BAB I PENDAHULUAN I.1. Tulang I.1.1. Anatomi
Tulang adalah organ vital yang berfungsi untuk alat gerak pasif, proteksi alat-alat di dalam
tubuh, pembentuk tubuh, metabolisme
kalsium dan mineral, dan organ hematopoetik. Tulang termasuk jaringan pengikat khusus yang terdiri atas bahan antar sel yang mengalami kalsifikasi/mineralisasi dan beberapa macam sel-sel tulang seperti osteoblas, osteosit dan osteoklas. Tulang dalam garis besarnya dibagi atas: 1. Tulang panjang (femur, tibia, ulna dan humerus) 2. Tulang pendek (vertebra dan tulang-tulang karpal) 3. Tulang pipih (iga, scapula dan pelvis) Secara makroskopis terdiri dari substantia compacta dan substantia spongiosa. Lapisan superficialis tulang disebut periosteum dan lapisan profunda disebut endosteum. Bagain tengah os longum disebut corpus, ujung tulang berbentuk konveks atau konkaf, membesar, membentuk persendiaan dengan tulang lainnya. Dari aspek pertumbuhan, bagian tengah tulang disebut diaphysis, ujung tulang disebut epiphysis dibentuk oleh cartilago, dan bagian diantara keduanya disebut metaphysis, tempat pertumbuhan memanjang dari tulang (peralihan antara cartilago menjadi osseum). Tulang terdiri atas daerah yang kompak pada bagian luar yang disebut korteks dan bagian dalam yang bersifat spongiosa berbentuk trabekula dan diluarnya dilapisi oleh periosteum. Pada anak lebih tebal daripada orang dewasa, yang memungkingkan penyembuhan tulang pada anak lebih cepat dibandingkan orang dewasa (Rasjad, 2007; Buranda, 2011).
Gambar 1. Anatomi Tulang I.1.2. Histologi dan Fisiologi I.1.2.1. Berdasarkan histologisnya, histologisnya, maka dikenal :
a. Tulang imatur (non-lamellar, ( non-lamellar, woven bone, fiber bone) bone ) b. Tulang matur (matur bone, lamellar bone) - Tulang kortikal - Tulang trabekular Secara histologis perbedaan tulang matur dan imatur terutama dalam jumlah sel, jaringan kolagen dan mukopolisakarida. Tulang imatur ditandai dengan sistem sistem Haversian Haversian atau osteon yang memberikan kemudahan sirkulasi melalui korteks yang tebal. Tulang matur kurang mengandung sel dan lebih banyak substansi semen dan mineral disbanding dengan tulang matur (Rasjad, 2007).
I.1.2.2. Sel – sel sel tulang dan Fungsinya
Osteoblas merupakan salah satu jenis hasil diferensiasi sel mesenkim yang sangat penting dalam proses osteogenesis dan osifikasi. Sebagai sel, osteoblas dapat memproduksi substansi organik intraseluler dan matriks, dimana kalsifikasi terjadi di
Gambar 1. Anatomi Tulang I.1.2. Histologi dan Fisiologi I.1.2.1. Berdasarkan histologisnya, histologisnya, maka dikenal :
a. Tulang imatur (non-lamellar, ( non-lamellar, woven bone, fiber bone) bone ) b. Tulang matur (matur bone, lamellar bone) - Tulang kortikal - Tulang trabekular Secara histologis perbedaan tulang matur dan imatur terutama dalam jumlah sel, jaringan kolagen dan mukopolisakarida. Tulang imatur ditandai dengan sistem sistem Haversian Haversian atau osteon yang memberikan kemudahan sirkulasi melalui korteks yang tebal. Tulang matur kurang mengandung sel dan lebih banyak substansi semen dan mineral disbanding dengan tulang matur (Rasjad, 2007).
I.1.2.2. Sel – sel sel tulang dan Fungsinya
Osteoblas merupakan salah satu jenis hasil diferensiasi sel mesenkim yang sangat penting dalam proses osteogenesis dan osifikasi. Sebagai sel, osteoblas dapat memproduksi substansi organik intraseluler dan matriks, dimana kalsifikasi terjadi di
kemudian hari. Jaringan yang tidak mengandung kalsium disebut osteoid dan apabila kalsifikasi terjadi pada matriks maka jaringan disebut tulang. Sesaat setelah osteoblas dikelilingi oleh substansi organik intraseluler, disebut osteosit dimana kejadian ini terjadi dalam lakuna. Sel
yang
permukaan
bersifat
tulang
dengan
multinukleus, sifat
dan
tidak
ditutupi
oleh
fungsi
resorpsi
serta
mengeluarkan tulang yang disebut osteoklas. Kalsium hanya dapat dikeluarkan dari tulang melalui proses aktivitas osteoklasis yang menghilangkan matriks organic dan kalsium secara bersamaan disebut deosifikasi (Rasjad, 2007). I.1.2.3. Proses osteogenesis osteogenesis
a. Osifikasi Intramembranosa (Desmalis / langsung) Awalnya beberapa sel mesenkhim dalam membran mesenkhim berdiferensiasi menjadi fibroblas untuk membentuk sabut – sabut kolagen sehingga terbentuk jaringan pengikat longgar berupa membran. Osifikasi dimulai saat sekelompok sel mesenkhim yang lain berdiferensiasi menjadi osteoblas di dalam membran jaringan pengikat yang terbentuk. Terjadi pada tulang pipih. b. Osifikasi Endokondral Diawali dengan pembentukan tulang rawan pada epifisis kemudian
terjadi
kalsifikasi
pada
matrik
tulang
rawan.
Akibatnya sel tulang rawan mati lalu ditempati osteoblas. Setelah itu akan terjadi pembentukan tulang seperti biasanya. Proses osifikasi endokondral pada epifisis sebagai berikut : Pusat osifikasi di sini mirip dengan pusat osifikasi pada diafisis tetapi pertumbuhan lebih lanjut tidak secara memanjang tetapi radier.
Gambar 2. Pertumbuhan tulang I.1.2.4. Komposisi tulang
a. Substansi organik : 35% b. Substansi inorganik: 45% c. Air
: 20%
I.1.2.5. Fungsi utama tulang
1. Membentuk rangka badan 2. Sebagai pengumpil dan tempat melekat otot 3. Bagian dari tubuh untuk melindungi dan mempertahankan organ dalam 4. Sebagai tempat deposit kalsium, fosfor, magnesium dan garam 5. Sebagai organ yang berfungsi sebagai jaringan hemopoetik (Rasjad, 2007).
