HEMATOLOGI
Kelainan Bentuk, Ukuran dan Warna pada Eritrosit
OLEH
KELOMPOK IV
Ni Wayan Dian Noviani P07134013013
Desak Putu Meida Linsra P07134013015
Ni Made Ayu Larashati P07134013019
Ni Kadek Dwi Anjani P07134013021
Ni Putu Yudi Yastrini P07134013023
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN ANALIS KESEHATAN
TAHUN AKADEMIK
2015
Kelainan Bentuk, Ukuran dan Warna pada Eritrosit
TUJUAN
Tujuan Instruksional Umum
Mahasiswa mampu memahami teknik serta cara melakukan pemeriksaan pada sediaan hapusan darah tepi
Tujuan Instruksional Khusus
Mahasiswa dapat melakukan pemeriksaan pada sediaan hapusan darah tepi
Mahasiswa mengetahui bentuk-bentuk sel darah merah yang normal dan abnormal (poikilositosis).
Mahasiswa mengetahui ukuran sel darah merah yang abnormal (anisositosis).
Mahasiswa mengetahui warna sel darah merah yang normal (normokrom) dan abnormal (hipokrom).
METODE
Metode yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah Indirect Preparat
PRINSIP
Sediaan hapusan darah tepi dengan pengecatan giemsa diletakkan diatas meja preparat dan diamati dengan menggunakan mikroskop binokuler pembesaran 100x lensa obektif dengan penambahan oil imersi. Pengamatan dilakukan pada counting area.
DASAR TEORI
Tinjauan Tentang Darah
Darah adalah jaringan cair yang terdiri atas dua bagian yaitu plasma darah dan sel darah. Sel darah terdiri dari tiga jenis yaitu eritrosit, leukosit dan trombosit. Volume darah secara keseluruhan adalah satu per dua belas berat badan atau kira-kira lima liter. Sekitar 55% adalahplasma darah, sedang 45% sisanya terdiri dari sel darah. ( Evelyn C. Pearce, 2006)
Fungsi utama darah dalam sirkulasi adalah sebagai media transportasi, pengaturan suhu, pemeliharaan keseimbangan cairan, serta keseimbangan basa eritrosit selama hidupnya tetap berada dalam tubuh. Sel darah merah mampu mengangkut secara efektif tanpa meninggalkan fungsinya di dalam jaringan, sedang keberadaannya dalam darah, hanya melintas saja. Darah berwarna merah, antara merah terang apabila kaya oksigen sampai merah tua apabila kekurangan oksigen. Warna merah pada darah disebabkan oleh hemoglobin, protein pernapasan (respiratory protein) yang mengandung besi dalam bentuk heme, yang merupakan tempat terikatnya molekul-molekul oksigen.
Manusia memiliki sistem peredaran darah tertutup yang berarti darah mengalir dalam pembuluh darah dan disirkulasikan oleh jantung. Darah dipompa oleh jantung menuju paru-paru untuk melepaskan sisa metabolisme berupa karbon dioksida dan menyerap oksigen melalui pembuluh arteri pulmonalis, lalu dibawa kembali ke jantung melalui vena pulmonalis. Setelah itu darah dikirimkan ke seluruh tubuh oleh saluran pembuluh darah aorta. Darah mengedarkan oksigen ke seluruh tubuh melalui saluran halus darah yang disebut pembuluh kapiler. Darah kemudian kembali ke jantung melalui pembuluh darah vena cava superior dan vena cava inferior. Darah juga mengangkut bahan bahan sisa metabolisme, obatobatan dan bahan kimia asing ke hati untuk diuraikan dan ke ginjal untuk dibuang sebagai air seni. ( Evelyn C. Pearce, 2006).
Komposisi
Darah terdiri daripada beberapa jenis korpuskula yang membentuk 45% bagian dari darah. Bagian 55% yang lain berupa cairan kekuningan yang membentuk medium cairan darah yang disebut plasma darah. Korpuskula darah terdiri dari:
a. Sel darah merah atau eritrosit (sekitar 99%).
