LAPORAN PRAKTIKUM KROMATOGRAFI
IDENTIFIKASI PARASETAMOL DALAM OBAT TRADISIONAL SECARA KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS
Dosen Pengampu: Fitria Susilowati, S.pd, M.Sc
Disusun oleh : Hasna Hanifah A.R NIM : 362015711128 362015711128
PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS DARUSSALAM GONTOR 2017
I.
TUJUAN 1.
Mengidentifikasi adanya parasetamol (uji kualitatif) dalam obat tradisional (jamu) dengan kromatografi lapis tipis
2.
II.
Menentukan komposisi eluen pengembang terbaik
DASAR TEORI Kecenderungan
masyarakat
Indonesia
menggunakan
obat
tradisional (lebih dikenal dengan jamu) sebagai alternatif dalam upaya pemeliharaan,
peningkatan
dan
penyembuhan
penyakit
semakin
meningkat (Sari, 2006). Peningkatan ini disebabkan adanya persepsi bahwa jamu lebih aman dari obat sintetik. Namun demikian persepsi tersebut tidak selalu benar karena masih sering ditemukan adanya penambahan ilegal bahan kimia obat (BKO) kedalam jamu, seperti parasetamol (BPOM, 2014). Penggunaan jamu mengandung BKO dalam jangka panjang dapat menimbulkan resiko efek samping yang serius. Oleh karena itu, Menteri Kesehatan Republik Indonesia telah melarang penambahan bahan kimia sintetik atau hasil isolasi yang berkhasiat obat kedalam obat tradisional (Kemenkes, 2012). Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku. Berdasarkan cara pembuatan serta jenis klaim penggunaan dan
tingkat
pembuktian
khasiat,
Obat
Bahan
Alam
Indonesia
dikelompokkan menjadi tiga yakni, Jamu, Obat Herbal Terstandar , dan Fitofarmaka (Zulfikar, 2014). Analgesik merupakan senyawa yang berfungsi untuk menekan rasa nyeri. Salah satu kelebihan dari analgesik yakni mampu menghilangkan rasa sakit pada pasien tanpa menyebabkan pasien kehilangan kesadaran. Analgesik dibagi menjadi dua yakni, analgesik kuat (tipe morfin) dan analgesik lemah. Analgesik lemah mempunyai kerja farmakologik
analgesik. Senyawa analgesik juga menunjukkan kerja antipiretik, dan antireumatik (Ebel, 1992). Parasetamol merupakan derivat aminofenol yang mempunyai aktivitas analgesik dan antipiretik. Seperti salisilat, parasetamol berefek menghambat sintesa prostaglandin di otak sehingga dapat menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Efek antipiretik ditimbulkan oleh gugus amino benzen yang menurunkan panas saat demam (Wilmana, 1995). Metode analisis bahan analgesik secara konvensional sudah mulai berkembang. Metode yang telah dikembangkan antara lain, HPLC, Voltametri, HPTLC, dan spektrometri. Metode penentuan kadar bahan analgesik dapat pula dilakukan dengan metode uji bercak yang kemudian dianalisis menggunakan sinar reflektan. Hasil penelitian reflektometrik untuk penentuan bahan analgesik jenis dipiron menunjukkan bahwa metode tersebut lebih cepat, sederhana, sedikit penggunaan reagen dan memenuhi parameter validitas suatu metode analisis (Satiadarma, 1997). Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan satu dari banyak teknik kromatografi yang sering digunakan untuk menganalisis bahan analgesik. Dasar pemisahan pada KLT adalah perbedaan kecepetan migrasi diantar fasedian yang berupa padatan (alumina, silika gel, atau selulosa) dan fase gerak yang merupakan campuran solven (eluen) yang juga
dikenal
menggunakan menganalisis
dengan
istilah
parameter baik
secara
pelarut
karakteristik kualitatif
pengembang faktor
maupun
campur.
retardasi
(Rf)
kuantitatif.