I.2. Fraktur I.2.1. Definisi
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (De Jong, 2003). Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis, baik yang bersifat total maupun yang parsial (Rasjad, 2007).
I.2.2. Etiologi
a. Cedera Traumatik 1. Kekerasan langsung: menyebabkan fraktur pada titik terjadinya kekerasan. 2. Kekerasan tidak langsung: menyebabkan fraktur ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang fraktur biasanya adalah bagian yang palng lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan. 3. Kekerasan akibat tarikan otot: fraktur akibat tarikan otot agak jarang terjadi. Contoh fraktur akibat tarikan otot adalah fraktur patela dan olekranon, karena otot triseps dan biseps mendadak berkontraksi. b. Fraktur Patologi Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur. c. Secara Spontan Disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus (Oswari, 2000).
I.2.3. Klasifikasi
Fraktur menurut ada tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan dunia luar dibagi menjadi 2 yaitu, fraktur tertutup dan fraktur terbuka. Fraktur tertutup jika kulit diatas tulang yang fraktur masih utuh, tetapi apabila kulit diatasnya tertembus maka disebut fraktur terbuka. a. Patah tulang terbuka dibagi menjadi 3 derajat yang ditentukan oleh berat ringannya luka dan berat ringannya patah tulang. Derajat
Luka
Fraktur
I
Laserasi < 2 cm
Sederhana, dislokasi fragmen minimal
II
Laserasi > 2 cm, kontusi otot Dislokasi fragmen jelas disekitarnya
III
Luka lebar, rusak hebat, atau Kominutif, hilangnya jaringan disekitarnya
segmental,
fragmen tulang ada yang
hilang.
Klasifikasi fraktur terbuka menurut Gustillo and Anderson (1976) Tipe
Batasan
I
Luka bersih dengan panjang luka < 1 cm
II
Panjang luka > 1 cm tanpa kerusakan jaringan lunak yang berat.
III
Kerusakan jaringan yang berat dan luas, fraktr segmental terbuka, trauma amputasi, luka tembak dengan kecepatan tinggi, fraktur yang perlu repair vaskuler, dan fraktur yang lebih dari 8 jam setelah kejadian.
Klasifikasi lanjut fraktur terbuka tipe III Gustillo and Anderson (1976) oleh Gustillo Mendoza dan William (1984). Tipe
Batasan
IIIA
Periosteum
masih
membungkus
fragmen
fraktur
dengan
kerusakan jaringan lunak yang luas IIIB
Kehilangan jaringan lunak yang luas, kontaminasi berat, periosteal striping atau terjadi bone expose
IIIC
Disertai kerusakan arteri yang memerlukan repair tanpa melihat tingkat kerusakan jaringan lunak
Gambar 3. Jenis-jenis fraktur
b. Berdasarkan Etiologis 1. Fraktur traumatik, terjadi karena trauma yang tiba-tiba. 2. Fraktur
patologis,
terjadi
pada
tulang
karena
adanya
kelainan/penyakit yang menyebabkan kelemahan pada tulang. Fraktur patologis dapat terjadi secara spontan atau akibat akibat trauma ringan. 3. Fraktur stres, terjadi karena adanya trauma yang terus-menerus pada suatu tempat tertentu. c. Berdasarkan Lokalisasi 1. Fraktur diafisis 2. Fraktur metafisis 3. Dislokasi dan fraktur 4. Fraktur Intra-artikuler d. Berdasarkan Derajat atau Luas Garis Fraktur 1. Complete, tulang patah terbagi menjadi dua bagian (fragmen) atau lebih. 2. Incomplete (Parsial), bila antara patahan tulang masih terjadi hubungan sebagian. Fraktur Parsial terbagi lagi menjadi: - Fisura/ Crack/ Hairline Tulang terputus seluruhnya tetapi masih tetap di tempat. Fisura tulang dapat disebabkan oleh cedera tunggal hebat atau oleh cedera terus menerus yang cukup lama, seperti juga ditemukan pada retak stress pada struktur logam. - Patah Dahan Hijau (Greenstick Fracture) Patah tulang dahan hijau adalah fraktur dimana patah tulang pada satu sisi sedangkan pada sisi lainnya membengkok. Fraktur ini terjadi pada anak-anak. - Buckle Fracture atau torus fracture Fraktur di mana korteksnya melipat ke dalam dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya. 4. Berdasarkan Garis Fraktur/ Konfigurasi Tulang
1. Fraktur Transversal, garis patah tulang melintang sumbu tulang (80-100o dari sumbu tulang), memotong tegak lurus sumbu tulang. 2. Fraktur Oblik , garis patah tulang melintang sumbu tulang (<80 o atau >100o dari sumbu tulang), membentuk sudut terhadap sumbu tulang. 3. Fraktur Longitudinal, garis patah mengikuti sumbu tulang (sejajar dengan sumbu tulang). 4. Fraktur Spiral, garis patah tulang berada di dua bidang atau lebih, garis tulang berbentuk spiral. 5. Fraktur Comminuted/Kominutif , patah tulang komunitif adalah fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen dan saling berhubungan. 6. Fraktur Segmental, garis patah lebih dari satu tetapi tidak berhubungan. 7. Fraktur Multipel, garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang berlaianan tempatnya. 8. Patah Tulang Impaksi, patah tulang impaksi adalah f raktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang lainnya. 9. Patah Tulang Kompresi, patah tulang kompresi adalah fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang belakang). 10.Impresi
Gambar 4. Jenis Fraktur 5. Berdasarkan Pergeseran Fragmen Tulang 1. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser)
Garis patah lengkap namun kedua fragmen tidak bergeser & periosteum utuh. 2. Fraktur Displaced (bergeser) Terjadi pergeseran fragmen tulang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
- Dislokasi ad latitudinem (dislokasi ke arah lintang) - Dislokasi ad longitudunem, tulang memanjang karena tarikan terlalu besar (pergeseran searah sumbu)
- Dislokasi cum kontraktione, tulang memendek, umumnya disebabkan tarikan dan tonus otot
- Dislokasi cum distractionem, misal pada patah tulang patela karena tonus m. quadriseps femoris
- Dislokasi ad aksim/ angulasi, pergeseran yang membentuk sudut, dislokasi ad aksim sering ditemukan pada tulang panjang
- Dislokasi ad peripheriam, dislokasi karena adanya rotasi - Patah tulang yang didapatkan interposisi jaringan lunak di selanya
- Patah tulang avulsi, patah tulang dengan tarikan pada insersi tendo otot atau ligamentum. (De Jong, 2003; Rasjad, 2007)
I.2.4. Gambaran Klinis
Manifestasi
klinis
fraktur
adalah
nyeri,
hilangnya
fungsi,
deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna. 1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang di rancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang. 2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak
tidak
alamiah
bukan
pergeseran fraktur menyebabkan deformitas.
