Etika (Ethos) Kerja
A.
Pengertian Ethos Kerja Sebe Sebelu lum m mela melangk ngkah ah lebi lebih h jauh jauh untu untuk k memb membica icara raka kan n topi topik k yang yang lebi lebih h langsung terkait dengan etika (ethos) kerja, perlu terlebih dahulu dipaparkan beberapa pengertian umum dan dasar tentang teori-teori etika sebagai latar belakang mengenai etika kerja. Beberapa pengertian pengertian umum tentang teori etika ini juga diperlukan diperlukan untuk mencegah berbagai kerancuan yang tidak perlu. Untuk memahami apa itu etika sesungguhnya sesungguhnya kita perlu membandingkannya membandingkannya dengan moralitas, baik etika dan moralitas sering dipakai dan dapat dipertukarkan dengan dengan pengert pengertian ian yang yang sering sering disama disamakan kan begitu begitu saja. saja. Ini sesung sesungguhn guhnya ya tidak tidak sepenuhnya salah. Hanya saja perlu diingat bahwa etika bisa saja punya pengertian yang sama sekali berbeda dengan denga n moralitas. Secara teoritis dapat dibedakan pengertian etika, kendati dalam penggunaan praktis sering tidak mudah dibedakan. Etika berasal dari kata Yunani Ethos, yang dalam bentuk jamaknya (ta
etha )
berarti “adapt istiadat’ atau “kebiasaan’. Dalam
penger pengertia tian n ini etika etika berkai berkaitan tan dengan dengan kebiasa kebiasaan an hidup hidup yang yang baik, baik, baik baik pada diri diri seseorang maupun berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup yang baik, aturan hidup yang baik, dan segala kebiasaan yang dianut dan diwariskan dari satu orang ke orang lain atau dari satu generasi ke generasi lain. Kebiasaan ini lalu terungkap dalam perilaku pola yang terus berulang sebagai suatu kebiasaan. Pengertian justru persis sama dengan pengertian moralitas. Moralitas berasal dari kata latin
mos,
yang dalam bentuk jamaknya (mores) bearti bearti “adat istiadat” istiadat” atau
“kebiasaan. Jadi dalam pengertian pertama ini, yaitu pengertian harfiahnya, etika dan morali moralitas tas,, sama-s sama-sama ama berart berartii nilai nilai tentan tentang g begaima begaimana na manusi manusiaa harus harus hidup hidup baik baik sebaga sebagaii manusi manusiaa yang yang telah telah diistu diistusin sinoli olisas sasika ikan n dalam dalam sebuah sebuah kebias kebiasaan aan yang yang kemudian kemudian terwujud dalam pola perilaku perilaku yang ajek dan terulang terulang dalam kurung waktu yang lama sebagaimana laiknya sebuah kebiasaan (Sony keraf, 1998: 13-14). Etik Etikaa beras berasal al dari dari bahas bahas Yunan Yunanii etho ethos, s, ynag ynag bera berart rtii adapt adapt isti istiada adatt atau atau kebiasaan (Keraf, 1998). Etika disini berkaitan dengan kebiasaan hidup, nilai-nilai,
1
tata cara hidup, atau aturan hidup yang baik yang berkaitan dengan sadar untuk berperilaku sesuai dengan nilai, tata cara dan aturan yang berlaku dalam masyarakat. Menurut Trevino dan Nelson (1999) etika adalah konsep mengenai perbuatan benar atau salah. Perilaku etis dalam konteks bisnis adalah perilaku yang konsisten dengan prinsip, norma atau standar praktek bisnis adalah perilaku didalam masyarakat bisnis. Sedangkan menurut Schermerhorn (2002) etika adalah standar mengenai baik atau buruk, benar atau salah perbuatan seseorang. Perilaku etis adalah perilaku yang dianggap baik atau benar dalam konteks moral. Etika adalah studi mengenai nilai moral dan perilaku moral. Perilaku etis merupakan tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai yang diyakininya yang mana nilai-nilai tersebut dianggap baik oleh masyarakat (Nelson dan Quick, 1997). Etos kerja merupakan konsep yang memandang pengabdian atau dedikasi terhadap pekerjaan sebagai nilai yang sangat berharga (Yousef, 2000 dalam Istijanto). Karyawan yang memiliki etos kerja tinggi tercermin dalam perilakunya, seperti suka bekerja keras, bersikap adil, tidak membuang-buang waktu selama jam kerja, keinginan memberikan lebih dari sekedar yang diisyaratkan, mau bekerja sama, hormat terhadap rekan kerja, dan sebagainya. Tentu saja