BAB II ALJABAR HIMPUNAN
Pendahuluan
Pada BAB II ini akan dibahas lebih lanjut tentang hukum-hukum dan rumus-rumus yang yang berlak berlaku u pada pada himpun himpunan. an. Untuk Untuk lebih lebih memaham memahamii materi materi pada pada bab 1 ini penggu pengguna na diharap diharapaka akan n sudah sudah mengua menguasai sai dasar-d dasar-dasar asar matemat matematika ika modern modern yang yang mana mana dibutu dibutuhka hkan n pemahaman tentang pembuktian-pembuktian teorema, seperti pembuktian dengan cara reductio ad absurdum ataupun dengan direct proof . Secara terperinci, setelah mempelajari bab 1 ini diharapkan pengguna dapat: 1.
Memah Memaham amii huk hukum um-hu -huku kum m yan yang g ber berla laku ku dan dan tid tidak ak berl berlak aku u pad padaa him himpu puna nan. n.
2.
Meng Menggu guna naka kan n ope opera rasi si dan dan rum rumus-r us-rum umus us him himpu puna nan n deng dengan an ben benar ar.. 3. Merumuskan Merumuskan pembuktian pembuktian dengan dengan Diagram Diagram Venn Venn selain selain dengan dengan reductio ad absurdum dan direct proof 4. Menggambar Menggambarkan kan komposisi komposisi himpu himpunan nan sesuai dengan dengan permasalahan permasalahan yang yang ada. 5. Membed Membedaka akan n plain plain set set denga dengan n order ordered ed set set 6. Menghi Menghitun tung g Cartesia Cartesian n product product dua dua himpun himpunan an 7. Memaham Memahamii dan memb membent entuk uk Himpun Himpunan an Kuasa Kuasa 8. Membuk Membuktik tikan an himpu himpunan nan yang yang ekuiv ekuivale alen n 9. Memaham Memahamii Ekui Ekuipot potensi ensi himpun himpunan an 10. Memahami Memahami konsep awal Kardinalitas Kardinalitas himpunan himpunan Untuk menguji kepahaman pembaca tentang materi pada BAB II ini, pada akhir bab akan diberikan beberapa latihan soal.
Kegiatan Belajar
II. 1 Aljabar Himpunan
Himpunan menurut operasi gabungan (union), irisan (intersection) dan komplemen (complemen) akan memenuhi berbagai hukum yang merupakan identitas. Berbagai rumus dan
definisi di bawah akan menjelaskan hukum-hukum pada himpunan. Salah satu cabang matematika yang menyelidiki teori himpunan dengan mempelajari teorema-teorema yang dihasilkan dari hukum-hukum ini, yakni teorema-teorema yang buktinya memerlukan penggunaan hukum-hukum ini saja tanpa menggunakan hukum lain adalah aljabar himpunan. Pembahasan berikut merupakan pembahasan dari aljabar himpunan.
Definisi X disebut himpunan bagian dari Y dengan notasi X ⊂ Y jika dan hanya jika
( ∀ a) a ∈ X ⇒ a ∈ Y. Sedangkan X = Y jika dan hanya jika ( ∀ a) a∈ X ⇔ a ∈ Y Apabila X ⊂ Y dan X ≠ Y maka X disebut himpunan bagian sejati dari Y. Himpunan kosong φ dan Y sendiri disebut himpunan bagian tak sejati dari Y ( improper subset ).
