BAB 1 PENDAHULUAN
Katarak adalah setiap kekeruhan pada lensa. Penuaan merupakan penyebab katarak terbanyak, tetapi banyak juga faktor lain yang mungkin terlibat, antara lain: trauma, toksin, penyakit sistemik (misalnya diabetes), merokok dan herediter. Katarak akibat penuaan merupakan penyebab umum gangguan penglihatan. Berbagai studi cross-sectional melaporkan prevalensi katarak pada individu berusia 65-74 tahun adalah sebanyak 50%, prevalensi ini meningkat hingga 70% pada individu di atas 75 tahun. (Vaughan, 2010). Katarak dapat terjadi tanpa gejala atau dengan gejala berupa gangguan penglihatan dari derajat yang ringan sampai berat bahkan sampai menjadi buta (Depkes RI, 2003). Prevalensi katarak di Amerika Serikat mencapai 5,8% atau 15,8 juta orang, sedangkan prevalensi katarak yang dilaporkan sendiri di Australia menurut National Health Survey 2001 sebesar 2%. (National Health Survey, 2004). Prevalensi katarak di Indonesia menurut SKRT-SURKESNAS 2001 adalah sebesar 4,99% dan di Jawa Bali sebesar 5,48%. Jumlah penderita katarak di Indonesia saat ini adalah berbanding lurus dengan jumlah penduduk usia lanjut dan cenderung akan bertambah dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia. Katarak adalah penyebab kebutaan yang paling besar (0,78%) di antara penyebab kebutaan lainnya. (Depkes RI, 2004). Berdasarkan usia pasien, katarak dapat diklasifikasikan diklasifikasikan menjadi katarak kongenital (katarak yang sudah terlihat pada usia di bawah 1 tahun), katarak juvenil (katarak yang terjadi sesudah usia 1 tahun) dan katarak senilis (katarak yang terjadi setelah usia 50 tahun). Dari ketiga jenis katarak tersebut katarak senilis adalah jenis katarak yang paling sering dijumpai dan merupakan penyebab utama gangguan penglihatan dan kebutaan di dunia saat ini (Ocampo and Foster, 2005). Katarak senilis secara klinik dikenal dalam 4 stadium, yaitu insipien, imatur, intumesen, matur, hipermatur dan morgagni. Akibat yang ditimbulkan oleh gangguan gangguan penglihatan atau kebutaan kebutaan bervariasi pada tiap pasien. Pada pasien yang pekerjaannya tergantung pada penglihatan yang baik pengaruhnya dapat sangat buruk, terutama pada kehidupan sosial ekonominya seperti kehilangan penghasilan dan harga diri. Orang tua yang hidup sendiri dapat mengalami gangguan dalam mengerjakan pekerjaan sehari-hari dan kehilangan kemandiriannya sehingga tergantung pada orang lain.
Sampai saat ini, terapi katarak yang paling efektif adalah dengan cara pembedahan. Akan tetapi, beberapa terapi non operatif mungkin dapat diberikan hingga dilakukan operasi. Operasi katarak mempunyai tingkat keberhasilan yang cukup tinggi. Menurut laporan, 9 dari 10 orang yang menjalani operasi katarak, pulih penglihatannya seperti sedia kala. Walaupun, beberapa diantaranya masih memerlukan kacamata. Pemberian obat tetes mata tidak bisa menghilangkan katarak tetapi hanya menghambat progresifitas
kekeruhan
lensa.
Seandainya
katarak
tidak
dioperasi
maka
dapat
menyebabkan kebutaan permanen. Beberapa jenis pembedahan yang dikenal saat ini antara lain
Intracapsular
Cataract Extraction (ICCE), Extracapsular Cataract Extraction (ECCE), Small Incision f akoemulsifikasi. fikasi. Sekarang, teknik terbaru penanganan katarak Cataract Surgery (SICS) dan fakoemulsi adalah dengan penggunaan laser, salah satunya dengan femtosecond laser. Penggunaan femtosecond laser di bidang oftamologi semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan pemilihan alat dan metode yang lebih baru dan canggih dibandingkan dengan pembedahan tradisional. Sejak pertama kali diperkenalkan pada tahun 2001, femtosecond laser mulai banyak digunakan para ahli bedah mata. Adapun keuntungan bedah katarak dengan laser femtosecond adalah laser ini dapat menghasilkan diameter dalam kapsulotomi sirkuler dengan keteitian tinggi, insisi kornea yang akurat sesuai dengan bentuk, kedalaman dan posisi yang ditentukan oleh operator. Leukoma adheren adalah kekeruhan sikatriks kornea dengan menempelnya iris di dataran belakang (Ilyas,2011). Leukoma adheren merupakan kondisi dimana iris menempel ke kornea yang biasanya terjadi pada ulkus kornea (bisa disebabkan oleh infeksi, autoimun atau penanganan yang buruk terhadap kasus yang ringan) dan luka kornea. Keluhan pasien umumnya adalah penurunan penglihatan, kekeruhan pada mata atau beberapa komplikasi yang menyertai yaitu astigmatisma, ectasia, glaucoma. Leukoma adheren yang tidak diterapi dengan baik dapat menyebabkan kebutaan total (Leena, 2010). Kecepatan dan ketepatan tindakan sangat diperlukan dalam menangani kasus katarak dan leukoma adheren agar pasien dapat ditolong sejak awal saat belum terjadi komplikasi yaitu kebutaan. Oleh karena itu, sebagai tenaga medis diperlukan pemahaman mengenai katarak dan leukoma adheren sehingga dapat mengenal secara dini dan dapat memberikan penatalaksanaan yang tepat terhadap pasien.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Lensa
2.1.1
Anatomi Lensa Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskular tak berwarna dan transparan.
Tebal sekitar 4 mm dan diameternya diametern ya 9 mm. Di belakang iris, lensa digantung oleh zonula (Zonula Zinii) yang menghubungkan dengan korpus siliare. Di sebelah anterior lensa terdapat humor aqueous dan di sebelah posterior terdapat vitreus. Kapsul lensa adalah suatu membrane semipermeabel yang dapat dilewati air dan elektrolit. Di sebelah depan terdapat selapis epitel subkapsular. Nukleus lensa lebih keras daripada korteksnya. Sesuai dengan bertambahnya usia, serat-serat lamellar subepitel terus diproduksi, sehingga lensa lama-kelamaan menjadi kurang elastik. Nukleus dan korteks terbentuk dari lamellae konsentris yang panjang. Garis-garis persambungan (suture line) yang terbentuk dari penyambungan tepi-tepi serat lamelar tampak seperti huruf Y dengan slitlamp. Huruf Y ini tampak tegak di anterior dan terbalik di posterior. Masing-masing serat lamelar mengandung sebuah inti gepeng. Pada pemeriksaan mikroskop, inti ini jelas di bagian perifer lensa di dekat ekuator dan berbatasan dengan lapisan epitel subkapsular. Lensa t erdiri dari 65 % air, 35 % protein, dan sedikit sekali mineral yang biasa ada di jaringan tubuh lainnya. Kandungan kalium lebih tinggi di lensa daripada di kebanyakan jaringan lainnya. Asam askorbat dan glutation terdapat dalam bentuk teroksidasi maupun tereduksi. Pada lensa tidak terdapat serat nyeri, pembuluh darah atau pun saraf. (Vaughan, 2010).
