Diktat #1-Seri Ekonomi Islam
Ekonomi Islam: Sebuah Pengantar Oleh Dr. M. Shabri Abd. Majid, M.Ec Dosen Pengasuh Matakuliah Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala Darussalam, Banda Aceh e-mail:
[email protected] Handphone: +682160229553
DARUSSALAM-BANDA ACEH, 2011
~1~
BAB 1 SISTEM EKONOMI ISLAM Ilmu ekonomi adalah suatu studi tentang tingkah laku manusia dalam menggunakan sumber ekonomi (buruh, tanah, modal dan entrepreneurship) untuk memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas. Dengan kata lain, ilmu ekonomi bertujuan untuk memenej sumber ekonomi yang terbatas (limited resources) untuk memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas (unlimited wants). Akibat terbatasnya sumber ekonomi, maka manusia harus membuat pilihan berdasarkan skala prioritas dalam memenuhi kebutuhannya. Dalam usaha memenuhi kebutuhannya itu, manusia harus berinteraksi dengan manusia yang lain, alam, dan lingkungannya. Jadi, ilmu ekonomi itu meliputi aktivitas ekonomi dan juga sebuah disiplin ilmu. Apa pula yang dimaksud dengan sistem ekonomi? Menurut Webster‘s International Dictionary, sebuah sistem adalah: “A system is an aggegation or assemblage of object united by some form of regular interaction or interdependence, a group of diverse units so combined by nature or art as to form an integral whole and to function,operate or move in unison to attain a specific goal and often in obedience to some form of control; an organic or organized whole”. Berdasarkan definisi di atas, maka sebuah sistem itu harus mengandungi tiga unsur utama: 1. Sebuah sistem terdiri dari entitas dan komponen yang berbeda. 2. Kesemua entitas dan komponen tersebut saling beriteraksi satu sama lain secara teroganisir. 3. Hasil dari interaksi tersebut akan mengarah kepada pemenuhan tujuan tertentu.
Merujuk pada definisi sistem di atas, maka sekarang kita dapat mendefinisikan sistem ekonomi. Sistem ekonomi adalah: “Any aggregation or assemblage of economic institutions that interact with one another according to a particular plan to direct the economic forces of society for the fulfillment of economic goals and objectives”
~2~
Jadi, sistem ekonomi adalah bagian kecil dari semua sistem sosial yang menjelaskan tentang tingkah laku kekuatan ekonomi (economic forces) dalam masyarakat. Kekuatan ekonomi ini berperan untuk memberi respon terhadap berbagai problema ekonomi. Dalam memberi solusi terhadap problema ekonomi, kekuatan ekonomi ini memiliki tingkah laku yang berbeda antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya. Tujuan ekonomi yang ingin diraih juga berbeda antara kelompok masyarakat. Atau bisa jadi tujuannya sama,
tapi maknanya mungkin berbeda antar
masyarakat.
Dalam merespon problema ekonomi dan juga mencapai tujuan tertentu, manusia itu dipengaruhi oleh rangkaian hukum alam (natural laws) dan hukum sosial (social law). Hukum alam ini adalah sama bagi semua masyarakat, tanpa mengenal suku, bangsa dan kepercayaan. Contohnya, ―law of diminishing returns,
diminishing marginal utility,
diminishing marginal rate of technical substitution dan law of increasing opportunity cost‖ adalah semua hukum alam yang ada dalam semua masyarakat. Sedangkan, hukum sosial dibentuk oleh budaya, tradisi, sejarah, iklim, norma-norma sosial, agama dan ‗worldview‘ masyarakat tertentu. Contohnya, Islam melarang memproduksikan arak, tapi ianya bisa diproduksikan oleh non-muslim. Singkatnya, sistem ekonomi itu dapat diilustrasikan seperti Diagram 1 di bawah ini.
Dari Diagram 1, kita dapati bahwa sistem ilmu ekonomi itu adalah bagian dari sub-sistem ilmu-ilmu social (social sciences) yang yang lahir atas landasan ‗worldview‘ masyarakat tertentu. Seperti sub-sistem politik dan sosial, sistem ekonomi terdiri dari berbagai komponen seperti landasan filosofi, prinsip-prinsip operasional, dan tujuan yang berbeda. Atas landasan filosofi itulah, fondasi mikro ekonomi itu dibangun sehingga membentuk paradigma tersendiri. Akibat berbedanya semua komponen ini, maka lahirlah sistem ekonomi yang berbeda seperti sistem ekonomi kapitalis, komunis/sosialis dan Islamis.
~3~
Diagram 1: Struktur Sistem Ekonomi
Sumber: Muhammad Arif (1985).
Dalam artikelnya ―Toward a Definition of Islamic Economics: Some Scientific Considerations‖ yang dipublikasikan di ―Journal of Research in Islamic Economics‖, Volume 2, Nomor 2, Tahun 1985, Muhammad Arif menjelaskan secara lebih terperinci tentang perbedaan antara sistem ekonomi kapitalis, sosialis dan Islamis, seperti diilustrasikan dalam Diagram 2 di bawah ini.
Berdasarkan Diagram 2 di atas, pada prinsipnya, sistem ekonomi itu di bangun atas landasan paradigma yang berbeda. Sistem ekonomi sosial di bangun atas paradigma yang diperkenalkan Karl Max (Marxian); sistem ekonomi kapitalis di bangun atas landasan paradigma ekonomi pasar; sedangkan sistem ekonomi Islam di bangun atas landasan paradigma Syari‘ah. Paradigma ekonomi ini pula di bangun atas fondasi filosofi yang berbeda pula. Sistem ekonomi sosial di bangun atas landasan filosofi ―dialectical materialism‖ berdasarkan gagasan Karl Marx. Menurut Karl Marx, pertumbuhan ekonomi akibat kekuatan sumber ekonomi pada akhirnya akan mampu menghilangkan kelas atau kasta dalam masyarakat (classless society).
