A. Kebutuhan Rasa Nyaman I.
Definisi
Kolcaba
(1992,
dalam
Potter
&
Perry,
2006)
megungkapkan
kenyamanan/rasa nyaman adalah suatu keadaan telah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan akan ketentraman (suatu kepuasan yang meningkatkan penampilan sehari-hari), kelegaan (kebutuhan telah terpenuhi), dan transenden (keadaan tentang sesuatu yang melebihi masalah dan nyeri). Kenyamanan mesti dipandang secara holistik yang mencakup empat aspek yaitu: a.
Fisik, berhubungan dengan sensasi tubuh.
b.
Sosial, berhubungan dengan hubungan interpersonal, keluarga, dan
sosial. c.
Psikospiritual, berhubungan dengan kewaspadaan internal dalam diri sendiri yang meliputi harga diri, seksualitas, dan makna kehidupan).
d.
Lingkungan, berhubungan dengan latar belakang pengalaman eksternal
manusia seperti cahaya, bunyi, temperatur, warna, dan unsur alamiah lainnya.
Meningkatkan kebutuhan rasa nyaman diartikan perawat telah memberikan kekuatan, harapan, hiburan, dukungan, dorongan, dan bantuan. Secara umum dalam aplikasinya pemenuhan kebutuhan rasa nyaman adalah kebutuhan rasa nyaman bebas dari rasa nyeri, dan hipo/hipertermia. Hal ini disebabkan karena kondisi nyeri dan hipo/hipertermia merupakan kondisi yang mempengaruhi perasaan tidak nyaman pasien yang ditunjukan dengan timbulnya gejala dan tanda pada pasien.
II.
Gangguan Rasa Nyaman akibat Nyeri a.
Pengertian Nyeri
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial (Smatzler & Bare, 2002). Nyeri adalah suatu sensori subyektif dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan d engan kerusakan jaringan yang aktual atau potensial atau yang dirasakan 1
dalam kejadian-kejadian dimana terjadi kerusakan IASP (dalam Potter & Perry, 2006). Nyeri adalah segala sesuatu yang dikatakan seseorang tentang nyeri tersebut dan terjadi kapan saja seseorang mengatakan bahwa ia merasa nyeri (Mc Caffery dalam Potter & Perry, 2006). b.
Klasifikasi Nyeri
Nyeri dapat diklasifikasikan menjadi nyeri akut dan nyeri kronis . Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut, penyakit atau intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas yang bervariasi ( ringan sampai berat) dan berlangsung singkat ( kurang dari enam bulan dan menghilang dengan atau tanpa pengobatan setelah keadaan pulih pada area yang rusak. Nyeri kronis adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang suatu periode waktu. Nyeri yang disebabkan oleh adanya kausa keganasan seperti kanker yang tidak terkontrol atau non keganasan. Nyeri kronik berlangsung lama (lebih dari enam bulan ) dan akan berlanjut walaupun pasien diberi pengobatan atau penyakit tampak sembuh. Karakteristik nyeri kronis adalah area nyeri tidak mudah diidentifikasi, intensitas nyeri sukar untuk diturunkan, rasa nyeri biasanya meningkat, sifat nyeri kurang jelas, dan kemungkinan kecil untuk sembuh atau hilang. Nyeri kronis non maligna biasanya dikaitkan dengan nyeri akibat kerusakan jaringan yang non progresif atau telah mengalami penyembuhan. c. Patofisiologi Nyeri
