David Wyanto 10 2007 159 Blok 16 Gastrointestinal II
Gastroesophageal Refluks (GERD)
Pada gastroesophageal refluks (GERD) adalahkondisi di mana esophagus mengalami iritasi atau inflamasi karena refluks asam dari lambung. Refluks terjadi ketika otot berbentuk cincin yang secara normal mencegah isi lambung mengalir kembali menuju esophagus disebabkan esophageal sphincter bagian bawah tidak berfungsi sebagaimana mestinya.Gejala yang paling umum adalah rasa panas atau nyeri terbakar di sekitar dada. Diagnosa tersebut didasarkan pada gejala-gejala. gejala-gejala. Esophagus mengeluarkan lapisan pelindung tetapi akibat asam lambung dan enzim yang mengalir ke belakang (refluks) menuju esophagus secara rutin menyebabkan gejala-gejala dan pada beberapa kasus esophagusmengalami kerusakan yang berat pada mukosa. Asam dan enzim mengalir kembali ketika esophageal sphincter bagian bawahtidak berfungsi sebagaimana mestinya. Ketika seseorang berdiri atau duduk, gravitasi membantu untuk mencegah isi perut mengalir kembali menuju esophagus , hal ini menjelaskan kenapa refluks bisa memburuk ketika seseorang sedang berbaring. Refluks dapat terjadi segera setelah makan, ketika jumlah dan keasaman isi di dalam lambung lebih tinggi dan otot sphincter tidak mungkin untuk bekerja sebagaimana mestinya. Faktor yang menyebabkan terjadinya refluks termasuk pertambahan berat badan, makanan berasam, coklat, minuman berkafein dan berkarbonat, alkohol, merokok tembakau, dan obat-obatan tertentu. Jenis obat-obatan yang bertentangan dengan fungsi esophageal sphincter bagian bawah termasuk apa yang memiliki efek antikolinergik (seperti berbagai antihistamin dan beberapa antihistamin). Penghambat Penghambat saluran kalsium, progesteron, dan nitrat. Alkohol dan kopi juga berperan dengan merangsang produksi asam. Penundaan pengosongan lambung (disebabkan diabetes atau penggunaan opioid) bisa juga memperburuk refluks.
Etiologi Penyakit refluks
bersifat
gastroesofageal multifaktorial.
Hal ini dapat terjadi oleh karena
perubahan sementara
yang
ataupun
sifatnya
permanen
pada barrier diantara esophagus dan lambung. Selain itu juga, dapat disebabkan oleh karena sfingter esophagus bagian bawah yang inkompeten, relaksasi dari sfingter esophagus bagian bawah yang bersifat sementara, terrganggunya ekspulsi dari refluks lambung dari esophagus, ataupun hernia hiatus.
Patogenesis Esofagus dipisahkan
oleh
dan suatu
gaster zona
tekanan tinggi yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter (LES). Pada individu normal,
pemisah
ini
akan
dipertahankan kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat menelan, atau aliran retrograd yang terjadi pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster ke esophagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah.
Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 meka nisme : a. Refluks spontan spontan pada pa da saat relaksasi r elaksasi LES yang tidak adekuat b. Aliran retrograde yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan c. Meningkatnya tekanan intraabdominal Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esophagus dan faktor ofensif dari bahan refluksat. Yang termasuk faktor defensif esophagus, adalah pemisah antirefluks (lini pertama), bersihan asam dari lumen esophagus (lini kedua), dan ketahanan epithelial esophagus (lini ketiga). Sedangkan yang termasuk faktor ofensif adalah sekresi gastrik dan daya pilorik. Pemisah antirefluks
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya tonus LES dapat menyebabkan timbulnya refluks retrograde pada saat terjadinya peningkatan tekanan intraabdomen.Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang normal. Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus LES adalah adanya hiatus hernia, panjang LES (makin pendek LES, makin rendah tonusnya), obat-obatan (misal antikolinergik, beta adrenergik, teofilin, opiate, dll), dan faktor hormonal. Selama kehamilan, peningkatan kadar progesteron dapat menurunkan tonus LES. Namun dengan perkembangan teknik pemeriksaan manometri, tampak bahwa pada kasus ka sus-kasus -kasus GERD dengan tonus LES yang normal yang berperan dalam terjadinya proses refluks ini adalah transient LES relaxation (TLESR), yaitu relaksasi LES yang bersifat spontan dan berlangsung lebih kurang 5 detik tanpa didahului proses menelan. Belum diketahui bagaimana terjadinya TLESR ini, tetapi pada beberapa individu diketahui ada hubungannya dengan pengosongan lambung yang lambat (delayed gastric emptying) dan dilatasi lambung. Peranan hiatus hernia pada patogenesis terjadinya GERD masih kontroversial. Banyak pasien GERD yang pada pemeriksaan endoskopi ditemukan hiatus hernia, namun hanya sedikit yang memperlihatkan gejala GERD yang signifikan. Hiatus hernia dapat memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk bersihan asam dari esophagus serta menurunkan tonus LES.
