JURNAL READING RESPON ERITROPOIETIK DAN EFEKNYA PADA PENYAKIT GINJAL DAN DIABETES TIPE 2
Disusun oleh: Udtiek Muncar Praevia 012096039
Pembimbing: dr. Rahmi Dewi, SpPD
KEPANITERAAN KLINIK ILMU ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG RSUD DR. ADHYATMA TUGUREJO SEMARANG 2013
HALAMAN PENGESAHAN
JURNAL READING RESPON ERITROPOIETIK DAN EFEKNYA PADA PENYAKIT GINJAL DAN DIABETES TIPE 2
Disusun oleh: Udtiek Muncar Praevia 012096039
Telah dipresentasikan pada tanggal November 2012
Pembimbing : dr. Rahmi Dewi, SpPD
RESPON ERITROPOIETIK DAN EFEKNYA PADA PENYAKIT GINJAL DAN DIABETES TIPE 2 ABSTRAK
LATAR BELAKANG
Percobaan tanpa control pemberian placebo dengan agen penstimulasi eritropoisis (APE) membandingkan target hemoglobin yang lebih rendah dan lebih tinggi pada pasien dengan penyakit ginjal kronik mengindikasikan target pada hemoglobin yang lebih rendah dapat menghindarkan resiko yang berhubungan dengan APE. Strategi berdasarkan target dikacaukan oleh respon hematopoitik individual pasien. METODE
Kami memeriksa hubungan antara respon awal hemoglobin pada darbepoetin alfa setelah dua dosis bedasar berat badan, level hemoglobin tercapai setelah 4 minggu, dosis lanjutan dosis darbepoetin alfa dan hasilnya pada 1872 pasien dengan penyakit ginjal kronis dan DM tipe 2 yang tidak menjalani dialisa. Kami menetapkan respon inisial yang jelek pada darbepoetin alfa (yang terjadi pada 471 pasien) sebagai kuartil terendah pada perubahan level hemoglobin (<2%) setelah dua pemberian pertama dosis standar obat. HASIL
Pasien yang mempunyai respon inisial yang jelek pada darbepoetin alfa memiliki rata-rata level hemoglobin yang lebih rendah dan saat follow-up pada pasien dengan respon hemoglobin yang baik (perubahan level hemoglobin antara 2-15% atau lebih) (p< 0,001 untuk kedua perbandingan), meskipun menerima dosis darbepoetin alfa yang lebih tinggi (dosis median 232 µg vs 167 µg; p<0,001). Pasien dengan respon jelek dibandingkan dengan respon baik, memiliki tingkat komposit titik akhir kardiovaskuler yang lebih tinggi (rasio bahaya yang disesuaikan, 1.31; 95% interval kepercayaan (IK) 1.09 – 1,59) atau kematian ( rasio bahaya yang disesuaikan, 1.41; 95% IK, 1.12-1.78).
KESIMPULAN
Respon inisial hematopoitik yang jelek terhadap darbepoetin alfa berhubungan dengan peningkatan resiko berkelanjutan seperti kematian atau penyakit kardiovaskuler dimana dosis ditingkatkan untuk mencapai level hemoglobin. Walaupun mekanisme efek yang berlainan ini belum diketahui, penemuan ini mengundang ketertarikan tentang strategi berdasar target saat ini untuk mengatasi anemia pada pasien dengan penyakit ginjal kronis.
