforasi kandung empedu, fistel, abses hati atau peritonitis umum pada 10 – 15% kasus. Bila hal ini terjadi, angka kematian dapat mencapai 50 – 60%. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian antibiotik yang adekuat pada awal serangan. Pasien dengan kolesistitis akut akalkulus memiliki angka mortalitas sebesar 10 – 50%. Tindakan bedah pada pasien tua (>75 tahun) mempunyai prognosis yang jelek di samping kemungkinan banyak timbul komplikasi pasca bedah. (McPhee SJ , et al, 2009).
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan Periode 24 Oktober 2011 – 31 Desember 2011 Siloam Hospital Kebon Jeruk
32
Kolesistitis Akut
Ega Jaya / 171 2006 0064
SIMPULAN Kolesistitis merupakan peradangan pada dinding kandung empedu yang ditandai dengan trias gejalanya yakni nyeri perut kuadran kanan atas, demam dan leukositosis. Terdapat dua jenis kolesistitis berdasarkan penyebab utamanya yakni kolesistitis akut kalkulus dan kolesistitis akut akalkulus. Patofisiologi kolesistitis akut sampai saat ini masih belum dapat sepenuhnya dimengerti. Penegakkan diagnosis untuk kolestitis adalah dengan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Kolesistitis akut kalkulus lebih banyak ditemukan pada wanita, usia > 40 tahun dan pada wanita hamil atau yang mengkonsumsi obat hormonal, walaupun pada kenyataannya tidak selalu seperti itu. Pasien – pasien yang menerima nutrisi parenteral total (TPN) beresiko menderita kolesistitis akut akalkulus, sama halnya pada pasien dengan riwayat DM & demam tyfoid. Pasien sering mengeluhkan nyeri perut kanan atas sakit bila ditekan (tanda Murphy positif), takikardia, mual, muntah, anoreksia dan demam. Dapat teraba pula massa di kuadran kanan atas perut. Pemeriksaan penunjang sering menunjukkan leukositosis, peningkatan serum aminotransferasi, alkali fosfatase, serum bilirubin dan serum amilase. Pemeriksaan USG dapat merupakan pemeriksaan penunjang yang banyak dilakukan karena kesensitifitasannya sampai 95%. Terapi dibagi menjadi dua yakni terapi konvensional berupa perbaikan kondisi umum pasien, antibiotik sesuai dengan pola kuman, analgesik dan anti-emetik dan terapi pembedahan bila terdapat inidikasi, dimana saat ini lebih sering dilakukan laparaskopik kolesistektomi dikarenakan dapat memberi keuntungan pada pasien yakni rasa nyeri pasca operasi minimal, memperpendek masa perawatan dan memperbaiki kualitas hidup pasien lebih cepat.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan Periode 24 Oktober 2011 – 31 Desember 2011 Siloam Hospital Kebon Jeruk
33
Kolesistitis Akut
Ega Jaya / 171 2006 0064
DAFTAR PUSTAKA
1. Chiu HH, Chen CM, Mo LR. Emphysematous cholecystitis. Am J Surg. Sep 2009;188(3):325-6. 2. Cox MR, Wilson TG, Luck AJ, et al. Laparoscopic cholecystectomy for acute inflammation of the gallbladder. Ann Surg. Nov 2008;218(5):630-4. 3. Cullen JJ, Maes EB, Aggrawal S, et al. Effect of endotoxin on opossum gallbladder motility: a model of acalculous cholecystitis. Ann Surg. Aug 2009;232(2):202-7. 4. Donovan JM. Physical and metabolic factors in gallstone pathogenesis. Gastroenterol Clin North Am. Mar 2009;28(1):75-97. 5. Gruber PJ, Silverman RA, Gottesfeld S, et al. Presence of fever and leukocytosis in acute cholecystitis. Ann Emerg Med. Sep 2009;28(3):273-7. 6. Huffman JL, Schenker S. Acute acalculous cholecystitis - a review. Clin Gastroenterol Hepatol. Sep 9 2009. 7. Isselbacher, KJ, Braunwald E, Martin JB, Fauci AS, Kasper DL. Harrison: Prinsip – Harrison. Prinsip – Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Editor Bahasa Indonesia: Prof. Dr. H. Ahmad H. Asdie. Edisi 13. EGC. Jakarta. 2009. 8. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku Ajar Patologi Edisi 7. Jakarta : EGC. 2009.
9. Kim YK, Kwak HS, Kim CS, Han YM, Jeong TO, Kim IH, et al. CT findings of mild forms or early manifestations of acute cholecystitis. Clin Imaging. JulAug 2009;33(4):274-80. 10. McPhee SJ, Papadakis MA, Tierney LM, Current Medical Diagnosis & Treatment. McGraw Hill: Lange. 2009.
11. Mutignani M, Iacopini F, Perri V, et al. Endoscopic gallbladder drainage for acute
cholecystitis:
technical
and
clinical
results.
Endoscopy. Jun
2009;41(6):539-46. 12. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Dasar – Dasar Penyakit. EGC. Jakarta. 2006.
13. Roe J. Evidence-based emergency medicine. Clinical assessment of acute cholecystitis in adults. Ann Emerg Med. Jul 2009;48(1):101-3. 14. Sahai AV, Mauldin PD, Marsi V, et al. Bile duct stones and laparoscopic cholecystectomy: a decision analysis to assess the roles of intraoperative cholangiography, EUS, and ERCP. Gastrointest Endosc . Mar 2009;49(3 Pt 1):334-43.
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan Periode 24 Oktober 2011 – 31 Desember 2011 Siloam Hospital Kebon Jeruk
34