Bersihan
asam dari lumen esophagus Faktor-faktor yang berperan dalam bersihan asam dari esophagus
adalah gravitasi, peristaltik, ekskresi air liur, dan bikarbonat. Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan refluksat akan kembali ke lambung dengan dorongan peristaltic yang dirangsang oleh proses menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar saliva dan kelenjar esophagus. Mekanisme bersihan ini sangat penting, karena makin lama kontak antara bahan refluksat dengan esophagus (waktu transit esophagus) makin besar kemungkinan terjadinya esofagitis. Pada sebagian besar pasien GERD ternyata memiliki waktu transit esophagus yang normal sehingga kelainan yang timbul disebabkan karena peristaltic esophagus yang minimal. Refluks malam hari (nocturnal reflux) lebih besar berpotensi menimbulkan kerusakan esophagus karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan esophagus tidak aktif. Ketahanan epithelial esophagus Berbeda dengan lambung dan duodenum, esophagus tidak memiliki lapisan mukus yang melindungi mukosa esophagus. Mekanisme ketahanan epithelial esophagus terdiri dari : -membran sel -batas intraselular (intracellular junction) yang membatasi difusi H+ ke jaringan esophagus -aliran darah esophagus yang mensuplai nutrien, oksigen, dan bikarbonat, serta mengeluarkan ion H+ dan CO2 -sel-sel esophagus memiliki kemampuan untuk mentransport ion H+ dan Clintraseluler dengan Na+ dan bikarbonat ekstraseluler. Nikotin dapat menghambat transport ion Na+ melalui epitel esophagus, sedangkan alcohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion H. Yang dimaksud dengan faktor ofensif adalah potensi daya rusak refluksat. Kandungan lambung yang menambah potensi daya rusak refluksat terdiri dari HCl, pepsin, garam empedu, dan enzim pancreas.
Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung dari bahan yang dikandungnya. Derajat kerusakan mukosa mukosa esophagus makin meningkat pada pH < 2, atau adanya pepsin atau garam empedu. Namun dari kesemuanya itu yang memiliki potensi daya rusak paling tinggi adalah asam. Faktor-faktor lain yang berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan di lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain dilatasi lambung, atau obstruksi gastric outlet dan delayed gastric emptying. Peranan infeksi helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan kurang didukung oleh data yang ada. Namun demikian ada hubungan terbalik antara infeksi H. pylori dengan strain yang virulens (Cag A positif) dengan kejadian esofagitis, Barrett¶s esophagus dan adenokarsinoma esophagus. Pengaruh dari infeksi H. pylori terhadap GERD merupakan konsekuensi logis dari gastritis serta pengaruhnya terhadap sekresi asam lambung. Pengaruh eradikasi infeksi H. pylori sangat tergantung kepada distribusi dan lokasi gastritis. Pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi H. pylori dengan predominant antral gastritis, pengaruh eradikasi H. pylori dapat menekan munculnya gejala GERD. Sementara itu pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi H. pylori dengan corpus predominant gastritis, pengaruh eradikasi H. pylori dapat meningkatkan sekresi asam lambung serta memunculkan gejala GERD. Pada pasien-pasien dengan gejala GERD pra-infeksi H. pylori dengan antral predominant gastritis, eradikasi H. pylori dapat memperbaiki keluhan GERD serta menekan sekresi asam lambung. Sementara itu pada pasien-pasien dengan gejala GERD pra-infeksi H. pylori dengan corpus predominant gastritis, eradikasi H. pylori dapat memperburuk keluhan GERD serta meningkatkan sekresi asam lambung. Pengobatan PPI jangka panjang pada pasien-pasien dengan infeksi H. pylori dapat mempercepat terjadinya gastritis atrofi. Oleh sebab itu, pemeriksaan serta eradikasi H. pylori dianjurkan pada pasien GERD sebelum pengobatan PPI jangka panjang. Walaupun belum jelas benar, akhir-akhir ini telah diketahui bahwa non-acid reflux turut berperan dalam patogenesis timbulnya gejala GERD. Yang dimaksud dengan non-acid reflux adalah berupa bahan refluksat yang tidak bersifat asam atau refluks
gas.
