KOLESISTITIS
Definisi dan Epidemiologi
Kolesistitis adalah inflamasi akut dan kronis dari kandung empedu, biasanya berhubungan dengan batu kandung empedu yang tersangkut pada duktus sistikus dan menyebabkan distensi kandung empedu. Kasus kolesistitis ditemukan pada sekitar 10% populasi, sekitar 90% kasus berkaitan dengan batu empedu, sedangkan 10% sisnya tidak. Kasus minorotas yang disebut juga dengan istilah acalculous cholecystitis ini, biasanya berkitan dengan pasca bedah umum, cedera berat, sepsis (infeksi berat). Individu yang beresiko terkena kolesistitis adalah jenis kelamin wanita, umur tua, obesitas, obat-obatan kehamilan, dan suku bangsa tertentu. Kolesistitis proses inflamasi atau peradangan peradangan akut pada kandung empedu yang
umumnya terjadi akibat penyumbatan pada saluran empedu. Faktor resiko yang terkena kolesistitis antara lain adalah jenis kelamin wanita, umur tua, obesitas, obat-obatan, kehamilan, dan suku bangsa tertentu. Untuk memudahkan mengingat mengingat faktor-faktor risiko terkena kolesistitis, digunakan akronim 4F dalam bahasa female, forty, for ty, fat, fat , and fertile). Selain itu, kelompok penderita batu empedu tentu saja lebih berisiko Inggris ( female,
mengalami kolesistitis daripada yang tidak memiliki batu empedu.
Kolelitiasis adalah terdapatnya batu dalam kandung empedu. Kedua penyakit diatas dapat terjadi sendiri saja, tapi sering kali dijumpai bersamaan karena saling berkaitan. Sekitar 95% penderita peradangan kandung empedu akut memiliki batu empedu. Batu empedu yang menyumbat saluran empedu akan membuat kandung empedu meregang, sehingga aliran darah dan getah bening akan berubah, terjadilah kekurangan oksigen dan kematian jaringan empedu. Sedangkan kasus tanpa batu empedu, kolesistitis lebih disebabkan oleh faktor keracunan empedu (endotoksin) yang membuat garam empedu tidak dapat dikeluarkan dari kandung empedu.
MANIFESTASI KLINIK
Rasa Nyeri dan Kolik Bilier
Jika duktus sistikus tersumbat, kandung empedu akan mengalami distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan menderita panas dan mungkin teraba massa padat pada abdomen. Pasien dapat mengalami kolik bilier disertai nyeri hebat pada abdomen kuadran kanan atas yang menjalar ke punggung atau bahu kanan ; rasa nyeri ini biasanya disertai dengan mual dan muntah dan bertambah hebat dalam waktu beberapa jam sesudah makan makanan dalam porsi besar. Pasien akan membolak-balik tubuhnya dengan gelisah karena tidak mampu menemukan posisi yang nyaman baginya. Pada sebagian pasien, rasa nyeri bukan bersifat kolik melainkan persisten. Serangan kolik bilier semacam semacam ini disebabkan disebabkan
oleh kontraksi kontraksi kandung empedu yang yang tidak dapat dapat
mengalirkan empedu keluar akibat tersumbatnya saluran oleh batu. Dalam keadaan distensi, bagian fundus kandung empedu akan menyentuh dinding abdomen pada daerah kartilago kosta Sembilan dan sepuluh
kanan. Sentuhan ini menimbulkan nyeri tekan yang mencolok pada kuadran atas ketika pasien melakukan inspirasi dalam, dan menghambat pengembangan rongga dada. Nyeri pada kolesistitis akut dapat berlangsung sangat hebat sehingga diperlukan preparat analgesic yang kuat seperti meperidin. Pemberian morfin dianggap dapat meningkatkan spasme sfingter oddi sehingga perlu dihindari.
Ikterus
Ikterus dapat dijumpai di antara penderita penyakit kandung empedu dengan presentase yang kecil dan biasanya terjadi pada obstruksi duktus koledokus. Obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam duodenum menimbulkan gejala yang khas yaitu : getah empedu yang tidak lagi dibawa kedalam duodenum akan diserap oleh darah dan penyerapan empedu ini membuat kulit dan membrane mukosa berwarna kuning. Keadaan ini sering disertai dengan gatal-gatal yang mencolok pada kulit.
Perubahan Warna Urine dan Feses
Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urine berwarna sangat gelap. Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu akan Nampak kelabu, dan biasanya pekat yang disebut “ clay -colored”.
