KELALAIAN MEMPERHITUNGKAN MEMPERHITUNGKAN DEBT TO EQUITY RATIO DALAM PERENCANAAN PAJAK (TAX PLANNING)
KELOMPOK 4 :
ELSA LA ROSE M EVI YANTI S HAYU PUSPITA SARI NDARU JAYANTI JESICA REGINA LUISON RIFAL HIJIRA
Pengertian Perencanaan Pajak
Pada umumnya, perencanaan pajak (tax planning) merujuk kepada proses merekayasa usaha dan transaksi wajib Pajak agar utang pajak berada dalam jumlah yang minimal, tetapi masih dalam bingkai peraturan perpajakan. Namun demikian, perencanaan pajak juga dapat diartikan sebagai perencanaan pemenuhan kewajiban perpajakan secara lengkap, benar, dan tepat waktu sehingga dapat secara optimal menghindari pemborosan sumber daya. Salah satu fungsi manajemen pajak adalah perencanaan pajak (tax planning). Perencanaan pajak itu sendiri sesungguhnya merupakan tindakan penstrukturan yang terkait dengan konsekuensi potensi pajaknya. Tujuannya adalah bagaimana pengendalian tersebut dapat mengefisiensikan jumlah pajak yang akan dibayar. Dalam penyusunan perencanaan pajak harus sudah memahami secara mendalam tentang peraturan-peraturan perpajakan dan selalu mengikuti perkembangan dan perubahan agar perencanaan pajak dapat berfungsi dengan baik dan tidak terjadi suatu kesalahan Perencanaan Pajak merupakan langkah awal dalam manajemen pajak. Manajemen pajak itu sendiri merupakan sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar, tetapi jumlah pajak yang dibayarkan dapat ditekan seminimal mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan. Langkah selanjutnya adalah pelaksanaan kewajiban perpajakan (tax implementation) dan pengendalian pajak (tax control). Pada tahap perencanaan pajak ini, dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap per aturan perpajakan. Tujuannya adalah agar dapat dipilih jenis tindakan penghematan pajak yang akan dilakukan. Pada umumnya, penekanan perencanaan pajak (tax planning) adalah untuk meminimimalisa si kewajiban pajak. Perencanaan pajak dilakukan dengan memanfaatkan pengecualian – pengecualian dan celah – celah perpajakan (loopholes) yang diperbolehkan oleh UU No 17 tahun 2000 tentang pajak sehingga perencanaan pajak tersebut tidak dianggap sebagai pelanggaran yang akan merugikan wajib pajak dan tidak mengarah pada penggelapan pajak. Bangsa indonesia saat ini mengalami berbagai permasalah di berbagai sektor khususnya sektor ekonomi atau biasa disebut dengan krisis ekonomi. Didalam kondisi ekonomi saat ini, banyak perusahaan mengalami gulung tikar atau memutuskan untuk menutup usahanya. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Diantaranya meningkatkan tingkat inflasi dan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing ( dollar ) yang mengalami penurunan. Sebagai akibatnya perusahaan harus mengeluarkan biaya usaha yang besar untuk membiayai kegiatan usahanya, tetapi dengan pengeluaran yang besar tersebut, perusahaan tidak mendapatkan penghasilan yang sebanding dengan biaya yang dikeluarkannya. Hal ini akan lebih terasa pada perusahaan yang mempunyai pinjaman atau hutang berupa dollar dalam jumlah yang besar, perusahaan yang tergantung pada barang impor atau perusahaan yang masih tergantung pada pihak asing.
