GUTTAE DAN INJEKSI
Guttae (Obat Tetes) Adalah sediaan cair berupa larutan, emulsi atau suspensi yang dimaksudkan untuk obat dalam atau obat luar, digunakan dengan cara meneteskan menggunakan penetes yang menghasilkan tetesan setara dengan tetesan yang dihasilkan penetes baku dalam F armakope Indonesia. Sediaan obat tetes dapat berupa: 1. Guttae (Obat Tetes) Apabila disebutkan tanpa penjelasan maka yang dimaksud obat tetes untuk obat dalam. Dapat digunakan dengan cara meneteskannya kedalam makanan atau minuman. 2. Guttae Oris (Tetes Mulut) Tetes mulut adalah obat tetes yang diperuntukkan untuk kumur-kumur, sebelum digunakan diencerkan lebih dulu dengan air dan tidak untu k ditelan. 3. Guttae Auriculares (Tetes Telinga) Tetes telinga adalah obat tetes yang digunakan dengan cara meneteskan obat ke dalam telinga. Bila tidak dinyatakan lain cairan pembawa yang digunakan adalah bukan air. Cairan pembawa yang digunakan harus mempunyai kekentalan yang sesuai agar obat mudah menempel pada dinding telinga, biasanya digunakan gliserin dan propilen glikol. Selain tersebut dapat pula digunakan etanol, heksilenglikol dan minyak lemak nabati. Bila sediaan berupa suspensi sebagai zat pensuspensi digunakan sorbitan, polisorbat atau surfaktan lain yang cocok. Kecuali dinyatakan dinyatakan lain pH tetes telinga adalah 5,0-6,0 dan disimpan dalam wadah tertutup rapat. 4. Guttae Nasales (Tetes Hidung) Tetes hidung adalah obat bebas yang digunakan dengan cara meneteskan obat ke dalam rongga hidung yang mengandung zat pensuspensi, pendapar dan pengawat. Sebagai cairan pembawa umumnya digunakan air. pH cairan pembawa antara 5,5-7,5 dengan kapasitas sedang, isotonis atau hampir isotonis. Cairan pembawa tidak boleh menggunakan minyak mineral atau minyak lemak. Sebagai zat pensuspensi biasanya digunakan sorbitan, polisorbat atau surfaktan lain yang cocok dengan kadar tidak lebih dari 0, 01% b/v. Zat pendapar digunakan zat yang cocok degan pH 6,5 dan dibuat isotonis dengan Natrii Chloridum. Zat pengawat yang digunakan umumnya Benzalkonium Chlorida 0,01% b/v – 0,1% b/v. Tetes hidung disimpan dalam wadah tertutup rapat. Penyimpanan : kecuali dinyatakan lain, disimpan dalam wadah tertutup rapat. 5. Guttae Ophthalmicae (Tetes Mata) Tetes mata adalah sediaan steril berupa larutan atau suspensi yang digunakan de ngan cara meneteskan obat pada selaput lendir mata disekitar kelopak mata dan bola mata. Tetes mata berupa larutan jernih, bebas partikel asing, benang dan serat.
Syarat-syarat obat tetes mata, yaitu: a) Steril b) Sedapat mungkin isohidris c) Sedapat mungkin isotonis Beberapa larutan pembawa yang digunakan untuk obat tetes mata, yaitu: a) Pembawa asam borat b) Pembawa asam borat khusus c) Pembawa fosfat isotonik Penyimpanan : Dalam wadah kaca atau plastik tertutup kedap, volume 10 ml yang dilengkapi dengan penetes. Penandaan : pada etiket harus tertera “Tidak boleh digunakan lebih dari satu bulan setelah tutup dibuka”.