~4~
Diagram 2: Dasar Fondasi Mikro Sistem Ekonomi
Sumber: Muhammad Arif (1985). Selanjutnya, paradigm ekonomi kapitalis di bangun atas landasan filosofi ―utilitarian dan individualistik‖ yang berlandaskan filosofi ―laissez faire‖. Filosofi ini memberikan kebebasan yang luar biasa kepada pelaku ekonomi untuk memuskan kebutuhan yang bersifat individualistik. Kapitalis percaya bahwa kalau individu itu hidupnya sudah makmur, maka ekonomi secara makro pun akan maju. Sedangkan paradigma ekonomi (Syari‘ah) Islam itu di bangun atas landasan filosofi ―kekhalifahan‖ (khalifah dan hamba Allah) untuk meraih falah. Dalam ekonomi Syari‘ah, manusia itu hanya sebegai pemegang amanah Allah yang dalam setiap tindak tanduknya harus berpedoman pada aturan Allah dalam usahanya untuk meraih falah.
~5~
Ekonomi Islam: Definisi dan Karekteristinya Apa itu ekonomi Islam? Apakah definisi ekonomi Islam itu sama dengan ekonomi konvensional? Sudah tentu tidak! Karena di bangun atas landasan filosofi dan juga memiliki tujuan yang berbeda dengan ekonomi konvensional, maka definisi ekonomi Islam berbeda dengan ekonomi konvensional. Menurut Hassanuzzaman (1984), ekonomi Islam itu adalah "…..the knowledge and application of injunctions and rules of the Shari'ah that prevent injustice in the acquisition and disposal of material resources in order to provide satisfaction to human beings and enable them to perform their obligations to Allah and the society." Sedangkan Akram Khan (1984) menyebutkan bahwa: “Islamic economics aims at the study of human falah achieved by orgainising the resources of earth on the basis of cooperation and participation.‖ Mohamed Aslam Haneef (1997) mengatakan bahwa ekonomi Islam adalah: ―an approach to interpreting and solving man‟s economic problems based on the values, norms, laws and institutions found in, and derived from, the sources o knowledge in Islam.‖ Sedangkan Muhammad Arif (1985) mendefinisikan ekonomi Islam ―… is the study of Muslim's behaviour who organises the resources, which are a trust, to achieve falah.”
Dari beberapa definisi ekonomi Islam di atas, dapat disimpulkan bahwa ekonomi Islam itu sangat menekankan pada pentingnya etika, moral, dan norma dalam memenej sumberdaya ekonomi untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat (falah). Walaupun ekonomi Islam tidak bertujuan untuk memaksimumkan kepuasan (utility) dan keuntungan (profit) seperti ekonomi konvensional, namun ekonomi Islam tidak melarang pelaku ekonomi untuk mencari keuntungan. Namun keutungan materi itu bukanlah segala-galanya. Keuntungan itu haruslah digunakan sebagai alat untuk mencari falah.
Dalam ekonomi Islam, sumber ekonomi ciptaan Allah yang terdiri dari tanah, buruh, modal dan entrepreneurship itu tidak terbatas jumlahnya. Dengan kata lain, konsep kelangkaan (scarcity) yang ada dalam ekonomi konvensional itu ditolak oleh ekonomi Islam. Kerena kalau kita mengatakan sumberdaya ekonomi itu langka dan terbatas, maka secara tidak langsung kita mengatakan bahwa Allah Yang Maha Perkasa itu lemah dan
~6~
tidak berdaya. Berikut ini adalah beberapa firman Allah SWT yang menegaskan bahwa Allah telah menciptakan sumberdaya ekonomi yang tidak terbatas baik yang bersumber dari langit, darat, dan bahkan dari lautan untuk digunakan secara optimal dalam membangun ekonomi umat, dapat kita lihat dalam ayat-ayat berikut: "...dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya tidak mampulah kamu menghitungnya..." (Q.S. Ibrahim: 34); "Adalah Allah swt yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezeki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai"; (Q.S. Ibrahim: 32); "...dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya (sebagai rahmat) daripada-Nya..." (Q.S. al-Jatsiyah: 13); dan "Dan sesungguhnya Kami telah menetapkan kamu (dan memberi kuasa) di bumi, dan Kami jadikan untuk kamu padanya (berbagai jalan) penghidupan (supaya kamu bersyukur, tetapi) amatlah sedikit kamu bersyukur." (Q.S. al-'Araf: 10).
Semua ayat di atas mengandung makna bahwa Allah swt telah membekali hidup umatNya di dunia ini dengan sumberdaya ekonomi yang melimpah ruah. Berjalannya roda ekonomi itu sangat bergantung kepada berbagai nikmat Allah sumberdaya ekonomi), seperti nikmat matahari, bulan, bintang, hujan, minyak bumi, gas alam, emas, intan permata, kesuburan tanah, lautan, dan berbagai nikmat Allah lainnya yang tidak terkira jumlahnya. Tanpa semua nikmat ini, bisakah kita bayangkan apa yang akan berlaku terhadap bumi ini bila sesaat saja diberhentikan Allah? Apakah kehidupan manusia masih wujud? Masih dapatkah kita tertawa-riang, menyanyi, bersiul, berteriak, dan senyum sebagaimana biasa? Apakah mungkin pembangunan ekonomi akan terjadi tanpa semua ini? Jelas jawabannya adalah mustahil pembangunan ekonomi bisa terjadi tanpa semua nikmat dan karunia Allah swt yang tak terkirakan itu.
Merujuk pada makna ayat-ayat di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa, sebenarnya, bukanlah sumber daya alam (nikmat) Allah swt yang terbatas, melainkan kemampuan (ilmu) dan ketaqwaan manusialah yang terbatas untuk mengekplorasi dan
~7~
mendistribusikan sumber daya secara optimal dan adil. Penngunaan dan pendistribusian sumberdaya alam secara tidak tepat dan adil oleh manusia yang serakah juga telah menyebabkan sebagian manusia lain untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Pendek kata, Islam tidak mengenal konsep kelangkaan (scarcity) sumber daya alam, yang ada hanyalah terbatasnya kemampuan (ilmu) manusia untuk mengekplorasi sumber daya alam dan tipisnya kadar keimanan dan tingkat ketaqwaan (ikhtiar/do‘a) umat dalam usahanya untuk membangun ekonomi.
