MAKALAH KEPERAWATAN PERKEMIHAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA NEUROGENIC BLADDER
Disusun Oleh: Kelompok 2
Risky Amalia
131111017
Anis Maslahah
131111019
Dian Agustin
131111021
Novita Nindy M
131111023
Selfi Ratna P.
131111025
Miftakhur Roifah
131111027
Ragiliia Irena
131111029
Hakim Zulkarnain
131111031
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2014
i|Page
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan anugerah-Nya kami bisa menyelesaikan makalah kami yang berjudul “Makalah Keperawatan Perkemihan Asuhan Peperawatan pada Neurogenic Bladder” tepat pada waktu yang telah ditentukan, sebagai tugas perkelompok untuk mata ajar Keperawatan Perkemihan. Dalam penulisan makalah ini penulis telah mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak baik dalam hal materi maupun moril sehingga pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada: 1. Ibu Ika Y. Widyawati, M.Kep., Ns.Sp.Kep.MB selaku PJMA Keperawatan Perkemihan. 2. Ibu Yuni Sufyanti Arief,S.Kp., M.Kes. selaku fasilitator. 3. Teman-teman Angkatan 2011 kelas A yang telah memberikan motivasi dalam penyusunan asuhan keperawatan ini yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu. Kami sadar bahwa makalah yang kami buat ini masih jauh dari sempurna, karena itu kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk menyempurnakan asuhan keperawatan ini menjadi lebih baik lagi. Demikianlah makalah ini kami buat, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan menambah pengetahuan terutama bagi kelompok kami dan mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya.
Surabaya, 5 Maret 2014
Penulis
ii | P a g e
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii DAFTAR ISI .................................................................................................... .iii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 1 1.3 Tujuan ...................................................................................................... 2 1.4 Manfaat .................................................................................................... 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Fisiologi................................................................................ 3 2.2 Definisi ...................................................................................................... 8 2.3 Etiologi ...................................................................................................... 8 2.4 Manifestasi Klinis ...................................................................................... 9 2.5 Patofisologi................................................................................................ 10 2.6 WOC (Web Of Causation) .......................................................................... 11 2.7 Pemeriksaan Diagnostik ............................................................................. 11 2.8 Penatalaksaan ............................................................................................ 12 2.9 Komplikasi ................................................................................................ 13 2.10 Prognosis ................................................................................................... 13 2.11 Asuhan Keperawatan .......................................................................... .... 13 2.11.1 Pengkajian. ....................................................................... ................. 13 2.11.2 Diagnosa Keperawatan ....................................................................... 14 2.11.3 Intervensi............................................................................................ 14 BAB III TINJAUAN ASUHAN KEPERAWATAN KASUS 3.1 Pengkajian ................................................................................................ 21 3.2 Analisa Data ............................................................................................. 22 3.3 Diagnosa dan Intervensi ........................................................................... 23 BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan .............................................................................................. 25 4.2 Saran ........................................................................................................ 25 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 26 Lampiran 1 .......................................................................................................... 27
iii | P a g e
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fungsi normal kandung kemih adalah mengisi dan mengeluarkan urin secara terkoordinasi dan terkontrol. Aktifitas koordinasi ini diatur oleh sistem saraf pusat dan perifer. Neurogenic bladder adalah penyakit yang menyerang kandung kemih yang disebabkan oleh kerusakan ataupun penyakit pada sistem saraf pusat atau pada sistem saraf perifer dan otonom. (Ginsberg, 2013). Gejala neurogenik bladder berkisar antara kurang berfugsi hingga overaktivitas, tergantung bagian neurogenik yang terkena. Spincter urinarius mungkin terpengaruhi, menyebabkan spincter menjadi kurang berfungsi atau overaktivitas dan kehilangan koordinasi dengan fungsi kandung kemih. Salah satu penelit ian pertama mengenai prevalensi Neurogenic Bladder di Asia adalah sebuah survai yang dilakukan oleh APCAB (Asia Pacific Continence Advisory Board) yang mencakup 7875 laki-laki dan perempuan, dimana sekitar 70% adalah perempuan dari 11 negara termasuk 499 dari Indonesia didapatkan bahwa prevalensi Neurogenic Bladder secara umum di Asia adalah sekitar 50,6%. (Shenot, 2012). Banyak penyebab dapat mendasari t imbulnya Neurogenic Bladder sehingga mutlak dilakukan pemeriksaan yang teliti sebelum diagnosis ditegakkan. Penyebab tersering adalah gangguan medulla spinalis, Selain itu kondisi lain yang dapat menyebabkan neurogenic bladder adalah penyakit degenaratif neurologis (multipel sklerosis, dan sklerosis lateral amiotropik), kelainan bawaan tulang belakang (spina bifida). Neurogenic bladder akan meningkat jumlahnya pada kondisi neurologis tertentu. Sebagai contoh, di Amerika neurogenic bladder ini telah ditemukan pada 40%- 90% pasien dengan multiple sclerosis, 37% 72% pada pasien dengan parkinson dan 15% pada pasien dengan stroke. Ini memperkirakan bahwa 70-84% pasien dengan spinal cord injury paling tidak mempunyai sedikit gangguan kandung kemih. (Ginsberg, 2013). Terapi yang cocok ditentukan dari diagnosis yang tepat dengan perawatan medis yang baik dan perawatan bersama dengan bermacam pemeriksaan klinis, meliputi urodinamik dan pemeriksaan radiologi terpilih. 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana anatomi dan fisiologi kandung kemih? 2. Apa definisi dari Neurogenic Bladder ? 3. Bagaimana etiologi dari Neurogenic Bladder ? 4. Bagaimana patofisiologi dari Neurogenic Bladder ? 5. Bagaimana manifestasi klinis Neurogenic Bladder ? 6. Apa saja komplikasi dari Neurogenic Bladder ? 7. Apa saja pemeriksaan diagnostik pada Neurogenic Bladder ?
1|Page
8. Bagaimana penatalaksanaan medis pada Neurogenic Bladder ? 9. Bagaimana prognosis pada kasus Neurogenic Bladder ? 10. Bagaimana asuhan keperawatan pada Neurogenic Bladder ? 1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum Mengetahui konsep dan asuhan keperawatan pada pasien dengan Neurogenic Bladder. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Mengetahui dan memahami anatomi dan fisiologi kandung kemih. 2. Mengetahui dan memahami tentang definisi dan etiologi Neurogenic Bladder. 3. Mengetahui dan memahami tentang patofisiologi Neurogenic Bladder. 4. Mengetahui dan memahami tentang manifestasi klinis Neurogenic Bladder. 5. Mengetahui dan memahami tentang komplikasi pada kasus Neurogenic Bladder. 6. Mengetahui dan memahami tentang pemeriksaan diagnostic pada kasus Neurogenic Bladder. 7. Mengetahui dan memahami tentang penatalaksanaan medis pada kasus Neurogenic Bladder. 8. Mengetahui dan memahami tentang prognosis Neurogenic Bladder. 9. Mengetahui dan memahami tentang asuhan keperawatan pada kasus Neurogenic Bladder. 1.4 Manfaat Adapun manfaat yang ingin dicapai dengan adanya makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Mahasiswa Mahasiswa mampu menjelaskan dan memahami definisi, patofisiologi, manifestasi klinis, penatalaksanaan medis pada pasien dengan Neurogenic Bladder serta dapat menerapkan asuhan keperawatan, khususnya untuk mahasiswa keperawatan. 2. Dosen Makalah ini dapat dijadikan tolak ukur sejauh mana mahasiswa mampu mengerjakan tugas yang diberikan oleh dosen dan sebagai bahan pertimbangan dosen dalam menilai mahasiswa. 3. Masyarakat umum Masyarakat umum dapat mengambil manfaat dengan mengetahui definisi, patofisiologi, manifestasi klinis, penatalaksanaan medis dan asuhan keperawatan pada pasien dengan Neurogenic Bladder.
