PEMBERIAN OBAT ANTIHIPERTENSI TERHADAP ATLET PENDERITA HIPERTENSI
MAKALAH Untuk memenuhi tugas matakuliah Dasar Farmakologi yang dibina oleh Ibu Rias Gesang Kinanti
Oleh Eko Purnomo
100621403267 100621403267
UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN JURUSAN ILMU KEOLAHRAGAAN February 2012
BAB I PENDAHULUAN a. Latar Belakang Bagi praktisi dunia kesehatan, pasti tidak asing lagi dengan farmakologi obat dan dosis dimana hampir semua lembaga pendidikan membahas pelajaran ini, baik itu keperawatan, kedokteran, kesehatan masyarakat serta farmasi. Farmakologi atau yang sering disebut dengan ilmu khasiat obat adalah merupakan ilmu yang mempelajari obat dalam seluruh aspeknya baik sifat kimiawi, fisikanya, kegiatan fisiologi, resorbsi dan nasibnya dalam organisme hidup. Farmokologi klinik menyelidiki semua interaksi antara obat dan tubuh serta penggunaannya pada pengobatan penyakit. Penyakit darah tinggi atau hipertensi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami peningkatan tekanan darah diatas normal yang ditunjukkan oleh angka systolic dan angka diastolic pada pemeriksaan tensi darah menggunakan alat pengukur tekanan darah baik berupa air raksa ataupun alat digital lainnya. Bila seseorang mengalami tekanan darah tinggi dan tidak mendapatkan pengobatan dan pengontrolan secara teratur, maka hal ini dapat membawa si penderita ke dalam kasus serius bahkan bisa menyebabkan kematian. b. Rumusan Masalah 1.
Apa yang di maksud Hipertensi dan klasifikasinya?
2.
Apa yang di maksud antihipertensi?
3.
Bagaimana kerja dari obat antihipertensi ?
c. Tujuan Masalah 1.
Menjelaskan Hipertensi dan klasifikasinya !
2.
Memahami Obat antihipertensi dan macamnya !
3.
Mengetahui dari kerja antihipertensi didalam tubuh !
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Hipertensi
Seseorang yang menderita hipertensi, secara langsung akan mengakibatkan penurunan usia harapan hidup, hipertensi dapat meningkatkan angka kesakitan dan angka kematian. Hipertensi berarti tekanan darah diseluruh sirkulasi arteri lebih tinggi dari normal. Hipertensi pada dasarnya merupakan gejala dari suatu penyakit. Di Indonesia diperoleh data penderita hipertensi yang berbeda beda pada beberapa daerah, misalnya penduduk pinggiran jakarta, frekuensi hipertensi 14,2 %, penduduk desa Sumatera Barat 19,4 %, dan penduduk kota semarang 9,3 %, (Kalim,1996). 1.1 Faktor Resiko Hipertensi
Ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang beresiko untuk hipertensi, baik yang bersifat dapat dimanipulasi maupun yang tidak dapat dimanipulasi. Faktor-faktor tersebut antara lain : kelebihan berat badan, usia, ras, herediter, perbedaan kultur, diet, pola makan, dan pola hidup, serta jenis kelamin (Taddei,1997 ; Dustan,1986). 1.2 Klasifikasi Hipertensi
Seseorang dikatakan hipertensi apabila : tekanan darah sisitolik > 140 mmHg dan tekanan diastolik >90 mmHg, apabila tidak memakai obat anti hipertensi. Klasifikasi hipertensi menurut WHO-ISH Guidelines (1999) yang dikutip Mawi (2000), sebagai berikut : Klasifikasi pada orang dewasa yang berusia diatas 18 tahun adalah sebagai berikut : terkanan darah normal, apabila sisitolik < 130 mmHg dan diastolik < 85 mmHg. Tekanan darah dikatakan high normal, apabila sistolik antara 130-139 mmHg dan diastolik antara 90-99 mmHg, dimana borderline-nya adalah bila sistolik antara 140-149 dan diastolik antara 90-94 mmHg. Hipertensi sedang apabila sistolik antara 160-179 mmHg dan diastolik antara 100-109 mmHg dan hipertensi berat, apabila sistolik >180 mmHg dan diastolik > 110 mmHg. Dikatakan isolated systolic hypertension apabila sistolik > 140 mmHg dan diastolik < 90 mmHg dan boderline apabila sistolik antara 140-149 mmHg dan diastolik < 90 mmHg. Untuk pasien yang lebih tua, tekanan darah tersebut normal apabila kurang dari 140/90 mmHg. Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi 2 golongan, yaitu : (1) Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya, dan (2) hipertensi skunder.
