24
ETIOLOGI PENYAKIT PERIODONTAL
(Etiology Of Periodontal Disease)
Etiologi atau factor penyebab dari penyakit periodontal dibagi menjadi dua yaitu factor local dan sistemik. Factor local meliputi plak dan faktor-faktor yang mempermudah terjadinya akumulasi plak, sedangkan factor sistemik meliputi kondisi kesehatan yang ikut mempengaruhi timbulnya kelainan atau penyakit didaerah jaringan periodontal.
Faktor Lokal : Mikrobiologi jaringan Periodontal
Plak gigi (Dental plaque) dan Biofilm
Adanya kolonisasi bakteri didalam rongga mulut telah dimulai sejak saat mendekati waktu kelahiran seorang bayi. Kurang dari sejam setelah kelahiran, rongga mulut yang steril akan berisi kolonisasi oleh beberapa bakteri dalam jumlah sedikit terutama bakteri fakultatif dan aerob, selanjutnya pada hari kedua diikuti adanya kemunculan bakteri anaerob pada bagian edentulous bayi. Kolonisasi bakteri-bakteri ini kemudian saling bergabung satu sama lain dalam lapisan yang disebut dengan biofilm.1
Biofilm adalah sebuah kompleks, kumpulan dan ikatan tiga dimensi dari bakteri. Biofilm bakteri banyak ditemukan di berbagai tempat di dalam tubuh manusia. Biofilm bakteri sering menjadi penyebab dari infeksi yang persisten dan dihubungkan dengan penyakit osteomyelitis, pneumonia dan prostatitis.2 Di dalam mulut, biofilm bakteri dapat ditemukan di permukaan gigi, piranti protesa dan membrane mukosa. Biofilm yang terbentuk di plak supraginggiva dan subginggiva adalah agen penyebab dari karies gigi dan penyakit periodontal kronis seperti gingivitis dan periodontitis yang kemudian disebut plak gigi (dental plaque) (Gambar 1).3-7
Gambar 1
Patogenitas dari Plak gigi biofilm disebabkan didalam biofilm terdapat komponen bakteri yang dapat meningkatkan resistensi terhadap antibiotic dan bahan kemoterapeutik lainnya dan menurunkan kemampuan fagositosis dari sel inflamasi host.
Fase Pembentukan Biofilm
Terdapat 2 teori mengenai proses karakteristik plak gigi yang kemudian menyebabkan inisiasi dan progesifitas penyakit periodontal. Loesche, 1976 8 membuat dua hipotesis yaitu hipotesis non spesifik plak dan spesifik plak.
Pada hipotesis plak non spesifik menyatakan bahwa pada keseluruhan komunitas mikroba di dalam plak yang berakumulasi pada permukaaan gigi dan di crevicular gingiva berkontribusi untuk perkembangan periodontal disease. Bakteri Plak menghasilkan factor virulensi dan produk yang merusak yang menginisiasi proses inflamasi, sebagai respon pertahanan tubuh dan menyebabkan kerusakan pada jaringan periodontal. Berdasarkan teori ini, kuantitas dari plak (quantify of plaque) menjadi penentu faktor kritis dalam perkembangan penyakit periodontal. Peningkatan jumlah plak (quantity) berlawanan dengan hipotesis plak spesifik yang menekankan pada quality of plaque yaitu mikroorganisme pathogen spesifik yang ditemukan di dalam plak, yang diketahui menjadi penyebab utama yang mengiduksi perkembangan dan keparahan penyakit. 9,10
Beberapa penelitian tentang etiologi mikroba pada berbagai jenis periodontitis menunjang teori plak spesifik yang menunjukkan bahwa hanya mikroorganisme tertentu didalam kompleks plak yang bersifat pathogen. Meskipun ada ratusan spesies mikroorganisme di dalam periodontal poket, tetapi hanya kurang dari 20 saja yang secar rutin ditemukan peningkatan proporsinya pada penyakit periodontal. Spesief bakteri yang virulen tersebut mengkativasi sistem imun host dan respon inflamasi yang dapat menyebabkan keruskan alveolar bone dan jaringan periodontal. 8,10,11
Socransky dan temannya5,12 menemukan bahwa pada pembentukan awal dari plak bakteri didominasi oleh bakteri gram positif dan jika plak tersebut tidak dibersihkan hingga mengalami proses maturasi akan menjadi lebih kompleks dan di didominasi oleh flora gram negatif. Penemuan ini membagi kelompok mikrobiota sub gingiva atau kompleksnya berdasarkan hubungannya dengan kesehatan dan keparahan penyakit (Gambar 2).
Pemberian warna digunakan untuk menandai hubungan antara komplek bakteri dengan infeksi periodontal. Komplek biru, kuning, hijau dan ungu memnandakan koloni awal yang merupakan flora sub gingiva. Sedangkan kompleks orange dan merah menunjukkan koloni akhir yang berhubungan dengan mature subginggival plaque. Komplek bakteri tertentu berhubungan dengan kesehatan dan penyakit. 12,13 Sebagai contoh pada bakteri di kompleks berwarna merah berhubungan dengan indicator klinis dari periodontal disease seperti poket periodontal dan clinical attachment loss (CAL).
Gambar 2
Biofilm dibentuk oleh kumpulan bakteri sebagai organisasi yang dapat memaksimalkan energi, pemakaian ruang bersama, komunikasi, dan keberlangsungan komunitas dari mikroorganisme tersebut. Biofilm melindungi bakteri yang hidup didalamnya dengan struktur mereka yang berupa subtansi matriks polimerik ekstraseluler (matrix of extracellular polymeric substances/EPS) yang terdiri dari polisakarida, protein dan asam nukleat.1 Matrik ektraseluler yang tipis ini melindungi dari lingkungan luar termasuk dari bahan kemoterapeutik. Agen kemoterapeutik menjadi lebih sulit penetrasi menembus dinding polisakarida untuk membunuh mikroorganisme.2,13-15 Sehingga matriks tersebut membantu melindungi bakteri di dalam biofilm dari antibiotik dan antiseptik, meningkatkan pertahanan koloni. Matriks ini juga membantu bakteri untuk salin terikat satu sama lain, sehingga mereka tidak terlepas akibat proses self cleansing saliva dan cairan gingival crevicular. Pembersihan Mekanis termasuk dengan penggunaan sikat gigi, interdental cleaning, dan prosedur scalling oleh dokter gigi sangat perlu dilakukan secara rutin karena secara efektif dapat menghilagkan bofilm plak tersebut. Antiseptic seperti pada obat kumur, dapat membantu mengontrol pembentukan biofilm tetapi formulanya harus dapat melakukan penetrasi ke dalam matriks plak dan memudahkan akses mengenai bakteri pathogen.
Saluran (channel) antara koloni yang satu dengan koloni yang lain digunakan untuk proses sirkulasi dari nutrisi dan pemakaian produk serta pembuangan sisa metabolisme.16-17 Juga terjadi proses interaksi metabolisme antar bakteri yang berbeda yaitu adanya saling keterkatan produk metabolisms substrak sehingga terbentuk rangkaian pemakaian energi yang efektif, contoh proses interaksi metabolism dapat dilihat pada gambar 3. 1
Gambar 3
Bakteri didalam biofilm berkomunikasi satu sama lain dengan proses yang disebut quorum sensing. Sistem komunikasi ini memungkinkan bakteri memonitor keberadaan masing-masing dan untuk memodulasi ekspresi gen dalam respon terhadap jumlah bakteri diarea di dalam biofilm.10
Tahap Pembentukan Biofilm
Pertumbuhan dan perkembangan dari biofilm dibagi menjadi 3 tahap yaitu :
Initial adherence and Lag Phase
Fase pertama dari pembentukan biofilm supraginggiva adalah deposit komponen saliva yang diketahui sebagai acquired pellicle pada permukaan gigi. Pelikel ini membuat permukaan gigi mudah dilekati oleh koloni spesifik bakteri. Kelejar saliva menghasilkan beberapa protein dan peptide yang kemudian berkontribusi terhadap pembentukan biofilm. Sebagai contoh, mucin saliva seperti MUC5B dan MUC7 berkontribusi dalam pembentukan acquired pellicle 18-19 . Pembentukan Acquired pellicle terjadi beberapa menit setelah pembersihan gigi, kemudian kurang dari satu jam, mikroorganisme melekat pada pelikel, khususnya bakteri gram positif coccus sebagai mikroorganisme pertama yang membentuk koloni. Kemudian bakteri memasuki tahap persiapan memasuki lag phase dimana bakteri melakukan pergantian ekspresi gen dikarena perubahan pola hidup dari bebas sebagai planktonic menjadi hidup menetap dan berkoloni.
Rapid Growth
Selama fase percepatan pertumbuhan bakteri yang melekat mensekresi sejumlah besar ekstraseluler water-insoluble polisakarida untuk membentuk matriks biofilm. Pertumbuhan mikrokoloni bersama dengan matriks terjadi. Selama waktu berjalan, terjadi penambahan jumlah varietas bakteri yang melekat pada koloni awal yang proses ini disebut dengan coaggregation dan kompleksitas bakteri dari biofilm bertambah. Proses ini menggunakan interaksi selektif molekul yang membentuk struktur stratifikasi didalam biofilm. Coaggregation dan subsequent divisi sel juga menambah ketebalan dari biofilm tersebutdapat dilihat pada gambar 4.20-22
Gambar 4
Steady State/Detachment
Selama Fase steady state ini, bakteri yang terletak di bagian dasar biofilm memperlambat pertumbuhannya dan menjadi statis. Bakteri yang berada didalam biofilm menunjukan tanda kematian dintunjukkan dengan sel bakteri yang mengalami disrupted dan other cells devoid of sitoplasma. Bakteri yang dekat permukaan remain intact. Selama fase ini, ditemukan adanya Kristal didalam matriks antar bakteri yang menunjukkan proses awal mineralisasi kalkulus.23 Selama fase ini terjadi pelepasan dan perjalanan bakteri untuk melakukan perlekatan kembali dipermukaan lainnya kemudian membentuk koloni biofilm yang baru.
Patogenesis Penyakit Periodontal
Biofilm dan Penyakit Periodontal
Sebuah Penelitian dilakukan pada 13000 sampel plak gigi dari 185 pasien dengan range kondisi dari sehat sampai mengalami penyakit periodontal untuk melihat kolonisasi mikrobial.5,24 Berdasarkan penelitian tersebut menyatakan bahwa sejumlah kompleks bakteri berhubungan erat dengan tahapan dari inisisasi penyakit dan keparahannya. Spesies bakteri yang ada pada komplek warna kuning, hijau, dan ungu menunjukkan membentuk koloni di daerah sulkus sub gingiva awalnya dan dominan ditemukan pada ginggiva sehat. Sebaliknya, komplek bakteri orange berhubungan dengan gingivitis dan gingival bleeding. Selain itu diketahui bahwa bakteri pada kompleks orange kemungkian berhubungan dengan microorganism pada kompleks merah termasuk Porphyromonas gingivalis, Tannerella forsynthesis dan Treponema denticola, yaitu organisme yang banyak ditemukan pada penyakit periodontal tingkat advance.5,25
Saat biofilm mengalami maturasi dan proliferasi, komponen yang idhasilkan bakteri pathogen penetrasikedalam sulcular epithelium. Komponen ini kemudian menstimulasi host cell untuk memproduksi mediator kimia/sitokin yang berhubungan dengan proses inflamasi (gambar 5)25
Gambar 5
Interleukin-1 beta(IL-1β), prostaglandin, tumor necrosis factor (TNF-α) dan matrix metalloproteinase adalah mediator yang membawa neutrophil menuju area infeksi secara kemotaksis dan menyebabkan peningkatan permeabiitas dari pembuluh kapiler gingiva, kemudian diikuti migrasi protein plasma dari pembuluh darah menuju ke jaringan
Selama proses inflamasi gingiva berlangsung, mediator lainnya dihasilkan berikut sel-sel inflamasi lainnya seperti neutrophil, T cell, monosit ke area infeksi
Sitokin proinflamatory dihasilkan oleh jaringan sebagai respon terhadap proses inflamasi yang kronis dan protein ini yang kemudian meningkatkan respon inflamasi local dan menyebabkan inisiasi dan progesif dari inflamasi sistemik dan penyakit
Akibat dari inflamasi kronis adalah rusaknya jaringan kolagen pada gingiva dan akumulasi produk inflamasi yang menyebabkan munculnya tanda klinis gingivitis. Pada beberapa individu, prses inflamasi juga berakibat pada rusaknya jaringan kolagen pada ligament periodontal dan resorbsi tulang alveolar. Pada tahap ini gingivitis telah berkembang menjadi periodontitis. Sehingga mengontrol plak biofilm pada gigi sangat penting untuk mencegah dan mengembalikan kondisi gingivitis ke keadaan sehat serta mencegah dan untuk manajemen perawtan periodontitis.
Kalkulus dan Faktor predisposisi Lokal 1
Kalkulus
Kalkulus terdiri dari plak bakteri yang termineralisasi yang terbentuk pada permukaan gigi secara alami dan pada protesa. Kalkulus dibagi menjadi: Kalkulus Supragingiva dan Kalkulus Subgingiva.
Kalkulus Supragingival berlokasi di margin gingiva dan terlihat dari kavitas mulut. Berwarna: putih atau putih kekuningan. Keras seperti konsistensi tanah liat (claylike). Mudah terlepas dari permukaan gigi. Setelah dihilangkan, cepat ada lagi, terutama di daerah lingual atau insisif mandibular. Warna dapat dipengaruhi kontak rokok dan warna makanan. Lokasi pada satu gigi atau beberapa gigi, atau keseluruhan mulut. Sedangkan Kalkulus Subgingiva berlokasi di bawah puncak margin gingiva, tidak terlihat pada pemeriksaan klinis rutin. Keras dan padat, warna coklat gelap atau hijau kehitaman dan melekat erat pada permukaan gigi. Lokasi dan luasnya kalkulus subgingival dapat dievaluasi oleh persepsi taktil dengan instrumen dental seperti expoler misalnya WHO 621 probe untuk mendeteksi dan menskor kalkulus subgingival.
Ketika jaringan gingiva resesi, kalkulus subgingiva menjadi terlihat dan karena itu direklasifikasi mjd supragingiva. Kalkulus supragingiva dapat terdiri dari kalkulus supragingiva dan yang sebelumnya kalkulus sub gingival. Penurunan inflamasi gingiva dan pengurangan kedalaman probing dapat diamati setelah menghilangkan plak subgingiva dan kalkulus.
Prevalensi Kalkulus
Anerud, dkk. Selama 15 tahun, meneliti Status periodontal buruh teh Sri Lanka dibandingkan Kelompok akademisi Norwegia. Pembentukan kalkulus supragingiva diamati sejak gigi erupsi hasilnya pada Buruh teh Sri Lanka, daerah pertama yang menunjukkan deposit kalkulus adalah aspek facial molar maxila dan permukaan lingual insisif mandibula. Deposisi kalkulus supragingiva berlanjut terus, mencapai nilai kalkulus maksimal di usia 25-30 tahun. Sebagian besar gigi tertutup kalkulus, permukaan facial memiliki kalkulus kurang dari permukaan lingual atau palatal. Akumulasi kalkulus simetris. Kalkulus subgingiva muncul pertama kali secara mandiri atau pada daerah proksimal di mana kalkulus subgingiva sudah ada. Pada Kelompok Akademisi Norwegia dimana kelompok ini menerima instruksi Oral Higiene dan akses perawatan gigi preventif terjadi pengurangan tanda akumulasi kalkulus dibandingkan kelompok Sri Lanka.