Agen penstimulasi eritropoisis (APE) telah dipercaya untuk mengurangi kebutuhan transfusi darah merah dan memperbaiki kualitas hidup pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir yang memiliki anemia berat. Pada pasien dengan penyakit ginjal kronis yang tidak menjalani dialysis dan memiliki anemia sedang, APE tetap member efek, walau bukti manfaat yang sedikit dan peningkatan ketertarikann bahwa agen ini dapat membahayakan. Percobaan dengan membandingkan hemoglobin target level hemoglobin yang lebih rendah dan lebih tinggi telah diintepretasikan bahwa target pada tingkat hemoglobin yang lebih rendah lebih aman pada pasien ini, menurut rekomendassi untuk penggunaan berulang APE pada pasien dengan penyakit ginjal kronis yang tidak menjalani dialysis tapi dengan target hemoglobin yang lebih rendah. Walaupun anemia telah dihubungkan dengan peningkatan kematian dan komplikasi pada pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani dialisis dan yang tidak menjalani dialysis, penurunan respon hematopoitik pada APE juga telah dihubungkan dengan peningkatan resiko efek samping. Pada pasien yang menjalani dialysis, resiko kematian menunjukkan berhubungan terbalik dengan respon baik terhadap APE. Sayangnya, data seperti itu telah dikacaukan oleh fakta bahwa pasien dengan respon jelek terhadap penerimaan APE meningkatkan dosis obat oleh dosis target buatan. Pada percobaan yang telah dilaporkan pada Penurunan Kejadian Krdiovaskular dengan Aranesp Therapy (TREAT), kami memeriksa efek darbepoetin alfa (Aranesp, Amgen) pada pasien anemia, diabetes dan penyakit ginjal kronis yang tidak menjalani dialysis. Kami menemukan tidak ada penurunan resiko kardiovaskular atau ginjal atau kematian pada pasien yang menerima darbepoetin alfa dibandingkan dengan yang menerima placebo, namun kami menemukan setidaknya dua kali lipat resiko stroke. Kami menggunakan data tersebut untuk memeriksa hubungan antara respon terhadap APE, tercapainya level hemoglobin dan hasilnya pada pasien dengan penyakit ginjal kronis dan diabetes tipe 2.
METODE
Desain studi dan pasien
Studi pada TREAT dirandomisasi, double blind, percobaan dengan placebo dilakukan pada 623 tempat di 24 negara dari 25 Agustus 2004 hingga 28 Maret 2009. Pasien yang termasuk dalam percobaan memiliki DM tipe 2 dan penyakit ginjal kronis (ditetapkan sebagai estimasi Laju Filtrasi Ginjal [LFG] 20-60 ml per menit per 1.73 m2 area permukaan tubuh) dan anemia (ditetapkan level hemoglobin ≤ 11.0 g per desiliter) dan tidak menjalani dialysis. Criteria inklusi dan ekslusi dan hasil keseluruhan telah dilaporkan sebelumnya. Ulasan institusional atau komite etik pada setiap tempat menerima perjanjian.penelitian ini dilakukan sesuai dengan protocol yang sebagaimana telah diubah. Seluruh pasien dimintai inform konsen tertulis. Pasien secara acak diberi darbepoetin alfa subkutan atau placebo. Dosis inisial darbepoetin alfa adalah 0.75 µg per kilogram berat badan dan diulang setelah 2 minggu bila nilai hemoglobin tidak melebihi 14 g/dc. Alat point of care digunakan untuk memonitor level hemoglobin dan setelah 1 bulan, alogaritma computer digunakan untuk menetapkan dosis selanjutnya untuk mencapai dan mempertahankan level hemoglobin sekitar 13.0 g/dc pada kelompok yang diberi darbepoetin alfa, dengan pengobatan yang ditetapkan setiap 2 minggu hingga level hemoglobin tercapai lalu penambahan dosis lanjutan tiap bulannya. Pasien pada kelompok placebo menerima injeksi placebo kecuali bila kadar hemoglobin mereka dibawah 9.0 g/dc, diberikan terapi darbepoetin alfa hingga level hemoglobin mencapai 9.0 g/dc. Untuk analisis ini, kami membagi kelompok pasien yang diberi darbepoetin alfa pada kuartil pada dasar perubahan presentase level hemoglobin setelah 4 minggu pertama terapi (setelah pemberian dua dosis darbopoetin alfa berdasar berat badan). diantara 4038 pasien yang diacak (2012 pada grup darbopoetin alfa dan 2026 pda grup plasebo), kami mengeksklusi pasien yang tidak menerima dua
