PENYULUHAN KESEHATAN MASYARAKAT RUMAH SAKIT
INFEKSI KULIT PADA NEONATUS
Oleh Andi Amalia Yasmin C111 14 042
Residen Pembimbing dr. Ati Salami
Supervisor Pembimbing dr. A. Dwi Bahagia Febriani, Ph.D., Sp.A (K)
KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN 2018
HALAMAN PENGESAHAN
Judul PKMRS
: INFEKSI KULIT PADA NEONATUS
Nama
: Andi Amalia Yasmin
NIM
: C111 14 042
Program Studi
: Pendidikan Program Profesi Dokter FK UNHAS
Makassar, 29 Agustus
2018
Menyetujui pembimbing Residen
dr. Ati Salami
Supervisor
dr. A. Dwi Bahagia Febriani, Ph.D., Sp.A (K) NIP. 196602271992022001
2
Daftar isi
HALAMAN JUDUL .................................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................................... ii DAFTAR ISI...............................................................................................................iii BAB 1 PENDAHULAN .............................................................................................. 1 BAB 2 PEMBAHASAN .............................................................................................. 2 2.1. Struktur Kulit pada Bayi.........................................................................2 2.2 Efloresensi Kulit
……………………………………………………..…..
3
2.3 Infeksi Kulit pada Bayi 2.3.1 Bakteri.........................................................................................4 2.3.2 Virus............................................................................................8 2.3.3 Jamur..........................................................................................10 2.3.4 Parasit.........................................................................................12
Daftar Pustaka
BAB 1 PENDAHULUAN
Kulit merupakan organ tubuh utama pada bayi baru lahir dan penting untuk kesehatan bayi. Meskipun kulit orang dewasa hanya 3% berat badannya, kulit bayi yang baru lahir dapat mencapai 13% dari berat tubuhnya, terutama pada neonatus yang prematur.1 Saat lahir, digunakan penilaian kulit beserta dengan temuan lain, untuk menentukan kematangan fisik. Kulit memiliki banyak fungsi. Kulit juga merupakan penghalang untuk terjadinya infeksi, melindungi organ-organ internal, berkontribusi terhadap pengaturan suhu, mengeluarkan elektrolit dan air, dan memberikan masukan terhadap sensorik taktil.1 Kulit bayi berbeda dari orang dewasa, karena lebih tipis, halus, memiliki perlekatan antar sel yang lebih lemah dan menghasilkan lebih sedik it keringat dan sekresi kelenjar sebasea dan lebih rentan terhadap beberapa infeksi.2 Kulit neonatal memainkan peran yang signifikan dengan vernix caseosa melalui sifat antimikroba mereka untuk melindungi neonatus dalam rahim dan kelahiran.3 Kelainan kulit biasanya terlihat selama periode neonatal dan mungkin berupa lesi transien jinak, dermatitis popok dan gangguan lainnyar.4 Jenis gangguan kulit paling sering pada neonatus ialah infeksi. Penelitian yang dilakukan di Egypt (2012) mengenai kelainan kulit pada neonatus menunjukkan bahwa infeksi kulit jamur adalah gangguan kulit non-nevus patologis yang paling sering didapatkan; 80 (13,3%) dari neonatus yang diperiksa memiliki moniliasis oral, infeksi jamur di daerah popok serta candida intertriginosa. Infeksi jamur lebih sering pada bayi dengan berat lahir normal (7,8%) dibandingkan pada BBLR (5,5%). Infeksi bakteri ditemukan pada 1,3% neonatus dan lebih sering terjadi pada BBLR (0,8%) daripada bayi dengan berat lahir normal (0,5%).5 Sedangkan, infeksi bakteri yang sering terjadi yaitu infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus.6 Beberapa penyakit yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus antara lain, staphylococcal scalded skin syndrome yang terjadi pada 98% anak-anak usia kurang dari enam tahun.7
1