Gambaran Radiografi Kalkulus
Kalkulus Supra dan Sub gingiva dapat dilihat secara radiografi. Deposit Kalkulus Interproksimal yang 'Highly calcified' mudah terdeteksi sebagai proyeksi radiopak yang menonjol ke dalam ruang interdental. Tingkat sensitivitas untuk mendeteksi kalkulus oleh radiografi tidak konsisten. Lokasi kalkulus tidak menunjukkan bagian bawah saku periodontal karena plak yang paling apikal tidak cukup kalsifikasi terlihat pada radiografi.
Komposisi Kalkulus
Terdiri dari bahan Inorganic Content sebanyak 70-90% dan sisanya bahan organik. Bahan Inorganik terdiri dari 76% calcium phosphate Ca3(PO4)2, 3% calcium carbonate CaCO3, magnesium phoshate Mg3(PO4)2. Komponen penting inorganik berupa calcium, phosphorus, carbondioxide, magnesium dan sedikit sodium, zinc, strontium, bromine, copper, manganese, tungsten, gold, aluminium, silicon, iron, fluorine. Dua pertiga komponen inorganic merupakan struktur kristalin berupa Hydroxyapatite, Octacalcium phosphate, Brushite (pada kalkulus mandibular anterior) dan Magnesium whitlockite (pada kalkulus di posterior). Bahan Organik terdiri dari campuran protein-polisakarida kompleks, sel-sel epitel desquamated, leukosit, dan berbagai jenis mikroorganisme. Pada Kalkulus subgingiva komposisi kalsium fosfat meningkat dan sodium meningkat bersamaan dengan kedalaman poket. Sedangkan pada Kalkulus supragingiva komposisi didominasi oleh protein pada saliva.
Perlekatan Kalkulus pada Permukaan Gigi
Perbedaan cara kalkulus melekat pada permukaan gigi mempengaruhi relatif mudah atau sulitnya dalam membersihkan:
1. Perlekatan melalui suatu pelikel organic
2. Penguncian mekanik menjadi permukaan irregular misalnya resorpsi lakuna dan lesi karies
3. Adaptasi tertutup calculus undersurface
4. Penetrasi bakteri kalkulus ke sementum
Pembentukan Kalkulus
Kalkulus merupakan plak gigi yang termineralisasi. Plak lunak mengeras oleh pengendapan garam mineral, dimulai antara hari ke-1 sampai dengan hari ke-14 pembentukan plak. Kalsifikasi terjadi dalam waktu 4-8 jam. Plak terkalsifikasi menjadi 50% mineral selama 2 hari dan 60-90% mineral di 12 hari. Semua plak tidak selalu mengalami kalsifikasi. Plak awal mengandung sejumlah kecil bahan anorganik, yang meningkat jika plak berkembang mnjadi kalkulus. Plak yang tidak berkembang menjadi kalkulus mencapai kandungan mineral maksimal dalam 2 hari.
Sumber mineralisasi kalkulus berasal dari Saliva untuk kalkulus supragingiva dan transudat serum yang disebut cairan sulkus gingiva untuk kalkulus subgingival. Konsentrasi kalsium pada plak adalah 2-20 kali dibanding pada saliva. Plak awal pembentuk kalkulus berat mengandung lebih banyak kalsium, 3x lebih banyak fosfor, kalium kurang (dibanding pembentuk non kalkulus), sehingga dapat disimpulkan peranan fosfor penting dalam mineralisasi plak. Kalsifikasi mengikat ion kalsium ke kompleks karbohidrat-protein dari matriks organik dan pengendapan garam kristal kalsium fosfat. Dimulai pada bagian yang berdekatan dengan permukaan gigi disertai perubahan kandungan bakteri dan kualitas pewarnaan dari plak, jumlah bakteri filamen meningkat dan berubah dari basophilic ke eosinophilic.
Klasifikasi kalkulus berdasarkan pembentuk kalkulus: Heavy calculus formers, Moderate calculus formers, Slight calculus formers, Noncalculus formers. Inisiasi kalsifikasi dan tingkat akumulasi kalkulus bervariasi antar individu, antar gigi pada gigi yang sama, dan pada waktu yang beda pada orang yang sama. Waktu yang diperlukan untuk mencapai tingkat maksimal pembentukkan calculus antara 10 minggu sampai dengan 6 bulan.
Teori tentang Mineralisasi Kalkulus
Hasil presipitasi mineral dari kenaikan tingkat kejenuhan ion kalsium dan fosfat, dapat terjadi dalam beberapa cara berikut:
Kenaikan pH saliva menyebabkan pengendapan garam kalsium fosfat dengan menurunkan konstanta presipitasi.
Protein koloid dalam saliva mengikat ion kalsium dan fosfat dan mempertahankan solusi jenuh yang bhubungan dengan garam kalsium fosfat.
Fosfatase dibebaskan dari plak gigi, sel epitel desquamated, atau bakteri endapan kalsium fosfat dengan menghidrolisis fosfat organik dalam saliva liur, sehingga meningkatkan konsentrasi ion fosfat bebas.
Epitactic concept/ heterogenous nucleation:
Seeding Agen menginduksi sedikit kalsifikasi yang akan membesar dan menyatu untuk membentuk massa kalsifikasi.
Seeding agen pada pembentukkan kalkulus tidak diketahui, tetapi diduga bahwa matriks interseluler plak yang berperan aktif.
Kompleks karbohidrat-protein dapat memulai kalsifikasi dengan menghilangkan kalsium dari saliva (chelation) dan mengikat karbohidrat-protein membentuk inti menyebabkan pengendapan mineral.
Peran Mikroorganisme dalam Mineralisasi Kalkulus
Dimulai pada ekstraseluler organisme gram positif dan gram negatif, tetapi mungkin juga intraseluler. Organisme filamen, Dipteroid, Bacterionema dan Veillonella spesies punya kemampuan membentuk kristal apatit intraseluler. Mineralisasi menyebar sampai matriks dan akhirnya bakteri terkalsifikasi. Bakteri Plak berperan dalam mineralisasi kalkulus dengan membentuk fosfatase, yang mengubah pH plak dan menyebabkan mineralisasi.
Faktor Iatrogenik
Faktor Iatrogenik yaitu faktor yang disebabkan oleh prosedur dental yang inadequate yang berkontribusi terhadap kesehatan dan penurunan (resesi) jaringan periodontal. Prosedur dental meliputi pembuatan restorasi atau pemakaian denture pada gigi. Hal-hal yang harus diperhatikan untuk memelihara kesehatan jaringan periodontal pada saat pembuatan atau pemasangan restorasi gigi dan removable partial denture antara lain :
Lokasi ginggival margin restorasi
Space diantara margin restorasi dan unprepared tooth
Kontur restorasi
Oklusi
Bahan Material restorasi
Prosedur restorasi dan
Desain removable partial denture
Margin Restorasi
Overhanging pada margin dari dental restorations berpengaruh terhadap Periodontal disease dengan cara mengubah keseimbangan ekologi gingival sulcus menjadi area yang baik untuk pertumbuhan organisme infeksius (predominately gram-negative anaerobic species) dan menekan pertumbuhan bakteri normal (predominately gram-positive facultative species) juga menyulitkan pasien utk membersihkan akumulasi plak di daerah tersebut.
Frekuensi terjadinya kasus Over hanging pada daerah margin dan proksimal restorasi dibeberapa studi disebutkan sebesar 16.5% hingga 75%. Pada penelitian lainnya diketahui adanya hubungan signifikan bermakna yang tinggi antara defek marginal dengan penurunan ketinggian tulang alveolar. Dan diketahui dengan menghilangkan bagian yang overhanging dapat membantu effective control of plaque sehingga mengurangi gingival inflammation dan terjad sedikit peningkatan pada tulang alveolar ditunjukkan secara radiografi.
Lokasi peletakan dari margin restorasi juga mempengaruhi status kesehatan dari jaringan periodontal disekitarnya. Misalnya dari hasil studi menunjukkan bahwa ada korelasi positif antara batas restorasi yang terletak di area margin sub ginggiva dengan keberadaan inflamasi gingiva. Hal ini dikarenakan area Subgingival margins berhubungan dengan akumulasi plak yang banyak, sehingga lebih sering terjadi severe gingivitis, dan pocket yang dalam. Meskipun telah menggunakan restorasi dengan kualitas yang terbaik sekalipun, jika diletakkan di sub ginggiva akan meningkatkan akumulasi plak, gingival inflammation, dan peningkatan dari gingival fluid flow. Namun jika batas restorasi diletakkan di gingival crest akan mengurangi keparahan dari inflamasi.
Selain lokasi, kekasaran permukaan dari restorasi di area sub gingiva juga menjadi faktor yang berkontribusi bagi perlekatan dan akumulasi plak yang kemudian berakibat pada ginggival inflammation. Adapun penyebabnya di zona subginggival ini yang terdiri dari area batas restorasi, area bahan luting, dan area bagian gigi yang dipreparasi serta area bagian sehat gigi akan terbentuk celah (gap) antar area tersebut sehingga membuat area gigi menjadi terbuka dan kasar lalu mudah terjadi perlekatan dan akumulasi plak. Kekasaran juga dapat disebabkan oleh adanya goresan (Scratches) di permukaan resin akrilik, porcelain, atau gold restorations. Kemudian gap dan Scratches tersebut menjadi tempat kolonisasi bakteri plak dan menganggu subgingival environment.
Kontur Restorasi atau Kontak terbuka
Restorasi dan crown yang dibuat Overkontur akan menyebabkan akumulasi plak sehingga mempersulit Selfcleaning mechanisms dari pipi, bibir dan lidah (Gambar 6). Selain itu, hal-hal yang mepengaruhi dari kontur :
Restorasi yang celah interproximalnya Embrasure tidak Tepat bisa menyebabkan Akumulasi Plak sehigga menyebabkan Papillary inflammation.
Pada Kontur Area oklusal (marginal ridge serta grooves) maupun cervico oklusal (diameter mesio distal) yang benar akan membuat makanan yang dikunyah meluncur menjauhi daerah interproksimal dan mencegah terjadinya food impaction. Food impaction adalah makanan yang terjepit di daerah periodontium karna adanya tekanan oklusal pegunyahan. Plunger Cusp yang menyebabkan tekanan sehingga makanan dapat terkumpul didaerah interproximal embrasures disebut.
Kontak proximal dapat mempengaruhi impaksi makanan, kontak antar gigi yg terbuka akan memudahkan terjepitnya makanan saat pengunyahan.
Gambar 6
Menurut Hirschfeld , faktor penyebab impaksi makanan , yaitu:
Uneven occlusal wear (marginal ridge ),
Titik kontak yg terbuka sbg akibat adanya loss of proximal support atau akibat extrusion,
Abnormalitas morfologi gigi akibat kongenital,
Dan kontruksi restorasi yang tidak tepat
Open contact dan adanya food impaction dalam beberapa penelitian berhubungan dengan depth probing poket dan loss of clinical attachment (CAL). Selain Open contact, Excessive anterior overbite dapat Menyebabkan food impaction dibagian permukaan lingual anterior maxilla dan permukaan fasial Mandibula antagonisnya.
Bahan Material
Bahan yang sering menimbulkan iritasi pada jaringan periodontal adalah self-curing acrylics. Semua bahan restorasi mempunyai kemampuan untuk menyebabkan penumpukan plak. Tekstur permukaan dari restorasi mempengaruhi perlekatan plak, karenanya permukaannya harus dipulas dan mudah untuk dibersihkan. Pada area dibawah bagian pontik dr fixed bridges seharusnya dibuat tidak menyentuh mukosa . Sehingga akses oral hygiene lebih mudah dan tidak terhalang oleh kontak pontik dg jaringan. Karena mungkin kontak Pontik dapat menyebabkan akumulasi plak yg menginisiasi gingival inflammation dan pembentukan pseudopockets.
Design of Removable Partial Dentures
Hasil Penelitian setelah insersi partial dentures terjadi Peningkatan mobilitas dari abutment teeth, gingival inflammation, dan pembentukan periodontal pocket. Ini dikarenakan adanya accumulation of plaque, terutama jika menutup jaringan gingiva. Partial dentures yang dipakai terus menerus seharian dan semalaman menginduksi pembentukan plak lebih banyak. Sangat penting untuk memberikan instruksi oral hygiene yang benar dari pemakaian partial denture. Removable partial dentures bukan hanya mengiduksi plak secara kuantitatif tetapi juga terjadi perubahan kualitatif, yaitu terjadi peningkatan mikro organisme patogen spirochetal
Restorative Dentistry Procedures
Penggunakan rubber dam clamps, matrix bands, dan bur yg tidak hati-hati dapat menyebabkan laserasi atau perlukaan pd ginggiva menyebabkan mechanical trauma dan inflammation. Meski akan mengalami penyembuhan namun tetap ada rasa tidak nyaman pada pasien. Gingival Retraction yang terlalu kuat menekan ke dalam sulcus (membentuk subgingival margins pada gigi untuk prosedur pencetakkan) dapat menyebabkan mechanically injure dari jaringan periodontium. Selanjutnya memungkinkan terbentuknya impacted debris sehingga merangsang reaksi pertahanan tubuh terhadap benda asing.
Maloklusi
Letak gigi yang Irregular seperti pada maloklusi membuat plaque control menjadi Lebih sulit. Selain itu maloklusi yang mempengaruhi kesehatan jaringan periodontal antara lain maloklusi karena kebiasaan tongue thrusting, traumatic Occlussion, dan anterior open bite.
Tongue thrusting menyebabkan tekanan lateral yang kuat pada gigi anterior yang menyebabkan pergerakan dan tilting gigi anterior. Tongue thrusting adalah faktor penting yg berkontribusi pada tjdnya tooth migration dan anterior open bite (gambar 7)
Frekuensi kejadian timbulnya Marginal and papillary gingivitis pada maxillary anterior sextant dalam kasus yg melibatkan anterior open bite dengan mouth breathing.
Restorasi yang tidak nyaman didaerah oklusal dapat menyebabkan occlusal disharmonies (occlusal discrepancies) injury pada jaringan pendukung periodontium. Penampakan histologik pada periodontium dengan traumatic occlusion: Pelebaran subcrestal ligamen periodontal space, penurunan jumlah collagen pada serat oblique and horizontals, peningkatan vaskularisasi dan infiltrasi leukosit, and peningkatan jumlah sel of osteoclasts pada dinding alveolar bone. Namun proses ini berbeda dan terpisah dg proses inflamasi akibat invasi bakteri yg terjadi didasar sulcus.
Gambar 7
Periodontal Complications Associated with Orthodontic Therapy
Terapi Orthodontik dapat berpengaruh pada periodontium melalui :
Plaque retention,
Karena secara langsung dapat Melukai gingiva sebagai akibat dari overextended bands,
Memberikam excessive forces, unfavorable forces, atau keduanya pada gigi dan jaringan struktur pendukung.