Injeksi Adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi, suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan terlebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan cara merobek jarigan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lendir. A. Macam-macam penyuntikan : 1. Injeksi Intrakutan (i.k/i.c) atau intradermal. Dimasukkan ke dalam kulit yang sebenarnya dan digunakan untuk diagnosis. Volume yang disuntikkan antara 0,1-0,2 ml, berupa larutan atau suspensi dalam air. 2. Injeksi Subkutan (s.k/s.c) atau hipodermik. Disuntikkan ke dalam jaringan di bawah kulit ke dalam alveolus, volume yang disuntikkan tidak lebih dari 1 ml. Umumnya larutan bersifat isotonis, pH netral dan bersifat depo (absorpsi lambat). Dapat diberikan dalam jumlah besar ( volume 3-4 liter/hari dengan penambahan enzim hialuronidase), jika pasien tidak dapat menerima infus intravena dan sering disebut hipodermoklisa. 3. Injeksi Intramuskular (i.m) Disuntikkan ke dalam atau di antara lapisan jaringan atau otot. Injeksi dapat berupa larutan, suspensi atau emulsi. Volume penyuntikan antara 4-20 ml, disuntikkan perlahan lahan untuk mencegah rasa sakit. 4. Injeksi Intravena (i.v) Disuntikkan ke dalam pembuluh vena. Inje ksi hanya boleh melalui larutan sebab apabila menggunakan suspensi atau emulsi akan menyumbat bembuluh darah vena. Volume yang disuntikkan antara 1-10 ml. Injeksi intravena yang diberikan dalam dosis tunggal dengan volume lebih dari 10 ml disebut infus intrvena/infundabilia. 5. Injeksi Intraarterium (i.a) Disuntikkan ke dalam pembuluh darah arteri/perifer/tepi, volume antara 1-10 ml dan tidak boleh mengandung bakterisida.
6. Injeksi Intrakordal/intrakardiak (i.kd) Disuntikkan langsung ke dalam jantung atau ventrikel, tidak boleh mengandung bakterisida dan hanya digunakan dalam keadaan gawat. 7. Injeksi Intratekal (i.t), intraspinal, intrasisternal (i.s), intradural (i.d), subaraknoid Disuntikkan langsung ke dalam saluran sumsum tulang belakang didasar otak (antara 3-4 atau 5-6 lumbar vertebrata) tempat terdapatnya cairan cerebrospinal. Larutan harus isotonis karena sirkulasi cairan cerebrospinal lambat. 8. Injeksi Intraartikular. Disuntikkan ke dalam cairan sendi di dalam rongga sendi. Bentuk suspensi atau larutan dalam air. 9. Injeksi subkonjungtiva. Disuntikkan ke dalam selaput lendir di bawah mata. Berupa suspensi atau larutan dan tidak lebih dari 1 ml. 10. Injeksi Intrabursa. Disuntikkan ke dalam bursa subcromillis atau bursa olecranon dalam bentuk larutan suspensi dalam air. 11. Injeksi Intraperitoneal (i.p) Disuntikkan langsung ke dalam rongga perut. Penyerapan berlangsung cepat namun berbahaya untuk infeksi besar. 12. Injeksi peridural (p.d), ekstradural,epidural. Disuntikkan ke dalam ruang epidural, terletak di atas durameter, lapisan penutup terluar dari otak dan sumsum tulang belakang. B. Komponen Obat Suntik 1. Bahan obat a. Memenuhi syarat yang tercantum sesuai monografinya masing-masing dalam farmakope. b. Pada etiket tercantum: p.i (pro injection) c. Obat yeng beretiket p.a (pro analisis), walaupun secara kimiawi terjamin kualitasnya tetapi belum tentu memenuhi syarat untuk injeksi. 2. Zat Pembawa/zat pelarut Dibedakan menjadi 2, antara lain: a. Zat pembawa berair. Umumnya digunakan air dan dapat pula injeksi Natrium Klorida, injeksi Natrium Klorida majemuk, injeksi glukosa, campuran gliserol dan etanol. Zat pembawa berair harus bebas pirogen. b. Zat pebawa tidak berair. Umumnya digunakan minyak utuk injeksi (olea pro injection) meliputi oleum sesami, oleum olivarum, oleum arachidis. 3. Bahan pembantu. Ditambahkan dengan maksud: a. Mendapatkan pH yang optimal. b. Mendapatkan larutan isotonis. c. Mendapatkan larutan isoioni. d. Sebagai zat bakterisida e. Sebagai pemati rasa etempat ( anastetik lokal).
f. Sebagai stabilitator. C. Perhitungan Isotonis (Perhitungan Tekanan Osmosis) Isotonis adalah suatu keadaan pada saat tekanan osmosis larutan dalam obat sama dengan tekanan osmosis cairan tubuh kita (darah,air mata).
Hipotonis adalah tekanan osmosis larutan obat lebih kecil dari tekanan osmosis cairan tubuh.
Hipertonis adalah tekanan osmosis larutan obat besar dari tekanan osmosis cairan tubuh.