KLT untuk
Nilai
Rf
merupakan parameter karakteristik suatu senyawa sehingga secara kualitatif senyawa dapat diidentifikasi dari nilai Rf (Fatah, 1987). Fase gerak pada KLT biasanya dapat dipilih dari pustaka, tetapi lebih sering dipilih dengan trial dan error . Sitem yang paling sederhana adalah sistem dua pelarut organik karena daya elusi campuran dari dua pelarut ini dapat dengan mudah diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal. Berikut adalah kriteria yang harus dipenuhi oleh fase gerak ialah :
1. Fase gerak harus memiliki kemurniaan yang sangat tinggi karena KLT sangat sensitif 2. Daya elusi fase gerak harus diatur agar harga Rf terletak antara 0,2-0,8 untuk pemisahan yang maksimal 3. Untuk pemisahan senyawa yang polar yang biasanya fase diamnya berupa silika gel, maka polaritas dari fase gerak sangat menentukan kecepatan elusi atau pengembangan yang berarti juga akan menentukan nilai Rf (Stahl, 1985).
III.
ALAT DAN BAHAN A. Alat 1.
Gelas ukur 25 ml
4 buah
2.
Gelas ukur 10 ml
1 buah
3.
Gelas ukur 5 ml
1 buah
4.
Erlenmeyer 50 ml
1 buah
5.
Pipet tetes plastik
3 buah
6.
Pipet volume 5 ml
1 buah
7.
Spatula
8.
Timbangan analitik
9.
Pipet kapiler
10. Gelas beaker
3 buah
11. Cawan porselen
3 buah
12. Mortar dan alu 13. Cling wrap
B. Bahan 1.
Parasetamol
2.
Jamu pegal linu
3.
Jamu masuk angin
4.
Plat KLT, silika gel GF
5.
Solven PA : aseton, etanol, metanol, kloroform
254
IV.
PROSEDUR KERJA Parasetamol, jamu pegal linu, jamu masuk angin 0,05 gram
Dihaluskan dalam mortar dan dilarutkan dengan kloroform
Disiapkan 3 jenis campuran eluen yakni, kloroform : etanol (9:1), kloroform : aseton (8:2), dan metanol : kloroform (2:8) dalam 3 gelas beaker yang berbeda
Ditutup dengan cling wrap untuk proses penjenuhan
Disiapkan 3 plat KLT berukuran 5x7 cm
Diberi tanda 1 cm tepi atas dan bawah pada KLT dengan pensil
Ditotolkan ketiga ekstrak sampel 2-3 kali hingga mengering pada tiap-tiap plat KLT
Dimasukkan masing-masing plat kedalam 3 jenis eluen pada 3 gelas beaker berbeda
Plat diangkat, diamati dengan lampu UV dan ditandai dengan pensil
Dideteksi parasetamol dalam kedua sampel jamu tersebut
V.
DATA PENGAMATAN DAN PERHITUNGAN
A. Data Pengamatan Eluen
Sampel
Jarak
Jarak tempuh
tempuh
komponen
Nilai Rf
eluen A.
Kloroform:
etanol (9:1)
A. Pegal Linu
Spot 1
5
3,5
Spot 2
5
4,3
Spot 3
5
5
5
4,9
5
4,4
B. Tolak Angin
Spot 1
C. Parasetamol B.
Kloroform:
aseton (8:2)
0,88
A. Pegal Linu
Spot 1
5
3,1
Spot 2
5
4,8
B. Tolak Angin
Spot 1
5
1
Spot 2
5
2,4
Spot 3
5
4,8
5
3,8
C. Parasetamol C.
Metanol
:
kloroform (2:8)
0,76
A. Pegal Linu
Spot 1
5
4,7
Spot 2
5
5
B. Tolak Angin
Spot 1
5
1,8
Spot 2
5
4,8
5
4,4
C. Parasetamol
0,88
B. Perhitungan 1. Pada pelarut kloroform : etanol (9:1) a. Parasetamol =
4,4 5
= 0,88
2. Pada pelarut kloroform : aseton (8:2) a. Parasetamol =
3, 5
= 0,76
3. Pada pelarut metanol : kloroform (2:8) a. Parasetamol =
VI.
4,4 5
= 0,88
PEMBAHASAN Identifikasi parasetamol dalam obat tradisional dilakukan dengan menggunakan metode kromatografi lapis tipis, dengan sampel yang digunakan serbuk jamu pegal linu dan jamu tolak angin. Pemilihan metode KLT, dikarenakan merupakan satu dari banyak teknik kromatografi yang sering digunakan untuk menganalisis bahan analgesik. Pelarut yang digunakan dalam praktikum ini solven Pro Analysis aseton, methanol, kloroform,
dan
diklorometana.