seperti
normalnya,
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur. 4. Saat ekstremitas di periksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang lainnya. 5. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat dari trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasanya baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera. I.2.5. Diagnosis
a. Anamnesa Biasanya penderita datang dengan suatu trauma (traumatik fraktur), baik yang hebat maupun trauma ringan dan diikuti dengan ketidakmampuan untuk menggunakan anggota gerak. Anamnesis harus dilakukan dengan cermat, karena fraktur tidak selamanya terjadi di daerah trauma dan mungkin fraktur terjadi pada daerah lain. Trauma dapat terjadi karena kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian atau jatuh dari kamar mandi pada orang tua, penganiayaan, tertimpa benda berat, kecelakaan pada pekerja oleh karena mesin atau karena trauma olah raga. Penderita biasanya datang karena nyeri, pembengkakan, gangguan fungsi anggota gerak, deformitas, kelainan gerak, krepitasi atau datang dengan gejala – gejala lain (Rasjad, 2007). b. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya : 1. Syok, anemia atau perdarahan 2. Kerusakan pada organ – organ lain, misalnya otak, sumsum tulang belakang atau organ – organ dalam rongga toraks, panggul dan abdomen 3. Faktor predisposisi, misalnya pada fraktur patologis c.
Pemeriksaan Lokal 1. Inspeksi ( Look )
- Bandingkan dengan bagian yang sehat - Perhatikan posisi anggota gerak
- Keadaan umum penderita secara keseluruhan - Ekspresi wajah karena nyeri - Lidah kering atau basah - Adanya tanda – tanda anemia karena perdarahan - Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk membedakan fraktur tertutup atau terbuka
- Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam sampai beberapa hari
- Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan kependekan
- Lakukan survey pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada organ lain
- Perhatikan kondisi mental penderita - Keadaan vaskularisasi 2. Palpasi ( Feel ) Palpasi dilakukan secara hati - hati oleh karena penderita biasanya mengeluh sangat nyeri. Hal – hal yang perlu diperhatikan :
- Temperatur setempat yang meningkat - Nyeri tekan; nyeri tekan yang bersifat superficial biasanya disebabkan oleh kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang
- Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus hati – hati - Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri radialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan anggota gerak yang terkena. Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna kulit pada bagian distal daerah trauma, temperature kulit. 3. Pergerakan ( Move) Pergerakan dengan meminta penderita menggerakan secara aktif dan pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami trauma. Pada penderita dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat sehingga uji pergerakan tidak boleh
dilakukan secara kasar, disamping itu juga dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf. dinilai seberapa jauh gangguan-gangguan fungsi, gerakan-gerakan yang tidak mampu dilakukan, range of motion (derajat dari ruang lingkup gerakan sendi), dan kekuatan. Apakah ada Functio laesa (hilangnya fungsi) atau tidak. 4. Pemeriksaan neurologis Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara sensoris dan motoris serta gradasi kelainan neurologis. Kelainan saraf yang didapatkan harus dicatat dengan baik karena dapat menimbulkan masalah asuransi dan tuntutan (klaim) penderita serta merupakan patokan untuk pengobatan selanjutnya. 5. Pemeriksaan trauma di tempat lain Meliputi kepala, toraks, abdomen, pelvis. Sedangkan pada pasien dengan politrauma, pemeriksaan awal dilakukan menurut protokol ATLS. Langkah pertama adalah menilai airway, breathing, dan circulation. d. Pemeriksaan penunjang 1. Pemeriksaan radiologis Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan, lokasi serta ekstensi fraktur. Tujuan pemeriksaan radiologis :
- Untuk mempelajari gambaran normal tulang dan sendi - Untuk konfirmasi adanya fraktur - Untuk melihat sejauh mana pergerakan dan konfigurasi fragmen serta pergerakannya
- Untuk menentukan teknik pengobatan - Untuk menentukan apakah fraktur itu baru atau tidak - Untuk menentukan apakah fraktur intra-artikuler atau ekstraartikuler
- Untuk melihat adanya keadaan patologis lain pada tulang - Untuk mengetahui adanya benda asing, misalnya peluru
Pemeriksaan radiologis dilakukan dengan beberapa prinsip dua, yaitu :
- Dua posisi proyeksi (AP dan lateral) - Dua sendi pada anggota gerak dan tungkai harus di foto (di atas dan di bawah sendi yang mengalami fraktur)
- Dua anggota gerak - Dua trauma, pada trauma yang hebat sering menyebabkan fraktur pada dua daerah tulang
- Dua kali dilakukan foto. Pada fraktur tertentu misalnya fraktur skafoid foto pertama biasanya tidak jelas sehingga biasanya diperlukan foto berikutnya 10-14 hari kemudian. 2. Pemeriksaan radiologis lainnya
- Tomografi - CT Scan - MRI - Radioisotop scanning (Rasjad, 2007) I.2.6. Penyembuhan Fraktur
1. Fase Hematoma Perdarahan yang terjadi di sekitar patahan tulang yang disebabkan oleh putusnya pembuluh darah pada tulang dan periost. 2. Fase Jaringan Fibrosis Hematom kemudian akan menjadi medium pertumbuhan sel jaringan fibrosis dan vaskuler sehingga hematom berubah menjadi jaringan fibrosis dengan kapiler di dalamnya. Jaringan ini yang menyebabkan fragmen tulang saling menempel. Jaringan yang menempelkan fragmen patahan tulang tersebut dinamakan kalus fibrosa. 3. Fase Jaringan Kondroid dan Osteoid Ke dalam hematom dan jaringan fibrosis tumbuh sel jaringan mesenkim yang bersifat osteogenik. Sel ini akan berubah menjadi sel kondroblast yang membentuk kondroid yang merupakan bahan dasar tulang rawan, sedangkan di tempat yang jauh dari patahan tulang yang vaskularisasinya relatif banyak, sel ini berubah menjadi osteoblast dan