1.3 Macam-macam Hipertensi a. Hipertensi Esensial (primer)
Hipertensi esensial meliputi hampir 99 % dari seluruh pasien hipertensi dan sisanya disebabkan oleh hipertensi sekunder. Hipertensi esensial dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya faktor genetik, metabolisme natrium dalam ginjal dan aldosteron (Guyton,1994). Hipertensi esensial merupakan hipertensi dengan penyakit asal tidak diketahui dan adanya tendensi herediter yang kuat. Pada hipertensi ini selain sulit diketahui apa penyakit asalnya, sulit juga untuk diketahui mekanisme apa yang memulainya dan bagaimana perjalanannya. Namun demikian berdasarkan pada hasil pengamatan ahli dapat diketahui mekanismenya apabila diketahui yang terlibat dalam proses kejadiannya. Ciri-ciri penderita hipertensi esensial antara lain : 1.
Tekanan darah arteri rata-rata meningkat 40-60 %
2.
Renal blod flow (RBF) pada stadium akhir menurun mencapai setengah normal
3.
Resistensi terhadap aliran darah yang melewati ginjal meningkat 2-4 kali lipat
4.
Terdapat penurunan renal blod flow (RBF), tetapi glomerular filtration rate masih kurang lebih normal. Dalam hal ini dengan tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan adekuat lewat glomerulus ke tubulus renalis
5.
Curah jantung kurang lebih normal
6.
Tekanan perifer meningkat + 40-60 % sesuai dengan meningkatnya tekanan darah
7.
Hampir semua penderita hipertensi esensial ginjal tidal mengekresikan air dan garam dalam jumlah yang cukup kecuali pada tekanan darah yang tinggi (Sidabutar, 1993)
b. Hipertensi Sekunder
Mawi (2000) menjelaskan bahwa hipertensi sekunder atau hipertensi yang diketahui penyebabnya hanya sebagian kecil saja. Penyebab terjadinya hipertensi sekunder adalah: 1.
Hipertensi renal dapat disebabkan oleh penyakit parenkim ginjal, penyakit arteri renalis, dan penyakit yang menyebabkan kompresi ginjal
2.
Hipertensi endokrin disebabkan oleh kelebihan mineral kortikoid dan glukkortikoid serta pemakaian obat kontrasepsi oral
3.
Hipertensi neurogenik seperti kondisi ansietas, gangguan pusat vasomotor, penyakit modulla spinalis, dan saraf tepi
4.
Penyakit kelainan pembuluh darah seperti cortatio aortae
5.
Hipertensi pada toxeemia gravidarum seperti pada preeklampsia dan ekslampsia
6.
Kelainan lain seperti polisitemia dan hiperkalsemia
1.4 Penanganan hipertensi
Menurut Kusmana (1997), Kalim (2000) menjelaskan bahwa dalam penanganan hipertensi selain pengobatan harus diupayakan tindakan non farmakologi (tanpa obat-obatan yang menetap). Pengobatan farmakologi dapat diberiakan seminimal mungkin dalam kasus-kasus yang sudah mendekati serius. Terdapat tiga jenis obat anti hipertensi yaitu : obat diuretik, simpatolitik dan vasodilatator. Pada tindakan non farmakologi yang harus dilakukan adalah (1) olahraga yang teratur, (2) penurunan berat badan, (3) membatasi makan garam, (4) berhenti merokok, (5) berhenti minum kopi, (6) mengubah gaya hidup, serta (7) menghindari obat-obat yang yang dapat meningkatkan tekanan darah, misalnya : obat rematik atau anti inflamasi nonsteroid, prednison atau kortikosteroid lainnya dan anti depresan. Penanganan hipertensi yang tidak tepat dan berkelanjutan akan mengakibatkan
komplikasi terhadap fungsi jantung, terjadinya
(Lumbantobing, 1998)
stroke (otak) dan ginjal
Antihipertensi 2.1 Definisi
Antihipertensi
adalah
obat
–
obatan
yang
digunakan
untuk mengobati hipertensi.