Namun
dalam
praktikum
ini,
diklorometana tidak digunakan karena diperkirakan proses elusi yang dihasilkan dari pelarut ini memakan waktu cukup lama dan memiliki rentang elusi yang panjang. Solven PA digunakan karena memiliki tingkat kemurnian yang sangat tinggi (> 99,5%). Percobaan ini diawali dengan penimbangan sampel parasetamol, jamu pegal linu, jamu tolak angin seberat 0,05 gram dan dihaluskan dalam mortar kemudian dilarutkan dengan kloroform. Penggunaan kloroform ini dikarenakan sifat yang dimiliki kloroform yaitu bersifat non polar dan parasetamol serta sampel jamu memiliki sifat kepolaran yaitu polar. Sehingga dalam melarutkan sampel digunakan kloroform agar sampel mudah terlarut. Setelah diperoleh ekstrak sampel, dilakukan penotolan pada 3 buah pla yang telah diukur 5x7 cm dan telah diberi tanda 1 cm batas atas dan batas bawah menggunakan pensil. Hal ini dilakukan dengan pensil agar tidak mempengaruhi proses elusi berlangsung. Karena pensil tidak akan ikut terelusi, sehingga tidak mengkontaminasi komponen
ekstrak yang diteliti. Penotolan dilakukan 2-3 kali agar diperoleh fraksi yang diharapkan. Sementara penotolan dilakukan, disiapkan terlebih dahulu solven yang akan digunakan yaitu, solven kloroform : etanol (9:1) pada gelas beaker pertama, kemudian solven kloroform : aseton (8:2) pada gelas beaker yang kedua, dan terakhir solven metanol : kloroform (2:8) dalam gelas beaker yang ketiga. Masing-masing gelas beaker ditutup dengan cling wrap untuk proses penjenuhan. Tahap ini dilakukan, agar pada saat proses elusi berjalan, eluen dapat mengelusi fase diam dengan baik. Tahap selanjutnya dilakukan identifikasi parasetamol dalam sampel dengan memasukkan ketiga plat KLT pada ketiga gelas beaker dengan eluen yang berbeda-beda lalu biarkan berelusi. Dalam identifikasi golongan senyawa dapat dilakukan dengan uji warna, penentuan kelarutan, bilangan Rf, dan ciri spektrum UV. Dala praktikum ini, yang paling berpengaruh adalah indeks kepolaran solven yang digunakan. Indeks kepolaran disini dimaksudkan sebagai beberapa ururtan atau tingkatan dalam teori kelarutan yang terdiri dari beberapa kriteria diantaranya, polar, semipolar, dan non polar. Adapun indeks kepolaran dari masing-masing solven yang digunakan yaitu, dari non polar yang disifati oleh solven kloroform, kemudian pada tingkat semipolar disifati oleh solven diklorometana dan aseton, dan pada tingkat polar disifati oleh solven etanol dan metanol. Dalam praktikum ini tidak menggunakan diklorometan dikarenakan proses elusi akan memakan waktu yang cukup lama. Sebelum membahas tentang hasil dari percobaan kali ini, diperoleh data dari literatur mengenai parasetamol sebagai berikut : Struktur Parasetamol
Nama Kimia
: N-acetyl-p-aminophenol atau p-asetamedofenol atau 4’-
hidroksiasetanilida
Rumus Empiris
: C8H9 NO2
Berat Molekul
: 151,16
Pemerian
: Kristal putih tidak berbau atau serbuk kristalin dengan rasa pahit, jarak lebur atau titik lebur pada 169o-172o
Kelarutan
: 1 g dapat larut dalam kira-kira 70 ml air pada suhu 250 o C, 1 g larut dalam 20 ml air mendidih, dalam 7 ml alkohol, dalam 13 ml aseton, dalam 50 ml kloroform, dalam 40 ml gliserin, dalam 9 ml propilenglikol, dan larut dalam larutan alkali hidroksida. Tidak larut dalam benzen dan eter. Larutan jenuh mempunyai pH kira-kira 6. pKa=9,51
Hasil yang diperoleh dari praktikum ini, pada pelarut kloroform : etanol (9:1) nilai Rf parasetamol sebesar 0,88, pada pelarut kloroform : aseton (8:2) diperoleh nilai Rf parasetamol sebesar 0,76 dan pada pelarut metanol : kloroform (2:8) diperoleh nilai Rf parasetamol sebesar 0,88. Dari data tersebut , saat diteliti dibawah sinar UV didapati hasil, bahwa kandungan dari jamu pegal linu dan jamu tolak angin tidak terdeteksi mengandung parasetamol. Hal ini dikarenakan bercak sampel tidak memiliki nilai Rf dan warna yang sama dengan bercak baku paras etamol. Dalam praktikum ini didapati beberapa kesalahan yang membuat praktikum ini dinyatakan kurang berhasil. Salah satu kesalahan adalah kurang ketelitian saat penimbangan sampel parasetamol, sehingga menghambat proses identifikasi parasetamol dalm obat tradisional dan hasil kurang akurat.
