BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang
penurunan angka kematian ibu hamil sangat besar terutama di Indonesia, sehingga perlu ditingkatkannya kualitas kesehatan ibu dan anak. Hal ini akan sangat mendukung pelaksanaan upaya strategis s trategis dari dar i tiap sektor dan seluruh lapisan masyarakat dalam mencegah kematian ibu. Pelayanan Farmasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan pelayanan lain di rumah sakit, oleh karena itu diperlukan upaya untuk mengarahkan kesatuan pandang para farmasist menuju terwujudnya peningkatan mutu pelayanan sesuai dengan pedoman yang ditetapkan guna mencapai peningkatan derajat kesehatan masyarakat terutama te rutama kesehatan ibu hamil. ADME merupakan akronim dalam farmakokinetik dan farmakologi untuk sebuah absorption, distribution , metabolism , dan excretion, dan menggambarkan disposisi dari sebuah farmasi senyawa dalam suatu organisme . Empat kriteria mempengaruhi semua tingkat obat dan kinetika paparan obat ke jaringan dan karenanya mempengaruhi kinerja dan aktivitas farmakologi senyawa sebagai obat . Bagaimana Obat Diserap?Agar obat mencapai lokasi-lokasi target pengobatan di dalam tubuh, obat yang kita konsumsi terlebih dahulu melalui proses penyerapan ke dalam tubuh (absorpsi). Melalui proses penyerapan, zat-zat di dalam obat masuk ke dalam pembuluh darah untuk selanjutnya disebarkan ke seluruh tubuh. Suatu obat yang diminum per oral akan melalui 3 fase : farmasetik ( disolusi ), farmakokinetik, dan farmakodinamik, agar kerja obat dapat terjadi. Dalam fase farmasetik, obat berubah menjadi larutan sehingga dapat menembus membrane biologis. Jika obat diberikan melalui rute subkutan, intramuscular, intravena, maka tidak terjadi fase farmaseutik. Fase ke dua, yaitu farmakokinetik, terdiri dari 4 proses ( subfase ) : absorpsi, distribusi, metabolisme (biotransformasi), dan ekskresi. Dalam fase farmakodinamik, atau fase ke tiga, terjadi respons biologis atau fisiologis.
1.2 Tujuan
a. Dapat mengetahui perubahan farmakokinetik obat dalam tubuh ibu hamil serta cara penanganannya b. Dapat mengetahui faktor-faktor yang pengaruhi obat pada ibu hamil terhadap janin c. Dapat mengetahui obat-obat yang aman di gunakan bagi ibu hamil. FARMAKOTERAPI “Terapi Pada Ibu Hamil”
Page 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kehamilan merupakan proses fisiologi yang yang perlu dipersiapkan oleh wanita dari pasangan subur agar dapat dilalui dengan aman. Ibu dan janin adalah unit fungsi yang tak terpisahkan selama masa kehamilan. Selama masa kehamilan tersebut wanita sangat rentan terhadap beberapa penyakit, seperti infeksi saluran kemih. Pada tubuh tubuh pediatri terjadi perubahan fisiologis karena terbentuknya unit fetal-plasental maternal. Keadaan ini mempengaruhi farmakokinetika obat baik dari segi absorbsi, distribusi, maupun eliminasinya, sehingga bisa mempengaruhi efek obat. Pemakaian obat pada kehamilan merupakan salah satu masalah pengobatan yang penting untuk diketahui dan dibahas. Hal ini mengingat bahwa dalam pemakaian obat selama kehamilan, tidak saja dihadapi berbagai kemungkinan yang dapat terjadi pada ibu, tetapi juga pada janin. Hampir sebagian besar obat dapat melintasi sawar darah/plasenta, beberapa diantaranya mampu memberikan pengaruh buruk, tetapi ada juga yang tidak memberi pengaruh apapun. Beberapa jenis obat dapat menembus plasenta dan mempengaruhi janin dalam uterus, baik melalui efek farmakologik maupun efek teratogeniknya. Secara umum faktor-faktor yang dapat mempengaruhi masuknya obat ke dalam plasenta dan memberikan efek pada janin adalah: a. sifat fisikokimiawi dari obat b. kecepatan obat untuk melintasi plasenta dan mencapai sirkulasi janin c. lamanya pemaparan terhadap obat d. bagaimana obat didistribusikan ke jaringan-jaringan yang berbeda pada janin e. periode perkembangan janin saat obat diberikan dan f. efek obat jika diberikan dalam bentuk kombinasi.
Kemampuan obat untuk melintasi plasenta tergantung pada sifat lipofilik dan ionisasi obat. Obat yang mempunyai lipofilik tinggi cenderung untuk segera terdifusi ke dalam serkulasi janin. Contoh, tiopental yang sering digunakan pada seksio sesarea, dapat menembus plasenta segera setelah pemberian, dan dapat mengakibatkan terjadinya apnea pada bayi yang dilahirkan. Obat yang sangat terionisasi seperti misalnya suksinilkholin dan d-tubokurarin, akan melintasi plasenta secara lambat dan terdapat dalam kadar yang sangat rendah pada janin. Kecepatan dan jumlah obat yang dapat melintasi plasenta juga ditentukan FARMAKOTERAPI “Terapi Pada Ibu Hamil”
Page 2
oleh berat molekul. Obat-obat dengan berat molekul 250-500 dapat secara mudah melintasi plasenta, tergantung pada sifat lipofiliknya, sedangkan obat dengan berat molekul > 1000 sangat sulit menembus plasenta. Kehamilan merupakan masa rentan terhadap efek samping obat, khususnya bagi janin. Salah satu contoh yang dapat memberikan pengaruh sangat buruk terhadap janin jika diberikan pada periode kehamilan adalah talidomid, yang memberi efek kelainan kongenital berupa fokomelia atau tidak tumbuhnya anggota gerak. Untuk itu, pemberian obat pada masa kehamilan memerlukan pertimbangan yang benar-benar matang. Proses kehamilan di dahului oleh proses pembuahan satu sel telur yang bersatu dengan sel spermatozoa dan hasilnya akan terbentuk zigot. Zigot mulai membelah diri satu sel menjadi dua sel, dari dua sel menjadi empat sel dan seterusnya. Pada hari ke empat zigot tersebut menjadi segumpal sel yang sudah siap untuk menempel / nidasi pada lapisan dalam rongga rahim (endometrium). Kehamilan dimulai sejak terjadinya proses nidasi ini. Pada hari ketujuh gumpalan tersebut sudah tersusun menjadi lapisan sel yang mengelilingi suatu ruangan yang berisi sekelompok sel di bagian dalamnya. Sebagian besar manusia, proses kehamilan berlangsung sekitar 40 minggu (280 hari) dan tidak lebih dari 43 minggu (300 hari). Kehamilan yang berlangsung antara 20 – 38 minggu disebut kehamilan preterm, sedangkan bila lebih dari 42 minggu disebut kehamilan postterm. Menurut usianya, kehamilan ini dibagi menjadi 3 yaitu kehamilan trimester pertama 0 – 14 minggu, kehamilan trimester kedua 14 – 28 minggu dan kehamilan trimester ketiga 28 – 42 minggu. Gangguan pada kehamilan :