Defisiensi Vitamin
Obstruksi aliran empedu juga mengganggu absorpsi vitamin A, D, E, dan K yang larut lemak. Karena itu, pasien dapat memperlihatkan gejala defisiensi vitamin-vitamin ini jika obstruksi bilier berjalan lama. Defisiensi vitamin K dapat mengganggu pembekuan darah yang normal. Bilamana batu empedu terlepas dan tidak lagi menyumbat duktus sistikus, kandung empedu akan mengalirkan isinya keluar dan proses inflamasi segera mereda dalam waktu yang relative singkat. Jika batu empedu terus menyumbat saluran tersebut, penyumbatan ini dapat mengakibatkan abses, nekrosis dan perforasi disertai peritonitis generalisata.(Smeltzer, 2001:1206-1207)
Anatomi dan Fisiologi
Anatomi
Kandung empedu (vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah pear yang terletak pada permukaan visceral hepar. Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus, dan collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior hepar, dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung costa IX kanan. Corpus merupakan bagian terbesar dari kandung empedu. Corpus bersentuhan dengan permukaan visceral hepar dan arahnya keatas, belakang, dan kiri. Collum adalah bagian yang sempit dari kandung empedu. Collum dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang berjalan dalam omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus comunis membentuk duktus koledokus. Peritoneum mengelilingi fundus vesica fellea dengan sempurna menghubungkan corpus dan collum permukaan viscera hati. Pembuluh arteri kandung empedu adalah A. cystica cabang A. hepatica kanan. V. cystic mengalirkan darah langsung ke vena porta. Sejumlah arteri yang sangat kecil dan vena-vena juga berjalan antara hati dan kandung empedu. Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak dekat collum vesic fellea. Disini pembuluh limfe berjalan melalui nodi l ymphatici hepaticum sepanjang perjalanan A. hepatica menuju ke nodi lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju ke kandung empedu berasal dari plexus coeliacus. Variasi anatomi misalnya double folded atau double twisted sangat sering ditemukan, juga kandung empedu yang besar, non obstruktif, sering dijumpai pada penderita alkoholisme atau diabetes mellitus. Fisiologi
Vesica fellea berperan sebagai reservoir empedu dengan kapasitas sekitar 50ml. vesica fellea memiliki kemampuan memekatkan empedu. Dan untuk membantu proses ini, mukosanya memiliki lipatanlipatan yang satu sama lain saling berhubungan. Sehingga permukaannya tampak seperti sarang tawon. Selsel thorak membatasinya juga mempunyai banyak mikrofili Empedu dibentuk oleh sel-sl hati yang ditampung di dalam kanalikuli. Kemudian disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam septum interlobaris. Saluran ini kemudian keluar dari hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri. Kemudian keduanya membentuk duktus biliaris komunis. Pada saluran ini sebelum mencapai duodenum terdapat cabang ke kandung empedu yaitu duktus sistikus yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan empedu sebelum disalurkan ke duodenum. Fungsi primer dari kandung empedu adalah memekatkan empedu dengan absorbs air dan natrium. Kandung empedu mampu memekatkan zat terlarut yang kedap, yang terkandung dalam empedu hepatik 5 -10 kali dan mengurangi volumenya 80-90%.
Menurut Guyton & Hall, 1997 empedu melakukan dua fungsi penting yaitu : a. Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorbsi lemak, karena asam empedu melakuakn dua hal antara lain: asam empedu membantu mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar menjadi partikel yang lebih kecil dengan bantuan enzim lipase yang disekresikan dalam getah pankreas. Asam empedu membantu transport dan absorbsi produk akir lemak yang dicerna menuju dan melalui membran mukosa intestinal.
b. Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk buangan yang penting dari darah, antara bilirubin, suatu produk akhir dari penghancuran hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang dibentuk oleh sel-sel hati. Pengosongan Kandung Empedu
Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial kandung empedu. Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak ke dalam duodenum. Lemak meyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin dari mukosa duodenum, hormone kemudian masuk dalam darah, menyebabkan kandung empedu berkontraksi. Pada saat yang sama, otot polos yang terletak pada ujung distal duktus coledokus dan ampula relaksasi, sehingga memungkinkan masuknya emepdu yang kental ke dalam duodenum. Garam-garam empedu dalam cairan emepdu penting untuk emulsifikasi lemak dalam usus halus dan membantu pencernaan dan absorbs lemak. Proses koordinasi kedua aktifitas ini disebabkan oleh dua hal yaitu: 1. Hormonal Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai duodenum akan merangsang mukosa sehingga hormone cholecystokinin akan terlpas. Hormon ini yang paling besar peranannya dalam kontraksi kandung empedu. 2. Neurogen: -
Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase cephalik dari sekresi cairan lambung atau dengan refleks intestino-intestinal akan menyebabkan kontraksi dari kandung empedu
-
Rangsangan langsung dari mkanan yang masuk sampai ke duodenum dan mengenai Sphincter Oddi. Sehingga pada keadaan dimana kandung empedu akan tetap keluar walaupun sedikit.