dosis pertama saat periode ini (60 pada kelompok darbopoetin alfa dan 63 pada kelompok plasebo), yang mengalami komplikasi kardiovaskular (masing-masing 12 dan 25) dan yang mengalami perubahan level hemoglobin setelah 4 minggu yang tidak diketahui (masing-masing 68 dan 49). sisanya, 1872 pasien kelompok darbopoetin alfa dan 1889 kelompok plasebo yang menerrima dua dosis pertama, yang tidak memiliki efek klinis dan dilakukan pengukuraan hemoglobin setelah 4 minggu. Definisi Respon Jelek
pasien dengan perubahan kuartil terjelek pada level hemoglobin (<2%) pada kelompok darbopoetin alfa setelah bulan pertama dianggap memiliki respon yang jelek, dibandingkan yang pada kuartil tiga teratas perubahan level hemoglobin (215% atau lebih). Pada tiap kuartil, kami menilai level hemoglobin rata-rata pada 12 minggu (fase awal) dan dosis rata-rata darbopoetin alfa yang pasien terima tepat sebelum minggu ke 12, seperti level hemoglobin rata-rata pada fase akhir (setelah 12 minggu) dan dosis rata-rata darbopoetin alfa yang diterima setelah 12 minggu. Pengukuran Hasil
Titik akhir analisis diputuskan dengan komite titik akhir klinis mandiri yang yang anggotannyya tidak mengetahui bagaimana cara kerjanya, dosis darbepoetin alfa dan nilai hemoglobin atau hematokrit. Titik akhir ini termasuk kematian karena berbagai sebab, titik akhir komplikasi kematian akibat kardiovaskular karena berbagai hal atau kejadian kardiovaskular (infark miokard nonfatal, gagal jantung kongestif, stroke atau miokard iskemia) dan stroke yang fatal maupun yang tidak fatal. Kami juga membandingkan perbedaan dari paduan selama 25 minggu antara pasien dengan respon jelek dan respon baik,menggunakan dasar keluaran pasien yang dilaporkan, nilai di Penilaian Fungsional Terapi Kanker (FACT)- Skala Kelelahan ( antara 0 sampai 52, dengan skor yang lebih tinggi mengindikasikan kelelahan yang kurang).
Kesalahan Studi
Studi dirancang oleh komite pengatur akademik yang berhubungan dengan sponsor, Amgen. Sponsor tidak terlibat dalam analisis awal data tapi secara berkelanjutan memeriksa hasilnya. Rancangan awal manuskrip ditulis oleh pemimpin penulis akademik dan diedit oleh semua pembantu penulis yang menjamin
kelengkapan
dan
keakuratan
dara
dan
analisis.
Keputusan
mempublikasikan manuskrip dibuat oleh penulis akademik.
Analisis Statistik
Kami memeriksa perbandingan antar respon kuartil grup untuk karakter acuan menggunakan kruskal-wallis untuk variable yang berkelanjutan dan chi square untuk variable kategoris. Kami memeriksa perbedaan level hemoglobin antar kelompok dengan t-test dan membandingkan dosis darbepoetin alfa yang diterima dimana yang tidak terdistribusi normal akan di tes dengan wilcoxon. Tingkat efek untuk seluruh titik akhir ditentukan untuk tiap kuartil respon hemoglobin dan perbandingan pada kelompok placebo. Kami menggunakan desain kohort perspekrif dalam kelompok darbepoetin alfa untuk membandingkan resiko pada pasien yang memiliki respon awal hemoglobin yang jelek dengan sisanya pasien di kelompok model sebanding Cox, dengan kesesuaian 12 acuan kovariat, termasuk usia, jenis kelamin, ras,riwayat penyakit kardiovaskular, rasio protein kreatinin, LFG, level albumin, riwayat aritmia, level glikasi hemoglobin, level hemoglobin, riwayat neuropati diabetic dan level protein C reaktif (PCR). Kami menetapkan apakah kovariat acuan dapat memperjelas respon jelek dengan memeriksa nilai prediksi 92 acuan kovariat dan memeriksa nilai incremental pengukuran langsung respon hemoglobin pada keluaran terprediksi. Nilai disajikan sebagai rata-rata kecuali dinyatakan. Level dua sisi yang signifikan dari 0,05 digunakan untuk seluruh analisis dan nilai p untuk perbedaan karakteristik acuan tidak disesuaikan dengan multiplisitas.