Mual dan muntah
Liur melimpah
Tekanan pada dada
Lemah dan pusing
Sariawan
Gangguan buang air besar
Varises
Wasir atau ambeien
Kejang kaki
Keputihan
FARMAKOTERAPI “Terapi Pada Ibu Hamil”
Page 3
I. MASALAH YANG SERING TERJADI PADA KEHAMILAN
1. Toksoplasmosis Penyakit ini merupakan penyakit protozoa sistemik yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii. Pola transmisinya ialah transplasenta pada wanita hamil. Bila infeksi ini mengenai ibu hamil trimester pertama akan menyebabkan 20 % janin terinfeksi toksoplasma atau kematian janin, sedangkan bila ibu terinfeksi pada trimester ke tiga 65 % janin akan terinfeksi. Infeksi ini dapat berlangsung selama kahamilan. Pencegahan dapat dilakukan antara lain dengan cara : memasak daging sampai matang , menggunakan sarung tangan baik saat memberi makan maupun membersihkan kotoran hewan ternak, dan menjaga agar tempat bermain anak tidak tercemar kotoran hewan ternak. 2. Sifilis Penyakit ini disebabkan infeksi Treponema pallidum. Penyakit ini dapat ditularkan melalui plasenta sepanjang masa kehamilan. Biasanya respon janin yang hebat akan terjadi
setelah
pertengahan
kedua
kehamilan
dengan
manifestasi
klinik
hepatosplenomegali, ikterus, petekie, meningoensefalitis, khorioretinitis, dan lesi tulang. Infeksi penyakit ini juga dapat menyebabkan bayi lahir dengan berat badan yang rendah, atau bahkan kematian janin. Pencegahan antara lain dengan cara : promosi kesehatan tentang penyakit menular seksual, mengontrol prostitusi bekerjasama dengan lembaga sosial, memperbanyak pelayanan diagnosis dini dan pengobatannya, untuk penderita yang dirawat dilakukan isolasi terutama terhadap sekresi dan ekresi penderita. 3. HIV/AIDS Penyakit ini terjadi karena infeksi retrovirus. Pada janin penularan terjadi secara transplasenta, tetapi dapat juga akibat pemaparan darah dan sekret serviks selama persalinan. Kebanyakan bayi terinfeksi HIV belum menunjukan gejala pada saat lahir. Pencegahan antara lain dengan cara : menghindari kontak seksual dengan banyak pasangan terutama hubungan seks anal, skrining donor darah lebih ketat dan pengolahan darah dan produknya dengan lebih hati – hati. 4. Rubella (German measles) Penyakit ini disebabkan oleh virus Rubella yang termasuk famili Tgaviridae dan genus Rubivirus. Pada wanita hamil penularan ke janin secara intrauterin. Masa inkubasinya rata – rata 16 – 18 hari. Penyakit ini agak berbeda dari toksoplasmosis FARMAKOTERAPI “Terapi Pada Ibu Hamil”
Page 4
karena rubella hanya mengancam janin bila didapat saat kehamilan pertengahan pertama, makin awal (trimester pertama) Ibu hamil terinfeksi rubella makin serius akibatnya pada bayi yaitu kematian janin intrauterin, abortus spontan, atau malformasi kongenital pada sebagian besar organ tubuh ( kelainan bawaan ) 5. Herpes simpleks ( Herpervirus hominis) Penyakit ini disebabkan infeksi herpes simplex virus (HSV). Pada bayi infeksi ini didapat secara perinatal akibat persalinan lama sehingga virus ini mempunyai kesempatan naik melalui mukosa yang robek untuk menginfeksi janin. Gejala pada bayi biasanya mulai timbul pada minggu pertama kehidupan tetapi kadang-kadang baru pada minggu ke dua atau ketiga. Pencegahan antara lain dengan cara: menjaga kebersihan perseorangan dan pendidikan kesehatan terutama kontak dengan bahan infeksius, menggunakan kondom dalam aktifitas seksual, dan penggunaan sarung tangan dalam menangani lesi infeksius.
Farmakokinetika adalah proses pergerakan obat untuk mencapai kerja obat. Empat proses yang termasuk di dalamnya adalah : absorpsi, distribusi, metabolisme ( biotransformasi ) dan ekskresi ( eliminasi ). Pada masa kehamilan, perubahan fisiologis akan terjadi secara dinamis, hal ini dikarenakan terbentuknya unit fetal-plasental-maternal. Karena perubahan fisiologis inilah maka farmakokinetika obat baik absorpsi, distribusi, metabolisme maupun ekskresi pun ikut berubah. Perubahan-perubahan yang terjadi tersebut antara lain perubahan fungsi saluran cerna, fungsi saluran nafas, dan peningkatan laju filtrasi glomerulus pada ginjal. Suatu penelitian menunjukkan bahwa kebanyakan obat dapat melewati sawar plasenta dengan mudah, sehingga janin yang dikandung pun ikut menerima obat, serta dapat mengalami perubahan-perubahan seperti : 1. Kehamilan bisa mengubah absorpsi obat yang diberikan peroral 2. Kehamilan bisa mengubah distribusi obat yang disebabkan karena peningkatan distribusi volume (intravaskuler, interstisial dan di dalam tubuh janin) serta peningkatan cardiac output . 3. Kehamilan mengubah interaksi obat-reseptor karena timbul dan tumbuhnya reseptor obat yang baru di plasenta dan janin . 4. Kehamilan dapat mengubah ekskresi obat melalui peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus.
FARMAKOTERAPI “Terapi Pada Ibu Hamil”
Page 5
OBAT — > DARAH (PLASMA) — > TEMPAT KERJA — > EFEK
Jika suatu obat digunakan sebagai profilaksis, misalnya pada pencegahan kekambuhan epilepsi, atau pemakaian obat yang responsnya sukar diukur (misalnya, efek antiirtflamasi), kadar obat dalam darah merupakan parameter yang dapat digunakan secara efektif untuk memantau terapi. Setiap individu mempunyai gambaran farmakokinetik obat yang berbeda-beda. Dosis yang sama dari suatu obat bila diberikan pada sekelompok orang dapat menunjukkan gambaran kadar dalam darah yang berbeda-beda dengan intensitas respons yang berlainan pula. Kenyataan hubungan konsentrasi obat dalam darah dengan respons yang dihasilkan tidak banyak bervariasi dibanding dengan hubungan dosis dengan respons. Dengan menganggap bahwa respons terhadap obat bergantung pada kadar obat dalam darah, kita mengenal 3 macam kadar obat, yaitu kadar efektif minimum, pada kadar di bawahnya tidak jelas adanya efek obat; kadar toksik, pada kadar ini, efek-efek toksik (efek samping yang tidak diinginkan) mulai timbul; dan kadar obat yang terletak di antara kadar efektif minimum dan kadar toksik yang dikenal sebagai jendela terapeutik.