Gambar 1. Anatomi lensa 2.1.2
Fisiologi Lensa Lensa kristalina adalah sebuah struktur yang pada kondisi normalnya berfungsi untuk
memfokuskan gambar pada retina. Mata dapat mengubah fokusnya dari obyek jarak jauh ke jarak dekat karena kemampuan lensa untuk mengubah bentuknya, suatu fenomena yang dikenal sebagai akomodasi. Elastisitasnya yang alami memungkinkan lensa untuk menjadi lebih atau kurang bulat (sferis), tergantung besarnya tegangan serat-serat zonula pada kapsul lensa. Tegangan zonula dikendalikan oleh aktivitas muskulus siliaris, yang bila berkontraksi akan mengendurkan tegangan zonula. Dengan demikian, lensa menjadi lebih bulat dan dihasilkan daya dioptri yang lebih kuat untuk memfokuskan obyek-obyek yang lebih dekat. Relaksasi muskulus siliaris akan menghasilkan kebalikan rentetan peristiwaperistiwa tersebut, membuat lensa mendatar dan memungkinkan obyek-obyek jauh terfokus. Dengan bertambahnya usia, daya akomodasi lensa akan berkurang secara perlahan-lahan seiring dengan penurunan elastisitasnya (Harper and Shock, 2008).
2.1.3 Metabolisme Lensa Normal Transparansi lensa dipertahankan oleh keseimbangan air dan kation sodium dan kalium). Kedua kation berasal dari humor aqueous dan vitreus. Kadar kalium di bagian anterior lensa lebih tinggi di bandingkan posterior dan kadar natrium di bagian posterior lebih besar. Ion K bergerak ke bagian posterior dan keluar ke humor aqueous. Dari luar, ion Na
masuk secara difusi dan bergerak ke bagian anterior untuk menggantikan ion K dan keluar melalui pompa aktif Na-K ATPase, sedangkan kadar kalsium tetepa dipertahankan di dalam oleh Ca-ATPase. Metabolisme lensa melalui glikolisis anaerob (95%) dan HMP-shunt (5%). Jalur HMP shunt menghasilkan NADPH untuk biosintesis asam lemak dan ribose, juga untuk aktivitas glutation reduktase dan aldose reduktase. Aldoe reduktase adalah enzim yang merubah glukosa menjadi sorbitol, dan sorbitol dirubah menjadi fruktosa oelh enzim sorbitol dehidrogenase (Harper and Shock, 2008).
2.2 Kornea 2.2.1 Anatomi Kornea Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiri atas lapis: 1. Epitel
Tebalnya 550 µm, terdiri atas lima lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih, satu lapis sel basal, sel poligonal, dan sel gepeng.
Pada sel basal sering terlihat mitosis sel dan sel muda ini terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depannya melalui desmosom dan makula okluden, ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan barrier.
Sel basal menghasilan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren.
Epitel berasal dari ektoderm permukaan.
2. Membran Bowman
Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.
Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi.
3. Stroma
Menyusun 90% ketebalan kornea
Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serat kolagen ini bercabang, terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak di
antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma. 4. Membrana Descement
Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma k ornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya.
Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40 µm.
5. Endotel
Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40 µm. Endotel-endotel pada membran descement melalui hemidesmosom dan zonula okluden.
Gambar 2. Lapisan Kornea
2.3 Katarak 2.3.1
Definisi Katarak Katarak berasal dari bahasa Yunani Katarrhakies , bahasa Inggris Cata-ract dan
bahasa Latin Cataracta yang berarti air terjun. Dalam bahasa Indonesia disebut bular di mana penglihatan seperti tertutup air terjun akibat lensa yang keruh. Katarak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa atau terjadi akibat kedua-duanya. Biasanya katarak mengenai kedua mata dan berjalan progresif, tetapi kadang-kadang juga dapat tidak mengalami perubahan dalam waktu yang lama. Katarak pada umumnya merupakan penyakit pada usia lanjut, akan tetapi dapat juga akibat kelainan kongenital atau penyulit penyakit mata lokal menahun. Bermacam-macam penyakit mata dapat mengakibatkan katarak seperti glaukoma, ablasi, uveitis dan retinitis pigmentosa. Katarak dapat berhubungan dengan proses penyakit intraokular lainnya (Ilyas, 2011).
Gambar 2. Lensa normal dan lensa katarak
Katarak dapat disebabkan bahan toksik khusus (kimia dan fisik). Keracunana beberapa jenis obat dapat menimbulkan katarak seperti eserin (0,25-0,5%), kortikosteroid, ergot dan antikolinesterase topikal. Kelainan sistemik atau metabolik yang dapat menimbulkan katarak adalah diabetes melitus, galaktosemi dan distrofi miotonik. Katarak dapat ditemukan dalam keadaan tanpa adanya kelainan mata atau sistemik (katarak senil, juvenil, herediter) atau kelainan kongenital lainnya. Katarak disebabkan oleh berbagai faktor, seperti fisik, kimia, penyakit predisposisi, genetik dan gangguan perkembangan, infeksi virus di masa pertumbuhan janin, dan usia (Ilyas, 2011).
2.3.2 Klasifikasi Katarak Berdasarkan usia, katarak dapat diklasifikasikan dalam: 1. Katarak kongenital: katarak yang sudah terlihat pada usia di bawah 1 tahun 2. Katarak juvenil: katarak yang terjadi sesudah usia 1 tahun 3. Katarak senilis: katarak setelah usia 50 tahun
2.4
Katarak Senilis
2.4.1
Definisi Katarak Senilis Katarak senilis adalah semua kekeruhan lensa yang terdapat pada usia lanjut yaitu
usia di atas 50 tahun. Katarak senilis adalah jenis katarak yang paling sering dijumpai dan merupakan penyebab utama kebutaan di dunia saat ini. (Ocampo, 2005).
2.4.2
Prevalensi Katarak Senilis Sampai dengan saat ini, katarak merupakan penyebab utama kebutaan di dunia. Di
negara berkembang, katarak tetap merupakan penyebab paling sering dari kebutaan. Pada tahun 1990 diperkirakan 37 juta orang buta di seluruh dunia dan 40% diantaranya disebabkan katarak. Setiap tahun terjadi peningkatan 1 – 2 juta orang menjadi buta. Di Amerika Serikat sekurangnya 300.000-400.000 kasus katarak terjadi setiap tahun. Pada
Framingham Eye Study yang dilaksanakan tahun 1973-1975 katarak senilis terjadi pada 15,5% dari 2.477 pasien yang diteliti.(Ocampo, 2005).
2.4.3
Etiologi Katarak Senilis Pada
prinsipnya
katarak
senilis
merupakan
proses
penuaan.
