CASE CASE CONFEREN CE
OPEN FRAKTUR 1/3 CRURIS DISTAL DI RUANG DAHLIA RSU DR. H. KOESNADI BONDOWOSO
OLEH : AHMAD QOMARUDIN BISMO NUGROHO DELLA YULIA P. DIAN RATNA E. WURI CHOLIFATUN QURNIA NUR A. FAHRUL ROHMAN KUKUH IMAN INDRA FAJRI ROSUL SYAIFULLOH
DEPARTEMEN MANAJEMEN KEPERAWATAN PROGRAM PROFESI NERS FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER 2013
FRAKTUR CRURIS 1/3 DISTAL
A. Pengertian Fraktur Cruris Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya disertai dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon, kerusakan pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya (Smeltzer, 2001).
Cruris berasal dari bahasa latin crus atau cruca yang berarti tungkai bawah yang terdiri dari tulang tibia dan fibula (Ahmad Ramali, 1987). 1/3 distal adalah tulang dibagi menjadi tiga bagian kemudian bagian paling bawah yang diambil.
Fraktur cruris adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadi pada tulang tibia dan fibula (Brunner & Suddart, 2000).
B. Klasifikasi Fraktur 1. Fraktur berdasarkan derajat atau luas garis fraktur terbagi menjadi : a. Fraktur complete, dimana tulang patah terbagi menjadi dua bagian (fragmen) atau lebih, b. Fraktur incomplete (parsial). Fraktur parsial terbagi lagi menjadi : 1) Fissure/Crack/Hairline, tulang terputus seluruhnya tetapi masih di tempat, biasa terjadi di tulang pipih. 2) Greenstick Fracture, biasa terjadi pada anak-anak dan pada os. radius, ulna, clavikula dan costae. 3) Buckle Fracture, fraktur dimana korteksnya melipat ke dalam.
2. Berdasarkan garis patah atau konfigurasi tulang: 0
a. Transversal, garis patah tulang melintang sumbu tulang (80-100 dari sumbu tulang) 0
0
b. Oblik, garis patah tulang melintang sumbu tulang (<80 atau >100 dari sumbu tulang) c. Longitudinal, garis patah mengikuti sumbu tulang d. Spiral, garis patah tulang berada di dua bidang atau lebih e. Comminuted, terdapat dua atau lebih garis fraktur. 3. Berdasarkan hubungan antar fragman fraktur : a. Undisplace, fragment tulang fraktur masih terdapat pada tempat an atomisnya b. Displace, fragmen tulang fraktur tidak pada tempat anatomisnya, terbagi atas : 1) Shifted Sideways, menggeser ke samping tapi dekat 2) Angulated, membentuk sudut tertentu 3) Rotated, memutar 4) Distracted, saling menjauh karena ada interposisi 5) Overriding, garis fraktur tumpang tindih 6) Impacted, satu fragmen masuk ke fragmen yang lain. 4. Secara umum berdasarkan ada tidaknya hubungan antara tulang yang fraktur dengan dunia luar, fraktur juga dapat dibagi menjadi 2, yaitu : a. Fraktur tertutup, apabila kulit diatas tulang yang fraktur masih utuh b. Fraktur terbuka, apabila kulit diatasnya tertembus dan terdapat luka yang menghubungkan tulang yang fraktur dengan dunia luar yang memungkinkan kuman dari luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang sehingga cenderung untuk mengalami kontaminasi dan infeksi. fraktur terbuka dibagi menjadi tiga derajat, yaitu : 1) Derajat I a) luka kurang dari 1 cm b) kerusakan jaringan lunak sedikit tidak ada tanda luka remuk c) fraktur sederhana, tranversal, obliq atau kumulatif ringan. d) Kontaminasi ringan
2) Derajat II a) Laserasi lebih dari 1 cm b) Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, avulse
3) Derajat III Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot dan neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi.