2|Page
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Fisiologi 1. Kandung Kemih (Bladder) Kandung kemih merupakan otot, kantung berongga terletak tepat di belakang tulang kemaluan. Kapasitas kandung kemih dewasa adalah sekitar 300 sampai 600 mL urin. Pada masa kanak-kanak , kandung kemih ditemukan dalam perut. Pada masa remaja dan sampai dewasa ,kandung kemih mengasumsikanposisinya dalam panggul sejati (Smeltzer & Bare, 2004).
Gambar 1. Bladder (Smeltzer & Bare,, 2004) 2.
Struktur otot detrusor dan sfingter Susunan sebagian besar otot polos kandung kemih sedemikian rupa sehingga bila berkontraksi akan menyebabkan pengosongan kandung kemih. Pengaturan serabut detrusor pada daerah leher kandung kemih berbeda pada kedua jenis kelamin, pria mempunyai distribusi yang sirkuler dan serabut-serabut tersebut membentuk suatu sfingter leher kandung kemih yang efektif untuk mencegah terjadinya ejakulasi retrograd sfingter interna yang ekivalen. Sfingter uretra (rhabdosfingter) terdiri dari serabut otot luruk berbentuk sirkuler. Pada
3|Page
3.
pria, rhabdosfingter terletak tepat di distal dari prostat sementara pada wanita mengelilingi hampir seluruh uretra. Rhabdosfingter secara anatomis berbeda dari otot-otot yang membentuk dasar pelvis. Pemeriksaann EMG otot ini menunjukkan suatu discharge tonik konstan yang akan menurun bila terjadi relaksasi sfingter pada awal proses miksi (Japardi, 2002). Persarafan dari kandung kemih dan sfingter a. Persarafan parasimpatis (N.pelvikus) Pengaturan fungsi motorik dari otot detrusor utama berasal dari neuron preganglion parasimpatis dengan badan sel terletak pada kolumna intermediolateral medula spinalis antara S2 dan S4. Neuron preganglionik keluar dari medula spinalis bersama radiks spinal anterior dan mengirim akson melalui N.pelvikus ke pleksus parasimpatis pelvis. Ini merupakan suatu jaringan halus yang menutupi kandung kemih dan rektum. Serabut postganglionik pendek berjalan dari pleksus untuk menginervasi organ- organ pelvis. Tidak terdapat perbedaan khusus postjunctional antara serabut postganglionik danotot polos dari detrusor. Sebaliknya, serabut postganglionik mempunyai jaringan difus sepanjang serabutnya yang mengandung vesikel dimana asetilkolin dilepaskan. Meskipun pada beberapa spesies transmiter nonkolinergik nonadrenergik juga ditemukan, keberadaannya pada manusia diragukan (Japardi, 2002). b. Persarafan simpatis (N.hipogastrik dan rantai simpatis sakral) Kandung kemih menerima inervasi simpatis dari rantai simpatis torakolumbal melalui a hipogastrik. Leher kandung kemih menerima persarafan yang banyak dari sistem saraf simpatis dan pada kucing dapat dilihat pengaturan parasimpatis oleh simpatis, sedangkan peran sistim simpatis pada proses miksi manusia tidak jelas. Simpatektomi lumbal saja tidak berpengaruh pada kontinens atau miksi meskipun pada umumnya akan menimbulkan ejakulasi retrograd. Leher kandung kemih pria banyak mengandung mervasi noradrenergik dan aktivitas simpatis selama ejakulasi menyebabkan penutupan dari leher kandung kemih untuk mencegah ejakulasi retrograde (Japardi, 2002). c. Persarafan somantik (N.pudendus) Otot lurik dari sfingter uretra merupakan satu-satunya bagian dari traktus urinarius yang mendapat persarafan somatik. Onufrowicz menggambarkan suatu nukleus pada kornu ventralis medula spinalis pada S2, S3, dan S4. Nukleus ini yang umumnya dikenal sebagai nukleus Onuf, mengandung badan sel dari motor neuron yang menginnervasi baik sfingter anal dan uretra. Nukleus ini mempunyai diameter yang lebih kecil daripada sel kornu anterior lain, tetapi suatu penelitian mengenai sinaps motor neuron ini pada kucing menunjukkan bahwa lebih bersifat skeletomotor dibandingkan persarafan perineal parasimpatis preganglionik (Japardi, 2002).
4|Page
4.
Serabut motorik dari sel-sel ini berjalan dari radiks S2, S3 dan S4 ke dalam N.pudendus dimana ketika melewati pelvis memberi percabangan ke sfingter anal dan cabang perineal ke otot lurik sfingter uretra. Secara elektromiografi, motor unit dari otot lurik sfingter sama dengan serabut lurik otot tapi mempunyai amplitudo yang sedikit lebih rendah (Japardi, 2002). d. Persarafan sensorik traktus urinarius bagian bawah Sebagian besar saraf aferen adalah tidak bermyelin dan berakhir pada pleksus suburotelial dimana tidak terdapat ujung sensorik khusus. Karena banyak dari serabut ini mengandung substansi P, ATP atau calcitonin gene-related peptide dan pelepasannya dapat mengubah eksitabilitas otot, serabut pleksus ini dapat digolongkan sebagai saraf sensorik motorik daripada sensorik murni (Japardi, 2002). Ketiga pasang saraf perifer (simpatis torakolumbal, parasimpatis sacral dan pudendus) mengandung serabut saraf aferen. Serabut aferen yang berjalan dalam n.pelvikus dan membawa sensasi dari distensi kandung kemih tampaknya merupakan hal yang terpenting pada fungsi kandung kemih yang normal. Akson aferen terdiri dari 2 tipe, serabut C yang tidak bermyelin dan serabut Aδ bermyelin kecil (Japardi, 2002). Peran aferen hipogastrik tidak jelas tetapi serabut ini mungkin menyampaikan beberapa sensasi dari distensi kandung kemih dan nyeri. Aferen somatik pudendal menyalurkan sensasi dari aliran urine, nyeri dan suhu dari uretra dan memproyeksikan ke daerah yang serupa dalam medula spinalis sakral sebagai aferen kandung kemih. Hal ini menggambarkan kemungkinan dari daerah-daerah penting pada medulla spinalis sakral untuk intergrasi viserosomatik (Japardi, 2002). Nathan dan Smith (1951) pada penelitian pasien yang telah mengalami kordotomi anterolateral, menyimpulkan bahwa jaras asending dari kandung kemih dan uretra berjalan di dalam traktus spiotalamikus. Serabut spinobulber pada kolumna dorsalis mungkin juga berperan pada transmisi dari informasi aferen (Japardi, 2002). Hubungan dengan susunan saraf pusat a. Pusat Miksi Pons Pons merupakan pusat yang mengatur miksi melalui refleks spinal-bulber-spinal atau long loop refleks. Demyelinisasi Groat (1990) menyatakan bahwa pusat miksi pons merupakan titik pengaturan (switch point) dimana refleks transpinal-bulber diatur sedemikian rupa baik untuk pengaturan pengisian atau pengosongan kandung kemih. Pusat miksi pons berperansebagai pusat pengaturan yang mengatur refleks spinal dan menerima input dari daerah lain di otak (Japardi, 2002). b. Daerah kortikal yang mempengaruhi pusat miksi pons Beberapa penelitian menunjukkan bahwa lesi pada bagian anteromedial dari lobus frontal dapat menimbulkan gangguan
5|Page
miksi berupa urgensi, inkontinens, hilangnya sensibilitas kandung kemih atau retensi urine. Pemeriksaan urodinamis menunjukkan adanya kandung kemih yang hiperrefleksi (Japardi, 2002). Gambar di bawah ini ini menggambarkan daerah kontrol kortikal di frontal dan cingulate gyri serta daerah subkortikal memberikan pengaruh penghambatan pada berkemih pada tingkat pons dan memberikan rangsang yang berpengaruh pada sfingter kemih eksternal. Hal ini memungkinkan adanya kontrol sukarela berkemih sehingga biasanya evakuasi kandung kemih dapat ditunda (Dorsher & McIntosh , 2011).