Dalam keadaan seperti ini, maka manajer perusahaan harus dapat menentukan keputusan serta tujuan dari perusahaan yang dipimpin atau dikendalikannya. Hampir seluruh kehidupan perseorangan dan perkembangan dunia bisnis dipengaruhi oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Pengaruh tersebut cukup berarti, sehingga bagi para eksekutif komponen pajak merupakan komponen yang perlu mendapatkan perhatian khusus. Walaupun pajak berpengaruh terhadap segala aspek kehidupan perseorangan dan keputusan bisnis, tidaklah berarti bahwa pajak tersebut tidak dapat dikendalikan. Memahami dengan baik ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan serta perkembangan dan perubahannya, pada hakikatnya pajak terseut akan dapat dimajemeni dengan berhasil. Pajak adalah salah satu sumber penerimaan penting yang akan digunakan oleh negara untuk membiayai pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembagunan. Sedangkan bagi perusahaan pajak merupakan beban yang akan mengurangi laba bersih. Minimalisasi beban pajak dapat dilakukan berbagai cara, mulai dari yang masih ada didalam bingkai peraturan perpajakan sampai dengan yang melanggar peraturan perpajakan. Upaya minimalisasi pajak ini sering disebut dengan perencanaan pajak ( tax planning ). Melaksakan kewajiban pembayaran dengan jumlah yang sebenarnya sesuai peraturan merupakan hal yang harus dilakukan setiap subjek pajak suatu negara, diamna tindakan penyelewengan merupakan tindakan melawan hukum, tetapi melakukan penghrmatan pajak merupakan suatu hal yang sah – sah saja asalkan tidak melanggar ketentuan perpajakan yang ada. Dalam penyusunan perencanaan pajak harus sudah memahami secara mendalam tentang peraturan-peraturan perpajakan dan selalu mengikuti perkembangan dan perubahan agar perencanaan pajak dapat berfungsi dengan baik dan tidak terjadi suatu kesalahan Untuk dapat meminimalisasi kewajiban pajak, dapat dilakukan berbagai cara, baik yang masih memenuhi ketentuan perpajakan ( lawful ) maupun yang melanggar peraturan perpajakan (unlawful), seperti tax avoidance dan tax evasion. Perencanaan pajak umumnya selalu dimulai dengan meyakinkan apakah suatu transaksi atau kejadian mempunyai dampak perpajakan. Apabila kejadian tersebut mempunyai dampak pajak, apakah dampak tersebut dapat diupayakan untuk dikecualikan atau dikurangi jumlah pajaknya. Selanjutnya, apakah pembayaran pajak tersebut dapat ditunda. Suatu perencanaan pajak yang tepat akan menghasilkan beban pajak minimal yang merupakan hasil dari perbuatan penghematan pajak atau penghindaran pajak, bukan karena penyelundupan pajak perpajakan.
yang tidak
berdasarkan
pada peraturan
perundang-undangan
Tetapi
Secara
garis
besar
pengertian
Perencanaan
Pajak
(Tax
Planning )
menurutMohammad Zain dalam bukunyaManajemen Perpajakan (2005:43)menyebutkan bahwa: “Perencanaan Pajak (Tax Planning ) adalah proses mengorganisasi usaha wajib pajak atau sekelompok wajib pajak sedemikian rupa sehingga utang pajaknya, baik pajak penghasilan maupun pajak lainnya, berada dalam posisi yang paling minimal, sepanjang hal ini dimungkinkan oleh ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan”. Tahapan Dalam Perencanaan Pajak
Dalam melakukan perencanaan pajak tentunya tidak bisa dilakukan dengan sembarangan, tetapi harus melalui tahapan-tahapan yang terperinci agar perencanaan pajak yang dilakukan dapat berhasil sesuai dengan yang diharapkan. Adapun
tahapan-tahapan
dalam
membuat
perencanaan
pajak
menurut Erly
Suandi dalam bukunya Perencanaan Pajak (2006:14) adalah sebagai berikut: a)
Menganalisis informasi (basis data) yang ada. Tahap pertama dari proses pembuatan perencanaan pajak adalah menganalisis komponen yang berbeda atas pajak yang terlibat dalam suatu proyek dan menghitung seakurat mungkin beban pajak yang harus ditanggung. Hal ini hanya bias dilakukan dengan mempertimbangkan masing-masing elemen dari pajak, baik secara sendirisendiri maupun secacar total pajak yang harus dapat dirumuskan sebagai perencanaan pajak yang paling efisien. Penti ng juga untuk memperhitungkan kemungkinan besarnya, penghasilan dari suatu proyek dan pengeluaran-pengeluaran lain diluar pajak yang mungkin terjadi. Untuk manajer perpajakan harus memperhatikan factor-faktor internal maupun eksternal, yakni: 1)
Faktor yang relevan Dalam arus globalisasi dengan tingkat persaingan yang semakin tinggi, seorang
manajer
perusahaan
dalam
melakukan
perencanaan
pajak
untuk
perusahaannya dituntut untuk benar-benar menguasai siatuasi yang dihadapi, baik secara eksternal maupun internal. 2)
Faktor pajak Dalam menganalisis setiap permasalahan yang dihadapi dalam penyusunan perencanaan pajak tidak terlepas dari dua hal utama yang berkaitan dengan factorfaktor berikut ini : Sistem perpajakan nasional yang dianut oleh suatu Negara Sikap fiskus dalam menafsirkan peraturan perpajakn baik undang-undangan domestic maupun kebijakan perpajakan.
3)
Faktor non-pajak lainnya Beberapa
faktor
non-pajak
yang
relevan
untuk
diperhatikan
dalam
penyususnan suatu perencanaan pajak, antara lain: Masalah badan hokum Masalah mata uang dan nilai tukar Masalah pengawan devisa Masalah program insentif investasi Masalah factor non-pajak lainnya b)
Membuat satu model atau lebih rencana kemungkinan besarnya pajak. Model perjanjian internasional dapat melibatkan satu atau lebih atas tindakantindakan berikut: 1)
Pemilihan bentuk transaksi yang akan dilakukan oleh perusahaan atau hubungan internasional.