Patofisiologi nyeri ini dapat digambarkan sebagai berikut : Reseptor nyeri disebut nosiseptor. Nosiseptor mencakup ujung-ujung saraf bebas yang berespon terhadap berbagai rangsangan termasuk tekanan mekanis, deformasi, suhu yang ekstrim, dan berbagai bahan kimia. Pada rangsangan yang intensif, reseptor-reseptor lain misalnya badan Pacini dan Meissner juga mengirim informasi yang dipersepsikan sebagai nyeri. Zat-zat kimia yang memperparah nyeri antara lain adalah histamin, bradikini, serotonin, beberapa prostaglandin, ion kalium, dan ion hydrogen. Masing-masing zat tersebut tertimbun di tempat cedera, hipoksia, atau kematian sel. Nyeri cepat (fast pain) disalurkan ke korda spinalis oleh serat A delta, nyeri lambat (slow pain) disalurkan ke korda spinalis oleh serat C lambat. 2
Serat-serat C tampak mengeluarkan neurotransmitter substansi P sewaktu bersinaps di korda spinalis. Setelah di korda spinalis, sebagian besar serat nyeri bersinaps di neuron-neuron tanduk dorsal dari segmen. Namun, sebagian serat berjalan ke atas atau ke bawah beberapa segmen di korda spinalis sebelum bersinaps. Setelah mengaktifkan sel-sel di korda spinalis, informasi mengenai rangsangan nyeri diikirim oleh satu dari dua jaras ke otak- traktus neospinotalamikus atau traktus paleospinotalamikus . Informasi yang di bawa ke korda spinalis dalam serat-serat A delta di salurkan ke otak melalui serat-serat traktus neospinotalamikus. Sebagian dari serat tersebut berakhir di reticular activating system dan menyiagakan individu terhadap adanya nyeri, tetapi sebagian besar berjalan ke thalamus. Dari thalamus, sinyal-sinyal dikirim ke korteks sensorik somatic tempat lokasi nyeri ditentukan dengan pasti . Informasi yang dibawa ke korda spinalis oleh serat-serat C, dan sebagian oleh
serat
A
delta,
disalurkan
ke
otak
melalui
serat-serat
traktus
paleospinotalamikus. Serat-serat ini berjalan ke daerah reticular dibatang otak, dan ke daerah di mesensefalon yang disebut daerah grisea periakuaduktus. Seratserat paleospinotalamikus yang berjalan melalui daerah reticular berlanjut untuk mengaktifkan hipotalamus dan system limbik. Nyeri yang di bawa dalam traktus paleospinotalamik memiliki lokalisasi yang difus dan berperan menyebabkan distress emosi yang berkaitan dengan nyeri . d.
Fisiologi Nyeri
Menurut Potter & Perry (2006), terdapat tiga komponen fisiologis dalam nyeri yaitu resepsi, persepsi, dan reaksi. Stimulus penghasil nyeri mengirimkan impuls melalui serabut saraf perifer. Serabut nyeri memasuki medula spinalis dan menjalani salah satu dari beberapa rute saraf dan akhirnya sampai di dalam masa berwarna abuabu di medula spinalis. Terdapat pesan nyeri dapat berinteraksi dengan sel-sel saraf inhibitor, mencegah stimulus nyeri sehingga tidak mencapai otak atau ditransmisi tanpa hambatan ke korteks serebral, maka otak menginterpretasi kualitas nyeri dan memproses informasi tentang pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki serta asosiasi kebudayaan dalam upaya mempersiapkan nyeri. 3
a.