membentuk osteoid yang merupakan bahan dasar tulang. Kondroid dan osteoid awalnya tidak mengandung kalsium sehingga tidak terlihat pada foto Rontgen. 4. Fase Pertautan Klinis Pada tahap selanjutnya terjadi penulangan atau osifikasi. Hal ini menyebabkan kalus fibrosa berubah menjadi kalus tulang. Pada foto Rontgen, proses ini terlihat sebagai bayangan radio-opak, tetapi bayangan garis patah tulang masih terlihat. 5. Fase Tulang Lamelar Woven bone berubah lamellar bone (kalus berubah menjadi hard kalus) dan fragmen menjadi solid. 6. Fase Konsolidasi/ Swapugar (fase union secara radiologik) Kalus yang berlebih mulai menghilang serta terbentuk tulang yang normal atau mendekati normal. Kanalis medularis mulai terbentuk. Sampai dengan stadium remodeling dibutuhkan waktu sekitar 1 tahun. Namun pada anak, waktu yang dibutuhkan biasanya lebih cepat, hingga setengah dari rata-rata waktu penyembuhan pada dewasa. Ini dikarenakan periosteum anak-anak lebih tebal dan dapat menghasilkan kalus dalam waktu singkat serta lebih banyak (De Jong, 2003)
Gambar 5. Proses Penyembuhan Fraktur I.2.7. Waktu Penyembuhan Fraktur
Waktu
penyembuhan
fraktur
bervariasi
secara
individual
dan
berhubungan dengan beberapa faktor penting pada penderita, antara lain : 1. Usia
Waktu penyembuhan tulang pada anak-anak lebih cepat dari orang dewasa terutama karena aktifitas proses osteogenesis pada periosteum dan endoesteun dan juga berhubungan dengan proses remodeling tulang pada bayi yang sangat aktif dan makin berkurang apabila usia bertambah. 2. Lokalisasi dan konfigurasi fraktur Lokasi fraktur memegang peranana penting, misalnya, fraktur metafisis penyembuhannya lebih cepat daripada diafisis. Selain itu konfigurasi fraktur juga berpengaruh, misalnya fraktur transversal lebih lambat penyembuhannya dari fraktur oblik karena kontak yang lebih banyak. 3. Pergeseran awal fraktur Jika
fraktur
tidak
bergeser
dimana
periosreum
intak,
maka
penyembuhan dua kali lebih cepat dibandingkan pada fraktur yang bergeser. Pergeseran fraktur yang lebih besar juga akan menyebabkan kerusakan periost yang lebih hebat. 4. Vaskularisasi pada kedua fragmen Vaskularisasi kedua fragmen yang baik biasanya mengahasilkan penyembuhan
tanpa
vaskularisasinya
komplikasi,
jelek
dan
namun
mengalami
apabila
salah
satu
kematian,
maka
akan
menghambat terjadinya union bahkan mungkin mengalami nonunion. 5. Reduksi serta imobilisasi Reposisi fraktur akan memberikan kemungkinan untuk vaskularisasi yang lebih baik dalam bentuk asalnya. Imobilisasi yang sempurna akan mencegah pergerakan dan kerusakan pembuluh darah yang akan mengganggu penyembuhan fraktur. 6. Waktu imobilisasi Bila mobilisasi tidak dilakukan sesuai waktu penyembuhan sebelum terjadi union, maka kemungkinan untuk terjadinya nonunion sangat besar. 7. Ruangan antara kedua fragmen serta interposisi oleh jaringan lunak
Bila terdapat interposisi jaringan baik berupa periost, maupun otot atau jaringan fibrosa lainnya, maka akan menghambat vaskularisasi kedua ujung fraktur. 8. Adanya infeksi Bila terjadi infeksi pada daerah fraktur, maka akan mengganggu terjadinya proses penyembuhan. 9. Cairan sinovia Pada persendian dimana terdapat cairan synovial, maka cairan ini merupakan penghambat terjadinya proses penyembuhan. 10.
Gerakan aktif dan pasif anggota gerak
Gerakan aktif dan pasif pada anggota gerak akan mengingkatkan vaskularisasi daerah fraktur, tapi gerakan y.ang dilakukan pada daerah fraktur tanpa imobilisasi akan mengganggu vaskularisasi (Rasjad, 2007). I.2.8. Penilaian Penyembuhan Fraktur
Penilaian penyembuhan fraktur (union) didasarkan atas union secara klinis dan union secara radiologik. Pemeriksaan secara klinis dilakukan dengan pemeriksaan pada daerah fraktur dengan melakukan pembengkokan pada daerah fraktur, pemutaran dan kompresi untuk mengetahui adanya gerakan atau perasaan nyeri pada penderita. Keadaan ini dapat dirasakan oleh pemeriksa atau oleh penderita sendiri. Apabila tidak ditemukan adanya gerakan, maka secara klinis terjadi union dari fraktur. Union secara radiologik dinilai dengan pemeriksaan rontgen pada daerah fraktur dan dilihat adanya garis fraktur atau kalus dan mungkin dapat ditemukan adanya trabekulasi yang sudah menyambung pada kedua fragmen. Pada tingkat lanjut dapat dilihat adanya medulla atau ruangan dalam daerah fraktur (Rasjad, 2007). I.2.9. Penyembuhan Abnormal pada Fraktur
Penyembuhan abnormal pada fraktur dapat disebabkan oleh imobilisasi yang tidak cukup, infeksi, interposisi dan gangguan perdarahan setempat. Penyembuhan abnormal pada fraktur terdiri dari :
1. Malunion Malunion adalah keadaan dimana fraktur menyembuh pada saatnya tetapi terdapat deformitas yang berbentuk angulasi, varus/valgus, rotasi, kependekan atau union secara menyilang misalnya pada fraktur radius dan ulna. 2. Delayed union Delayed union adalah fraktur yang tidak sembuh setelah waktu 3 - 5 bulan (3 bulan untuk anggota gerak atas dan 5 bulan untuk anggota gerak bawah). 3. Nonunion Apabila fraktur tidak menyembuh antara 6-8 bulan dan tidak didapatkan konsolidasi sehingga terdapat pseudoartritis (sendi palsu). Pseudoartritis dapat terjadi tanpa infeksi tetapi dapat juga terjadi bersama-sama infeksi disebut infected pseudoarthrosis. Beberapa jenis nonunion terjadi memurut keadaan ujung – ujung fragmen tulang :
-
Atropik : sama sekali tidak terbentuk kalus (avaskular)
-
Hipertropik : terbentuk jaringan fibrous (hipervascular)
-
Oligotropik : kalus yang terbentuk sedikit
I.2.10. Penatalaksanaan
1. Prinsip – Prinsip Pengobatan Fraktur a. Penatalaksanaan awal
- Pertolongan pertama Membersihkan jalan napas, menutup luka dengan verban yang bersih dan imobilisasi fraktur pada anggota gerak yang terkena agar penderita merasa nyaman dan mengurangi nyeri sebelum diangkut dengan ambulans.