2)
Pemilihan negara asing sebagai tempat melakukan investasi atau menjadi residen dari negara tersebut.
3) c)
Penggunaan satu atau lebih negara tambahan.
Mengevaluasi pelaksanaan perencanaan pajak. Perencanaan pajak sebagai suatu perencanaan yang merupakan bagian kecil dari seluruh perencanaan strategis perusahaan, oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi untuk melihat sejauh mana hasil pelaksanaan suatu perencanaan pajak terhadap beban pajak yang harus dibayar oleh perusahaan. Beban pajak tersebut akan dihitung dengan menggunakan hipotesis sebagai berikut:
d)
a.
Bagaimana jika perencanaan pajak tidak dilaksanakan
b.
Bagaimana jika perencanaan pajak tersebut dilaksanakan dan berhasil dengan baik
c.
Bagaimana jika perencanaan pajak tersebut dilaksanakan tetapi gagal.
Mencari kelemahan, kemudian memperbaiki rencana pajak. Untuk mengatakan bahwa hasil suatu perencanaan baik atau tidak, tentu harus dievaluasi melalu berbagai rencana yang dibuat. Dengan demikian keputusan yang terbaik atas suatu perencaan pajak harus sesuai dengan bentuk transaksi dengan tujuan operasi. Perbandingan berbagai rencana harus dibuat sebanyak mungkin sesuai dengan bentuk perencanaan pajak yang inginkan. Kadang suatu rencana harus diubah mengingat
adanya perubahan perundang-undangan atau peraturan. Tindakan perubahan harus tetap dijalankan walaupun diperlukan penambahan biaya atau kemungkinan keberhasilan sangat kecil. Pembuatan suatu rencana sebaiknya disertai dengan gambaran atau perkiraan berapa peluang kesuksesan dan berapa laba setelah pajak yang akan diperoleh jika berhasil maupun kerugian jika terjadi kegagalan. e)
Memutakhirkan rencana pajak. Meskipun suatu rencana pajak telah dilaksanakan dan proyek juga telah berjalan, namun juga masih perlu memperhitungkan setiap perubahan yang terjadi baik dari undang-undang maupun pelaksanaannya di negara dimana aktivitas tersebut dilakukan Dengan memberikan perhatian terhadap perkembangan yang akan datang maupun situasi yang terjadi saat ini, seorang manajer akan mampu mengurangi akibat yang merugikan adanya perubahan, dan pada saat yang bersamaan mampu mengambil kesempatan untuk memperoleh manfaat yang potensial.
Aspek dalam Perencanaan Pajak
Aspek – aspek dalam perencanaan pajak diantaranya : a)
Aspek Formal dan Administratif. Kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dan Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak Menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan Memotong dan/atau memungut pajak Membayar pajak Menyampaikan surat pemberitahuan
b)
Aspek Material Basis perhitungan pajak adalah objek pajak. Dalam rangka optimalisasi alokasi sumber dana , Manajemen akan merencanakan pembayaran pajak yang tidak lebih dan tidak kurang . Untuk itu, objek pajak harus dilaporkan secara benar dan lengkap.
Konsep Manajemen Strategi dan Perencanaan Strategis
Perencanaan merupakan proses penentuan tujuan organisasi (perusahaan) dan kemudian menyajikan (mengartikulasikan) dengan jelas strategi – strategi (program), taktik – taktik (tata cara pelaksanaan program), dan operasi (tindakan) yang diperlukan untuk
mencapai tujuan perusahaan secara menyeluruh. Perencanaan strategis dalam organisasi merupakan salah satu aspek dari materi manajemen strategis yang selalu diperlukan oleh setiap organisasi. Setiap perubahan lingkungan yang terjadi memerlukan respon strategis, baik dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun epaluasi. Dari sebutan semula perencanaan perusahaan, berkembang menjadi strategi perusahaan,perencanaan strategis, kebijakan bisnis, dan akhirnya menjadi manajemen strategis yang berisi bagaimana pimpinan puncak suatu organisasi menangapi perubahan lingkungan yang sangat kompleks dan dinamis tersebut. Agar dapat mencapai tujuan, setiap perusahaan melakukan dua fungsi pokok, yaitu : a.
Fungsi bisnis yang meliputi bidang pemasaran, produksi, keuangan, SDM, penelitian dan pengembangan, dan sebagainya
b.