Eritrosit tidak mempunyai nukleus sel ataupun organela, dan tidak dianggap sebagai sel dari segi biologi. Eritrosit mengandung hemoglobin dan mengedarkan oksigen. Sel darah merah juga berperan dalam penentuan golongan darah. Orang yang kekurangan eritrosit menderita penyakit anemia. Keping-keping darah atau trombosit (0,6 - 1,0%), bertanggung jawab dalam proses pembekuan darah.
b. Sel darah putih atau leukosit (0,2%)
Leukosit bertanggung jawab terhadap sistem imun tubuh dan bertugas untuk memusnahkan benda-benda yang dianggap asing dan berbahaya oleh tubuh, misal virus atau bakteri. Leukosit bersifat amuboid atau tidak memiliki bentuk yang tetap. Orang yang kelebihan leukosit menderita penyakit leukimia, sedangkan orang yang kekurangan leukosit menderita penyakit leukopenia.
c. Plasma darah
Pada dasarnya adalah larutan air yang mengandung : albumin, bahan pembeku darah, immunoglobin (antibodi), hormon, berbagai jenis protein, berbagai jenis garam. ( Wikipedia, 2009 )
Tinjauan Tentang Eritrosit
Eritrosit merupakan bagian utama dari sel-sel darah. Dalam setiap 1 mm3 darah terdapat sekitar 5 juta eritrosit atau sekitar 99%, oleh karena itu setiap pada sediaan darah yang paling banyak menonjol adalah sel-sel tersebut. Dalam keadaan normal, eritrosit manusia berbentuk bikonkaf dengan diameter sekitar 7 -8 μm, tebal ± 2.6 μm dan tebal tengah ± 0.8 μm dan tanpa memiliki inti (Widayati, dkk, 2010).
Tiap-tiap sel darah merah mengandung 200 juta molekul hemoglobin. Hemoglobin (Hb) merupakan suatu protein yang mengandung senyawa besi hemin. Hemoglobin mempunyai fungsi mengikat oksigen di paru-paru dan mengedarkan ke seluruh jaringan tubuh. Jadi, dapat dikatakan bahwa di paru-paru terjadi reaksi antara hemoglobin dengan oksigen. Kandungan hemoglobin inilah yang membuat darah berwarna merah (Widayati, dkk, 2010).
Struktur Eritrosit
Komposisi molekuler eritrosit menunjukan bahwa lebih dari separuhnya terdiri dari air (60%) dan sisanya berbentuk substansi padat. Secara keseluruhan isi eritrosit merupakan substansi koloidal yang homogen, sehingga sel ini bersifat elastis dan lunak. Eritrosit mengandung protein yang sangat penting bagi fungsinya yaitu globin yang dikonjugasikan dengan pigmen hem membentuk hemoglobin untuk mengikat oksigen yang akan diedarkan keseluruh bagian tubuh. Seperti halnya sel-sel yang lain, eritrositpun dibatasi oleh membran plasma yang bersifat semipermeable dan berfungsi untuk mencegah agar koloid yang dikandungnya tetap didalam (Iqbal, 2012).
Dari pengamatan eritrosit banyak hal yang harus diperhatikan untuk mengungkapkan berbagai kondisi kesehatan tubuh. Misalnya tentang bentuk, ukuran, warna dan tingkat kedewasaan eritrosit dapat berbeda dari normal. Eritrosit normal mempunyai bentuk bikonkaf, seperti cakram dengan garis tengah 7,5 uM dan tidak berinti. Warna eritrosit kekuning-kuningan dan dapat berwarna merah karena dalam sitoplasmanya terdapat pigmen warna merah berupa hemoglobin (Widayati, dkk, 2010).
Warna eritrosit tidak merata seluruh bagian, melainkan bagian tengah yang lebih pucat, karena bagian tengah lebih tipis daripada bagian pinggirnya. Pada keadaan normal bagian tengah tidak melebihi 1/3 dari diameternya sehingga selnya dinamakan eritrosit normokhromatik. Apabila bagian tengah yang pucat melebar disertai bagian pinggir yang kurang terwarna maka eritrosit tersebut dinamakan eritrosit hipokromatik. Sebaliknya apabila bagian tengah yang memucat menyempit selnya dimanakan eritrosit hiperkhromatik (Iqbal, 2012).
