Bab i Pendahuluan
A. Latar belakang Menyusui adalah proses pemberian susu kepada bayi atau anak kecil dengan air susu ibu (asi) dari payudara ibu. Bayi menggunakan refleks menghisap untuk mendapatkan dan menelan susu. Air susu ibu (asi) merupakan satu jenis makanan yang mencukupi seluruh unsur kebutuhan bayi baik fisik, psikologi, sosial maupun spiritual. Asi mengandung nutrisi, hormon, unsur kekebalan, faktor pertumbuhan, anti alergi serta anti inflamasi. Menyusui merupakan aktivitas yang sangat penting baik bagi ibu maupun bayinya. Dalam proses menyusui terjadi hubungan yang erat dan dekat antara ibu dan anak. Tentunya kaum ibu ingin dapat melaksanakan aktivitas menyusui dengan nyaman dan lancar. Namun demikian, terkadang ada hal-hal yang mengganggu kenyamanan dalam menyusui. Masalah-masalah yang sering dialami oleh ibu sehubungan dengan menyusui diantaranya : mastitis, kandida/sariawan, cacar air (virus varisela zoster), cytomegalovirus (cmv), hepatitis b (hbv), hiv/aids. Keracunan pada bayi yang baru lahir dapat terjadi jika obat bercampur dengan asi secara farmakologi dalam jumlah yang signifikan. Konsentransi obat pada asi (misalnya iodida) dapat melebihi yang ada di plasenta sehingga dosis terapeutik pada ibu dapat menyebabkan bayi keracunan. Beberapa jenis obat menghambat proses menyusui bayi. Obat pada asi secara teoritis dapat menyebabkan hipersensitifitas pada bayi walaupun dalam konsentrasi yang sangat kecil pada efek farmakologi. Dengan demikian, perlu pemahaman yang baik mengenai obat apa saja yang relatif tidak aman hingga harus dihindari selama menyusui agar tidak merugikan ibu dan bayinya.
B. Rumusan masalah Berdasarkan uraian tersebut, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah untuk mengetahui apa saja masalah yang sering dihadapi oleh ibu menyusui dan obat yang baik dan tidak untuk di konsumsi konsumsi oleh ibu menyusui C. Tujuan penelitian 1. Untuk mengetahui masalah yang sering dihadapi olh ibu menyusui
2. Untuk mengetahui obat-obat yang boleh di konsumsi ibu menyusui 3. Untuk mengetahui obat-obat yang tidak boleh di konsumsi ibu hamil
Bab ii
Tinjauan pustaka Definisi menyusui dan asi
Menyusui adalah proses pemberian susu kepada bayi atau anak kecil dengan air susu ibu (asi) dari payudara ibu. Bayi menggunakan refleks menghisap untuk mendapatkan dan menelan susu. Air susu ibu (asi) merupakan satu jenis makanan yang mencukupi seluruh unsur kebutuhan bayi baik fisik, psikologi, sosial maupun spiritual. Asi mengandung nutrisi, hormon, unsur kekebalan, faktor pertumbuhan, anti alergi serta anti inflamasi. Obat-obat yang boleh di konsumsi pada ibu menyusui OBAT / GOL. OBAT
Acetaminophen
EFEK PADA BAYI
Compatible, malulopapular rash pada bayi bagian atas dan wajah pada bayi telah dilaporkan
Acyclovir
Compatible, terkonsentrasi dalam ASI
Alprazolam
Withdrawal nyata setelah 9 bulan terpapar melalui ASI. Penggunaan obat lain yang termasuk golongan ini selama menyusui Dipertimbangkan
Amiodaron
Diekskresikan lewat ASI, tidak direkomendasikan karena waktu paruh eliminasi panjang
Amitriptilin
Tidak ada efek samping yang dilaporka, tapi AAP mempertimbangkan Penggunaannya
Aminoglikosida
Potensial mengganggu flora normal saluran cerna bayi
Aspartam
Dieksresikan lewat ASI, penggunaannya hati-hati pada bayi dengan Fenilketonuria
Aspirin
Satu kasus terjadi keracunan salisilat berat (asidosis metabolik), potensial terjadi gangguan fungsi platelet dan rash, AAP merekomendasikan penggunaannya dengan perhatian.