Meskipun
patogenesisnya masih belum diketahui secara pasti, terdapat beberapa faktor resiko yang diduga terlibat dalam terjadinya katarak senilis, antara lain : 1. Herediter Herediter mempunyai peran penting pada insidensi, usia muncul dan maturasi katarak senilis pada beberapa keluarga. 2. Radikal bebas dan Glutation Radikal bebas oksigen (oxidant) adalah molekul yang diproduksi oleh proses kimia alami di dalam tubuh. Racun, merokok, radiasi ultraviolet, infeksi dan banyak faktor lain dapat menciptakan reaksi yang memproduksi radikal bebas secara berlebihan. Oxidant adalah molekul yang kehilangan satu elektron sehingga tidak stabil dan cenderung akan terikat secara kimia dengan molekul lain dalam tubuh. Apabila terjadi overproduksi oxidant, reaksi kimia yang terjadi dapat sangat
merugikan untuk semua sel tubuh. Reaksi tersebut bahkan dapat berpengaruh pada materi genetik dalam sel. Pembentukan katarak adalah salah satu dari banyak perubahan destruktif yang dapat terjadi karena overproduksi oxidant yang mungkin berhubungan dengan defisiensi glutation yang merupakan antioksidan protektif yang penting. Glutation terdapat pada mata dalam level yang tinggi dan membantu membersihkan radikal bebas tersebut. Salah satu teori menyatakan bahwa pada mata tua berkembang barier yang mencegah glutation dan antioksidan lain mencapai inti lensa, sehingga lensa lebih mudah teroksidasi. 3. Radiasi ultraviolet Paparan yang berlebihan terhadap sinar ultraviolet dari sinar matahari memi-liki implikasi pada onset dini dan maturasi katarak senilis ditunjukkan pada banyak studi epidemiologis. Paparan jangka panjang sinar UVB dapat menyebabkan perubahan pada lensa diantaranya perubahan pigmen lensa yang memiliki kontribusi terjadinya katarak. Sedangkan mekanisme UVA diduga karena memudahkan terlepas dan terbentuknya radikal bebas. 4. Faktor makanan Kekurangan beberapa protein, asam amino, vitamin (riboflavin, vitamin E, vitamin C) dan elemen-elemen esensial dalam makanan juga memiliki pengaruh terhadap onset dini dan maturasi katarak senilis. 5. Krisis dehidrasi Diduga terdapat hubungan antara krisis dehidrasi yang parah (terkait dengan diare, kolera, dan lain-lain), usia saat munculnya katarak senilis dan maturasi katarak senilis. 6. Merokok Merokok juga pernah dilaporkan memiliki pengaruh pada usia saat muncul-nya katarak
senilis.
Merokok
menyebabkan
akumulasi
molekul
berpigmen
(3-
hydroxykynurinine dan chromphores ) yang menyebabkan proses penguni-ngan. Cyanates pada rokok menyebabkan karbamilasi dan denaturasi protein. 2.4.4
Patofisiologi Katarak Senilis Patofisiologi katarak senilis kompleks dan masih belum sepenuhnya dimengerti.
Patogenesisnya melibatkan interaksi yang kompleks dari bermacam-macam proses
fisiologis. Semakin tua lensa, berat dan ketebalannya semakin meningkat sedangkan kemampuan akomodasinya semakin menurun. (Ocampo, 2005) Banyak mekanisme yang berpengaruh terhadap hilangnya transparansi lensa. Epitel lensa dipercaya mengalami perubahan karena usianya, khususnya dalam hal berkurangnya densitas sel epitel lensa dan diferensiasi yang menyimpang dari serat lensa. Meskipun sel epitel lensa yang katarak mengalami apoptosis dalam jumlah sedikit, di mana akan terjadi pengurangan secara signifikan dari densitas sel, akumulasi kehilangan epitel dalam skala kecil dapat berakibat pada perubahan formasi dan homeostasis serat lensa sehingga menyebabkan hilangnya transparansi lensa. Lebih jauh lagi, semakin tua lensa akan terjadi pengura-ngan kecepatan transport air, nutrien dan antioksidan ke dalam nukleus lensa. Akibatnya akan terjadi proses kerusakan oksidatif yang progresif pada lensa yang
berujung
pada
terjadinya
katarak
senilis.
Beberapa
penelitian
menunjukkan
peningkatan produk oksidasi (seperti glutation teroksidasi) dan penurunan vita-min antioksidan dan enzim superoksid dismutase memiliki peran penting dalam proses oksidatif pada terjadinya katarak (cataractogenesis ). (Ocampo, 2005) Pembentukan katarak secara kimiawi ditandai oleh penurunan penyerapan oksigen, peningkatan kandungan air di awal lalu diikuti dengan terjadinya dehidrasi, peningkatan kandungan natrium dan kalsium, serta penurunan kandungan kalium, asam askorbat dan protein. (Vaughan, 2010). Mekanisme lain yang terlibat adalah perubahan protein sitoplasmik lensa yang larut air dan memiliki berat molekul rendah menjadi agregat yang larut air dan memiliki berat molekul tinggi, fase tidak larut dan matriks protein membran yang tidak larut. Hasil dari perubahan
protein
menyebabkan
fluktuasi
mendadak
dari
indeks
refraksi
lensa,
menyebarkan sinar dan mengurangi transparansi. Hal lain yang diteliti meliputi peran nutrisi pada terjadinya katarak, khusunya keterlibatan glukosa dan trace mineral serta vitamin. (Ocampo, 2005). Selain itu juga terdapat beberapa teori yang dikemukakan terkait dengan terjadinya katarak senilis, antara lain (Ilyas, 2011):
-
Teori Putaran Biologis (“ A Biologic Clock ”)
-
Jaringan embrio manusia dapat membelah diri 50 kali mati
-
Teori Imunologis dimana dengan bertambahnya usia akan bertambah cacat imunologis yang mengakibatkan kerusakan sel
-
Teori Mutasi Spontan
-
Teori “A free radical ” :
Free radical terbentuk bila terjadi reaksi intermediate reaktif kuat. Free radical dengan molekul normal mengakibatkan degenerasi. Free radical dapat dinetralisasi oleh antioksidan dan vitamin E.
-
Teori “A Cross Link ” Ahli biokimia mengatakan terjadi peningkatan reaksi silang asam nukleat dan molekul protein sehingga mengganggu fungsinya.
2.4.5
Klasifikasi Katarak Senilis Katarak senilis dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, antara lain katarak nuklear,
katarak kortikal dan katarak subkapsuler posterior. Katarak nuklear dihasilkan dari sklerosis nuklear (proses tertekan dan mengerasnya nukleus ketika terjadi penambahan lapisan kortikal baru) dan proses penguningan yang berlebihan dengan akibat terjadinya kekeruhan lensa bagian sentral. Pada beberapa kasus, nukleus dapat menjadi sangat keruh dan berwarna coklat dan kemudian menjadi kehitam-hitaman disebut katarak nuklear Brunesen atau nigra. Perubahan komposisi ionik dari korteks lensa dan perubahan hidrasi serat lensa sehingga lensa menjadi cembung dan terjadi miopia akibat perubahan indeks refraksi lensa dan mengakibatkan katarak kortikal . Sedangkan pembentukan granula dan kekeruhan seperti plak pada bagian posterior korteks subkapsuler disebut katarak
posterior . (Ocampo, 2005)
Gambar 3. Katarak Nuklear
subkapsuler
Gambar 4. Katarak Kortikal
Gambar 5. Katarak subkapsuler posterior Klasifikasi lainnya adalah klasifikasi Burrato:
Tabel 1. Klasifikasi Burato Grade Reflek fundus Visus
I (+) >6/12
II (+) 6/12 –6/30
III (-) 6/30 –3/60
Nukleus
Lunak
Sedikit keras, kekuningan
Gambaran
Sedikit keruh, keputihan <50 th
Subkapsula r posterior
Agak keras, kekuning an Korteks abu-abu
-
-
Usia 2.4.6
IV (-) 3/601/300 Keras, kuning kecoklata n Putih
V (-) <1/300 Sangat keras, brunesce nt/black Putih
>65 th
>65 th
Stadium Katarak Senilis Katarak senilis secara klinis dikenal dalam 4 stadium yaitu insipien, imatur, matur, dan hipermatur (Ilyas, 2011).