II. FARMAKOKINETIKA OBAT SELAMA KEHAMILAN
Selama
kehamilan
terjadi
perubahan-perubahan
fisiologi
yang
mempengaruhi
farmakokinetika obat. Perubahan tersebut meliputi peningkatan cairan tubuh misalnya penambahan volume darah sampai 50% dan curah jantung sampai dengan 30%. Pada akhir semester pertama aliran darah ginjal meningkat 50% dan pada akhir kehamilan aliran darah ke rahim mencapai puncaknya hingga 600-700 ml/menit. Peningkatan cairan tubuh tersebut terdistribusi 60 % di plasenta, janin dan cairan amniotik, 40% di jaringan si ibu. Perubahan volume cairan tubuh tersebut diatas menyebabkan penurunan kadar puncak obat-obat di serum, terutama obat-obat yang terdistribusi di air seperti aminoglikosida dan obat dengan volume distribusi yang rendah. Peningkatan cairan tubuh juga menyebabkan pengenceran albumin serum (hipoalbuminemia) yang menyebabkan penurunan ikatan obat-albumin. Steroid dan hormon yang dilepas plasenta serta obat-obat lain yang ikatan protein plasmanya tinggi akan menjadi lebih banyak dalam bentuk tidak terikat. Tetapi hal ini tidak bermakna secara klinik karena bertambahnya kadar obat dalam bentuk bebas juga akan menyebabkan bertambahnya kecepatan metabolisme obat tersebut.Gerakan saluran cerna menurun pada kehamilan tetapi tidak menimbulkan efek yang bermakna pada absorpsi obat. Aliran darah ke FARMAKOTERAPI “Terapi Pada Ibu Hamil”
Page 6
hepar relatif tidak berubah. Walau demikian kenaikan kadar estrogen dan progesteron akan dapat secara kompetitif menginduksi metabolisme obat lain, misalnya fenitoin atau menginhibisi metabolisme obat lain misalnya teofilin.Peningkatan aliran darah ke ginjal dapat mempengaruhi bersihan (clearance) ginjal obat yang eliminasi nya terutama lewat ginjal, contohnya penicilin. Perpindahan obat lewat plasenta. Perpindahan obat lewat plasenta umumnya berlangsung secara difusi sederhana sehingga konsentrasi obat di darah ibu serta aliran darah plasenta akan sangat menentukan perpindahan obat lewat plasenta.
Seperti juga pada membran biologis lain perpindahan obat lewat plasenta dipengaruhi oleh hal-hal dibawah ini :
Kelarutan dalam lemak Obat yang larut dalam lemak akan berdifusi dengan mudah melewati plasenta masuk ke sirkulasi janin. Contohnya , thiopental, obat yang umum digunakan pada dapat menyebabkan apnea (henti nafas) pada bayi yang baru dilahirkan.
Derajat ionisasi Obat yang tidak terionisasi akan mudah melewati plasenta. Sebaliknya obat yang terionisasi akan sulit melewati membran Contohnya suksinil kholin dan tubokurarin yang juga digunakan pada seksio sesarea, adalah obat-obat yang derajat ionisasinya tinggi, akan sulit melewati plasenta sehingga kadarnya di di janin rendah. Contoh lain yang memperlihatkan pengaruh kelarutan dalam lemak dan derajat ionisasi adalah salisilat, zat ini hampir semua terion pada pH tubuh akan melewati akan tetapi dapat cepat melewati plasenta. Hal ini disebabkan oleh tingginya kelarutan dalam lemak dari sebagian kecil salisilat yang tidak terion. Permeabilitas membran plasenta terhadap senyawa polar tersebut tidak absolut. Bila perbedaan konsentrasi ibu-janin tinggi, senyawa polar tetap akan melewati plasenta dalam jumlah besar.
Ukuran molekul Obat dengan berat molekul sampai dengan 500 Dalton akan mudah melewati pori membran bergantung pada kelarutan dalam lemak dan derajat ionisasi. Obat-obat dengan berat molekul 500-1000 Dalton akan lebih sulit melewati plasenta dan obatobat dengan berat molekul >1000 Dalton akan sangat sulit menembus plasenta. Sebagai contoh adalah heparin, mempunyai berat molekul yang sangat besar ditambah lagi adalah molekul polar, tidak dapt menembus plasenta sehingga merupakan obat antikoagulan pilihan yang aman pada kehamilan.
FARMAKOTERAPI “Terapi Pada Ibu Hamil”
Page 7
Ikatan protein. Hanya obat yang tidak terikat dengan protein (obat bebas) yang dapat melewati membran. Derajat keterikatan obat dengan protein, terutama albumin, akan mempengaruhi kecepatan melewati plasenta. Akan tetapi bila obat sangat larut dalam lemak maka ikatan protein tidak terlalu mempengaruhi, misalnya beberapa anastesi gas. Obat-obat yang kelarutannya dalam lemak tinggi kecepatan melewati plasenta lebih tergantung pada aliran darah plasenta. Bila obat sangat tidak larut di lemak dan terionisasi maka perpindahaan nya lewat plasenta lambat dan dihambat oleh besarnya ikatan dengan protein. Perbedaan ikatan protein di ibu dan di janin juga penting, misalnya sulfonamid, barbiturat dan fenitoin, ikatan protein lebih tinggi di ibu dari ikatan protein di janin. Sebagai contoh adalah kokain yang merupakan basa lemah, kelarutan dalam lemak tinggi, berat molekul rendah (305 Dalton) dan ikatan protein plasma rendah (8-10%) sehingga kokain cepat terdistribusi dari darah ibu ke janin.
Metabolisme obat di plasenta dan di janin. Dua mekanisme yang ikut melindungi janin dari obat disirkulasi ibu adalah. 1. Plasenta yang berperan sebagai penghalang semipermiabel juga sebagai tempat metabolisme beberapa obat yang melewatinya. Semua jalur utama metabolisme obat ada di plasenta dan juga terdapat beberapa reaksi oksidasi aromatik yang berbeda misalnya oksidasi etanol dan fenobarbital. Sebaliknya , kapasitas metabolisme plasenta ini akan menyebabkan terbentuknya atau meningkatkan jumlah metabolit yang toksik, misalnya etanol dan benzopiren. Dari hasil penelitian prednisolon, deksametason, azidotimidin yang struktur molekulnya analog dengan zat-zat endogen di tubuh mengalami metabolisme yang bermakna di plasenta. 2. Obat-obat yang melewati plasenta akan memasuki sirkulasi janin lewat vena umbilikal. Sekitar 40-60% darah yang masuk tersebut akan masuk hati janin, sisanya akan langsung masuk ke sirkulasi umum janin. Obat yang masuk ke hati janin, mungkin sebagian akan dimetabolisme sebelum masuk ke sirkulasi umum janin, walaupun dapat dikatakan metabolisme obat di janin tidak berpengaruh banyak pada metabolisme obat maternal. Obat-obat yang bersifat teratogenik adalah asam lemah, misalnya talidomid, asam valproat, isotretinoin, warfarin. Hal ini diduga karena asam lemah akan mengubah pH sel embrio. Dan dari hasil penelitian pada hewan menunjukkan bahwa pH cairan sel embrio lebih tinggi dari pH plasma ibu, sehingga obat yang bersifat asam akan tinggi kadarnya di sel embrio. FARMAKOTERAPI “Terapi Pada Ibu Hamil”
Page 8
2.1 Absorpsi
Pada awal kehamilan akan terjadi penurunan sekresi asam lambung hingga 30-40%. Hal ini menyebabkan pH asam lambung sedikit meningkat, sehingga obat-obat yang bersifat asam lemah akan sedikit mengalami penurunan absorpsi. Sebaliknya untuk obat yang bersifat basa lemah absorpsi justru meningkat. Pada fase selanjutnya akan terjadi penurunan motilitas gastrointestinal sehingga absopsi obat-obat yang sukar larut (misalnya digoksin) akan meningkat, sedang absopsi obat-obat yang mengalami metabolisme di dinding usus, seperti misalnya klorpromazin akan menurun. Obat yang dimasukkan ke dalam tubuh dan diserap ke dalam pembuluh darah akan diedarkan ke seluruh tubuh. Beberapa jenis sediaan dirancang untuk hanya diserap langsung di target penyembuhan. Faktor-faktor yang mempengaruhi absorbsi obat di saluran cerna antara lain formula obat, komposisi makanan, komposisi kimia, pH cairan usus, waktu pengosongan lambung, motilitas usus, dan aliran darah. Peningkatan kadar progesteron dalam darah dianggap bertanggungjawab terhadap penurunan motilitas usus, yang memperpanjang waktu pengosongan lambung dan usus hingga 30-50%. Hal ini menjadi bahan pertimbangan yang penting bila dibutuhkan kerja obat yang cepat. Pada pediatri terjadi penurunan sekresi asam lambung (40% dibandingkan wanita tidak hamil), disertai peningkatan sekresi mucus. Kombinasi kedua hal tersebut akan menyebabkan peningkatan pH lambung dan kapasitas buffer. Secara klinik hal ini akan mempengaruhi ionisasi asam-basa yang berakibat pada absorbsi obat. Mual dan muntah yang sering terjadi pada trimester pertama kehamilan dapat pula menyebabkan rendahnya konsentrasi obat dalam plasma. Pada pasien ini dianjurkan untuk mengonsumsi obat pada saat mual dan muntah. Dengan mengubah formula obat berdasarkan perubahan sekresi usus dan mengatur kecepatan serta tempat pelepasan obat, diharapkan absorbsi obat akan
menjadi lebih baik.