Beta - blocker
Amati pada bayi tanda-tanda blokade seperti hipotensi , bradikardi, asebutolol, atenolol dan nadolol terkonsentrasi dalam ASI
Bromfeniramin
Amati gejala pada bayi: iritasi, gangguan pola tidur. Compatible
Bupropion
Terakumulasi dalam ASI, penggunaan dengan hati-hati
Caffein
Akumulasi dapat terjadi jika ibu pengkonsumsi berat, compatible
dalam jumlah biasa. Amati iritasi dan gangguan tidur Carbamazepin
Compatible
Cephalosporin
Potensial mengganggu flora normal usus, considered compatible
Chloramfenikol
Dieksresikan lewat ASI, potensial menekan sumsum tulang. AAP merekomendasikan penggunaannya dengan hati-hati
Chlorpromazin
Diekskresikan lewat ASI, ngantuk dan lemas teramati pada bayi. AAP mempertimbnagkan penggunaannya karena efek dan potensial Galaktore
Cimetidin
Dapat terakumulasi dalam ASI, potensial menekan asam lambung, menghambat metabolisme obat, dan CNS stimulan. Compatible
Clindamisin
Considered compatible
Codein
Compatible
Diazepam
Letargin dan kehilangan berat badan dilaporkan, amati akumulasi pada bayi, pertimbangkan penggunaannya
Digoxin
Eksresi lewat ASI, compatible
Difenhidramin
Eksresi lewat ASI, tidak ada efek yang dilaporkan
Obat-obat yang tidak boleh di konsumsi pada ibu menyusui
Nama obat heroin
Efek untuk bayi
(analgesik narkotik)
methadone
(analgesik narkotik jangka panjang )
Terhadap pertumbuhan – berat lahir rendah, gangguan pertumbuhan Prematuritas Depresi perinatal/asfiksia Sindrom putus obat Sids – meningkatkan risiko Konsekuensi pada perkembangan otak – kurangnya respon audiotorik dan visual, serta interaksi yang tidak adekuat. Pertumbuhan – risiko berat lahir rendah dan gangguan pertumbuhan lebih kecil Prematuritas – risiko lebih kecil Asfiksia – lebih sedikit Sindrom putus obat biasanya lebih lama Sids – risikonya sama Beberapa penelitian terhadap masalah perkembangan
Buprenorphie (aksi
ganda
agonis
dan
antagonis
narkotik kuat )
otak menunjukkan adanya penurunan maturitas motorik, berkurangnya tonus otot dan koordinasi, serta rendahnya perhatian dan konsentrasi. Subitex = merek dagang Obat agonis dan antagonis narkotik dengan masa kerja panjang Bertahan di reseptor opiat dalam jangka lama Efektif secara oral, berbentuk tablet, efek samping lebih kecil daripada methadone, misalnya mual Diresepkan oleh dokter yang diberi wewenang khusus dan disediakan oleh apotek tertentu Berguna sebagai terapi pemeliharaan apabila dosis methadone kurang dari 30 mg per hari Antagonis reseptor opiat parsial Analgetik kuat Mengurangi penyalahgunaan opium dan kokain secara signifikan, bahkan pada kegagalan sebelumnya
mariyuna
kokain
Sublingual Masa paruh lama (5 hari untuk mencapai kadar stabil) Dosis 12 – 24 mg per hari, setelah dosis methadone < 30 mg (> 60 mg akan menyebabkan sindrom putus obat) Cairan ketuban lebih sering tercampur mekonium Lama kehamilan tidak terpengaruh t idak menyebabkan efek pada berat lahir Tremor, respon kejut yang abnormal, respon visual yang berubah Respon pendengaran normal Menyebabkan vasokonstriksi plasenta iugr, fetal distress, kpd, abruptio placenta Penyerapan cepat dengan difusi melalui plasenta, plasma (kadar puncak 20 – 90 menit) dan asi Dapat dideteksi dalam urin (setelah 48 – 72 jam dengan cara kromatografi, 90 – 144 jam dengan menggunakan ria) Mengurangi berat dan panjang lahir, serta lingkaran kepala Mengakibatkan infark otak dan leukomalasia Nec, trombosis arteri dan darah tinggi, serta iskemia myokardial Tidak mengakibatkan sindrom putus obat Perilaku neonatus – menekan proses interaksi dan menyebabkan respon yang jelek terhadap rangsangan eksternal
benzodiazepin
Pola tidur abnormal Respon pendengaran sentral – mielinasi terlambat Risiko sids tidak meningkat Sindrom penggunaan banyak obat Data tentang menyusui masih sedikit Sering digunakan untuk mencegah gejala putus obat opiate pada ibu Diekskresikan dalam asi Penelitian farmakologi terhadap rasio m/p kurang Masa paruh obat memanjang pada bayi – bisa berharihari Terlihat adanya sindrom putus obat Efek anxiolitik dan sedatif menyebabkan letargi, malas minum dan kurangnya penambahan berat badan pada bayi.