C. Etiologi Fraktur Penyebab fraktur diantaranya (Apley, G.A. 1995 : 840): 1. Trauma Jika kekuatan langsung mengenai tulang maka dapat terjadi patah pada tempat yang terkena, hal ini juga mengakibatkan kerusakan pada jaringan lunak disekitarnya. jika kekuatan tidak langsung mengenai tulang maka dapat terjadi fraktur pada tempat yang jauh dari tempat yang terkena dan kerusakan jaringan lunak ditempat fraktur mungkin tidak ada. Fraktur karena trauma dapat dibagi menjadi 2 yaitu: a. Trauma langsung. Benturan pada tulang mengakibatkan ditempat tersebut. b. Trauma tidak langsung. Titik tumpu benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan. 2. Fraktur Patologis Adalah suatu fraktur yang secara primer terjadi karena adanya proses pelemahan tulang akibat suatu proses penyakit atau kanker yang bermetastase atau osteoporosis. 3. Fraktur akibat kecelakaan atau tekanan Tulang juga bisa mengalami otot-otot yang berada disekitar tulang tersebut tidak mampu mengabsorpsi energi atau kekuatan yang menimpanya. 4. Spontan . Terjadi tarikan otot yang sangat kuat seperti olah raga. 5. Fraktur tibia dan fibula yang terjadi akibat pukulan langsung, jatuh dengan kaki dalam posisi fleksi atau gerakan memuntir yang keras. 6. Fraktur tibia dan fibula secara umum akibat dari pemutaran pergelangan kaki yang kuat dan sering dikait dengan gangguan kesejajaran. (Apley, G.A. 1995 : 840)
D. Manifestasi Klinis Fraktur 1. Deformitas 2. Daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang brrpindah dari tempatnya perubahan keseimbangan dan contur terjadi seperti : a. Rotasi pemendekan tulang b. Penekanan tulang 3. Bengkak : edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah dalam jaringan yang berdekatan dengan fraktur 4. Echumosis dan perdarahan subculaneus 5. Spasme otot spasme involunters dekat fraktur. 6. Tendernes 7. Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari tempatnya dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan 8. Kehilangan sensasi (Mati rasa, munkin terjadi dari rusaknya saraf / perdarahan) 9. Pergerakan abnormal 10. Syock hipovolemik dari hilangnya darah 11. Krepitasi
E. Patofisiologi Fraktur Ketika tulang patah, periosteum dan pembuluh darah di bagian korteks, sumsum tulang dan jaringan lunak didekatnya (otot) cidera pembuluh darah ini merupakan keadaan derajat yang memerlukan pembedahan segera sebab dapat menimbulkan syok hipovolemik. Pendarahan yang terakumulasi menimbulkan pembengkakan jaringan sekitar daerah cidera yang apabila di tekan atau di gerakan dapat timbul rasa nyeri yang hebat yang mengakibatkn syok neurogenik. (Mansjoer Arief, 2002)
Sedangkan kerusakan pada system persyarafan akan menimbulkan kehilangan sensasi yang dapat berakibat paralysis yang menetap pada fraktur juga terjadi keterbatasan gerak oleh karena fungsi pada daerah cidera. Sewaktu tulang patah pendarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah, kedalam jaringan lemak tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur.
Sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ke tempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa – sisa sel mati di mulai. Di tempat patah terdapat fibrin hematoma fraktur dan berfungsi sebagai jala-jala untuk membentukan sel-sel baru. Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yg disebut callus.Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tuulang baru mengalmi remodelling untuk membentuk tulang sejati. (Mansjoer Arief, 2002)
F. Pemeriksaan Penunjang 1. Foto Rontgen a. Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara langsung b. Mengetahui tempat atau tipe fraktur. Biasanya diambil sebelum dan sesudah serta selama proses penyembuhan secara periodik.
2. Artelogram bila ada kerusakan vaskuler 3. Hitung darah lengkap HT mungkin terjadi (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada organ multiple). Peningkatan jumlah SDP adalah kompensasi normal setelah fraktur.
4. Profil koagulasi perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah transfusi multiple atau trauma hati. 5. Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan sinar rontgen (x-ray). Hal yang harus dibaca pada x-ray: a. Bayangan jaringan lunak. b. Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga rotasi. c. Trobukulasi ada tidaknya rare fraction. d. Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi. 6. Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti: a. Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya b. Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma c. Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa. d. Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak. 7. Pemeriksaan Laboratorium a. Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang b. Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang c. Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang. 8. Pemeriksaan lain-lain a. Pemeriksaan
mikroorganisme
kultur
dan
test
sensitivitas:
didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi b. Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
c. Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur. d. Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan e. Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan ad anya infeksi pada tulang. f.
MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
(Ignatavicius, Donna D, 1995)
G. Penatalaksanaan Fraktur Prinsip penanganan fraktur meliputi rekognisi, traksi, reduksi imobilisasi dan pengembalian fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi. 1. Rekognasi Pergerakan relatif sesudah cidera dapat mengganggu suplai neurovascular ekstremitas yang terlibat. Karena itu begitu diketahui kemungkinan fraktur tulang panjang, maka ekstremitas yang cedera harus dipasang bidai untuk melindunginya dari kerusakan yang lebih parah. Kerusakan jaringan lunak yang nyata dapat juga dipakai sebagai petunjuk kemungkinan adanya fraktur, dan dibutuhkan pemasangan bidai segera dan pemeriksaan lebih lanjut. Hal ini khususnya harus dilakukan pada cidera tulang belakang bagian servikal, di mana contusio dan laserasio pada wajah dan kulit kepala menunjukkan perlunya evaluasi radiografik , yang dapat memperlihatkan fraktur tulang belakang bagian servikal dan/atau dislokasi, serta kemungkinan diperlukannya pembedahan untuk menstabilkannya (Smeltzer C dan B. G Bare, 2001) 2. Traksi Alat traksi diberikan dengan kekuatan tarikan pada anggota yang fraktur untuk meluruskan bentuk tulang. Ada 2 macam yaitu: a. Skin Traksi Skin traksi adalah menarik bagian tulang yang fraktur dengan menempelkan plester langsung pada kulit untuk mempertahankan bentuk, membantu menimbulkan spasme otot pada bagian yang cedera, dan biasanya digunakan untuk jangka pendek (48-72 jam).
b. Skeletal traksi : adalah traksi yang digunakan untuk meluruskan tulang yang cedera pada sendi panjang untuk mempertahankan bentuk dengan memasukkan pins / kawat ke dalam tulang. 3. Reduksi Dalam penatalaksanaan fraktur dengan reduksi dapat dibagi menjadi 2 yaitu: a. Reduksi Tertutup/ORIF (Open Reduction Internal Fixation) Reduksi fraktur ( setting tulang) berarti mengembalikan fragment tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi tertutup, traksi, dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap sama. Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus disiapkan untuk menjalani prosedur dan harus diperoleh izin untuk melakukan prosedur, dan analgetika diberikan sesuai ketentuan. Mungkin perlu dilakukan anesthesia. Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus ditangani dengan lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut. Reduksi tertutup pada banyak kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragment tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual. b. Reduksi Terbuka/OREF (Open Reduction Eksternal Fixation) Pada Fraktur tertentu dapat dilakukan dengan reduksi eksternal atau yang biasa dikenal dengan OREF, biasanya dilakukan pada fraktur yang terjadi pada tulang panjang dan fraktur fragmented. Eksternal dengan fiksasi, pin dimasukkan melalui kulit ke dalam tulang dan dihubungkan dengan fiksasi yang ada dibagian luar. Indikasi yang biasa dilakukan penatalaksanaan dengan eksternal fiksasi adalah fraktur terbuka pada tulang kering yang memerlukan perawatan untuk dressings. T etapi dapat juga dilakukan pada fraktur tertutup radius ulna. Eksternal fiksasi yang paling sering berhasil adalah pada tulang dangkal tulang misalnya tibial batang. 4. Imobilisasi Fraktur Setelah fraktur di reduksi, fragment tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksternal meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna.
Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
H. Proses Penyambungan Tulang 1. Hematoma Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma di sekitar dan di dalam fraktur (Apley, 1995). Hal ini mengakibatkan gangguan suplay darah pada tulang yang berdekatan dengan fraktur dan mematikannya (Maurice King, 2001). 2. Proliferasi Dalam 8 jam setelah fraktur terdapat reaksi radang akut disertai proliferasi sel di bawah periosteum dan di dalam saluran medulla yang tertembus. Hematoma yang membeku perlahan-lahan diabsorbsi dan kapiler baru yang halus berkembang ke dalam daerah itu (Apley, 1995). 3. Pembentukan callus Selama beberapa minggu berikutnya, periosteum dan endosteum menghasilkan callus yang penuh dengan sel kumparan yang aktif. Dengan pergerakan yang lembut dapat merangsang pembentukan callus pada fraktur tersebut (Maurice King, 2001). 4. Konsolidasi Selama stadium ini tulang mengalami penyembuhan terus-menerus. Fragmen yang patah tetap dipertahankan oleh callus sedangkan tulang mati pada ujung dari masingmasing fragmen dihilangkan secara perlahan, dan ujungnya mendapat lebih banyak callus yang akhirnya menjadi tulang padat (Maurice King, 2001). Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang cukup kuat untuk membawa beban yang normal (Apley, 1995). 5. Remodeling Tulang yang baru terbentuk, dibentuk kembali sehingga mirip dengan struktur normal (Appley, 1995). Semakin sering pasien menggunakan anggota geraknya, semakin kuat tulang baru tersebut (Maurice King, 2001).
I.
Komplikasi 1. Dini a. Compartement syndrome Merupakan komlikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh odem atau perdarahan yang menekan otot, saraf dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips, dan embebatan yang terlalu kuat b. Infeksi Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi di mulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi juga bisa karena p enggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat c. Avaskuler nekrosis Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia d. Shock Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur. Padila, 2012 : 306)
2. Lanjut a. Malunion: biasanya terjadi pada fraktur yang komminutiva sedang immobilisasinya longgar, sehingga terjadi angulasi dan rotasi. Untuk memperbaiki perlu dilakukan osteotomi. b. Delayed union: terutama terjadi pada fraktur terbuka yang diikuti dengan infeksi atau pada fraktur yang communitiva. Hal ini dapat diatasi dengan operasi bonegraft alih tulang spongiosa.
c. Non union: Disebabkan karena terjadi kehilangan segmen tulang tibia disertai dengan infeksi. Hal ini dapat diatasi dengan melakukan bone grafting menurut cara papineau. d. Kekakuan sendi: Hal ini disebabkan karena pemakaian gips yang terlalu lama. Pada persendian kaki dan jari-jari biasanya terjadi hambatan gerak, hal ini dapat diatasi dengan fisioterapi . (Padila, 2012 : 306)
ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. J DENGAN FRAKTUR CRURIS 1/3 DISTAL SINISTRA
Tinjauan Kasus Tn. J datang dengan riwayat kecelakaan lalu lintas dengan trauma pada kaki bawah kanan kiri, mengeluh kaki kanan sakit sekali dan tidak bisa digerakan dalam pemeriksaan ada tanda bengkak dan jejas trauma, dari pemeriksaan radiology diperoleh ada fraktur cruris 1/3 distal, di UGD terpasang fiksasi spalk.
A. Pengkajian 1. Anamnesa a. Keluhan utama : pasien mengeluh nyeri pada kaki kirinya dan semakin sakit saat digerakkan. Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronis tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh data tentang nyeri digunakan P, Q, R, S, T. b. Riwayat Penyakit Sekarang : pasien dating ke rumah sakit dengan diantar oleh orang lain karena kecelakaan lalu lintas dengan ditabrak oleh motor. Pasien mengalami fraktur pada kaki kiri di bagian cruris 1/3 distal. Pasien mengeluh kesakitan pada kaki yang fraktur dan semakin nyeri saat digerakkan. c. Riwayat Penyakit Dahulu : saat ditanya pasien mengaku tidak pernah mengalami sakit sebelumnya d. Riwayat Penyakit Keluarga : pasien mengaku tidak ada keluarga yang mengalami sakit seperti hipertensi, DM, maupun asma e. Riwayat Psikososial : pasien mengaku tidak pernah memiliki keluarga. Pasien bekerja sebagai tukang rongsokan dan tinggal dengan orang lain yang dikenalnya. Pasien mengaku memiliki seorang anak namun anaknya ikut dengan orang lain dan tinggal di luar kota. Sehingga saat di rumah sakit pasien tinggal sendirian tanpa ada seorang pun yang menemaninya.