HASIL
Pasien
Perubahan presentase pada level hemoglobin sebagai respon dua dosis darbepoetin alfa sesuai berat badan pertama tidak secara normal didistribusikan. Pasien pada kuartil terendah respon hemoglobin pada dua dosis awal darbepoetin alfa berdasar berat badan memiliki menurunan median level hemoglobin 0.2 g/dc (range interkuartil, -0.7 sampai 0.0) dan dianggap memiliki respon awal yang jelek. Pasien dengan respon awal yang jelek banyak terjadi pada wanita, memiliki riwayat penyakit kardiovaskuler, mendapatkan terapi antagonis aldosteron dan memiliki level potassium serum yang rendah dan memiliko level PCR yang tinggi daripada pasien dengan respon yang lebih baik. Level saturasi feritin dan transferin lebih rendah pada pasien dengan respon awal yang jelek. Pada pasien ini, merokok tidak terlalu berpengaruh dan indeks massa tubuh sedikit lebih tinggi daripada pada pasien dengan respon awal yang baik. Penentu lain yang penting sama diantara kuartil-kuartil. Hemoglobin pada 12 Minggu
Pada pasien yang diberi darbepoetin alfa, dosis yang diterima selama 5 sampai 12 minggu secara terbalik berhubungan pada peningkatan level hemoglobin selama 4 minggu pertama (p<0.001). Setelah dua peluang peningkatan dosis potensial, ratarata level hemoglobin tercapai pada 12 minggu masih lebih rendah diantara pasien dengan respon awal yang jelek (p<0.001). Demikian pula, dosis bulanan rata-rata darbepoetin alfa setelah 12 minggu dan sepanjang sisa percobaan secara berkelanjutan lebih tinggi diantara pasien dengan respon awal yang jelek (dosis median, 232 µg; range interkuartil, 126 sampai 390) daripada diantara yang memiliki respon awal yang baik (167 µg; range interkuartil, 95 sampai 310; p<0.001). Level hemoglobin rata-rata setelah 12 minggu tetap lebih rendah pada pasien dengan respon awal yang buruk dari pada pada yang mempunyai respon awal yang baik (12.2±0.9 vs 12.4±0.7, p<0.001). Tidak ada perbedaan signifikan antara pemberian besi intravena pada acuan, prosentasi pasien yang menerima
besi intravena selama 12 minggu pertama terapi atau selama percobaan, waktu penggunaan besi intravena atau jumlah besi intravena yang diberikan. Prosentasi pasien yang menerima transfuse darah merah tidak membedakan antara kedua kelompok. Respon terhadap APE dan Hasil
Pasien dengan respon awal jelek memiliki tingkat kematian karena komplikasi kardiovaskuler dan kematian karena sebab apapun daripada pasien dengan respon yang baik. Pada model dengan variable beragam disesuaikan dengan 12 acuan kovariat berhubungan dengan hasil, pasien dengan sepon awal yang jelek lebih beresiko terkena penyakit kardiovaskuler (rasio bahaya, 1.31; 95% intervak kepercayaan [IK]], 1.09 sampai 1.59) dan kematian (rasio bahaya, 1.41; 95% IK, 1.12 sampai 1.78) selama perlakuan daripada pada pasien dengan respon yang baik. Pasien dengan respon awal yang jelek memiliki peningkatan hemoglobin yang paling lambat selama periode ini dan tingkat keseluruhan peningkatan hemoglobin selama 12 minggu pertama secara terbalik berhubungan dengan efek hasil. Sebagai perbandingan, tingkat kejadian komplikasi kardiovaskuler dan kematian karena bebagai sebab juga lebih tinggi pada pasien dengan respon awal yang jelek daripada pasien pada kelompok placebo, tapi tingkat efek pasien dengan respon yang lebih baik sama seoerti pasien yang diberi placebo. Kebalikannya, efek stroke sama pada kedua kelompok respon tapi lebih tinggi pada kedua kelompok dibandingkan kelompok placebo. Tidak ada perbedaan yang signifikan pada perubahan FACT-skor kelelahan pada 25 minggu diantara pasien dengan respon yang jelek dan respon yang baik (4.2±10.8 vs 4.3±10.6, P=0,86). Kemampuan
untuk
menggabungkan
memprediksi
respon
awal
yang
jelek
dari
model
92 karakter acuan yang terbatas. Ukuran langsung terhadap
respon awal yang jelek menyediakan nilai incremental dibandingkan kovariat acuan pada prediksi hasil, dengan perbaikan model prediksi untuk hasil