Gambar 2. Fisiologi mikturisi (Dorsher & McIntosh , 2011) 5.
Fisiologi pengaturan fungsi sfingter kandung kemih a. Pengisian urine Pada pengisian kandung kemih, distensi yang timbul ditandai dengan adanya aktivitas sensor regang pada dinding kandung kemih. Pada kandung kemih normal, tekanan intravesikal tidak
6|Page
meningkat selama pengisian sebab terdapat inhibisi dari aktivitas detrusor dan active compliance dari kandung kemih. Inhibisi dari aktivitas motorik detrusor memerlukan jaras yang utuh antara pusat miksi pons dengan medulla spinalis bagian sakral. Mekanisme active compliance kandung kemih kurang diketahui namun proses ini juga memerlukan inervasi yang utuh mengingat mekanisme ini hilang pada kerusakan radiks S2-S4 (Japardi, 2002). Selain akomodasi kandung kemih, kontinens selama pengisian memerlukan fasilitasi aktifitas otot lurik dari sfingter uretra, sehingga tekanan uretra lebih tinggi dibandingkan tekanan intravesikal dan urine tidak mengalir keluar (Japardi, 2002). b. Pengaliran urine Pada orang dewasa yang normal, rangsangan untuk miksi timbul dari distensi kandung kemih yang sinyalnya diperoleh dari aferen yang bersifat sensitif terhadap regangan. Mekanisme normal dari miksi volunteer tidak diketahui dengan jelas tetapi diperoleh dari relaksasi oto lurik dari sfingter uretra dan lantai pelvis yang diikuti dengan kontraksi kandung kemih. Inhibisi tonus simpatis pada leher kandung kemih juga ditemukan sehingga tekanan intravesikal diatas/melebihi tekanan intra uretral dan urine akan keluar. Pengosongan kandung kemih yang lengkap tergantung adri refleks yang menghambat aktifitas sfingter dan mempertahankan kontraksi detrusor selama miksi (Japardi, 2002).
Gambar 3. Palpasi Bladder (Smeltzer, 2004)
7|Page
2.2 Definisi David Ginsberg dalam jurnalnya yang berjudul “The Epidemiology and Pathophysiology of Neurogenic Bladder” (2013) mengatakan bahwa neurogenic bladder atau kandung kemih neurogenik merupakan penyakit yang menyerang kandung kemih yang disebabkan oleh kerusakan ataupun penyakit pada sistem saraf pusat atau pada sistem saraf perifer dan otonom. Neurogenic Bladder adalah kondisi terputusnya inervasi kandung kemih yang normal (Saputra, 2012). Menurut Ginsberg (2013) pada neurogenic bladder sendiri terdapat beberapa klasifikasi yang digunakan untuk mengelompokkan jenis- jenis neurogenic bladder. Hal ini bisa berdasarkan penemuan urodinamik, kriteria neurologis ataupun fungsi saluran kemih bagian bawah. Satu dari beberapa klasifikasi sistem tersebut adalah berdasarkan lokasi lesi neurologis. Sistem ini dijadikan panduan untuk terapi farmakologi dan intervensi lain. Dengan menggunakan sistem ini maka neurogenic bladder diklasifikasikan sebagai berikut: a. Lesi diatas batang otak b. Lesi sempurna pada suprasacral spinal cord c. Trauma/ penyakit di sacral spinal cord d. Gangguan pd refleks perifer (injury distal ke spinal cord) Sementara itu, menurut Japardi (2002) pada gangguan kandung kemih dapat terjadi pada bagian tingkatan lesi. Hal ini bergantung kepada jaras yang terkena. Secara garis besar terdapat tiga jenis utama dari gangguan kandung kemih yaitu: a. Lesi suprapons b. Lesi antara pusat miksi pons dansakral medula spinalis: c. Lesi Lower Motor Neuron (LMN) Neurogenic Bladder ini juga dikelompokkan berdasarkan tipenya ke dalam tiga kelompok besar oleh Saputra (2012) yakni: a. Neurogenic bladder flasid b. Neurogenic bladder spastik c. Neurogenic bladder campuran 2.3 Etiologi Menurut Saputra (2012), beberapa penyebab dari neurogenic bladder ini antara lain penyakit infeksius yang akut seperti mielitis transversal, kelainan serebral (stroke, tumor otak, penyakit Parkinson, multiple sklerosis, demensia), alkoholisme kronis, penyakit kolagen seperti SLE, keracunan logam berat, herpes zoster, gangguan metabolik, penyakit atau trauma pada medulla spinalis dan penyakit vaskuler. Dari beberapa penyebab tersebut yang tersering adalah penyakit infeksius yang akut, kelainan serebral, gangguan metabolik, penyakit atau trauma pada medulla spinalis. Neurogenic bladder akan meningkat jumlahnya pada kondisi neurologis tertentu. Sebagai contoh, di Amerika neurogenic bladder ini telah ditemukan pada 40%- 90% pasien dengan multiple sclerosis, 37% 72% pada pasien dengan parkinson dan 15% pada pasien dengan stroke.