VII.
KESIMPULAN Identifikasi parasetamol dalam obat tradisional dilakukan dengan menggunakan kromatografi lapis tipis dengan sampel yang digunakan 2 serbuk jamu yaitu, jamu pegal linu dan jamu tolak angin. Pelarut yang digunakan adalah solven Pro Analysis yairu kloroform : etanol (9:1), kloroform : aseton (8:2), dan metanol : kloroform (2:8). Dikarenakan yang digunakan 3 campuran pelarut maka yang dibutuhkan untuk proses elusi adalah 3 plat KLT dengan ukuran 5x7 cm. Proses elusi dilakukan 3 kali dalam gelas beaker yang berbeda. Hasil yang diperoleh dari praktikum ini, pada pelarut kloroform : etanol, pada sampel pegal linu didapati memiliki 3 spot warna namun tidak dapat dihitung nilai Rfnya, begitu pula dengan sampel jamu tolak angin pada pelarut ini memiliki 1 spot warna namun tidak dapat dihitungnilai Rfnya sedangkan pada sampel parasetamol didapati memiliki 1 spot warna dengan nilai Rf 0,88. Pada pelarut kloroform : aseton, sampel pegal linu memiliki 2 spot warna dan sampel jamu tolak angin memiliki 3 spot warna namun tidak dapat dihitung nilai Rf keduanya. Sedangkan parasetamol dalam pelarut ini memiliki 1 spot warna dengan nilai Rf 0,76. Sedangkan pada pelarut ketiga, sampel pertama memiliki 2 spot warna dan sampel kedua memiliki 2 spot warna dan tidak memiliki nilai Rf, sedangkan parasetamol memiliki 1 spot warna dengan nilai Rf 0,88. Dari data tersebut dan dari hasil ketelitian dibawah sinar UV, pengembang yang terbaik untuk penelitian ini adalah kloroform : etanol dengan perbandingan 9:1. Dan kandungan dari kedua serbuk jamu tersebut dinyatakan tidak ada parasetamol dalam jamu tersebut, karena bercak kedua sampel jamu tidak memiliki nilai Rf dan tidak memiliki warna yang sama dengan bercak baku parasetamol.
VIII.
DAFTAR PUSTAKA Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI, 2014, Hasil Pengawasan Obat Tradisional Mengandung Bahan Kimia Obat, Jakarta, BPOM RI Ebel, S., 1992, Obat Sintetik , Penerjemah : Mathilda dan Samhoedi, Yogyakarta : Gajah Mada University Press Fatah, M.A, 1987, Analisis Farmasi Dahulu dan Sekarang , Yogyakarta : Penerbit UGM Kementerian Kesehatan RI, 2012, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 006 / 2012 Tentang Industri dan Usaha Obat Tradisional , Jakarta, Kementerian Kesehatan RI Sari, L.O., 2006, Pemanfaatan Obat Tradisional dengan Pertimbangan Manfaat dan Keamanannya, Majalah Ilmu Kefarmasiaan, Vol. III, No. 1, PP. 01-07, Depok : Departemen Farmasi FMIPA UI Satiadarma, K., 1997, Validasi Prosedur Analisis, Prosending : Temu Ilmiah Nasional Bidang Farmasi, Bandung : Penerbit ITB Stahl, E., 1985, Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi, Bandung, Penerbit ITB Wilmana, P.F., 1995, Farmakologi dan Terapi, Edisi 4 , Jakarta : Bagian Farmakologi FKUI Zulfikar, Novita Andarini dan Vici Saka Dirgantara, 2014, Identifikasi Kualitatif Bahan Analgesik Pada Jamu Menggunakan Prototype Tes Strip, Universitas Jember (UNEJ), Jember
LAMPIRAN