komplikasi kardiovaskuler 7% (95% IK, 2 sampai 11) dan perbaikan model prediksi untuk kematian 7% (95% IK, 2 sampai 12). DISKUSI
Respon hemoglobin yang jelek pada dua dosis berdasarkan berat badan pertama darbepoetin alfa selama minggu keempat pertama terapi dihubungkan dengan peningkatan yang berkelanjutan dari efek kardiovaskular dan kematian karena berbagai sebab. Kemudian, pasien dengan dengan respon awal yang jelek menurut protocol menerima dosis darbepoetin alfa yang lebih t inggi melalui percobaan dan memiliki nilai hemoglobin yang lebih rendah dari pasien yang memiliki respon awal yang baik. Pasien dengan respon awal yang jelek memiliki efek berkelanjutan yang lebih tinggi dari yang memiliki respon awal yang baik dan dari kelompok placebo. Data ini memperdalam observasi sebelumnya mengenai nilai prognosis dari respon awal APE yang jelek pada beberapa jalur. Pertama, definisi kami terhadap respon awal yang jelek berdasarkan dosis tetap APE berdasar berat badan pada pasien yang tidak menerima terapi APE pada saat pengacakan, dimana pada studi sebelumnya termasuk studi hematokrit, responnya diperiksa berdasar dosis dasar yang telah ditentukan berdasar respon pasien terhadap obat sebelumnya. Pemakaian dosis tetap berdasarkan berat badan sebagai respon definisi operasional menghindarkan bias pada respon sebelumnya, dimana dosis APE secara progresif meningkat mencapai level hemoglobin target. Kedua, kebanyakan data respon APE muncul dari populasi dialysis. Studi kami meluas pada pasien dengan penyakit ginjal kronis yang tidak menjalani dialysis. Akhirnya, studi ini mempunyai follow-up jangka panjang, hal penting yang perlu disadari untuk pengobatan adalah digunakan tanpa batas waktu setalah dimula dan termasuk titik akhir yang diputuskan selain kematian. Definisi operasional kami terhadap respon awal yang jelek didukng oleh perubahan yang terdistribusi normal pada hemoglobin selama periode awal dan oleh analisis sensitive yang menunjukkan
adanya ambang efek dari 20 sampai 30%. Definisi simple ini tidak membutuhkan asumsi utama tentang titik potong respon. Sejumlah factor dapat berkontribusi untuk memperluas respon hematopoitik pada APE. Defisiensi besi absolute atau fungsional dapat berhubungan dengan perdarahan, penurunan absorpsi besi atau pelepasan besi yang terganggu. Kami mengobservasi saturasi transferin dan level feritin yang rendah pada pasien yang memiliki respon awal yang jelek dari pada yang memiliki respon awal yang baik dengan substansi tumpang tindih antar kelompok dan tidak memiliki perbedaan yang signifikan antar kelompok dalam banyaknya proporsi pasien menerima besi intravena dan jumlah besi intravena yang diterima. Resistensi terhadap terapi APE dapat terjadi pada pasien dengan malnutrisi, kekurangan folat atau vitamin B12, hiperparatiroid, hemolisis, hemoglobinopati atau kerusakan primer sumsum t ulang (aplasia sel darah merah murni) atau respon pada obat tertentu. Hubungan yang lemah antara respon awal yang jelek dan level protein-C reaktif menyatakan factor inflamasi berkontribusi pada respon awal yang jelek. Kami tidak mengobservasi perbedaan level platelet dasar pada pasien dengan respon awal yang buruk seperti yang telah terlihat pada pasien yang menjalani dialisis. Analisis tambahan dibutuhkan untuk menentukan mekanisme respon kurang yang spesifik pada pasien di studi kami. Seperti yang terlihat bahwa respon awal yang jelek terhadap pengobatan APE pada populasi ini mewakili marker untuk keparahan penyakit. Namun, kemampuan kami untuk memprediksi respon awal yang jelek dari karakteristik acuan terbatas, menyarankan pengukuran acuan yang tersedia tidak secara lengkap menunjukkan factor yang berkontribusi terhadap respon awal yang jelek. Pengukuran respon hemoglobin menunjukkan nilai incremental pada menebak hasil diatas pengukuran acuan dasar, menunjukkan bahwa pengukuran sederhana ini dapat memiliki nilai klinis. Pencapaian berdasar target dalam studi kami menurut strategi berdasar target yang telah secara klinis digunakan untuk mengobati anemia pada pasien dengan