Katarak insipiens Kekeruhan mulai dari tepi ekuator berbentuk jeruji menuju korteks atau ke area subkapsular. Kekeruhan ini dapat menimbulkan poliopia karena indeks refraksi yang
tidak sama pada bagian-bagian lensa. Bentuk ini kadang-kadang menetap untuk waktu yang lama.
Katarak imatur Merupakan katarak yang belum mengenai seluruh lapis lensa. Volume lensa bertambah akibat meningkatnya tekanan osmotik bahan degeneratif lensa. Pada keadaan lensa mencembung akan dapat menimbulkan hambatan pupil, sehingga terjadi glaukoma sekunder
Gambar 7. Katarak senilis stadium imatur
Katarak matur Pada katarak matur, kekeruhan telah mengenai seluruh lensa. Kekeruhan ini bisa terjadi akibat deposisi ion Ca yang menyeluruh. Bila katarak imatur tidak dikeluarkan, maka cairan lensa akan keluar sehingga lensa kembali pada ukuran normal dan terjadi kekeruhan lensa yang lama kelamaan akan mengakibatkan kalsifikasi lensa pada katarak matur. Bilik mata depan berukuran dengan kedalaman normal kembali, tidak terdapat bayangan iris pada shadow test, atau disebut negatif.
Gambar 8. Katarak senilis stadium matur Perbedaan stadium katarak senilis dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 2. Perbedaan stadium katarak senilis INSIPIEN
IMATUR
MATUR
Kekeruhan
Ringan
Sebagian
Seluruh
Masif
Cairan lensa
Normal
Bertambah
Normal
Berkurang
(air masuk)
Iris
2.4.7
HIPERMATUR
(air + masa lensa keluar)
Normal
Terdorong
Normal
Tremulans
Bilik depan
mata
Normal
Dangkal
Normal
Dalam
Sudut mata
bilik
Normal
Sempit
Normal
Terbuka
Shadow test
Negatif
Positif
Negatif
Pseudopos
Penyulit
-
Glaukoma
-
Uveitis glaukoma
+
Diagnosis Katarak Senilis Untuk menegakkan diagnosis katarak senilis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang.
2.4.7.1 Anamnesa Pada anamnesis bisa didapatkan adanya gejala dari pembentukan katarak, yaitu (Sutphin, 2003): 1. Penglihatan seperti berasap dan tajam penglihatan yang menurun secara progresif. 2. Visus mundur yang derajatnya tergantung lokalisasi dan tebal tipisnya kekeruhan, Bila kekeruhan tipis, kemunduran visus sedikit atau sebaliknya dan kekeruhan terletak diequator, tak ada keluhan apa-apa. 3. Penderita mengeluh adanya bercak-bercak putih yang tak bergerak. 4. Diplopia monocular yaitu penderita melihat 2 bayangan yang disebabkan oleh karena refraksi dari lensa sehingga benda-benda yang dilihat penderita akan menyebabkan silau. 5. Pada stadium permulaan penderita mengeluh miopi, hal ini terjadi karena proses pembentukan katarak sehingga lensa menjadi cembung dan refraksi power mata meningkat, akibatnya bayangan jatuh dimuka retina.
2.4.7.2 Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan tanda dari pembentukan katarak, antara lain (Khurana, 2007): 1. Berkurangnya ketajaman visual Pemeriksaan ketajaman visual akan membuat pemeriksa mempertimbangkan kemungkinan adanya katarak sebagaimana kelainan mata yang lainnya. Pemeriksa harus selalu melakukan pemeriksaan ini pada setiap mata secara terpisah. 2. Opasifikasi lentikular Pemeriksaan dari red reflex dengan oftalmoskopi direk yang diatur pada +5 D kurang lebih 20 cm dari pasien sering menampakkan opasitas hitam pada lensa yang menghalangi reflek warna jingga kemerahan. Cara ini merupakan metode yang sangat sensitif untuk mendeteksi adanya katarak. Bila saat oftalmoskop didekatkan opasitas lensa berkurang, kekeruhan berada pada se-bagian posterior lensa, sebaliknya bila opasitas bertambah berarti kekeruhan berada pada sebagian anterior lensa atau pada kornea. 3. Leukokoria Pupil yang berwarna putih terlihat pada katarak matur. Pada katarak imatur, pada daerah pupil terlihat bercak keputihan. 4.Tes bayangan iris ( iris shadow ). Ketika sinar diberikan secara oblik melalui pupil, bayangan iris akan terbentuk pada opasitas lensa yang berwarna abu-abu, selama terdapat korteks yang jernih antara
opasitas dan tepi pupil. Jika lensa benar-benar transparan atau benar-benar buram, tidak akan didapatkan bayangan iris. Oleh karena itu, keberadaan bayangan iris merupakan tanda katarak imatur.
2.4.7.3 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk menegakkan diagnosa katarak antara lain (Langston, 2002): 1. Visus tanpa atau dengan koreksi Penglihatan jauh dan dekat dengan atau tanpa koreksi sebaiknya diperiksa. Jika pasien mengeluhkan silau, pemeriksaan dilakukan di tempat dengan cahaya yang cukup terang. 2. Pemeriksaan lensa dan pupil dengan flashlight Reflek pupil tidak dipengaruhi oleh kekeruhan lensa. Jika digunakan flashlight yang redup, respon yang terjadi lebih lambat ketika menyinari mata dapat menunjukkan adanya katarak yang tebal. Pemeriksaan ini juga dapat menyebabkan kekeruhan pada bagian anterior lensa lebih terlihat jika ukuran pupil tidak mengecil dengan cepat.