8|Page
Ini memperkirakan bahwa 70-84% pasien dengan spinal cord injury paling tidak mempunyai sedikit gangguan kandung kemih. Penyebab kurang umum dari neurogenic bladder adalah termasuk diabetes mellitus dengan neuropati otonom, pembedahan pelvis yang diikuti oleh sequelea yang tidak diharapkan, dan sindrom cauda equine yang yang dihasilkan dari lumbal tulang belakang (Ginsberg, 2013). 2.4 Manifestasi Klinis Banyak pasien dengan neurogenic bladder khususnya pada mereka yang juga terkena multiple sclerosis, CVA, dan spinal cord injury mengalami kontraksi kandung kemih yang tak bisa dicegah. Yang menyusahkan gejala pada neurogenic bladder ini dikelompokkan sama dengan penyakit urin lainnya seperti inkontinensia urin, frekuensi dan urgensi (Ginsberg, 2013). Sementara menurut Japardi (2002) gejala-gejala disfungsi kandung kemih neurogenik terdiri dari urgensi, frekuensi, retensi dan inkontinens. Hiperrefleksi detrusor merupakan keadaan yang mendasari timbulnya frekuensi, urgensi dan inkontinens sehingga kurang dapat menilai lokasi kerusakan (localising value) karena hiperrefleksia detrusor dapat timbul baik akibat kerusakan jaras dari suprapons maupun suprasakral. Retensi urine dapat timbul sebagai akibat berbagai keadaan patologis. Pada pria adalah penting untuk menyingkirkan kemungkinan kelainan urologis seperti hipertrofi prostat atau striktur. Pada penderita dengan lesi neurologis antara pons dan med spinalis bagiansakral, DDS dapat menimbulkan berbagai derajat retensi meskipun pada umumnya hiperrefleksia detrusor yang lebih sering timbul. Retensi dapat juga timbul akibat gangguan kontraksi detrusor seperti pada lesi LMN. Retensi juga dapat timbul akibat kegagalan untuk memulai refleks niksi seperti pada lesi susunan saraf pusat. Meskipun hanya sedikit kasus dari lesi frontal dapat menimbulkan retensi, lesi pada pons juga dapat menimbulkan gejala serupa. Inkontenensia urine dapat timbul akibat hiperrefleksia detrusor pada lesi suprapons dan suprasakral. Ini sering dihubungkan dengan frekuensi dan bila jaras sensorik masih utuh, akan timbul sensasi urgensi. Lesi LMN dihubungkan dengan kelemahan sfingter yang dapat bermanifestasi sebagai stress inkontinens dan ketidakmampuan dari kontraksi detrusor yang mengakibatkan retensi kronik dengan overflow. Berdasar tipenya sendiri, neurogenic bladder mempunyai beberapa manifestasi klinis masing- masing. Berikut perbedaan manifestasi klinis pada masing- masing tipe neurogenic bladder (Saputra, 2012): a. Neurogenic bladder yang flasid Pada tipe ini, manifestasi yang akan muncul diantaranya: 1) Inkontinensia overflow 2) Berkurangnya tonus sfingter ani 3) Distensi hebat kandung kemih yang disertai rasa penuh pada kandung kemih b. Neurogenic bladder yang spastic
9|Page
Manifestasi klinis yang akan muncul pada tipe ini adalah sebagai berikut: 1) Urinasi involunter atau urinasi yang kerapkali hanya sedikit tanpa rasa penuh pada kandung kemih 2) Kemungkinan spasme spontan lengan dan tungkai 3) Peningkatan tonus sfingter ani c. Neurogenic bladder campuran Manifestasi klinis yang akan muncul pada tipe ini adalah sebagai berikut: 1) Tumpulnya persepsi akan kandung kemih yang penuh 2) Berkurangnya kemampuan untuk mengosongkan kandung kemih 3) Gejala urgensi yang tidak dapat dikembalikan. 2.5 Patofisologi Gangguan kandung kencing / bladder dapat terjadi akibat dari kerusakan saraf atau lesi yang terjadi pada system saraf manusia. Apabila system saraf pusat atau system saraf tepi yang merupakan jalur persarafan system perkemihan mengalami gangguan maka akan mengganggu proses berkemih. Otak, pons, medulla spinalis dan saraf perifer merupakan beberapa bagian dari system saraf yang memungkinkan untuk terlibat. Gejala yang dapat terjadi apabila terjadi disfungsi kandung kemih / bladder adalah retensi inkontinensia yang berlebihan, urinasi yang kerapkali hanya sedikit, atau kombinasi dari keduanya (Saputra, 2012). Berdasarkan lokasinya penyebab Neurogenic Bladder dibagi menjadi tiga, antara lain : 1. Lesi Supra Pons Reflek-reflek miksi diatur pada pusat miksi pons. Dimana seluruh aktivitas nya kebanyakan diatur oleh input inhibisi dari lobus frontal bagian medial, ganglia basalis dan tempat lain. Apabil terjadi kerusakan atau gangguan akan mengakibatkan hilangnya inhibisi dan menimbulkan keadaan hiperrefleksi. Pada kasus terjadinya kerusakan lobus depan, tumor, demyelinisasi preventrikuler, dilatasi kornu anterior ventrikel lateral pada hidrosefalus atau kelainan ganglia basalis, dapat menimbulkan kontraksi kandung kemih yang hiperrefleksi. retensi urine dapat ditemukan secara jarang yaitu bila terdapat kegagalan dalam memulai proses miksi secara volunter (Japaradi, 2002). 2. Lesi antara Pusat Miksi Pons dan Sakral Medula Spinalis Bila terdapat lesi pada Medula Spinalis yang terletak antara pusat miksi pons dan bagian sacral medulla spinalis, akan mengganggu jaras yang menginhibisi kontraksi detrusor dan pengaturan fungsi sfingter detrusor. Beberapa keadaan yang mungkin untuk terjadi antara lain : a. Hiperrefleksi kandung kencing Keadaan ini hampir sama dengan keadaan lesi pada supra pons. Mekanisme inhibisi normal hilang dan mengakibatkan kandung kencing /bladder menjadi hiperrefleksi. hal ini akan menyebabkan kenaikan tekanan pada penambahan yang kecil dari volume kandung kencing. Apabila mendapat tambahan volume sedikit kandung kencing akan merespon nya dengan melakukan refleksi yang
10 | P a g e
berlebihan / hiperrefleksi, sehingga tekanan pada kandung kencing akan meningkat tinggi. b. Disinergia Detrusor-Sfingter (DDS) Pada kondisi fisiologis tubuh dalam proses miksi, sfingter akan berelaksasi mendahului kontraksi detrusor. Pada keadaan DDS, terjadi kontraksi sfingter dan otot detrusor secara bersamaan. Kegagalan sfingter untuk berelaksasi mengakibatkan miksi terhambat sehingga meningkatkan tekanan intravesikal. Terkadang menyebabkan dilatasi saluran kencing bagian atas. Urine dapat keluar dari kandung kencing /bladder apabila kontraksi detrusor lebih lama dari kontraksi sfingter sehingga mengakibatkan aliran urine terputus-putus. c. Kontraksi Detrusor yang lemah Kontraksi hiperrefleksi yang terjadi cenderung lemah, sehingga pengosongan kandung kemih tidak tuntas. Keadaan ini bila terjadi bersamaan dengan disinergia akan menimbulkan peningkatan volume residu pasca miksi. d. Peningkatan volume residu pasca miksi Apabila terdapat volume residu pasca miksi yang tinggi akibat hiperrefleksi kandung kencing /bladder, maka penderita akan mudah mengalami kontraksi dan miksi meskipun hanya terdapat sedikit penambahan volume pada kandung kencing /bladder. Penderita akanmengeluh mengenai seringnya miksi dalam jumlah yang sedikit. 3. Lesi Lower Motor Neuron (LMN) Lesi yang terdapat pada lower motor neuron di S2-S4 baik dalam kanalis spinalis maupun ekstradural akan menimbulkan gangguan pada fungsi kandung kencing dan hilangnya sensibilitas kandung kencing. Proses pendahuluan miksi secara volunteer hilang dan mekanisme untuk menimbulkan kontraksi detrusor hilang, ini enyebabkan kandung kencing menjadi atonik atau hipotonik bila kerusakan denervasinya adalah parsial. Compliance kandung kencing juga hilang karena hal ini merupakan suatu proses aktif yang tergantung pada utuhnya persarafan. 2.6 WOC (Web Of Causation) Terlampir 2.7 Pemeriksaan Diagnostik 1. 2.
3.