Dalam
keadaan
hipersensitivitas visceral.
ini,
timbulnya
gejala
GERD
diduga
karena
Anamnesis Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di epigastrium atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri biasanya dideskripsikan sebagai rasa terbakar (heartburn), kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia (kesulitan menelan makanan), mual atau regurgitasi dan rasa pahit pa hit di lidah. dah. Walau demikian, derajat berat ringannya keluhan heartburn ternyata tidak berkorelasi dengan temuan endoskopik. Kadang-kadang timbul rasa tidak enak retrosternal yang mirip dengan keluhan pada serangan angina pectoris. Disfagia yang timbul saat makan makanan padat mungkin terjadi karena striktur atau keganasan yang berkembang dari Barrett¶s esophagus. Odinofagia (rasa sakit saat menelan makanan) bisa timbul jika sudah terjadi ulserasi esophagus yang berat. Peradangan pada kerongkongan (esophagitis) bisa menyebabkan pendarahan yang biasanya ringan tetapi bisa jadi besar. Darah kemungkinan dimuntahkan atau keluar melalui saluran pencernaan, menghasilkan kotoran berwarna gelap, kotoran berwarna ter (melena) atau ata u darah merah terang, jika pendarahan cukup berat. berat. Penyempitan ( stricture) stricture) pada kerongkongan dari reflux membuat menelan makanan keras meningkat lebih sulit. Gejala-gejala Gejala-gejala lain pada gastroesophageal gastroesophageal reflux termasuk nyeri dada, luka tenggorokan, suara parau, ludah berlebihan (water brash), rasa bengkak pada tenggorokan (rasa globus), dan peradangan pada sinus (sinusitis). Dengan iritasi lama pada bagian bawah kerongkongan dari refluks berulang, lapisan sel pada kerongkongan bisa berubah (menghasilkan sebuah kondisi yang disebut Barrett¶s esophagus). Perubahan bisa terjadi bahkan pada gejala-gejala yang tidak ada. Kelainan sel ini adalah sebelum kanker dan berkembang menjadi kanker pada beberapa orang. GERD dapat juga menimbulkan manifestasi gejala ekstra esophageal yang atipik dan sangat bervariasi mulai dari nyeri dada non-kardiak (non-cardiac chest pain/NCCP), suara serak, laryngitis, batuk karena aspirasi sampai timbulnya bronkiektasis atau asma. Di lain pihak, beberapa penyakit paru dapat menjadi faktor predisposisi untuk timbulnya GERD karena timbulnya perubahan anatomis di daerah gastroesophageal high pressure zone akibat penggunaan obat-obatan yang menurunkan tonus LES (misalnya teofilin).
Ge j l GER GER
i
er j l
er l
l
t j rang ter jad jadii epi epi
de
akut akut atau keadaan yang bersi bers i at mengancam nyawa. Ol Oleh sebab itu, itu, umumnya pasi pas ien dengan GER GER memer lukan penat penatalaksanaan secara medi medik.
Pemeri Pemeri
i i
Pada kasus GER GER pemer iksaan f isik ti k tidak dak tter lalu banyak membant memban tu.