Pengosongan empedu yang lambat akibat gangguan hormonal mauapun neurologis memegang peran penting dalam perkembangan inti batu.
Komposisi Cairan Empedu
Komponen
Dari hati
Dari kandung empedu
Air
97,5 gm%
95 mg%
Garam empedu
1,1 gm%
6 mg%
Bilirubin
0,04 gm%
0,3 mg%
Kolesterol
0,1 gm%
0,3-0,9 mg%
Asam lemak
0,12 mg%
0,3-1,2 mg%
Lecithin
0,04 mg%
0,3 mg%
Elektrolit
-
-
Garam empedu Asam empedu berasal dari kolesterol. Asam empedu dari hati ada dua macam yaitu: Asam Deoxcycholat dan Asam Cholat. Fungsi garam empedu adalah :
-
Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang terdapat dalam makanan, sehingga partikel lemak yang besar dapat dipecah menjadi partikel-partikel kecil untuk dapat dicerna lebih lanjut.
-
Membantu absorbsi lemak, monoglycerid, kolesterol, dan vitamin yang larut dalam lemak.
Garam empedu yang masuk ke dalam lumen usus oleh kerja kuman-kuman usus diubah menjadi deoxycholat dan lithocholat. Sebagian besar (90%) garam empedu dalam lumen usus akan diabsorbsi kembali oleh mukosa usus sedangkan sisanya akan dikeluarkan bersama feses dalam bentuk lithocholat. Absorbsi garam empedu tersebut terjadi di segmen distal dari ilium. Sehingga bila ada gangguan pada daerah tersebut misalnya oleh karena radang atau reseksi maka absorbsi garam empedu akan terganggu.
Kolesistitis 1. Kolesistitis akut A. Pengertian
Radang kandung empedu (kolesistitis akut) adalah reaksi inflamasi akut dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan, dan demam. B. Etiologi dan Patogenesis
Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah statis cairan empedu, infeksi kuman, dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) yang terletak di duktus sistikus yang menyebabkan statis cairan empedu, sedangkan sebagian kecil kasus timbul tanpa adanya batu empedu (kolesistitis akut alkalkulus). Bagaimana statis di duktus sistikus dapat menyebabkan kolesistitis akut, masih belum jelas. Diperkirakan banyak faktor yang berpengaruh, seperti kepekatan cairan empedu, kolesterol, lisolesitin, dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung empedu diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi. Kolesistitis akut akalkulus dapat timbul pada pasien yang dirawat cukup lama dan mendapat nutrisi secara parenteral, pada sumbatan karena keganasan kandung empedu, batu disaluran emepdu, atau merupakan salah satu komplikasi penyakit lain seperti demam tifoid dan diabetes mellitus. C. Gejala klinis
Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik perut disebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan serta kenaikan suhu tubuh. Kadang-kadang rasa sakit menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa reda. Berat ringannya keluhan sangat bervariasi tergantung dari adanya kelaianan inflamasi ringan sampai dengan gangrene atau perforasi kandung empedu. Penderita kadang menderita demam, mual, dan muntah. Pada orang lanjut usia, demam sering kali tidak begitu nyata dan nyeri lebih terlokalisasi hanya pada perut kanan atas. D. Pemeriksaan fisik
Dari pemeriksaan kolesistitis dapat ditemukan demam, takikardia (denyut nadi cepat), dan nyeri tekan pada perut kanan atas. Saat dokter meminta penderita menarik napas dalam, sambil meraba daerah
bawah iga kanannya ( subcosta kanan). Penderita kolesistitis umumnya menunjukkan Murphy's sign positif, di mana gerakan tangan dokter pada kondisi di atas menimbulkan rasa sakit dan sulit bernapas. E. Laboratorium
Ikterus dijumpai pada 20% kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin <4,0mg/dl). Apabila konsentrasi bilirubin tinggi, perludiperkirakan adanya batu disaluran empedu ekstrahepatik.
Leukositosis .
Peningkatan enzim-enzim hati (SGOT,SGPT,alkali fosfatase,dan bilirubin).
Peninggian transaminase dan fosfatase alkali.
F. Radiologi
Foto polos abdomen tidak dapat memperlihatkan gambaran kolesistitis akut. Hanya pada 15% pasien kemungkinan dapat terlihat batu tidak tembus pandang (radioopak) oleh karena mengandung kalsium cukup banyak.
Kolesistografi oral tidak dapat memperlihatkan gambaran kandung empedu bila ada obstruksi sehingga pemeriksaan ini tidak bermanfaat untuk kolesistitis akut.