Fungsi manajerial yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan Tugas menejer perusahaan adalah mengambil keputusan yang didasarkan pada
keterpaduan antar kedua fungsi tersebut sehingga mencapai keterpaduan tingkat atas. Menurut Glueck dan jauch (1980) seperti yang kutip oleh Martani Husaeni (1989), yang mengarah pada perkembangan suatu strategi yang efektif untuk membantu mencapai sasaran perusahaan. Studi tentang manajemen strategi menekankan pada pemantauan dan evaluasi kesempatan-kesempatan dan hambatan-hambatan lingkungan, di samping kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan perusahaan a)
Resiko dan Pengaruh Pajak atas Perusahaan Resiko perusahaan Beberapa resiko yang mungkin timbul karena investasi, antara lain : 1)
Resiko penghasilan, timbul karena adanya ketidakpastian penerimaan operasi dari biaya saat ini, ketidakpastian atas harga keluaran (output) perusahaan dibandingkan dengan biaya (input) dimasa yang akan datang.
2)
Resiko modal, timbul karena ketidakpastian ekonomi atas biaya depresiasi sebab asset yang cepat usang atau berganti mode. Akibatnya, aset yang diinpestasikan sudah ketinggalan jaman sehingga tidak mampu bersaing lagi.
3)
Resiko keuangan, timbul karena ketikpastian tingkat biaya bunga atas dana pinjaman akibatnya mungkin perusahaan tidak mampu membayar kembali pinjaman dan bunganya.
4)
Resiko inflasi, timbul karena ketidakpastian tingkat inflasi pada masa yang akan datang. Ia akan berpengaruh terhadap penghasilan dan biaya untuk menganti aset perusahaan dimasa yang akan datang.
5)
Resiko atas kepusan yang tidak dapat diubah, timbul karna penbelian aset atau biaya yang sudah dikeluarkan tidak dapat digunakan untuk keperluan lain. Oleh karena itu investor harus betul-betul memperhitungkan masalah waktu.
6)
Resiko politik, timbul karena adanya perubahan kebijakan pemerintah, misalnya kebijakan pemerintah dalam bidang perpajakan (texpolicye) yang disesuaikan dengan kondisi perekonomian suatu negara maupun untuk mencaoai tujuan yang telah ditetapkan.
Pengaruh Pajak Terhadap Perusahaan Pajak merupakan pungutan berdasarkan undang-undang oleh pemerintah yang sebagian dipakai untuk penyediaan barang dan jasa publik. Besar pajak dipengaruhi berbagai faktor baik internal maupun external. Secara administratif pungutan pajak dapat dikelompokan menjadi pajak langsung dan pajak tidak langsung. Bagi perusahaan, pajak yang dikenakan terhadap penghasilan yang diterima atau diperoleh dapat dianggap sebagai biaya dan beban dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan maupun distribusi laba kepada pemerintah ( Smith dan Skousen, 1987). Secara ekonomis, pajak merupakan unsur pengurang laba yang tersedia untuk dibagi atau diinvestasikan kembali oleh perusahaan. Strategi Umum Perencanaan Pajak
a)
Tax Saving Tax saving merupakan upaya efisiensi beban pajak melalui pemilihan alternatif pengenaan pajak dengan tarif yang lebih rendah. Misalnya, perusahaan dapat melakukan perubahan pemberian natura kepada karyawan menjadi tunjangan dalam bentuk uang.
b)
Tax Avoidance Tax avoidance merupakan upaya efisiensi beban pajak dengan menghindari pengenaan pajak melalui transaksi yang bukan merupakan objek pajak. Misalnya, perusahaan yang masih mengalami kerugian, perlu mengubah tunjangan karyawan dalam bentuk uang menjadi pemberian natura karena natura bukan merupakan objek pajak PPh Pasal 21.
c)
Menghindari pelanggaran atas Peraturan perpajakan Dengan menguasai peraturan pajak yang berlaku, perusahaan dapat menghindari timbulnya sanksi perpajakan berupa :
Sanksi administrasi: denda, bunga, atau kenaikan; Sanksi pidana: pidana atau kurungan. d)
Menunda Pembayaran Kewajiban Pajak Menunda pembayaran kewajiban pajak tanpa melanggar peraturan yang berlaku dapat dilakukan melalui penundaan pembayaran PPN. Penundaan ini dilakukan dengan menunda penerbitan faktur pajak keluaran hingga batas waktu yang diperkenankan, khususnya untuk penjualan kredit. Dalam hal ini, penjual dapat menerbitkan faktur pajak pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan barang.
e)
Mengoptimalkan Kredit Pajak yang Diperkenankan Wajib Pajak sering kurang memperoleh informasi mengenai pembayaran pajak yang dapat dikreditkan yang merupakan pajak dibayar dimuka. Misalnya, PPh Pasal 22 atas impor, PPh Pasal 23 atas penghasilan jasa atau sewa dll. Motivasi dilakukanya Perencanaan Pajak
Motivasi yang mendasari dilakukannya perencanaan pajak umumnya bersumber dari tiga unsur perpajakan, yaitu: a.