Pembentukan Eritrosit
Eritrosit dibentuk dalam sumsum merah tulang pipih, misalnya di tulang dada, tulang selangka, dan di dalam ruas-ruas tulang belakang. Pembentukannya terjadi selama tujuh hari. Pada awalnya eritrosit mempunyai inti, kemudian inti lenyap dan hemoglobin terbentuk. Setelah hemoglobin terbentuk, eritrosit dilepas dari tempat pembentukannya dan masuk ke dalam sirkulasi darah
Eritrosit dalam tubuh dapat berkurang karena luka sehingga mengeluarkan banyak darah atau karena penyakit, seperti malaria dan demam berdarah. Keadaan seperti ini dapat mengganggu pembentukan eritrosit.
Eritrosit (sel darah merah) dihasilkan pertama kali di dalam kantong kuning telah saat embrio pada minggu-minggu pertama. Proses pembentukan eritrosit disebut eritropoisis. Setelah beberapa bulan kemudian, eritrosit terbentuk di dalam hati, limfa, dan kelenjar sumsum tulang. Produksi eritrosit ini dirangsang oleh hormon eritropoietin. Setelah dewasa eritrosit dibentuk di sumsum tulang membranosa. Semakin bertambah usia seseorang, maka produktivitas sumsum tulang semakin turun.
Sel pembentuk eritrosit adalah hemositoblas yaitu sel batang myeloid yang terdapat di sumsum tulang. Sel ini akan membentuk berbagai jenis leukosit, eritrosit, megakariosit (pembentuk keping darah). Rata-rata umur sel darah merah kurang lebih 120 hari. Sel-sel darah merah menjadi rusak dan dihancurkan dalam sistem retikulum endotelium terutama dalam limfa dan hati.
Globin dan hemoglobin dipecah menjadi asam amino untuk digunakan sebagai protein dalam jaringan-jaringan dan zat besi dalam hem dari hemoglobin dikeluarkan untuk dibuang dalam pembentukan sel darah merah lagi. Sisa hem dari hemoglobin diubah menjadi bilirubin (warna kuning empedu) dan biliverdin, yaitu yang berwarna kehijau-hijauan yang dapat dilihat pada perubahan warna hemoglobin yang rusak pada luka memar.
Masa hidup eritrosit hanya sekitar 120 hari atau 4 bulan, kemudian dirombak di dalam hati dan limpa. Sebagian hemoglobin diubah menjadi bilirubin dan biliverdin, yaitu pigmen biru yang memberi warna empedu. Zat besi hasil penguraian hemoglobin dikirim ke hati dan limpa, selanjutnya digunakan untuk membentuk eritrosit baru. Kira-kira setiap hari ada 200.000 eritrosit yang dibentuk dan dirombak. Jumlah ini kurang dari 1% dari jumlah eritrosit secara keseluruhan (Iqbal, 2012).
Gambar eritrosit normal
Kelainan-Kelainan pada Eritrosit
Kelainan Bentuk-Bentuk Eritrosit
Kelainan Ukuran Eritrosit
Kelainan Warna Eritrosit
Normokrom
Normokrom adalah eritrosit dengan warna normal ( ada pucat dibagian tengah dan lebih merah dibagian pinggirnya) dan dengan konsentrasi hemoglobin yang normal juga. Dalam keadaan tertentu eritrosit normokrom dapat detemukan pada penderita anemia yang disebabkan karena pendarahan dan hemolisis yang tidak mempengaruhi morfologi eritrosit.