Karakteristik Unik Ekonomi Islam Dari penjelasan di atas, jelas bahwa ekonomi Islam itu berbeda dengan ekonomi konvensional baik pada tataran filosofi maupun tujuan. Berikut ini adalah ringkasan ciriciri ekonomi Islam: 1. Ekonomi Islam dibangun atas landasan filosofi dan paradigma Syari‘ah. 2. Manusia sebagai pelaku ekonomi itu adalah berfungsi sebagai Khalifah. Kecendrungan mementingkan kepentingan pribadi (selfish) manusia itu haruslah berada dalam bingkai Syari‘ah. 3. Dalam ekonomi Islam adanya perpanjangan waktu (extended time horizon), yaitu percaya akan ada hari Akhirat. Apapun yang dilakukan di dunia ini akan diminta pertanggungjawabannya di hari Akhirat kelak. 4. Ekonomi Islam menganut sistem kepemilikan relatif (relative ownership). Harta yang dimiliki manusia itu adalah milik mutlak Allah, sedangkan manusia adalah pemegang amanah. 5. Pengambilan keputusan dalam ekonomi Islam itu dilakukan melalui ―syura‖ (musyawarah) atau kesepakatan bersama. 6. Adanya institusi al-Hisba dalam ekonomi Islam yang berperan untuk mengawas pelaksanaan aktivitas ekonomi itu agar dijalankan dengan penuh keadilan. 7. Adanya institusi zakat yang berperan mengumpulkan dana zakat dari orang kaya untuk didistribusikan kepada mereka yang melarat. 8. Tidak seperti dalam ekonomi konvensional, riba itu dilarang dalam ekonomi Islam.
~8~
Jadi jelas bahwa yang membedakan ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional bukan hanya terletak pada adanya zakat dan tiadanya riba dalam ekonomi Islam [atau dapat ditulis dengan rumus: Ekonomi Islam = Ekonomi Konvensional + Zakat – Riba]; tetapi lebih dari itu. Ekonomi Islam berbeda dengan ekonomi konvensional karena mereka di bangun atas landasan filosofi yang berbeda, dan sudah tentu akan memiliki proses dan tujuan yang berbeda pula.
Agar aktivitas ekonomi Islam itu benar-benar Islami, maka operasionalnya harus berpandukan pada Syari‘ah. Untuk menjadikan sesuatu aktivitas itu Islami, tidak cukup hanya dengan: ―membaca bismillah ketika memulai, menggunakan ayat al-Qur‘an dan Hadist ditengah-tengahnya dan mengakhirinya dengan membaca Alhamdulillah‖. Hal ini persis seperti disebutkan Syeik Idris (1987) berikut ini: ―How do we make some thing Islamic, including Islamic economic, of course, which is already so? Or is it your intention merely to give each form of knowledge an Islamic flavor by injection an “ayat” here, imposing a “Hadith” there, making an opening with “bismillahi-rrahmani-rrahim” and a closing with “alhamdu lillahi rabbi-l‟alamin”?
Ekonomi Islam vs. Ekonomi Konvensional Table 1 di bawah ini menjelaskan perbedaan antara ekonomi Islam dan ekonomi Islam dalam menjawab pertanyaan penting ekonomi. Table 1: Answers to Basic Economic Decisions by Different Economic Systems Question Traditionalist
What to produce? What is believed can support family members (subsistence level)
How to produce? Produced in a traditional way, focusing on agricultural and mineral commodity
For whom to produce? Distribution according to the status. Barter play a very important role in distribution
Capitalist
What business firms believe people want and firm will make profit
Producer decides how to produce efficiently keeping in view desire to make profit
Distribution according to ability and inherited wealth
Socialist
What central planners believe socially beneficial
Central planners decide keeping in view the greater benefits of the Society
Distribution according to individual need determined by central planners
Islamist
What is permissible in Shariah (Haram and Halal) and needed? No extravagance
Producer decides how to produce efficiently keeping in view desire to make profit and public interest (maslahah)
Every one in the society is provided with the basic necessities by the state
~9~
Sedangkan Table 2 berikut menjelaskan perbedaan antara ekonomi Islam dan ekonomi Islam dalam memenej aktivitas ekonomi. Table 2: Salient Features of Different Economic Systems Features
Traditionalist
Institution of property ownership
Private property by tradition
Motivational factor
Organization decision making & Coordination mechanism
Capitalist
Socialist
Islamist
Private property
State owned property
Both private and public properties are recognized
To survive and retain the power
Material gain in this world
Collective welfare of the society
Attain falah in this world and hereafter
Tradition or custom
Market mechanism
Central planning
Market mechanism with positive role of the state
~ 10 ~
BAB 2 EKONOMI ISLAM: SOLUSI TERHADAP BERBAGAI PENYAKIT EKONOMI
Diskursus tentang sistem ekonomi yang paling ideal dan sesuai bagi umat sudah sejak lama dimulai dan hingga detik ini belum lagi berakhir. Ini dapat kita baca dari lansiran berita-berita di berbagai media massa tentang malapetaka ekonomi yang terjadi akibat kelemahan sebuah sistem ekonomi. Setelah memudarnya sistem ekonomi komunis bermula pada kehancuran negara Uni Soviet, maka kini giliran sistem ekonomi kapitalis pula yang sentiasa mendapat sorotan dan kritikan. Seringnya timbul penyakit ekonomi, seperti pengangguran, inflasi, dan bahkan krisis ekonomi di negara-negara penganut ekonomi ala kapitalis merupakan bukti bahwa sistem ekonomi kapitalis bukanlah sebuah sistem ekonomi yang ideal. Tulisan ini ingin menganalisa eksistensi sistem ekonomi kapitalis dan komunis serta perbandingannya dengan sistem ekonomi Islam.