2. Data Fokus Pemeriksaan pada system musculoskeletal adalah : a. Look (inspeksi) : pada kaki yang mengalami fraktur terdapat luka yang cukup lebar dengan diameter kira-kira 5 cm dan memanjang. Selain itu pada kaki yang fraktur juga mengalami hiperpigmentasi b. Feel (palpasi) : pasien mengeluh nyeri yang hebat saat ditekan pada kaki yang mengalami fraktur. Selain itu kelembapan kulit pasien cukup kering. Tidak ada penonjolan tulang yang keluar maupun benjolan lain yang diakibatkan oleh trauma. Pasien masih mampu melakukan mobilisasi di tempat tidur dan sesekali pasien duduk. Namun untuk menggerakkan kaki kirinya pasien mengalami kesulitan karena nyeri yang ditimbulkan akibat frkatur pada kaki kirinya.
B. Analisa Data No Data Fokus Problem 1 DS: pasien Nyeri mengeluh kaki kiri sakit sekali DO: dari hasil pemeriksaan radiology diperoleh ada fraktur cruris 1/3 distal, adanya bengkak, Terdapat luka yang cukup lebar ± 5 cm dan memanjang
Etiologi Diskontinuitas tulang
Pathway Cedera jaringan atau kulit Diskontinuitas tulang Pergeseran fragmen tulang proses inflamasi
menekan ujung syaraf bebas nosiseptor
Medulla spinalis Korteks serebri Nyeri
2
DS: pasien Hambatan mengatakan mobilitas fisik kaki kirinya nyeri saat digerakkan DO: pemeriksaan ada tanda bengkak dan jejas trauma, fungsiolaesa dan terpasang fiksasi spalk
Terapi pembatasan aktivitas
Diskontuinitas tulang Kerusakan fragmen tulang Deformitas tulang Gangguan fungsi (fungsio laesa) Terapi dengan pemasangan spalk Hambatan mobilitas fisik
3
DS : pasien Ketidakefektifan mengatakan pemeliharaan spalknya ingin kesehatan dilepas dan ingin segera pulang DO : spalk dilepas oleh pasien, tidak ada keluarga yang mendampingi pasien
Proses menua dan tidak adanya keluarga yang mendampingi pasien
-
C. Diagnosa Keperawatan 1. Nyeri yang berhubungan dengan diskontinuitas jaringan 2. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan terapi pembatasan aktivitas 3. Ketidakefektifan pemeliharaan kesehatan yang berhubungan dengan proses menua dan tidak adanya keluarga yang mendampingi pasien
D. Intervensi Keperawatan Dx. I : Nyeri berhubungan dengan diskontuinitas tulang Tujuan ; nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan perawatan Kriteria hasil: 1. Pasien menyatakan nyei berkurang 2. Tampak rileks, mampu berpartisipasi dalam aktivitas/tidur/istirahat dengan tepat 3. Tekanan darah normal 4. Tidak ada peningkatan nadi dan RR Intervensi: 1. Kaji ulang lokasi, intensitas dan tipe nyeri 2. Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring 3. Berikan lingkungan yang tenang dan berikan dorongan untuk melakukan aktivitas hiburan 4. Ganti posisi dengan bantuan bila ditoleransi 5. Lakukan dan awasi latihan rentang gerak pasif/aktif 6. Drong menggunakan tehnik manajemen stress, contoh : relasksasi, latihan nafas dalam, imajinasi visualisasi, sentuhan 7. Observasi tanda-tanda vital 8. Kolaborasi : pemberian analgetik
Dx. II : Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan terapi pembatasan aktivitas Tujuan : kerusakan mobilitas fisik dapat berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan terapi pembatasan aktivitas Kriteria hasil : 1. Meningkatkan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin 2. Mempertahankan posisi fungsinal 3. Meningkatkan kekuatan /fungsi yang sakit 4. Menunjukkan tehnik mampu melakukan aktivitas
Intervensi: 1. Pertahankan tirah baring dalam posisi yang diprogramkan 2. Tinggikan ekstrimitas yang sakit 3. Instruksikan pasien/bantu dalam latian rentanng gerak pada ekstrimitas yang sakit dan tak sakit 4. Beri penyangga pada ekstrimitas yang sakit diatas dan di bawah fraktur ketika bergerak 5. Jelaskan keterbatasan dalam aktivitas 6. Berikan dorongan ada pasien untuk melakukan aktivitas dalam lingkup keterbatasan dan beri bantuan sesuai kebutuhan’Awasi tekanan darah, nadi dalam melakukan aktivitas 7. Ubah posisi secara periodik