Resepsi Pemaparan terhadap panas atau dingin, tekanan, friksi dan zat-zat kimia
menyebabkan pelepasan substansi, seperti histamin, bradikinin dan kalium, yang bergabung dengan lokasi reseptor di nosiseptor (reseptor yang berespon terhadap stimulus yang membahayakan) untuk memulai transmisi neural, yang dikaitkan dengan nyeri. Beberapa reseptor hanya berespon pada satu jenis nyeri, sedangkan reseptor yang lain juga sensitif terhadap temperatur dan tekanan. Apabila kombinasi dengan reseptor nyeri mencapai ambang nyeri (tingkat intensitas stimulus minimum yang dibutuhkan untuk membangkitkan suatu impuls saraf), kemudian terjadilah aktivasi neuron nyeri. Karena terdapat variasi dalam bentuk dan ukuran tubuh, maka distribusi reseptor nyeri disetiap bagian tubuh bervariasi. Impuls saraf, yang dihasilkan oleh stimulus nyeri, menyebar disepanjang serabut saraf perifer aferen. Dua tipe serabut saraf perifer mengkonduksi stimulus nyeri: Serabut A-Delta yang bermielinasi dengan cepat dan serabut C yang tidak bermielinasi dan berukuran sangat kecil serta lambat. Serabut A mengirim sensasi tajam, terlokalisasi, dan jelas yang melokalisasi sumber nyeri dan mendeteksi intensitas nyeri. Serabut C menghantarkan impuls yang terlokalisasi buruk, viseral, dan terus menerus. Ketika serabut C dan A-delta mentransmisikan impuls dari serabut saraf perifer, maka akan melepaskan mediator biokimia yang mengaktifkan dan membuat peka respons nyeri. Misalnya, kalium, prostaglandin dilepaskan ketika sel-sel lokal mengalami kerusakan. Transmisi stimulus nyeri berlanjut sampai transmisi tersebut berakhir dibagian kornu dorsalis medula spinalis. Di dalam kornu dorsalis, neurotransmiter, seperti substansi P dilepaskan, sehingga menyebabkan suatu transmisi spinalis dari saraf perifer ke saraf traktus spinotalamus. Hal ini memungkinkan impuls nyeri ditransmisikan lebih jauh ke dalam sisitem saraf pusat.
b.
Neuroregulator Neuroregulator memegang peranan yang penting dalam suatu pengalaman nyeri.
Sustansi ini ditemukan di lokasi nosiseptor. Neuroregulator dibagi menjadi dua kelompok, yakni neurotransmiter dan neuromodulator. Neurotransmiter seperti 4
substansi P mengirim impuls listrik melewati celah sinap diantara dua serabut saraf (eksitator dan inhibitor). Neuromodulator memodifikasi aktivitas neuron dan menyesuaikan atau memvariasikan transmisi stimulus nyeri tanpa secara langsung menstransfer tanda saraf melalui sebuah sinap. Endorfin merupakan salah satu contoh neuromodulator.
e.
Teori Pengontrolan Nyeri (Gate Kontrol)
Teori Gate Kontrol dari Melzack dan Wall (1965), mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau bahkan dihambat oleh mekanisme pertahanan disepanjang sistem saraf pusat. Mekanisme pertahanan dapat ditemukan di sel-sel gelatinosa substansia di dalam kornu dorsalis pada medula spinalis, talamus, dan sistem limbik. Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi P untuk menstransmisikan impuls melalui mekanisme petahanan. Neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme pertahanan. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta-A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien akan mempersepsikan nyeri. Saat impuls diantarkan keotak, terdapat pusat korteks yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi persepsi nyeri. Alur saraf desenden melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromodulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P.
f.
Respon Terhadap Nyeri
1)
Respon fisiologis Pada saat impuls nyeri naik ke medula spinalis menuju ke batang otak dan
talamus, sistem saraf otonom menjadi terstimulasi sebagai bagian dari respon stres. Nyeri dengan intensitas ringan hingga sedang dan nyeri yang superfisial menimbulkan reaksi “ flight -atau- fight ”, yang merupakan sindrom adaptasi umum. Stimulasi pada cabang simpatis pada sistem saraf otonom menghasilkan respon 5
fisiologis. Apabila nyeri berlangsung terus-menerus secara tipikal akan melibatkan organ-organ viseral, sistem saraf parasimpatis menghasilkan suatu aksi. Respon fisiologis terhadap nyeri sangat membahayakan individu. Kecuali pada kasus-kasus nyeri berat yang menyebabkan individu mengalami syok, kebanyakan individu mencapai tingkat adaptasi, yaitu tanda-tanda fisik kembali normal. Dengan demikian klien yang mengalami nyeri tidak akan selalu memperlihatkan tanda-tanda fisik. 2)
Respon Perilaku Sensasi nyeri terjadi ketika merasakan nyeri. Gerakan tubuh yang khas
dan
ekspresi wajah yang mengindikasikan nyeri dapat ditunjukkan oleh pasien sebagai respon perilaku terhadap nyeri. Respon tersebut seperti mengkerutkan dahi, gelisah, memalingkan wajah ketika diajak bicara.
g.