Sistem Ekonomi Kapitalis dan Komunis Kita tidak menafikan bahwa ekonomi merupakan suatu bagian penting dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh itu, terealisasinya kesejahteraan ekonomi masyarakat dalam sebuah negara sangat ditentukan oleh eksistensi sistem ekonomi negara yang stabil dan mantap. Dalam masyarakat, setidaknya, ada dua pemikiran azas yang mempengaruhi sistem ekonomi negara. Pertama, prinsip individu dengan liberalis dan kapitalisnya. Kedua, prinsip kebersamaan dengan sosialisnya. Berdasarkan kedua pemikiran azas inilah telah lahir sistem-sistem ekonomi yang dikenal dunia saat ini, seperti sistem ekonomi pasar bebas (kapitalis) dan ekonomi sentralistis (komunis). Dalam bukunya "An inquiry into the Nature and Causes of Wealth of Nations", bapak pengasas ekonomi, Adam Smith (1776) telah menganalisa semua permasalahan mendasar ekonomi kapitalis. Di dalam bukunya itu, Adam Smith berhujah bahwa penggerak perekonomian suatu negara ialah individuindividu, sehingga syarat mutlak berhasilnya perekonomian ialah terletak pada kebebasan yang tidak terbatas yang diberikan negara kepada para individu atau pengusaha. Penggunaan faktor-faktor ekonomi secara pribadi untuk keuntungan pribadi, pembukaan pasar-pasar bebas global, penentuan harga barang dan jasa di pasar oleh mekanisme
~ 11 ~
penawaran dan permintaan (mekanisme pasar), keuntungan individu merupakan penyumbang pembangunan ekonomi, dan terbatasnya peran pemerintah dalam mengontrol sistem perekonomian negara adalah di antara ciri-ciri utama ekonomi kapitalis. Merujuk pada ciri-ciri sistem kapitalis ini, sistem ini jelas memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi mereka-mereka yang memiliki modal yang banyak untuk meraih keuntungan maksimum dengan memanfaatkan kelemahan golongan tidak bermodal (miskin). Semua pelaku ekonomi dalam sistem ekonomi ini cendrung mementingkan diri sendiri (selfishness) tanpa peduli kesejahteraan hidup orang lain. Apapun usaha dan kegiatan ekonomi yang dilakukan dalam sistem ekonomi ini, semunya dilakukan dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri dengan sebebas-bebasnya tanpa campur tangan pemerintah. Akibatnya, dalam sistem ekonomi kapitalis, golongan kaya akan semakin kaya-raya dan golongan miskin akan semakin papa-kedana.
Kelemahan sistem ekonomi kapitalis di atas—yang
menjadikan jumlah pemilikan
―materi‖ sebagai pengukur keberhasilan individu dan negara—telah mengakibatkan lahirnya sistem ekonomi komunis atau sosialis yang sangat menfokuskan kesejahteraan kolektif (bersama) yang sepenuhnya diatur oleh pemerintah. Latar belakang lahirnya ekonomi komunis dapat kita baca dari teori Marxis–Lenin (1974) yang dituangkan dalam bukunya bertajuk: ―Politische Oekonomie des Kapitalismus und des Sozialismus‖ sebagai berikut: "...kaum buruh dapat melepaskan dirinya sendiri, hanya apabila kepemilikan secara kapitalis terhadap barang-barang produksi dihilangkan dan sebagai gantinya ialah dibentuknya kepemilikan secara sosial".
Pemikiran inilah yang menjadi azas dan prinsip kepemilikan bersama terhadap faktorfaktor produksi dalam sistem ekonomi komunis. Kepemilikan bersama terhadap faktorfaktor produksi, seperti tanah, modal, buruh, dan kewiraswataan adalah dimaksudkan untuk kepentingan bersama. Jadi, dalam sistem ini, keuntungan pribadi secara materi bukan merupakan pendorong bagi para pelaku ekonomi untuk memenuhi perencanaan pembangunan negara, melainkan tanda-tanda jasa dari negara. Para pelaku ekonomi tidak memiliki ruang gerak yang bebas dalam melakukan berbagai aktivitas ekonominya, banyaknya produksi juga harus disesuaikan dengan keperluan konsumen, untuk ini
~ 12 ~
dibentuk neraca produksi yang disesuaikan oleh neraca keperluan produksi tersebut, semua perencanaan pembangunan, strategi perekonomian dan implementasi serta pelaksanaan aktivitas ekonomi, semuanya ditentukan dan dikontrol sebaik-baiknya oleh pemerintah. Singkatnya, semua aktivitas ekonomi dalam sistem ekonomi komunis mutlak diatur oleh pemerintah, sedangkan individu tidak memiliki kebebasan sama sekali. Kesejahteraan ekonomi mutlak berada di tangan pemerintah.
Kedhaifan Sistem Ekonomi Kapitalis dan Komunis Seperti dikatakan sebelumnya, sistem ekonomi komunis atau sosialis kian simakin pudar. Banyak negara-negara yang dulunya menganut sistem ini, kini telah menganut sistem ekonomi yang lebih terbuka, iaitu ekonomi kapitalis. Hal ini, diantaranya, disebabkan oleh tidak produktifnya sistem ini (sosialis) di era globalisasi. Dimana untuk memproduksikan suatu barang dan jasa dibutuhkan berbagai bahan mentah (raw material) yang tidak semuanya dapat dipenuhi bersumber dari dalam negeri, dan bahkan kesukaran untuk mengimportnya dari luar negeri dengan harga yang berpatutan (murah). Banyak negara penganut ekonomi sosialis tidak mampu mencapai kepuasan pribadi rakyatnya mulai dari masalah pembayaran upah buruh hingga ke masalah pengembangan karier pelaku ekonomi. Kemudian, kelemahan utama sistem ini adalah tidak memberi pengakuan terhadap kelebihan pemilikan skills, bakat, dan sumbangsih yang diberikan para individu yang hidup dalam sistem ini. Bagaimanapun kerasnya usaha mereka dengan skills dan bakat yang tinggi untuk memajukan ekonomi negara, namun mereka hanya berhak mendapat kesejahteraan (pendapatan) yang sama-rata dengan orang lain yang malas bekerja dan sama sekali tidak mempunyai skills. Inilah ketidakadilan terbesar yang berlaku dalam sistem ekonomi komunis ini. Karena, dalam Islam, keadilan itu bukanlah berarti
bahwa
negara
harus
membagi
sama-rata
hasil
pembangunan
tanpa
mempertimbangkan jerih payah dan usaha yang disumbangkan pada negara, melainkan keadilan dalam Islam itu adalah membagi hasil pembangunan sesuai dengan jerih payah dan usaha yang disumbangkan. Ini tentunya, mereka yang rajin bekerja dengan memiliki skills dan bakat yang tinggi akan mendapat hak untuk menikmati hasil pembangunan dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan mereka yang malas bekerja dan tidak berbakat dan memiliki skills. Ketidakadilan sistem ini dalam membagi hasil
~ 13 ~
pembangunan pasti akan menyebabkan orang-orang yang rajin bekerja akan semakin malas bekerja—akibat tidak mendapat kompensasi proportional dengan sumbangan jerih payah dan kerja yang mereka berikan pada negara—dan yang malas bekerja, sudah tentu, akan terus semakin malas.