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1. Struktur Kulit pada Bayi
Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama, yaitu lapisan epidermis atau kutikel, lapisan dermis, dan lapisan subkutis. Tidak ada garis tegas yang memisahkan dermis dan subkutis, subkutis ditandai dengan adanya jaringan ikat longgar dan adanya sel dan jaringan lemak. Vernix atau yang dikenal juga sebagai vernix caseosa adalah lapisan putih krem yang berkembang pada kulit bayi yang belum lahir pada sekitar 20 minggu usia kehamilan. Vernix diyakini sebagai pelembab dan melindungi kulit bayi selama dalam rahim. Menjelang akhir usia kehamilan, vernix yang menutupi bayi akan mulai berkurang dan saat lahir, biasanya sisa lapisan vernix masih dapat terlihat. Vernix dipercaya memiliki fungsi anti bakteri yang dapat membantu menjaga kulit bayi dari infeksi. Untuk alasan tersebut, beberapa membiarkannya tetap menempel di kulit bayi saat baru lahir. Selain itu, sifat vernix yang berfungsi sebagai pelembab juga dapat membantu mencegah kulit halus bayi mengalami kekeringan. Perbandingan luas permukaan kulit dengan berat badan pada bayi lebih besar daripada orang dewasa (area permukaan kulit bayi 700 cm2/kg dibandingkan kulit orang dewasa 250 cm2/kg), sehingga kemungkinan keracunan berbagai bahan toksik menjadi lebih besar karena tingginya penyerapan melalui kulit. Bayi cukup bulan mempunyai lapisan kulit dan fungsi pertahanan kulit yang hampir sama dengan oran g dewasa, sedangkan bayi prematur belum berkembang secara sempurna. Secara struktural tidak terdapat perbedaan antara kulit bayi dan kulit orang dewasa. Namun perbedaan fisiologis lebih berhubungan dengan perubahan jumlah, ukuran, bentuk, dan kematangan sel yang dapat dipengaruhi oleh perkembangan usia. Kulit pada bayi relatif lebih tipis, hubungan antar sel lebih longgar, jumlah melanosom lebih sedikit, rambut lebih halus (lanugo dan velus) dan jumlahnya lebih sedikit, serta produksi kelenjar keringat dan kelenjar minyak relatif kurang. Dermis pada bayi baru lahir relatif lebih tipis, serat kolagen pendek, tipis, dan mudah larut. Elastin berukuran lebih kecil dan struktur belum sempurna, sedangkan pembuluh darah dan saraf belum berkembang sempurna.8
2
2.2 Efloresensi Kulit 2.2.1 Efloresensi Primer
Lesi kulit yang mula-mula, merupakan bentuk awal yang khas dari penyakit kulit, sangat penting diketahui untuk diagnosa penyakit kulit. a. Makula, perubahan warna kulit yang rata (setinggi permukaan kulit normal atau sama sekali tidak ada peninggian kulit), batas tegas. b. Papula, peninggian kulit dengan batas tegas yang diameternya kurang dari 0.5 cm. c. Plak, lesi yang padat, tinggi, dan rata, diameter berukuran >1cm. d. Nodul, lesi padat yang menonjol dan berukuran 0,5cm. e. Nodus, massa padat, berbentuk bulat atau elips, dengan batas tidak jelas dengan diameter ebih dari 1 cm. f. Urtika, peninggian kulit yang bulat atau tidak teratur, seringkali mendatar dengan warna merah pucat, yang timbul akibat edema pada dermis superfisial. g. Vesikel, lesi dengan diameter kurang dari 1 cm dengan yang berisi cairan jernih. h. Bulla, vesikel yang > 0,5 cm. i. Pustula, vesikel yang berisi pus (nanah). j. Kista, kantong berdinding (dilapisi sel epidermis atau jaringan ikat) berisi cairan dan material semisolid (sel, produk sel).
2.2.2 Efloresensi Sekunder
Lesi kulit yang sudah mengalami perubahan, akibat proses penyakitnya sendiri, pengobatan, garukan, infeksisekunder dan lain-lain. a. Skuama, pelepasan stratum korneum yang abnormal dan terlihat pada inspeksi seperti sisik. b. Krusta, pengeringan cairan serum, darah, atau pus pada permukaan kulit. c. Erosi, hilangnya lapisan epidermis yang tidak melampaui dermis. d. Ekskoriasi, hilangnya lapisan kulit yang lebih dalam sampai pars papilar dermis.