Faktor Yang Mempengaruhi Nyeri
1)
Usia Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya pada
anak-anak dan lansia. Anak kecil mempunyai kesulitan memahami nyeri dan prosedur yang dilakukan perawat yang menyebabkan nyeri. Anak-anak juga mengalami kesulitan secara verbal dalam mengungkapkan dan mengekspresikan nyeri. Sedangkan pasien yang berusia lanjut, memiliki resiko tinggi mengalami situasi yang membuat mereka merasakan nyeri akibat adanya komplikasi penyakit dan degeneratif. 2)
Jenis kelamin Beberapa kebudayaan yang mempengaruhi jenis kelamin misalnya menganggap
bahwa seorang anak laki-laki harus berani dan tidak bo leh menangis, sedangkan anak perempuan boleh menangis dalam situasi yang sama. Namun secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna dalam berespon terhadap nyeri. 3)
Kebudayaan Beberapa kebudayaan yakin bahwa memperlihatkan nyeri adalah sesuatu yang
alamiah. Kebudayaan lain cenderung untuk melatih perilaku yang tertutup (introvert ). Sosialisasi budaya menentukan perilaku psikologis seseorang. Dengan
6
demikian hal ini dapat mempengaruhi pengeluaran fisiologis opial endogen sehingga terjadilah persepsi nyeri. 4)
Makna nyeri Individu akan mempersepsikan nyeri berbeda-beda apabila nyeri tersebut
memberi kesan ancaman, suatu kehilangan, hukuman dan tantangan. Makna nyeri mempengaruhi pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. 5)
Perhatian Tingkat
seorang
pasien
memfokuskan
perhatiannya
pada
nyeri
dapat
mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat sedangkan upaya pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. 6)
Ansietas Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri tetapi nyeri juga dapat
menimbulkan suatu perasaan ansietas. Apabila rasa cemas tidak mendapat perhatian dapat menimbulkan suatu masalah penatalaksanaan nyeri yang serius. 7)
Keletihan Rasa kelelahan menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan
kemampuan koping sehingga meningkatkan persepsi nyeri. 8)
Pengalaman sebelumnya Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri sebelumnya namun tidak selalu
berarti bahwa individu tersebut akan menerima nyeri dengan lebih mudah di masa datang. 9)
Gaya koping Individu yang memiiiki lokus kendali internal mempersepsikan diri mereka
sebagai individu yang dapat mengendalikan lingkungan mereka dan hasil akhir suatu peristiwa seperti nyeri. Sebaliknya, individu yang memiliki lokus kendali eksternal mempersepsikan faktor lain di dalam lingkungan mereka seperti perawat sebagai individu yang bertanggung jawab terhadap hasil akhir suatu peristiwa. 10)
Dukungan keluarga dan sosial
Kehadiran orang-orang terdekat pasien dan bagaimana sikap mereka terhadap pasien mempengaruhi respon nyeri. Pasien dengan nyeri memerlukan dukungan, 7
bantuan dan perlindungan walaupun nyeri tetap dirasakan namun kehadiran orang yang dicintai akan meminimalkan kesepian dan ketakutan.
h.