3. Slitlamp biomicroscopy Pemeriksaan ini memungkinkan pemeriksaan yang paling detail terhadap bagian anterior mata. Luas, ketebalan, tipe dan lokasi dari katarak dengan mudah dapat diketahui. Pemeriksaan dengan slitlamp juga membantu dalam mengetahui posisi lensa dan integritas zonula Zinnii. Dekatnya jarak lensa dengan tepi pupil dapat merupakan tanda adanya subluksasi. 4. Evaluasi fundus Baik oftalmoskopi direk maupun indirek dapat digunakan untuk mengevaluasi segmen posterior mata. Pemeriksaan fundus dengan dilatasi penting untuk mengevaluasi makula, saraf optik, vitreus, pembuluh darah retina dan retina perifer. Perhatian khusus ditujukan bila terdapat degenerasi makula, retinopati diabetik, edema makula, iskemia retina, traksi vitreoretina, neovaskularisasi, peningkatan C/D rasio dan ruptur kapsul posterior karena kondisi ini dapat menghambat rehabilitasi visual setelah pembedahan katarak. 5. USG A-scan dan B-scan Pemeriksaan ini adalah teknik untuk mengukur ketebalan dan lokasi dari katarak. Teknik USG A-scan untuk mengukur sumbu aksial bola mata dan kelengkungan kornea sehingga dapat ditentukan kekuatan lensa intraokular yang dibutuhkan secara tepat, sehingga meminimalisir kesalahan koreksi postoperatif. Teknik B-scan
terutama bermanfaat untuk mengevaluasi adanya dislokasi parsial maupun total dari lensa, juga untuk mengetahui kondisi anatomis mata di belakang lensa. 10
2.4.8
Diagnosis Banding
Diagnosa banding katarak senilis, antara lain : 1. Katarak traumatik. 2. Katarak komplikata, seperti akibat radang bola mata. 3. Kelainan bola mata bagian belakang seperti tumor intraokular, retinal detachment yang sudah lama.
2.4.9 Penatalaksanaan Katarak hanya dapat diatasi melalui prosedur operasi. Akan tetapi jika gejala katarak tidak mengganggu, tindakan operasi tidak diperlukan. Kadang kala cukup dengan mengganti kacamata. Hingga saat ini belum ada obat-obatan, makanan, atau kegiatan olah raga yang dapat menghindari atau menyembuhkan seseorang dari gangguan katarak. (Ocampo, 2005).
2.4.9.1 Indikasi Operasi Indikasi operasi pada katarak antara lain (Khurana, 2007): 1. Perbaikan visus Sejauh ini perbaikan visus merupakan indikasi yang paling umum untuk dilakukan ekstraksi katarak. Indikasi ini berbeda pada setiap orang tergantung dari kebutuhan seseorang terhadap penglihatannya. 2. Indikasi medis Kadang-kadang pasien merasa nyaman dengan kondisi penglihatannya, tetapi dapat disarankan untuk menjalani operasi dengan alasan medis seperti:
-
Glaukoma sekunder karena lensa
-
Fakoanafilaktik endoftalmitis Penyakit retina seperti retinopati diabetik atau retinal
detachment 3. Indikasi kosmetik Kadang-kadang pasien dengan katarak matur meminta untuk dilakukan operasi ekstraksi katarak (walaupun tidak ada harapan untuk mendapatkan penglihatan yang normal) untuk mendapatkan pupil yang hitam.
2.4.9.2 Tekhnik Operasi Ekstraksi katarak adalah cara pembedahan dengan mengangkat lensa yang mengalami katarak. Hal ini dapat dilakukan intrakapsular yaitu mengeluar-kan lensa bersama dengan kapsul lensa, atau ekstrakapsular yaitu mengeluar-kan isi lensa (korteks dan nukleus) melalui kapsul anterior yang dirobek (kapsulo-tomi anterior) dengan meninggalkan kapsul posterior. Tindakan bedah ini pada saat ini dianggap lebih baik karena mengurangi beberapa penyulit (Ilyas, 2011).
1. Extracapsular Catarac Extraction (ECCE) Metode ECCE dilakukan pada lensa yang katarak dimana dilakukan pengeluaran isi lensa dengan memecah atau merobek kapsul lensa anterior (kapsulotomi anterior) sehingga massa lensa dan korteks lensa dapat keluar melalui robekan tersebut kemudian dikeluarkan melalui insisi 9-10 mm, lensa intraokular diletakkan pada kapsul posterior. Tindakan ini dapat dilakukan dengan atau tanpa aspirasi. Termasuk ke dalam golongan ini ekstraksi linear, aspirasi dan irigasi. Pembedahan ini dilakukan pada pasien dengan katarak imatur, kelainan endotel, keratoplasti, implantasi lensa intraokular posterior, implantasi sekunder lensa intraokular, kemungkinan dilakukan bedah glaukoma, predisposisi prolaps vitreous, sebelumnya mata mengatasi ablasi retina dan sitoid makular edema. (Ilyas, 2011) Saat ini ECCE telah menggantikan prosedur ICCE ( Intracapsular Cataract
Extraction ) sebagai jenis bedah katarak yang paling sering. Alasan utamanya adalah bahwa apabila kapsul posterior utuh, ahli bedah dapat memasukkan lensa intraokuler ke dalam kamera okuli posterior. Selain itu terdapat beberapa kelebihan ECCE dibanding ICCE (Khurana, 2007):
ECCE merupakan sebuah operasi universal dan dapat dikerjakan
pada se-mua usia, kecuali jika zonula tidak intak, sedangkan ICCE tidak dapat dikerja-kan pada pasien di bawah usia 40 tahun.
Intra
Ocular
Lens (IOL)
di
kamera
okuli
posterior
dapat
diimplantasikan setelah ECCE, di mana hal ini tidak dapat dikerjakan pada ICCE.
Masalah terkait dengan vitreus postoperatif (seperti herniasi di kamera
okuli anterior, blok pupil dan vitreous touch syndrome ) yang berhubungan dengan ICCE tidak ditemukan setelah ECCE.
Insiden komplikasi postoperatif seperti endoftalmitis, cystoid macular
edema dan retinal detachment lebih jarang terjadi setelah ECCE dibanding setelah ICCE.
Astigmatisme postoperatif lebih jarang terjadi, karena insisi yang
dilakukan lebih kecil.