Beberapa cara menghitung tekanan osmosis,antara lain: 1. Cara penurunan titik beku (PTB) air. Suatu larutan dinyatakan isotonis dengan serum atau cairan mata jika membeku pada suhu -0,52°C. untuk memperoleh larutan isotonis dapat ditambahkan NaCl atau zat lain yang cocok yang dapat dihitung dengan rumus:
B=
,
Keterangan: B
: bobot zat tambahan (NaCl) dalam satuan gram untuk tiap 100 ml
larutan 0,52: titik beku cairan tubuh (-0,52°C) b1 : penurunan titik beku zat khasiat C
: konsentrasi dalam satuan % zat khasiat
b2 : penurunan titik beku zat tambahan (NaCl) Tiga jenis keadaan tekanan osmosis larutan obat:
Isotonis, jika nilai B = 0; maka b 1C = 0,52
Hipotonis, jika nilai B positif; maka b1C < 0,52
Hipertonis, jika nilai B negartif; maka b 1C > 0,52
2. Cara Ekuivalensi NaCl Yang dimaksud dengan ekuivalensi NaCl (E) adalah banyaknya g NaCl yang memberikan efek osmosis yang sama dengan 1 g zat tertentu.
V = (W x E) Keterangan : V
,
= (W x E) 111,1 : volume larutan yng sudah isotonis dalam satuan ml
W : bobot zat aktif dalam satuan gram E
: nilai ekuivalen zat aktif
B = , × V – (W × E) Keterangan : B V
: bobot zat tambahan dalam satuan gram : volume larutan dalam satuan ml
W : bobot zat khasiat dalam satuan gram E
: ekuivalen zat aktif terhadap NaCl
Tiga jenis keadaan tekanan osmosis, antara lain:
Isotonis, jika nilai B = 0;maka 0,9/100 × V = ( W × E)
Hipotonis, jika nilai B positif; maka 0,9/100 × V > ( W × E)
Hipertonis, jika nilai B negatif; maka 0,9/100 × V < ( W × E)
3. Cara faktor disosiasi Sudah ditetapkan bahwa larutan NaCl 0,9% b/v isotonis dengan cairan tubuh. Tekanan osmosis larutan sebanding dengan jumlah bagian-bagian dalam larutan. Dalam larutan encer, dapat dikatakan bahwa garam-garam terdisosiasi sempurna. Maka faktor isotonis = ( f a / Ma) × a Keterangan : f a : faktor disosiasi zat yang mendekati sebenarnya,zat yang tidak terdisosiasi seperti glukosa dan gliserin = 1; asam lemah dan basa lemah = 1,5 : asam kuat dan basa kuat = 1,8 Ma : bobot molekul zat. a, b, c ... Dst adalah kadar zat dalam larutan dalam satuan g/liter. Setiap larutan yang memiliki faktor isotonis = 0,28 adalah isotonis Maka dirumuskan :
( f a / Ma) × a + ( f b / Mb) × b + ......dst = 0,28 Untuk menghitung banyaknya zat penambah (h) dalam membuat larutan isotonis dapat dirumuskan :
h = (Mh/f n)×{0,28−[(f a / Ma) × a + ( f b / Mb) × b + ......dst} 4. Cara grafik Pada cara grafik terdapat tabel yang langsung dapat dibaca jumlah penambahan NaCl dalam gram/100 ml yang hrus ditambahkan kedalam larutan. D. Pembuatan larutan Injeksi 1. Cara Aseptik Digunakan jika bahan obat tidak dapat disterilkan karena akan rusak atau terurai. Langkah – langkah: a) Zat pembawa, zat pembantu, wadah, alat-alat untuk pembuatan, dan alat lain yang digunakan disterilkan sendiri-sendiri. b) Bahan obat, zat pembawa, dan zat pembantu dicampur secara aseptik di ruang aseptik. c)
Setelah terbentuk larutan injeksi diberi etiket dan dikemas.
2. Cara Non-Aseptik Digunakan sterilisasi akhir. Langkah - langkah: a) Bahan obat dan zat pembantu dilarutkan kedalam zat pembawa dan dibuat larutan injeksi. b) Saring hingga jernih dan tidak boleh ada serat yang terbawa kedalam filtrat larutan. c)
Masukkan ke dalam wadah dalam keadaan bersih.
d) Setelah dikemas, hasilnya disterilkan. E. Tempat dan penyimpanan obat suntik 1. Wadah dosis tunggal (single dose) Yaitu wadah untuk sekali pakai. Ditutup dengan cara mel eburkan ujungnya dengan api.
2. Wadah dosis ganda (multiple dose) Yaitu wadah untuk beberapa kali penyuntikan,biasanya ditutup dengan karet dan alumunium. Berdasarkan bahan pembuatnya,yaitu: 1. Wadah kaca. 2. Wadah plastik.