- Penilaian klinis Sebelum menilai fraktur itu sendiri, perlu dilakukan penilaian klinis, apakah luka itu luka tembus tulang, adakah trauma pembuluh darah/syaraf ataukah trauma alat-alat dalam lain.
- Resusitasi
Jika pasien datang dalam keadaan syok dilakukan resusitasi sebelum diberikan terapi pada frakturnya sendiri berupa pemberian transfuse darah dan cairan lainnya serta obat-obat anti nyeri (Rasjad, 2007). b. Prinsip umum pengobatan fraktur Ada enam prinsip pengobatan fraktur :
- Jangan mencederai pasien - Pengobatan didasari atas diagnosis yang tepat dan prognosisnya - Seleksi pengobatan dengan tujuan khusus, yaitu dengan cara menghilangkan nyeri, memperoleh posisi yang baik dari fragmen, mengusahakan terjadinya penyembuhan tulang, dan mengembalikan fungsi secara optimal
- Bekerja sama dengan hukum alam - Bersifat realistik dan praktis dalam memilih jenis pengobatan - Pemilihan pengobatan dengan memperhatikan setiap pasien secara individu (De Jong, 2003; Rasjad, 2007) Sebelum mengambil keputusan untuk melakukan pengobatan definitif, prinsip pengobatan ada empat ( 4R ) :
- Recognition : diagnosis dan penilaian fraktur Prinsip pertama adalah mengetahui dan menilai keadaan fraktur dengan anamnesis, pemeriksaan klinik dan radiologis. Pada awal pengobatan perlu diperhatikan : lokalisasi fraktur, bentuk fraktur, teknik yang sesuai untuk pengobatan, komplikasi yang mungkin terjadi selama dan sesudah pengobatan.
- Reduction : reduksi fraktur apabila perlu. Posisi yang baik : alignment sempurna dan aposisi yang sempurna. Reduksi berarti mengembalikan jaringan atau fragmen ke posisi semula (reposisi). Dengan kembali ke bentuk semula, diharapkan bagian yang sakit dapat berfungsi kembali dengan maksimal.
- Retention : tindakan mempertahankan hasil reposisi dengan fiksasi (imobilisasi), Hal ini akan menghilangkan spasme otot
pada ekstremitas yang sakit sehingga terasa lebih nyaman dan sembuh lebih cepat.
- Rehabilitation
:
mengembalikan
aktifitas
fungsional
semaksimal mungkin. (Bucholz et al, 2006; Rasjad, 2007; Helmi 2011) 2. Metode – Metode Pengobatan Fraktur a. Fraktur tertutup 1. Konservatif
- Proteksi semata – mata (tanpa reduksi atau imobilisasi): menggunakan sling
(mitela). Indikasi : fraktur yang tidak
bergeser.
- Imobilisasi dengan bidai eksterna (tanpa reduksi): menggunakan plaster of Paris (gips) atau dengan bermacam – macam bidai dari
plastik
atau
metal.
Indikasi
:
fraktur
yang
akan
dipertahankan posisinya dalam proses penyembuhan
- Reduksi tertutup dengan manipulasi dan imobilisasi eksterna: menggunakan gips. Indikasi : bidai pada fraktur untuk pertolongan pertama, imobilisasi sebagai pengobatan definitive pada fraktur, imobilisasi untuk mencegah fraktur patologis, untuk alat bantu tambahan pada fiksasi interna yang kurang kuat.
- Reduksi tertutup dengan traksi berlanjut diikuti dengan imobilisasi : dengan traksi kulit dan traksi tulang.
- Reduksi tertutup dengan traksi kontinu dan counter traksi : dengan menggunakan alat – alat mekanik seperti bidai Thomas, bidai Brown Bohler, Bidai Thomas dengan Pearson knee flexion attachment . Indikasi : bila reduksi tertutup dengan manipulasi dan imobilisasi tidak memungkinkan; bila terdapat otot yang kuat mengelilingi fraktur pada tulang tungkai bawah yang menarik fragmen; bila terdapat fraktur yang tidak stabil, oblik, fraktur spiral atau kominutif tulang panjang; fraktur vertebra servikalis yang tidak stabil; fraktur femur pada anak-anak;
fraktur dengan pembengkakan yang sangat hebat dan terdapat pergeseran yang tidak stabil; sesekali pada fraktur Colles. Empat metode traksi yang digunakan : traksi kulit, traksi menetap, traksi tulang, traksi berimbang dan traksi sliding . 2.
Reduksi tertutup dengan fiksasi eksterna / perkutaneus dengan
K-wire Setelah dilakukan reduksi tertutup pada fraktur yang tidak stabil, maka reduksi dapat dipertahankan dengan memasukkan K-wire perkutaneus misalnya pada fraktur suprakondiler humeri pada anak-anak atau fraktur colles. 3.