Komplikasi yang dapat timbul pada pembedahan ini yaitu beberapa pasien mengalami katarak sekunder di kapsul posterior dan memerlukan disisi dengan laser neodymium : ytrium, alumunium, garnet (YAG). Secara umum, teknik ekstraksi katarak ekstrakapsular adalah sebagai berikut (Kanski, 2003) : 1. Sebuah insisi vertikal dibuat di tepi kornea. Kemudian cystotome dimasukkan kedalam kamera okuli anterior dan potongan kecil radial yang multipel dibuat di kapsul anterior hingga 360 o. Metode alternatif untuk melakukan kapsuloto-mi adalah dengan melakukan kapsulotomi d dengan kapsulorhexis yang melibatkan pembuatan lapisan sirkular terkontrol pada kapsul. Setelah terlepas, kapsula anterior diangkat. 2. Insisi dengan ketebalan penuh pada kornea dibuat didengan gunting. 3. Nukleus lensa dikeluarkan dengan tekanan dari atas dan bawah. 4. Ujung dari kanula aspirasi dimasukkan ke dalam kamera anterior dan melewati iris pada arah jam 6. Bagian dari kortek kemudian diaspirasi. Kemudian manuver ini dilakukan beberapa kali hingga seluruh bagian dari korteks dikeluarkan. Hal yang penting adalah untuk tidak mengaspirasi kapsul posterior secara tiba-tiba karena hal ini dapat menyebabkan ruptur, dan pemasangan lensa intraokular pada kamera posterior gagal. Tanda dari ruptur yang mengancam adalah terlihatnya garis tajam saat dilakukan aspirasi. 5. Jika perlu, kapsul posterior dapat dibilas untuk memindahkan segala plak residual subkapsular kecil. Substansi viskoelastik dimasukkan ke dalam kapsular untuk memfasilitasi insersi lensa intraokular. 6. Lensa intraokular kemudian dipegang dengan menggunakan instrumen. 7. Haptik anterior dimasukkan melalui bibir insisi dan kemudian melewati iris pada jam 6. 8. Ujung dari haptik superior kemudian dijepit dengan menggunakan forsep dan dimajukan kedalam kamera anterior. Sementara kutub superior dari haptik memperjelas batas dari pupil, lengan kemudian di pronasikan untuk meyakinkan lepasnya haptik akan kembali kebentuknya di bawah iris dan tidak keluar dari insisi. Lebih disukai lagi bila haptik ditempatkan pada capsular bag dan tidak pada sulkus silier. 9. Lensa intraokular diposisikan horizontal dengan menautkan lubang pemandu dengan kait khusus. 10. Pupil kemudian dikonstriksikan dengan menginjeksikan asetilkolin pada kamera anterior dan kemudian insisi ditutup
Gambar 10. Extracapsular Cataract Extraction (ECCE)
2. Intracapsular Cataract Extraction (ICCE)
Intracapsular Cataract Extraction (ICCE) yang sekarang jarang dilakukan lagi adalah mengangkat lensa in toto, melalui insisi limbus superior 140 hingga 160 derajat. Dapat dilakukan pada zonula zinnii yang telah rapuh atau berdege-nerasi dan mudah diputus. (Ilyas, 2011). Pada ICCE tidak akan terjadi katarak sekunder. Pembedahan ini dilakukan dengan
mempergunakan
mikroskop
dan
pemakaian
alat
khusus
sehingga
penyulitnya tidak banyak. ICCE dikontraindikasikan pada pasien berusia kurang dari 40 tahun yang masih mempunyai ligamen hialoidea kapsular. (Ilyas, 2011). Penyulit yang dapat terjadi pada ICCE antara lain astigmatisme, glaukoma, uveitis, endoftalmitis dan perdarahan. (Ilyas, 2011)
3. Fakoemulsifikasi Fakofragmentasi dan fakoemulsifikasi dengan irigasi atau aspirasi (atau keduanya) adalah teknik ekstrakapsular dengan menggunakan getaran-getaran ultrasonik untuk mengangkat nukleus dan korteks melalui insisi limbus yang kecil (25 mm), sehingga mempermudah penyembuhan luka pasca operasi. Teknik ini bermanfaat pada katarak kongenital dan traumatik. Teknik ini kurang efektif pada katarak senilis yang padat dan keuntungan insisi limbus yang kecil agak berkurang jika dimasukkan lensa intraokuler meskipun sekarang lebih sering digunakan lensa intraokuler fleksibel yang dapat dimasukkan melalui insisi kecil seperti itu. (Vaughan, 2010).
Langkah-langkah
melakukan
fakoemulsifikasi
adalah
sebagai
berikut
(Langston, 2010): 1. Dibuat insisi berukuran antara 1-1,5 mm. 2. Teknik dari kapsulotomi sama seperti pada ekstraksi katarak ekstrakapsular. 3. Insisi diperbesar dan nukleus ditipiskan dari korteks dengan menggunakan
cystitome. 4. Emulsifikasi nukleus melibatkan tiga langkah :
-
Memahat kubah superior dan bagian tengan dari nukleus
-
Memindahkan nukleus dengan memanipulasi instrumen yang dipegang dengan tangan lain
-
Mengemulsifikasi nukleus yang tersisa beberapa kali.
5. Korteks yang tersisa diaspirasi dengan seperti pada ekstraksi katarak ekstrakapsular. 6. Insisi diperbesar bergantung pada tipe dari lensa intraokular yang diimplantasikan. Insisi yang diperlukan lensa ocular yang fleksibel lebih kecil daripada lensa intraokular standar. 7. Operasi diselesaikan sebagaimana ekstraksi katarak ekstrakapsular.
Gambar 11. Fakoemulsifikasi
2.4.10 Prognosis Secara umum, jika tidak ada penyakit mata penyerta sebelum pembedahan, yang mempengaruhi penglihatan secara signifikan seperti degenerasi makula atau atrofi saraf optik, ECCE standar yang berlangsung sukses dan tanpa komplikasi atau fakoemulsifikasi menjanjikan perbaikan visus minimal 2 garis pada kartu Snellen. Penyebab utama dari morbiditas visual postoperatif adalah cystoid macular edema . Faktor resiko utama yang mempengaruhi prognosis visual adalah adanya diabetes mellitus dan retinopati diabetik.
2.4.11 Komunikasi, Informasi dan Edukasi Komunikasi, informasi dan edukasi pada pasien harus termasuk penjelasan lengkap akan resiko potensial dan manfaat dari pembedahan dan anestesi, juga cara penggunaan tetes mata dan salep dan perawatan postoperatif lainnya. (Langston, 2002) Jika digunakan teknik insisi kecil, masa penyembuhan pasca-operasinya biasanya lebih pendek. Pasien dapat bebas rawat jalan pada hari operasi itu juga, tetapi dianjurkan untuk bergerak dengan hati-hati dan menghindari perega-ngan atau mengangkat benda berat selama sekitar satu bulan. Matanya dapat dibalut selama beberapa hari, tetapi kalau matanya terasa nyaman, balutan dapat dibuang pada hari pertama postoperasi dan matanya dilindungi dengan kacamata atau dengan pelindung seharian. Perlindungan pada malam hari dengan pelindung logam diperlukan selama beberapa minggu. Kacamata sementara dapat digunakan beberapa hari setelah operasi, tetapi biasanya pasien melihat dengan cukup baik melalui lensa intraokuler sambil menantikan kacamata permanen (biasanya 4-8 minggu setelah operasi). (Vaughan, 2010).
2.5 Leukoma Adheren Leukoma adheren adalah kekeruhan sikatriks kornea dengan menempelnya iris di dataran belakang (Ilyas,2011). Leukoma adheren merupakan kondisi dimana iris menempel ke kornea yang biasanya terjadi pada ulkus kornea (bisa disebabkan oleh infeksi, autoimun atau penanganan yang buruk terhadap kasus yang ringan) dan luka k ornea. Keluhan pasien umumnya adalah penurunan penglihatan, kekeruhan pada mata atau beberapa komplikasi yang menyertai yaitu astigmatisma, ectasia, glaucoma. Leukoma adheren yang tidak diterapi dengan baik dapat menyebabkan kebutaan total (Leena, 2010).