perusahaan mengharapkan para karyawan memiliki etos kerja tinggi agar dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan perusahaan secara keseluruhan. Pada umumnya system nilai, sebagai sebuah kebiasaan hidup yang baik, lalu diturunkan dan diwariskan melalui agama dan kebudayaan dalam bentuk aturan atau norma yang diharapkan menjadi pegangan setiap penganut agama dan kebudayaan tersebut. Dalam hal ini agama dan kebudayaan lalu dianggap sebagai sumber utama nilai moral dan aturan atau norma moral dan etika. Ini tidak berarti bahwa nilai-nilai moral dan etika yang diajarkan dan dikenal dalam suatu agama atau kebudayaan akan begitu berbeda dari nilai normal yang dijarkan dan dikenal dalam agama lain. Alasan sederhananya, karena moralitas dan etika menyentuh kehidupan manusia sebagai manusia terlepas dari agama dan budaya yang dianutnya. Agama dan budaya hanyalah wadah yang melembagakan nilai dan aturan moral tentang bagaimana manusia harus hidup secara baik sebagai manusia. Dengan demikian etika dan moralitas memberikan petunjuk konkret tentang bagaimana manusia harus hifup 2
secara baik sebagai manusia begitu saja, kendati petunjuk konkret itu bisa disalurkan melalui dan bersumber dari agama atau kebudayaan tertentu. Sedangkan etika (ethos) kerja atau semangat kerja dan gairah kerja sifatnya subyektif,
yakni
bergantung
pada
perasaan
seseorang
sehubungan
dengan
pekerjaannya. Oleh karena itu, semangat kerja agak tidak mudah diukur, tetapi mudah diabaikan. Biasanya kita memikirkan semangat dan gairah kerja hanya dari segi megatif, jika tidak dapat diwujudkan dalam tindakan nyata. Dengan demikian apabila tenaga kerja bergairah dalam bekerja, dikatakan tenaga kerja memiliki moral yang tinggi. Sebaliknya pabila tenaga kerja tidak bergairah atau malas-malasan dalam bekerja, dikatakan tenaga kerja yang bersangkutan memiliki derajat moral/etika yang rendah. Apabila segala perilaku lahiriah para tenaga kerja sebagaimana lazimnya dikenal memberikan petunjuk tentang bagaimana perasaan mereka, mungkin kita sama sekali tidak berpikir mengenai tinggi rendahnya etika/moral kerja para tenaga kerja. Kondisi yang menunjukkan tinggi rendahnya moral kerja tidak terjadi begitu saja, tanpa penyebab yang nyata. Tinggi rendahnya moral kerja terjadi karena proses kuasalitas. Manajer baru sadar untuk mendiagnosis moral tenaga kerja manakala moral mereka menurun pada tingkat yang rendah, selebihnya jarang mendapatkan perhatian yang serius. Dapat dikatakan bahwa etika/moral kerja mempertinggi produktivitas dalam kondisi tertentu. Akan tetapi, pada kondisi lain ternyata tidak begitu berpengaruh terhadap produktivitas. Hal ini sebagian besar berlaku bagi semua pekerjaan yang dilakukan dengan mesin atau pekerjaan yang dikerjakan tenaga kerja pada dasarnya hanya mengikuti suatu program dan tidak perlu melakukan banyak pertimbangan. Kenyataan tersebut biasanya disebabkan etika/moral kerja telah membudaya dalam kelompok eksklusif yang membatasi produktivitas kerja yang dihasilkan, sehingga merasa tidak perlu meningkat moral kerja akan muak dengan ketertutupan kelompok tersebut. Gejala ini umumnya tampak dalam sikap moral/ etika kerja yang rendah (apatis) akan tetapi keluaran produktivitas mereka tinggi. Etika/moral kerja atau semangat dan kegairajan kerja deskriptif dapat diartikan sebagai suatu kondisi rohaniah, atau peilaku individu tenaga kerja dan 3
kelompok-kelompok yang menimbulkan kesenangan yang mendalam pada diri tenaga kerja untuk bekerja dengan giat dan konsukuen dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan perusahaan. Apabila tenaga kerja memandang kondisi kerja menggairahkan, umumnya mampu menerima dan mengatasi tekanan-tekanan yang dihadapinya. Sebaliknya, apabila mereka terbiasa mengalami lingkungan kerja yang membosankan akan bersifat defenif dan menganggap setiap tekanan sebagai malapetaka yang menghimpit mereka. Pada umumnya terdapat tiga kompetensi dasar yang dapat membantu memberikan penjelasan tentang sebab-sebab pasang surutnya etika/moral kerja para pekerja yaitu: 1. Setiap tenaga kerja niscaya akan terus memantau lingkungan kerjanya untuk memperoleh