Antihipertensi juga diberikan pada individu yang memiliki resiko tinggi untuk terjadinya penyakit kardiovaskular dan mereka yang beresiko terkena stroke maupun miokard infark. Pemberian obat bukan berarti menjauhkan individu dari modifikasi gaya hidup yang sehat seperti mengurangi
berat
badan,
mengurangi konsumsi garam dan alkohol,
berhenti merokok,
mengurangi stress dan berolahraga. Pemberian obat
perlu dilakukan segera pada pasien dengan tekanan darah sistolik ≥
140/90 mmHg . Pasien dengan kondisi stroke atau miokard infark ataupun ditemukan bukti adanya kerusakan
organ tubuh yang
parah
seperti mikroalbuminuria,
hipertrofi
ventrikel kiri) juga membutuhkan penanganan segera dengan antihipertensi.
2.2 Tujuan
Pada dasarnya pengobatan dengan antihipertensi itu penting agar pasien dapat mencapai tekanan darah yang dianjurkan. Level tekanan darah yang diharapkan pada pasien hipertensi yang tidak disertai komplikasi adalah 140/90 mmHg atau lebih rendah bila memungkinkan, sedangkan pada pasien mengalami insiden kerusakan organ akhir atau kondisi seperti diabetes, level
tekanan darah yang diharapkan adalah 130/90 mmHg, dan pada pasien proteinuria (>1 g /
hari) diharapkan tekanan darah di bawah 150/75 mmHg. Adapun tujuan pemberian antihipertensi yakni: 1. Mengurangi insiden gagal jantung dan mencegah manifestasi yang muncul akibat gagal jantung. 2. Mencegah hipertensi yang akan tumbuh menjadi komplikasi yang lebih parah dan mencegah komplikasi yang lebih parah lagi bila sudah ada. 3. Mengurangi insiden serangan serebrovaskular dan akutnya pada pasien yang sudah terkena serangan serebrovaskular. 4. Mengurangi mortalitas fetal dan perinatal yang diasosiasikan dengan hipertensi
maternal.
2.3
Klasifikasi
Dikenal lima kelompok obat lini pertama ( first line drug ) yang digunakan untuk pengobatan awal hipertensi yaitu : diuretik, penyekat reseptor beta adrenergik ( β-blocker ), penghambat
angiotensin
converting
enzyme(ACE-inhibitor), penghambat reseptor
angiotensin (Angiotensin-receptor blocker, ARB), dan antagonis kalsium.
2.3.1 Diuretik
Mekanisme
kerja
: Diuretik menurunkan tekanan darah
dengan
menghancurkan
garam yang tersimpan di alam tubuh. Pengaruhnya ada dua tahap yaitu : 1.
Pengurangan
dari
volume
darah
total
dan
curah
jantung;
yang
menyebabkan meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer; 2.
Ketika curah jantung
kembali
ke
ambang
normal,
resistensi
pembuluh
darah perifer juga berkurang. Contoh antihipertensi dari golongan ini adalah Bumetanide, Furosemide, Hydrochlorothiazide, Triamterene, Amiloride, Chlorothiazide, Chlorthaldion.
2.3.2 Penyekat Reseptor Beta Adrenergik ( β-Blocker )
Berbagai mekanisme penurunan tekanan darah akibat pemberian β-blocker dapat dikaitkan dengan hambatan reseptor β1, antara lain : (1) penurunan frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas miokard sehingga menurunkan curah jantung; (2) hambatan sekresi renin di sel jukstaglomeruler ginjal dengan akibat penurunan Angiotensin II; (3) efek sentral yang mempengaruhi
aktivitas
saraf
simpatis, perubahan pada sensitivitas baroresptor, perubahan
neuron adrenergik perifer dan peningkatan biosentesis prostasiklin. Contoh antihipertensi dari golongan ini adalah Propanolol,
Metoprolol,
Atenolol,
Betaxolol,
Bisoprolol,
Pindo lol,
Acebutolol, Penbutolol, Labetalol. 2.3.3 Penghambat Angiotensin Converting Enzyme (ACE-Inhibitor)
Kaptopril merupakan ACE-inhibitor yang pertama banyak digunakan di klinik untuk pengobatan hipertensi dan gagal jantung. Mekanisme kerja : secara langsung menghambat
pembentukan Angiotensin
II
dan
pada
saat
yang bersamaan meningkatkan
jumlah bradikinin. Hasilnya berupa vasokonst riksi yang berkurang, berkurangnya natrium dan retensi air, dan meningkatkan vasodilatasi (melalui bradikinin). Contoh antihipertensi dari golongan ini adalah
Kaptopril, Enalapril, Benazepril, Fosinopril, Moexipril, Quianapril,
Lisinopril.