Plaque Retention and Composition
Orthodontic appliances dapat menyebabkan retensi bacterial plaque dan food debris dan akhirnya menjadi gingivitis karena adanya gangguan pada gingival ecosystem. Terjadi Peningkatan Prevotella melaninogenica, Prevotella intermedia, dan Actinomyces odontolyticus di gingival sulcus setelah pemasangan orthodontic bands. Data terbaru menyebutkan, Aggregatibacter actinomycetemcomitans telah ditemukan di 85% anak-anak yang menggunakan orthodontic appliances. Sebaliknya, hanya 15% dari subyek kontrol yang positif ditemukan A. actinomycetemcomitans dlm mulutnya
Gingival Trauma and Alveolar Bone Height
Orthodontic treatment seringkali dimulai sesegra setalah gigi permanent erupsi , disaat junctional epithelium masih melekat pada permukaan enamel. Orthodontic bands seharusnya tidak diletakkan menekan antara level of attachment karena itu akan menghambat perlekatan gingiva pada gigi dan nantinya menyebabkan apical proliferation dari junctional epithelium dan meningkatkan insidens gingival recession. Nilai rata-rata alveolar bone loss per patient dari remaja yg melakukan 2 tahun perawatan orthodontic(observasi selama jangka waktu 5 tahun ) berkisar antara 0.1 - 0.5 mm. Sedangkan derajat bone loss pada org dewasa mungkin lbh tinggi dibandingkan dg remaja khususnya jika kondisi periodontal tidak dirawat sebelum memulai orthodontic therapy. Sehingga orthodontic treatment seharusnya tidak dilakukan pada pasien dengan uncontrolled periodontal disease.
Tissue Response to Orthodontic Forces
Pergerakan gigi akibat Orthodontic therapy memungkinkan karena jaringan periodontal bersifat responsif terhadap pemberan tekanan eksternal external. Alveolar bone diremodelling oleh osteoclasts yang mengiduksi tjdnya bone resorption di area yg mengalami tekanan (pressure) dan pembentukan oleh osteoblast di areas yang mengalami tarikan (tension). Meskipun tekanan moderate orthodontic secara umum dapat menyebabkan bone remodeling and repair, tekanan yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya necrosis pada periodontal ligament dan adjacent alveolar bone. Tekanan ortodontik yang berlebihan juga dapat meningkatkan resiko resorbsi dari bagian apikal akar.
Prevalensi dari severe root resorption, dengan resorption lbh dr sepertiga panjang akar, selama orthodontic therapy pada remaja menunjukkan sebesar 3%. Insidenss dari moderate hingga severe root resorption untuk gigi incissive pd orang dewasa antara usia 20 - 45 thn dilaporkan sebesar 2% pretreatment dan 24.5% posttreatment. Faktor resiko yang berhubungan dg root resorption selama orthodontic treatment meliputi: duration of treatment, magnitude of the force applied, direction of the tooth movement, dan continuous versus intermittent application of forces.
Sangat penting untuk mencegah excessive force dan atau terlalu cepat melakukan pergerakan gigi dalam orthodontic treatment. Penggunaan elastik untuk menutup diastema dapat menyebabkan severe attachment loss dg kemungkinan tooth loss saat elastik menggerakan sepanjang daerah apikal akar. Penghilangan serat fibers dg surgical dikombinasikan dg perawtaan retensi dapat mengurangi insidens relapse setelah orthodontic treatment.
Pencabutan Gigi Impaksi Molar 3
Banyak studi klinis telah melaporkan bahwa pencabutan gigi M3 impaksi sering menyebabkan defek vertikal pada distal M2. Efek iatrogenik ini tidak berhubungan dengan desain flapnya, namun kejadiannya dikatakan lebih sering terjadi pada gigi molar tiga yang diekstraksi pada individu yang lebih tua dari 25 tahun. Faktor lain yang menyebabkan adanya defek tersebut adalah karena adanya plak, BOP/bleeding on probing, dan resorpsi akar pada area kontak antara M2 dan M3. Termasuk juga, adanya pelebaran folikel patologis pada inklinasi/kemiringan M3 dan posisinya diantara M3 dan M2 (gambar 1). Hal-hal demikian, akan memicu pembentukkan kalkulus, dimana terdapat tempat-tempat yang memadai untuk menumpuknya plak dan memungkinkan sulitnya pembersihannya. Oleh karenanya, dokter gigi sebaiknya mewaspadai jaringan periodontal pasien dengan paska pencabutan gigi impaksi molar 3, sehingga potensi pembentukan kalkulus menjadi dapat dicegah (usaha preventif).
Gambar 1
Gambaran radiografi panoramik yang memperlihatkan adanya pelebaran folikel diantara M3 dan M2
Potensi konsekuensi yang merugikan dari pencabutan gigi impaksi molar 3 adalah terjadinya paresthesia permanen (mati rasa bibir, lidah, dan pipi), dimana terjadi pada frekuensi sekitar 1:100.000 M3 yang dicabut di United States.
Kebiasaan Buruk yang menyebabkan Injuri
Pasien seringkali tidak menyadari kebiasaan buruk dirinya yang merugikan dan memungkinkan inisiasi dan perkembangan penyakit periodontal. Luka gingiva iatrogenik dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti: bahan-bahan kimia, fisik, dan berbagai sumber-sumber panas. Umumnya luka seperti dapat sembuh sendiri jika kebaisaan buruknya dapat dikendalikan atau dihilangkan. Injuri seperti ini bersifat akut.
Sumber bahan kimia yang menyebabkan iritasi diantaranya adalah aplikasi topikal obat-obaan seperti aspirin atau kokain, reaksi alergi terhadap pasta gigi, obat kumur dan permen karet, serta kebiasaan mengunyah tembakau. Bentuk trauma mekanik tersebut dapat berasal dari penyalahgunaan sikat gigi, tusuk gigi diantara sela-sela gigi, penerapan tekanan kuku terhadap gingiva (gambar 2), luka bakar, dan lain-lain.
Gambar 2
Resesi gingiva pada bagian atas gigi caninus oleh karena trauma pada pasien yang memiliki kebiasaan menggigit-gigit kuku
Penting sekali untuk mengetahui kebiasaan buruk oral pasien dapat memicu terjadinya iritasi pada jaringan periodontal, menginisiasi dan dapat pula mengembangkan terjadinya penyakit periodontal, guna tindakan preventif sehingga tidak memicu terjadinya penyakit periodontal
Trauma yang berkaitan dengan pemakaian Oral Jewelry/Perhiasan
Penggunaan piercing perhiasan di bibir atau lidah telah menjadi hal yang umum dilakukan baru-baru ini di kalangan remaja dan dewasa muda (gambar 3). Survei Whittle & Lamden selama 12 bulan, mengatakan bahwa sebanyak 62 dokter gigi menemukan bahwa 97% pasien mereka mengenakan perhiasan tindik di bibir dan lidah.
Gambar 3
Tindik lidah dengan perhiasan
Insidensi resesi lingual dengan pembentukan poket dan bukti radiografi adanya kehilangan tulang (gambar 4a dan 4b) pada pasien yang mengenakan lingual "barbells" selama 2 tahun atau lebih, memperlihatkan bahwa 50% dari subyek usianya rata-rata 22 tahun, yang merupakan usia yang masih relatif muda.
Gambar 4
resesi lingual dengan pembentukan poket (b) radiografi adanya kehilangan tulang
Dengan mengetahui tingginya penggunaan oral jewelry terutama di usia anak-anak ataupun remaja yang memiliki kecenderungan mencoba hal-hal baru, pasien-pasien seperti ini harus mendapatkan pengetahuan tentang risiko penggunaannya dan kemudian mereka dapat lebih menjaga kesehatan oral mereka dengan pembersihan khusus yang diajarkan oleh tenaga medis/dokter gigi. Dengan demikian usaha pencegahan terhadap terjadinya penyakit periodontal akibat penggunaan oral jewelry akan maksimal.
Trauma akibat Menyikat Gigi
Kegiatan menyikat gigi seyogyanya adalah usaha untuk menghilangkan plak yang terbentuk secara fisiologis, namun penggunaannya yang kurang tepat akan mengakibatkan trauma yang akan merusak atau menyebabkan injuri pada permukaan jaringan periodontal. Abrasi gingiva disertai perubahan dalam struktur gigi, mungkin diakibatkan dari menyikat gigi secara agresif, baik secara horizontal atau rotary/memutar. Efek merusak yang berlebihan dari menyikat gigi dengan sangat kuat/forcefull berhubungan pada penggunaan pasta gigi yang sangat abrasif.
Perubahan gingiva disebabkan oleh trauma menyikat gigi dapat bersifat akut ataupun kronis. Perubahan akut bervariasi dalam penampilan dan durasi dari permukaan epitel, misalnya terlihat denurasi jaringan ikat yang mendasari terbentuknya ulkus gingiva yang painful/menyakitkan (gambar 5).
Gambar 5
Hilangnya perlekatan permukaan gingiva dan terlihat adanya ulcer yang painfull pada jaringan yang terpapar
Pada trauma menyikat gigi yang akut, terlihat adanya eritema yang difus & denurasi attachment gingiva di seluruh mulut dimungkinkan hasil yang paling mencolok dari tindakan menyikat gigi yang terlalu bersemangat/terlalu kencang. Tanda-tanda abrasi gingiva akut sering terlihat pada pasien yang pertama kali menggunakan sikat gigi baru. Lesi puncture/tusuk dapat dihasilkan ketika tekanan berat diaplikasikan oleh bentuk bulu yang sejajar tegak lurus ke permukaan gingiva. Bulu sikat gigi yang masuk ke dalam gingiva juga dapat menyebabkan abses gingiva akut.
Sedangkan trauma menyikat gigi yang kronis akan memperlihatkan adanya resesi gingiva dengan rusaknya permukaan akar, kehilangan perlekatan interproksimal akibat bakteri periodontitis, serta kehilangan perlekatan bukal dan lingual yang disebabkan oleh karena abrasi sikat gigi. Penggunaan yang tidak benar dari benang gigi juga dapat menyebabkan laserasi dari papilla interdental.
Tindakan preventif untuk mencegah trauma tersebut diatas, diperlukan tindakan penyuluhan sebagai usaha promotif agar masyarakat dapat melakukan teknik sikat gigi dan penggunaan flossing yang tepat, sehingga kebersihan mulut terjaga tanpa mengakibatkan efek yang dapat merusak khususnya jaringan gingiva. Bukan hanya teknik menyikat gigi, namun pemilihan bulu sikat, jenis sikat gigi, dan pemilihan pasta gigi juga selayaknya menjadi perhatian dokter gigi untuk memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai hal ini.
Iritasi Bahan Kimia
Inflamasi gingiva akut mungkin disebabkan oleh iritasi kimia yang dihasilkan baik dari sensitivitas atau cedera jaringan spesifik. Keadaan ini terutama di negara-negara inflamasi-alergi, perubahan gingiva dapat berkisar dari eritema sederhana sampai pembentukan vesikel yang painful dan ulserasi. Reaksi berat namun tidak berbahaya untuk penggunaan obat kumur, pasta gigi, atau bahan gigi tiruan sering dijelaskan kaitannya dengan iritasi kimia ini. Inflamasi akut dengan ulserasi dapat dihasilkan oleh efek injuri non-spesifik dari bahan kimia pada jaringan gingiva. Penggunaan obat kumur yang sering, aplikasi topikal obat-obatan korosif seperti aspirin atau kokain, dan kontak tidak disengaja dengan obat-obatan seperti fenol atau silver nitrat merupakan contoh yang umum dari penggunaan bahan kimia yang dapat menyebabkan iritasi pada gingiva (chemical burn).
Gambar 6
Chemical burn pada jaringan gingiva dan resesi oleh karena obat aspirin
Secara histologis, luka bakar yang disebabkan oleh bahan kimia aspirin menunjukkan vakuola dengan eksudat serosa dan inflamasi yang mengalami inflitrasi ke jaringan ikat (gambar 7).
Gambar 7
Vakuola dengan eksudat serosa dan inflamasi yang mengalami inflitrasi ke jaringan ikat
Smokeless Tobacco
Terdapat 2 bentuk utama dari Smokeless tobacco, yaitu Snuff dan Chewing tobacco. Snuff merupakan bentuk potongan halus tembakau yang tersedia dalam kemasan kecil / dalam sachet, sedangkan chewing tobacco merupakan bentuk potongan yang lebih kasar dan tersedia dalam bentuk loose leaves, solid block, atau plug. Chewing tobacco/mengunyah tembakau biasanya ditempatkan di ruang depan bukal mandibula selama beberapa jam, dan selama itu air liur menjadi encer.
Para pemain bisbol profesional banyak yang melakukan mengunyah tembakau/ chewing tobacco (kandungannya: nikotin), mendapatkan benefit yang dirasakan yaitu meningkatkan kewaspadaan mental, waktu reaksi berkurang, relaksasi otot, dan mengurangi tingkat kecemasan. Survei yang dilakukan tahun 1990 mengemukakan bahwa dari 1109 orang pemain bisbol profesional di United States dilaporkan bahwa 39%-nya menggunakan smokeless tobacco dan 46% dari penggunanya tersebut menunjukkan adanya leukoplakia pada gingiva dan/atau mukosa (gambar 8a). Peningkatan kejadian resesi gingiva, abrasi seviks akar gigi, dan karies akar juga dilaporkan disebabkan oleh karena penggunaan smokeless tobacco (gambar 8b).
Gambar 8
Oral leukoplakia pada vestibulum (b) Leukoplakia, resesi dan kehilangan perlekatan gingiva
Gambaran histologis dari leukoplakia oral yang berhubungan dengan smokeless tobacco meliputi (1) pola chevronlike dari hiperkeratosis daerah yang terinflamasi dan (2) hiperplasia di lapisan basal sel (gambar 9).
Gambar 9
Gambaran histologis oral leukoplakia pada pengguna smokeless tobacco (A) Pola chevronlike dari hiperkeratosis daerah yang mengalami inflamasi (B) hiperplasia di lapisan basal sel
Terapi Radiasi
Terapi radiasi memiliki efek sitotoksik, baik pada sel normal dan sel ganas. Pengobatan radiasi membuat endarteritis obliteratif yang menghasilkan iskemia jaringan lunak dan fibrosis tulang menjadi hypovascular dan hypoxic. Efek merugikan dari terapi radiasi kepala dan leher termasuk dermatitis dan mukositis dari daerah yang diradiasi, serta fibrosis otot dan adanya trismus. Mukositis ini biasanya berkembang 5 - 7 hari setelah terapi radiasi dimulai. Beratnya kondisi mukositis ini dapat dikurangi dengan meminta pasien untuk menghindari sumber iritasi sekunder, seperti: merokok, alkohol, dan makanan pedas.
Produksi air liur mengalami gangguan secara permanen ketika kelenjar ludah yang terletak di dalam portal menerima radiasi sebesar 6000 cGy. Keadaan xerostomia ini menyebabkan akumulasi plak yang lebih besar dan mengurangi kapasitas buffer dari air liur. Penjagaan kebersihan mulut yang efektif, oral profilaksis oleh tenaga profesional, aplikasi fluoride, dan pemeriksaan gigi secara rutin sangat penting untuk mengontrol penyakit karies dan penyakit periodontal.