Pemeriksaan ultrasonografi (USG) sebaiknya dikerjakan secara rutin dan sangat bermanfaat untuk memperlihatkan besar, bentuk, penebalan dinding kandung empedu, batu dan saluran empedu ekstrahepatik. Nilai kepekaan dan ketepatan USG mencapai 90-95%.
Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA atau 99nTc6 Iminodiacetic acid mempunyai nilai sedikit lebih rendah dari USG tapi teknik ini tidak mudah. Terlihatnya gambaran duktus koledukus tanpa adanya gambaran kandung empedu pada pemeriksaan kolesistografi oral atau scintigrafi sangat menyokong kolesititis akut.
CT scan abdomen kurang sensitive dan mahal tapi mampu memperlihatkan adanya abses perikolesistik yang masih kecil yang mungkin tidak terlihat pada pemeriksaan USG.
Kolangiografi transhepatik perkutaneos : pembedahan gambaran dengan fluroskopi antara penyakit kandung empedu dan kanker pancreas (bila ikterik ada).
MRI
G. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala dan hasil dari pemeriksaan tertentu. Pemeriksaan USG bisa membantu memperkuat adanya batu empedu dalam kandung empedu, dan cairan peradangan disekitar empedu. ERCP (endoscopic retrograde cholangiopancreatography) juga dapat dilakukan untuk melihat anatomi saluran empedu, sekaligus untuk mengangkat batu apabila memungkinkan. Diagnosis yang paling akurat diperoleh dari pemeriksaan skintigrafi hepatobilier, yang memberikan gambaran dari hati, saluran empedu, kandung empedu dan bagian atas usus halus.
H. Penatalaksanaan
Penderita dengan kolesistitis akut pada umumnya dirawat dirumah sakit, diberikan cairan dan elektrolit intravena dan tidak diperbolehkan makan mupun minum. Mungkin akan dipasang pipa
nasogastrik untuk menjaga agar lambung tetap kosong sehingga mengurangi rangsangan terhadap kandung empedu. Antibiotik diberikan sesegera mungkin dicurigai kolesistitis akut. Jika diagnosis sudah pasti dan resikonya kecil, biasanya dilakukan pembedahan untuk mengangkat kandung empedu pada hari pertama atau kedua. Jika penderita memiliki penyakit lainnya yang meningkatkan resiko pembedahan, operasi ditunda dan dilakkan pengobatan terhadap penyakitnya. Jika serangan mereda, kandung empedu bisa diangkat 6 minggu kemudian atau lebih. Jika terdapat komplikasi (misalnya abses, gangren, atau perforasi kandung empedu), diperlukan pembedahan segera. Sebgian kecil penderita akan merasakan episode nyeri yang baru atau berulang, yang menyerupai serangan kandung empedu, meskipun sudah tidak memiliki kandung empedu. Penyebab terjadinya episode ini tidak diketahui, tetapi mungkin merupakan akibt dari fungsi sfingter oddi yang abrnormal. Sfingter Oddi adalah lubang yang mengatur pengaliran empedu kedalam usus halus. Rasa nyeri ini mungkin terjadi akibat peningkatan tekanan didalam saluran yang disebabkan oleh penahanan aliran empedu atau sekresi pankreas. Untuk melebarkan sfingter Oddi dapat menggunakan endoskopi. Hal ini biasanya akan mengurangi gejala pada penderita yang memiliki kelainan sfingter, tapi tidak akan membantu penderita yang memiliki nyeri tanpa disertai kelaianan pada sfingter.