Sementara itu, di negara-negara yang menganut sistem kapitalis, kebebasan terhadap kepemilikan faktor-faktor produksi dan harta-benda juga akan menimbulkan berbagai masalah, antara lain ialah terkonsentrasinya pemilikan kekayaan negara pada satu atau segelintir masyarakat saja, khususnya mereka yang memiliki modal yang banyak. Konsekuensinya, sistem ini akan semakin memperlebar ―gap” antara si kaya dan si miskin yang, pada gilirannya, akan merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Seperti berlaku di Indonesia, misalnya, golongan kaya-raya bahkan pada kenyataannya telah menguasai mekanisme penentuan harga di pasar, yang secara teori seharusnya terbentuk melalui mekanisme penawaran dan permintaan antara konsumen dan produsen. Dengan aksi monopolinya, kelompok ini semakin merajalela dalam memperkaya dirinya sendiri tanpa memperhatikan kesejahteraan golongan menengah ke bawah yang hidupnya dari hari ke hari semakin melarat, kebebasan dan keuntungan individu sebagai pendorong lajunya roda perekonomian negara telah mengakibatkan pudar dan bahkan hilangnya nilai-nilai rasionalitas masyarakat dalam membangunan negara, dan bahkan telah menjadikan hawa nafsu sebagai acuan dalam berbagai tindakan mereka. Kalau ini telah berlaku, maka kehancuran akan bermula, begitu Allah SWT menjanjikan dalam firmanNya: ―Dan kalaulah kebenaran itu tunduk menurut hawa nafsu mereka, nescaya rusak binasalah langit dan bumi serta segala isinya...‖ (Q.S. al-Mukminun: 71). Bila kita melihat realitas sekarang dengan menatapi apa yang telah dan sedang berlaku di hampir semua negara-negara penganut ekonomi kapitalis dan sosialis dewasa ini, maka janji Allah SWT di atas telahpun menjadi kenyataan. Perekonomian negara-negara yang dikuasai oleh dorongan hawa nafsu, satu-persatu telah mengalami kelesuan, kemorosotan dan bahkan kehancuran. Seperti krisis ekonomi dan politik yang belum berakhir terjadi di Indonesia, kebanyakannya disebabkan oleh bisnis-bisnis spekulatif yang dilakukan oleh segelintir golongan yang tidak bertanggung jawab dengan mengekploitasi kekayaan negara, tentunya, dengan memanfaatkan kelemahan sistem perekonomian pada umumnya
~ 14 ~
dan sistem perbankan Indonesia pada khususnya yang memiliki kemiripan dengan sistem ekonomi kapitalis. Begitu juga dengan krisis ekonomi global 2007 yang bermula di Amerika Syarikat, semuanya terjadi akibat keserakahan manusia bermodal untuk mengeksploitasi mereka yang lemah.
Selanjutnya, akibat kebebasan tanpa batasan dalam sistem ekonomi kapitalis telah memposisikan para golongan konglomerat (tycoons) sebagai penguasa ekonomi negara. Perkara ini, misalnya, dapat kita lihat dari perkembangan ekonomi negara Indonesia dimana dengan aksi-aksi permainan kotor (malpractices) di sektor keuangan, penetapan harga barang primer yang tidak berpatutan di tengah krisis ekonomi, telah menyebabkan kelompok konglomerat ini menjadi sangat dominan dalam menentukan berbagai kebijakan ekonomi negara dan bahkan seringkali mampu mendesak pemerintah agar kebijakan ekonomi negara tersebut semakin memihak kepada kepentingan mereka. Sifat ini secara perlahan-lahan tapi pasti akan memudarkan dan sekaligus menghilangkan nilainilai etika sosial dalam masyarakat. Bila sifat ini terus subur berlaku dalam masyarakat, maka akan menutup kemungkinan bagi si miskin atau orang yang secara fisik tidak mampu untuk hidup secara layak dan makmur. Sementara itu, dibukanya pintu untuk pasar internasional secara bebas sesuai dengan kehendak sistem ekonomi kapitalis akan menimbulkan kolonialisme gaya baru yang akan memonopoli kekayaan alam negara tanpa peduli kesejahteraan ekonomi masyarakat setempat. Khususnya di negara-negara berkembang seperti di Asia, kebijakan-kebijakan dan prioritas ekonomi kapitalis ialah pengeksploitasian kekayaaan negara dengan mengabaikan nilai-nilai sosial di dalam masyarakatnya. Inilah sebabnya para kapitalis berhaluan keras (ekstrim) berhujah bahwa: ―kesejahteraan ekonomi itu dengan mudah akan dapat direalisasikan secara maksimal jika tanpa dihalang oleh paraturan-peraturan‖. Dengan kata lain, para pelaku ekonomi baik individu dan pengusaha harus diberikan kebebasan yang seluas-luasnya dalam melakukan berbagai aktivitas ekonomi dalam rangka membangun ekonomi negara. Sikap dan prinsip sistem kapitalisme seperti ini telah mengakibatkan memudar dan bahkan menghilangnya nilai-nilai etika-sosial (akhlaqul karimah) dalam masyarakat kapitalis, dan bahkan mereka telah dikuasai oleh hawa nafsu yang kapan saja siap mengheret umat manusia ke lembah kepapaan dan kehancuran.
~ 15 ~
Sebenarnya, cukup banyak kritikan-kritikan lain yang dilontarkan terhadap kedua sistem ekonomi di atas, walaupun dalam realitasnya jarang sekali salah satu dari ke dua sistem ini dianut secara sempurna oleh negara tertentu di dunia. Sebagai contoh sistem ekonomi ―Soziale Marktwirtschaft‖ di Jerman, di samping menganut sistem pasar bebas (kapitalis), sistem ini juga memiliki jaringan sosial yang padu (komunis). Pendek kata, semua kritikan yang dilontarkan terhadap ke dua sistem ekonomi besar dunia ini menunjukkan bahwa sistem-sistem ekonomi ini tidak terlepas dari berbagai kelemahan dan kedhaifan dalam menawarkan solusi terhadap permasalahan ekonomi global.