Berikut diberikan rumus-rumus himpunan ( tidak disertai bukti ) berlaku untuk setiap X, Y, Z Rumus 1
X⊂ X
sifat refleksif
X⊂ Y & Y⊂ X ⇒ X = Y
sifat anti-symetris
X⊂ Y & Y⊂ Z ⇒ X⊂ Z
sifat transitif
Rumus 2
X ∩ X = X dan X ∪ X = X
sifat idempoten
X ∩ Y = Y ∩ X dan X ∪ Y = Y ∪ X
sifat komutatif
(X ∩ Y) ∩ Z = X ∩ (Y ∩ Z) dan (X ∪ Y) ∪ Z = X ∪ (Y ∪ Z)
sifat assosiatif
X ∩ (Y ∪ Z) = (X ∩ Y)
∪
(X ∩ Z) dan
X ∪ (Y ∩ Z) = (X ∪ Y) ∩ (X ∪ Z)
sifat distributif
Rumus 3
X ⊂ (X ∪ Y) dan Y ⊂ (X ∪ Y) ( X ∩ Y ) ⊂ X dan (X ∩ Y) ⊂ Y X⊂ Z & Y⊂ Z ⇔ X∪Y ⊂ Z Z ⊂ X & Z ⊂ Y ⇔ Z ⊂ (X ∩ Y)
Rumus 4
X⊂ Y ⇔ X∪ Y = Y ⇔ X∩ Y = X
13
Rumus 5 (Rumus de Morgan )
( X ∩ Y )C = XC
∪
YC
( X ∪ Y )C = XC
∩
YC
Rumus 6
( XC ) C = X
φ C = S SC = φ
Rumus 7
φ ⊂ X ⊂ S φ ∩ X = φ
dan
S∩X = X
φ ∪ X = X
dan
S∪X = S
X ∩ XC = φ
dan
X ∪ XC = S
Rumus 8 ( Hukum Absorpsi)
X ∩ (X ∪ Y) = X ∪ (X ∩ Y)
Rumus 9
X-Y=X
∩
YC
Contoh 2.1: Buktikan X ⊂ Y ⇔ YC ⊂ XC Bukti : i ) X ⊂ Y ⇒ YC ⊂ XC Andaikan YC ⊄ XC, maka ada a
∈
YC sedemikian sehingga a ∉ XC. Karena a
berarti a ∉ Y dan dilain pihak a ∉ XC berarti a
∈
X. Terlihat adanya a
∈
∈
YC
X dengan a ∉ Y.
Hal ini bertentangan dengan ketentuan X ⊂ Y. Kontradiksi, sehingga pengandaian harus diingkar maka terbukti Y C ⊂ XC.
ii ) YC ⊂ XC ⇒ X ⊂ Y
14
Andaikan X ⊄ Y, maka ada a dengan a XC dan a
∈
∈
X dan a ∉ Y. Sehingga ada a dengan a ∉
YC . Kontradiksi dengan ketentuan Y C ⊂ XC .
Bukti semacam diatas disebut reduction ad absurdum ( bukti kemustahilan ). Dari ingkaran apa yang harus dibuktikan ( pengandaian adalah ingkaran dari apa yang harus dibuktikan ) diturunkan suatu kontradiksi, sesuatu yang mustahil. Umpama, sesuatu yang bertentangan dengan ketentuan, atau umpama kalimat 1 = 2 dst. Karena kemustahilan ini tidak mungkin terjadi maka pengandaian harus diingkar, dan terbuktilah soalnya. Perhatikan bahwa bukti dari contoh 1 di atas juga dapat dipandang sebagai bukti dari kalimat kontraposisi dari kalimat yang harus dibuktikan, yaitu bukti dari kalimat YC ⊄ XC ⇒ X ⊄ Y Perbedaan dari reduction ad absurdum dengan bukti dari kalimat kontraposisi ialah bahwa pada reduction ad absurdum kontradiksi yang diturunkan tidak perlu berupa ingkaran dari anteseden dari kalimat yang harus dibuktikan, melainkan dapat berupa apapun asal mustahil terjadi Dengan diagram
Venn benarnya C
Y
soal 1 diatas
memang
mudah
diyakini X
Y
XC
S
Gambar. 2.1
Contoh 1 di atas dapat juga dibuktikan secara langsung ( direct proof ) yaitu : X⊂ Y ⇔ X∪Y = Y
rumus 4
⇔
(X ∪ Y)C = YC
⇔
XC ∩ YC = YC
rumus de Morgan
YC ⊂ XC
rumus 4
⇔
terbukti X ⊂ Y ⇔ YC ⊂ XC 15
Contoh 2.2 : Buktikan (A ∪ B) ∩ (A ∪ B’) = A Bukti: (A ∪ B) ∩ (A ∪ B’) = A ∪ (B ∩ B’) B ∩ B’ = φ
∴ (A ∪ B)
∩
rumus komplemen (A ∪ B’) = A ∪ φ
A∪ φ = A
∴ (A ∪ B)
rumus distributif
rumus subtitusi rumus identitas
∩
(A ∪ B’) = A
rumus subtitusi.