Reduksi terbuka dengan fiksasi interna atau fiksasi eksterna
tulang Tindakan operasi harus diputuskan dengan cermat dan dilakukan oleh ahli bedah dan operasi dilakukan secepatnya (dalam satu minggu). Alat – alat yang dipergunakan dalam operasi yaitu kawat bedah, kawat Kirschner, screw, screw dan plate, pin Kuntscher intrameduler, pin rush, pin Steinmann, pin Trephine, plate and screw smith Peterson, pin plate telekospik, pin Jewett dan protesis. Selain alat-alat metal, tulang yang mati ataupun hidup dapat pula digunakan bonegraft baik autograft/allograft untuk mengisi defek tulang atau pada fraktur yang nonunion. a. Reduksi terbuka dengan fiksasi interna Indikasi :
- Fraktur Intraartikuler (fraktur maleolus, kondilus, olekranon, patella)
- Reduksi tertutup yang mengalami kegagalan (fraktur radius dan ulna disertai malposisi yang hebat atau fraktur yang tidak stabil)
- Jika ada interposisi jaringan diantara kedua fragmen - Bila diperlukan fiksasi rigid (fraktur leher femur)
- Fraktur dislokasi yang tidak dapat direduksi secara baik dengan reduksi tertutup (fraktur monteggia dan fraktur Bennet)
- Fraktur terbuka - Bila terdapat kontraindikasi pada imobilisasi eksterna sedangkan diperlukan mobilisasi yang cepat (fraktur pada orang tua)
- Eksisi fragmen yang kecil - Eksisi fragmen tulang yang kemungkinan mengalami nekrosis avaskuler (fraktur leher femur pada orang tua)
- Fraktur avulsi (kondilus humeri) - Fraktur epifisis tertentu pada Grade III dan IV (Salter Harris) pada anak
- Fraktur multiple (fraktur pad tungkai atas dan bawah) - Untuk mempermudah perawatan penderita (fraktur vertebra tulang belakang yang disertai paraplegia)
Gambar 6. Fiksasi Internal b. Reduksi terbuka dengan fiksasi eksterna Indikasi :
- Fraktur terbuka grade II-III - Fraktur terbuka disertai hilangnya jaringan atau tulang yang hebat
- Fraktur dengan infeksi atau pseudoartrosis
- Fraktur yang miskin jaringan ikat - Kadang – kadang pada fraktur tungkai bawah penderita DM
Gambar 7. Fiksasi eksternal 4. Eksisi fragmen tulang dan penggantian dengan protesis Pada fraktur leher femur dan sendi siku orang tua, biasanya terjadi nekrosis avaskuler dari fragmen atau nonunion, oleh karena itu dilakukan pemasangan protesis yaitu alat dengan komposisi metal tertentu untuk menggantikan bagian yang nekrosis. b.
Fraktur terbuka Fraktur terbuka merupakan keadaan darurat yang memerlukan penanganan yang terstandar untuk mengurangi resiko infeksi. Selain mencegah infeksi juga diharapkan terjadi penyembuhan fraktur dan restorasi fungsi anggota gerak. Beberapa hal yang penting untuk dilakukan dalam penatalaksanaan fraktur terbuka yaitu operasi yang dilakukan dengan segera, hati-hati, debridement yang berulang-ulang, stabilisasi fraktur, penutupan kulit dan bone grafting yang dini serta pemberian antibiotik yanga adekuat. Beberapa prinsip dasar pengelolaan fraktur terbuka : 1. Obati fraktur terbuka sebagai satu kegawatan 2. Adakan evaluasi awal dan diagnosis akan adanya kelainan yang dapat menyebabkan kematian
3. Berikan antibiotic dalam ruang gawat darurat, sebelum dan setelah operasi 4. Segera dilakukan debridement dan irigasi yang baik 5. Ulangi debridement 24-72 jam berikutnya 6. Stabilisasi fraktur 7. Biarkan luka terbuka antara 5-7 hari 8. Lakukan bone graft autogenous secepatnya 9. Rehabilitasi anggota gerak yang terkena (Rasjad, 2007) I.2.11. Komplikasi Fraktur
a. Komplikasi segera, terjadi saat terjadinya patah tulang atau segera setelahnya. 1. Lokal
- Kulit : abrasi, laserasi, penetrasi - Pembuluh darah : robek - Sistem saraf : sumsum tulang belakang, saraf tepi motorik dan sensorik
- Organ dalam : jantung, paru, hepar, limpa (pada fraktur costae), kandung kemih (pada fraktur pelvis) 2. Umum
- Rudapaksa multiple - Syok : hemoragik, neurogenik b. Komplikasi dini, terjadi dalam beberapa hari setelah kejadian.
- Nekrosis kulit, gangren, sindrom kompartemen, trombosis vena, infeksi sendi, osteomielitis umum
- ARDS, emboli paru, tetanus c. Komplikasi lambat, terjadi lama setelah fraktur. 1. Lokal
- Sendi : ankilosis fibrosa, ankilosis osal - Tulang : gagal taut/taut lama/salah taut, distrofi reflek, osteoporosis pasca trauma, gangguan pertumbuhan, osteomyelitis, patah tulang ulang
- Otot/tendo : penulangan otot, rupture tendo
- Saraf : kelumpuhan saraf lambat 2. Umum
- batu ginjal (akibat imobilisasi lama di tempat tidur). (De Jong, 2003)
BAB II LAPORAN KASUS Pasien baru dengan post kecelakaan lalu lintas dalam keadaan sadar Airway
: Sumbatan jalan napas (-)
Breathing
: RR: 20 kali/menit (tidak didapatkan tanda-tanda gangguan
pernapasan) Circulation
: TD: 120/80 mmHg N : 80 kali/menit (reguler, kuat angkat)
Disability
: GCS: 15 Pupil: Isokor
Setelah airway, breathing, dan circulation dipastikan “clear”, maka pemeriksaan selanjutnya dapat dilakukan lebih lanjut.
II.1.
Identitas Pasien Nama
: Sdr. E
Umur
: 22 tahun
Tanggal Lahir
: 30 Januari 1992
Jenis Kelamin
: laki-laki
Agama
: Islam
Alamat
: Link Berokan 05/06 Bawen, Ambarawa Kab.