Masalah yang sering terjadi pada menyusui
Mastitis Mastitis adalah peradangan payudara yang dapat disertai atau tidak disertai infeksi. Penyakit ini biasanya menyertai laktasi, sehingga disebut juga mastitis laktasional atau mastitis puerperalis. Abses payudara, pengumpulan nanah lokal di dalam payudara, merupakan komplikasi berat dari mastitis. Dua penyebab utama mastitis adalah stasis asi dan infeksi. Patogen yang paling sering diidentifikasi adalah staphilokokus aureus. Pada mastitis infeksius, asi dapat terasa asin akibat kadar natrium dan klorida yang tinggi dan merangsang penurunan aliran asi. Ibu harus tetap menyusui. Antibiotik (resisten-penisilin) diberikan bila ibu mengalami mastitis infeksius.
Kandida/sariawan Merupakan hal yang biasa terjadi pada ibu yang menyusui dan bayi setelah pengobatan antibiotik. Manifestasinya seperti area merah muda yang menyolok menyebar dari area puting, kulit mengkilat, nyeri akut selama dan setelah menyusui; pada keadaan yang parah, dapat melepuh. Ibu mengeluh nyeri tekan yang berat dan rasa tidak nyaman, khususnya selama dan segera setelah menyusui bayi dapat menderita ruam popok, dengan pustula yang menonjol, merah, tampak luka dan/atau seperti luka terbakar yang kemerahan. Pada kasus-
kasus yang berat, bintik-bintik atau bercak-bercak putih mungkin terlihat merasakan nyeri dan menolak untuk mengisap.
Cacar air (virus varisela zoster) Periode infeksius dapat bermula 1-5 hari sebelum erupsi vesikel. Lesi bermula dari leher atau tenggorokan dan menyebar ke wajah, kulit kepala, membran mukosa dan akstremitas. Kebanyakan ibu dan pekerja rumah sakit pernah menderita cacar air dan tidak berisiko. Ketika ibu mengidap cacar air beberapa hari sebelum kelahiran bayi, bayi menjadi berisiko karena antibodi ibu yang memberikan kekebalan pada bayi belum mempunyai kesempatan untuk berkembang.
Cytomegalovirus (cmv) Cmv adalah hal yang umum; 50-80 % populasi memiliki antibodi cmv di dalam darahnya. Organisme tersebut dapat dijumpai dalam saliva, urin dan asi. Janin mungkin sudah terinfeksi sejak di dalam uterus. Masalah kongenital yang paling serius terjadi pada bayi yang lahir dari ibu yang memiliki cmv primer selama kehamilan menyusui merupakan alat yang penting untuk memberikan imunitas pasif cmv pada bayi. Anak yang disusui, yang diimunisasi cmv melalui asi akan terlindungi dari gejala infeksi nantinya dan dari infeksi primer selama kehamilan
Hepatitis b (hbv) Hbv dapat menyebabkan penyakit sistemik (demam, kelemahan) dan ditularkan melalui kontak dengan darah yang terinfeksi, sekresi tubuh atau transfusi darah. Bayi yang lahir dari ibu dengan hbv + langsung tertular, kebanyakan terinfeksi di dalam rahim.
Hiv/aids Penularan hiv dari ibu ke bayi dapat terjadi selama kehamilan (5-10%), persalinan (10-20%) dan menyusui (10-15%). Meskipun secara umum prevalensi hiv di indonesia tergolong rendah (kurang dari 0,1 %), tetapi sejak tahun 2000 indonesia
telah
dikategorikan
sebagai
negara
dengan
tingkat
epidemi
terkonsentrasi karena terdapat kantung-kantung dengan prevalensi hiv lebih dari 5% pada beberapa populasi tertentu (pada pengguna narkoba suntikan, psk, waria, dan narapidana).