Kehilangan perlekatan periodontal dan kehilangan gigi terjadi lebih besar pada pasien kanker yang diobati dengan radiasi unilateral berdosis tinggi dibandingkan dengan sisi lainnya yang tidak terpancar radiasi. Pasien yang didiagnosis kanker mulut dan membutuhkan
terapi radiasi, idealnya harus dinilai kebutuhan perawatan gigi dan mulutnya sebelum memulai perawatan radiasi. Mukositis, xerostomia, restorasi yang menjadi rusak, lesi periapikal, karies koronal dan akar, dan status penyakit periodontal mungkin sekali terjadi pada penderita kanker yang mendapat perawatan radiasi. Pengobatan dan pencegahan trismus, infeksi jamur/fungi di rongga mulut, infeksi odontogenik, osteoradionekrosis, karies/decay, dan penyakit periodontal sangat penting untuk meminimalkan morbiditas oral untuk pasien ini.
Infeksi gigi dan jaringan periondontal sangat berpotensi dan berisiko menjadi parah/severe pada pasien dengan radiasi kepala dan leher, sehingga untuk meminimalisir risiko tersebut dapat dilakukan evaluasi status kesehatan oral, penyediaan dental care, dan pemberian jarak waktu untuk perbaikan jaringan sebelum dimulai lagi terapi radioterapinya.
Faktor Sistemik
Salah satu faktor yang mempengaruhi epidemiologi penyakit periodontal yaitu faktor sistemik, diantaranya adalah Diabetes mellitus (DM), Gangguan Kardiovaskular, Kehamilan (BBLR) dan Kebiasaan Merokok.
DIABETES MELLITUS (DM)
Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit yang diakibatkan oleh kekurangan insulin yang bersifat absolut dan relatif karena pengeluaran insulin yang rendah dari pankreas atau kurangnya reaksi jaringan perifer terhadap insulin. Diperkirakan bahwa pada tahun 2003, sekitar 194 juta orang menderita diabetes mellitus di seluruh dunia, yaitu mencapai 5,1% dari populasi dunia. Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat hingga 333 juta/6,3% dari populasi dunia tahun 2025 (International Diabetes Federation, 2003).
Salah satu komplikasi diabetes mellitus yang cukup serius di bidang kedokteran gigi adalah oral diabetik, yang meliputi mulut kering, gusi mudah berdarah (gingivitis), kalkulus, resorbsi tulang alveolaris, periodontitis dan lain sebagainya. Dari sekian banyak komplikasi yang terjadi, periodontitis merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada penderita diabetes mellitus dengan tingkat prevalensi yang tinggi hingga mencapai angka 75%. Hasil penelitian tingkat keparahan periodontitis pada 126 penderita diabetes mellitus pada tahun 2008 terdapat 8 orang (6,3%) yang menderita periodontitis reversibel dan 118 orang (93,7%) yang menderita periodontitis irreversibel. Menurut penelitian Hidayati Sri, Adin Mu'afiro, Joko Suwito (2008), penderita diabetes mellitus mempunyai kecenderungan untuk menderita periodontitis lebih besar dibandingkan dengan yang tidak menderita diabetes mellitus.
Pada penderita diabetes mellitus, dengan meningkatnya kadar glukosa dalam darah dan cairan gingival berarti juga merubah lingkungan mikroflora, menginduksi perubahan bakteri secara kualitatif. Sehingga perubahan tersebut mengarah pada penyakit periodontal yang berat, dan dapat teramati pada penderita diabetes melitus dengan kontrol buruk. Berkaitan dengan jaringan periodontal, hiperglikemia kronik penderita diabetes melitus akan meningkatkan aktivitas kolagenase, dan menurunkan sintesis kolagen. Enzim kolagenase menguraikan kolagen, sehingga ligament periodontal rusak, dan gigi menjadi goyah. Jaringan periodontal akan menjadi kuat kembali apabila diabetes melitus diobati dengan baik (Lingen MW, Kumar V, 2004).
Terdapat perubahan fungsi sel seperti neutrofil, monosit dan makrofag, pada orang dengan diabetes mellitus. Proses kemotaksis dan fagositosis neutrofil sering terganggu. Sel-sel ini merupakan garis pertama dari pertahanan tubuh, dan penghambatan fungsi dari sel-sel tersebut dapat mencegah penghancuran bakteri dalam poket periodontal, sehingga dapat meningkatkan kerusakan periodontal. Makrofag dan monosit sering menunjukkan peningkatan produksi sitokin proinflamasi dan mediator lain seperti faktor nekrosis tumor (TNF-a) dalam menanggapi bakteri periodontal yang dapat meningkatkan kerusakan jaringan tubuh. Peningkatan TNF-a ditemukan dalam cairan sulkus gingiva. Kontrol glikemik merupakan hal penting dari respons ini.
Perubahan dalam proses penyembuhan luka adalah masalah umum pada orang dengan diabetes. sel utama dalam periodonsium yaitu fibroblast tidak mampu berfungsi pada lingkungan dengan kadar gula yang tinggi, selain itu, kolagen yang diproduksi oleh fibroblas ini rentan terhadap kerusakan oleh enzim matriks metalloproteinase, produksi enzim ini meningkat pada orang diabetes. Proses penyembuhan luka pada jaringan periodontal berubah pada orang dengan hiperglikemia yang berkelanjutan, yang mengakibatkan meningkatnya bone loss dan kehilangan perlekatan jaringan periodontal. Salah satu karakteristik utama dari komplikasi diabetes adalah perubahan pada integritas mikrovaskuler. Orang dengan diabetes, terutama pada kontrol glikemik yang buruk terdapat peningkatan AGEs dalam jaringan, termasuk periodontium. AGEs adalah link utama diantara berbagai komplikasi diabetes, karena AGEs mendorong perubahan dalam sel dan komponen matriks ekstraseluler. Perubahan ini, termasuk perubahan pertumbuhan abnormal dari fungsi sel endotel dan proliferasi pembuluh darah kapiler, juga terjadi dalam periodonsium dari beberapa orang dengan diabetes. Akumulasi AGEs pada pasien dengan diabetes juga meningkatkan intensitas respon immunoinflammatory untuk patogen periodontal, karena sel-sel inflamasi seperti monosit dan makrofag memiliki reseptor untuk AGEs. Interaksi antara AGEs dan reseptor pada sel-sel inflamasi dalam peningkatan produksi proinflamatory sitokin seperti IL-1 dan TNF-a yang meningkat pada cairan sulkus gingival yang dapat dilihat pada subyek dengan diabetes dibandingkan dengan mereka yang tidak diabetes dan mungkin memberikan kontribusi terhadap peningkatan prevalensi dan tingkat keparahan penyakit periodontal yang ditemukan dalam berbagai penelitian pada populasi orang dengan diabetes.
Secara umum, hampir 85 % prevalensi DM adalah DM tipe 2. Pada DM tipe 2, penderita tidak mengalami kerusakan pada sel-sel penghasil insulin, hanya saja sel- sel tersebut tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. DM tipe 2 memiliki perhatian yang sangat signifikan pada kesehatan masyarakat. Penyakit periodontal telah diketahui secara tradisional semata-mata sebagai konsekuensi dari penyakit diabetes. Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa diabetes meningkatkan resiko alveolar bone loss dan attachment loss pada jaringan periodontal tiga kali lipat lebih besar dibandingkan dengan penderita non diabetes (Mealey B. L., Rethman M. P., 2003).
Periodontitis dapat menyebabkan inflamasi yang berlebihan dalam adiposit dengan meningkatnya TNF-α, IL-6, IL-1 memasuki sirkulasi sistem. TNF-α adalah sitokin utama yang bertanggung jawab untuk resistensi insulin yang mengalami induksi pada level reseptor. IL-6 penting dalam menstimulasi produksi TNF-α, karena itu peningkatan produksi IL-6 pada penderita diabetes mellitus tipe 2 akan menghasilkan level IL-6 dan TNF-α sirkulasi yang tinggi pula. Peningkatan level sitokin ini juga menyebabkan peningkatan produksi C-reaktif protein yang berdampak pula pada resistensi insulin yang merupakan proses patologis pada DM tipe 2. Peningkatan TNF-α, IL-6, dan CRP juga dapat dikatakan sebagai petanda adanya inflamasi jaringan periodontal pada DM tipe 2. Periodontitis merupakan faktor berkembangnya DM Tipe 2, demikian juga sebaliknya. Pasien DM Tipe 2 lebih sering menderita periodontitis dan lebih parah dibanding pasien non-diabetes (Engebretson, 2007 & Struch F, 2008). Menurut Central Disease Control (2007) di Amerika usia diatas 20 – 60 tahun 23,5 juta (23,10%) penderita, dan usia diatas 60 tahun sebanyak 12,2 juta (10,70%) penderita. Penderita DM Tipe 2 lebih sering dan lebih parah jika menderita periodontitis dibanding dengan orang sehat (Struch F, 2008).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nandya (2009) menunjukan bahwa rata-rata indeks GPI pada penderita diabetes mellitus lebih tinggi dibandingkan indeks GPI pada penderita non-diabetes. Hasil rata-rata GPI juga menunjukan bahwa dari 30 sampel dengan diabetes mellitus memiliki rata-rata GPI sebesar 3,11683 sedangkan pada penderita non-diabetes memiliki rata-rata sebesar 2,37433. Oleh karena itu, disimpulkan bahwa penderita diabetes mellitus memiliki tingkat kerusakan jaringan periodontal yang lebih parah dibandingkan dengan penderita non diabetes. Hal ini disebabkan oleh karena diabetes dapat meningkatkan risiko kerusakan pada jaringan periodontal yang berlanjut dari waktu ke waktu. Sebuah penelitian longitudinal menunjukkan bahwa pada pasien DM tipe 2 terjadi peningkatan risiko empat kali lipat kehilangan tulang alveolar yang progresif pada orang dewasa dibandingkan dengan pada orang dewasa yang tidak memiliki diabetes (Mealey B. L. 2006). Seperti gingivitis, risiko perkembangan periodontitis lebih besar pada pasien dengan diabetes yang memiliki kontrol glikemik yang rendah dibandingkan dengan pasien diabetes yang terkendali dengan baik. Kontrol glikemik yang rendah pada pasien dengan diabetes juga telah dikaitkan dengan peningkatan resiko progresif dari kehilangan perlekatan jaringan periodontal dan tulang alveolar.
GANGGUAN KARDOVASKULER
Penyakit kardiovaskuler dan periodontal merupakan suatu keadaan inflamasi yang umum pada manusia. Penyakit periodontal merupakan penyakit inflamasi yang disebabkan oleh bakteri. Inflamasi periodontal dapat berkembang menjadi penyakit yang destruktif yang menyebabkan kerusakan jaringan periodontal. Proses inflamasi dapat melibatkan pembuluh darah secara langsung atau tidak langsung melalui penyesuaian hemostatik dan pemicu respon inflamasi sistemik. Penyakit kardiovaskuler penyebab utama kematian di negara Amerika, Eropa dan Asia. Faktor risiko kardiovaskular seperti merokok, hipertensi, diabetes mellitus termasuk periodontitis banyak dijelaskan pada berbagai kasus. Periodontitis merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan penyakit jantung koroner, dengan pengertian bahwa periodontitis menimbulkan risiko lebih besar pada individu untuk terjadinya penyakit jantung koroner.
Mikroorganisme subgingival pada keadaan periodontitis didominasi oleh bakteri gram negatif, seperti Porphyromonas gingivalis, Prevotella intermedia, Bacteroidesforsytus, Actinobacillus actynomycetemcomuans. Bakteri dan produk-produknya seperti lipopolisakarida (LPS) dapat masuk ke jaringan periodontal dan sirkulasi darah melalui epitel sulkus, akan menyebabkan perubahan respon inflamasi dan perubahan sistemik yang menginduksi respon vaskular. Respon tubuh ini yang dapat menjelaskan bagaimana mekanisme hubungan antara infeksi periodontal dengan berbagai kelainan sistemik, khususnya dengan penyakit jantung koroner. Selama periodontitis, mikroorganisme plak mungkin menembus pembuluh darah kemudian menginfeksi endotel dari vaskular dan menyokong terjadinya aterosklerosis (penebalan lapisan pembuluh darah arteri dibawah lapisan intima yang terdiri dari otot polos, kolagen dan serat elastik). Munculnya infeksi seperti penyakit periodontal dinyatakan mengekalkan terjadinya inflamasi dalam aterosklerosis. Adanya inflamasi kronik (penyakit periodontal) menjadi dasar mekanisme terjadinya aterosklerosis dan menjadi salah satu faktor resiko penyakit jantung koroner. Penyakit periodontal berpotensi menyebabkan bakteriemi, bakteri dan produknya menyebabkan perubahan respon inflamasi sistemik dan perubahan hemostatik. Keadaan bakteriemi ini mempengaruhi koagulasi darah, sel endotel pembuluh darah, fungsi platelet yang dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit jantung koroner.
Aktifitas rutin sehari-hari seperti pengunyahan dan prosedur oral hygiene dapat menyebabkan bakteriemi dari mikroorganisme mulut. Penyakit periodontal menjadi penyebab meningkatnya terjadinya bakteriemi termasuk keberadaan bakteri Gram negatif yang merupakan bakteri dominan pada periodontitis. Kira-kira 8% semua kasus endokarditis berhubungan dengan penyakit periodontal dan penyakit gigi. Jaringan periodontal yang mengalami periodontitis bertindak sebagai reservoir endotoksin (LPS) dari bakteri Gram negatif. Endotoksin dapat masuk ke dalam sirkulasi sistemik selama fungsi pengunyahan, menimbulkan dampak negatif pada jantung. Pada seseorang periodontitis ditemukan konsentrasi endotoksin yang lebih besar dibandingkan dengan yang tanpa periodontitis.
Beberapa penelitian telah menunjukkan adanya hubungan antara kondisi rongga mulut (periodontitis) dan penyakit jantung koroner dengan menggunakan bermacam-macam metode penelitian termasuk case-control, cross-sectional dan longitudinal. Hampir semua penelitian tersebut memperkirakan bahwa penyakit periodontal dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit jantung koroner.
Montebugnoli L (2005) mengemukakan bahwa kesehatan rongga mulut yang buruk dan terutama penyakit periodontal menambah risiko terjadinya penyakit jantung koroner, dengan adanya bukti-bukti bahwa penyakit gigi merupakan faktor risiko dari penyakit jantung koroner seperti jumlah serum lipid, faktor inflamasi dan faktor-faktor hemostatik yang tinggi. DeStefano et al (2002) melaporkan bahwa orang penderita periodontitis atau yang edentulous mempunyai risiko lebih tinggi untuk mengalami penyakit jantung koroner dibandingkan dengan orang tanpa periodontitis. Studi populasi lain memperlihatkan bahwa orang dengan periodontitis parah mempunyai risiko tiga kali lipat lebih tinggi untuk menderita penyakit jantung koroner dibandingkan dengan orang tanpa penyakit periodontal. Kelompok yang sama juga melaporkan bahwa risiko penyakit jantung koroner meningkat dengan kehilangan tulang alveolar yang lebih banyak. Odds ratio untuk serangan jantung meningkat dengan peningkatan jumlah tempat yang mengalami attachment loss 3 mm atau lebih (Arbes et al 1999).