3
e. Ulkus, hilangnya lapisan kulit yang lebih dalam lagi, mencapai dermis atau lebih dalam lagi. f. Fissura, ulkus yang berbentuk linear. g. Sikatriks, Penggantian jaringan normal kulit dengan jaringan ikat pada tempat trauma / lesi kulit yang dalam. h. Likenifikasi, penebalan kulit disertai relief garis-garis kulit yang jelas.9
2.3 Infeksi Kulit pada Bayi 2.3.1 Bakteri 2.3.1.1 Staphylococcus aureus a. Impetigo vesikobulosa 1) Definisi
Penyakit infeksi piogenik akut kulit yang mengenai epidermis superfisial, bersifat sangat menular dan sering menyerang anak-anak terutama di tempat beriklim panas dan lembab.10 2) Gambaran Klinis
Pada bayi, impetigo vesikobulosa sering ditemukan di daerah selangkangan, ekstremitas, dada, punggung, dan daerah yang tidak tertutup pakaian. Kelainan kulit diawali dengan makula eritematosa yang dengan cepat akan menjadi vesikel, bulla dan bulla hipopion.11 3) Tatalaksana
Non-medikamentosa : 1. Menjaga kebersihan dan kesehatan tubuh 2. Menghindari faktor predisposisi 3. Memperkuat daya tahan tubuh Medikamentosa : 1. Topikal: mupirocin krim 2%, asam fusidat krim 2%, atau tetrasiklin krim atau salep, kompres NaCl 0,9%
4
2. Oral: eritromisin 2 x 500 mg pada dewasa, pada anak 40 mg/KgBB/hari dibagi 4 dosis; atau amoksisilin-klavulanat 3 x 500 mg pada dewasa, pada anak 25 mg/KgBB/ hari dibagi 3 dosis; atau cephalexin 2 x 500 mg padadewasa, pada anak 25 mg/KgBB hari dibagi 4 dosis.12 4) Prognosis
Impetigo vesikobulosa bukan penyakit yang mengancam nyawa jika faktor risiko dihindari dan segera diobati. Jika ada faktor risiko seperti higiene atau daya tahan tubuh rendah, angka kekambuhan cukup tinggi. Prognosis umumnya baik.11,12
b. Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS) 1) Definisi
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS), juga dikenal sebagai penyakit Ritter, dan nekrolisis epidermis staphylococcal , meliputi spektrum gangguan kulit superfisial yang disebabkan oleh toksin eksfoliatif dari beberapa strain dari Staphylococcus aureus. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS) adalah dermatitis eksfoliatif
ekstensif
yang terjadi terutama pada bayi baru lahir dan anak-anak yang sebelumnya sehat.13 2) Gambaran Klinis
Secara umum, gejala awal SSSS meliputi demam dan kemerahan di seluruh permukaan kulit. Dalam 24-48 jam, lepuhan dengan akumulasi cairan terbentuk di seluruh tubuh. Lepuh, pecah dan area yang dihasilkan tampak seperti luka bakar. Area permukaan kulit yang besar terkelupas atau terjatuh akan menunjukkan gejala pengelupasan atau deskuamasi. Dalam SSSS, kulit terkelupas dengan sentuhan lembut dan meninggalkan area merah basah muncul sebagai kulit yang terbakar (tanda Nikolsky).14 3) Tatalaksana
Non-medikamentosa : i. Antibakteri / sabun antiseptik harus digunakan dalam pencucian tangan. ii. Handuk bersih atau pakaian segar digunakan untuk mengeringkan tubuh atau tangan. iii. Sprei dan pakaian harus dicuci dengan air panas. iv. Produk-produk antibakteri digunakan untuk membersihkan dinding.
5
v. Kuku harus pendek untuk menghindari kontaminasi. vi. Sekolah dan pusat penitipan anak harus dihindari ketika infeksi dalam bentuk menular. vii. Peralatan kebersihan yang bersifat pribadi tidak boleh digunakan secara bersama
sama. viii. Cuci tangan sebelum menyentuh kulit yang rusak atau pecah. ix. Dalam kasus infeksi ringan, kolonisasi bakteri dapat dicegah pada lubang hidung dan di bawah kuku jari dengan krim antibiotik seperti Asam Fusidic atau dengan menggunakan petroleum jelly beberapa kali sehari, selama seminggu setiap bulan.15
Medikamentosa : Perawatan suportif dan pemberian cairan dan elektrolit untuk pemulihan yang cepat dari SSSS. Rawat inap diperlukan untuk mengobati SSSS karena antibiotik melalui jalur intravena (IV) diperlukan untuk pemulihan yang absolut dari SSSS.