Karena mayoritas pengguna narkoba suntukan yang terinfeksi hiv berusia reprodukasi aktif (15-24 tahun), maka diperkirakan jumlah kehamilan dengan hiv positif akan meningkat. Dengan intervensi yang tepat maka risiko penularan hiv
dari ibu ke bayi sebesar 25-45% bisa ditekan menjadi kurang dari 2%. Menurut estimasi depkes, setiap tahun terdapat 9.000 ibu hamil hiv positif yang melahirkan di indonesia. Berarti, jika tidak ada intervensi sekitar 3.000 bayi diperkirakan akan lahir hiv positif setiap tahunnya di indonesia.
A. Definisi mastitis Mastitis adalah peradangan payudara yang dapat disertai atau tidak disertai infeksi. Penyakit ini biasanya menyertai laktasi, sehingga disebut juga mastitis laktasional atau mastitis puerperalis. Abses payudara, pengumpulan nanah lokal di dalam payudara, merupakan komplikasi berat dari mastitis. Dua penyebab utama mastitis adalah stasis asi dan infeksi. Patogen yang paling sering diidentifikasi adalah staphilokokus aureus. Pada mastitis infeksius, asi dapat terasa asin akibat kadar natrium dan klorida yang tinggi dan merangsang penurunan aliran asi. Ibu harus tetap menyusui. Antibiotik (resisten-penisilin) diberikan bila ibu mengalami mastitis infeksius. B. Penyebab mastitis Dua penyebab utama mastitis adalah statis asi dan infeksi. Sttis asi biasanya merupakan penyebab primer, yang dapat disertai atau berkembang menutu infeksi. Gunther pada tahun 1958 menyimpulkan dari pengalaman klinis bahwa mastitis diakibatkan oleh stagnasi asi didalam payudara, dan bahwa pengeluaran asi yang efektif dapat mencegas keadaan tersebu. Ia menyatakan bahwa infeksi, bila tejadi bukan primer tetapi diakibatkan oleh stakknasi asi sebagai media pertumbuhan bakteri. Tomsen dkk pada
tahun 1984 menghasilkan bukti tambahan tentang
pentingnya statis asi. Mereka menghiitung leukosit dan bakteri dalam si dari payudara dengan tanda klinis mastitis dan mengajukan klasifikasi berikut : statis asi, inflamasi noninfeksiosa (mastitis noninfeksiosa ), mastitis infeksiosa
C. Gejala mastitis Gejala pada pemyakit mastitis dibagi menjadi dua diantaranya gejala mastitis non – infeksius dan gejala mastitis infeksius. Gejala mastitis non infeksius : ibu
memperhatikan adanya “bercak panas”, atau area nyeri tekan yang aku, ibu dapat merasakan bercak kecil yang keras di daerah nyeri tekan tersebut, ibu tidak
mengalami demam dan merasa baik-baik saja, ibu mengeluh lemah dan sakit-sakit pada otot seperti flu, ibu dapat mengeluh sakit kepala, ibu demam dengan suhu diatas 34oc. Gejala mastitis infeksius : ibu mengeluh lemah dan sakit-sakit pada otot seperti fllu, ibu dapat mengeluh sakit kepala, ibu demam dengan suhu diatas 34 oc, terdapat area luka yang terbatas atau lebih luas pada payudara, kulit pada payudara tampak memerah, kedua payudara mungkin terasa keras.
D. Pencegahan Mastitis dan abses payudara sangat mudah dicegah, bila menyususi dilakukan dengan baik sejak awal untuk mencegah keadaan yang meningkatkan statis asi, dan bila ditandai dini seperti bendungan, sumbatan saluran payudara, dan nyeri puting susu diobati dengan cepat. Hal ini dibutuhkan sebagian dari perawatan kehamilan dan sebagai bagian yang berkelanjutan pada fasilitas perawatan berbasis komunikasi untuk ibu dan anak. Penatalaksanaan yang sesuai di bangsal ibu dibutuhkan pada inisiatif rumah sakit . E. Penanganan Jika semua usaha pencegahan mastitis tetap terjadi, maka harus ditangani dengan cepat dan adekuat. Bila penanganan ditunda penyembuhan kurang memuaskan. Terdapat peningkatan resiko abses payudara dan kekambuhan. Prinsip utama penanganan mastitis adalah konseling suportif, pengeluaran asi yang efektif, terapi antibiotik, pengobatan simtomatik. F. Obat antibiotik Mastitis adalah suatu rasa sakit yang terjadipada paudara. Bakteri penyebab infeksi mastitis adalah s. Aureus. Staphylococcus aureulus. Sehingga pada pengobatanya diberikan antibiotik, diantaranya :
Bab iii Studi kasus
Tahun 2005 word health organisation (who) menyebutkan bahwa jumlah kasus infeksi payudara yang
terjadi
pada
wanita
seperti kanker, tumor, mastitis, penyakit
fibrocustik terus meningkat dimana diantaranya merupakan infeksi payudara berupa mastitis pada wanita pasca
post
partum.