Ekonomi Islam: Sebuah Solusi? Sebagai agama komprehensif (syumul), Islam tidak hanya mengatur persoalan menyangkut peribadatan semata, malah sebagai ―the way of life‖ Islam juga mengatur berbagai masalah ekonomi, dimulai dari pengaturan faktor-faktor produksi dan hubungannya dengan manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi ini, seperti terakam dalam ayat-ayat berikut yang, masing-masing, bererti: ―Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derjat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikanNya kepadamu...‖ (Q.S. al-An‘am:165); ―Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: „Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi‟...‖ (Q.S. al-Baqarah:30); dan ―...dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi...” (Q.S. al-Naml: 62). Kata-kata ―menjadikan manusia sebagai khalifah‖, seperti disebutkan dalam ayat-ayat di atas, menurut para mufassirin (ahli tafsir), bermakna bahwa Allah SWT telah menjadikan manusia berkuasa di atas muka bumi ini. Kekuasan manusia ini, tentunya, tidak terbatas dalam aspek-aspek tertentu saja seperti aspek peribadatan, tetapi juga meliputi aspek sosio-ekonomi, politik, budaya, dan berbagai aspek kehidupan umat lainnya.
Dalam hal kekuasaan di bidang ekonomi, khususnya kepemilikan terhadap faktor-faktor produksi, seperti tanah, modal, buruh dan kewiraswastaan adalah sesuatu yang dihalalkan Allah SWT bagi manusia sebagai khalifah-Nya berteraskan nilai-nilai Islami. Ini bermaksud bahwa kepemilikan mutlak (absolute ownership) dalam Islam hanya semata-
~ 16 ~
mata milik Allah SWT, dan manusia hanya merupakan ―pemegang amanah‖ (trustee) terhadap pemilikan Allah SWT untuk digunakan sesuai dengan peraturan syara‘ demi kemaslahatan orang banyak. Ini juga berimplikasi bahwa manusia juga diserukan untuk sentiasa menempuh jalan yang telah digariskan Islam dalam melaksanakan aktivitas ekonomi, seperti dalam proses produksi, distribusi dan konsumsi barang dan jasa. Tegasnya tuntutan Islam agar umatnya senantiasa menjalankan berbagai kegiatan duniawi berlandaskan Syari‘at jelas terlihat dari keharusan setiap individu Muslim untuk mempertanggungjawabkan semua kegiatan yang mereka lakukan di dunia ini pada hari akhirat kelak. Di Mahkamah Ilahi, kita tidak berpeluang untuk memberi saksi palsu dan menipu Allah SWT sebab semua catatan amalan baik dan buruk kita telah sangat rapi dan komplit dicatat satu-persatu oleh dua Asisten Ilahi yang sangat loyal, Malaikat Raqib dan Atid. Perkara ini seperti ditegaskan Allah SWT dalam firman-firmanNya, yang bermaksud seperti berikut: ―(yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir" (Q.S. Qaaf: 17-18); "Dan katakanlah wahai Muhammad saw: Beramallah kamu (akan segala yang diperintahkan), maka Allah dan Rasul-Nya serta orang yang beriman akan melihat apa yang kamu kerjakan" (Q.S. at-Taubah: 105); dan ―…sesungguhnya kamu akan ditanya kelak tentang apa yang kamu kerjakan‖ (Q.S. anNahl: 93). Oleh karena itu, hak kepemilikan terhadap faktor-faktor produksi pada khususnya dan harta-benda pada umumnya yang dianugerahkan Allah SWT kepada manusia sebagai pemegang amanah-Nya haruslah benar-benar dijalankan berteraskan nilai-nilai Qur‘ani demi kemaslahatan umat, dan manusia sekali-kali tidak berupaya untuk menipu Sang Penciptnya, Allah Rabb al-Jalil.
Cara Mendapat Hak Pemilikan Secara umum, hak milik dalam Islam dapat diperolehi melalui beberapa cara, seperti melalui bekerja dan harta warisan. Hal ini seperti sabda Rasulullah saw yang mengandungi makna: "Barang siapa memakmurkan sebidang tanah bukan milik seseorang, maka dialah yang lebih berhak memiliki tanah itu" (al-Hadis). Selanjutnya,
~ 17 ~
kepemilikan terhadap harta juga berlaku melalui pewarisan, pemberian (hadiah), penjualan, wasiat dan berbagai cara pemindahan hak kepemilikan lainnya.
Islam mengenal hak kepemilikan terhadap harta dan faktor-faktor produksi sebagai tugas sosial bagi pemilik hak tersebut dalam batas-batasnya sebagai khalifah di bumi ini. Sebagai khalifah fil-Ard, manusia diserukan untuk menegakkan makruf dan mengenyahkan munkar, termasuk dalam mengelola faktor-faktor produksi yang telah dianugerahkan Allah SWT kepada manusia. Penentuan harga secara bebas tanpa adanya unsur monopoli merupakan ciri khas terbentuknya mekanisme harga dalam sistem ekonomi Islam. Namun, perlu dicatat bahwa, dalam sistem ekonomi Islam pemerintah berhak melakukan intervensi pasar apabila telah terjadinya kejahilan ekonomi, seperti monopoli, penyeludupan, perjudian, hyperinflasi (membumbungnya harga barang dan jasa di luar batas-batas harga yang berpatutan) dan berbagai aktivitas ekonomi yang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan ekonomi Islam lainnya. Tidak seperti ekonomi kapitalis yang sama sekali bebas dari campur tangan pemerintah dan sistem ekonomi komunis yang semua aktivitas ekonominya diatur sepenuhnya oleh pemerintah, sistem ekonomi Islam berada di antara ke dua sistem ini dimana wujudnya kebebasan ekonomi dalam batas-batas tertentu dan campur tangan pemerintah hanya dibenarkan sebatas untuk mengawal kejahilan ekonomi dalam batasan-batasan tertentu pula. Pendek kata, pemerintah mempunyai hak dan tanggung jawab untuk menstabilkan perekonomian negara dalam sistem ekonomi Islam.