Semarang Pekerjaan
: Swasta
Status Pernikahan
: Belum menikah
Tanggal Masuk
: 19 Maret 2014
No. CM
: 155100-2014
II.2. Anamnesa Autoanamnesa dilakukan di Bangsal Melati RSUD Ambarawa pada hari Jumat, 21 Maret 2014 Keluhan Utama :
Nyeri pada pundak kiri
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUD Ambarawa langsung setelah kecelakaan terjadi, saat dibawa pasien tampak kesakitan, lengan atas bagian kiri tidak bisa digerakan, terdapat luka terbuka di bagian lengan atas kiri, terdapat beberapa luka lecet di bagian lengan kiri bawah. Pasien mengaku posisi jatuh dari motor miring kearah kiri. Pada saat jatuh pasien tidak pingsan dan masih ingat saat kejadian berlangsung. Kepala tidak terbentur. Tidak ada perdarahan yang terjadi. Pasien menyangkal adanya pusing, nyeri kepala, mual dan muntah. Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien belum pernah mengalami keluhan yang sama sebelumya. Riwayat trauma sebelumnya (-), riwayat kencing manis (-), riwayat darah tinggi (),alergi (-), riwayat penyakit tulang (-), riwayat operasi sebelumnya (-), riwayat kelainan darah (-). Riwayat Penyakit Keluarga :
Di keluarga tidak ada yang memiliki keluhan yang sama seperti pasien. Riwayat kencing manis (-), riwayat darah tinggi (-), riwayat alergi (-), riwayat penyakit tulang (-), riwayat kelainan darah (-). Riwayat Pengobatan :
Pasien belum melakukan pengobatan sebelumnya.
II.3. Pemeriksaan Fisik 1. Status generalisata
a. KU
: tampak sakit sedang
b. Kesadaran
: Compos Mentis, GCS : E4V5M6
c. Tanda Vital -
Tekanan Darah
: 120/80 mmHg
-
Nadi
: 80x/menit
-
Respirasi
: 20x/menit
-
Suhu
: 37o C
d. Kepala
: Mesocephal, rambut hitam, pendek, lurus, tidak mudah dicabut, hematom (-), jejas (-)
e. Mata
: Konjungtiva pucat (-), sklera ikterik (-), pupil isokor, reflek cahaya (+/+), reflek kornea (+/+)
f. Hidung
: Sekret (-), mimisan (-), nafas cuping hidung (-)
g. Mulut
: Sianosis (-), lidah kotor (-), pembesaran tonsil (-)
h. Telinga
: Discharge (-), luka (-)
i.
: Pembesaran KGB (-), deviasi trakea (-) , JVP
Leher meningkat (-)
j.
Thoraks Pulmo : I : Normochest, dinding dada simetris P : Fremitus taktil kanan = kiri, ekspansi dada simetris P : Sonor di kedua lapang paru A : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-) Cor : I : Tidak tampak ictus cordis P : Iktus cordis tidak teraba, thrill tidak teraba P : Batas atas ICS III linea parasternal sinistra Batas bawah ICS V linea parasternal sinistra Batas kiri ICS VI linea midklavicula sinistra Batas kanan ICS IV linea stemalis dextra A : BJ I dan II reguler, Gallop -/-, Murmur -/-
k. Abdomen : I : Datar A : Bising usus (+) normal P : Dinding perut supel, turgor kulit baik, hepar & lien tidak teraba membesar, nyeri ketok CVA (-/-) P : Timpani l.
Ekstremitas -
Superior dekstra
: edema (-), deformitas (-), jejas (-), akral
dingin (-), nyeri gerak aktif dan pasif (-) -
Superior sinistra
-
Inferior
: lihat status lokalis
dekstra et sinistra
: edema (-), deformitas (-),
jejas (-), akral dingin (-), nyeri gerak aktif dan pasif (-)
2. Status Lokalis
Regio clavicula sinistra Look
: edema (+), deformitas (+), VL di 1/3 medial clavicula
Feel
: teraba hangat, nyeri tekan (+), nadi dan suhu distal (dbn)
Movement : nyeri gerak aktif dan pasif (+), functio laesa (+)
II.4. Diagnosis Banding 1. Fraktur tertutup os clavicula sinistra 1/3 medial 2. Dislokasi sendi glenohumerus
II.5. Pemeriksaan Penunjang Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 20 Maret 2014 Pemeriksaan
Hasil
Nilai Rujukan
Hemoglobin
13,2
12,0 – 16,0 g/dl
Leukosit
8,6
4,0 – 10 ribu
Eritrosit
4,86
4,2 – 5,4 juta
Hematokrit
40,5 ↓
37 – 43 %
Trombosit
215
200 – 400 ribu
MCV
83,3
80 – 90 mikro m3
MCH
27,2
27 – 34 pg
MCHC
32,6
32 – 36 g/dl
RDW
12,4
10 – 16 %
MPV
7,8
7 – 11 mikro m3
Limfosit
0,9 ↓
1,7 – 3,5 10 /mikroL
Monosit
0,3 ↓
0,2 – 0,6 10 /mikroL
Granulosit
7,4 ↑
2,5 – 7 103/mikroL
Limfosit %
10,0 ↓
25 – 35 %
Monosit %
4,0
4 – 6 %
Hematologi darah rutin :
Granulosit %
86,0 ↑
50 – 80 %
PCT
0,108 ↓
0,2 – 0,5 %
PDW
15,0
10 – 18 %
Golongan Darah
B
Clotting Time
3:00
3-5 (menit:detik)
Bleeding Time
2:00
1-3 (menit:detik)
SGOT
36
< 47 IU/L
SGPT
36
< 39 IU/L
Non Reaktif
NON REAKTIF
Kimia Klinik
Serologi
HBsAg
Hasil pemeriksaan rontgen tanggal 19 Maret 2014
Fraktur os clavicula sinistra 1/3 medial, transversal, complete, tertutup, non
II.6. Diagnosa Kerja Fraktur os clavicula sinistra 1/3 medial, transversal, complete, tertutup, non komplikata
II.7. Penatalaksanaan Farmakologi -
Infus RL 20 tpm
-
Inj Ketorolac 2x30 mg
-
Inj Ranitidin 2x 1 amp
-
Inj Cefotaksim 2x 1 gr
Non farmakologi -
Pemasangan spalk/bidai
II.8. Prognosis Dubia ad bonam
BAB III ANALISIS KASUS
III.1. S (Subjective) Pasien bernama Sdr. E datang ke IGD RSUD Ambarawa setelah kecelakaan dari motor. Pasien mengeluh nyeri hebat dan terdapat luka terbuka pada bahu kiri dan tidak bisa digerakkan. Terdapat luka lecet di bagian lengan kiri bawah. Pasien terjatuh dengan posisi miring ke arah kiri.