Contoh 2.3: Buktikan X ⊂ Y dan Y ⊂ Z menunjukkan X ⊂ Z Bukti: X = X ∩ Y dan Y = Y ∩ Z ∴
definisi sub himpunan
X = X ∩ (Y ∩ Z)
rumus subtitusi
X = (X ∩ Y) ∩ Z
rumus assosiatif
∴
X = X∩ Z
rumus subtitusi
∴
X⊂ Z
definisi sub himpunan
Pada himpunan hukum-hukum kanselasi dalam aljabar himpunan tidak berlaku. Yaitu dari
X
Y Z
16
X ∩ Z = Y ∩ Z tidak boleh diturunkan X = Y Demikian pula dari X∪ Z = Y
∪Z
tidak boleh
diturunkan X = Y Hal ini jelas terlihat dari diagram-diagram Venn di bawah X
ini
Y
Z
X
∩Z
= Y∩ Z = Z
X
∪Z
=Y
∪Z
=Z
Gambar. 2.2
Perhatikan bahwa dengan sendirinya diagram Venn dapat digunakan untuk membuktikan bahwa sesuatu ucapan tidak berlaku umum. Sebab diagram dalam keadaan tersebut memberikan suatu contoh-lawanan ( counter example ) atau dapat juga disimpulkan bahwa diagram Venn tidak dapat dipakai untuk membuktikan suatu teorema kecuali buktinya berupa contoh kontra.
Contoh 2.4: Buktikan X ∩ Z = Y
∩Z
dan X
∪Z
=Y
∪Z
maka X = Y
Bukti : X=X
∩(
X∪ Z )
=X
∩(
Y∪ Z )
= (X
∩ Y) ∪
rumus absorpsi
(X ∩ Z)
rumus distributif rumus komutatif
= (Y ∩ X)
∪
(X ∩ Z)
= (Y ∩ X)
∪
(Y ∩ Z)
= Y ∩ (X ∪ Z)
rumus distributif
= Y ∩ (Y ∪ Z) 17
=Y terbukti bahwa X = Y.
Selanjutnya didefinisikan symmetric difference ( selisih symetris ) dari dua himpunan X dan Y, dengan tanda X ∆ Y, sebagai berikut : X ∆ Y = (X ∪ Y) - (X ∩ Y) Dengan diagram Venn
Gambar 2.3 Jadi X ∆ Y terdiri atas elemen-elemen X yang tidak berada dalam Y dan elemen-elemen Y yang tidak berada dalam X.
Contoh 2.5: Buktikan : i)
X ∆ Y = ( X ∪ Y ) ∩ (XC ∪ YC) = ( X ∩ YC) ∪ ( Y ∩ XC)
ii)
X∆Y = Y∆X
iii)
( X ∆ Y) ∆ Z = X ∆ (Y ∆ Z)
iv)
X ∩ (Y ∆ Z) = (X ∩ Y) ∆ (X ∩ Z)
Bukti : Bukti i) dan ii) silahkan dicoba sendiri! iii)
Misal dinotasikan ( X ∆ Y) = α dan (Y ∆ Z) = β . Anggota-anggota dari α terdiri atas anggota-anggota X yang tidak berada dalam Y dan anggota-anggota Y yang tidak berada dalam X. Sedangkan anggota-anggota dari α ∆ Z terdiri atas anggota-anggota Z yang tidak berada dalam α dan anggota α yang tidak dalam Z. Tetapi anggota-anggota dalam X ∩ Y justru tidak dalam α . Sehingga anggota-anggota dari ( X ∆ Y) ∆ Z terdiri atas : 1. Elemen-elemen yang tepat berada dalam salah satu himpunan X, Y atau Z . 2. Elemen-elemen yang sekaligus berada dalam X, Y dan Z Walaupun jalan pikiran di atas didasarkan atas diagram Venn namun menggunakan diagram Venn sebagai pertolongan sangat banyak memudahkan mengikuti jalan pikiran 18
Gambar. 2.4
Demikian juga X ∆ (Y ∆ Z) terdiri atas elemen-elemen dalam 1 dan 2 diatas. Sehingga terbukti ( X ∆ Y) ∆ Z = X ∆ (Y ∆ Z) .