Efek Yang Ditimbulkan Oleh Nyeri
1)
Tanda dan gejala fisik Tanda fisiologis dapat menunjukkan nyeri pada klien yang berupaya untuk tidak
mengeluh atau mengakui ketidaknyamanan. Sangat penting untuk mengkaji tandatanda vital dan pemeriksaan fisik termasuk mengobservasi keterlibatan saraf otonom. Saat awitan nyeri akut, denyut jantung, tekanan darah, dan ftekuensi pernapasan meningkat. 2)
Efek perilaku Pasien yang mengalami nyeri menunjukkan ekspresi wajah dan gerakan tubuh
yang khas dan berespon secara vokal serta mengalami kerusakan dalam interaksi sosial. Pasien seringkali meringis, mengernyitkan dahi, menggigit bibir, gelisah, imobilisasi, mengalami ketegangan otot, melakukan gerakan melindungi bagian tubuh sampai dengan menghinndari percakapan, menghindari kontak sosial dan hanya fokus pada aktivitas menghilangkan nyeri. 3)
Pengaruh Pada Aktivitas Sehari – hari Pasien yang mengalami nyeri setiap hari kurang mampu berpartisipasi dalam
aktivitas rutin, seperti mengalami kesulitan dalam melakukan tindakan higiene normal dan dapat menganggu aktivitas sosial dan hubungan seksual.
i. 1) a
Penanganan Nyeri
Farmakologi Analgesik Narkotik
Analgesik narkotik terdiri dari berbagai derivate opium seperti morfin dan kodein. Narkotik dapat memberikan efek penurunan nyeri dan kegembiraan karena obat ini mengadakan ikatan dengan reseptor opiat dan mengaktifkan penekan nyeri endogen pada susunan saraf pusat (Tamsuri, 2007). Namun, penggunaan obat ini menimbulkan efek menekan pusat pernafasan di medulla batang otak sehingga perlu
8
pengkajian secara teratur terhadap perubahan dalam status pernafasan jika menggunakan analgesik jenis ini (Smeltzer & Bare, 2001). b
Analgesik Non Narkotik
Analgesik non narkotik seperti aspirin, asetaminofen, dan ibuprofen selain memiliki efek anti nyeri juga memiliki efek anti inflamasi dan anti piretik. Obat golongan ini menyebabkan penurunan nyeri dengan menghambat produksi prostalglandin dari jaringan yang mengalami trauma atau inflamasi (Smeltzer & Bare, 2001). Efek samping yang paling umum terjadi adalah gangguan pencernaan seperti adanya ulkus gaster dan perdarahan gaster. c.
Non Farmakologi
a)
Relaksasi progresif Relaksasi merupakan kebebasan mental dan fisik dari ketegangan stres. Teknik
relaksasi memberikan individu kontrol diri ketika terjadi rasa tidak nyaman atau nyeri, stres fisik, dan emosi pada nyeri (Potter & Perry, 2006). b)
Stimulasi Kutaneus Plasebo Plasebo merupakan zat tanpa kegiatan farmakologik dalam bentuk yang dikenal
oleh klien sebagai obat seperti kapsul, cairan injeksi, dan sebagainya. Placebo umumnya terdiri dari larutan gula, larutan salin normal, atau air biasa (Tamsuri, 2007). c)
Teknik Distraksi Distraksi
merupakan
metode
untuk
menghilangkan
nyeri
dengan
cara
mengalihkan perhatian pasien pada hal-hal yang lain sehingga pasien akan lupa terhadap nyeri yang dialami ( Priharjo, 1996 ).
j.
Pengukuran Nyeri
a.
Skala Deskriptif Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS ) merupakan sebuah
garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsian yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini dirangking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”.
9
b.
Skala penilaian numerik Numerical Rating Scale (NRS) menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10.
Skala ini sangat efektif untuk digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. c.
Skala Analog Visual Visual Analog Scale (VAS) merupakan suatu garis lurus yang mewakili intensitas
nyeri yang terus menerus dan memiliki alat pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya.