Absorpsi obat pada kehamilan terjadi peningkatan curah jantung, tidal volume, ventilasi, dan aliran darah paru. Perubahan-perubahan ini mengakibatkan peningkatan absorbsi alveolar, sehingga perlu dipertimbangkan dalam pemberian obat inhalan.
FARMAKOTERAPI “Terapi Pada Ibu Hamil”
Page 9
2.2 Distribusi
Pada keadaan kehamilan, volume plasma dan cairan ekstraseluser ibu akan meningkat, dan mencapai 50% pada akhir kehamilan. Sebagai salah satu akibatnya obat-obat yang volume distribusinya kecil, misalnya ampisilin akan ditemukan dalam kadar yang rendah dalam darah, walaupun diberikan pada dosis lazim. Di samping itu, selama masa akhir kehamilan akan terjadi perubahan kadar protein berupa penurunan albumin serum sampai 20%. Perubahan ini semakin menyolok pada keadaan pre-eklamsia, di mana kadar albumin turun sampai 34% dan glikoprotein meningkat hingga 100%. Telah diketahui, obat asam lemah terikat pada albumin, dan obat basa lemah terikat pada alfa-1 glikoprotein. Konsekuensi, fraksi bebas obat-obat yang bersifat asam akan meningkat, sedangkan fraksi bebas obat-obat yang bersifat basa akan menurun. Fraksi bebas obat-obat seperti diazepam, fenitoin dan natrium valproat terbukti meningkat secara bermakna pada akhir kehamilan. Distribusi obat adalah proses-proses yang berhubungan dengan transfer senyawa obat dari satu lokasi ke lokasi lain di dalam tubuh. Ada beberapa hal yang mempengaruhi proses distribusi, antara lain : a.
Permeabilitas antar jaringan, terutama antara jaringan dan darah.
b.
Aliran darah
c.
Tingkat perfusi jaringan
d.
Kemampuan senyawa obat untuk membentuk ikatan dengan protein plasma
Karena proses distribusi obat sangat mempengaruhi transfer senyawa obat ke lokasi-lokasi pengobatan yang diharapkan, berbagai cara ditempuh dalam pembuatan obat dan jenis sediaannya untuk meningkatkan efektivitas ditribusi obat. Ada beberapa hal yang diperhatikan saat merancang sediaan obat yang ada hubungannya dengan distribusi obat. Misalnya pada penggunaan obat untuk ibu hamil. Apabila melalui uji klinis terlihat bahwa senyawa obat dapat melintasi plasenta dan senyawa tersebut berbahaya bagi janin, maka obat tidak boleh dikonsumsi oleh ibu hamil. Membran otak juga adalah salah satu jaringan yang dihindari pada proses ditribusi obat. Sedikit perubahan struktur pada senyawa obat dapat memodifikasi pola distribusi sehingga obat tidak ditransfer melalui membran otak. Senyawa yang terdapat pada sebuah sediaan obat, selain zat aktif yang digunakan untuk pengobatan, juga ada senyawa-senyawa yang membantu proses distribusi zat aktif. Oleh sebab itu tidak dianjurkan kepada pasien atau tenaga medis merubah bentuk sediaan tanpa
FARMAKOTERAPI “Terapi Pada Ibu Hamil”
Page 10
berkonsultasi dengan apoteker. Misalnya merubah tablet menjadi puyer, apabila dalam bentuk puyer ketersediaan hayati obat tersebut menjadi berkurang. Volume distribusi obat akan mengalami perubahan selama kehamilan akibat peningkatan jumlah volume plasma hingga 50%. Peningkatan curah jantung akan mengakibatkan peningkatan aliran darah ginjal sampai 50% pada akhir trimester I, dan peningkatan aliran darah uterus yang mencapai puncaknya pada aterm (36-42 L/jam), dimana 80% akan menuju ke plasenta dan 20% akan menuju ke myometrium. Peningkatan total jumlah cairan tubuh adalah 8 L, terdiri dari 60% pada plasenta, janin, dan cairan amnion, sementara 40% berasal dari ibu. Akibat peningkatan jumlah volume ini, terjadi penurunan kadar puncak obat (C max ) dalam plasma. Peningkatan
protein
Sesuai dengan perjalanan kehamilan, volume plasma akan bertambah, tetapi tidak diikuti dengan peningkatan produksi albumin, sehingga menimbulkan hipoalbuminemia fisiologis yang mengakibatkan kadar obat bebas akan meningkat. Obat-obat yang tidak terikat pada protein pengikat secara farmakologis adalah obat yang aktif, maka pada wanita hamil diperkirakan akan terjadi peningkatan efek obat.
2.3 Metabolisme dan Eliminasi
obat selama hamil berubah. Kadar hormon steroid yang tinggi akan mempengaruhi metabolisme di hepar dan memperpanjang waktu paruh obat. Laju flitrasi glomerulus meningkat 50 – 60% sehingga
“clearance” obat
di ginjal meningkat.
Pada akhir masa kehamilan akan terjadi peningkatan aliran darah ginjal sampai dua kali lipat. Sebagai akibatnya, akan terjadi peningkatan eliminasi obat-obat yang terutama mengalami ekskresi di ginjal. Dengan meningkatnya aktivitas mixed function oxidase, suatu sistem enzim yang paling berperan dalam metabolisme hepatal obat, maka metabolisme obat-obat tertentu yang mengalami olsidasi dengan cara ini (misalnya fenitoin. fenobarbital, dan karbamazepin) juga meningkat, sehingga kadar obat tersebut dalam darah akan menurun lebih cepat, terutama pada trimester kedua dan ketiga. Untuk itu, pada keadaan tertentu mungkin diperlukan menaikkan dosis agar diperoleh efek yang diharapkan. 1. Eliminasi oleh hepar/hati Fungsi hepar dalam kehamilan banyak dipengaruhi oleh kadar estrogen dan progesteron yang tinggi. Pada beberapa obat tertentu seperti phenytoin, metabolisme hepar bertambah secepat mungkin akibat rangsangan pada aktivitas enzim mikrosom hepar yang FARMAKOTERAPI “Terapi Pada Ibu Hamil”
Page 11
disebabkan oleh hormon progesteron; sebaliknya pada obat-obatan seperti teofilin dan kafein, eliminasi hepar berkurang sebagai akibat sekunder inhibisi kompetitif dari enzim oksidase mikrosom oleh estrogen dan progesteron. Estrogen juga mempunyai efek kolestatik yang mempengaruhi ekskresi obat-obatan seperti rifampisin ke sistem empedu. 2. Eliminasi renal/ginjal Pada kehamilan terjadi peningkatan aliran plasma renal 25-50%. Obat-obat yang dikeluarkan dalam bentuk utuh dalam urin seperti penisilin, digoksin, dan lithium menunjukkan peningkatan eliminasi dan konsentrasi serum steady state yang lebih rendah.