Flucloxacillin
(antibiotik penicillinase, anti-staphylococcal) kadang digunakan. Antibiotik oral juga digunakan setelah beberapa hari pengobatan untuk menggantikan antibiotik dari rute IV. Secara umum, pasien SSSS keluar dari rumah sakit dalam 6-7 hari
tetapi
untuk melanjutkan perawatan setelahnya, bisa hingga 15 hari. Kondisi
disarankan
lembab
dan
permukaan kulit yang pecah membutuhkan lapisan emolien hambar untuk mengurangi kelembutan. Paracetamol biasanya obat lini pertama untuk mengobati demam dan nyeri yang terkait dengan SSSS. Hal tersebut diberikan bila diperlukan.Permukaan
kulit
membutuhkan perawatan intensif seperti kulit yang sangat rapuh pada pasien SSSS. Secara topikal, terapi yang termasuk asam Fusidic atau Mupirocin digunakan sebagai obat telah terbukti dalam kasus resistensi bakteri. Imunoglobulin intravena juga direkomendasikan untuk melawan Staphylococcal scalded skin syndrome,
tetapi
penelitian
terbaru
mengaitkan penggunaannya dengan rawat inap yang lama. Dalam kasus yang dilaporkan pada tahun 2015, penggunaan terapi antibiotik ganda yang menggabungkan ceftriaxone dan aminoside dan juga penting ditambahkan rehidrasi, antipain, dan perawatan kulit dengan cairan eosin 1%. Setelah permukaan kulit melepuh pada SSSS, awal 48 jam diperlakukan sebagai kritis tetapi setelah itu penyakitnya tidak dianggap sebagai menjaga menular dalam melihat fakta bahwa antibiotik yang tepat telah diberikan. Pengobatan antibiotik umumnya berlangsung dalam 7-10 hari tetapi beberapa kasus MRSA
6
memerlukan perawatan yang lebih lama, tergantung pada intensitas dan spektrum infeksi itu sendiri. Anak- anak pulih dengan baik dari SSSS tetapi tanda-tanda luar dari SSSS tampak buruk danpenyembuhan lesi kulit selesai dalam 5-7 hari sejak perawatan awal.16 4) Prognosis
Bahaya SSSS terletak pada kenyataan bahwa jenis bakteri yang berbeda dapat menyerang beberapa area kulit dan mungkin memuncak pada infeksi aliran darah yang rumit. Hilangnya cairan tubuh terjadi ketika kulit terkelupas, dan lapisan residu mengering; kehilangan cairan adalah masalah penting saat ini. Seperti biasa, kebersihan yang baik dapat mencegah bakteri. Dalam SSSS, kehilangan cairan terus menerus menyebabkan dehidrasi dan dapat memperburuk kondisi. Komplikasi lainnya
termasuk
pengaturan suhu yang jelek pada bayi, septicemia (infeksi aliran darah), infeksi folikel rambut termasuk fasikulitis stafilokokus, bisul, dermatitis, skabies, ulkus diabetes.17
2. 3.1.2 Sifilis 1) Definisi
Sifilis kongenital adalah penyakit sifilis yang diderita bayi dengan manifestasi klinis sifilis kongenital; atau ditemukannya Treponema pallidum pada lesi, plasenta, tali pusat atau otopsi jaringan; atau bayi yang dilahirkan oleh ibu penderita sifilis yang
belum
mendapat
pengobatan atau telah mendapat pengobatan namun tidak adekuat sebelum atau selama kehamilan, atau ibu yang telah mendapat terapi penisilin tetapi tidak menunjukkan respons serologi; atau ditemukannya salah satu dari hal berikut, yaitu pemeriksaan radiologi tulang panjang dan/atau cairan serebrospinal yang sesuai gambaran sifilis kongenital.18 2) Gejala Klinis
Erupsi makula atau makulopapular (pada sifilis kongenital, terdapat vesikula, bula, dan erosi). Bulla hemoragik pada telapak tangan dan telapak kaki merupakan karakteristik sifilis.19 3) Tatalaksana
1. Pada pemeriksaan fisik tampak tanda sifilis kongenital 2. Pada pemeriksaan fisik normal, dibagi menjadi