iv) Akan dibuktikan X ∩ (Y ∆ Z) = (X ∩ Y) ∆ (X ∩ Z) X ∩ (Y ∆ Z) = X ∩ (Y
∩ ZC
. ∪ . Z ∩ YC) = X ∩ Y ∩ ZC . ∪ . X ∩ Z ∩ YC
Sedangkan : ∩ Z)C
. ∪ . (X ∩ Z) ∩ (X ∩ Y)C
(X ∩ Y) ∆ (X ∩ Z) = (X
∩ Y) ∩
(X
= (X
∩ Y) ∩
(XC ∪ ZC).
∪.
(X
∩ Z) ∩
(XC ∪ YC)
= X ∩ Y ∩ XC. ∪ . X ∩ Y ∩ ZC. ∪ . X ∩ Z ∩ XC . ∪ . X ∩ Z ∩ YC = φ .
∪.
X ∩ Y ∩ ZC .
∪.
φ .
∪.
X ∩ Z ∩ YC
= X ∩ Y ∩ ZC . ∪ . X ∩ Z ∩ YC Maka terbukti X ∩ (Y ∆ Z) = (X ∩ Y) ∆ (X ∩ Z).
II.2 PERGANDAAN KARTESIUS
Pada suatu himpunan bersahaja (plain set) urutan tidak diperhatikan sehingga : {a,b}={b,a}. Sedangkan suatu elemen timbul satu kali saja sebagai anggota suatu himpunan (“kartu keanggotaan” diberikan satu kali saja). Demikianlah tidak boleh ditulis : { a, a, b} Sebaliknya pada suatu ordered n-tuple, khususnya ordered pair , urutan diperhatikan, sedangkan anggota boleh diulang. Untuk membedakan plain set dengan ordered set maka tanda kurung kurawal diganti dengan tanda kurung biasa. Di bawah ini diberikan definisi kesamaan dua ordered pairs Definisi (a1 , b1) = (a2 , b2)
jika dan hanya jika
a1 = b1 dan a2 = b2
19
Perhatikan bahwa pengertian ordered pair dapat dikembalikan pada plain set, demikian :
Definisi Pasangan berurutan (a , b) adalah plain set {{a}, {a,b}}. Dengan rumus (a , b) = df.
{{a}, {a,b}}
Bahwa definisi di atas efektif terlihat dari teorema di bawah ini.
Teorema 1. (a1 , b1) = (a2 , b2) jika dan hanya jika a1 = b1 dan a2 = b2
bukti : 1 . Apabila a1 = a2 dan b1 = b2 maka { a1 } = { a2 } dan {a1 , b1}= {a2 , b2} Sehingga {{a1}, {a1 ,b1}} = {{a2}, {a2 ,b2}}. Yaitu ( a1 , b1 ) = ( a2 , b2 ) 2. Sebaliknya, apabila diketahui ( a1 , b 1 ) = ( a2 , b 2 ) yaitu {{a1}, {a1 ,b1}} = {{a2}, {a2 ,b2}} maka haruslah { a1 } = { a2 } sehingga terbukti a1 = a2 , dan haruslah juga {a1 ,b1}={a2 ,b2} dan karena telah terbukti a1= a2 maka terbukti juga b1= b2.
Definisi Cartesian product H x K dari dua himpunan H dan K adalah himpunan semua
pasangan berurutan (h,k ) dengan h ∈ H dan k ∈ K. H x K = df. { (h,k ) | h ∈ H dan k ∈ K} (h,k ) ∈ H x K jhj h ∈ H dan k ∈ K Apabila H = { a,b } dan K = { c,d } maka : H x K = { ( a,c ), ( a,d ), ( b,c ), ( b,d ) } K x H = { ( c,a ), ( c,b ), ( d,a ), ( d,b ) } H x H = { ( a,a ), ( a,b ), ( b,a ), ( b,b ) } Perhatikan bahwa pada umumnya H x K ≠ K x H. Cartesian Product dapat diperluas sampai meliputi n himpunan : H 1 x H2 x…….. x Hn yang terdiri aras n-tuple (h1 , h2 , ….,hn) dengan h1 ∈ Hi
untuk setiap i . Generalisasi lebih lanjut dibicarakan pada pasal pemetaan.