Dalam sebuah penelitian pada hewan, bakteri gram negatif dan lipopolisakarida menyebabkan infiltrasi sel-sel inflamasi ke dalam dinding arteri, proliferasi otot polos arteri dan koagulasi intravaskular. Perubahan ini identik dengan kejadian yang dapat diamati pada atheromatosis. Penyakit periodontal menyebabkan infeksi sistemik kronis, keadaan bakteriemi mengawali respon tubuh dengan mempengaruhi koagulasi, endotel dan integritas dinding pembuluh darah, fungsi platelet, ini menyebabkan perubahan atherogenic dan terjadinya thromboemboli (gambar 1).
Gambar 1
Pengaruh infeksi periodontal pada aterosklerosis. Bakteri dan produknya merusak endotel, monosit masuk ke dinding pembuluh darah, sitokin meningkatkan terjadinya lesi aterosklerosis.
KEHAMILAN (BBLR)
Kelahiran bayi berat badan lahir rendah (BBLR) prematur saat ini masih merupakan masalah pada bidang reproduksi di negara maju maupun negara berkembang. Menurut World Health Organization (WHO), bayi BBLR prematur adalah bayi dengan berat lahir kurang dari 2500 gram dan lahir sebelum 37 minggu usia kehamilan. Kelahiran bayi BBLR kurang bulan merupakan penyumbang besar pada kematian perinatal. Kejadian bayi BBLR prematur di Indonesia tahun 2003 sebesar 90 per 1000 kelahiran. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kelahiran bayi BBLR prematur antara lain infeksi ibu, malnutrisi, riwayat kelahiran prematur, ruptur membran prematur, terkena bahan-bahan toksik (obat, rokok, alkohol), stres maternal, status sosio-ekonomi rendah, perawatan prenatal kurang, hipertensi, diabetes, infeksi traktus genitourinaria, sepsis neonatal, kehamilan multipel, serta beberapa faktor lainnya yang belum diketahui. Faktor risiko ibu meliputi: usia, tinggi badan, berat badan, status sosial ekonomi, etnis, merokok, status gizi, dan stress. Selain itu, interval kelahiran, komplikasi sebelumnya, perawatan dan penanganan sebelum dan setelah kelahiran, hipertensi ibu, infeksi umum, infeksi lokal dari genital dan sistem kemih, dan serviks tidak kompeten juga mungkin berpengaruh. Namun, proporsi yang signifikan dari BBLR adalah etiologi tidak diketahui.
Faktor utama di antara semua ini adalah oleh karena infeksi, yang perannya kini banyak menjadi perhatian. Penurunan daya tahan tubuh secara sistemik atau gangguan mikrobial lokal, misalnya kebersihan mulut buruk, maka bakteri dan produknya yang merupakan antigen dan faktor virulen (lipopoli-sakarida=LPS) mengadakan interaksi dengan epitel saku gusi, dengan mekanisme invasi, eksotoksin, endotoksin dan enzim. Tubuh mengadakan respons imunologis dengan aktivasi sel B, sel T dan polimorfonuklear-leukosit (PMN). Sel epitel yang teraktivasi akan melepaskan mediator inflamasi IL-1, IL-8, prostaglandin E2 (PGE2), matriksmetaloproteinase (MMP) dan tumor necrotic factor (TNF), yang merupakan respons paling awal terhadap stimuli bakteri dan menyebabkan gangguan metabolisme jaringan ikat dan tulang yang tampak sebagai tanda klinis awal radang jaringan periodontal dan merupakan awal terjadinya penyakit periodontal.
Proses inflamasi dapat menjalar ke jaringan di bawahnya, terjadi peningkatan permeabilitas vaskular dan pembebasan agen aktivasi leukosit spesifik. Hal ini menyebabkan peningkatan kerusakan komponen plasma dalam cairan saku gusi dan terjadi ekstravasasi leukosit. Adanya LPS atau IL-1 dan TNF, sel endotel mikro-sirkulasi teraktivasi, pembuluh mengalami inflamasi, vasodilatasi dan aliran darah menjadi lambat. Hubungan sel endotel terbuka dan cairan kaya protein keluar, tertimbun pada matriks ekstraselular. Peningkatan leukosit, monosit dan aktivasi makrofag menghasilkan mediator respons imun dan respons radang jaringan penyangga gigi, serta substansi kemotaktik, dan selanjutnya proses radang ini akan menyebar secara sistemik ke seluruh tubuh. Pada ibu hamil, proses penyebaran infeksi secara sistemik dengan peningkatan mediator proinflamasi pada sirkulasi secara imunologik dapat melewati barier plasenta, menyebabkan meningkatnya kadar IL-1β, TNF-α, IL-6, PGE2 dalam cairan amnion, dapat menyebabkan bayi lahir prematur dengan diawali dilatasi serviks, ruptur membran dan kontraksi uterus, dan pada penelitian juga didapatkan peningkatan kadar IL-1β, TNF-α, IL-6, PGE dalam cairan amnion pada pasien dengan bayi BBLR lahir prematur.
Peneliti lain telah melihat efek dari subklinis infeksi saluran kemih pada kehamilan. Satu studi menunjukkan peningkatan 40% dalam tingkat persalinan prematur pada ibu dengan bakteri pada serviks di awal masa kehamilan. Sebuah studi yang dilakukan oleh Offenbacher dkk (1998) mengatakan bahwa penyakit periodontal ibu dapat menyebabkan tujuh kali lipat peningkatan risiko berat badan lahir rendah pada bayi prematur. Penelitian ini menyimpulkan penyakit periodontal merupakan faktor risiko yang signifikan secara statistik untuk terjadinya berat badan lahir rendah pada bayi prematur. Selain itu, telah diamati model hewan dengan periodontitis Gram-negatif yang terkait mikroorganisme dapat mempengaruhi hasil kehamilan. Pada penelitian Dwi (2006) dihasilkan gingivitis pada ibu hamil mempunyai risiko 8,75 kali mengalami kelahiran bayi BBLR prematur (POR =8,75 95% CI= 2,56–29,94) dibandingkan dengan ibu yang tidak mengalami gingivitis.
EPIDEMIOLOGI PENYAKIT PERIODONTAL
PENYAKIT PERIODONTAL
Infeksi Periodontal dan Respon Host
Penyakit periodontal secara garis besar dibagi menjadi gingivitis dan periodontitis. Dimana keduanya merupakan manifestasi dari adanya infeksi bakteri pathogen yang berkolonisasi pada biofilm gigi. Munculnya penyakit ini merupakan kolaborasi dari adanya infeksi bakteri dan respon pertahanan host di mediasi oleh faktor lingkungan seperti merokok dan oral hygiene. Ginggivitis adalah proses inflamasi dari ginggiva pada junctional epithelium, yang bersifat reversible, artinya perlekatan yang rusak oleh bakteri dapat kembali ke keadaan awal. Tahapan proses terjadinya gingivitis dimulai dari tahap initial, early gingivitis, dan established gingivitis dan diikuti dengan pembentukan kolonisasi bakteri membentuk plak yang kompleks atau matang.
Periodontitis adalah keradangan pada gingival, diikuti dengan adanya clinical attachment loss (CAL) dari ligament periodontal, dan kehilangan dukungan tulang alveolar (bone loss). Periodontitis merupakan infeksi gingivitis yang semakin meluas. Mediator inflamasi berperan penting terhadap progress periodontitis. Perkembangan keparahan periodontitis ini ditentukan oleh respon pertahanan alami dan buatan tubuh terhadap infeksi. Penyakit periodontal bukan hanya disebabkan oleh bakteri patogen namun juga dapat disebabkan oleh faktor-faktor lain. Faktor penyebab penyakit periodontal dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor local dan faktos sistemik. Faktor local merupakan penyebab yang berasal dari dalam rongga mulut dan lingkungan disekitar gigi seperti Bakteri dan plak, kalkulus, food impaction, kebiasaan bernafas dengan mulut, dan lain-lain. Sedangkan faktor sistemik yaitu penyebab yang berasal dari gangguan metabolism tubuh dan kesehatan secara umum seperti faktor genetik, ketidak seimbangan hormon, defiiensi nutrisi dan diabetes mellitus. Adapun klasifikasi dari gingivitis dan periodontitis dapat dilihat pada tabel 1.
Ginggivitis
Gingivitis merupakan proses peradangan didalam jaringan periodonsium yang terbatas pada gingiva, yang disebabkan oleh mikroorganisme yaang membentuk suatu koloni serta membentuk plak gigi yang melekat pada tepi gingival.
Gingivitis adalah peradangan gingiva. Pada kondisi ini tidak terjadi kehilangan perlekatan. Pada pemeriksaan klinis terdapat gambaran kemerahan di margin gingiva, pembengkakan dengan tingkat yang bervariasi, perdarahan saat probing dengan tekanan ringan dan perubahan bentuk gingiva. Peradangan gingiva tidak disertai rasa sakit. Peradangan gingiva disebabkan oleh faktor plak maupun non-plak. Namun peradangan gingiva tidak selalu disebabkan oleh akumulasi plak pada permukaan gigi, dan peradangan gingiva yang tidak disebabkan oleh plak sering memperlihatkan gambaran klinis yang khas. Keadaan ini dapat disebabkan beberapa penyebab, seperti infeksi bakteri spesifik, infeksi virus atau jamur yang tidak berhubungan dengan peradangan gingiva yang berhubungan dengan plak dan peradangan gingiva karena faktor genetik.
Peradangan gingiva yang berasal dari faktor genetik terlihat pada Hereditary gingival fibromatosis, dan beberapa kelainan mukokutaneus yang bermanifestasi sebagai peradangan gingiva. Contoh lesi adalah lichen planus, pemphigoid, pemphigus vulgaris dan erythema multiforme.
Alergi dan trauma merupakan contoh lain dari peradangan gingiva yang tidak disebabkan oleh faktor non-plak. Peradangan gingiva yang tidak disebabkan oleh faktor non-plak sangat relevan, penyebab lesi secara umum merupakan sample penting untuk memahami variasi dari reaksi jaringan yang terdapat pada periodontium.
Selain faktor plak dan non-plak peradangan gingiva juga disebabkan oleh karena gangguan sistemik dengan perdarahan spontan atau setelah teriritasi. Perdarahannya eksesif dan sulit dikontrol. Adapula karena penggunaan obat tertentu, alergi, terapi radiasi, siklus menstruasi, dan genetik.
Keparahan peradangan gingiva akan terus berlanjut akibat penumpukan plak, apabila kebersihan rongga mulut tidak dipelihara.
Pada gingiva yang mengalami perdarahan, persentase jaringan ikat yang terkena radang adalah lebih besar, tetapi epitelnya lebih sedikit dan lebih tipis bila dibandingkan dengan gingiva yang tidak mengalami perdarahan. Ini berarti terjadinya perdarahan pada gingiva adalah sejalan dengan perubahan histopatologis yang terjadi pada jaringan ikat periodonsium.
MACAM - MACAM GINGIVITIS
Gingivitis marginalis kronis
Merupakan suatu peradangan gingiva pada daerah margin yang banyak dijumpai pada anak, ditandai dengan perubahan warna, ukuran konsistensi, dan bentuk permukaan gingiva. Penyebab peradangan yang paling umum yaitu disebabkan oleh penimbunan bakteri plak. Perubahan warna dan pembengkakan gingiva merupakan gambaran klinis terjadinya gingivitis marginalis kronis.
Eruption gingivitis
Merupakan peradangan yang terjadi di sekitar gigi yang sedang erupsi dan berkurang setelah gigi tumbuh sempurna dalam rongga mulut, sering terjadi pada anak usia 6-7 tahun ketika gigi permanen mulai erupsi. Eruption gingivitis berkaitan dengan akumulasi plak.
Gingivitis pada gigi karies dan loose teeth (eksfoliasi parsial)
Pada pinggiran margin yang tererosi akan terdapat akumulasi plak, sehingga dapat terjadi edema sampai dengan abses.
Gingivitis pada maloklusi dan malposisi
Peradangan disertai dengan perubahan warna gingiva menjadi merah kebiruan, pembesaran gingiva, ulserasi, dan bentuk poket dalam yang menyebabkan terjadinya pus, meningkat pada anak-anak yang memiliki overjet dan overbite yang besar, kebiasaan bernafas melalui mulut, open bite, edge to edge, dan protrusif.
Gingivitis pada mucogingival problems
Mucogingival problems merupakan salah satu kerusakan atau penyimpangan morfologi, keadaan, dan kuantitas dari gingiva di sekitar gigi antara margin gingiva dan mucogingival junction yang ditandai oleh mukosa alveolar yang tampak tipis dan mudah pecah, susunan jaringan ikatnya yang lepas serta banyaknya serat elastis.
Gingivitis karena resesi gusi lokalisata
Terjadi karena trauma sikat gigi, alat ortodontik, frenulum labialis yang tinggi, dan kebersihan mulut yang buruk.
Gingivitis karena alergi
Mc Donald dan Avery, 2004 menyatakan bahwa adanya peradangan pada gingiva yang bersifat sementara terutama berhubungan dengan perubahan cuaca.
Gingivitis Artefacta
Peradangan karena perilaku yang sengaja melakukan cedera fisik dan menyakiti diri sendiri. Salah satu penyakit periodontal yang disebabkan oleh adanya cedera fisik pada jaringan gingiva disebut sebagai gingivitis artefakta yang memiliki varian mayor dan minor.
Gingivitis artefakta minor merupakan bentuk yang kurang parah dan dipicu oleh iritasi karena kebiasaan menyikat gigi yang terlalu berlebihan. Kondisi ini juga dapat terjadi akibat menusuk gingiva dengan menggunakan jari kuku atau benda asing lainnya.
Gingivitis artefakta mayor merupakan bentuk yang lebih parah, karena melibatkan jaringan periodontal. Perilaku ini berhubungan dengan gangguan emosional. Peradangan gingiva oleh karena perilaku mencederai diri sendiri terjadi pada anak-anak dibandingkan pada orang dewasa dan prevalensinya lebih banyak terjadi pada perempuan.
PENYEBAB LAIN GINGIVITIS
Selain disebabkan karena mikroorganisme didalam plak, serta faktor local, gingivitis juga dapat disebabkan oleh hal-hal dibawah ini :
Peradangan gingiva yang disebabkan oleh faktor hormon
Perubahan hormon seksual berlangsung semasa pubertas dan kehamilan, keadaan ini dapat menimbulkan perubahan jaringan gingiva yang merubah respons terhadap produk-produk plak.
Pada masa pubertas insidensi peradangan gingiva mencapai puncaknya dan perubahan ini tetap terjadi walaupun kontrol plak tetap tidak berubah.
Plak dapat menyebabkan peradangan yang hebat pada masa pubertas yang diikuti dengan pembengkakan gingiva dan perdarahan. Bila masa pubertas sudah lewat, peradangan cenderung reda dengan sendirinya tetapi tidak dapat hilang kecuali bila dilakukan pengkontrolan plak yang adekuat.