Peran Pemerintah dalam Ekonomi Islam Urgensi peran aktif pemerintah untuk memastikan kestabilan ekonomi negara telah direkam Allah SWT dalam ayat berikut yang bermakna: "Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasulNya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha perkasa" (Q.S. al-
~ 18 ~
Hadith: 25). Ayat ini telah diinterpretasikan secara berbeda oleh para mufassirin. Kaitannya dengan usaha untuk mewujudkan sistem ekonomi yang stabil dan berkeadilan, Muhammad al-Mubarak (1972) di dalam bukunya "Nizam al-Islam al-Iqtisadi" telah mengintepretasikan bahwa untuk memastikan kestabilan dan keadilan ekonomi, maka Islam membenarkan negara untuk menggunakan kekuatan (besi) melalui penegakan hukum. Sebagai contoh, apabila ada individu tertentu atau sekelompok anggota masyarakat yang menyimpan (ihtikar) barang keperluan masyarakat awam yang sangat mendesak (urgent needs), maka pemerintah berhak memaksa para penyimpan/penyorok barang untuk menjual barangnya dengan "harga yang adil", meminjam istilah Ibn Taymiyah, yaitu pada tingkat harga yang sama (qimat-al-mithl) dengan barang sejenis di pasar. Demi mewujudkan kepentingan orang banyak (Maslahah al-Ammah), bahkan Muhammad al-Ghazali (1952) dalam bukunya "Al-Islam wa al-Awda' al-Iqtisadiyyah" mengatakan bahwa negara berhak membatasi kebebasan seseorang individu demi untuk menyelamatkan kepentingan dan kemaslahatan orang ramai. Begitu juga bila orang kaya menolak untuk mengeluarkan hak si miskin (zakat), maka negara berkewajiban untuk memaksa orang kaya agar memenuhi hak si miskin tersebut. Tindakan memerangi umat Islam yang ingkar membayar zakat ini dapat kita rujuk pada tindakan Khalifah Abu Bakar as-Siddiq RA, beberapa hari setelah kemangkatan Rasulullah SAW, yang dikenal dengan Perang Siffin. Alasan utama kenapa Khalifah al-Rasyidin pertama ini memerangi mereka adalah seperti kata beliau sendiri: "Demi Allah SWT aku akan memerangi mereka yang membedakan di antara sembahyang dan zakat karena zakat adalah tuntutan terhadap harta. Demi Allah SWT, seandainya mereka enggan membayar zakat itu, sedangkan mereka pernah membayarnya kepada Rasulullah dulu, aku tetap akan memerangi mereka." (H.R. Ibn Hajar dan Bukhari).
Tindakan pemaksaan ini haruslah menjadi agenda negara dalam upayanya untuk mensejahterakan ekonomi masyarakat miskin, sebab kegagalan negara dalam memenuhi keperluan si miskin, menurut Abdul Qadir Audah (1977) di dalam bukunya "Al-Mal wa al-Hukm fi al-Islam" adalah merupakan pertanda negara telah membenarkan terjadinya penindasan terhadap hak-hak kaum miskin oleh kaum kaya. Pengabaian hak si miskin
~ 19 ~
yang telah dijamin Allah SWT oleh negara jelas telah melanggar aturan Ilahiah yang tidak dibenarkan agama.
Pemerintah dalam memenej negara, menurut mayoritas para Fukaha (ahli Fikah), setidaknya harus memproteksi empat hak dan kebebasan fundemantal setiap individu Muslim (warga negara). 1. hak dan kebebasan untuk hidup; 2. hak dan kebebasan beragama; 3. hak dan kebebasan untuk mencari dan memiliki harta; dan 4. hak dan kebebasan untuk mengaktualisasi martabat dan harga diri.
Agar ke-empat unsur di atas terpenuhi, maka pemerintah berkewajiban untuk: 1. Menjamin terwujudnya pendistribusian kekayaan negara yang berkeadilan. Untuk itu, maka Islam telah meletakkan zakat, inter alia, sebagai instrumen kebijakan fiskal yang sangat penting dalam mewujudkan pendistribusian pendapatan yang berkeadilan di antara sesama warga negara.
2. Menyediakan kesempatan kerja yang seluas-luasnya sehingga ekonomi berada dalam kondisi guna tenaga penuh (full-employment). Dalam hal ini, pemerintah hendaklah membuka training dan program ketrampilan tertentu (seperti, entrepreneurial skills) sehingga kalaupun para pencari kerja yang siap pakai (ready employed) tidak mendapat peluang kerja di instansi pemerintahan dan swasta, maka dengan bekal training yang mereka miliki, dengan sendirinya, akan memudahkan mereka untuk memulai bisnis sendiri. 3. Memastikan pelaksanaan ―‗amar makruf wa nahi munkar”. Hal ini, diantaranya, sesuai dengan firman Allah SWT dalam ayat berikut yang, masing-masing, berarti: "Yaitu orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah yang munkar, dan kepada Allahlah kembali semua urusan" (Q.S. al-Hajj: 41) "Dan hendaklah ada diantara kamu yang menyeru
~ 20 ~
kepada kebaikan, meyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar...” (Q.S. Ali Imran: 104). Agar penegakan ―amar makruf wa nahi munkar” dalam ekonomi Islam benarbenar terlaksana, maka dalam melaksanakan tugas suci ini hendaklah negara menunjukkan individu-individu yang berkompeten (berkelayakan), bertanggung jawab, dan tidak ragu-ragu dalam menghukum dan memecat mereka yang berlaku curang dan berlaku tidak adil. Seterusnya, negara tidak dibenarkan untuk mengamalkan diskrimanasi hukum terhadap warganya yang melakukan kriminal ekonomi. Siapapun yang bersalah, tanpa melihat kedudukan, kekayaan, keturunan, tingkat pendidikan, dan pengaruhnya dalam masyarakat, haruslah dihukum dengan standar hukuman (penalty) yang berkeadilan.
Pentingnya keagresifan pemerintah dalam mewujudkan kestabilan ekonomi, dapat kita lihat dari besarnya perhatian Khalifah Ali bin Thalib RA dalam mengawasi harga barang, timbangan dan ukuran barang yang digunakan para pedagang dan pemborong (dealers) di pasar pada masa itu. Hal ini seperti disebutkan Dr. Abdul Qadir Husaini (1966) di dalam bukunya, Arab Administration, "...dimana sejak dari awal pemerintahan Islam, Khalifah Ali bin Abi Thalib RA senantiasa telah terjun langsung sendiri ke pasar Kufah untuk mengontrol timbangan yang digunakan dan beliau memastikan bahwa benar-benar tidak ada seorangpun yang merasa dirugikan...".