Rumus 10. ( H1 ∩ H2) x ( K 1 ∩ K 2 ) = H1 x K 1 ∩ H2 x K 2
Bukti : ( H1
∩
H2) x ( K 1 ∩ K 2 )
= {(a,b) | a ∈ H1 ∩ H2 dan b ∈ K 1 ∩ K 2} = {(a,b) | a ∈ H1& a∈ H2 dan b∈ K 1& b∈ K 2} = {(a,b) | a ∈ H1& b∈ K 1 dan a ∈ H2 & b∈ K 2} = {(a,b) | a ∈ H1& b∈ K 1} = H1 x K 1
∩
∩
{( a ,b) | a∈ H2 & b ∈ K 2}
H2 x K 2 20
Catatan. Pada bukti diatas digunakan rumus : { x | P(x) & Q(x) } = { x | P(x) } ∩ {x | Q(x) } Sebab { x | P(x) & Q(x) } terdiri atas anggota-anggota x dari semestanya yang sekaligus memiliki sifat P dan sifat Q. Himpunan ini sama dengan interseksi ( ∩ ) dari himpunan elemen-elemen yang memiliki sifat p saja dengan himpunan elemen-elemen yang memiliki sifat Q saja. Demikian juga dapat dibuktikan rumus : { x | P(x) v Q(x) } = { x | P(x) } ∪ {x | Q(x) }
Sebaliknya pada umumnya ( H x K )
∪
M ≠ ( H ∪ M ) x (K ∪ M) karena ruas kiri
adalah himpunan yang anggota-anggotanya adalah pasangan atau individu, sedangkan anggota-anggota dari himpunan di ruas kanan adalah pasangan-pasangan saja. Demikian juga pada umumnya ( H x K )
∩
M ≠ ( H∩M )
∩
(K x M).
Contoh 2.6 Buktikan H - ( K ∪ M ) = ( H - K )
∩
(H-M)
Bukti : H - ( K ∪ M ) = { a | a ∈ H & a ∉ K ∪ M } = { a | a ∈ H & a ∉ K & a∉ M } Sedangkan : (H-K)
∩
( H - M ) = { a | a ∈ H & a∉ K}
∩
{ a | a ∈ H & a∉ M }
= { a | a ∈ H & a ∉ K & a∉ M } Ternyata kedua syarat keanggotaan sama.
Definisi Himpunan Kuasa 2H dari himpunan H adalah himpunan semua himpunan bagian H.
Misal H = { a, b, c }, maka 2 H = { φ , {a}, {b}, {c}, {a,b}, {a,c}, {b,c}, {a,b,c} } Perhatikan {a,b} ⊂ H tetapi {a,b}
∈
2H.
Teorema 2. Apabila H berhingga dan terdiri atas n anggota, maka himpunan kuasa 2H
mempunyai 2n anggota. Bukti : Himpunan kuasa 2 H terdiri atas : 21
1. Himpunan kosong φ , banyaknya 1 2. Himpunan-himpunan bagian yang terdiri atas satu elemen. Disebut singleton, 1 banyaknya C n . 2 3. Himpunan-himpunan bagian yang terdiri atas dua elemen, banyaknya C n . Demikian
seterusnya sampai akhirnya himpunan-himpunan bagian yang terdiri atas n elemen n banyaknya C n
Sehingga banyaknya anggota dari 2 H menjadi ; 1 1 + C n +
2
C n
+ …. +
n
C n
= ( 1+1 ) n = 2 n dengan menggunakan beberapa rumus elementer
dari teori kombinasi. Pada bab selanjutnya teorema tersebut akan dibuktikan dengan jalan lain
Definisi Dua himpunan H dan K disebut ekuivalen jika dan hanya jika antara anggota-
anggotanya ada korespondensi satu-satu timbal balik. Dengan kata lain jika dan hanya jika ada pemetaan bijektif dari H ke K. notasi H ~ K .