tanda-tanda
yang
mungkin
mempengaruhi
keberuntungan
psikologisnya. 2. Berbagai macam informasi mengenai pekerjaan dinilai sebagai dukungan moral, sebagai tekanan, atau sebagai suatu yang netral. 3. Dampak keputusan manajemen yang tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Etika/moral
kerja
sebenarnya
banyak
bergantung
kepada
hubungan
pengharapan dan realitas. Semakin banyak perusahaan memberi pengharapan adanya peningkatan diri sementara realitasnya kurang maka etika kerja terlebih dahulu mengkonklusikan apa yang diharapkan tenaga kerja dari pekerjaannya dan bagaimana pengharapan tersebut timbul. Secara umum yang menyebabkan perusahaan kebutuhan para tenaga kerja dan mempengaruhi moral tenaga kerja ialah perubahan lingkungan perusahaan. Hal ini sebagian besar diakibatkan oleh pertumbuhan perusahaan yang mengarah pada peningkatan mutu atau desain organisasi dan kualitas. Misalnya, munculnya produk produk baru. Perubahan tersebut tampaknya tetap menjadi esensi perusahaan yang memiliki prosrek perkembangan yang pesat. Dengan demikian, manajemen harus tetap meneropong dan memantau proses perubahan tersebut untuk menjadi berbagai hambatan dan tantangan yang radikal. 4
B. Cara-cara meningkatkan etika kerja Secara umum, cara yang dapat ditempuh manajemen untuk meningkatkan etika/moral tenaga kerja melalui pendekatan sebagai berikut: a.
Memberikan kompensasi kepada tenaga kerja dalam porsi yang wajar
tetapi tidak memaksakan kemampuan perusahaan; b.
Menciptakan kondisi kerja yang menggairahkan semua pihak;
c.
Memperhatikan kebutuhan yang berhubungan dengan spiritual tenaga
kerja; d.
Perlu saat penyegaran sebagai media pengurangan ketegangan kerja dan
memperkokoh rasa setia kawan antara tenaga kerja maupun manajemen;
C.
e.
Penempatan tenaga kerja pada posisi yang tepat;
f.
Memperhatikan hari esok para tenaga kerja;
g.
Peran tenaga kerja untuk menyumbangkan aspirasinta tempat yang wajar;
Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan etika/moral kerja adalah: 1. Etika/moral kerja dapat diartikan sebagai suatu kondisi rohaniah atau perilaku individu tenaga kerja dan kelompok-kelompok yang menimbulkan kesenangan yang mendalam pada diri tenaga kerja untuk bekerja dengan giat dan konsekuen dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan perusahaan. 2. Penyebab fluktuasi etika/moral kerja antara lain: a. Setiap tenaga kerja niscaya akan terus memantau lingkungan kerjanya untuk memperoleh tanda-tanda yang mungkin mempengaruhi keberuntungan psikologisnya; b. Berbagai macam informasi mengenai pekerjaan dinilai sebagai dukungan moral sebagai tekanan, atau sebagai sesuatu yang netral. c. Dampak keputusan manajemen yang tidak dijalankan sebagaimana mestinya. 3. Cara yang harus ditempuh untuk meningkatkan moral kerja antara lain: a. Memberikan kompensasi kepada tenaga kerja dalam porsi yang wajar, akan tetapi tidak memaksakan kemampuan perusahaan. b. Menciptakan kondisi kerja yang menggairahkan semua pihak; c. Memperhatikan kebutuhan yang berhubungan dengan spiritual tenaga kerja; 5
d. Perlu saat penyegaran sebagai media pengurangan ketegangan kerja dan memperkokoh rasa setia kawan anatar tenaga kerja maupun manajemen; e. Penempatan tenaga kerja pada posisi yang tepat; f. Memperhatikan hari esok para tenaga kerja g. Peran tenaga kerja untuk menyumbangkan aspirasinya mendapat tempat yang wajar. 4. Timbulnya keluhan tenaga kerja sebagai salah satu indicator menurunnya moral kerja tenaga kerja. Manajer yang arif akan selalu mendengarkan apa yang dikatakan oleh para tenaga kerja, dan bagaimana mereka mengatakannya, akan cenderung menjumpai satu dari tiga pola keluhan, yakni keluhan yang sehat, keluhan yang tidak sehat dan tidak ada keluhan sama sekali. 5. Pemimpin yang efektif adalah seorang arsitek pencipta iklim yang mendukung apa saja yang dipandang merupakan keberuntungan psikologis tenaga kerjanya.
6