7
a. Ibu mempunyai titer 4X, namun tidak diobati. b. Ibu diobati, titer menurun, dan tidak menderita reinfeksi/relaps. c. Ibu diobati, titer ibu rendah dan stabil. 20 Perawatan yang direkomendasikan sesuai dengan pedoman CDC adalah penisilin kristal G 100.000-150.000 U / kg / hari, diberikan sebagai 50.000 U / kg / dosis intravena setiap 12 jam selama 7 hari pertama kehidupan dan setiap 8 jam setelahnya untuk total 10 hari atau prokain penisilin G, 50.000 U / kg / dosis intramuskular (IM) dalam dosis harian tunggal selama 10 hari. Data tidak mencukupi mengenai penggunaan agen antimikroba lain (misalnya, ampisilin). Tentu diperlukan penicillin 10 hari penuh, bahkan jika ampisilin pada awalnya diberikan untuk kemungkinan sepsis. Pasien-pasien ini harus selalu diobati dengan penisilin, bahkan jika desensitisasi untuk alergi penisilin diperlukan (sangat jarang pada periode baru lahir).19 4) Prognosis
Sifilis kongenital yang berat dapat menyebabkan kematian pada masa janin maupun perinatal. Bila penyakit tersebut telah mengenai meningovaskular dapat menyebabkan sekuele permanen. Sifilis Kongenital dapat sembuh sempurna bila mendapat
terapi
adekuat.
Pengobatan dengan penisilin bersifat kuratif, sehingga perubahan serologi dapat terjadi dalam satu tahun.21 2.3.2 Virus 2.3.2.1 Herpes Simplex Virus (HSV) 1) Definisi
Virus herpes simplex (HSV-1 dan HSV-2) adalah virus DNA amplop ganda. Bagian dari kelompok herpes, yang juga termasuk cytomegalovirus, virus Epstein-Barr, virus varicella zoster, dan virus herpes manusia (HHV-6 dan HHV-7). Infeksi HSV adalah salah satu yang paling umum dari semua infeksi virus yang diderita oleh manusia.19 2) Gejala Klinis
Infeksi kongenital HSV jarang terjadi dan berkaitan dengan tingginya tingkat kematian janin; gejala klinis seperti mikrosefal, hidrosefalus, dan korioretinitis dengan infeksi kongenital lainnya. Selain itu, ulserasi kulit atau jaringan parut dan kerusakan mata. Penyakit neonatal umumnya diperoleh intrapartum. Dapat secara lokalisasi atau menyebar
8
luas. Mekanisme imun humoral dan seluler tampak penting dalam mencegah infeksi HSV awal atau membatasi penyebarannya. Bayi dengan diseminata dan penyakit SEM umumnya terjadi pada 10-12 hari kehidupan, sedangkan pasien dengan penyakit CNS biasanya terjadi pada 16-19 hari kehidupan. Lebih dari 20% bayi dengan penyakit diseminata dan 30-40% bayi dengan ensefalitis tidak pernah memiliki vesikel kulit.19 3) Tatalaksana
Terapi farmakologis. Neonatus dengan penyakit HSV harus diobati dengan asiklovir intravena pada 60 mg / kg / hari, dibagi, setiap 8 jam (20 mg / kg / dosis). Interval dosis dari acyclovir intravena mungkin perlu ditingkatkan pada bayi prematur, berdasarkan pada hasil kreatinin mereka. Durasi terapi adalah 21 hari untuk pasien dengan penyakit CNS dan 14 hari untuk mereka dengan penyakit SEM. Semua pasien yang melibatkan CNS harus memiliki pungsi lumbal berulang pada akhir terapi asiklovir intravena untuk menentukan apakah CSF adalah PCR negatif. Bayi-bayi yang tetap positif PCR harus menerima terapi asiklovir intravena sampai PCR negatif tercapai. Jumlah neutrofil mutlak harus diikuti dua kali seminggu selama terapi. Asiklovir dosis rendah dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi dan harus dihindari. Trifluridine adalah pengobatan pilihan untuk infeksi HSV okular pada neonatus.19 Terapi supresif acyclovir oral dianjurkan selama 6 bulan setelah pengobatan penyakit HSV neonatal akut. Selain itu, terapi supresif telah dikaitkan dengan berkurangnya rekurensi lesi kulit dan bentuk lain dari HSV. Asupan oral acyclovir adalah 300 mg / m2 / dosis 3 kali per hari selama 6 bulan.19