Kebijakan perpajakan (Tax policy) Kebijakan perpajakan merupakan alternative dari berbagai sasar an yang hendak dituju dalam system perpajakan. Dari berbagai aspek kebijakan, terdapat factor-faktor yang mendorong dilakukannya suatu perencanaan pajak. 1.
Jenis pajak yang akan dipungut Dalam sistemperpajakan modern terdapat berbagai jenis pajak yang harus menjadi pertimbangan. Pertaman, baik berupa pajak langsung maupun pajak tidak langsung. Seperti: Pajak Penghasilan Badan atau perseorangan Pajak atas keuntungan modal Pajak atas impor, ekspor, serta bea masuk Pajak atas undian atau hadiah Bea materai
2.
Subjek Pajak Indonesia merupakan salah satu Negara yang menganut system klasik, dimana ada pemisahan antara badan usaha dengan pribadi pemiliknya yang akan menimbulkan pajak ganda. Adanya perbedaan perlakuan perpajakan ataspembayaran deviden badan usaha kepada pemegang saham perseorangan dan kepada pemegang saham berbentuk badan usaha, yang menyebabkan timbulnya usaha untuk merencanakan pajak dengan baik agar beban pajak rendah sehingga sumber daya perusahaan dapat dimanfaatkan untuk tujuan lain. Disamping itu ada pertimbangan untuk menunda pembayaran deviden dengan cara meningkatkan jumlah laba yang ditahan. Bagi perusahaan yang juga akan menimbulkan penundanaan pembayaran pajak.
3.
Objek pajak Adanya perlakuan perpajakan yang berbeda atas objek pajak yang secara ekonomis hakikatnya sama, akan menimbulkan usaha perencanaan pajak agar beban pajaknya rendah.
4.
Tarif pajak Adanya penerapan scheduler taxation tariff yang diterapkan di Indonesia mengakibatkan seorang perencana pajak berusaha sedapat mugnkin dikenakan tariff yang paling rendah.
5.
Prosedur pembayaran pajak Self assessment system dan payment system mengharuskan seorang perencana pajak untuk merencanakan pajaknya dengan baik. Saat ini system pemungutan withholding tax di Indonesia makin ditingkatkan penerapannya. Hal
ini,
disamping
mengganggu
arus
kas
perusahaan,
juga
bias
mengakibatkan kelebihan pembayaran atas pemungutan pendahuluan tersebut padahal untuk memperoleh restitusi atas kelebihan tersebut diperlukan waktu dan biaya. b.
Undang-undang perpajakan (tax law) Kita menyadari bahwa kenyataannya di manapun tidak ada undangundang yang mengatur setiap permasalahan secara sempurna, maka dalam pelaksanaannya
selalu
diikuti
oleh
ketentuan-ketentuan
lain
(Peraturan
Pemerintah Keputusan Presiden, Keputusa digunakan Menteri Keuangan dan Direktur Jendral Pajak), maka tidak jarang ketentuan pelaksanaan tersebut
bertentangan mencapai tujuan yang lain yang ingin dicapainya. Keadaan ini menyebabkan munculnya celah (loopholes) bagi wajib Pajak untuk menganalisis dengan cermat atas kesempatan tersebut untuk perencanaan pajak yang baik. c.
Administrasi perpajakan (tax administration) Indonesia merupakan negara yang begitu luas wilayahnya dan begitu banyak
penduduknya, dan sebagai negara yang sedang membangun (developing country) masih mengalami kesulitan dalam melaksanakan secara memadai (property). Hal yang mendorong perusahaan untuk melaksanakan perencanaan perpajakan (tax planning0 dengan baik agar terhindar dari sanksi administrasi maupun pidana karena adanya perbedaan penafsiran antara aparat fikus dengan Wajib pajak akibat dari begitu luasnya peraturan perpajakan yang berlaku dan system informasi yang belum efektif. Secara umum motivasi dilakukannya perencanaan pajak (tax planning) adalah untuk memaksimalkan laba setelah pajak (after tax return) karena pajak itu ikut mempengaruhi dalam pengembalian keputusan atas suatu tindakan dalam operasi perusahaan untuk melakukan investasi dengan cara menganalisis secara cermat dan memanfaatkan pemerintahan peluang atau kesempatan yang ada dalam ketentuan peraturan yang sengaja dibuat oleh pemerintah untuk memberikan perlakuan yang berbeda atas objek yang secara ekonomi hakikatnya sama (karena pemerintah mempunyai tujuan lain tersebut) dengan memanfaatkan: 1.