Voiding cystourethrography : mengevaluasi fungsi leher kandung kemih, refluks vesikoureter dan kontinensia. Pemeriksaan urodinamika : terdiri dari sistometri, uroflometri, profil tekanan uretra dan elektromielografi sfingter; mengevaluasi kerja kandung kemih untuk penyimpanan urin, pengosongan kandung kemih dan kecepatan aliran urin keluar darikandung kemih pada saat buang air kecil. Retrograde urethroghraphy : mengungkapkan keberadaan striktur dan divertikulum.
11 | P a g e
4.
Pemeriksaan aliran urine : berkurangnya atau terganggunya aliran urine. (Saputra, 2012) Dokter mendiagnosa kandung kemih neurogenik pada orang dengan gangguan saraf yang memiliki inkontinensia. Biasanya, dokter mengukur jumlah urine yang tersisa di dalam kandung kemih setelah seseorang kencing (postvoid volume residu) dengan memasukkan kateter ke dalam kandung kemih atau menggunakan ultrasonografi. Ultrasonografi dari seluruh saluran kemih juga dilakukan untuk mendeteksi kelainan, dan beberapa tes darah yang dilakukan untuk menilai fungsi ginjal. Pemeriksaan lebih lanjut mungkin diperlukan tergantung pada kondisi seseorang. Penelitian yang lebih rinci dari saluran kemih ( misalnya, cystography, cystoscopy, dan cystometrography) dapat dilakukan untuk memeriksa fungsi kandung kemih atau untuk membantu menentukan durasi dan penyebab kandung kemih neurogenik. (Shenot, 2012)
2.8 Penatalaksaan Pengobatan yang tepat dapat membantu mencegah disfungsi permanen dan kerusakan ginjal. Kateterisasi atau teknik untuk memicu buang air kecil dapat membantu mencegah urin dari sisa terlalu lama di kandung kemih . Sebagai contoh, beberapa orang dengan kandung kemih spastik dapat memicu buang air kecil dengan menekan perut mereka lebih rendah atau menggaruk paha mereka . Ketika urin tetap dalam kandung kemih terlalu lama , orang tersebut berada pada risiko infeksi saluran kemih . Memasukkan kateter ke dalam kandung kemih secara berkala biasanya lebih aman daripada meninggalkan kateter secara terus menerus. (Shenot, 2012) 2.8.1 Managemen Medis a. Terapi manuver valsava, pemasangan sendiri kateter urin yang indwelling atau intermitten, maneuver crede, produk inkontinensia, alat oklusi ureter, bladder training (untuk memperbaiki fungsi kandung kemih) b. Monitoring : tanda vital dan asupan atau keluaran cairan c. Antispasmodic : oksibutinin (ditropan), tolterodin(detrol) d. Alpha- adrenergic blocker : terazosin ( Hytrin), doksazosin ( Cardura) e. Antikolinergic : memperbaiki fungsi penampungan air kemih oleh kandung kemih. Misal, darifenasin (enablex), hiosiamin ( Levbid) f. Derivat estrogen : conjugated estrogen (Premarin) g. Antidepresan trisiklik : imipramin (Tofranil), amitriptilin ( elavil) h. Diet : menghindari stimulant (makanan yang berbumbu pedas, coklat, kafein); asupan cairan yang terkendali i. Aktivitas : latihan otot panggul (Saputra, 2012)
12 | P a g e
2.9 Komplikasi Pada pasien dengan neurogenic bladder juga memungkinkan untuk meningkatkan resiko terkena infeksi saluran kemih (ISK) dan gangguan saluran keluar kandung kemih (bladder outlet obstruction). Pada pasien dengan neurogenic bladder, jika mereka tidak diobati secara optimal maka juga bisa menyebabkan sepsis dan gagal ginjal (Ginsberg, 2013). 2.10 Prognosis Pengobatan yang tepat dapat membantu mencegah disfungsi permanen dan kerusakan ginjal. (Patrick J. Shenot, MD,2012) 2.11 Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian. Pada pengkajian dilakukan anamnesa (wawancara) dan pemeriksaan fisik secara langsung guna memperoleh data yang akurat. Data tersebut digunakan sebagai acuan dalam membuat rencana asuhan keperawatan (Nursalam, 2008). a. Identitas klien, meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, bahasa, pekerjaan, kebangsaan, alamat, pendidikan, tanggal MRS, dan diagnosa medis (Nursalam, 2008). b. Keluhan utama Klien biasanya mengeluh sulit berkemih (Unbound Medicine, 2013). c. Riwayat kesehatan sekarang Klien mengalami perubahan berat badan. Tanyakan juga kepada klien mengenai frekuensi berkemih, pola berkemih, warna dan jumlah pengeluaran urin per hari (Unbound Medicine, 2013). d. Riwayat penyakit sebelumnya 1) Klien memiliki riwayat merokok, penggunaan alkohol, asupan kafein, dan terpapar zat nefrotoksik, 2) Pembedahan. (Morton, 2008) e. Riwayat penyakit keluarga Perawat perlu menanyakan apakah penyakit ini pernah dialami oleh anggota keluarga lain. Adakah anggota keluarga yang pernah mengalami penyakit infeksi saluran kemih lainnya. f. Pengkajian psikososial Klien merasa cemas dengan kondisi yang dialaminya serta malu akan bau urin dan kurangnya kontrol berkemih. Pasien merasa alternatif satu-satunya adalah kateterisasi urin. Klien juga mungkin takut akan terjadinya disfungsi seksual (Unbound Medicine, 2013). g. Pemeriksaan Fisik Berdasarkan Smeltzer (2004), perawat dapat melakukan pemeriksaan fisik secara per system (Review of System), yakni: 1) B1 (Breath) Pada pasien dengan masalah disfungsi perkemihan biasanya pada sistem pernapasan tidak ditemukan kelainan. 2) B2 (Blood) Pada sistem peredaran darah biasanya juga tidak ditemukan kelainan.
13 | P a g e
3) B3 (Brain) Kaji tingkat kesadaran klien dengan GCS. GCS : E= 4 V=5 M= 6 Total nilai: 15 4) B4 (Bladder) Pada pasien dengan masalah disfungsi perkemihan biasanya mengalami perubahan dalam proses berkemih, meliputi frekuensi berkemih, disuria, enuresis, poliuria, oliguria, dan hematuria. 5) B5 (Bowel) Perubahan pada bising usus, distensi abdomen, mual, dan muntah. Perubahan pada pola defekasi misal terdapat darah pada feses, diare, nyeri pada defekasi. 6) B6 (Bone) Perawat mengkaji kondisi kulit untuk mengetahui status hidrasi klien, meliputi turgor kulit dan mukosa mulut. Kaji adanya nyeri, kelemahan/ keletihan, serta keterbatasan partisipasi pada latihan. 2.
3.
Diagnosa Keperawatan a. Nyeri berhubungan dengan distensi kandung kemih b. Inkontinensia urine aliran berlebih berhubungan dengan kandung kemih kronis yang terlalu penuh ditandai dengan hilangnya sensasi kandung kemih c. Inkontinensia urine aliran berlebih berhubungan dengan sfingter detrusor (DSD) d. Inkontinensia urine refleks berhubungan dengan gangguan impuls eferen penghambatan sekunder ke otak atau disfungsi sumsum tulang belakang e. Resiko kesepian berhubungan rasa malu akan inkontinensia kepada orang lain dan takut bau dari urine Intervensi a. Nyeri berhubungan dengan distensi kandung kemih Tujuan : pasien idak merasa nyeri Kriteria Hasil : a. RR 12x/ menit b. Skala nyeri : 0 c. Klien nampak tenang d. Tidak ada distensi kandung kemih Intervensi Intervensi 1. Kaji tingkat nyeri
Rasional Memberikan informasi tentang efektivitas intervensi. 2. Plester selang drainase di paha Untuk mencegah penarikan dan perut kandung kemih, dan erosi skrotal penis.