Sedangkan
di indonesia hanya
0,001/100.000 angka kesakitan akibat infeksi berupa mastitis (depkes ri, 2008).menurut organisasi kesehatan dunia (2008), memperkirakan
lebih
dari
1,4
juta orang
terdiagnosis menderita mastitis. The american society memperkirakan 241.240 wanita amerika serikat terdiagnosis
mastitis.
Sedangkan
di
kanada
jumlah
wanita
yang terdiagnosis mastitis sebanyak 24.600 orang dan di australia sebanyak
14.791 orang. Di indonesia diperkirakan wanita yang terdiagnosis mastitis
adalah
berjumlah 876.665 orang dan di sumatra utara berkisar 40-60% wanita terdiagnosis mastitis (sally, 2003). Studi terbaru menunjukkan kasus mastitis meningkat hingga 12-35% pada ibu yang puting susunya pecah- pecah
dan tidak
diobati
dengan
antibiotik. Namun, bila minum obat antibiotik pada saat puting susunya bermasalah kemungkinan untuk terkena
mastitis
hanya
sekitar
5% (setyaningrum, 2008).
Penyebab utama mastitis adalah stasis asi dan infeksi. Adapun faktor predisposisi yang menyebabkan mastitis diantaranya adalah umur, paritas,
serangan
sebelumnya,
melahirkan, gizi, faktor kekebalan dalam asi, stress dan kelelahan, pekerjaan di luar rumah serta trauma (inch dan xylander, 2012). Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di rsud margono soekarjo menunjukkan bahwa jumlah ibu nifas pada tahun 2012-2013 sebanyak 5.148 orang, jumlah tersebut terdiri dari ibu nifas normal sebanyak 4561 orang dan ibu nifas patologi sebanyak 542 orang. Jumlah ibu nifas dengan infeksi nifas pada tahun 2012-2013 sebanyak 108 orang dari 542 ibu nifas patologi, jumlah tersebut terdiri dari ibu nifas dengan mastitis sebanyak 45 orang, peritonitis 31 orang, endometritis 31 orang dan tromboflebitis sebanyak 1 orang. Secara
bersama-sama
umur, paritas, pekerjaan, riwayat mastitis sebelumnya terhadap kejadian mastitis.
Metodologi penelitian
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah usia, paritas, pekerjaan dan riwayat mastitis sebelumnya. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kejadian mastitis. Hipotesis adalah suatu jawaban sementara dari pertanyaan penelitian (notoatmodjo, 2012). Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasional observasional merupakan metode penelitian yang tidak memberikan intervensi kepada objek dan hanya mengamati kejadian yang
sudah ada. Penelitian ini tujuan dari prnrlitian ini
adalah menggunakan pendekatan case control diataranya : mendeskripsikan umur, paritas, atau kasus kontrol yaitu suatu pekerjaan dan riwa yat mastitis penelitian (survei) analitik yang sebelumnya pada ibu nifas, menyangkut bagaimana faktor risiko menganalisis hubungan umur dengan dipelajari dengan menggunakan kejadiaan mastitis, menganalisis pendekatan retrospektive hubungan paritas (notoatmodjo, 2012). Mastitis, menganalisis
hubungan
populasi
dengan kejadian adalah
wilayah
pekerjaan dengan kejadian mastitis, generalisasi yang terdiri atas subjek Menganalisis hubungan riwayat atau objek dengan kualitas dan mastitis sebelumnya dengan kejadian karakteristik tertentu yang ditetapkan mastitis, menganalisis pengaruh oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan (sugiyono,
2010).