Pemeri Pemeri
Penunjang
Disampi samping anamnesi anamnes is dan pemer iksaan f isik yang seksama, beberapa pemer iksaan penun jang jang dapat dapat dilakukan ilakukan unt untuk menegakkan di d iagnosi agnos is GER GER D, D, yait yaitu u: Endoskopi Endoskopi sal saluran cerna bagi bagian at atas Pemer iksaan endoskopi endoskop i sal saluran cerna bagi bagian atas merupakan st s tandar baku un tuk diagnosi agnos is GER GER D dengan dit ditemukannya emukannya mucosal mucosa l bre br eak di esophagus (esofagiti (esofag itiss ref luks). ilai perubahan Dengan mel melakukan pemer iksaan endoskopi endoskop i dapat dapa t dinila makroskopi makroskopik dar i mukosa esophagus, ser ta dapat dapat menyi menyingk irkan keadaan pat patologi ogis lain yang dapat dapa t meni menimbul mbulkan ge ja jala GER GER D. D. Jika tidak tidak dit ditemukan emukan mucosal mucosa l break pada pemer iksaan endoskopi endoskop i sal saluran cerna bagi bagian atas pada pasi pasien dengan ge ja jala khas GER GER D, D, keadaan ini disebut sebut non-erosi non-eros i e ref lux disease (NER (NER D). D).
Ditemukannya itemukannya kel kelainan esofagiti esofagitiss pada pemer iksaan endoskopi endoskop i yang di di pasti pastikan kan dengan pemer iksaan
hi histopat opatologi ogi
(bi (biopsi opsi),
dapat dapa t
mengkonf irmasi rmasikan bahwa ge ja jala hear t burn burn at atau regurgit regurgitas asii tersebut ersebut disebabkan ol oleh GER GER D. D. Pemer iksaan hi histopat opatologi ogi juga juga dapat dapat memasti memastikan kan
adanya
Barrett arrett s
esophagus,
displ splasi as ia, atau keganasan. Ti T idak ada buk ti ti yang mendukung
per lunya
Barrets Esophagus
pemer iksaan
histopat opatologi/ ogi/ bi biopsy pada NER NE R D. D. Terdapat Terdapat beberapa k lasi asif ikasi kas i kel kelainan esofagiti esofagitiss pada pemer iksaan
endoskopi pada pasien GERD, antara lain klasifikasi Los Angeles dan klasifikasi Sa varry-Miller. varry-Miller. lasifikasi Los K lasifikasi
Angeles
erajat
Gambaran endoskopi
erusakan
Erosi kecil-kecil pada mukosa esophagus dengan diameter < 5 mm Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter > 5 mm tanpa saling berhubungan Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/mengelilingi mengenai/mengelilingi seluruh lumen Lesi mukosa esophagus yang bersifat sirkumferensial (mengelilingi seluruh lumen esophagus)
Esofagografi Esofagografi dengan barium Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak menunjukkan menunjukkan kelainan, terutama teruta ma pada kasus esofagitis ringan. Pada keadaan yang lebih berat, gambar radiology dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, ulkus, atau penyempitan lumen. Walaupun pemeriksaan ini sangat tidak sensitive untuk diagnosis GERD, namun pada keadaan tertentu pemeriksaan ini mempunyai nilai lebih dari endoskopi, yaitu pada stenosis esophagus derajat ringan akibat esofagitis peptic dengan gejala disfagia, dan pada hiatus hernia. Pemantauan pH 24 jam Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal esophagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan mikroelektroda pH pada bagian distal esophagus. Pengukuran pH pada esophagus
bagian
distal
dapat
memastikan
ada
tidaknya
refluks
gastroesofageal. pH dibawah 4 pada jarak 5 cm di atas LES dianggap diagnostik untuk refluks gastroesofageal. Tes Bernstein
Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal dan melakukan perfusi bagian distal esophagus dengan HCl 0,1 M dalam waktu kurang dari 1 jam. Tes ini bersifat pelengkap terhadap monitoring pH 24 jam pada pasien-pasien dengan gejala yang tidak khas. Bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada seperti yang biasanya dialami pasien, sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan rasa nyeri, maka test ini dianggap positif. Test Bernstein yang negative tidak menyingkirkan adanya nyeri yang berasal dari esophagus. Pemeriksaan Darah Sa mar Perdarahan di dalam saluran pencernaan dapat disebabkan baik oleh iritasi ringan maupun kanker yang serius. Bila perdarahannya banyak, bisa terjadi muntah darah, dalam tinja terdapat darah segar atau mengeluarkan tinja berwarna kehitaman (melena). elena). Jumlah darah yang terlalu sedikit sehingga tidak tampak atau tidak merubah penampilan tinja, bisa diketahui secara kimia; dan hal ini bisa merupakan petunjuk awal dari adanya ulkus, kanker dan kelainan lainnya. Pada pemeriksaan colok dubur, dokter mengambil sejumlah kecil tinja . Contoh ini diletakkan pada secarik kertas saring yang mengandung zat kimia. Setelahditambahkan bahan kimia lainnya, warna tinja akan berubah bila terdapat darah.