14 | P a g e
3. Pertahankan tirah baring
Meningkatkan pola berkemih normal. 4. Berikan analgesik sesuai dengan Analgesik memblokir jalan program terapi . nyeri
b. Inkontinensia urine aliran berlebih berhubungan dengan kandung kemih kronis yang terlalu penuh ditandai dengan hilangnya sensasi kandung kemih Tujuan: Setelah diberikan asuhan keperawatan dalam waktu 2x 24 jam klien akan mencapai keadaan kekeringan yang secara pribadi memuaskan Kriteria Hasil: a. mengosongkan kandung kemih menggunakan Crede atau valsava manuver dengan urin sisa kurang dari 50 ml, jika diindikasikan b. kekosongan sendiri
Intervensi 1. Mengajarkan metode klien untuk mengosongkan kandung kemih: a. Crede 's manuver: 1. menempatkan tangan (datar atau terlebih) tepat di bawah daerah pusar, satu tangan di atas yang lain 2. tekan keras ke bawah dan menuju lengkungan panggul 3. tunggu beberapa menit, kemudian ulangi lagi untuk memastikan pengosongan lengkap
b. valsava manuver (bantalan): 1. belajar maju pada thights 2. kontrak otot perut, jika mungkin, dan ketegangan atau mengejan sambil menahan nafas terus sampai aliran urin berhenti,
Rasional
a. Di banyak klien, manuver Crede dapat membantu untuk mengosongkan kandung kemih tersebut. manuver ini tidak pantas, namun, jika sfingter kemih kronis dikontrak. dalam hal ini, menekan kandung kemih dapat memaksa urine sampai ureter serta melalui uretra. refluks urin ke dalam pelvis ginjal dapat menyebabkan infeksi ginja valsava manuver mengkontraksi otot perut yang manual kompres kandung kemih
15 | P a g e
tunggu satu menit kemudian 3. ulangi terus sampai tidak ada lagi urine dikeluarkan c. membersihkan intermiten diri katerisasi (CISC), digunakan sendiri atau dalam kombinasi dengan metode di atas. (Lihat risiko tinggi keperawatan diagnosis untuk ketidak efektifan penatalaksanaan program terapeutik pada rencana perawatan ini untuk poin pengajaran spesifik)
d. Cystometogram baseline (SMG) dapat dibenarkan
CISC mencegah overdistentions, membantu menjaga otot detrusor, dan memastikan kandung kemih lengkap mengosongkan CISC, dapat digunakan pada awalnya untuk menentukan sisa urin berikut dalam manuver Crede atau penyadapan. sebagai sisa decreasess urine, kateter dapat meruncing. CISC mungkin rekondisi refleks berkemih di beberapa klien. membahas tes diagnostik CMG untuk membantu merencanakan dan mengevaluasi program kandung kemih
c. Inkontinensia urine aliran berlebih berhubungan dengan sfingter detrusor (DSD) Tujuan: mengacu pada tujuan untuk inkontinensia urine aliran berlebih yang berkaitan dengan urine aliran kandung kemih ronis kdengan hilangnya sensasi kandung kemih distensi Intervensi 1. Berkonsultasi dengan physican untuk obat-obatan untuk meringankan detrusor sfingter (dsd) 2. mengelola vitamin c dan cranberry tablet, seperti yang diperintahkan 3. memonitor residual urine (sebaiknya tidak lebih dari 50 ml)
Rasional DSD adalah assosiated dengan jumlah besar sisa urin urin asam menghalangi pertumbuhan bakteri yang paling terlibat dalam cystis Monitor hati mendeteksi masalah awal, yang
16 | P a g e
4. menguji sampel urine terkontaminasi bakteri
5. mempertahankan teknik steril untuk kateterisasi intermitent sementara klien hospitalizaed (lenke et al, 2005), teknik bersih digunakan di rumah 6. menghindari menggunakan kateter berdiamnya kecuali diindikasikan oleh situasi individu klien (misalnya inabiliity untuk melakukan CISC karena imobilitas)
memungkinkan intervensi yang cepat untuk mencegah statis urin bakteri menghitung lebih dari 10 urine menunjukkan infeksi, ketika piuria hadir. beberapa dokter mungkin tidak ingin memperlakukan sampai klien memiliki gejala. penyebab paling umum dari infeksi bakteri diperkenalkan oleh cargiver yang tidak mencuci tangan secara memadai antara klien kateter yang berhubungan dengan infeksi saluran kemih berhubungan dengan kateter meluncur masuk dan keluar dari uretra, yang memperkenalkan patogen
d. Inkontinensia urine refleks berhubungan dengan gangguan impuls eferen penghambatan sekunder ke otak atau disfungsi sumsum tulang belakang Tujuan: Setelah diberikan asuhan keperawatan dalam waktu 2x 24 jam klien tidak atau hanya sedikit episode inkontinensia
1.
a. b.
c. d. 2.
Intervensi mengurangi halangan untuk membatalkan kebiasaan dengan menyediakan layanan, jika dibutuhkan: tali velcro pada pakaian pegangan tangan atau alat bantu mobilitas ke kamar mandi bedside commode Perkemihan menilai pola berkemih dan
Rasional langkah-langkah ini memastikan stabilitas klien untuk diri toilet sebelum inkontinensia terjadi. sering, sedikit waktu ada di antara timbulnya sensasi untuk membatalkan dan kontraksi baldder
sering berkemih dapat
17 | P a g e
mengembangkan jadwal sering kali berkemih 3.
jika terjadi inkontinensia, mengurangi waktu antara rencana berkemih
4.
jika diindikasikan, membatasi asupan cairan selama malam jika diperlukan, mengajar memicu berkemih, kompresi manual eksternal, atau tegang perut. lihat keperawatan diagnosisi refleks kandung kemih
5.
6.
7.
8.