Peradangan gingiva yang disebabkan oleh faktor nutrisi
Peradangan gingiva karena malnutrisi ditandai dengan gingiva tampak bengkak, berwarna merah terang karena defisiensi vitamin C. Kekurangan vitamin C mempengaruhi fungsi imun sehingga menurunkan kemampuan inang melindungi diri dari produk-produk seluler tubuh berupa radikal oksigen.
Gingivitis yang disebabkan oleh faktor non-plak
Penyakit Gingiva yang Berasal dari Bakteri Spesifik
Peradangan gingiva dapat terjadi ketika faktor patogen yang berhubungan dengan non-plak melebihi peranan dari respon daya tahan host. Lesi dapat disebabkan oleh bakteri dan mungkin tidak disertai oleh lesi ditempat lain pada tubuh. Contoh umum dari lesi tersebut yang berkaitan dengan infeksi melalui Neisseria gonorrhea, Treponema pallidum, Sttreptococci, Mycobacterium chelonae atau organisme lain. Manifestasi dari lesi gingiva nampak ulserasi berwarna merah terang yang edematous dan sangat sakit, asimptomatik atau mucous patches, atau gingivitis atypical non ulserasi, peradangan gingiva yang parah. Biopsy dilakukan melalui pemeriksaan mikrobiologi untuk menunjukkan riwayat lesi.
GAMBARAN KLINIS GINGIVITIS
Secara umum, gambaran klinis gingivitis adalah adanya tanda klinis berikut: kemerahan, perdarahan akibat stimulasi, perubahan kontur, adanya plak atau kalkulus dan secara radiografi tidak ditemukan kehilangan tulang alveolar. Pemeriksaan histologi jaringan gingiva yang mengalami peradangan menunjukkan ulserasi epitel. Keberadaan radang memberikan pengaruh negatif terhadap fungsi epitel sebagai pelindung. Perbaikan ulserasi epitelium ini bergantung pada aktivitas proliferative atau regenerative sel epitel.4
Gejala klinis gingivitis yang parah adalah termasuk eritema, edema, dan pembesaran hiperplastik. Daerah anterior menunjukkan kondisi yang lebih parah dengan adanya gigi yang berjejal ringan, dan bernapas melalui mulut. Pada saat probing tidak terdapat kehilangan perlekatan, dan poket tidak terdapat di daerah cementoenamel junction.4
KARAKTERISTIK GINGIVITIS
Perubahan Warna Gingiva
Warna gingiva ditentukan oleh beberapa faktor, termasuk jumlah dan ukuran pembuluh darah, ketebalan epitel, keratinisasi, dan pigmen di dalam epitel.
Perubahan warna merupakan tanda klinis dari penyakit pada gingiva. Warna gingiva normal adalah merah muda coral dan dihasilkan oleh vaskularitas jaringan dan lapisan epitel. Gingiva menjadi memerah ketika vaskularisasi meningkat atau derajat keratinisasi epitel mengalami reduksi atau menghilang. Warna menjadi pucat ketika keratinisasi mengalami reduksi.
Peradangan kronis menyebabkan warna merah atau merah kebiruan akibat proliferasi dan keratinisasi. Vena akan memberikan kontribusi menjadi warna kebiruan. Perubahan warna gingiva akan memberikan kontribusi pada proses peradangan. Perubahan terjadi pada papilla interdental dan margin gingiva, dan menyebar pada attached gingiva.
Perubahan Konsistensi
Baik kondisi kronis maupun akut dapat menghasilkan perubahan pada konsistensi gingiva normal yang kaku dan tegas. Seperti yang dinyatakan bahwa pada gingivitis kronis, perubahan destruktif atau edema dan reparative atau fibrous terjadi secara bersamaan, dan konsistensi gingiva ditentukan berdasarkan kondisi yang dominan.
Perubahan Klinis dan Histopatologis
Pada peradangan gingiva, perubahan histopatologi menyebabkan perdarahan gingiva akibat dilatasi, pembengkakan kapiler, dan penipisan atau ulserasi epitel. Karena kapiler membengkak dan menjadi lebih dekat ke permukaan, menipis, epitelium kurang protektif, dan stimuli yang secara normal tidak melukai dapat menyebabkan rupture pada kapiler dan perdarahan gingiva.
Perubahan Tekstur Jaringan Gingiva
Permukaan gingiva normal seperti kulit jeruk yang biasa disebut sebagai stippling. Stippling terbatas pada attached gingiva dan secara dominan terdapat pada daerah subpapila, tetapi meluas sampai ke papilla interdental. Secara biologis stippling pada gingiva tidak diketahui, beberapa peneliti menyimpulkan bahwa kehilangan stippling merupakan tanda awal dari terjadinya gingivitis. Pada peradangan kronis, permukaan gingiva halus dan mengkilap atau kaku, tergantung pada perubahan eksudatif atau fibrotik. Tekstur permukaan yang halus juga dihasilkan oleh atropi epitel pada gingivitis, dan permukaan yang rupture terjadi pada gingivitis kronis. Hiperkeratosis dengan tekstur kasar, dan pertumbuhan gingiva secara berlebih akibat obat akan menghasilkan permukaan yang berbentuk nodular pada gingiva.
2.5.3.1. Perubahan Klinis dan Histopatologis Konsistensi Gingiva
Perubahan Klinis Gambaran Mikroskopis Perubahan Klinis Gambaran Mikroskopis
Perubahan Klinis Gambaran Mikroskopis
Perubahan Klinis Gambaran Mikroskopis
Gingivitis KronisPembengkakan lunak yang dapat membentuk lubang sewaktu ditekan.Gingiva lunak pada saat probing dan area permukaan pinpoint tampak kemerahan.Konsistensi kaku dan kasarGingivitis KronisPembengkakan lunak yang dapat membentuk lubang sewaktu ditekan.Gingiva lunak pada saat probing dan area permukaan pinpoint tampak kemerahan.Konsistensi kaku dan kasarInfiltrasi cairan dan eksudat pada peradangan.Degenerasi jaringan konektif dan epitel yang memicu peradangan dan; Perubahan pada jaringan konektif - epitel dengan jaringan konektif yang mengalami pembengkakan dan peradangan, meluas sampai ke permukaan jaringan epitel, penebalan epitel, edema dan invasi leukosit, dipisahkan oleh daerah yang mengalami elongasi terhadap jaringan konektif.Fibrosis dan proliferasi epitel akibat peradangan kronis yang berkepanjangan.Infiltrasi cairan dan eksudat pada peradangan.Degenerasi jaringan konektif dan epitel yang memicu peradangan dan; Perubahan pada jaringan konektif - epitel dengan jaringan konektif yang mengalami pembengkakan dan peradangan, meluas sampai ke permukaan jaringan epitel, penebalan epitel, edema dan invasi leukosit, dipisahkan oleh daerah yang mengalami elongasi terhadap jaringan konektif.Fibrosis dan proliferasi epitel akibat peradangan kronis yang berkepanjangan.
Gingivitis Kronis
Pembengkakan lunak yang dapat membentuk lubang sewaktu ditekan.
Gingiva lunak pada saat probing dan area permukaan pinpoint tampak kemerahan.
Konsistensi kaku dan kasar
Gingivitis Kronis
Pembengkakan lunak yang dapat membentuk lubang sewaktu ditekan.
Gingiva lunak pada saat probing dan area permukaan pinpoint tampak kemerahan.
Konsistensi kaku dan kasar
Infiltrasi cairan dan eksudat pada peradangan.
Degenerasi jaringan konektif dan epitel yang memicu peradangan dan; Perubahan pada jaringan konektif - epitel dengan jaringan konektif yang mengalami pembengkakan dan peradangan, meluas sampai ke permukaan jaringan epitel, penebalan epitel, edema dan invasi leukosit, dipisahkan oleh daerah yang mengalami elongasi terhadap jaringan konektif.
Fibrosis dan proliferasi epitel akibat peradangan kronis yang berkepanjangan.
Infiltrasi cairan dan eksudat pada peradangan.
Degenerasi jaringan konektif dan epitel yang memicu peradangan dan; Perubahan pada jaringan konektif - epitel dengan jaringan konektif yang mengalami pembengkakan dan peradangan, meluas sampai ke permukaan jaringan epitel, penebalan epitel, edema dan invasi leukosit, dipisahkan oleh daerah yang mengalami elongasi terhadap jaringan konektif.
Fibrosis dan proliferasi epitel akibat peradangan kronis yang berkepanjangan.
Perubahan Klinis Gambaran MikroskopisPerubahan Klinis Gambaran Mikroskopis
Perubahan Klinis Gambaran Mikroskopis
Perubahan Klinis Gambaran Mikroskopis
Gingivitis AkutPembengkakan dan gingiva yang lunak.Debris berwarna keabu-abuan.Pembentukan vesikel.Gingivitis AkutPembengkakan dan gingiva yang lunak.Debris berwarna keabu-abuan.Pembentukan vesikel.Edema yang berasal dari peradangan akut.Nekrosis dengan pembentukan membran yang terdiri dari bakteri, leukosit polimorfonuklear, dan degenerasi epitel fibrous.Edema interseluler dan intraseluler dengan degenerasi nukleus dan sitoplasma, dan rupture dinding sel.Edema yang berasal dari peradangan akut.Nekrosis dengan pembentukan membran yang terdiri dari bakteri, leukosit polimorfonuklear, dan degenerasi epitel fibrous.Edema interseluler dan intraseluler dengan degenerasi nukleus dan sitoplasma, dan rupture dinding sel.
Gingivitis Akut
Pembengkakan dan gingiva yang lunak.
Debris berwarna keabu-abuan.
Pembentukan vesikel.
Gingivitis Akut
Pembengkakan dan gingiva yang lunak.
Debris berwarna keabu-abuan.
Pembentukan vesikel.
Edema yang berasal dari peradangan akut.
Nekrosis dengan pembentukan membran yang terdiri dari bakteri, leukosit polimorfonuklear, dan degenerasi epitel fibrous.
Edema interseluler dan intraseluler dengan degenerasi nukleus dan sitoplasma, dan rupture dinding sel.
Edema yang berasal dari peradangan akut.
Nekrosis dengan pembentukan membran yang terdiri dari bakteri, leukosit polimorfonuklear, dan degenerasi epitel fibrous.
Edema interseluler dan intraseluler dengan degenerasi nukleus dan sitoplasma, dan rupture dinding sel.
Perubahan Posisi Gingiva
Salah satu gambaran pada penyakit gingiva adalah adanya lesi pada gingiva. Lesi traumatik seperti lesi akibat kimia, fisik atau termal merupakan lesi yang paling umum pada rongga mulut. Lesi akibat kimia termasuk karena aspirin, hidrogen peroksida, perak nitrat, fenol, dan bahan endodontik. Lesi karena fisik termasuk bibir, rongga mulut, dan tindik pada lidah yang dapat menyebabkan resesi gingiva. Lesi karena termal dapat berasal dari makanan dan minuman yang panas. Pada kasus akut, epitelium yang nekrotik, erosi atau ulserasi, dan eritema merupakan gambaran umum. Sedangkan pada kasus kronis, terjadi dalam bentuk resesi gingiva.4
Perubahan Kontur gingiva
Perubahan pada kontur gingiva berhubungan dengan pembesaran gingiva, tetapi perubahan tersebut dapat juga terjadi pada kondisi yang lain.
Ketika resesi ke apikal, celah menjadi lebih lebar, dan meluas ke permukaan akar. Ketika lesi mencapai mucogingival junction, mukosa rongga mulut mengalami peradangan karena kesulitan untuk mempertahankan kontrol plak yang adekuat pada daerah ini. Istilah McCall festoon telah digunakan untuk menggambarkan penebalan pada gingiva yang diamati pada gigi kaninus ketika resesi telah mencapai mucogingival junction.
MEKANISME TERJADINYA GINGIVITIS
Patogenesis gingivitis terdapat empat tipe lesi yang berbeda. Keempatnya adalah lesi awal, lesi dini, lesi mapan, dan lesi lanjut. Lesi dini dan mapan dapat tetap stabil untuk waktu yang lama. Selain itu, dapat terjadi pemulihan secara spontan atau disebabkan oleh karena perawatan.
Lesi inisial atau lesi awal
Pada tahap ini plak mulai berakumulasi ketika kebersihan rongga mulut tidak terjaga. Untuk beberapa hari pertama, plak ini terdiri dari bakteri cocci dan batang gram positif, lalu hari berikutnya organisme filamen, dan terakhir Spirochetes atau bakteri gram negatif. Dalam beberapa hari, gingivitis ringan mulai terjadi pada tahap ini.
Lesi dini atau early lesion
Pada tahap ini sudah mulai terlihat tanda klinis eritema. Eritema terjadi karena proliferasi kapiler dan meningkatnya pembentukan kapiler. Epitel sulkus menipis atau terbentuk ulserasi. Pada tahap ini mulai terjadi perdarahan pada probing. Ditemukan 70% jaringan kolagen sudah rusak terutama di sekitar sel – sel infiltrat. Neutrofil keluar dari pembuluh darah sebagai respons terhadap stimulus kemotaktik dari komponen plak, menembus lamina dasar ke arah epitelium dan masuk ke sulkus. Dalam tahap ini fibroblast jelas terlihat menunjukkan perubahan sitotoksik sehingga kapasitas produksi kolagen menurun.
Lesi mapan atau established lesion
Pada tahap ini disebut sebagai gingivitis kronis karena seluruh pembuluh darah membengkak dan padat, sedangkan pembuluh balik terganggu atau rusak sehingga aliran darah menjadi lambat. Terlihat perubahan warna kebiruan pada gingiva. Sel – sel darah merah keluar ke jaringan ikat, sebagian pecah sehingga hemoglobin menyebabkan warna daerah peradangan menjadi gelap. Lesi ini dapat disebut sebagai peradangan gingiva moderat hingga berat. Aktivitas kolagenolitik sangat meningkat karena kolagenase banyak terdapat di jaringan gingiva yang diproduksi oleh sejumlah bakteri oral maupun neutrofil.
Lesi lanjut atau lesi advanced
Perluasan lesi ke dalam tulang alveolar menunjukkan karakteristik tahap keempat yang disebut sebagai lesi advanced atau fase kerusakan periodontal. Secara mikroskopis, terdapat fibrosis pada gingiva dan kerusakan jaringan akibat peradangan dan imunopatologis. Secara umum pada tahap advanced, sel plasma berlanjut pada jaringan konektif, dan neutrofil pada epitel junctional dan gingiva. Dan pada tahap ini gingivitis akan berlanjut pada pada individu yang rentan.
BAKTERI YANG BERPERAN PADA GINGIVITIS
Mayoritas penyakit periodontal disebabkan oleh mikroorganisme yang berada pada atau dibawah margin gingiva. 4
Pada gingiva sehat bakteri terdiri atas gram positif. Terbanyak adalah dari Actinomyces dan Streptococcus.15
Jika keseimbangan bakteri normal terganggu, akan terjadi pergeseran komposisi plak sehingga jumlah bakteri anaerob gram negatif meningkat. Pada gingivitis tidak terjadi kerusakan pada perlekatan jaringan, namun secara histologis sudah terjadi kehilangan kolagen pada jaringan ikat. Pada keadaan seperti ini bakteri Prevotella intermedia (Pi) dan Prevotella nigrescens subgingival meningkat. Hal ini jelas pada keadaan pregnan karena estrogen dan progesteron yang banyak dalam jaringan ikat gingiva digunakan oleh Pi untuk tumbuh sebagai pengganti vitamin K yang merupakan faktor penumbuh penting bagi bakteri.