Skala
ini
memberikan
kebebasan
penuh
pada
pasien
untuk
mengidentifikasi keparahan nyeri. Untuk mengukur skala nyeri pada pasien pra operasi apendisitis, peneliti menggunakan skala nyeri numerik. Karena skala nyeri numerik paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan sesudah diberikan teknik relaksasi progresif. Selain itu selisih antara penurunan dan peningkatan nyeri lebih mudah diketahui dibanding skala yang lain.
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian Rasa Nyaman Data perawatan yang dikaji dan mesti didapatkan pada pasien mencakup: a.
Alasan MRS yaitu keluhan utama pasien saat MRS dan saat dikaji. Pasien mengeluh nyeri, dilanjutkan dengan riwayat kesehatan sekarang, dan kesehatan sebelum
b.
Kebutuhan Rasa Nyaman (Nyeri) Data didapatkan dengan anamnesa dan pemeriksaan fisik. Anamnesa untuk mengkaji karakteristik nyeri yang diungkapkan oleh pasien dengan pendekatan PQRS (provokatif/paliatif, quality, radiation, severity). Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mendapatkan perubahan klinis yang diakibatkan oleh nyeri yang dirasakan oleh pasien. Data yang didapatkan mencerminkan respons pasien terhadap nyeri yang meliputi respon fisiologis, respon perilaku, dan respon psikologis. 1)
Respons Fisiologis
10
Tanda fisiologis dapat menunjukkan nyeri pada klien yang berupaya untuk tidak mengeluh atau mengakui ketidaknyamanan. Sangat penting untuk mengkaji tanda-tanda vital dan pemeriksaan fisik termasuk mengobservasi keterlibatan saraf otonom. Saat awitan nyeri akut, denyut jantung, tekanan darah, dan ftekuensi pernapasan meningkat. 2)
Respons Perilaku
Pasien seringkali meringis, mengernyitkan dahi, menggigit bibir, gelisah, imobilisasi, mengalami ketegangan otot, melakukan gerakan melindungi bagian tubuh sampai dengan menghinndari percakapan, menghindari kontak sosial dan hanya fokus pada aktivitas menghilangkan nyeri. 3)
Respons Psikologis
Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi klien.Arti nyeri bagi setiap individu berbeda beda antara lain : Bahaya atau merusak, Komplikasi seperti infeksi, Penyakit yang
berulang,
Penyakit
baru,
Penyakit
yang
fatal,
Peningkatan
ketidakmampuan, dan Kehilangan mobilitas.
Tindakan perawat yang perlu dilakuan dalam mengkaji pasien selama nyeri akut adalah : a.
Mengkaji perasaan pasien (respon psikologis yang muncul).
b.
Menetapkan respon fisiologis pasien terhadap nyeri dan lokasi nyeri.
c.
Mengkaji tingkat keparahan dan kualitas nyeri.
Untuk pasien yang mengalami nyeri kronis maka pengkajian yang lebih baik adalah dengan memfokouskan pengkajian pada dimensi perilaku, afektif, kognitif. Terdapat beberapa komponen yang harus diperhatikan seorang perawat dalam memulai mengkaj respon nyeir yang dialami pasien, diantaranya : a.
Penentuan ada tidaknay nyeri Dalam
melakukan
pengkajian
terhadap
nyeri,
perawat
harus
mempercayai ketika pasien melaporkan adanya nyeri, walaupun dalam
11
observasi perawat tidak menemukan adanya cedera atau luka. Setiap nyeri yang dilaporkan oleh pasien adalah nyata. b.