Pemetaan bijektif dari H ke K terpenuhi jika pemetaannya (misalkan R) mempunyai sifat-sifat berikut 1. R refleksif, yakni untuk tiap-tiap h
∈ H,
h dipetakan kepada dirinya sendiri.
2. R simetris, yakni jika h∈ H dipetakan kepada k ∈ K maka k dipetakan kepada h. 3. R transitif, yakni jika h ∈ H dipetakan kepada k ∈ K dan k dipetakan kepada l ∈ L maka h dipetakan kepada l. Banyaknya anggota dari himpunan H disajikan dengan H dan disebut kardinalitas dari H. Notasi ini akan diterangkan kelak pada waktu membicarakan pengertian kardinalitas jika juga menyangkut himpunan tak berhinga. Untuk sementara akan dibatasi dulu pada himpunan yang berhingga. Apabila H dan K berhingga maka jika H ~ K jelas H dan K mempunyai banyak anggota yang sama. Jadi H = K .
Definisi H · K = df. H x K dimana tanda ‘·‘ diruas kiri menyatakan pergandaan bilangan
sedangkan tanda “ x “ di ruas kanan menyatakan Cartesian product dua himpunan.
22
Perhatikan bahwa pergandaan dari dua bilangan H dan K dalam definisi di atas didefinisikan lepas dari repeated addition, tetapi dengan menggunakan Cartesian product. Akan dibuktikan ekuivalensi dari dua definisi itu.
Contoh 2.7
H = { h 1, h2, h3 } , K = {k 1 , k 2 } H x K = { ( h 1, k 1), ( h1, k 2), ( h2, k 1), ( h2, k 2), ( h3, k 1), ( h3, k 2) }
dan
H x K =
H
·
K
=3·2=2+2+2
Bukti: Misalkan H terdiri atas n anggota dan K terdiri atas m anggota, maka H x K dikomposisikan atas n himpunan K 1, K 2, … , K n yang saling asing dimana untuk setiap i berlaku K i = K . Dekomposisi ini dikerjakan sbb : K i = {( hi, k 1), ( hi, k 2), …. , ( h i, k m)} Maka K i ~ K dank arena i berjalan dari 1,…,n maka ada n himpunan K i masing-masing terdiri atas m anggota. Maka H x K mempunyai m + m + … + m ( ada n suku ) anggota. Dengan mudah dapat dilihat bahwa bukti berlaku untuk setiap m dan setiap n.
Definisi Didefinisikan K H adalah himpunan semua pemetaan dari H ke K.
Misalkan K = {0,1} dan A ⊂ H. Maka f A : H → K disebut fungsi karateristik dari himpunan bagian A, dan didefinisikan dengan f (h) = 1 untuk h
∈
A dan f (h) = o untuk h
∈
H - A.
1 A H
K
0
Gambar. 2.5
Perhatikan bahwa setiap himpunan bagian A dari H menentukan dengan tunggal satu pemetaan dari H ke K ( jadi satu anggota dari K H dan sebaliknya ). Sehingga himpunan kuasa dari H ekuipoten dengan K H, jika K terdiri atas dua anggota. Hal ini merupakan alasan mengapa himpunan kuasa H disajikan dengan 2 H. Jadi : 2H ~ K H jika K terdiri dari dua anggota
23
Definisi
H
K
= df. K H
Di dalam definisi ini pemangkatan bilangan didefinisikan lepas dari repeated multiplicatiaon, tetapi juga akan dibuktikan ekuivalen dengannya (maksudnya pemangkatan disini bukan seperti pemangkatan bilangan dalam bilangan Riil). Sebagai contoh diambil H = { h 1,h2,h3 } dan K = { k 1,k 2 }, Sehingga H = 3 dan
k 1
K
=2
k 2
K
h1
h2
h3
H Gambar. 2.6
Perhatikan bahwa setiap pemetaan dari H ke K ( disajikan dengan garis penuh ) menentukan dengan tunggal suatu insersi
dari K ke H ( disajikan dengan garis putus-putus ) dan
sebaliknya . Sehingga himpunan semua insersi dari K ke H ekuivalen dengan himpunan semua pemetaan dari H ke K. Perhatikan pula setiap insersi menentukan dengan tunggal suatu triple dan sebaliknya. Pada Gambar. 6 diatas insersinya menentukan triple ( k 1,k 2,k 3 ), sehingga semua insersi ekuipoten dengan himpunan triple dengan anggota-anggota K, yaitu K x K x K. Pandangan pandangan tersebut menghasilkan K H ~ K x K x K
dan
K H = K x K x K
Maka H 3 K H = K = 2 = K x K x K = K · K · K = 2 · 2 · 2 = 8
Catatan Dengan uraian di atas maka Teorema 1 dapat dibuktikan lepas dari rumus-rumus dalam teori kombinasi
24
Rumus 11.