akan
diteliti
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu nifas dengan
mastitis tahun 2012-2013 sebanyak 45 orang dan ibu nifas normaltahun 2012-2013 sebanyak 5.148 orang. Sampel adalah bagian dari populasi yang
diambil
dimana
pengukuran dilakukan oleh peneliti atau bagian dari populasi dimana fakta- fakta diukur dan akan dijadikan dasar untuk penarikan kesimpulan (santjaka, 2009). Besar sampel pada penelitian ini dengan perbandingan 1:1 yaitu besar sampel pada kelompok kasus adalah 45orang dan kelompok kontrol 45 orang. Prosedur
dan teknik
pengambilan sampel yang dilakukan untuk kelompok kasus dan kelompok kontrol adalah dengan menggunakansimple random
sampling
yaitu prosedur peneliti
mengambil sampel secara acak sampai didapatkan jumlah sampel yang diinginkan (notoatmodjo, 2010). Instrumen pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan check list yaitu suatu daftar variabel yang akan dikumpulkan datanya (arikunto, 2010). Check list yang digunakan berisi kolom usia, paritas dan kejadian mastitis yang akan
diberikan simbol/tanda √ (centang) pada setiap gejala yang muncul. Analisa univariat dilakukan untuk mendeskripsikan pengetahuan, dukungan keluarga, dukungan tenaga kesehatan dan pemberian kolostrum menggunakan distribusi frekuensi. bivariat dilakukan untuk mengetahui
Analisis
hubungan pengetahuan, dukungan keluarga,
dukungan tenaga kesehatan dengan pemberian kolostrum menggunakan uji chi square (santjaka, 2009). Analisis pengaruh variabel independent terhadap variabel dependent Menggunakan regresi logistik.
Hasil dan pembahasan Hasil analisis univariat didapatkan ibu nifas sebagian besar pada kategori usia berisiko sebanyak 87,8%, paritas ibu nifas sebagian besar pada kategori berisiko sebanyak 57,8%, pekerjaan ibu nifas yang paling banyak yaitu tidak berisiko Sebanyak 54,4% dan ibu nifas paling banyak memiliki riwayat mastitis sebelumnya yaitu 55,6%. Usia ibu nifas yang dianggap berisiko terkena mastitis adalah pada rentang umur 20-35 tahun dimana diketahui bahwa rentang usia tersebut merupakan
usia reproduksi sehat. Sebuah studi retrospektif menunjukan bahwa wanita berumur 2035 tahun lebih sering menderita mastitis daripada wanita dibawah usia 20 tahun dan di atas 35 tahun. Studi retrospektif lain mengidentifikasi wanita
berumur
30-34
tahun
memiliki insiden mastitis tinggi, bahkan bila paritas dan kerja purnawaktu telah dikontrol (inch dan xylander, 2012). Hal itu sesuai dengan pendapat evans
(1995),
primipara ditemukan sebagai faktor risiko terjadinya mastitis karena primipara merupakan seorang wanita yang baru pertama kali melahirkan sehingga tubuh yang Mengalami perubahan akibat melahirkan belum memiliki kekebalan terhadap infeksi bakteri yang datang dalam hal ini adalah infeksi bakteri staphilococcus aureus terhadap payudara primipara (inch dan xylander, 2012). Menurut depkes ri (2003), pekerjaan ibu juga diperkirakan dapat mempengaruhi pengetahuan dan kesempatan ibu dalam memberikan pemberian asi eksklusif
dimana
pemberian
asi
secara
eksklusif
terjadinya stasis asi yang merupakan penyebab dari pengetahuan responden lebih baik bila dibandingkan dengan pengetahuan responden
bekerja.
Semua
ini
disebabkan
karena ibu yang bekerja di luar rumah (sektor formal) memi liki akses yang lebih baik Terhadap berbagai informasi, termasuk mendapatkan informasi pemberian asi eksklusif yang dapat mencegah terjadinya mastitis. Mastitis berulang adalah mastitis yang disebabkan terlambat atau tidak adekuat. Ibu harus benar-benar beristirahat, minum,
makanan berimbang, serta pada kasus mastitis berulang karena infeksi bakteri diberikan dosis rendah (eritromisin 500 mg sekali sehari) selama masa menyusui (idai, 2011). Sedangkan penjelasan bivariat dan analisis multivariat adalah sebagai berikut :
1.
Hubungan usia dengan kejadian mastitis pada ibu nifas
Tabel 1. Hubungan usia dengan kejadian mastitis pada ibu nifas di rsud prof. Dr. Margono soekardjo tahun 2012-2013.