Diagnosis kerja Berdasarkan gejala yang ada, seperti jika makan sedikit saja perut terasa penuh, dadanya terasa panas, dan terasa asam di mulut. Batuk dan sesak serta mempunyai riwayat astma. Pada penderita astma sekitar 40-70% mengalami gastroesophageal refluks. Maka diagnosis kerjanya a dalah GERD.
Diagnosis Banding Achalasia Akalasia ( K ardiospas ardiospas me, Esophageal
aperistaltis , Megaesofagus )
adalah suatu kelainan yang berhubungan dengan saraf, yang tidak diketahui
penyebabnya. Gastritis (radang lapisan la mbung) mbung) Gastritis adalah peradangan pada lapisan lambung la mbung.. Kanker esophagus Pada kanker kerongkongan adalah squamous sel carcinoma dan adenocarcinoma, yang terjadi di dalam sel yang melewati dinding pada kerongkongan. kerongkongan. Kanker ini bisa terjadi dimana di mana saja di dalam kerongkongan kerongkongan dan da n bisa terlihat sebagai penyempitan pada kerongkongan (penyempitan), sebuah pembengkakan, daerah flat yang tidak normal (plaque), atau jaringan yang tidak normal (fistula). Ulkus Peptikum Ulkus Peptikum adalah luka berbentuk bulat atau oval yang terjadi karena lapisan lambung atau usus dua belas jari ((duodenu duodenum ) telah termakan oleh asam la mbung dan dan getah pencernaan. Ulkus yang dangkal disebut erosi. erosi. Esophagitis Esophagitis terutama disebabkan oleh GERD. Tetapi dapat pula disebabkan oleh infeksi, efek obat, terapi radiasi, penyakit sistemik, dan trauma.
Pengobatan Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya hidup, terapi medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai dilakukan terapi endoskopik.Target penatalaksanaan GERD adalah menyembuhkan lesi esophagus, menghilangkan gejala/keluhan, mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah timbulnya komplikasi. Non Medikamentosa
Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari penatalaksanaan GERD, namun bukan merupakan pengobatan pengobatan pri mer. Walaupun belum ada studi yang dapat memperlihatkan kemaknaannya, namun pada dasarnya usaha ini bertujuan
untuk mengurangi frekuensi refluks serta mencegah kekambuhan. Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup, yaitu : Meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta menghindari makan sebelum tidur dengan tujuan untuk meningkatkan bersihan asam selama tidur serta mencegah refluks asam dari lambung ke esophagus. Makan makanan makana n terakhir 3-4 jam sebelum tidur Berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol karena keduanya dapat
menurunkan
tonus
LES
sehingga
secara
langsung
mempengaruhi sel-sel epitel
Mengurangi konsumsi lemak serta Mengurangi jumlah makanan makana n
yang
dimakan dimaka n
karena
keduanya kedua nya
dapat
menimbulkan distensi lambung Menurunkan berat badan pada pasien kegemukan Menghindari pakaian ketat sehingga dapat mengurangi tekanan intraabdomen Menghindari makanan/minuman seperti coklat, teh, peppermint, kopi dan minuman bersoda karena dapat menstimulasi sekresi asam Jika memungkinkan menghindari obat-obat yang dapat menurunkan tonus LES seperti antikolinergik, teofilin, diazepam, opiate, antagonis kalsium, agonis beta adrenergic, progesterone. Medikamentosa
Terdapat
berbagai
tahap
perkembangan
terapi
medikamentosa
pada
penatalaksanaan GERD ini. Dimulai dengan dasar pola pikir bahwa sampai saat ini GERD merupakan atau termasuk dalam kategori gangguan motilitas saluran cerna bagian atas. Namun dalam perkembangannya sampai saat ini terbukti bahwa terapi supresi asam lebih efektif daripada pemberian obat-obat prokinetik untuk memperbaiki gangguan motilitas. Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up dan step
down. Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-obat yang tergolong kurang kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik, bila gagal diberikan obat golongan penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan masa terapi lebih lama (penghambat pompa proton/PPI). Sedangkan pada pendekatan step down pengobatan dimulai dengan PPI dan setelah berhasil dapat dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis reseptor H2 atau prokinetik atau bahkan antacid. Menurut Genval Statement (1999) serta Konsensus Asia Pasifik tentang penatalaksanaan GERD (2003) telah disepakati bahwa terapi lini pertama untuk GERD adalah golongan PPI dan digunakan pendekatan terapi step down. Berikut
adalah
obat-obatan