Gambar. Eritrosit Normokrom
Hipokrom
Hipokromia dalah suatu keadaan dimana konsentrasi Hb kurang dari normal sehingga sentral akromia melebar (>1/2 sel) dan terjadi penurunan warna eritrosit yaitu peningkatan diameter central pallor melebihi normal sehingga tampak lebih pucat. Pada hipokromia yang berat lingkaran tepi sel sangat tipis disebut dengan eritrosit berbentuk cincin (anulosit). Distribusi normal sel ini adalah 10 % dalam darah. Hipokromia ditemukan pada:
Anemia defesiensi besi
Anemia sideroblasti
Penyakit menahun(mis. Gagal ginjal kronik)
Talasemia
Hb-pati (C dan E)
Gambar : kelainan eritrosit hipokrom
Polikrom
Eritrosit polikrom adalah eritrosit yang lebih besar dan lebih biru dari eritrosit normal. Polikromasi suatu keadaan yang ditandai dengan banyak eritrosit polikrom pada preparat sediaan apus darah tepi, keadaan ini berkaitan dengan retikulositosis.
Hiperkrom
Warna eritrosit tampak lebih tua karena terjadi penebalan membran, bukan kelainan Hemoglobin (Hb) dan biasanya jarang ditemukan.
Gambar : Kelainan eritrosit Hiperkrom
Penyebab Hipokrom dan Normokrom
Kekurangan Besi (Fe)
Besi merupakan salah satu elemen penting dalam metabolisme tubuh, terutama dalam pembentukan sel darah merah (eritripoiesis). Selain itu juga terlibat dalam berbagai proses di dalam sel (intraseluler) pada semua jaringan tubuh. Mitokondria mengandung suatu system pengangkutan electron dari susbstrat dalam sel ke mol O2 bersamaan dengan pembentukan ATP. Dalam system ini turut serta sejumlah komponen besi yang memindahkan atom. Kegagalan system ini dapat terjadi bila pemasokan (suplai) O2 ke jaringan kurang dan mengakibatkan produksi energi berkurang. Dalam proses pembentukan energi ini terlibat enzim sitokrom.
Hemoglobin mempunyai berat molekul 64.500 terdiri dari 4 golongan heme yang masing-masing mengikat 1 atom besi dan dihubungkan dengan 4 rantai polipeptid dan dapat mengikat 4 mol oksigen. Konfigurasi ini memungkinkan pertukaran gas yang sangat sempurna.
Jumlah besi di dalam tubuh seorang normal berkisar antara 3-5 g tergantung dari jenis kelamin, berat badan dan hemoglobin. Besi di dalam tubuh terdapat dalam hemoglobin sebanyak 1,5-3,0 g dan sisa lainnya terdapat dalam plasma dan jaringan. Di dalam plasma besi terikat dengan protein yang disebut transferin sebanyak 3-4 g. Sedangkan dalam jaringan berada dalam suatu status esensial (non-available) dan bukan esensial (available). Disebut esensial karena tidak dapat dipakai untuk pembentukan hemoglobin maupun keperluan lainnya. Dalam mioglobin terdapat enzim sitokrom, katalase, dan peroksidase dalam jumlah lebih kurang 0,3 g sedangkan yang esensial ditemukan dalam bentuk feritin dan hemosiderin siap untuk dipakai baik untuk pembentukan sel darah merah maupun keperluan lainnya dalm sel retikuloendotelial hati dan sumsum tulang.
Besi diabsorbsi terutama di dalam duodenum dalam bentuk fero dan dalam suasana asam. Absorbsi besi ini dipengaruhi oleh factor endogen, eksogen dan usus sendiri. Faktor endogen mengatur jumlah besi yang akan diabsorbsi dan tergantung dari jumlah cadangan besi di dalam tubuh, aktivitas eritopoiesis dan kadar Hb. Bila cadangan besi berkurang atau aktivitas eritropoiesis meningkat, atau kadar Hb rendah, maka jumlah besi yang diabsorbsi akan meningkat dan sebaliknya bila cadangan besi cukup, aktivitas eritropoiesis kurang atau Hb normal akan mengurangi absorbsi besi.