Kejadian mastitis
Usia Mastitis
F%
Berisiko
45
100
Tidak mastitis
F
%
34
75,6
P
0,000 Tidak berisiko
0
0
11
24,4
Total
45
100
45
100
Berdasarkan tabel 1 di atas dapat diketahui bahwa ibu nifas yang mengalami mastitis semua pada usia berisiko (100%) dan ibu nifas yang tidak mengalami mastitis sebagian besar juga terjadi pada usia berisiko (75,6%). Hasil analisis bivariat dengan menggunakan uji
chi square diperoleh nilai p = 0,000. Nilai p = 0,000 yang lebih kecil dari = 0,05 artinya ada hubungan antara usia ibu nifas dengan kejadian mastitis di rsud prof.dr. Margono soekardjo purwokerto tahun 2012-2013. Usia ibu nifas yang dianggap berisiko terkena mastitis adalah pada rentang umur 21-35 tahun dimana diketahui bahwa rentang usia tersebut merupakan usia reproduksi sebuah studi retrospektif menunjukkan bahwa wanita berumur 21-35 tahun lebih
sering menderita daripada wanita dibawah usia 21 tahun dan di atas 35
tahun. Hal tersebut terjadi
karena
salah
satu
faktor penyebab mastitis adalah yang
merupakan salah satu unsur bereproduksi dan bereproduksi seringkali terjadi usia 21-35 tahun, sehingga mastitis sering terjadi pada usia tersebut (inch dan xylander, 2012).
1.
Hubungan paritas dengan kejadian mastitis pada ibu nifas
Tabel 2. Hubungan paritas dengan kejadian mastitis pada ibu nifas di rsud prof. Dr. Margono soekardjo tahun 2012-2013
Kejadian mastitis
Paritas
Mastitis
Tidak mastitis
F
%
F
%
Berisiko
31
68,9
21
46,7
Tidak berisiko
14
31,1
24
53,3
P
0,033
Total
45
100
45
100
Berdasarkan tabel 2 di atas dapat diketahui bahwa ibu nifas yang mengalami mastitis sebagian besar pada paritas berisiko (68,9 %), sedangkan ibu nifas yang tidak mengalami
mastitis sebagian besar pada paritas tidak berisiko (53,3%) hasil analisis bivariat dengan menggunakan uji chi square diperoleh nilai p = 0,033. Nilai p = 0,033 yang lebih kecil dari = 0,05 artinya ada hubungan antara paritas ibu nifas dengan kejadian mastitis di rsud hal itu sesuai dengan pendapat evans (1995), primipara ditemukan sebagai faktor risiko terjadinya mastitis karena primipara merupakan seorang wanita yang baru pertama kali melahirkan sehingga tubuh yang mengalami perubahan akibat melahirkan belum memiliki kekebalan terhadap infeksi bakteri yang datang dalam hal ini adalah infeksi bakteri staphilococcus aureus terhadap payudara primipara (inch dan xylander, 2012). Prof. Dr. Margono soekardjo tahun 2012-2013.
1.
Hubungan pekerjaan dengan kejadian mastitis pada ibu nifas
Tabel 3. Hubungan pekerjaan dengan kejadian mastitis pada ibu nifas di rsud prof. Dr. Margono soekardjo tahun 2012-2013
Kejadian mastitis
Pekerjaan
Mastitis F
%
Tidak mastitis F
%
Berisiko
19 42,2
22
48,9
Tidak berisiko
26 57,8
23
51,1
Total
45 100
45
100
P
0,525
Berdasarkan tabel 3 di atas dapat diketahui bahwa ibu nifas yang mengalami mastitis sebagian besar dengan pekerjaan tidak berisiko (57,8 %), sedangkan ibu nifas yang tidak mengalami mastitis sebagian besar juga dengan pekerjaan tidak berisiko (51,1%) hasil analisis bivariat dengan menggunakan uji chi square diperoleh nilai p = 0,525. Nilai p = 0,525 yang lebih besar dari = 0,05 artinya tidak ada hubungan antara pekerjaan ibu nifas dengan
kejadian
mastitis
di rsud prof. Dr. Margono soekardjo tahun 2012-2013.
Tidak adanya hubungan antara pekerjaan dengan kejadian mastitis terjadi karena beberapa
tahun belakangan ini ibu yang bekerja cenderung memeras asi anaknya akibat dari
untuk diberikan kepada