mengajarkan dasar panggul excerces kegel latihan) untuk membantu memulihkan kontrol kandung kemih jika klien adalah kandidat: a. membantu klien untuk mengidentifikasi otot yang mulai dan berhenti buang air kecil b. menginstruksikan klien untuk mencoba exerxies selama 3 sampai 4 bulan untuk streng maka jaringan periuretheral memperkuat kebutuhan untuk hidrasi optimal (setidaknya 2000ml/day, kecuali kontraindikasi) mengajarkan biofeedback jika klien adalah calon (klien harus waspada dan memiliki memori yang baik) klien mungkin dapat belajar mengendalikan sphincteer dan mencegah kandung kemih tanpa
mengurangi urgensi dari kandung kemih overdistensi kapasitas kandung kemih dapat insuficient untuk mengakomodasi volume urine, necessiating lebih sering berkemih pembatasan cairan malam dapat membantu mencegah enuresis klien dengan unsur reflek yang bisa diajarkan stimulasi parasympatic dari otot detrusor, yang akan dimulai dan mempertahankan kontraksi kandung kemih untuk membantu mengosongkan kandung kemih berguna untuk beberapa klien dengan inkontinensia stres, latihan kegel memperkuat otot-otot dasar panggul, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kompetensi sfingter kemih
hidrasi optimal diperlukan untuk mencegah infeksi saluran kemih dan batu ginjal efektif untuk beberapa klien dengan urge incontinence, biofeedback menggunakan modifikasi perilaku untuk membiasakan klien untuk mengenali dan
18 | P a g e
hambatan mengisi selama sistometri atau mendengar pergerakan otot sfingter dalam aksi 9. jika ukuran lain gagal, rencana untuk mengelola oncontinence: a. laki-laki incontinencent dapat mengelola cukup casily dengan menggunakan sistem eksternal kondom drainase dan tas kaki atau kemaluan urinoir tekanan b. perempuan incontinenet memiliki masalah yang lebih sulit. bantalan inkontinensia yang sering digunakan, perangkat eksternal koleksi baru sedang dipasarkan, namun belum disempurnakan
mengendalikan kandung kemih yang tidak diinginkan kejang. jika teknik kandung kemih emprtyign tidak berhasil, metode lain untuk mengelola inkontinensia diperlukan
e. Resiko kesepian berhubungan rasa malu akan inkontinensia kepada orang lain dan takut bau dari urine Tujuan: Setelah diberikan asuhan keperawatan dalam waktu 2x 24 jam klien akan menurun perasaan kesepian Intervensi 1. mengakui frustrasi klien dengan inkontinensia
2. menentukan kelayakan klien untuk pelatihan kandung kemih, CISC, atau metode lain untuk mengelola inkontinensia
Rasional kepada klien, incontinencence mungkin tampak seperti reversi ke negarakanakan, inisial yang dia tidak memiliki kontrol atas fungsi tubuh dan merasa dikucilkan oleh orang lain. Akui ledging yang dificulty situasi dapat membantu mengurangi rasa frustrasi. Langkah-langkah ini dapat meningkatkan kontrol dan mengurangi rasa takut kecelakaan. CISC memiliki insiden rendah ISK
19 | P a g e
3. mengajarkan cara klien untuk mengontrol kelembaban dan bau. Banyak produk membuat tulisan dikelola dengan menyediakan perlindungan kebocoran handal dan masking bau. 4. mendorong klien untuk berani keluar awalnya sosial untuk jangka pendek, maka untuk meningkatkan panjang kontak sosial sebagai keberhasilan pada inkontinensia mangement meningkat
dibandingkan dengan foley kateter membantu klien untuk mengelola incontinance mendorong sosialisasi
perjalanan pendek membantu klien untuk secara bertahap mendapatkan kepercayaan diri dan mengurangi rasa takut
20 | P a g e
BAB III TINJAUAN ASUHAN KEPERAWATAN KASUS KASUS Ny. W usia 50 tahun datang ke Rumah Sakit Airlangga pada tanggal 3 Maret 2014 pukul 08.00 WIB. Ny A mengeluhkan sejak peristiwa setelah jatuh dari pohon jambu merasa sakit di daerah suprapubic jika ditekan dan ketika kencing, sebelum dipasang kateter Ny A mengeluhkan sering berkemih dengan jumlah sedikitsedikit. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dari simpisis pubis ke umbilicus dihasilkan bladder terpalpasi dan suara perkusi dullness. Hasil dari pemeriksaan radiologi ny. A mengalami spinal cord injury pada sacrum 2 dan hasil USG menunjukan adanya distensi bladder. Pemeriksaan TTV pasien menunjukkan suhu 38 ºC, RR= 22x/menit, TD = 110/70, Nadi : 90x/menit. Dari hasil laboratorium urin belum menunjukkan adanya tanda-tanda infeksi, pH urin 6; RBCs (Red Blood Cells) 3; WBCs (White Blood Cells) 3. 3.1 Pengkajian 1. Identitas: a. Nama: Ny. A f. Pekerjaan: Petani b. Jenis Kelamin: Perempuan g. Alamat: Gresik c. Umur: 50 tahun h. Tanggal Masuk: 3 Maret 2014 d. Agama: Islam i. Jam: 14.00 WIB e. Pendidikan: SMP 2. Riwayat Kesehatan a. Alasan Masuk RS: Semenjak terjatuh ketika memanjat pohon jambu Ny. A merasa ada gangguan pada saat berkemih. Kandung kemih penuh, sering berkemih tapi jumlah urinnya sedikit, terasa nyeri saat di tekan di daerah kandung kemihnya. b. Keluhan Utama: Tidak bisa tuntas dalam berkemih dan merasa sakit di perut bagian bawah ketika kencing dan ditekan. b. Riwayat penyakit sekarang : Neurogenic Bladder karena injuri pada sakrum 2. Hesitancy. c. Riwayat penyakit dahulu : Tidak ada d. Riwayat penyakit keluarga : Tidak ada anggota keluarga yang mengalami hal seperti pasien 3. Pemeriksaan fisik a. Status kesehatan umum Suhu : 38 0C Nadi : 90x/menit RR : 22x/menit b. Perkusi Suara dullnes di daerah suprapubic ke umbilicus c. Palpasi Kandung kemih terpalpasi B1 (Breathing)
21 | P a g e
RR : 22x/menit B2 (Blood) TD: 110/70 B3 (Brain) GCS : E= 4 V=5 M= 6 Injuri spinal cord di S2 B4 (Bladder) Kandung kemih penuh, sering berkemih, distensi bladder. Jumlah urin = 400 ml/ hari B5 (Bowel) Tidak ada masalah B6(Bone) Tidak ada masalah 4. Pemeriksaan Penunjang USG : distensi bladder; MRI: injuri spinal cord 5. Pemeriksaan Laboratorium pH urin 6; RBCs (Red Blood Cells) 3; WBCs (White Blood Cells) 3. Nilai normal (Morton & Fontaine, 2013) : pH = 4,5-7,5 RBCs = 0-3 WBCs = 0-4 3.2 Analisa Data Data
Etiologi
Data Subjektif: Pasien mengatakan nyeri ketika kandung kemih ditekan Data Objektif: distensi abdomen, suara dullness di suprapubic P : nyeri kandung kemih Q:R : di akndung kemih S:7 T : ketika ditekan
Spastic Neurogenic Bladder
Masalah Keperawatan Nyeri
Gangguan eliminasi urin Volume urin penuh Distensi kandung kemih Nyeri
22 | P a g e
Data Subjektif: Pasien mengatakan badanya panas Data Objektif: Suhu : 38 0C, RR= 22/ menit, terpasang kateter, pH urin 6; RBCs (Red Blood Cells) 3; WBCs (White Blood Cells) 3. Jumlah urin = 400 ml/ hari
Lesi lower motor neuron (sakrum 2)
Resiko infeksi
Spastic Neurogenic Bladder Hilangnya kesadaran & kontrol saraf Gangguan eliminasi urin Diinsersi kateter Resiko infeksi
3.3 Diagnosa dan Intervensi 1. Nyeri berhubungan dengan distensi kandung kemih Tujuan : pasien idak merasa nyeri Kriteria Hasil : a. RR 12x/ menit b. Skala nyeri : 0 c. Klien nampak tenang d. idak ada distensi kandung kemih
2.