2.3.4 Penghambat Reseptor Angiotensin
Mekanisme kerja : inhibitor kompetitif dari resptor Angiotensin II (tipe 1). Pengaruhnya lebih spesifik pada Angiotensin II dan mengurangi atau sama sekali tidak ataupun metabolisme bradikinin.
ada
produksi
Contoh antihipertensi dari golongan ini adalah Losartan,
Valsartan, Candesartan, Irbesartan, Telmisartan, Eprosartan, Zolosartan. 2.3.5 Antagonis Kalsium
Mekanisme kerja : antagonis kalsium menghambat influks kalsium pada sel otot polos pembuluh darah dan miokard. Di pembuluh darah, antagonis kalsium terutama menimbulkan relaksasi
arteriol,
sedangkan
vena
kurang
dipengaruhi. Penurunan resistensi perifer ini
sering diikuti efek takikardia dan vasokonstriksi, terutama bila menggunakan golongan obat dihidropirin (Nifedipine). Sedangkan Diltiazem dan Veparamil t idak menimbulkan takikardia karena efek kronotropik negatif langsung pada jantung. Contoh antihipertensi dari golongan ini adalah Amlodipine, Diltiazem, Verapamil, Nifedipine.
1.4 Efek Samping
Antihipertensi dari golongan diuretik, ACE-inhibitor dan beberapa β-Blocker dapat menyebabkan reaksi likenoid. ACE-inhibitor juga diasosiasikan dengan kehilangan sensasi pada lidah dan rasa terbakar pada mulut. ACE–inhibitor dan penghambat angiotensin
reseptor
II pernah diimpliksikan bahwa keduanya menyebabkan angioedema pada
rongga mulut pada sekelompok 1% dari pasien yang mengonsumsinya. Meskipun oedema pada lidah, uvula, dan palatum lunak yang paling sering terjadi, tetapi oedema larynx adalah
yang paling serius karena berpotensi menghambat jalan nafas. Efek samping obat – obatan antihipertensi pada rongga mulut adalah xerostomia, reaksi likenoid, pertumbuhan gingiva yang berlebih, pendarahan yang parah, luka
penyembuhan
yang tertunda. Sedangkan efek samping yang sistemik yang paling sering dilaporkan
adalah konstipasi, batuk, pusing, mengantuk, letih, frekuensi berkemih yang meningkat, berkuranya konsentrasi, disfungsi seksual dan rasa tidak enak pada perut.
BAB III PEUTUP a. Kesimpulan Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sehingga tekanan sistolik > 140 mmHg dan tekanan diastolik > 90 mmHg (Kee & Hayes). Obat antihipertensi adalah obat yang digunakan untuk menurunkan tekanan darah tingggi hingga mencapai tekanan darah normal. Semua obat antihipertensi bekerja pada satu atau lebih tempat kontrol anatomis dan efek tersebut terjadi dengan mempengaruhi mekanisme normal regulasi TD. Pengobatan Farmakologis 1. Diuretik 2. Penyekat Reseptor Beta Adrenergik ( β-Blocker ) 3. Penghambat Angiotensin Converting Enzyme (ACE-Inhibitor) 4. Penghambat Reseptor Angiotensin 5. Antagonis Kalsium
b. Saran Agar kiranya makalah ini digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan ilmu, terutama tentang obat antihipertensi. Dan Penulis memerlukan kritik yang bersifat membangun untuk memperbaiki makalah ini atau makalah yang selanjutnya. Karena makalah ini masih jauh dari kata sempurna.
Daftar Rujukan
Kalim H, Santoso K, dan Sunarya S. 1996. Pedoman Tatalaksana Dislipidemia dalam Penanggulangan Penyakit Jantung Koroner . Jakarta : Persatuan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia. Kalim H. 2000. “Aspect of Hypertension on Left Ventrcle Hyperthtopy and Cardiovascular Disease”. Di dalam : Simposium Hypertension therapy bt the Year. Jakarta. Kusmana, Dede. 1997. Olahraga Bagi Kesehatan Jantung . Jakarta : FK UI. Lumbantobing, SM. 1998. Stroke. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia. Mawi M. 2000. Hipertensi : Patogenesis, Patofisiologi, dan Komplikasi . Jakarta : Majalah Widya . No. 177 tahun XVII http://lpmpntb.org/serba_serbi.php?/33/HUBUNGAN_LATIHAN_OLAHRAGA_DAN_HIPERTE NSI http://id.wikipedia.org/wiki/Tekanan_darah_tinggi