Perbedaan tarif pajak (tax rates)
2.
Perbedaan perlakuan atas objek sebagai dasar pengenaan pajak
Salah satu hal yang harus diperhatikan dalam tax planning adalah memahami batas Debt to Equity Ratio (DER) dalam ketentuan pajak di Indonesia. Debt To Equity Ratio merupakan suatu indikator kemampuan perusahaan untuk melunasi pinjaman dari pihak luar, dan merupakan rasio yang menafsir pengeluaran perusahaan yang di danai oleh pinjaman dari luar. Rasio ini juga bisa dikatakan sebagai Rasio Leverage, yang didefinisikan sebagai pengukur seberapa baik struktur investasi suatu perusahaan. Kegiatan sebuah perusahaan umumnya didanai oleh dua sumber utama, yaitu dari pemegang saham (equity financing ) dan dari utang (debt financing ). Dana dari pemegang saham (equity) adalah dalam bentuk setoran modal dan akumulasi laba yang tidak dibagikan sebagai dividen tetapi ditahan (retained earning ). Selanjutnya utang dapat meliputi utang dagang ke pihak pemasok barang dan penyedia jasa ( supplier/vendor ), utang ke bank jangka pendek maupun jangka panjang serta utang kepada pihak-pihak yang berelasi (affiliated companies) seperti pemegang saham atau perusahaan induk.
Dalam manajemen keuangan, antara jumlah utang dan modal diperbandingkan untuk melihat sejauh mana sebuah perusahaan mampu melunasi utang jangka panjangnya ( solvency). Perbandingan atau rasio tersebut disebut sebagai Debt to Equity Ratio (DER). Jika DER kurang dari 1, misalnya 1:2, itu berarti bahwa kegiatan perusahaan lebih banyak didanai oleh modal daripada utang. Di sisi lain, perusahaan tersebut dipandang akan mampu melunasi utang jangka panjangnya. Sebaliknya jika DER lebih dari 1, misalnya 3:1, maka utang lebih dominan atau tiga kali lipat besarnya dalam mendanai operasi perusahaan dibandingkan modal. Secara umum perusahaan yang mempunyai DER tinggi lebih memiliki risiko dikaitkan dengan kewajiban kepada pihak ketiga dan dalam praktiknya DER itu sendiri bervariasi untuk berbagai perusahaan, tergantung dari jenis kegiatan, karakteristik usaha, serta kemampuan dan kemauan perusahaan tersebut dalam menanggung risiko. Bagi perusahaan seperti bank atau perusahaan pembiayaan yang aktivitasnya mengumpulkan dana nasabah dan menyalurkannya dalam bentuk kredit, DER-nya wajar lebih tinggi dibandingkan dengan misalnya perusahaan jasa yang relatif tidak membutuhkan banyak modal kerja dalam kegiatan operasinya.
DER dan Pajak Penghasilan
Meski aspek komersial menjadi pertimbangan utama dalam perimbangan antara utang dan modal dalam sebuah perusahaan, pemilihan penggunaan utang lebih banyak dibandingkan modal dalam praktiknya dapat dijadikan strategi untuk menghemat pajak. Hal ini dimungkinkan karena terdapat perbedaan perlakuan atas dividen sebagai imbalan modal dibandingkan dengan bunga sebagai imbalan atas utang dalam kaitannya dengan penghitungan penghasilan kena pajak. Dividen bukanlah merupakan biaya sehingga tidak dapat menjadi pengurang penghasilan kena pajak, beda halnya dengan biaya pinjaman atau bunga. Perbedaan perlakuan ini mendorong perusahaan-perusahaan induk multinasional mengambil kebijakan untuk lebih banyak menyuntik modal kerja kepada anak perusahaannya di negara lain dalam bentuk pinjaman (debt ) daripada penyertaan dalam bentuk modal (equity) karena dengan biaya bunga, beban Pajak Penghasilan pada anak perusahaan akan lebih kecil. Dalam hal ini DER pada anak perusahaan akan diupayakan setinggi mungkin. Dalam terminologi perpajakan, upaya ini disebut dengan thin capitalization yang merupakan salah
satu cara penghindaran pajak khususnya oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Ketentuan Terbaru Batasan DER