I. Tatalaksana
Terapi konservatif
Walaupun intervensi bedah tetap merupakan terapi utama untuk kolestasis akut dan komplikasinya, mungkin diperlukan periode stabilisasi di rumah sakit sebelum kolesistektomi. Pengobatan umum termasuk istirahat total, perbaiki status hidrasi pasien, pemberian nutrisi parenteral, diet ringan, koreksi elektrolit, obat penghilang rasa nyeri seperti petidin dan antispasmodik. Pemberian antibiotik pada fase awal sangat penting untuk mencegah komplikasi seperti peritonitis, kolangitis dan septisemia. Golongan ampisilin, sefalosporin dan metronidazol cukup memadai untuk mematikan kuman – kuman yang umum terdapat pada kolesistitis akut seperti E. Coli, Strep. faecalis dan Klebsiela, namun pada pasien diabetes dan pada pasien yang memperlihatkan tanda sepsis gram negatif, lebih dianjurkan pemberian antibiotik kombinasi (Isselbacher, K.J, et al, 2009). Berdasarkan rekomendasi Sanford, dapat diberikan ampisilin/sulbactam dengan dosis 3 gram / 6 jam, IV, cefalosporin generasi ketiga atau metronidazole dengan dosis awal 1 gram, lalu diberikan 500 mg / 6 jam, IV. Pada kasus – kasus yang sudah lanjut dapat diberikan imipenem 500 mg / 6 jam, IV. Bila terdapat mual dan muntah dapat diberikan anti – emetik atau dipasang nasogastrik tube. Pemberian CCK secara intravena dapat membantu merangsang pengosongan kandung empedu dan mencegah statis aliran empedu lebih lanjut. Pasien – pasien dengan kolesistitis akut tanpa komplikasi yang hendak dipulangkan harus dipastikan tidak demam dengan tanda – tanda vital yang stabil, tidak terdapat tanda – tanda obstruksi pada hasil laboratorium dan USG, penyakit – penyakit lain yang menyertai (seperti diabetes mellitus) telah
terkontrol. Pada saat pulang, pasien diberikan antibiotik yang sesuai seperti Levofloxasin 1 x 500 mg PO dan Metronidazol 2 x 500 mg PO, anti-emetik dan analgesik yang sesuai (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
Terapi bedah
Saat kapan dilaksanakan tindakan kolesistektomi masih diperdebatkan, apakah sebaiknya dilakukan secepatnya (3 hari) atau ditunggu 6 – 8 minggu setelah terapi konservatif dan keadaaan umum pasien lebih baik. Sebanyak 50 % kasus akan membaik tanpa tindakan bedah. Ahli bedah yang pro operasi dini menyatakan, timbul gangren dan komplikasi kegagalan terapi konservatif dapat dihindarkan dan lama perawatan di rumah sakit menjadi lebih singkat dan biaya daat ditekan. Sementara yang tidak setuju menyatakan, operasi dini akan menyebabkan penyebaran infeksi ke rongga peritoneum dan teknik operasi lebih sulit karena proses infalamasi akut di sekitar duktus akan mengaburkan anatomi (Wilson E , et al, 2010). Namun, kolesistostomi atau kolesistektomi darurat mungkin perlu dilakukan pada pasien yang dicurigai atau terbukti mengalami komplikasi kolesistitis akut, misalnya empiema, kolesistitis emfisematosa atau perforasi. Pada kasus kolesistitis akut nonkomplikata, hampir 30 % pasien tidak berespons terhadap terapi medis dan perkembangan penyakit atau ancaman komplikasi menyebabkan operasi perlu lebih dini dilakukan (dalam 24 sampai 72 jam). Komplikasi teknis pembedahan tidak meningkat pada pasien yang menjalani kolesistektomi dini dibanding kolesistektomi yang tertunda. Penundaan intervensi bedah mungkin sebaiknya dicadangkan untuk (1) pasien yang kondisi medis keseluruhannya memiliki resiko besar bila dilakukan operasi segera dan (2) pasien yang diagnosis kolesistitis akutnya masih meragukan (Wilson E , et al, 2010).
Kolesistektomi dini/segera merupakan terapi pilihan bagi sebagian besar pasien kolesistitis akut. Di sebagian besar sentra kesehatan, angka mortalitas untuk kolesistektomi darurat mendekati 3 %, sementara resiko mortalitas untuk kolesistektomi elektif atau dini mendekati 0,5 % pada pasien berusia kurang dari 60 tahun. Tentu saja, resiko operasi meningkat seiring dengan adanya penyakit pada organ lain akibat usia dan dengan adanya komplikasi jangka pendek atau jangka panjang penyakit kandung empedu. Pada pasien kolesistitis yang sakit berat atau keadaan umumnya lemah dapat dilakukan kolesistektomi dan drainase selang terhadap kandung empedu. Kolesistektomi elektif kemudian dapat dilakukan pada lain waktu (Mutignani M , et al, 2009) Sejak diperkenalkan tindakan bedah kolesistektomi laparoskopik di Indonesia ada awal 1991, hingga saat ini sudah sering dilakukan di pusat – pusat bedah digestif. Di luar negeri tindakan ini hampir mencapai angka 90% dari seluruh kolesitektomi. Konversi ke tindakan kolesistektomi konvensional menurut Ibrahim A. dkk, sebesar 1,9% kasus, terbanyak oleh karena sukar dalam mengenali duktus sistikus yang diakibatkan perlengketan luas (27%), perdarahan dan keganasan kandung empedu. Komplikasi yang sering dijumpai pada tindakan ini yaitu trauma saluran empedu (7%), perdarahan, kebocoran empedu. Menurut kebanyakan ahli bedah tindakan kolesistektomi laparoskopik ini sekalipun invasif mempunyai kelebihan seperti mengurangi rasa nyeri pasca operasi. Menurunkan angka kematian, secara kosmetik lebih baik,
memperpendek lama perawatan di rumah sakit dan mempercepat aktivitas pasien (Siddiqui T , et al, 2008). Pada wanita hamil, laparaskopi kolesistektomi terbukti aman dilakukan pada semua trimester (Cox MR , et al, 2008)
Adapun beberapa kontraindikasi dari laparoskopi kolesistektomi diantaranya adalah:
Resiko tinggi terhadap anastesi umum
Tanda – tanda perforasi kandung empedu seperti abses, fistula dan peritonitis
Batu empedu yang besar atau dicurigai keganasan
Penyakit hati terminal dengan hipertensi portal dan gangguan sistem pembekuan darah (Wilson E , et al, 2010).