( H1 x H2 ) K ~ H1K x H2K Bukti : Misalkan f
∈
( H1 x H2 ) K , maka k → f (k) = ( h1,h2 )
∈
H1 x H2
karena h1 maupun h2 tertentu dengan tunggal maka perkawanan k dengan h 1 dan k dengan h 2 menentukan dengan tunggal fungsi-fungsi f 1
∈
H1K dan f 2
∈
H2K
f 1 : k → f 1 (k) = h1 f 2 : k → f 2 (k) = h2 Maka f ∈ ( H1 x H2 ) K menentukan dengan tunggal ( f 1 , f 2 ) ∈ H1K x H2K Dengan mudah dapat dilihat bahwa kebalikannya juga berlaku. Sehingga terbuktilah rumus di atas. Ekuipotensi itu dapat dinyatakan dan dibuktikan lebih baik lewat teorema di bawah ini
Teorema 3 Pada setiap pasangan pemetaan ( fungsi ) f 1 : K → H1 dan f 2 : K → H2 dengan
domain yang sama, dapat ditemukan tepat satu pemetaan g : K → H1 x H2 sedemikian sehingga diagram di bawah ini adalah komutatif, yaitu sedemikian sehingga f 1 = p1
g dan f 2 = p2
g , dimana p1 dan p2 adalah proyeksi kesatu dan
proyeksi kedua. K f 1
k f 2
f 1
f 2
g H1
p1
H1 x H2
g H2
p2
h1
p1
(h1, h2)
p2
h2
Gambar 2.7
Dalam teorema di atas dinyatakan bahwa hanya ada satu kemungkinan untuk mengisi anak panah yang putus-putus itu dengan anak panah penuh, sedemikian sehingga diagramnya komutatif. Bukti : Apabila f 1 dan f 2 ditentukan maka f 1(k) = h1 dan f 2(k) = h2 tertentu dalam H1 dan H2 . Maka pemetaan g : K → H1 x H 2 ditentukan dengan k → (h1,h2). Karena p1 : ( h1,h2 ) → h1 dan p2 : ( h1,h2 ) → h2 maka f 1 = p1
g dan f 2 = p2
g .
25
Misalkan ada g 1 sedemikian sehingga f 1 = p1 maka f 1 (k) = h1 = p 1
g 1 dan f 2 = p2
g 1 dan misalkan g 1 (k) = (a·b),
g 1 (k) = p1 (a·b) = a. Sehingga a = h1. Demikian juga b = h 2, dengan
kata lain g 1 = g . Sebaliknya, apabila g ditentukan dengan g (k) = (a·b) maka p1 g (k) = a dan p2 g (k) =
b. agar diagramnya komutaif maka f i dan f 2 tertentu dengan tunggal, yaitu f 1 (k) = a dan
f 2
(k) = b . Dari uraian diatas dapat disimpulkan : ( H1 x H2 ) K ~ H1K x H2K Pandang sekarang himpunan fungsi-fungsi H (K 1 xK 2 ) . Jadi misalkan f : K 1 x K 2 → H
→ f (x·y)
: (x·y) Jika y
∈
∈
K 2 konstanta sedangkan x
K 1 variabel maka y menentukan fungsi :
f y : K 1 → H atau dengan notasi lain f (-,y) : K 1 → H Perhatikan sekarang pengawanan y → f y, karena setiap y
∈ K 2
menentukan dengan tunggal
suatu f y ( fungsi dari K 1 ke H ) maka pengawanan di atas menentukan fungsi dari K 2 ke H K 1 yang kita sebut F sebagai berikut : F : K 2 → H K 1 : y → f (y) = f y = F (-,y) dengan kata lain , F adalah fungsi dengan K 2 sebagai domain, yang harga fungsinya yaitu F (y) = f (-,y) adalah fungsi dari K 1 ke H. Sehingga untuk x
∈
K 1 maka [ F (y)] (x) = f (x·y).