yang
dapat
digunakan
dalam
terapi
medikamentosa GERD : Antasid Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala GERD tetapi tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer terhadap HCl, obat ini dapat memperkuat tekanan sfingter esophagus bagian bawah. Kelemahan obat golongan ini adalah rasanya kurang menyenangkan, dapat menimbulkan diare terutama yang mengandung magnesium serta konstipasi terutama antasid yang mengandung aluminium, penggunaannya sangat terbatas pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Antagonis reseptor H2 Yang termasuk dalam golongan obat ini adalah simetidin, ranitidine, famotidin, dan nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini efektif dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus. Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan pengobatan esofagitis es ofagitis derajat ringan sampai sedang serta ta npa komplikasi. Obat-obatan prokinetik Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan GERD karena penyakit ini lebih condong kearah gangguan motilitas. Namun, pada prakteknya, pengobatan pengobatan GERD sangat bergantung pada penekanan sekresi asam. Metoklopramid
Obat ini bekerja sebagai antagonis reseptor dopamine. Efektivitasnya rendah dalam mengurangi gejala serta tidak berperan dalam penyembuhan lesi di esophagus kecuali dalam kombinasi dengan antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa proton. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat timbul efek terhadap susunan saraf pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor, dan diskinesia. Domperidon Golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamine dengan efek samping yang lebih jarang dibanding metoklopramid karena tidak melalui sawar darah otak.Walaupun efektivitasnya dalam mengurangi keluhan dan penyembuhan lesi esophageal belum banyak dilaporkan, golongan obat ini diketahui dapat meningkatkan tonus LES serta mempercepat pengosongan pengosongan lambung. Cisapride Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat mempercepat pengosongan lambung serta meningkatkan tekanan tonus LES. Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi esophagus lebih baik dibandingkan dengan domperidon. Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat) Berbeda dengan antasid dan penekan sekresi asam, obat ini tidak memiliki efek langsung terhadap asam lambung. Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan pertahanan mukosa esophagus, sebagai buffer terhadap HCl di eesofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini cukup aman diberikan karena bekerja secara topikal (sitoproteksi). Penghambat pompa proton (Proton Pump Inhhibitor/PPI) Golongan obat ini merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD. Golongan obat-obatan ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan mempengaruhi enzim H, K ATP-ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses pembentukan asam asa m lambung. lambung. Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial) ya ng dapat dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan (maintenance therapy) selama 4 bulan atau ondemand therapy, tergantung dari derajat esofagitisnya.
Pencegahan Beberapa
peralatan
kemungkinan
digunakan
untuk
meringankan
gastroesophageal reflux. Mengangkat kepala pada tempat tidur kira-kira 6 inci mencegah asam mengalir dari kerongkongan sebagaimana seseorang tidur. Makanan dan obat-obatan yang menjadi penyebab harus dihindari, sama seperti merokok. Pemberian obat bethanechol atau metoclopramide juga biasa digunakan untuk membuat sphincter bagian bawah lebih ketat. Makanan dan minuman yang secara kuat merangsang perut untuk menghasilkan asam atau yang menghambat pengosongan perut harus dihindari sebaiknya.
Prognosis Pada umumnya studi pengobatan memperlihatkan hasil tingkat kesembuhan diatas 80% dalam waktu 6-8 minggu. Untuk selanjutnya dapat diteruskan dengan terapi pemeliharaan (maintenance therapy) atau bahkan terapi ³bila perlu´ (ondemand therapy) yaitu pemberian obat-obatan selama beberapa hari sampai dua minggu jika ada keka mbuhan sampai gejala hilang. Pada berbagai penelitian terbukti bahwa respons perbaikan gejala menandakan adanya respons perbaikan lesi organiknya (perbaikan esofagitisnya). Hal ini tampaknya lebih praktis bagi pasien dan cukup efektif dalam mengatasi gejala pada tatalaksana GERD.