J.
Komplikasi kolesistitis
Empiema dan hidrops
Empiema kandung empedu biasanya terjadi akibat perkembangan kolesistitis akut dengan sumbatan duktus sistikus persisten menjadi superinfeksi empedu yang tersumbat tersebut disertai kuman – kuman pembentuk pus. Biasanya terjadi pada pasien laki - laki dengan kolesistitis akut akalkulus dan juga menderita diabetes mellitus. Gambaran klinis mirip kolangitis dengan demam tinggi, nyeri kuadran kanan atas yang hebat, leukositosis berat dan sering keadaan umum lemah. Empiema kandung empedu memiliki resiko tinggi menjadi sepsis gram negatif dan/atau perforasi. Diperlukan intervensi bedah darurat disertai perlindungan antibiotik yang memadai segera setelah diagnosis dicurigai (Gruber PJ , et al, 2009). Hidrops atau mukokel kandung empedu juga terjadi akibat sumbatan berkepanjangan duktus sistikus biasanya oleh sebuah kalkulus besar. Dalam keadaan ini, lumen kandung empedu yang tersumbat secara progresif mengalami peregangan oleh mukus (mukokel) atau cairan transudat jernih (hidrops) yang dihasilkan oleh sel – sel epitel mukosa. Pada pemeriksaan fisis sering teraba massa tidak nyeri yang mudah dilihat dan diraba menonjol dari kuadran kanan atas menuju fossa iliaka kanan. Pasien hidrops kandung empedu sering tetap asimtomatik, walaupun nyeri kuadran kanan atas kronik juga dapat terjadi. Kolesistektomi diindikasikan, karena dapat timbul komplikasi empiema, perforasi atau gangren (Gruber PJ , et al, 2009).
Gangren dan perforasi
Gangren kandung empedu menimbulkan iskemia dinding dan nekrosis jaringan bebercak atau total. Kelainan yang mendasari antara lain adalah distensi berlebihan kandung empedu, vaskulitis, diabetes mellitus, empiema atau torsi yang menyebabkan oklusi arteri. Gangren biasanya merupakan predisposisi perforasi kandung empedu, tetapi perforasi juga dapat terjadi pada kolesistitis kronik tanpa gejala atau peringatan sebelumnya abses (Chiu HH , et al, 2009). Perforasi lokal biasanya tertahan dalam omentum atau oleh adhesi yang ditimbulkan oleh peradangan berulang kandung empedu. Superinfeksi bakteri pada isi kandung empedu yang terlokalisasi tersebut
menimbulkan abses. Sebagian besar pasien sebaiknya diterapi dengan kolesistektomi, tetapi pasien yang sakit berat mungkin memerlukan kolesistektomi dan drainase abses (Chiu HH , et al, 2009). Perforasi bebas lebih jarang terjadi tetapi menyebabkan angka kematian sekitar 30%, Pasien ini mungkin memperlihatkan hilangnya secara transien nyeri kuadran kanan atas karena kandung empedu yang teregang mengalami dekompresi, tetapi kemudian timbul tanda peritonitis generalisata (Chiu HH , et al, 2009).