4) Prognosis
Terapi antiviral, terutama asiklovir dosis tinggi (60 mg / kg / hari) telah sangat mengurangi mortalitas untuk infeksi HSV pada neonatus. Di era pra-evolusi, 85% pasien dengan penyakit HSV neonatal yang ada meninggal pada usia 1 tahun, seperti yang terjadi pada 50% pasien dengan penyakit CNS. Dengan terapi antiviral saat ini, mortalitas 12 bulan telah berkurang menjadi 29% untuk penyakit diseminata dan 4% untuk penyakit CNS. Prediktor kematian termasuk keparahan penyakit (pneumonia, DIC, kejang, dan hepatitis), jenis virus (HSV-1 pada penyakit sistemik, HSV-2 pada penyakit CNS), dan prematuritas. Infeksi sistemik pada bayi prematur dikaitkan dengan hampir 100% mortalitas. Peningkatan angka morbiditas tidak sedramatis dengan mortalitas. Proporsi
9
survivor penyakit HSV neonatal memiliki perkembangan neurologis normal telah meningkat dari 50% di era preantiviral menjadi 83% hari ini. Dalam kasus penyakit CNS, morbiditas pada survivor tidak berubah, dengan hanya ~ 30% berkembang normal pada usia 12 bulan. PCR CSF yang terus-menerus positif setelah 4 minggu terapi asiklovir dikaitkan dengan hasil perkembangan saraf yang buruk. Berbeda dengan penyakit CNS, morbiditas setelah penyakit SEM telah meningkat secara dramatis selama era antiviral, dengan <2% penerima acyclovir mengalami keterlambatan perkembangan. Penyintas infeksi HSV neonatal harus menjalani penilaian perkembangan secara teratur. Kambuh kulit relatif umum (~ 50%), terutama untuk penyakit SEM. Terapi asiklovir oral yang supresif mungkin memiliki peran dalam mengurangi kekambuhan kulit dan meningkatkan perkembangan saraf.19
2.3.3 Jamur 2.3.3.1 Dermatitis Popok Kandida 1) Definisi
Dermatitis popok (eksim popok, napkin dermatitis, diaper dermatitis) merupakan kelainan kulit yang timbul di daerah kulit yang tertutup popok, terjadi setelah penggunaan popok. Kelainan kulit terjadi di daerah yang tertutup popok yaitu pada bokong sekitar anus, paha sebelah dalam, daerah kelamin dan perut bagian bawah.20 2) Gejala Klinis
Pada dermatitis popok yang ringan, kelainan kulit berupa eritematosa yang ringan didaerah popok yang bersifat terbatas, berkilat disertai erosi. Pada kelainan derajat sedang dijumpai eritematosa dengan atau tanpa papul-papul yang tersusun disekitarnya seperti satelit disertai erosi yang meliputi permukaan luas, biasanya nyeri dan tidak n yaman. Pada gejala yang lebih berat tampak kulit eritematosa yang hebat disertai pustul-pustul dan erosi, meliputi daerah yang lebih luas. Selain itu didapati kulit yang edem, basah dan kadang berskuama.20,21 Bila dermatitis popok terjadi lebih dari 3 hari, harus dipikirkan adanya infeksi yang disebabkan oleh jamur. Dermatitis popok yang disebabkan oleh jamur Candida albicans ditandai dengan kelainan kulit yang bertambah merah dan basah, berbatas tegas, berskuama disertai pustul yang berkonfigurasi satelit.20,21
10
3) Tatalaksana Non-medikamentosa
Upaya pencegahan yang paling penting agar tidak terjadi dermatitis popok adalah dengan menjaga kebersihan kulit dan sawar kulit, mengurangi kelembaban dan iritas i pada kulit dengan cara segera mengganti popok bila basah atau tidak tertampung lagi, bila mengganti bersihkan daerah popok, mengoleskan salap mengandung seng atau titanium dioksida, menghindari penggunaan popok yang ketat, jangan menggunakan cairan antiseptik untuk mencuci pada popok kain; dan pilih popok yang baik.20