Teorema 4 Dengan ditentukannya K 1, K 2 dan H maka pengawanan f → F yang
didefinisikan dengan [ F ( y)] (x) = f (x·y) untuk semua x
∈
K 1 dan y
∈
K 2
menghasilkan bijeksi : H
(K 1 xK 2 )
K K ~ (H 1 ) 2
Bukti : Akan dibuktikan terlebih dahulu bahwa pemetaan f → F adalah surjektif. Ambil K
sebarang F ∈ (H 1 )
K 2
, maka F : K 2 → H K 1 , sehingga setiap y
∈ K 2
menentukan F : K 1 → H
H untuk setiap x
∈ K 1
. Dengan demikian, apabila diketahui F maka dengan
menggunakan F ini, setiap (x·y)
∈ K 1
x K 2 menentukan [ F (y)] (x)
dan [ F (y)] (x)
∈
∈
H . Dengan kata lain
setiap F menentukan fungsi f : K 1 x K 2 → H. Jadi fungsi f → F adalah surjektif. Sekarang akan dibuktikan f → F adalah injektif. Misalkan F tersebut menentukan fungsi f 1 → F dan juga f 2 → F . Ambil y
∈ K 2
dan x
∈ K 1
maka f 1(x·y) maupun f 2(x·y)
dihitung dengan menentukan terlebih dahulu F (y), kemudian menghitung [ F ( y)] (x) .
26
∈ K 1
Sehingga f 1(x·y) = f 2(x·y) untuk setiap (x·y)
x K 2. Jadi f 1 = f 2 dan f 1 → F adalah injektif.
Karena telah terbukti surjektif mak f 1 → F bijektif.
Latihan Soal:
1) Buktikan X ⊂ YC jhj X ∩ Y = φ 2) Buktikan X - ( X - Y ) = X ∩ Y 3) Buktikan ( X - Y ) C = Y
∪
XC
4) Buktikan X - (Y ∩ X) = X - Y 5) Buktikan ( X - Y )
∪
(Y-X)=(X
∪Y
)-(X
∩Y
)
6) Buktikan
X ∪ Y = S dan X ∩ Y = φ maka X = Y C
7) Buktikan
X
∩Y
= X ∩ YC maka X = φ
8) Apakah konvers ( kebalikan ) dari soal 6 dan soal 7 juga berlaku? Buktikan jika demikian 9) Buktikan
X = φ jhj Y = ( X ∩ YC )
10) Buktikan
X ⊂ Y ⊂ Z maka ( X - Y )
∪
(XC ∩ Y) ∪
(Y-Z)=X -Z
11) Sederhanakanlah X
∩
(XC
∪ Y)
.
∪.
Y
∩
(Y ∪ Z) .
∪.
Y
12) Berilah contoh dari himpunan yang tidak kosong dengan sifat bahwa semua anggotaanggotanya adalah himpunan bagian dari himpuna itu sendiri. 13) Buktikan apabila X dan Y adalah dua himpunan maka X dapat dipecah atas dua himpunan saling-asing yaitu : X=(X-Y)
∪
( X ∩ Y)
Buktikan juga soal-soal : 14) H x (K ∩ M) = H x K ∩ H x M 15) H x (K ∪ M) = H x K ∪ H x M
27
16) (H ∩ K) x M = H x M 17) (H ∪ K) x M = H x M 18) (H1
∪
∩ ∪
KxM KxM
H2) x (K 1 ∪ K 2) = H1 x K 1. ∪ . H1 x K 2. ∪ H2 x K 1. ∪ H2 x K 2..
Perhatikan perbedaan dengan rumus (H1
∩
H2) x (K 1 ∩ K 2) = H1 x K 1
∩
H2 x K 2
19) ( H - K ) x M = ( H x M ) - ( K x M )
28