MEKANISME AKSI BAKTERI PADA GINGIVITIS
Invasi
Terjadinya gingivitis tidak selalu didahului oleh invasi bakteri. Syarat utama adalah adanya bakteri patogen spesifik yang melekat ke permukaan gigi disekitar gingiva. Tidak ada organisme spesifik atau kelompok organisme tertentu yang secara positif atau khusus diidentifikasi sebagai penyebab kerusakan jaringan periodontal, tetapi ada beberapa mikroorganisme yang ditemukan pada kondisi penyakit periodontal tertentu. Telah dibuktikan bahwa pada keadaan ini terjadi invasi bakteri ke jaringan ikat.
Agen sitotoksik
Endotoksin yaitu substansi lipopolisakarida yang terdapat dalam dinding sel bakteri gram negatif, yang dapat menjadi penyebab langsung nekrosis jaringan, selain sebagai pencetus terjadinya proses peradangan dengan memicu respons imunologik. Pada penelitian kultur jaringan, endotoksin yang terdapat pada mikroorganisme tertentu di dalam mulut merangsang terjadinya resorpsi tulang.
Enzim
Enzim kolagenase menguraikan fibril dan serabut kolagen, elemen utama pembentuk gingiva dan ligamen periodonsium. Leukosit memproduksi kolagenase dan terdapat dalam jumlah besar pada peradangan gingiva tahap awal.
Mekanisme imunopatologi
Penelitian membuktikan bahwa sejumlah antigen plak menginduksi peradangan dengan merangsang respons imunologik pada binatang percobaan. Baik respons imun humoral maupun selular dapat ditemukan pada penderita periodontitis.
Aksi gabungan
Terdapat lebih dari satu mekanisme yang terlibat dalam inisiasi dan perkembangan penyakit periodontal. Sebagai contoh, bahwa enzim dan substansi sitotoksik bakteri menimbulkan efek langsung terhadap jaringan sulkular dan subsulkular dengan cara mencetuskan respons imunopatologi secara tidak langsung.
PERILAKU YANG BERHUBUNGAN DENGAN GINGIVITIS
Merokok
Plak gigi sebagai pemicu terjadinya gingivitis merupakan kondisi yang terjadi pada anak- anak dan orang dewasa. Menurut penelitian muller dkk tahun 2002 setelah diamati selama enam bulan pada kelompok perokok ditemukan lebih banyak plak supragingiva dibandingkan yang bukan perokok. Sedangkan menurut penelitian dari calsina dkk tahun 2002 resesi gingiva yang lebih parah terjadi pada kelompok perokok dibandingkan kelompok yang berhenti merokok dan bukan perokok, bahkan pada perokok berat terdapat peningkatan terjadinya resesi gingiva sebanyak 2,3%. Resesi pada perokok disebabkan karena adanya vasokonstriksi dan berkurangnya respon peradangan yang disebabkan oleh nikotin dari rokok yang masuk ke dalam aliran darah. Hal ini juga menyebabkan pada kelompok perokok ditemukan perdarahan pada saat probing dibandingkan kelompok yang bukan perokok atau yang berhenti merokok.
Waktu penyikatan gigi
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Prijantojo tahun 1996 menyatakan bahwa indeks rata – rata kalkulus dari kelompok yang menyikat gigi 3x sehari tampak lebih baik dibandingkan kelompok yang menyikat gigi 2x sehari. Namun, indeks perdarahan gingiva rata – rata pada kelompok yang menyikat gigi 3x sehari lebih besar dibanding dengan indeks perdarahan rata – rata dari kelompok yang menyikat gigi 2x sehari pada semua permukaan dari gigi. Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang positif antara akumulasi plak dan peradangan gingiva.
Jenis sikat gigi yang digunakan
Sikat gigi merupakan salah satu fisioterapi oral yang digunakan untuk membersihkan gigi dan mulut. Dapat ditemukan beberapa macam jenis sikat gigi, baik manual maupun elektrik dengan berbagai ukuran dan bentuk. Bulu sikat terbuat dari berbagai macam bahan, tekstur, panjang, dan kepadatan. Walaupun banyak jenis sikat gigi tetapi harus diperhatikan keefektifan sikat gigi untuk membersihkan gigi dan mulut seperti kenyamanan bagi setiap individu meliputi ukuran, tekstur, dan bulu sikat, mudah digunakan, mudah dibersihkan dan cepat kering sehingga tidak lembab, awet dan tidak mahal, bulu sikat lembut tetapi cukup kuat dan tangkainya ringan, dan ujung bulu sikat membulat.
Frekuensi penyikatan gigi
Frekuensi pembersihan gigi banyak dihubungkan dengan efektifitas terjadinya pembentukan plak dan kesehatan gingiva. Pembentukan plak lebih banyak terjadi pada kelompok yang jarang melakukan pembersihan gigi daripada kelompok yang sering melakukan pembersihan gigi. Demikian juga pembentukan kalkulus lebih rendah pada kelompok yang sering melakukan pembersihan gigi.
Teknik menyikat gigi
Teknik menyikat gigi adalah cara yang paling umum dianjurkan untuk membersihkan deposit lunak pada permukaan gigi dan dan gingiva dan merupakan tindakan preventif dalam keberhasilan dan kesehatan rongga mulut yang optimal. Oleh karena itu, teknik menyikat gigi harus dilaksanakan secara aktif dan teratur.12
Kebanyakan teknik menyikat gigi telah ditetapkan sebagai metode yang efisien dan efektif untuk membersihkan gigi. Teknik menggosok menjadi metode paling mudah dan paling sering dalam menyikat gigi. Pasien dengan penyakit periodontal diajarkan untuk menggunakan teknik penyikatan sirkular dengan menggunakan gerakan vibrasi untuk meningkatkan akses pada daerah gingiva.
Metode yang dianjurkan adalah Teknik Bass karena teknik ini menekankan penempatan bulu sikat secara sulkular. Ujung bulu sikat pada margin gingiva untuk mencapai plak supragingiva dengan menggunakan gerakan yang terkontrol untuk mencegah trauma.
Kebiasaan menusuk gigi
Kebiasaan menusuk gigi untuk membersihkan gigi dapat mengakibatkan terjadinya keradangan gingiva. Dari peradangan inilah yang akan menyebabkan terjadinya gingivitis.
Obat-obatan atau medikasi
Beberapa medikasi dapat berpengaruh buruk terhadap gingiva. Sebagai contoh, obat-obatan antikonvulsan seperti fenitoin, antihipertensi, dan obat imunosupresan seperti siklosporin yang menyebabkan pembesaran gingiva sehingga berakibat gingiva mudah berdarah. Dikatakan bahwa gingivitis terjadi sebagai respons terhadap akumulasi plak yang tidak terkontrol.
AKIBAT YANG DITIMBULKAN OLEH GINGIVITIS
Peradangan gingiva kronis dapat menyebabkan pembesaran gingiva. Pertumbuhan gingiva bertambah parah pada pasien dengan faktor genetik atau faktor sistemik yang berhubungan dengan obat, sebagai contoh; obat anti-konvulsan, dan siklosporin. Pada individu yang mengkonsumsi fenitoin, pertumbuhan gingiva secara berlebih dapat dihilangkan dengan kebersihan rongga mulut individu secara tepat. Pertumbuhan gingiva berlebih terkadang tidak dapat mengembalikan jaringan periodonsium kembali menjadi normal. Pertumbuhan gingiva yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan pada kemampuan pasien untuk membersihkan gigi secara adekuat, dan menyebabkan terjadinya masalah estetik dan fungsional.
Pada pasien dengan pertumbuhan gingiva berlebihan, pembedahan untuk rekonturisasi dapat dilakukan untuk mempertahankan lingkungan pada rongga mulut. Penanganan post-operatif setelah reseksi jaringan penting untuk dilakukan.
Rekurensi terjadi pada kebanyakan pasien dengan pertumbuhan gingiva berlebihan akibat obat. Pada pasien tersebut, konsultasi dengan dokter umum dapat disarankan untuk menentukan apakah memungkinkan untuk menggunakan terapi obat alternatif yang tidak menyebabkan pertumbuhan gingiva secara berlebihan. Jika tidak, pembedahan atau non-bedah dibutuhkan.
INDEKS YANG DIGUNAKAN PADA GINGIVITIS
Banyak index yang dapat digunakan untuk menilai gingivitis oleh King tahun 1945, master dan Schour tahun 1949, dan Muhlemen dan Mazor tahun 1958. Yang termasuk index yang dapat digunakan :
Sulcus bleeding index oleh Muhlemen & Son tahun 1971
SBI merupakan perdarahan pada sulkus setelah probing seperti terjadi eritema, pembengkakan dan edema. Hal ini umumnya menunjukkan secara terpisah antara papilla (P) dan gingival margin (M). SBI telah digunakan pada berbagai studi tetapi berlaku juga untuk pasien dalam praktik.
Gingival index oleh Loe dan Silness tahun 1963
Indeks gingiva oleh Loe H dan Silness J tahun 1963 digunakan untuk memeriksa keparahan gingivitis pada gigi indeks 16, 12, 24, 36, 32, 44. Jaringan sekitar tiap gigi dibagi ke dalam empat unit penilaian gingiva, papilla distal-fasial, margin fasial, papilla mesial-fasial, dan margin gingiva lingual keseluruhan. Probe poket periodontal dapat digunakan untuk memeriksa perdarahan pada jaringan.
Gingival indeks adalah indeks kesehatan gigi. Indeks gingival diusulkan pada tahun 1963 sebagai metode untuk menilai keparahan dan kuantitas peradangan gingiva pada pasien. Hanya gingiva yang dapat dinilai dengan Gingival Indeks. Menurut metode ini, bagian dari facial, mesial, distal dan lingual dinilai untuk peradangan dan diberi skor 0 sampai 3. Untuk menilai tingkat keparahan peradangan gingiva dapat dilakukan dengan menjalankan probe periodontal sepanjang dinding jaringan lunak dari celah gingival.
Keparahan kondisi ini dinyatakan dalam skala 0 sampai 3 :
Gingiva normal; tidak ada keradangan, tidak ada perubahan warna, dan tidak ada perdarahan.
Inflamasi ringan; sedikit perubahan warna, sedikit edema. Tidak ada perdarahan waktu penyondean.
Inflamasi sedang; kemerahan, edema, dan mengkilat. Perdarahan pada waktu penyondean.
Inflamasi parah; kemerahan yang nyata dan edema, ulserasi. Kecenderungan perdarahan spontan.
Penilaian total skor untuk Gingival Indeks sebagai berikut :
Gingivitis ringan = 0,1 – 1,0
Gingivitis moderat = 1,1 – 2,0
Gingivitis parah = 2,1 -3,0
Papillary Bleeding Index oleh Muhlemann tahun 1975.
PBI merupakan indikator peradangan gingiva pada pasien dan telah terbukti berguna untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan selama terapi periodontal. PBI juga dapat berfungsi sangat baik untuk memotivasi pasien terhadap OH yang baik. Perdarahan pada saat probing menunjukkan bahwa probe menembus poket dan mencapai vaskularisasi dibawah jaringan epitel.
Sebuah probe periodontal dimasukkan ke dalam sulkus gingiva di dasar papilla pada aspek mesial, dan kemudian pindah koronal ke ujung papilla. Ini diulang pada aspek distal dari papilla. Intensitas pendarahan dicatat (0-4 skor).
Gambar Pemeriksaan PBI
Papillary Bleeding Score (PBS)
Penilaian ini dilakukan oleh Stim-U-dent® Loesche tahun 1979. PBS dibagi berdasarkan Indeks Gingiva menurut Löe dan Silness tahun 1963, kriterianya adalah :
0 = Gingiva sehat, tidak terjadi perdarahan pada interproksimal.
1 =Edema, gingiva memerah, tidak terjadi perdarahan pada bagian interproksimal.
2 = Perdarahan pada daerah interproksimal.
3 = Perdarahan sepanjang margin gingiva.
4 = Perdarahan berkelanjutan pada bagian interproksimal.
5 = Peradangan parah, kemerahan, edema, dan cenderung terjadi perdarahan yang spontan.
DISTRIBUSI PENYAKIT PERIODONTAL
Distribusi Geografik
Menurut Data WHO sejak 1980, mengatakan bahwa gingivitis dan deposit kalkulus lebih tinggi prevalensinya dan lebih tinggi keparahannya pada Negara-negara dengan low income, namun berbeda dengan prevalensi dari severe periodontitis. Gingivitis dan deposit kalkulus dapat dikontrol dengan kebersihan oral hygiene baik secara personal atau dengan bantuan professional dental care, jadi dapat disimpulkan bahwa keparahan gingivitis lebh rendah pada negara-negara Maju atau high income. Sedangkan periodontitis tidak tergantung hanya pada keberadaan plak atau kalkulus, ia juga sejalan dengan medical compromised dari host.
Prevelensi Ginggivitis
Pada level populasi, gingivitis ditemukan pada anak-anak balita, dan lebih tinggi prevalensi dan keparahannya pada usia remaja, kemudian cenderung menurun pada usia setelahnya.
Prevalensi Periodontitis
Terdapat kesulitan dalam mendefinisikan moderate dan severe periodontitis. Adanya perbedaan definisi juga menyebabkan perbedaan prevalensi dari periodontitis, karena setiap pemeriksa memiliki pemahaman yang berbeda dalam menentukan apakah suatu kondisi telah termasuk dalam kategori periodontitis yang moderate atau severe. Umumnya perbedaan ini ditetentukan melalui penghitungan CAL.
Insidens Peridontitis
Studi longitudinal dari onset (lama nya waktu ) periodontitis dan progresnya dalam komunitas bersifat mahal dan sulit, hanya sedikit penelitian saja yang dapat menggambarkan permasalahan ini. Salah satu penelitian, menngunakan pasien usia 65-80 tahun, yang telah dilakukan pemeriksaan periodontal selama 5 tahun. Kondisi periodontal pada grup ini tidak baik. Saat Insiden penyakit (Pertambhan CAL lebih dari 3mm) diperiksa pada 18 bulan pertama dan 18 bulan berikutnya secara terpisah, ternyata CAL selama periode pertama berhubungan positif dengan CAL pada periode kedua pada level individu bukan pada level daerah gigi. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan CAL pada periode pertama tidak menjadikan daerah atau lokasi sebagai resiko untuk kemunculan CAL pada periode selanjutnya. Misalnya pada pemeriksaan mesiobukal, ditemukan pertambahan kedalaman poket dibandingkan resesi gingival, sedangkan lokasi bukal lebih mudah terjadi resesi gingival secara insidens.