III. PENGARUH OBAT PADA JANIN
Pengaruh buruk obat terhadap janin dapat bersifat toksik, teratogenik maupun letal, tergantung pada sifat obat dan umur kehamilan pada saat minum obat. Pengaruh toksik adalah jika obat yang diminum selama masa kehamilan menyebabkan terjadinya gangguan fisiologik atau biokimiawi dari janin yang dikandung, dan biasanya gejalanya baru muncul beberapa saat setelah kelahiran. Pengaruh obat bersifat teratogenik jika menyebabkan terjadinya malformasi anatomik pada petumbuhan organ janin. Pengaruh teratogenik ini biasanya terjadi pada dosis subletal. Sedangkan pengaruh obat yang bersifa letal, adalah yang mengakibatkan kematian janin dalam kandungan. Secara umum pengaruh buruk obat pada janin dapat beragam, sesuai dengan fase-fase berikut : 1. Fase implantasi, yaitu pada umur kehamilan kurang dari 3 minggu. Pada fase ini obat dapat memberi pengaruh buruk atau mungkin tidak sama sekali. Jika terjadi pengaruh buruk biasanya menyebabkan kematian embrio atau berakhirnya kehamilan (abortus). 2. Fase embional atau organogenesis, yaitu pada umur kehamilan antara 4-8 minggu. Pada fase ini terjadi diferensiasi pertumbuhan untuk terjadinya malformasi anatomik (pengaruh teratogenik). Berbagai pengaruh buruk yang mungkin terjadi pada fase ini antara lain : - Gangguan fungsional atau metabolik yang permanen yang biasanya baru muncul kemudian, jadi tidak timbul secara langsung pada saat kehamilan. Misalnya pemakaian hormon dietilstilbestrol pada trimester pertama kehamilan terbukti berkaitan dengan terjadinya adenokarsinoma vagina pada anak perempuan di kemudian hari (pada saat mereka sudah dewasa). - Pengaruh letal, berupa kematian janin atau terj adinya abortus. - pengaruh subletal, yang biasanya dalam bentuk malformasi anatomis pertumbuhan organ, seperti misalnya fokolemia karena talidomid. FARMAKOTERAPI “Terapi Pada Ibu Hamil”
Page 12
3. Fase fetal, yaitu pada trimester kedua dan ketiga kehamilan. Dalam fase ini terjadi maturasi dan pertumbuhan lebih lanjut dari janin. Pengaruh buruk senyawa asing terhadap janin pada fase ini tidak berupa malformasi anatomik lagi. tetapi mungkin dapat berupa gangguan pertumbuhan, baik terhadap fungsi-fungsi fisiologik atau biokimiawi organorgan. Demikian pula pengaruh obat yang dialami ibu dapat pula dialami janin, meskipun mungkin dalam derajat yang berbeda. Sebagai contoh adalah terjadinya depresi pernafasan neonatus karena selama masa akhir kehamilan, ibu mengkonsumsi obat-obat seperti analgetika-narkotik; atau terjadinya efek samping pada sistem ekstrapiramidal setelah pemakaian fenotiazin.
Mekanisme kerja obat ibu hamil. Efek obat pada jaringan reproduksi, uterus dan kelenjar susu, pada kehamilan kadang dipengaruhi oleh hormon-hormon sesuai dengan fase kehamilan. Efek obat pada jaringan tidak berubah bermakna karena kehamilan tidak berubah, walau terjadi perubahan misalnya curah jantung, aliran darah ke ginjal. Perubahan tersebut kadang menyebabkan wanita hamil membutuhkan obat yang tidak dibutuhkan pada saat tidak hamil. Contohnya glikosida jantung dan diuretik yang dibutuhkan pada kehamilan karena peningkatan beban jantung pada kehamilan. Atau insulin yang dibutuhkan untuk mengontrol glukosa darah pada diabetes yang diinduksi oleh kehamilan.
Mekanisme kerja obat pada janin. Beberapa penelitian untuk mengetahui kerja obat di janin berkembang dengan pesat, yang berkaitan dengan pemberian obat pada wanita hamil yang ditujukan untuk pengobatan janin walaupun mekanismenya masih belum diketahui jelas. Contohnya kortikosteroid diberikan untuk merangsang matangnya paru janin bila ada prediksi kelahiran prematur. Contoh lain adalah fenobarbital yang dapat menginduksi enzim hati untuk metabolisme bilirubin sehingga insidens jaundice ( bayi kuning) akan berkurang. Selain itu fenobarbital juga dapat menurunkan risiko perdarahan intrakranial bayi kurang umur. Anti aritmia juga diberikan pada ibu hamil untuk mengobati janinnya yang menderita aritmia jantung.
Kerja obat teratogenik. Penggunaan obat pada saat perkembangan janin dapat mempengaruhi struktur janin pada saat terpapar. Thalidomid adalah contoh obat yang besar pengaruhnya pada perkembangan FARMAKOTERAPI “Terapi Pada Ibu Hamil”
Page 13
anggota badan (tangan, kaki) segera sesudah terjadi pemaparan. Pemaparan ini akan berefek pada saat waktu kritis pertumbuhan anggota badan yaitu selama minggu ke empat sampai minggu ke tujuh kehamilan. Teratogenik merupakan perubahan formasi dari sel, jaringan, dan organ yang dihasilkan dari perubahan fisiologi dan biokimia. Mekanisme berbagai obat yang menghasilkan efek teratogenik belum diketahui dan mungkin disebabkan oleh multi faktor.
Obat dapat bekerja langsung pada jaringan ibu dan juga secara tidak langsung mempengaruhi jaringan janin.
Obat mungkin juga menganggu aliran oksigen atau nutrisi lewat plasenta sehingga mempengaruhi jaringan janin.
Obat juga dapat bekerja langsung pada proses perkembangan jaringan janin, misalnya vitamin A (retinol) yang memperlihatkan perubahan pada jaringan normal. Dervat vitamin A (isotretinoin, etretinat) adalah teratogenik yang potensial.
Kekurangan substansi yang esensial diperlukan juga akan berperan pada abnormalitas. Misalnya pemberian asam folat selama kehamilan dapat menurunkan insiden kerusakan pada selubung saraf , yang menyebabkan timbulnya spina bifida. Paparan berulang zat teratogenik dapat menimbulkan efek kumulatif. Misalnya konsumsi alkohol yang tinggi dan kronik pada kehamilan, terutama pada kehamilan trimester pertama dan kedua akan menimbulkan fetal alcohol syndrome yang berpengaruh pada sistem saraf pusat, pertumbuhan dan perkembangan muka.