penyakit ginjal kronis yang mengalami penurunan respon awal, dengan dosis darbepoetin alfa yang lebih tinggi digunakan untuk mencapai level hemoglobin. Walaupun pasien dengan respon awal yang paling jelek menerima dosis rata-rata tertinggi darbepoetin alfa dan memiliki tingkat efek yang tertinggi, ini tidak mungkin dengan data yang ada untuk menentukan apakah peningkatan resiko ini adalah karena peningkatan dosis. Pada dasar data ini, potensi penggunaan dosis percobaan APE dapat menjadi strategi yang masuk akal pada percobaan selanjutnya. Sebagai catatan, peningkatan level hemoglobin tidak berhubungan dengan resiko yang lebih besar, masalah yang muncul sebelumnya. Tentu saja, pasien dengan peningkatan hemoglobin terbanyak selama awal bulan terapi memiliki resiko efek terendah. Percobaan acak sebelumnya terhadap APE menguji berbagai target hemoglobin menyatakan bahwa target yang lebih tinggi (> 13.5 g/dc) dihubungakn dengan peningkatan efek kardiovaskular , dibandingkan pada target uang lebih rendah lebih aman, dimana mengambil dari acuan pengobatan untuk anemia yang direkomendasikan yaitu < 13 g/dc. Kami menemukan bahwa respon yang panjang terhadap darbepoetin alfa bervariasi, meski sebuah target hemoglobin pada kelompok pengobatan; kurangnya respond an tidak tercapinya level hemoglobin dihubungkan dengan resiko yang paling tinggi. Sejak kebanyakan pasien resiko tinggi dengan respon awal yang jelek memiliki level hemoglobin dalam batas target acuan (< 12.5 g/dc), data ini memunculkan pertanyaan apakah target hemoglobin yang rendah dapat mengurangi resiko potensial te rhadap APE. Kekurangan studi kami adalah ketidakmampuan untuk menentukan apakah terapi dengan darbepoetin alfa memberikan resiko yang lebih besar pada pasien dengan respon awal yang jelek atau sebaliknya apakah pasien dengan respon baik mendapat
manfaat
dari
obat
ini.
Kami
tidak
dapat
secara
langsung
membandingkan resiko antara pasien dengan respon awal yang jelek pada kelompok pengobatan adan sama juga pada pasien pada kelompok placebo, sejak kami tidak dapat menentukan pasien mana pada kelompok placebo yang akan memiliki respon awal yang jelek. Kami juga tidak dapat menentukan apakah
peningkatan resiko diamati pada pasien dengan respon awal yang jelek adalah karena factor intrinsik yang menunjukkan keparahan penyakit, subjek bias yang tak diketahui, hingga peningkatan dosis darbepoetin alfa yang diterima atau kombinasi factor-faktor ini. Kami juga tidak dapat menyingkirkan hubunganyang membedakan antara dosisi APE dan hasil pada berbagai populasi pasien atau pada akhir spectrum hemoglobin yang berbedam yang telah dinyatajan di poluasi dialysis Medicare. Sejak kami mempelajari pasien dengan penyakit ginjal kronis dan diabetes yang tidak menjalani dialysis, kami harus lebih hati-hati dalam mengeneralisasikan penemuan kami pada populasi lain. Sebagai penutup, kami mengobservasi bahwa pasien dengan penyakit ginjal kronis, diabetes dan anemia yang tidak menjalani dialysis dan yang memiliki respon awal yang jelek pada dua dosis darbepoetin alfa m emiliki resiko yang lebih besar untuk terkena efek samping kardiovaskular dan kematian dibandingkan seluruh pasien yang mendapatkan pengobatan. Level hemoglonin pada pasien dengan resiko tertinggi ini jauh dari target yang direkomendasikan. Kami tidak dapat menentukan apakah respon awal yang jelek terhadap APE menyebabkan pasien mendapatkan efek samping atau karena peningkatan dosis darbepoetin alfayang diterima. Namun, penemuan ini menimbulkan pertanyaan apakah derajat respon hematopoitik terhadap terapi APE, dan tidak hanya terhadap level hemoglobin, harus diperhitungkan dalam penghitungan terapi APE.