Pembentukan fistula dan ileus batu empedu
Fistulisasi dalam organ yang berdekatan melekat pada dinding kandung empedu mungkin diakibatkan dari inflamasi dan pembentukan perlekatan. Fistula dalam duodenum sering disertai oleh fistula yang melibatkan fleksura hepatika kolon, lambung atau duodenum, dinding abdomen dan pelvis ginjal. Fistula enterik biliaris “bisu/tenang” yang secara klinis terjadi sebagai komplikasi kolesistitis kronik pernah ditemukan pada 5 % pasien yang menjalani kolesistektomi (Isselbacher, K.J, et al, 2009). Fistula kolesistoenterik asimtomatik mungkin kadang didiagnosis dengan temuan gas dalam percabangan biliaris pada foto polos abdomen. Pemeriksaan kontras barium atau endoskopi saluran makanan bagian atas atau kolon mungkin memperlihatkan fistula, tetapi kolesistografi oral akan hampir tidak pernah menyebabkan opasifikasi baik kandung empedu atau saluran fistula. Terapi pada pasien simtomatik biasanya terdiri dari kolesistektomi, eksplorasi duktus koledokus dan penutupan saluran fistula (Isselbacher, K.J, et al, 2009). Ileus batu empedu menunjuk pada obstruksi intestinal mekanik yang diakibatkan oleh lintasan batu empedu yang besar ke dalam lumen usus. Batu tersebut biasanya memasuki duodenum melalui fistula kolesistoenterik pada tingkat tersebut. Tempat obstruksi oleh batu empedu yang terjepit biasanya pada katup ileosekal, asalkan usus kecil yang lebih proksimal berkaliber normal. Sebagian besar pasien tidak memberikan riwayat baik gejala traktus biliaris sebelumnya maupun keluhan kolesistitis akut yang sugestif atau fistulisasi (Isselbacher, K.J, et al, 2009). Batu yang berdiameter lebih besar dari 2,5 cm dipikirkan memberi kecenderungan pembentukan fistula oleh erosi bertahap melalui fundus kandung empedu. Pemastian diagnostik ada kalanya mungkin ditemukan foto polos abdomen (misalnya obstruksi usus-kecil dengan gas dalam percabangan biliaris dan batu
empedu
ektopik
berkalsifikasi)
atau
menyertai
rangkaian
gastrointestinal
atas
(fistula
kolesistoduodenum dengan obstruksi usus kecil pada katup ileosekal). Laparotomi dini diindikasikan dengan enterolitotomi dan palpasi usus kecil yang lebih proksimal dan kandung empedu yang teliti untuk menyingkirkan batu lainnya (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
Empedu limau (susu kalsium) dan kandung empedu porselin.
Garam kalsium mungkin disekresi ke dalam lumen kandung empedu dalam konsentrasi yang cukup untuk menyebabkan pengendapan kalsium dan opasifikasi empedu yang difus dan tidak jelas atau efek pelapis pada rontgenografi polos abdomen. Apa yang disebut empedu limau atau susu empedu secara klinis biasanya tidak berbahaya, tetapi kolesistektomi dianjurkan karena empedu limau sering timbul pada kandung
empedu yang hidropik. Sedangkan kandung empedu porselin terjadi karena deposit garam kalsium dalam dinding kandung empedu yang mengalami radang secara kronik, mungkin dideteksi pada foto polos abdomen. Kolesistektomi dianjurkan pada semua pasien dengan kandung empedu porselin karena pada kasus presentase tinggi temuan ini tampak terkait dengan perkembangan karsinoma kandung empedu (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
K. Komplikasi pascakolesistektomi
Komplikasi dini
Komplikasi dini setelah kolesistektomi adalah atelektasis dan gangguan paru lainnya, pembentukan abses (sering subfrenik), perdarahan eksterna dan interna, fistula biliaris-enterik dan kebocoran empedu. Ikterus mungkin mengisyaratkan absorpsi empedu dari suatu sumber intraabdomen akibat kebocoran empedu atau sumbatan mekanis duktus koledokus oleh batu, bekuan darah intraduktus atau tekanan ekstrinsik. Untuk mengurangi insidensi komplikasi dini tersebut secara rutin dilakukan kolangiografi intraoperatif sewaktu kolesistektomi (Isselbacher, K.J, et al, 2009). Secara keseluruhan, kolesistektomi merupakan operasi yang sangat berhasil yang menghasilkan kesembuhan lengkap atau hampir lengkap atas gejala pada 75 sampai 90 persen pasien. Penyebab paling sering pada gejala pascakolesistektomi yang menetap adalah adanya gangguan ekstrabiliaris yang tidak diketahui (misalnya esofagitis refluks, ulkus peptikum, sindrom pascagastrektomi, pankreatitis atau sindroma usus iritabel). Namun, pada sebagian kecil pasien terdapat gangguan duktus kandung empedu ekstrahepatik yang menyebabkan gejala persisten. Apa yang disebut sebagai sindroma pascakolesistektomi mungkin disebabkan oleh (1) striktura biliaris, (2) batu empedu yang tertahan (3) sindroma tunggal ( stump) duktus sistikus (4) stenosis atau diskinesia sfingster Oddi atau (5) gastritis atau diare akibat garam empedu (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
Sindroma tunggal duktus sistikus
Tanpa batu yang tampak secara kolangiografik, gejala kelainan mirip kolik biliaris atau kolestitis pada pasien pascakolesistektomi ini sering diperkirakan disebabkan oleh gangguan pada sisa duktus sistikus yang panjang (>1 cm) (sindroma tunggal duktus sistikus). Namun, penelitian yang cermat memperlihatkan bahwa keluhan pascakolesistektomi pada hampir semua pasien yang kompleks gejalanya semula diduga timbul akibat adanya tunggal duktus sistikus yang panjang juga dapat disebabkan oleh sebab lain. Dengan demikian, perlu dilakukan pemeriksaan cermat mengenai faktor lain yang menyebabkan gejala pascakolesistektomi sebelum menyatakannya sebagai sindroma tunggal duktus sistikus (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
Katarsis dan gastritis akibat garam empedu
Pasien pascakolesistektomi mungkin mempunyai gejala dan tanda gastritis, yang dihubungkan dengan refluks empedu duodenogastrik. Namun, data kuat yang menghubungkan peningkatan insidensi gastritis empedu dengan pembedahan penyingkiran kandung empedu tidak cukup. Demikian pula, kejadian diare responsif – kolestiramin pada sejumlah kecil pasien yang menyertai kolesistektomi dihubungkan dengan perubahan sirkulasi kandung empedu enterohepatik (Isselbacher, K.J, et al, 2009).