FARMAKOTERAPI “Terapi Pada Ibu Hamil”
Page 14
III. PENGUNAAN BEBERAPA OBAT SELAMA MASA KEHAMILAN
3.1 Antibiotik dan antiseptik Infeksi pada saat kehamilan tidak jarang terjadi, mengingat secara alamiah risiko terjadinya infeksi pada periode ini lebih besar, seperti misalnya infeksi saluran kencjng karena dilatasi ureter dan stasis yang biasanya muncul pada awal kehamilan dan menetap sampai beberapa saat setelah melahirkan. Dalam menghadapi kehamilan dengan infeksi, pertimbangan pengobatan yang harus diambil tidak saja dari segi ibu, tetapi juga segi janin, mengingat hamper semua antibiotika dapat melintasi plasenta dengan segala konsekuensinya. Berikut akan dibahas antibiotika yang dianjurkan maupun yang harus dihindari selama kehamilan, agar di samping tujuan terapetik dapat tercapaisemaksimal mungkin, efek samping pada ibu dan janin dapat ditekan seminimal mungkin. 3.1.1 Penisilin Obat-obat yang termasuk dalam golongan penisilin dapat dengan mudah menembus plasenta dan mencapai kadar terapetik baik pada janin maupun cairan amnion. Penisilin relatif paling aman jika diberikan selama kehamilan, meskipun perlu pertimbangan yang seksama dan atas indikasi yang ketat mengingat kemungkinan efek samping yang dapat terjadi pada ibu. - Ampilisin: Segi keamanan baik bagi ibu maupun janin relatif cukup terjamin. Kadar ampisilin dalam sirkulasi darah janin meningkat secara lambat setelah pemberiannya pada ibu dan bahkan sering melebihi kadarnya dalam sirkulasi ibu. Pada awal kehamilan, kadar ampisilin dalam cairan amnion relatif rendah karena belum sempurnanya ginjal janin, di samping meningkatnya kecepatan aliran darah antara ibu dan janin pada masa tersebut. Tetapi pada periode akhir kehamilan di mana ginjal dan alat ekskresi yangi lain pada janin telah matur, kadarnya dalam sirkulasi janin justru lebih tinggi dibanding ibu. Farmakokinetika ampisilin berubah menyolok selama kehamilan. Dengan meningkatnya volume plasma dan cairan tubuh, maka meningkat pula volume distribusi obat. Oleh sebab itu kadar ampisilin pada wanita hamil kira-kira hanya 50% dibanding saat tidak hamil. Dengan demikian penambahan dosis ampisilin perlu dilakukan selama masa kehamilan. - Amoksisilin : Pada dasarnya, absorpsi amoksisilin setelah pemberian per oral jauh lebih baik dibanding ampisilin. Amoksisilin diabsorpsi secara cepat dan sempurna baik setelah pemberian oral maupun parenteral. Seperti halnya dengan ampisilin penambahan dosis amoksisilin pada kehamilan perlu dilakukan mengingat kadarnya dalam darah ibu maupun janin relatif rendah FARMAKOTERAPI “Terapi Pada Ibu Hamil”
Page 15
dibanding saat tidak hamil. Dalam sirkulasi janin, kadarnya hanya sekitar seperempat sampai sepertiga kadar di sirkulasi ibu. 3.1.2 Sefalosporin Sama halnya dengan penisilin, sefalosporin relatif aman jika diberikan pada trimester pertama kehamilan. Kadar sefalosporin dalam sirkulasi janin meningkat selama beberapa jam pertama setelah pemberian dosis pada ibu, tetapi tidak terakumulasi setelah pemberian berulang atau melalui infus. Sejauh ini belum ada bukti bahwa pengaruh buruk sefalosporin seperti misalnya anemia hemolitik dapat terjadi pada bayi yang dilahirkan oleh seorang ibu yang mendapat sefalosporin pada trimester terakhir kehamilan. 3.1.3 Tetrasiklin Seperti halnya penisilin dan antibiotika lainnya, tetrasiklin dapat dengan mudah melintasi plasenta dan mancapai kadar terapetik pada sirkulasi janin. Jika diberikan pada trimester pertama kehamilan, tetrasiklin menyebabkan terjadinya deposisi tulang in utero, yang pada akhirnya akan menimbulkan gangguan pertumbuhan tulang, terutama pada bayi prematur. Meskipun hal ini bersifat tidak menetap (reversibel) dan dapat pulih kembali setelah proses remodelling, namun sebaiknya tidak diberikan pada periode tersebut. Jika diberikan pada trimester kedua hingga ketiga kehamilan, tetrasiklin akan mengakibatkan terjadinya perubahan warna gigi (menjadi kekuningan) yang bersifat menetap disertai hipoplasia enamel. Mengingat kemungkinan risikonya lebih besar dibanding manfaat yang diharapkan maka pemakaian tetrasiklin pada wanita hamil sejauh mungkin harus dihindari. 3.1.4 Aminoglikosida Aminoglikosida dimasukkan dalam kategori obat D, yang penggunaannya oleh wanita hamil diketaui meningkatkan angka kejadian malformasi dan kerusakan janin yang bersifat ireversibel. Pemberian aminoglikosida pada wanita hamil sangat tidak dianjurkan. Selain itu aminoglikosida juga mempunyai efek samping nefrotoksik dan ototoksik pada ibu, dan juga dapat menimbulkan kerusakan ginjal tingkat seluler pada janin, terutama jika diberikan pada periode organogeneis. Kerusakan saraf kranial VIII juga banyak terjadi pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mendapat aminoglikosida pada kehamilan. 3.1.5 Kloramfenikol Pemberian kloramfenikol pada wanita hamil, terutama pada trimester II dan III, di mana hepar belum matur, dapat menyebabkan angka terjadinya sindroma Grey pada bayi, ditandai dengan kulit sianotik (sehingga bayi tampak keabuabuan), hipotermia, muntah, abdomen protuberant, dan menunjukkan reaksi menolak menyusu, di samping pernafasan yang cepat & FARMAKOTERAPI “Terapi Pada Ibu Hamil”
Page 16
tidak teratur, serta letargi. Kloramfenikol dimasukkan dalam kategori C, yaitu obat yang karena efek farmakologiknya dapat menyebabkan pengaruh buruk pada janin tanpa disertai malformasi anatomik. Pengaruh ini dapat bersifat reversibel. Pemberian kloramfenikol selama kehamilan sejauh mungkin dihindari, terutama pada minggu-minggu terakhir menjelang kelahiran dan selama menyusui. 3.1.6 Sulfonamida Obat-obat yang tergolong sulfonamida dapat melintasi plasenta dan masuk dalam sirkulasi janin, dalam kadar yang lebih rendah atau sama dengan kadarnya dalam sirkulasi ibu. Pemakaian sulfonamida pada wanita hamil harus dihindari, terutama pada akhir masa kehamilan. Hal ini karena sulfonamida mampu mendesak bilirubin dari tempat ikatannya dengan protein, sehingga mengakibatkan terjadinya kern-ikterus pada bayi yang baru dilahirkan. Keadaan ini mungkin akan menetap sampai 7 hari setelah bayi lahir. 3.1.7 Eritromisin Pemakaian eritromisin pada wanita hamil relatif aman karena meskipun dapat terdifusi secara luas ke hampir semua jaringan (kecuali otak dan cairan serebrospinal), tetapi kadar pada janin hanya mencapai 1-2% dibanding kadarnya dalam serum ibu. Di samping itu, sejauh ini belum terdapat bukti bahwa eritromisin dapat menyebabkan kelainan pada janin. Kemanfaatan eritromisin untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh Chlamydia pada wanita hamil serta pencegahan penularan ke janin cukup baik, meskipun bukan menjadi obat pilihan pertama. Namun ditilik dari segi keamanan dan manfaatnya, pemakaian eritromisin untuk infeksi tersebut lebih dianjurkan dibanding antibiotika lain, misalnya tetrasiklin. 3.1.8 Trimetoprim Karena volume distribusi yang luas, trimetoprim mampu menembus jaringan fetal hingga mencapai kadar yang lebih tinggi dibanding sulfametoksazol, meskipun kadarnya tidak lebih tinggi dari ibu. Pada uji hewan, trimetoprim terbukti bersifat teratogen jika diberikan pada dosis besar. Meskipun belum terdapat bukti bahwa trimetoprim juga bersifat teratogen pada janin, tetapi pemakaiannya pada wanita hamil perlu dihindari. Jika terpaksa harus memberikan kombinasi trimetoprim + sulfametoksazol pada kehamilan, diperlukan pemberian suplementasi asam folet. 3.1.9 Nitrofurantoin Nitrofurantoin sering digunakan sebagai antiseptik pada saluran kencing. Jika diberikan pada awal kehamilan, kadar nitrofurantoin pada jaringan fetal lebih tinggi dibanding ibu, tetapi kadarnya dalam plasma sangat rendah. Dengan makin bertambahnya umur kehamilan, kadar FARMAKOTERAPI “Terapi Pada Ibu Hamil”
Page 17
nitrofurantoin dalam plasma janin juga meningkat. Sejauh ini belum terbukti bahwa nitrofurantoin dapat meningkatkan kejadian malformasi janin. Namun perhatian harus diberikan terutama pada kehamilan cukup bulan, di mana pemberian nitrofurantoin pada periode ini kemungkinan akan menyebabkan anemia hemolitik pada janin.