Karakterisktik nyeri -
Faktor Pencetus (P : Provocate) Perawat mengkaji tentang penyebab atau stimulus-stimulus nyeri
pada klien, dalam hal inin perawat juga dapat melakukan observasi bagian bagian tubuh yang mengalami cedera. Apabila perawat mencurigai adanya nyeri psikogenik maka perawat harus dapat mengeksplore perasaan klien dan menanyakan perasaan apa yang mencetuskan nyeri. -
Kualitas (Q: quality) Sering kali pasien mengungkapkan nyeri dengan kalimat0kalimat :
tjam, tumpul, berdenyut, berpindah-pindah seperti tertindih, perih, tertusuk, dan lain-lain dimana tiap pasien mungkin berbeda dalam melaporkan kualitas nyeri yang dirasakan. -
Lokasi (region)
Mengkaji lokasi nyeri maka perawat meminta pasien menunjukkan semu bagian/daerah yang dirasakan tidak nyaman oleh pasien.
-
Keparahan (S: serve)
Tingkat keparahan pasien tentang nyeir merupakan karakteristik yang palin subjektif. Pada pengkajian ini pasien diminta untuk menggambarkan nyeri yang dirasakan sebagai nyeri ringan, sedang atau berat. Skala deskriptif Verbal (VDS) merupakan salah satu alat ukur tingkat keparahan yang lebih bersifat objetif. Skala inimerupakn sebuah garis yang terdiri dari beberapa kalimat pendeskrispsi yang tersusun dalam jarak yang sama sepanjang garis. Skala
Numerik
(NRS)
digunakan
sebagai
pengganti
alat
pendeskripsi kata. Dalam hal ini pasien menilai eyri dengan skal 0 sampai
12
10. Skal ini efektif digunakan untuk mengkaji intensitas nyeri sebelum dan sesudah intervensi terapeutik. Skala Analog Visual (VAS) merupakan garis lurus yang mewakili alat pendeskripsi kebebasan penuh pada pasien untuk mengidentifikasi tingkat keparahan nyeri yang ia rasakan. VAS merupakn pengukur keparahan nyeri yang lebih sensitif karena pasien dapat mengidentifikasi setiap ttik pada rangkaian daripada dipaksa memilih satu kata atau satu angka. -
Durasi (Time) Perawat menanyakan pada pasien untuk menentukan awitan,
durasi, dan rangkaian nyeri. -
Faktor yang memperberat/memperingan Perlu mengkaji faktor-faktor yang mempererat nyeri pasien untuk
memberikan tindakan yang tepat untuk menghindari peningkatan respon nyeri pada pasien.
c.
Respon perilaku
d.
Respon afektif Respon asfektif jua perlu diperhatikan missalnya cemas, depresi, dll.
e.
Pengaruh nyeri terhadap kehidupan klien Bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan pasien dalam berpartisipasi terhadap kegiatan-kegiatan sehari-hari, sehingga perawat juga mengetahui sejau mana dia membantu dalam program aktivitas pasien.
f.
Persepsi klien tentang nyeri Perawat
perlu
mnegkaji
persepsi
pasien
terhapada
nyeri,
bagaimana pasien menghubungkan antara neyri yang dialami dengan proses penyakti atau hal lain dalam diri atau lingkungan sekitarnya. g.
Mekanisme adaptasi klien terhadap nyeri
13
Perlu mnegkaji cara-cara yang biasa pasien gunakan untuk menurunkan nyeri agar dapat memasukkannya dalam rencana keperawatan. (Sigit Nian, 2010)
2. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncu l
Diagnosa-diagnosa yang mungkin muncul pada pasien dengan gangguan rasa nyaman nyeri : a.
Nyeri akut berhubungan dengan :
-
Cedera fisik/trauma
-
Penurunan splai darah ke jaringan
-
Proses melahirkan
b.
Nyeri kronik berhubungan dengan :
-
Kontrol nyeri yang tidak adekuat
-
Jaringan parut
-
Kanker maligna
c.
Ansietas berhubungan dengan nyeri kronis
d.
Gangguan mobilitas fisik b.d :
-
Nyeri muskuloskeletal
-
Nyeri insisi
e.
Gangguan pola tidur b.d nyeri yang dirasakan.