2.6 Herpes Zoster Ophthalmicus 2.6.1 Patogenesis Infeksi virus varicella-zoster (VZV) terjadi dalam dua bentuk primer (varicella) dan rekurens (herpes zoster). Pada varicella jarang terjadi manifestasi pada mata sedangkan
pada zoster oftalmik sering. Setelah serangan awal dari varicella, virus berjalan ke dorsal root dan ganglia sensoris nervus cranialis dan menjadi dormant selama bertahun-tahun. Dari sini, virus tersebut dapat tereaktivasi menjadi herpes zoster rekuren (Vaughn, 2010). Keratitis VZV mengenai stroma dan uvea anterior sejak awal. Kekeruhan stroma disebabkan oleh edema dan infiltrasi sel ringan yang pada awalnya hanya subepitelial. Keadaan ini dapat diikuti penyakit stroma dalam, disertai nekrosis, dan vaskularisasi. Kehilangan sensasi kornea dengagan risiko keratitis neurotropik merupakan ciri mencolok dan sering menetap berbulan-bulan setelah lesi kornea sembuh. Uveitis yang timbul cenderung menetap selama beberapa miggu sampai bulan tetapi akhirnya sembuh. Skleritis dapat menjadi masalah berat pada penyakit VZV mata (Kanski, 2003). Mekanisme Keterlibatan Okular (Kanski, 2003): 1. Invasi virus langsung yang dapat menyebabkan keratitis epitelial dan konjunctivitis. 2. Inflamasi sekunder dan vaskulitis oklusi dapat menyebabkan episcleritis, scleritis, keratitis dan uveitis. Inflamasi dan kerusakan dari saraf perifer atau ganglia sentral dapat menyebabkan neuralgia post herpatic. 3. Reactivation dapat menyebabkan nekrosis dan inflamasi di ganglion sensoris yang terkena yang menyebabkan anaesthesia kornea dan dapat menyebabkan keratitis neurotropic. Faktor Risiko Keterlibatan Okular (Kanski, 2003): 1. Tanda Hutchinson menjelaskan keterlibatan saraf nasal eksternal yang mensuplai tepi ujung dan akar hidung. Berkorelasi secara signifikan terhadap berkembangnya inflamasi ocular dan diinervasi kornea karena merupakan cabang akhir dari saraf nasociliary. Keterlibatan mata dapat terjadi saat penyakit mengenai saraf maksilar. 2. Umur, HZO terjadi paling sering pada decade 6 dan 7. 3. AIDS, pasien dengan AIDS cenderung memiliki gejala yang lebih parah.
2.6.2 Manifestasi Klinis (Kanski, 2003): 1. Acute HZO -Keratitis epithelial akut -Konjuctivitis -Episkleritis
-Scleritis -Keratitis nummular -Keratitis stromal -Keratitis disciform -Uveitis anterior -Komplikasi neurologis 2. Kronik HZO -Lid scarring -Lipid filled granulomata -Scleritis -Mucous plaque keratitis -Keratitis neurotrophic -Degeneration lipid
2.6.3 Terapi HZO Acyclovir oral 800mg lima kali sehari selama 10-14 hari Valacyclovir 1 gram tiga kali sehari selama 7-10 hari Famiciclovir 500 mg per 8 jam selama 7- 10 hari Terapi hendaknya dimulai 72 jam setelah timbulnya kemerahan.
BAB 3 LAPORAN KASUS
3.1. Identitas Nama
: Tn. Madi
Register
: 11059445
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Usia
: 69 tahun
Alamat
: Sukoanyar RT 14 RW 03 Mulyorejo, Ngantang
Agama
: Islam
Pekerjaan
:-
3.2. Anamnesa (Autoanamnesis) Keluhan utama : mata kabur Pasien mengeluh mata kabur sejak 3 bulan yang lalu. Mata terasa kabur secara perlahan-lahan. Riwayat merah (+), nrocoh (+), ngganjel (+), sekret (-), cekot-cekot (+) selama 3 bulan. Sebelumnya pasien menderita herpes zooster pada wajah sebelah kanan 6 bulan yang lalu. Sejak terkena herpes pasien mengeluhkan mata merah dan mulai kabur. Riwayat penyakit dahulu : pasien pernah menderita herpes zooster pada wajah sebelah kanan. Riwayat keluarga: Tidak ada keluarga yang mempunyai penyakit yang serupa (katarak) Riwayat pengobatan: pasien pernah periksa ke dokter mata dan diberi 3 macam obat tetes mata.
3.3. Pemeriksaan Fisik
Status Oftalmologi Tanggal Pemeriksaan
: 30 Agustus 2012
Oculi Dextra orthopori
Oculi Sinistra Posisi Bola Mata
orthopori
(orthophoria) Gerak Bola Mata
LP (+)
Visus
4/60
spasme ( –), edema ( –)
Palpebra
spasme ( –), edema ( –)
CI (+), PCI (+) min
Conjungtiva
CI ( –), PCI ( –)
Leukoma adherent at
Cornea
Jernih
Dangkal
COA
Dalam
Synekia posterior (+)
Iris
rad. line (+)
Not round, RP (-)
Pupil
Round, RP (+)
keruh rata
Lensa
Keruh tidak rata
5/5,5
TIO
7/5,5
paracentral, FL (+) at leukoma
Diagnosa OD Leukoma adherent post HZO + katarak matur
OS Katarak matur
Rencana Terapi Protogent A 8dd1 OD Lubrient 4dd1 OD Tobromicyn ed 8dd1 OD Noncort 6dd1 OD
Rencana Monitoring
Visus
Pemeriksaan segmen anterior
Funduskopi
KIE
Pengertian leukoma adherent dan katarak matur
Penanganan pada leukoma adheren dan katarak matur
Komplikasi yang bisa terjadi pada leukoma adherent dan katarak matur
Prognosis leukoma adheren dan katarak matur
Prognosis
Visam : dubia ad bonam
BAB IV PEMBAHASAN Katarak senilis adalah semua kekeruhan lensa yang terdapat pada usia lanjut yaitu usia di atas 50 tahun. Katarak senilis adalah jenis katarak yang paling sering dijumpai dan merupakan penyebab utama kebutaan di dunia saat ini. Katarak stadium matur ditandai dengan kekeruhan yang telah mengenai seluruh lensa. Pada makalah ini dilaporkan kasus Tn. Madi, usia 69 tahun, pasien mengeluh mata kabur sejak 3 bulan yang lalu. Mata terasa kabur secara perlahan-lahan. Riwayat merah (+), nrocoh (+), ngganjel (+), sekret (-), cekotcekot (+) selama 3 bulan. Sebelumnya pasien menderita herpes zooster pada wajah sebelah kanan 6 bulan yang lalu. Sejak terkena herpes pasien mengeluhkan mata merah dan mulai kabur. Riwayat keluarga (-), riwayat trauma (-), riwayat penyakit sistemik (-), riwayat pengobatan: pasien pernah periksa ke dokter mata dan diberi 3 macam obat tetes mata. Dari hasil pemeriksaan fisik terhadap pasien didapatkan pada mata kiri visus 4/60, lensa keruh tidak rata, pupil round, dan reflex pupil (+). Tidak didapatkan kelainan pada palpebra, konjungtiva, kornea, COA, iris dan tekanan intra okuler mata kiri. Sedangkan dari pemeriksaan fisik mata kanan didapatkan visus LP (+ ), lensa keruh rata, konjungtiva PCI (+) dan CI (+), kornea terdapat leukoma adherent at paracentral, FL (+) at leukoma, neovaskularisasi (+), synekia posterior (+), pupil not round, RP (-), midriatik, COA dangkal. Tidak didapatkan kelainan pada palpebra dan tekanan intra okuler mata kanan.. Dari hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik terhadap pasien disimpulkan diagnosa kerja OS katarak matur dan OD katarak matur dan leukoma adherent dengan alasan didapatkan penurunan visus secara bertahap, kekeruhan lensa pada seluruh lensa dan leukokoria pada mata kanan serta tampak adanya leukoma adherent pada paracentral. Penurunan visus bertahap kemungkinan terjadi karena gangguan pada proses akomodasi lensa yang mengalami katarak dan perubahan daya biasnya akibat hilangnya transparasi lensa. Epitel lensa dipercaya mengalami perubahan karena usianya, khususnya dalam hal berkurangnya densitas sel epitel lensa dan diferensiasi yang menyimpang dari serat lensa. Lensa yang keruh dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa atau terjadi akibat kedua-duanya. Fundus refleks sulit dilihat atau sama sekali tidak dapat dilihat dikarenakan terdapatnya lensa yang keruh yang dapat menghalangi saat dilakukan pemeriksaan funduskopi. Biasanya pada pasien katarak akan didapatkan keluhan silau karena ketika pasien melihat sumber cahaya terjadi difusi dari warna putih yang terang dan cahaya warna lain di sekitarnya secara drastis mampu mengurangi ketajaman visual, efeknya sama dengan ketika melihat cahaya mobil dari kaca
yang kotor, namun pada pasien tidak didapatkan keluhan silau kemungkinan karena beberapa pasien masih mampu mentolerir hal t ersebut. Leukoma adherent pada pasien ini bisa disebabkan oleh herpes zoster yang dialami oleh pasien pada 6 bulan lalu yang mengenai wajah sebelah kanan. Penyebaran infeksi ini dapat mengenai kornea yang pada akhirnya dapat menimbulkan jaringan parut pada kornea. Jaringan parut yang ditimbulkan berupa leukoma. Katarak hanya dapat diatasi melalui prosedur operasi. Operasi dilakukan apabila tajam penglihatan sudah menurun sedemikian rupa sehingga mengganggu pekerjaan sehari-hari. Akan tetapi jika gejala katarak tidak mengganggu, tindakan operasi tidak diperlukan. Kadang kala cukup dengan mengganti kacamata. Hingga saat ini belum ada obat-obatan,
makanan,
atau
kegiatan
olah
raga
yang
dapat
menghindari
atau
menyembuhkan seseorang dari gangguan katarak. Indikasi utama tindakan operasi pada pasien ini adalah perbaikan visus. Pada pasien, belum dilakukan terapi operasi katarak. Hal ini disebabkan karena mata kanan pasien masih mengalami proses inflamasi (CI +, PCI+) dan didapatkan leukoma. Sehingga, penatalaksanaan sementara untuk pasien ini adalah terapi antibiotik, NSAID, artificial tears dan vitamin A. Ekstraksi katarak yang dapat dipilih untuk pasien ini adalah ekstraksi katarak ekstraokuler (ECCE) dengan alasan bila dibandingkan dengan ekstraksi katarak intrakapsular (ICCE), ECCE dapat dilakukan pada semua usia, kecuali ketika zonula Zinniinya tidak intak. Lensa intraokular posterior dapat diimplantasikan setelah ECCE, sementara pada ICCE tidak. Komplikasi postoperatif yang berhubungan dengan vitreus (seperti herniasi pada kamera okuli anterior, blok pupil dan
Vitreus Touch
Syndrome ), ablasi retina dan edema makula sistoid lebih kecil pada ECCE. Selain itu insiden terjadinya astigmatisme postoperatif berkurang karena lebih kecilnya insisi. Pada pasien in tidak dipilih penggunaan kacamata afakia karena kerugian yang ditimbulkannya seperti pembesaran bayangan, aberasi sferik, lapang pandang terbatas dan tidak ada kemungkinan menggunakan lensa binokuler bila mata lainnya fakik. Juga tidak dipilih penggunaan lensa kontak, karena banyak pasien lanjut usia tidak dapat menerima atau memasangnya dengan mudah. Lensa intraokuler diimplantasikan di kamera okuli posterior karena insiden komplikasinya lebih kecil, seperti hifema, glaukoma sekunder, blok pupil, kerusakan endotel kornea dan keratopati bulosa pseudofakik.
BAB 5 PENUTUP 5.1 Kesimpulan 1.
Katarak adalah keadaan kekeruhan pada lensa yang menyebabkan gangguan pada penglihatan. Katarak senilis adalah semua kekeruhan lensa yang terdapat pada usia lanjut yaitu usia di atas 50 tahun. Katarak senilis pada prinsipnya merupakan proses penuaan. Katarak stadium matur ditandai dengan kekeruhan yang telah mengenai seluruh lensa.
2.
Patofisiologi katarak senilis kompleks dan belum sepenuhnya dimengerti. Banyak mekanisme yang berpengaruh terhadap hilangnya transparansi lensa, diduga berhubungan dengan perubahan epitel lensa karena usia.
3.
Penegakan diagnosa katarak senilis berdasarkan anamnesis (penurunan visus, silau, perubahan persepsi warna, distorsi, bercak gelap di mata, halo), pemeriksaan fisik (berkurangnya ketajaman visual, opasifitas lentikular, leukokoria, i ris shadow ) dan pemeriksaan penunjang (oftalmoskopi, slitlamp biomicroscopy, USG A-scan dan B-scan, biometri).
4.
Penatalaksanaan katarak senilis meliputi terapi operatif dengan indikasi dan kontraindikasi masing-masing. Katarak hanya dapat diatasi melalui prosedur operasi.
5.
Leukoma adheren adalah kekeruhan sikatriks kornea dengan menempelnya iris di dataran belakang.
6.
Dari semua data yang ada, meliputi data anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang yang mendukung dari pasien ini, maka dapat diperoleh suatu kesimpulan bahwa pasien ini menderita penyakit katarak matur dengan leukoma adherent pada mata sebelah kanan dan katarak matur mata kiri. Katarak mature ini disebabkan karena usia tua. Dan pada mata kanan katarak mature akan direncanakan terapi pembedahan yaitu ekstraksi katarak ekstraokuler (ECCE). Penatalaksanaan sementara untuk pasien ini adalah terapi antibiotik, NSAID, artificial tears dan vitamin A.
2. Saran 1.Perlu dikembangkan penelitian lebih lanjut tentang pencegahan penyakit katarak senilis stadium matur dengan modifikasi faktor-faktor resiko 2.Perlu penelitian lebih lanjut tentang medikamentosa dalam preventif maupun kuratif katarak senilis stadium matur dan leukoma adherent
Kasus Panjang
KATARAK SENILIS STADIUM MATUR DAN LEUKOMA ADHEREN
oleh : Anantika Putri (0810713004) Armaylies Nurmalita Sari (0810713052) Yunita Hermayanti (0810713090)
Pembimbing : dr. Retnaniadi Supriyadi, SpM (K) LABORATORIUM ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA RUMAH SAKIT UMUM Dr. SAIFUL ANWAR MALANG 2012