FAKTOR DEMOGRAFI PERIODONTITIS
Gender, Ras atau Etnis
Survey dari kondisi kesehatan periodontal biasanya menunjukkan bahwa laki-laki mempunyai kesehatan periodontal yg lebih rendah daripada wanita . hal ini telah lama diteliti dan masih menjadi kasus di survey nasional di Amerika. Hal ini diperkirakan karena wanita mempunyai oral hygiene yang lebih baik dibandingkan laki-laki, yang akan mempengaruhi perbedaan pada adanya gingivitis. Pada wanita ditemukan sub gingival kalkulus yang lebih rendah yang sepertinya berkontribusi pada kesehatan periodontal yang lebih baik dihitung dari CAL dan kedalaman poket. Masih angat sedikit data yang menunjukkan hubungan periodontitis dengan ras. Studi epidemiologi tedahulu ada perbedaan antar Negara namun tidak secara konsisten berhubungan dengan rasa tau etnik dengan orang-orang dari umur yang sama dan status OH yang dibandingkan.
Umur
Periodontitis bukanlah penyakit yang disebabkan oleh umur. Besarnya prevalensi dan keparahan dari CAL pada orang-orang usia lanjut pada survey cross sectional bukan karena semakin tinggi usia maka lebih rentan melainkan disebabkan dari akumulasi progress keparahan lesi selama perjalanan waktu. Penderita yang mengalami
Status Sosioekonomi
Gingivitis dan Oral Hygiene yang buruk berhubungan dengan status sosioekonomi (SES) namun, berbeda dengan periodontitis hubungan langsungnya dengan SES lemah. Ginggivitis dan SES berhubungan dikarenakan, SES mempengaruhi edukasi, kunjungan ke dokter gigi dan perawatan oral hygiene yang lebih baik.
Genetik
Penelitian pada tahun 1997, menemukan bahwa genotip spesifik dari interleukin-1 (IL-1) kluster gen berhubungan dengan severe periodontitis. Sitokin IL-1 merupakan kunci regulasi dari host respon terhadap infeksi bakteri, meskipun IL-1 bukan hanya satu-satunya faktor genetic yang berpengaruh. Meskipun masih banyak keraguan mengenai hubugan antara genetik dengan periodontitis, namun hubungan keduanya asih terus dipelajari.
INDEKS UNTUK MENGUKUR PERIODONTAL DISEASE dalam Komunitas
Community Periodontal Index of Treatment Needs (CPITN)
Community Periodontal Index of Treatment Needs (CPITN) adalah perangkat epidemiologi yang dikembangkan oleh World Health Organization (WHO) untuk mengevaluasi penyakit periodontal pada suatu populasi yang diperiksa. Indeks ini dapat digunakan untuk merekomendasi beberapa jenis perawatan yang dibutuhkan dalam mencegah penyakit periodontal.
Gigi-gigi yang diperiksa: Ada 2 metoda seleksi.
(1) sextants: 14 gigi maxilla dan 14 gigi mandibula, yang dibagi kedalam 3 segment, masing-masing yaitu:
FDI notation maxilla: (1) 17, 16, 15, 14; (2) 13, 12, 11, 21, 22, 23; (3) 24, 25, 26, 27
FDI notation mandible: (4) 47, 46, 45, 44; (5) 43, 42, 41, 31, 32, 33; (6) 34, 35, 36, 37
Molars ke tiga tidak digunakan kecuali berfungsi sebagai pengganti geraham ke-dua
(2) Menggunakan index teeth: 5 gigi di maxilla dan 5 gigi di mandibula.
FDI notation maxilla: (1) 17, 16; (2) 11; (3) 26, 27
FDI notation mandible: (4) 47, 46; (5) 31; (6) 36, 37
Penilaian evaluasi dental.
Probe khusus digunakan untuk menilai kedalaman sulkus gigi.
Gigi-gigi yang diperiksa untuk kalkulus supragingival atau subgingival.
Setiap perdarahan setelah probing ringan dicatat
Evaluasi.
Temuaan yang buruk disetiap masing-masing sextant di kode menurut table dibawah.
Kode yang paling tinggi untuk oral secara keseluruhan digunakan untuk merekomendasi perawatan.
Temuan
Kode
Dalamnya poket patologis >= 6 mm
4
Dalamnya poket patologis 4-5 mm
3
Ksupragingival or subgingival calculus
2
gingival bleeding after gentle probing
1
no signs of periodontal disease
0
Treatment recommendation
maximum score 0: no need for additional treatment
maximum score 1: need to improve personal oral hygiene
maximum score 2: need for professional cleaning of teeth, plus improvement in personal oral hygiene
maximum score 3: need for professional cleaning of teeth, plus improvement in personal oral hygiene
maximum score 4: need for more complex treatment to remove infected tissue
Calculus Surface Index.
Calculus Surface Index atau indeks permukaan kalkulus adalah indeks untuk mengukur terbentuknya kalkulus gigi. Indeks ini dapat digunakan untuk mengkuatifikasi akumulasi kalkulus gigi dalam menilai program jangka pendek untuk mengevaluasi efektifitas perawatan preventif.
Metoda:
Setiap 4 insisive rahang bawah di nilai pada 4 permukaan ( labial, lingual dan 2 permukaan proximal atau mesial dan distal).
Setiap permukaan yang terdapat kalkulus mendapat nilai skor= 1
calculus surface index = JUMLAH nilai skor pada 16 permukaan gigi yang diperiksa.
Interpretation
Skor minimum : 0
Skor maximum : 16
Oral Hygiene Index.
The Oral Hygiene Index adalah indeks untuk mengklasifikasikan oral hygiene status pasien. Ini dapat digunakan untuk monitoring terus menerus setelah dilakukan corrective interventions pada program kesehatan masyarakat
Segmen Gigi
Posterior kanan atas: distal to the right cuspid pada Rahang Atas
anterior atas : mesial to the right and left first bicuspids on the maxillary arch
posterior kiri atas: distal to the left cuspid on the maxillary arch
posterior kanan bawah: distal to the right cuspid on the mandibular arch
anterior bawah : mesial to the right and left first bicuspids on the mandibular arch
posterior kiri bawah: distal to the left cuspid on the mandibular arch
Permukaan dari setiap segmen:
buccal (outer)
lingual (inner)
Gambar segmen OHIS
Evaluasi pada Gigi:
Hanya pada gigi yang full erupsi (permukaan occlusal dan incisal telah mencapai occlusal plane) pada gigi permanen yang diberi nilai
molar tiga yang belum sepenuhnya erupsi ditak diberi skor karenanya adanya perbedaan lebar dan tinggi mahkota klinis
Skor debris pada permukaan buccal dan lingual keduanya diambil dari segmen gigi yang mempunyai area permukaan terluas yang ditutupi debris
Skor kalkulus pada permukaan buccal dan lingual calculus keduanya diambil dari segmen gigi yang mempunyai area permukaan terluas yang ditutupi oleh kalkulus supragingival dan subgingival
Grading Debris
Points
no debris or stain present
0
soft debris covering not more than one third of the tooth surface, AND/OR the presence of extrinsic stain without other debris regardless of surface area covered
1
soft debris covering more than one third, but not more than two thirds, of the exposed tooth surface
2
soft debris covering more than two thirds of the exposed tooth surface
3
debris index= (Jumlah (points along buccal surface for all segments present) + Jumlah(points along lingual surface of all segments present)) / (number of segments present)
Grading Calculus
Points
no calculus present
0
supragingival calculus covering not more than one third of the exposed tooth surface
1
supragingival calculus covering more than one third but not more than two thirds of the exposed tooth surface, AND/OR the presence of individual flecks of subgingival calculus around the cervical portion of the tooth
2
supragingival calculus covering more than two thirds of the exposed tooth surface AND/OR a continuous heavy band of subgingival calculus around the cervical portion of the tooth
3
Debris Index = (Skor bukal) + (Skor lingual) .
(Total number of examined buccal and lingual surfaces).
Calculus Index = (Skor bukal) + (Skor lingual) .
(Total number of examined buccal and lingual surfaces).
Oral hygiene index = (debris index) + (calculus index)
Interpretasi
Jumlah minimum dari nilai pada semua segment baik debris atau calculus portions adalah 0.
Jumlah dari nilai pada semua segment baik debris atau calculus portions adalah 36.
karena terdiri dari 6 segments, indeks individual range nya dari 0 sampai 6.
karena oral hygiene index adalah jumlag dari kedua indeks, maka batas nilai nya dari 0 sampai 12.
Semakin tinggi skor, semakin buruk oral hygiene nya
DAFTAR PUSTAKA
Carranza FA, Jr : Glickman's Clinical Periodontology, 12th Edition, W. B. Saunders Company, Philadelphia, London. 2012.
Costerton JW, Stewart PS, Greenberg EP. Bacterial biofilms: a common cause of persistent infections. Science. 1999;284: 1318-1322.
van Houte J. Role of micro-organisms in caries etiology. J Dent Res. 1994;73: 672-681.
Stenudd C, Nordlund A, Ryberg M, et al.. The association of bacterial adhesion with dental caries.. J Dent Res. 2001;80: 2005-2010.
Socransky SS, Haffajee AD, Cugini MA, et al.. Microbial complexes in subgingival plaque. J Clin Periodontol. 1998;25: 134-144.
Haffajee AD, Socransky SS. Microbial etiological agents of destructive periodontal diseases. Periodontol 2000. 1995;5: 78-11.
Palmer R. M., Hasan A. A clinical guide to periodontology : Pathology of Periodontal disease. British Dental Journal volume 216 no. 8 apr 25 2014 216: 457–461.
Loesche WJ. Chemotherapy of dental plaque infections.. Oral Sci Rev. 1976;9: 65-107.
Theilade E. The non-specific theory in microbial etiology of inflammatory periodontal disease. J Clin Periodontol. 1986;13:905-911.
Thomas JG, Nakaishi LA. Managing the complexity of a dynamic biofilm. J Am Dent Assoc.. 2006;137(11 suppl): 10S-13S.
Loesche WJ. DNA probe and enzyme analysis in periodontal diagnostics. J Periodontol. 1992;63: 1102-1109.
Socransky SS, Haffajee AD. Periodontal microbial etiology. Periodontol 2000. 2005;38: 135-187.
Socransky SS, Haffajee AD. Dental biofilms: difficult therapeutic targets. Periodontol 2000. 2002;28: 12-34.
Brown MR, Gilbert P. Sensitivity of biofilms to antimicrobial agents. J Appl Bacteriol. 1993;74(suppl): 87S-97S.
Gilbert P, Das J, Foley I. Biofilm susceptibility to antimicrobials. Adv Dent Res. 1997;11: 160-167.
Costerton JW, Lewandowski Z, DeBeer D, et al.. Biofilms, the customized microniche. J Bacteriol. 1994;176: 2137-2142.
Wood SR, Kirkham J, Marsh PD, et al.. Architecture of intact natural human plaque biofilms studied by confocal laser scanning microscopy.. J Dent Res. 2000;79: 21-27.
Levine MJ, Reddy MS, Tabak LA, et al.. Structural aspects of salivary glycoproteins. J Dent Res. 1987;66: 436-441.
Tabak LA, Levine MJ, Mandel ID, Ellison SA. Role of salivary mucins in the protection of the oral cavity. J Oral Pathol. 1982;11: 1-17.
Costerton JW, Cheng KJ, Geesey GG, et al.. Bacterial biofilms in nature and disease. Annu Rev Microbiol.. 1987;41: 435-464.
20. Gibbons RJ. Microbial ecology: adherent interactions which may affect microbial ecology in the mouth. J Dent Res. 1984;63: 378-385.
21. Whittaker CJ, Klier CM, Kolenbrander PE. Mechanisms of adhesion by oral bacteria. Annu Rev Microbiol. 1996;50: 513-552.
Wirthlin MR, Armitage GC. Dental plaque and calculus: microbial biofilms and periodontal diseases. . In: Rose LF, Mealey BL,Genco RJ, Cohen W. , editors. Periodontics: Medicine, Surgery and Implants. St. Louis, MO: Elsevier Mosby; 2004.
Socransky SS, Haffajee AD, Ximenez-Fyvie LA, et al.. Ecological considerations in the treatment of Actinobacillus actinomycetemcomitans and Porphyromonas gingivalis periodontal infections. Periodontol 2000. 1999;20: 341-362.
Kojima T, Yasui S, Ishikawa I. Distribution of Porphyromonas gingivalis in adult periodontitis patients.. J Periodontol. 1993;64:1231-1237
Gurenlian JR. Inflammation: the relationship between oral health and systemic disease.. Access. 2006;20(4)suppl: 1-9.
Engebretson, S., Chertog, R., Nichols, A., Hey-Hadavi, J., Celenti, R. & Grbic, J. The severity of periodontal disease is associated with the development of glucose intolerance in non-diabetics: the Hisayama study. Journal of Clinical Periodontology 2007; 3: 18–24.
Hidayati Sri, Adin Mu'afiro, Joko Suwito. 2008. Analisis faktor yang berhubungan dengan tingkat keparahan periodontitis pada penderita DM tipe 2 di poli diabetes RSU dr. Soetomo Surabaya. Buletin penelitian RSU dr. Soetomo Vol 10 No.2.
International Diabetes Federation. 2003. Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Available from: http://care.diabetesjournals.org/content/27/suppl_1/s5.full. Accessed on: November, 25th 2011.
Irna C.S. 2008. Periodontitis Sebagai Suatu Faktor Resiko Terjadinya Penyakit Jantung Koroner.
Katz J, Bhattacharyya I, Farkhondeh-Kish F, Perez FM, Caudle RM, Heft MW. Expression of the receptor of advanced glycation end products in gingival tissues of type 2 diabetes patients with chronic periodontal disease: a study utilizing immunohistochemistry and RTPCR. J Clin Periodontol 2005;32(1):40-4.
Lingen MW, Kumar V. Head and neck. In: Kumar V, Abbas AK, Fausto N, eds. Robbins & Cotran Pathologic Basis of Disease. 7th ed. Philadelphia, Pa: Elsevier; 2004:773.
Mealey BL., Rethman MP. 2003. Periodontal disease and diabetes mellitus. Bidirectional relationship. Dent Today; 22: 107-13.
Mealey B. L. 2006. Periodontal disease and diabetes mellitus. A two-way-sheet. J Am Dent Assoc Vol 137 No. Suppl_2,26S-31S. American dental association.
Mealey BL, Perry RK. Periodontal medicine: Impact of periodontal infection on systemic health. In: Carranza's clinical periodontology 10th ed. Philadelphia: W.B Saunder Company. 2006: 312-29.
Struch, F., Dau, M., Schwahn, C., Biffar, R., Kocher, T. & Meisel, P., Interleukin-1 gene polymorphism, diabetes, and periodontitis: results from the Study of Health in Pomerania (SHIP). Journal of Periodontology, 2008, 79, 501–507.
Varma BRR, Nayak RP. Current concepts in periodontics. 1th ed. New Delhi: Chaman Enterprises. 2002
Lewis JM, Morgan MV, Wright FAC. The validity of the CPITN scoring and presentation method for measuring periodontal conditions. J Clin Periodontol. 1994; 21: 1-6.
Greene JC, Vermillion JR. The oral hygiene index: a method for classifying oral hygiene status. J Am Dental Assoc. 1960; 61: 172-179.