Intervensi a. Kaji tingkat nyeri Rasional: memberikan informasi tentang efektivitas intervensi. b. Plester selang drainase di paha dan perut Rasional: untuk mencegah penarikan kandung kemih, dan erosi skrotal penis. c. Pertahankan tirah baring Rasional: mungkin diperlukan pada awal retensi akut namun ambulasi dini dapat meningkatkan pola berkemih normal. d. Berikan analgesik sesuai dengan program terapi . Rasional : Analgesik memblokir jalan nyeri Resiko infeksi berhubungan dengan insersi kateter Tujuan : tidak terjadi infeksi Kriteria hasil : a. Suhu 36 0C b. RR : 12-20x/menit c. urin bersih d. leukosit dan bakteri dalam kultur urin negatif Intervensi (Elsevier, 2012)
23 | P a g e
1.
2.
Kaji dan laporkan tanda dan gejala infeksi saluran kemih ( misalnya urin keruh, frekuensi, rasa terbakar saat buang air kecil, menggigil , suhu tinggi , urinalisis ada bakteri dan leukosit urine) Terapkan langkah-langkah untuk mencegah infeksi saluran kemih : a. Mempertahankan asupan cairan minimal 2500 ml/ hari kecuali kontraindikasi untuk mempromosikan pembentukan urin dan berkemih berikutnya, mengirigasi patogen dari uretra dan kandung kemih b. Intruksikan pada klien untuk menyeka dari depan ke belakang setelah buang air kecil atau buang air besar c. Bantu klien dengan perawatan perineum secara rutin dan setelah setiap buang air besar mempertahankan teknik steril selama kateterisasi urin dan irigasi d. Pertahankan kepatenan kateter e. Lakukan perawatan kateter sesering diperlukan untuk mencegah akumulasi lendir di sekitar meatus f. Pertahankan sistem drainase tertutup untuk mengurangi risiko pengenalan patogen ke dalam saluran kemih g. Simpan koleksi urin wadah di bawah permukaan kandung kemih setiap saat untuk mencegah refluks atau stasis urin h. Jika tanda-tanda dan gejala infeksi saluran kemih terjadi, kolaborasi manajemen dengan antimikroba
24 | P a g e
BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Neurogenic Bladder adalah kondisi terputusnya inervasi kandung kemih yang normal, neurologic bladder diklasifikasikan antara lain lesi diatas batang otak, lesi sempurna pada suprasacral spinal cord,trauma/ penyakit di sacral spinal cor, gangguan pd refleks perifer (injury distal ke spinal cord). Neurogenic Bladder bisa kurang aktif, dimana kandung kemih tidak mampu berkontraksi dan tidak mampu menjalankan pengosongan kandung kemih dengan baik; atau menjadi terlalu aktif dan melakukan pengosongan berdasarkan refleks yang tak terkendali. Pengobatan yang tepat dapat membantu mencegah disfungsi permanen dan kerusakan ginjal. 4.2 Saran Melalui makalah ini diharapkan mahasiswa keperawatan dapat memberikan asuhan keperawatan yang tepat dan baik karena telah mengetahui penyebabnya serta cara pencegahan maupun pengobatannya terhadap klien dengan gangguan Neurogenic Bladder.
25 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA Black, J. M. (2009). Medical-Surgical Nursing Ed.8th. Philadelphia: Saunders Elsevier. Carpenito, Lynda Juall. (2009). Nursing Care Plan & Documentation edisi 5. China: Library of Catloging Dorsher, Peter T.; McIntosh, Peter M., (2011). ‘Neurogenic Bladder’. Review articer, Advance in Urology, volume 2012, ID 816274, pg 16. Hindawi Publishing Corporation Elsevier, (2012). Nursing Diagnosis : Urinary Tracty Infection. Saunders : Elsevier. http://www1.us.elsevierhealth.com/SIMON/Ulrich/Constructor/diagnoses. cfm?did=41|42| [5 Maret 2014] Ginsberg, D. (2013). The Epidemiology and Pathophysiology of Neurogenic Bladder. The American Journal of Managed Care, Volume 19, pp. 191194. Japaradi, D. I. (2002). Manifestasi neurologis gangguan miksi. Medan: USU digital Library , 4-6. Lemone, Priscilla, Burke, Karen, (2008). Medical Surgical Nursing : Critical Thinking in Client Care, 4th edition. Pearson Education, Inc., Morton, Patricia Gonce, fontaine, Dorrie, C., (2013). Essential of Critical Care Nursing : a Holistic Approach. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins Nursalam. (2008). Proses dan Dokumentasi Keperawatan: Konsep dan Praktik . Jakarta: Salemba Medika. Saputra, Dr. Lyndon. (2012). Buku Saku Kpererawatan Pasien dengan Gangguan Fungsi Renal dan Urologi Disertai Contoh Kasus Klinik. Tanggerang: Bina rupa Aksara Publisher. Shenot. (2012). Merck Manual Home Health Handbook Neurogenic Bladder. http://www.merckmanuals.com/home/kidney_and_urinary_tract_disorders /disorders_of_urination/neurogenic_bladder.html diakses pada tanggal 05 Maret 2014 pukul 18.15 Smeltzer, Suzanne C. & Bare, Brenda G. (2004). Brunner & Suddarth’s Textbook of Medical Surgical Nursing 10th edition. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins Taylor, Cynthia M., (2003). Diagnosis Keperawatan : dengan Rencana Asuhan, Edisi 10. Jakarta : EGC Unbound Medicine. (2013). Neurogenic Bladder. http://nursing.unboundmedicine.com/nursingcentral/ub/view/Diseasesand-Disorders/73671/5/neurogenic_bladder
26 | P a g e
Lampiran WOC (Web Of Causation)
Penyakit Infeksius Akut : Mielitis Transversal
Kelainan Serebral : Stroke Tumor Otak Parkinson Multiple Sklerosis Demensia
Herpes Zooster
Alkoholisme Kronis
Gangguan Metabolik : Hipotiroidisme Porfiria Uremia Diabetes Mellitus
Lesi Supra Pons
Penyakit Kolagen : SLE
Agenesis Sakrum
Penyakit /Trauma pada Medula Spinalis
Tekanan urinasi Intravesikal
Mengganggu Jaras untuk menginhibisi saraf
Kontraksi Kandung Kemih /Bladder
Keracunan Logam Berat
Lesi Lower Motor Neuron (di Bawah S2-S4)
Lesi antara Pusat Miksi Pons dan Sakral Medula Spinalis
Hilang Inhibisi
Hiperrefleksi otot detrusor
Penyakit Vaskular : Aterosklerosis
Kapasitas Kandung Kemih
Gangguan pada Kontraksi otot detrusor dan pengaturan fungsi sfingter
Kontraksi otot detrusor Disinergia Detrusor-Sfingter (DDS)
Tekanan Urinasi Intravesikal Kontraksi otot detrusor Hipertrofi dinding Kandung Kemih Kegagalan Relaksasi Sfingter Trabekulasi
Spasme Sfingter Urinarius
Retensi Residual Urine
Resiko Tinggi Infeksi
Bladder Flassid
Nyeri Miksi terhambat Tekanan Urinasi Intravesikal
Bladder Spastik
Pemasangan Kateter
Dirstensi Bladder tanpa disengaja
Inkontinensia Overflow
Berkurang nya Tonus Sfingter Ani
Aliran urine terputus-putus Peningkatan Tonus Sfingter Ani
Urinasi Involunter Tumpulnya persepsi akan kandung kemih yang penuh
27 | P a g e
Inkontinensia Urine
Resiko Kesepian
Resiko Tinggi Ketidakefektifan Penatalaksanaan Program Terapeutik
28 | P a g e