3.2 Analgetik Keluhan nyeri selama masa kehamilan umum dijumpai. Hal ini berkaitan dengan masalah fisiologis dari si ibu, karena adanya tarikan otot-otot dan sendi karena kehamilan, maupun sebab-sebab yang lain. Untuk nyeri yang tidak berkaitan dengan proses radang, pemberian obat pengurang nyeri biasanya dilakukan dalam jangka waktu relatif pendek. Untuk nyeri yang berkaitan dengan proses radang, umumnya diperlukan pengobatan dalam jangka waktu tertentu. Penilaian yang seksama terhadap penyebab nyeri perlu dilakukan agar dapat ditentukan pilihan jenis obat yang paling tepat. 3.2.1 Analgetika-narkotika Semua analgetika-narkotika dapat melintasi plasenta dan dari berbagai penelitian pada gewan uji, secara konsisten obat ini menunjukkan adanya akumulasi pada jaringan otak janin. Terdapat bukti meningkatkan kejadian permaturitas, retardasi pertumbuhan intrauteri, fetal distress dan kematian perinatal pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang sering mengkonsumsi analgetika-narkotik. Keadaan withdrawl pada bayi-bayi yang baru lahir tersebut biasanya manifes dalam bentuk tremor, iritabilitas, kejang, muntah, diare dan takhipnoe. Metadon: Jika diberikan pada kehamilan memberi gejala withdrawal yang munculnya lebih lambat dan sifatnya lebih lama dibanding heroin. Beratnya withdrawal karena metadon nampaknya berkaitan dengan meningkatnya dosis pemeliharaan pada ibu sampai di atas 20 mg/hari, Petidin Dianggap paling aman untuk pemakaian selam proses persalinan. Tetapi kenyataannya bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mendapat petidin selama proses kelahiran menunjukkan skala neuropsikologik yang lebih rendah disbanding bayi-bayi yang ibunya tidak mendapat obat ini, atau yang mendapat anestesi lokal. Dengan alasan ini maka pemakaian petidin pada persalinan hanya dibenarkan apabila anestesi epidural memang tidak memungkinkan. 3.2.2 Analgetika-antipiretik Parasetamol, Merupakan analgetika-antipiretik yang relatif paling aman jika diberikan selama kehamilan. Meskipun kemungkinan terjadinya efek samping hepatotoksisitas tetap ada, tetapi umumnya terjadi pada dosis yang jauh lebih besar dari yang dianjurkan. FARMAKOTERAPI “Terapi Pada Ibu Hamil”
Page 18
Antalgin:, Dikenal secara luas sebagai pengurang rasa nyeri derajat ringan. Salah satu efek samping yang dikhawatirkan pada penggunaan antalgin ini adalah terjadinya agranulositosis. Meskipun angka kejadiannya relatif sangat jarang, tetapi pemakaian selama kehamilan sebaiknya dihindari. 3.2.3 Antiinflamasi non-steroid Dengan dasar mekanisme kerjanya yaitu menghambat sintesis prostaglandin, efek samping obat-obat antiinflamasi non-steroid kemungkinan lebih sering terjadi pada trimester akhir kehamilan. Dengan terhambatnya sintesis prostaglandin, pada janin akan terjadi penutupan duktus arteriosus Botalli yang terlalu dini, sehingga bayi yang dilahirkan akan menderita hipertensi pulmonal. Efek samping yang lain adalah berupa tertunda dan memanjangnya proses persalinan jika obat ini diberikan pada trimester terakhir. Sejauh ini tidak terdapat bukti bahwa antiiflamasi non-steroid mempunyai efek teratogenik pada janin dalam bentuk malformasi anatomik. Namun demikian, pemberian obat-obat tersebut selama kehamilan hendaknya atas indikasi yang ketat disertai beberapa pertimbangan pemilihan jenis obat. Pertimbangan ini misalnya dengan memilih obat yangmempunyai waktu paruh paling singkat, dengan risiko efek samping yang paling ringan.
3.3 Antiemetik Meskipun pada uji hewan terdapat bukti bahwa obat-obat antiemetik (meklozin dan siklizin) dapat menyebabkan terjadinya abnormalitas janin, tetapi hal ini belum terbukti pada manusia. Terdapat hubungan yang bermakna antara pemakaian prometazin selama trimester pertama kehamilan dengan terjadinya dislokasi panggul kongenital pada janin. Pemakaian antiemetik selama kehamilan sebaiknya dihindari jika intervensi nonfarmakologik lainnya masih dapat dilakukan.
3.4 Antiepilepsi Fenitoin (difenilhidantoin) dapat melintasi plasenta dan mencapai sirkulasi janin setelah pemberian dosis terapetik secara intravenosa. Dosis tertinggi pada janin ditemukan dalam hepar, jantung, dan glandula adrenal. Pada wanita hamil yang mendapat pengobatan fenitoin jangka panjang, kadar fenitoin dalam sirkulasi janin sama dengan kadarnya dalam sirkulasi janin sama dengan kadarnya dalam sirkulasi ibu. Waktu paruh fenitoin pada bayi baru lahir sekitar 60-70 jam dan obat masih didapat dalam plasma bayi, hingga hari ke lima setelah kelahiran. Pemberian fenitoin selamakehamilan dalam jangka panjang ternyata berkaitan erat FARMAKOTERAPI “Terapi Pada Ibu Hamil”
Page 19
dengan meningkatnya angka kejadian kelainan kongenital pada bayi yang dilahirkan. Kelainan ini berupa malformasi kraniofasial disertai penyakit jantung kongenital, celah fasial, mikrosefalus dan beberapa kelainan pada kranium dan tulang-tulang lainnya. Oleh karena itu pemakaian fenitoin selama kehamilan sangat tidak dianjurkan. Obat-obat antiepilepsi lain seterti karbamazepin dan fenobarbiton ternyata juga menyebabkan terjadinya malformasi kongenital (meskipun lebih ringan ) pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mengkonsumsi obat-obat tersebut selama masa kehamilannya. Pemakaian asam valproat selama kehamilan mungkin meningkatkan derajat defek tuba neuralis. Dari beberapa penelitian dilaporkan bahwa 1-2 % spina bifida pada bayi baru lahir terjadi karena ibu mengkonsumsi asam valproat selama masa kehamilannya.