Setelah pernah menetapkan ketentuan DER 3:1 melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1002/KMK.04/1984 tanggal 8 Oktober 1984 namun kemudian ditunda pemberlakuannya sesuai Keputusan Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.01/1985. Akhirnya berdasarkan kewenangan yang diperoleh dalam Pasal 18 ayat (1) UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh), Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.010/2015 tentang Penentuan Besarnya Perbandingan Antara Utang Dan Modal Perusahaan Untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan sekaligus mencabut kedua KMK yang terbit sebelumnya. Beberapa hal pokok yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Ketentuan besarnya perbandingan antara utang dan modal (DER) berlaku bagi Wajib Pajak Badan yang dididirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia yang modalnya terbagi atas saham-saham 2. Utang dan modal dihitung dari saldo rata-rata pada satu tahun pajak atau bagian tahun pajak yang bersangkutan 3. Besarnya perbandingan utang dan modal paling tinggi empat banding satu (4:1) 4. Terdapat pengecualian DER tersebut terhadap beberapa kelompok Wajib Pajak, antara lain, bank, lembaga pembiayaan, asuransi dan reasuransi, pertambangan dan yang atas seluruh penghasilannya dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dan wajib pajak yang menjalankan usaha di bidang infrastruktur 5. Dalam hal DER melebihi 4:1 maka biaya pinjaman yang dapat diperhitungkan adalah sebesar biaya pinjaman sesuai dengan rasio 4:1 6. Biaya pinjaman meliputi bunga pinjaman, diskonto dan premium serta biaya tambahan terkait pinjaman, beban keuangan dalam sewa pembiayaan, imbalan karena jaminan pengembalian
utang
dan
selisih
kurs
dari
pinjaman
mata
uang
asing
7. Dalam hal wajib pajak mempunyai saldo ekuitas nol atau kurang dari nol, maka seluruh biaya pinjaman tidak dapat diperhitungkan dalam penghitungan penghasilan kena pajak. 8.
Ketentuan
baru
ini
berlaku
sejak
tahun
pajak
2016
9. Ketentuan pelaksanaan lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Dapat dimengerti bahwa ketentuan DER tesebut dibutuhkan sebagai salah satu anti penghindaran pajak yang selama ini marak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional di Indonesia melalui thin capitalization selain dengan cara transfer pricing .
Dualisme F ixed R atio dan Arm’s Length Approach
Pada dasarnya terdapat dua cara mengatur pembatasan DER dalam ketentuan perpajakan (Roy Rohatgi, 2002). Pertama, Fixed Ratio Approach di mana besaran maksimum DER yang diperkenankan diatur secara. Kedua adalah Arm’s Length Ratio, di mana tidak diatur besaran DER tetapi otoritas pajak mengacu pada rata-rata DER pada perusahaan dalam bidang sejenis. Faktanya, kedua pendekatan tersebut terdapat dalam UU PPh. Pasal 18 ayat (1) UU PPh mengatur bahwa Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghutungan pajak. Selanjutnya Pasal 18 ayat (3) mengatur bahwa Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Kemudian, penjelasan pasal ini menegaskan bahwa bunga yang dibayarkan sehubungan dengan utang yang dianggap sebagai penyertaan modal tidak diperbolehkan untuk dikurangkan sebagai biaya, sedangkan bagi pemegang saham yang menerima bunga tersebut dianggap sebagai dividen. Acuan Direktorat Jenderal Pajak dalam hal ini pemeriksa pada saat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak selama ini adalah pasal 18 ayat (3) UU PPh yaitu menggunakan range rata-rata DER perusahaan sejenis dari hasil melakukan pembandingan sebagai patokan. Tidak jarang seorang pemeriksa melakukan koreksi biaya bunga yang dibayarkan kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa seperti ke perusahaan induk ( parent company) dan memperlakukannya sebagai dividen terselubung (disguised dividends). Koreksi tersebut tidak serta merta dapat diterima oleh Wajib Pajak dan menjadi sengketa di tingkat
keberatan
dan
banding.
Timbulnya
sengketa
bisa
jadi
karena
terdapat
ketidaksepahaman akan perusahaan-perusahaan yang dijadikan sebagai pembanding oleh pemeriksa. Hal ini mungkin karena proses melakukan kesebandingan untuk DER tidak diatur secara
tegas
dalam
ketentuan
perpajakan
yang
berlaku
saat
ini.