Kekurangan Vitamin B12
Vitamin B12 (kobalamin) mempunyai struktur cincin yang kompleks (cincin corrin) dan serupa dengan cincin porfirin, yang pada cincin ini ditambahkan ion kobalt di bagian tengahnya. Vitamin B12 disintesis secara eksklusif oleh mikroorganisme. Dengan demikian, vitamin B12 tidak terdapat dalam tanaman kecuali bila tanaman tersebut terkontaminasi vitamin B12 tetapi tersimpan pada binatang di dalam hati temapat vitamin B12 ditemukan dalam bentuk metilkobalamin, adenosilkobalamin, dan hidroksikobalamin.
Koenzim vitamin B12 yang aktif adalah metilkobalamin dan deoksiadenosilkobalamin. Metilkobalamin merupakan koenzim dalam konversi Homosistein menjadi metionin dan juga konversi Metil tetrahidro folat menjadi tetrafidrofolat. Deoksiadenosilkobalamin adalah koenzim untuk konversi metilmalonil Ko A menjadi suksinil Ko A.
Kekurangan atau defisiensi vitamin B12 menyebabkan anemia megaloblastik. Karena defisiensi vitamin B12 akan mengganggu reaksi metionin sintase . anemia terjadi akibat terganggunya sintesis DNA yang mempengaruhi pembentukan nukleus pada ertrosit yang baru . Keadaan ini disebabkan oleh gangguan sintesis purin dan pirimidin yang terjadi akibat defisiensi tetrahidrofolat. Homosistinuria dan metilmalonat asiduria juga terjadi .Kelainan neurologik yang berhubungan dengan defisiensi vitamin B12 dapat terjadi sekunder akibat defisiensi relatif metionin.
ALAT DAN BAHAN
Alat
Mikroskop Binokuler
Bahan
Preparat
Oil Imersi
Tissue Lensa
CARA KERJA
Alat dan bahan disiapkan
Preparat hapusan darah diletakkan pada meja mikroskop
Lensa objektif diputar ke pembesaran 10x untuk mencari counting area
Preparat ditetesi oil imersi
Lensa objektif diputar ke 100x
Kondensor dinaikkan, iris diafragma diputar ke 100x
Diamati kelainan eritrosit yang terjadi dengan pedoman :
Besar eritrosit sama dengan besar inti leukosit yang matur
Bentuk eritrosit bulat bikonkaf atau dapat disebut normokrom (pucat di bagian tengah)
Dilihat adakah eritrosit hipokrom (sentral akromia melebar (>1/2 sel) dan terjadi penurunan warna eritrosit yaitu peningkatan diameter central pallor melebihi normal sehingga tampak lebih pucat.)
Dicatat hasil yang didapatkan
HAL – HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN
Digunakan mikroskop dengan kualitas yang baik
Perbesaran mikroskop yang digunakan harus sesuai yaitu perbesaran lensa objektif 100x dengan penambahan oil imersi.
Dipastikan pengamatan dilakukan pada counting area
Dipastikan pengamatan dilakukan pada daerah dengan cahaya yang cukup, tidak terlalu terang ataupun terlalu redup sehingga sel darah merah terutama warnanya terlihat jelas.
Selain itu perlu juga diperhatikan dari pewarnaan apusan darah tepi ,dimana zat warna yang digunakan harus bersih.
DAFTAR PUSTAKA
Ismirayanti. 2010. Anemia. [Online]. http://ismirayanti.blogspot. com/2010/10/ anemia_2512.html. Diakses tanggal 7 Mei 2015
Iqbal. 2012. Eritrosit. Diakses di: http://aboutlabkes.wordpress.com/2012/01/30/eritrosit/ Diakses tanggal: 8 Mei 2015
Rahayu, Puji. 2011. Eritrosit. Diakses di:http://blog.uad.ac.id/ratnasari/2011/12/06/eritrosit-sel-darah-merah/. Diakses tanggal: 8 Mei 2015.
Widayati, dkk. 2010. Laporan Praktikum Anatomi Fisiologi Manusia Sediaan Apus Darah. Jakarta: Jurusan Farmasi Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
Zakaria. 2012. Morfologi Sel Darah Merah. Diakses di: http: //zakariadardin. wordpress. com/2012/01/09/morfologi-sel-darah-merah/ Diakses tanggal: 8 Mei 2015