3. Perencanaan Tujuan dari rencana tindakan untuk mengatasi nyeri antara lain : a. Meningkatkan perasaan nyaman dan aman
individu.
b. Meningkatkan kemampuan individu untuk
dapat
fisik yang diperlukan untuk penyembuhan (misal; batuk
melakukan
aktifitas
dan
nafas
dalam, ambulasi). c. Mencegah timbulnya gangguan tidur
14
Secara umum rencana tindakan yang dapat diberikan adalah delegatif farmakologi sesuai program dokter, dan non farmakologi. Tindakan non farmakologi yang secara mandiri bisa dilakukan oleh perawat adalah Distraksi, Relaksasi, Stimulasi Kutaneus. a.
Distraksi Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, efektif untuk nyeri ringan sampai sedang. Distraksi visual (melihat TV atau pertandingan bola), distraksi audio (mendengar musik), distraksi sentuhan (massase, memegang mainan), distraksi intelektual (merangkai puzzle, main catur). Distraksi mencakup memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu selain pada nyeri, dapat menjadi stategi yang sangat berhasil dan mungkin merupakan mekanisme yang bertanggung jawab pada teknik kognitif efektif lainnya (Arntz dkk., 1991; Devine dkk., 1990). Distraksi diduga dapat menurunkan persepsi nyeri dengan menstimulasi sistem control desenden, yang mengakibatkan lebih sedikit stimuli nyeri yang ditransmisikan ke otak. Keefektifan distraksi tergantung pada kemampuan pasien untuk menerima dan membangkitkan input sensori selain nyeri.
b.
Relaksasi Relaksasi otot skeletal dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan merilekskan ketegangan otot yang menunjang nyeri. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa relaksasi efektif dalam meredakan nyeri punggung (Tunner dan Jensen, 1993; Altmaier dkk. 1992). Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa relaksasi efektif dalam menurunkan nyeri pasca operasi (Lorenti, 1991; Miller & Perry, 1990). Teknik relaksasi yang sederhana terdiri atas napas abdomen dengan frekuensi lambat, berirama. Pasien dapat memejamkan matanya dan bernapas dengan perlahan dan nyaman. Irama yang konstan dapat dipertahankan dengan menghitung dalam hati dan lambat bersama setiap inhalasi (” hirup, dua, tiga ”) dan ekhalasi ( hembuskan, dua, tiga ). Pada saat perawat mengajarkan teknik ini, akan sangat membantu bila menghitung dengan keras bersama pasien pada awalnya. Napas yang lambat, berirama 15
juga dapat digunakan sebagai teknik distraksi. Periode relaksasi yang teratur dapat membantu untuk melawan keletihan dan ketegagan otot yang terjadi dengan nyeri kronis dan yang meningkatkan nyeri.
c.
Stimulasi kutaneus Terori gate control nyeri seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bertujuan menstimulasi serabut-serabut yamg menstransmisikan sensasi tidak nyeri memblok atau menurunkan transmisi, impuls nyeri. Beberapa strategi penghilang
nyeri
nonfarmakologis,
termasuk
menggosok
kulit
dan
menggunakan panas dan dingin, adalah berdasarkan mekanisme ini. Masase adalah stimulasi kuteneus tubuh secara umum, sering dipusatkan pada punggung dan bahu. Masase tidak secara spesifik menstimulasi reseptor yang sama seperti reseptor nyeri tetapi dapat mempunyai dampak melalui sistem control desenden. Masase dapat membuat pasien lebih nyaman karena masase membuat relaksasi otot. Rencana Asuhan Keperawatan : terampir
4.
Evaluasi
Evaluasi dapat dibedakan atas evaluasi proses dan evaluasi hasil. Evaluasi proses dievaluasi setiap selesai melakukan perasat dan evaluasi hasil berdasarkan rumusan tujuan terutama kriteria hasil. Hasil evaluasi memberikan acauan tentang perencanaan lanjutan terhadap masalah nyeri yang dialami oleh pasien.
16