3.5 Antihipertensi Dalam praktek sehari-hari tidak jarang kita menjumpai seorang wanita yang dalam masa kehamilannya menderita hipertensi. Dalam hal ini yang harus diperhatikan adalah apakah wanita tersebut memang penderita hipertensi atau hipertensi yang dialami hanya terjadi selama masa kehamilan. Meskipun pendekatan terapi antar keduanya berbeda, tetapi tujuan terapinya adalah sama yaitu mencegah terjadinya hipertensi yang lebih berat agar kehamilannya dapat dipertahankan hingga cukup bulan, serta menghindari kemungkinan terjadinya kematian maternal karena eklamsia atau hemoragi serebral terutama saat melahirkan. Sejauh mungkin juga diusahakan agar tidak terjadi komplikasi atau kelainan pada bayi yang dilahirkan, baik karena hipertensinya maupun komplikasi yang menyertainya. Berikut akan dibahas pemakaian obat-obat antihipertensi selama masa kehamilan.
– Golongan penyekat adrenoseptor beta Obat-obat golongan ini seperti misalnya oksprenolol dan atenolol dapat melintasi plasenta dan mencapai sirkulasi janin dengan memberi efek blokade beta pada janin. Oksprenolol dan atenolol relatif aman dan tidak terbukti meningkatkan kejadian kejadian malformasi janin, meskipun terdapat beberapa kasus bayi dengan bradikardi temporer setelah pemberian atenolol pada ibu selama kehamilannya. - Vasodilator Pada kehamilan, diazoksid, dan hidralazin umumnya digunakan untuk mencegah kelahiran prematur akibat eklampsia, dimana efeknya tidak saja berupa relaksasi otot vaskuler tetapi juga berpengaruh terhadap otot uterus. Jika digunakan selama masa kehamilan aterm dapat FARMAKOTERAPI “Terapi Pada Ibu Hamil”
Page 20
mengakibatkan lambatnya persalinan. Pada pemakaian jangka panjang, diazoksid dapat menyebabkan terjadinya alopesia dan gangguan toleransi glukosa pada bayi baru lahir. - Golongan simpatolitik sentral: Metildopa relatif aman selama masa kehamilan. Obat ini mampu melintasi barier plasenta dengan kadar yang hampir sama dengan kadar maternal. Pemberian metildopa hanya efektif untuk hipertensi yang lebih berat. Klonidin juga relatif aman untuk ibu dan janin, tetapi pada dosis besar sering memberi efek samping seperti sedasi dan mulut kering. Secara lebih tegas, obat-obat antihipertensi yang tidak dianjurkan selama kehamilan meliputi: 1. Pemakaian obat-obat golongan antagonis kalsium seperti verapamil, nifedipin, dan diltiazem selama kehamilan ternyata menunjukkan kecenderungan terjadinya hipoksia fetal jika terjadi hipotensi pada maternal. 2. Diuretika sangat tidak dianjurkan selama masa kehamilan karena di samping mengurangi volume plasma juga mengakibatkan berkurangnya perfusi utero-plasenta. 3. Obat-obat seperti reserpin sebaiknya tidak diberikan pada wanita hamil karena dapat menyebabkan hilangnya termoregulasi pada neonatal jika dikonsumsi selama trimester III. 4. Obat-obat penyekat neuroadrenergik seperti debrisokuin dan guanetidin sebaiknya juga tidak diberikan selama kehamilan karena menyebabkan hipotensi postural dan menurunkan perfusi uteroplasental. 5. Pemakaian obat Angiotensin Converting Enzyme (ACE) inhibitor seperti kaptopril dan enalapril sangat tidak dianjurkan selama kehamilan karena meningkatkan kejadian mortalitas janin.
IV.
PRINSIP PEMAKAIAN OBAT DALAM KEHAMILAN
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Gunakan hanya jika memang ada indikasi mutlak Jika mungkin, hindari terapi pada trimester I Pilih obat yang aman (obat lama yang telah terbukti keamanannya) Gunakan dosis efektif terendah Terapi obat yang terdiri dari zat tunggal Hiidari pemakaian obat bebas
FARMAKOTERAPI “Terapi Pada Ibu Hamil”
Page 21
BAB III KESIMPULAN
Kehamilan berkaitan dengan berbagai macam perubahan fisiologis yang mempengaruhi perlakuan tubuh terhadap cara pemberian obat-obatan yang terkait dengan pengaruh ADME nya terhadap faktor farmakokinetik pada tubuh ibu hamil.. Tetapi pada kebanyakan obat hasil akhir dari perubahan-perubahan ini tidak menimbulkan perubahan kadar obat bebas dalam darah, yang berarti tidak terjadi perubahan efek obat. Pada obat-obatan yang mengalami peningkatan ekskresi, dosis perlu ditingkatkan, sedangkan pada obat-obatan yang terikat pada protein plasma, kondisi hipoalbuminemia yang terjadi berakibat konsentrasi obat bebas menjadi lebih tinggi. Maka pengaturan dosis pada obatobatan tersebut harus mengacu pada pengukuran kadar obat bebas, serta harus diperhatikan penggunaan obat selama masa kehamilan. Protein plasma janin mempunyai afinitas yang lebih rendah dibandingkan protein plasma ibu terhadap obat-obatan. Tetapi ada pula obat-obatan yang lebih banyak terikat pada protein pengikat janin seperti salisilat. Obat-obat yang tidak terikat (bebas) adalah yang mampu melewati sawar plasenta. Jalur utama transfer obat melalui plasenta adalah dengan difusi sederhana. Obat yang bersifat lipofilik dan tidak terionisasi pada pH fisiologis akan lebih mudah berdifusi melalui plasenta. Kecepatan tercapainya keseimbangan obat antara ibu dan janin mempunyai arti yang penting pada keadaan konsentrasi obat pada janin harus dicapai secepat mungkin, seperti pada kasuskasus aritmia atau infeksi janin intrauterin, karena obat diberikan melalui ibunya.
FARMAKOTERAPI “Terapi Pada Ibu Hamil”
Page 22
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2008, Obat-obatan di dalam Kehamilan, http://www.klikdokter.com, diakses tanggal 15 Maret 2009 Anonim, 2009, Antibiotika, http://obgyn-unsri.org, diakses tanggal 15 Maret 2009 Nindya, S., 2001, Perubahan Farmakokinetika Obat pada Wanita Hamil dan Implikasinya secara Klinik , Cermin Dunia Kedokteran No. 133, http://ojs.lib.unair.ac.id, diakses tanggal 15 Maret 2008
FARMAKOTERAPI “Terapi Pada Ibu Hamil”
Page 23