Nyeri dan adanya luka terbuka disebabkan karena adanya reaksi inflamasi akibat adanya trauma di daerah bahu kiri.
Lengan kiri pasien tidak dapat digerakkan karena terbatasnya ruang gerak akibat nyeri yang timbul diakibatkan oleh trauma dapat terjadi kemungkinan adanya fraktur di bagian bahu kiri.
Kemungkinan adanya fraktur di daerah bahu kiri karena posisi jatuh miring kekiri dan menopang berat badan pasien, sehingga pada bagian tersebut terdapat beban yang lebih berat. Pada saat jatuh pasien masih sadar, tampak kesakitan dan masih ingat
saat kejadian. Kepala pasien tidak terbentur, tidak mual, tidak muntah, tidak pusing. Terdapat perdarahan di daerah bahu kiri, dilakukan penjahitan di IGD untuk menghentikan perdarahan.
Hal ini ditanyakan untuk dapat menyingkirkan adanya gangguan neurologis yang dialami pasien post jatuh.
III.2. O (Objective) Pasien Sdr. E merupakan pasien post trauma, maka saat pasien pertama kali datang ke IGD yang dinilai adalah Airway, Breathing dan Circulation. Pada Airway Sdr. S dianggap “clear” karena dapat berbicara dengan baik. Breathing dianggap “clear” karena didapatkan RR : 20 x/menit (dalam batas normal) dan tidak terdapat tanda-tanda gangguan pernapasan. Circulation
juga
dianggap
“clear”,
berdasarkan
hasil
pemeriksaan
didapatkan kesadaran compos mentis, warna kulit tidak pucat, nadi 80 kali/menit (reguler, kuat angkat), tekanan darah 120/80 mmHg. Setelah airway, breathing, dan circulation dipastikan “clear”, maka pemeriksaan selanjutnya dapat dilakukan lebih lanjut.
Status Lokalis : Regio clavicula sinistra - Look : edema (+), deformitas (+), VL di 1/3 medial Adanya edema dan deformitas menimbulkan adanya kecurigaan adanya fraktur pada daerah bahu kiri. VL pada daerah bahu kiri menunjukkan telah terjadinya cedera atau trauma pada daerah tersebut. - Feel : teraba hangat, nyeri tekan (+), nadi dan suhu distal (dbn) Nyeri tekan dan rasa hangat pada daerah luka yang dirasakan oleh pasien merupakan suatu respon tubuh yang terjadi pada keadaan pasca trauma, sehingga jaringan tubuh mengalami inflamasi dan mengeluarkan mediator-mediator inflamasi yang menimbulkan gejala berupa nyei tekan dan rasa hangat pada daerah luka. - Movement : nyeri gerak aktif dan pasif (+), function laesa (+) Pada penialaian kemampuan pergerakan yang dilakukan kepada Sdr. E didapatkan bahwa pasien tidak dapat menggerakan tangan kirinya dan terdapat rasa nyeri pada saat pergerakan baik aktif maupun pasif, hal tersebut mendukung kecurigaan bahwa telah terjadi fraktur pada Sdr. E. Dari pemeriksaan fisik kita mencurigai bahwa pasien mengalami fraktur pada bahu kiri, namun untuk memastikan jenis fraktur serta tulang mana yang terkena, perlu dilakukan pemeriksaan rontgen. Selain itu rontgen
juga diperlukan untuk menentukan jenis terapi yang akan dilakukan dan evaluasi penatalaksanaan selanjutnya. Setelah dilakukan pemeriksaan Rontgen didapatkan kesan bahwa pasien mengalami fraktur os clavicula sinistra 1/3 medial, complete, tertutup non komplikata.
III.3. A (Assesment) Fraktur os clavicula sinistra 1/3 medial,transversal, complete, tertutup non komplikata.
III.4. P (Planning) Farmakologi
-
Infus RL 20 tpm Ringer Laktat merupakan salah satu cairan kristaloid yang bersifat isotonik yaitu cairan yang osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum tubuh. Komposisi RL terdiri dari Na + (130 mEq/L), Cl (109 mEq/L), Ca 2+ (3 mEq/L), dan laktat (28 mEq/L). osmolaritasnya sebesar 273 mOsm/L. Sediaannya adalah 500 ml dan 1000 ml.
-
Inj Ketorolac 2x30 mg Ketorolak adalah salah satu dari obat anti inflamasi non steroid (NSAID), yang biasa digunakan untuk analgesik, antipiretik dan anti inflamasi. Indikasi penggunaan ketorolac adalah untuk inflamasi akut dalam jangka waktu penggunaan maksimal selama 5 hari. Obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadi
PG2
siklooksigenase
terganggu. yang
non
Ketorolak selektif.
merupakan
Selain
penghambat
menghambat
sintese
prostaglandin, juga menghambat tromboksan A2. -
Inj Ranitidin 2x1 amp Ranitidin merupakan antagonis histamin reseptor H2 (antagonis H2) menghambat kerja histamin pada semua reseptor H2 yang penggunaan klinisnya ialah menghambat sekresi asam lambung, dengan menghambat secara kompetitif ikatan histamin dengan reeseptor H2, zat ini mengurangi konsentrasi cAMP intraseluler sehingga sekresi asam lambung juga dihambat.
-
Inj Cefotaksim 2x1 gr Cefotaxime adalah antibiotik spektrum luas golongan sefalosporin generasi ketiga yang mempunyai efek bakterisidal dengan cara
menghambat sintesis mukopeptida dinding sel bakteri. Cefotaxime merupakan pilihan lini pertama terhadap bakteri yang resisten terhadap penisilin karena cefotaxime stabil terhadap hidrolisis beta-laktamase. Non farmakologi
-
Pemasangan spalk/bidai Pembidaian adalah suatu cara pertolongan pertama pada cedera/ trauma sistem muskuloskeletal untuk mengistirahatkan (immobilisasi) bagian tubuh yang mengalami cedera dengan menggunakan suatu alat yaitu benda keras yang ditempatkan di daerah sekeliling tulang. Di pasang dengan cara melewati dua sendi yaitu sendi siku dan sendi pergelangan tangan.