Medikamentosa
Krim / salep topikal / bubuk nystatin diaplikasikan 3-4 kali sehari selama 7-10 hari.19 4) Prognosis
Hanya sedikit anak yang mengalami komplikasi yang meliputi keluarnya bisul atau erosi dengan batas tinggi yang khas pada dermatitis popok Jacquet ; papul dan nodul pseudoverroucus, dan plak merah sebesar 0,5-4,0 cm dan nodul granuloma gluteale infantum. Granuloma gluteale infantum jarang terjadi meskipun dermatosis yang begitu khas pada bayi dengan etiologi yang tidak diketahui. Dermatitis kontak iritan, kandidiasis, oklusi dari popok pada bayi dan penggunaan jangka panjang dari benzocaine dan steroid fluorinated telah dianggap sebagai faktor yang berkontribusi untuk pengembangan GGI itu sendiri.22 2.3.3.2 Kandidiasis Oral 1) Definisi
Kandidiasis oral merupakan infeksi yang terjadi di rongga mulut yang disebabkan oleh pertumbuhan abnormal dari jamur Kandida albikan. Kandida albikan ini sebenarnya merupakan flora normal rongga mulut, namun berbagai faktor seperti penurunan sistem kekebalan tubuh maupun pengobatan kanker dengan kemoterapi, dapat menyebabkan flora normal tersebut menjadi patogen.23 2) Gejala Klinis - Asimtomatik
- Merasa tidak nyaman pada saat pemberian susu
11
- Tanda yang muncul berupa lesi putih dan tebal pada mukosa bukal, gusi, dan lidah, tampak seperti “cheesy” atau “ pseudomembran”.23 3) Tatalaksana
Kandidiasis oral diobati dengan nistatin oral, 0,5 mL di dalam setiap pipi dua kali sehari, selama 10 hari.19 4) Prognosis
Ketika spesies Candida menembus sistem organ, maka akan menyebabkan komplikasi seperti meningitis, endokarditis, pielonefritis, artritis septik dan pneumonia.24 2.3.4 Parasit 2.3.4.1 Skabies 1) Definisi
Skabies adalah penyakit kulit akibat investasi dan sensitisasi oleh tungau Sarcoptes scabei. Infestasi dengan tungau Sarcoptes scabiei yang telah dilaporkan pada bayi dengan umur 2 minggu.19 2) Gejala Klinis
Bayi cenderung memiliki lesi yang luas pada wajah dan kulit kepala (biasanya tidak terlihat pada pasien yang lebih tua yang datang dengan lokasi intertriginosa). Terdapat papula, nodul, vesikel, dan pustula.19 3) Tatalaksana
Oleskan krim permetrin 5% secara topikal. (Permethrin tidak menggunakan label pada neonatus dan mungkin tidak aman pada bayi berat lahir yang sangat rendah).19 4) Prognosis
Dengan memperhatikan pemilihan dan cara pemakain obat, serta syarat pengobatan dapat menghilangkan faktor predisposisi (hiegene), maka penyakit ini memberikan prognosis yang baik.19
12
Daftar Pustaka
1. Klaus MH, Fanaroff AA. Yearbook of Perinatal/Neonatal Medicine. Chicago, Ill: Year Book Publishers; 2016.[Context Link] 2. Wagner IS, Hansen RC. Neonatal skin and skin disorders. In: Pediatric Dermatology. nd
2 ed. New York: Churchill Livingstone; 2015. p. 263‐ 346. 3. Marchini G, Lindow S, Brismar H, Ståbi B, Berggren V, Ulfgren AK, et al. e newborn infant is protected by an innate antimicrobial barrier: Peptide antibiotics are present in the skin and vernix caseosa. Br J Dermatol 2012;147:1127‐ 34. 4. Mallory SB. Neonatal skin disorders. Pediatr Clin North Am 2015;38:745‐ 61. 5. El-Moneim,A.A., El-Dawela, R.E. Survey of skin disorders in newborns: clinical observation in an Egyptian medical centre nursery. Department of Paediatrics 2