L. Prognosis
Penyembuhan spontan didapatkan 85% kasus, sekalipun kandung empedu menjadi tebal, fibrotic, penuh dengan batu dan tidak berfungsi lagi. Tidak jarang menjadi kolesititis rekuren. Kadang-kadang kolesistitis akut berkembang secara cepat menjadi gangren, empiema, dan perforasi kandung empedu, fistel, abses hati atau peritonitis umum. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian antibiotic yang adekuat pada awal serangan. Tindakan bedah akut pada pasien tua (>75tahun) memiliki prognosis jelek disamping kemungkinan timbul komplikasi pasca bedah.
2. Kolesistitis kronik
Kolesistits kronik lebih sering dijumpai di klinis, dan sangat erat hubungannya dengan litiasis dan lebih sering timbulnya perlahan-lahan. A. Pengertian
Kolesistitis kronis adalah peradangan menahun dari dinding kandung empedu, yang ditandai dengan serangan berulang dari nyeri perut yang tajam dan hebat. B. Etiologi
Kolesistitis kronis terjadi akibat serangan berulang dari kolesistitis akut, yang menyebabkan terjadinya penebalan dinding kandung empedu dan penciutan kandung empedu. Pada akhirnya kandung empedu tidak mampu menampung empedu. Penyakit ini lebih sering terjadi pada wanita dan angka kejadiannya meningkat pada usia diatas 40 tahun. Faktor resiko terjadinya kolesistitis kronis adalah adanya riwayat kolesistitis akut sebelumnya. C. Gejala klinis
Timbulnya gejala bisa dipicu oleh makan makanan berlemak. Gejalanya sangat minimal dan tidak menonjol, seperti dyspepsia, rasa penuh di epigastrium, dan nausea khususnya setelah makan makanan berlemak tinggi, yang kadang-kadang hilang setelah bersendawa. D. Radiologi
Kolesistografi oral, ultrasonografi, dan kolangiografi dapat memperlihatkan kolelitiasis dan afungsi kandung emepdu. Pada USG, dinding menjadi sangat tebal dan eko cairan lebih terlihat hiperekoik. Sering terdapat pada kolesistitis kronik lanjut dimana kandung empedu susah mengisut. Kadangkadang hanya eko batunya saja yang terlihat.
Endoskopi
retrograde
choledochopancreaticography
(ERCP)
sangat
memperlihatkan adanya batu di kandung empedu dan duktus koledokus.
Kolesistogram (untuk kolesistitis kronik): menyatakan batu pada sistem empedu.
bermanfaat
untuk
CT scan: dapat menyatakan kista kandung empedu, dilatsi duktus empedu, dan membedakan antara ikterik obstruksi / non obstruksi.
MRI
E. Diagnosis
Diagnosis kolesistits kronik sering sulit ditegakkan. Riwayat penyakit batu kandung empedu di keluarga, ikterus dan kolik berulang, nyeri local di daerah kandung empedu disertai tanda Murphy positif dapat menyokong menegakkan diagnosis. F. Penatalaksanaan
Pengobatan yang biasa dilakukan adalah pembedahan. Kolesistektomi bisa dilakukan melalui pembedahan perut maupun laparoskopi. Penderita yang memiliki resiko pembedahan tinggi karena keadaan medis lainnya, dianjurkan untuk menjalani diet rendah lemak dan menurunkan berat badan. Bisa diberikan antasid dan obat-obat antikolinergik. G. Pencegahan
Seorang yang pernah mangalami serangan kolesistitis akut dan kandung empedunya belum diangkat, sebaiknya mengurangi asupan lemak dan menurunkan berat badannya.