Penerapan Pasal 18 ayat (3) UU PPh dalam menentukan DER yang wajar selama ini oleh pemeriksa adalah karena Menteri Keuangan belum mengatur besaran DER tersebut. Setelah
terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.010/2015 yang menetapkan DER 4:1
berdasarkan
kewenangan
dalam
Pasal
18
ayat
(1),
maka
timbul
dualisme
dalam penentuan DER. Belum jelas benar apakah Direktorat Jenderal Pajak hanya berpatokan pada 4:1 ( fixed ratio approach) sesuai Pasal 18 (1) UU PPh atau dapat juga menerapkan DER dengan arm’s length approach berdasarkan Pasal 18 (3). Jika Dirjen Pajak hendak menggunakan kedua approach tersebut, maka ketika range rata-rata industri tertentu yang sejenis berada pada DER 2: 1, bisa jadi berdasarkan Pasal 18 ayat (3) UU PPh pemeriksa dapat melakukan koreksi biaya pinjaman terhadap perusahaan yang diperiksa apabila DER nya di atas 2:1 meskipun tidak lebih dari ketentuan DER 4:1. Sebaliknya jika DER suatu perusahaan misalnya 5:1 dan rasio tersebut sama dengan range rata-rata DER industri di bidangnya, timbul pertanyaan apakah pemeriksa akan melakukan koreksi karena melebihi DER 4:1. Peraturan Menteri Keuangan tersebut tidak menjelaskan hal dualisme ini sehingga terdapat ketidakpastian dalam praktiknya nanti jika dikaitkan dengan UU PPh. Hanya Tidak Mengakui Biaya Pinjaman atau Dianggap Dividen Terselubung
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa dalam penjelasan Pasal 18 ayat (3) UU PPh dinyatakan bahwa bunga yang dibayarkan sehubungan dengan utang yang dianggap sebagai penyertaan modal tidak diperbolehkan untuk dikurangkan sebagai biaya, sedangkan bagi pemegang saham yang menerima bunga tersebut dianggap sebagai dividen. Namun Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.010/2015 hanya mengatur tidak memperkenankan biaya pinjaman sebagai akibat kelebihan DER di atas 4:1. Tidak terdapat pasal yang memperlakukannya sebagai dividen meski lelebihan biaya pinjaman tersebut dibayarkan kepada pemegang saham. Dalam hal ini Peraturan Menteri Keuangan tidak sinkron dengan pasal 18 ayat (3) UU PPh. Re-karakterisasi biaya bunga menjadi dividen kepada pemegang saham akan membawa konsekuensi tersendiri dalam penerapan tarif pemotongan PPh Pasal 26 khususnya apabila terdapat perbedaan tarif pemotongan antara dividen dan bunga dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau yang umum dikenal dengan tax treaty antara Indonesia dengan negara di mana peusahaan penerima bunga terdaftar sebagai penduduk (residence country).
Sehubungan dengan tax planning, dalam hal ini diangkat kasus sebagai berikut : PT.X melakukan revaluasi aset sesuai aturan perpajakan tahun 2015. Tujuan melakukan revaluasi aset untuk meningkatkan DER perusahaan. Selain itu perusahaan mempunyai kompensasi pajak senilai 20M. Sebelum mengikuti Tax Amnesty, DER perusahaan masih dalam batas 4:1, sehingga biaya bunga atas pinjaman masih bisa dibiayakan ( deductible expense ). Kemudian untuk tax planning perusahaan, PT.X mengikuti program tax amnesty ( mengindari pemeriksaan sampai tahun 2015). Namun konsekuensi dari program Tax Amnesty tersebut kompensasi perusahaan dihapuskan yang berpengaruh kepada Laba ditahan (Retained Earning). Laba ditahan berkurang maka mengurangi ekuitas sehingga DER perusahaan menjadi lebih dari 4:1. Perusahaan lalai dengan tidak memperhitungan DER, sehingga tetap mengakui seluruh biaya bunga pinjaman. Menurut aturan perpajakan, biaya bunga yang dapat dibiayakan yakti terbatas pada poin 4:1, dan sisanya harus dikoreksi. Akibatnya menjadi sebuah temuan oleh DJP dan perusahaan diharuskan membayar kurang bayar beserta sanksi dan bunganya.
Pembahasan : Dilihat dari kasus tersebut, sebenarnya perusahaan telah melakukan tax planning di awal, namun karena kelalaian tidak memperhitungkan DER sehingga terjadi kerugian pada perusahaan sehingga perusahaan harus membayar pajak diluar dari perencanaan semula. Kesimpulan : Berdasarkan kasus yang diangkat diatas, dapat disimpulkan bahwa PT. X belum menerapkan tax planning secara maksimal karena masih adanya kelalaian untuk menjaga rasio DER (Debt to Equity Ratio) sehingga hal ini menyebabkan perusahaan harus mendapatkan sanksi, membayar bunga dan denda. Saran : Sebaiknya pada saat melakukan tax planning, PT. X juga turut memperhitungkan rasio Debt to Equity (DER) terjaga maksimum sebesar 4:1. Dan apabila melebihi rasio tersebut, maka PT. X seharusnya melakukan koreksi fiskal sehingga pembayaran pajaknya sesuai dengan aturan perpajakan yang berlaku.