Department of Dermatology, Venereology and Andrology, Sohag Faculty of
Medicine; University of Sohag, Sohag, Egypt. Received: 03/11/14; accepted: 10/12/14 6. Rasyid, Roslaili., Suheimi, K., 2013. Prevalensi Infeksi Nasokomial Pada Pasien Pasca Sectio Sesaria Pada Bagian Kebidanan & Penyakit Kandungan RSUP Dr. M. Djamil Padang. Majalah Kedokteran Andalas No.2 Vol. 24 7. King, R.W. 2016. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome in Emergency Medicine. (diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/788199-overview#a0104 , Juni 2012) 8. Tabri, Farida., Sidiq, Firmansyah Hadi., Perawatan Praktis: Kulit Bayi dan Balita. Al hayaatun Mufidah. Desember 2016 9. Oeiria, Sudarto David., Diagnosis in Dermatology. FK-UWKS. 4/8/2013. 10. Djuanda A. Pioderma. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, eds. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 6th ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2011.p.57-63. 11. Lewis
LS.
Impetigo
[Internet].
2014
Sept
10.
Available
from:
http://emedicine.medscape.com/article/965254-overview#a0156. 12. Craft N. Superfi cial Cutaneous Infection and Pyodermas. In: Wolff K, Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Paller A, Leff ell DJ, et al (eds). FitzPatrick’s dermatology in general medicine. 7th ed.USA: McGraw Hill Co; 2017.pp.1694-8.
3
13. Patel GK, Finlay AY. Staphylococcal scalded skin syndrome: diagnosis and management. Am J Clin Dermatol., 2013; 4: 165-75. 14. Handler MZ, Schwartz RA. Staphylococcal scalded skin syndrome: diagnosis and management in children and adults. J Eur Acad Dermatol Venereol 2014; 28(11): 141823. [http://dx.doi.org/10.1111/jdv.12541] [PMID: 24841497] 15. Kapral FA. Staphylococcus aureus: some host-parasite interactions. Ann N Y Acad Sci 2014; 236(0): 267-76. [http://dx.doi.org/10.1111/j.1749-6632.1974.tb41497.x] [PMID: 4278721] 16. Johnston GA. Treatment of bullous impetigo and the staphylococcal scalded skin syndrome
in
infants.
Expert
Rev
Anti
Infect
Ther
2014;
2(3):
439-46.
[http://dx.doi.org/10.1586/14787210.2.3.439] [PMID: 15482208] 17. Lina G, Vandenesch F, Etienne J. Staphylococcal and streptococcal pediatric toxic syndrome from 1998 to 2000. Arch Pediatr 2015; 8(Suppl. 4): 769s-75s. [http://dx.doi.org/10.1016/S0929-693X(01)80195-0] [PMID: 11582926] 18. Centers for Disease Control. Congenital syphilis. Sexually transmitted diseases treatment guidelines. MMWR 2012; 51:26-8. 19. Gomella, Tricia Lacy et al. Neonatology Seventh Edition. 2013 20. Diana IA. Eksim popok pada bayi dan anak. Dalam: Penanganan eksim pada bayi dan anak. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2016. h.1726. 21. Chang MW, Orlow SJ. Neonatal, pediatric and adolescent dermatology. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell, eds. Fitzpatrick’s th
Dermatology in General Medicine. 7
ed. New York: McGraw-Hill; 2015. h.935-54.
22. Konya J, Gow E. Granuloma gluteale infantum. Australias J Dermatol. 2016;37:57 – 8. [PubMed] 23. Kusumaputra, Bagus Haryo., Zulkarnain, Iskandar. Penatalaksanaan Kandidiasis Mukokutan Pada Bayi. BIKKK - Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Periodical of Dermatology and Venereology Vol. 26 / No. 2 / Agustus 2016 24. Kelly MS, Benjamin DK, Smith PB (2015) The epidemiology and diagnosis of invasive candidiasis among premature infants. Clin Perinatol 42(1): 105-117.
4