4. Memerangi institusi riba, monopoli, perjudian (gambling), dan semua tindakan yang bertentangan dengan syari‘at Islam lainnya. Dalam hal ini, pemerintah harus senantiasa mengadakan pengecekan mendadak (spot check) ke pasar-pasar dan ke berbagai tempat aktivitas ekonomi dijalankan. Dan bila terjadi kejahilan ekonomi, maka pemerintah harus mengambil tindakan tegas tanpa pilih kasih dan berkorupsi, kolusi, dan nepostime (ber-KKN) dengan penjahat ekonomi. Tindakan tegas ini sangat perlu diambil pemerintah dalam rangka menutup peluang dan ruang gerak pelaku kejahatan ekonomi agar tidak mengulangi lagi kejahatan
~ 21 ~
mereka yang sangat merugikan umat. Singkatnya, pemerintah dalam semua kebijakan ekonominya tidak bersifat pilih kasih terhadap rakyat jelata. Pemerintah harus menyayangi dan menghargai rakyatnya sama rata (secara adil) sebagaimana ia menyayangi dan menghargai setiap anggota tubuhnya sendiri, dan bahkan menempatkan kepentingan orang banyak di atas kepentingan pribadinya. Siapa saja yang melanggar hukum harus ditindak dengan hukuman yang berkeadilan tanpa membedakan status, keturunan, kekayaan, dan jasanya kepada rakyat dan negara. Karena sifat pilih kasih baik dalam memprioritaskan alokasi kesejahteraan maupun dalam menegakkan hukum (law enforcement) kepada rakyatnya akan menyebabkan hilangnya kepercayaan rakyat terhadap kepemimpinannya, dan bahkan akan mengundang malapetaka. Kemudian, dalam bertindak pemerintah itu haruslah mampu mengikuti jejak-jejak praktek Rasulullah SAW dalam menegakkan hukum, seperti sabda Rasulullah SAW berikut, yang bermakna: ―Sungguh Allah SWT telah membinasakan umat sebelum kamu, karena apabila ada di antara orang besar mencuri dibiarkan saja, tetapi jika orang kecil yang mencuri dijatuhi hukuman seberat-beratnya. Demi Allah SWT yang jiwaku berada di tanganNya, andaikata anakku Fathimah, Putri Rasullullah mencuri pasti akan ku potong tangannya‖ (al-Hadits).
5. Menjamin semua warganya benar-benar mendapat keadilan melalui sistem peradilan yang adil, efektif dan efisien dengan menggunakan standard dan moral hukum yang sama tanpa mengenal istilah diskriminasi hukum. Singkatnya, Islam mendorong kebebasan dan menentang peraturan-peraturan atau birokrasi yang berlebih-lebihan terutama menyangkut aktivitas ekonomi dan perdagangan. Ini semua bertujuan untuk memartabatkan ekonomi yang berkeadilan benar-benar dirasakan oleh setiap warganya.
Batasan Peran Pemerintah Walaupun demikian tidak berarti bahwa dalam mewujudkan kestabilan ekonomi yang berkeadilan, pemerintah bisa bertindak sekehendak hatinya tanpa mengenal batasanbatasan hukum.
Menurut Yusuf (1971) dalam ―Economic Justice in Islam”-nya,
~ 22 ~
mengatakan bahwa dalam mewujudkan ekonomi yang stabil dan berkeadilan, pemerintah haruslah memperhatikan batasan-batasan tertentu, diantaranya, adalah: 1. Pemerintah tidak dibenarkan bertindak ―immoral” yang sangat merugikan warganya. Penggunaan kekuasaan dan hak istimewa untuk memonopoli keuntungan, misalnya, memungut pajak secara berlebihan dan tidak berazas dengan maksud untuk melindungi segelintir produsen atas alasan industrialisasi yang sangat merugikan masyarakat umum adalah perbuatan tercela yang sangat keras ditentang Islam. Atas alasan itulah, Islam tidak menggalakkan pemungutan pajak secara tidak langsung (indirect tax) karena cara ini terkesan menipu dan memaksa rakyat untuk membayar pajak tanpa sepengetahuan mereka. Sebaliknya, Islam sangat menggalakkan pemungutan pajak untuk dilakukan secara langsung (direct tax), karena pembayaran pajak secara langsung oleh masyarakat jelas merupakan kontribusi yang dilakukan secara sadar dan sepengetahuan mereka demi kepentingan umat.
2. Dalam pelaksanaan aktivitas bisnis, pemerintah hendaknya tidak membebankan warganya untuk membayar biaya-biaya administrasi, surat izin transaksi dan bisnis lainnya bila mereka melakukan aktivitas bisnis yang memerlukan perizinan dan pengesahan (endorsement) dari pemerintah. Pemerintah hendaklah benarbenar menciptakan keadaan bisnis yang kondusif dan bebas biaya, bukan sebaliknya mematikan bisnis mereka dengan cara memungut biaya-biaya yang tidak pada tempatnya. Begitu juga, ketika warga negaranya ingin mencari keadilan, hendaklah pemerintah membebaskan biaya pengadilan sehingga keadilan itu betul-betul wujud dalam masyarakat.
Seperti disebutkan sebelumnya, kewajipan berzakat merupakan bukti bahwa Islam sangat memerhatikan kesejahteraan semua lapisan masyarakat, terutama para kaum lemah ekonomi (fakir-miskin), seperti terkandung dalam erti ayat berikut: “...Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin), dan janganlah kamu
~ 23 ~
berlebih-lebihan...‖ (Q.S. al-An‘am: 141). Untuk menjembatani perbedaan sosioekonomi antara si kaya dan si miskin, pemerintah harus melakukan usaha optimal dalam mewujudkan keadilan sosial dengan merapatkan gap (jurang pemisah) antara si kaya dan si miskin, diantaranya, dengan mengoptimalkan institusi zakat.
Dari penjelasan di atas, jelas terlihat bahwa pemerintah sebagai institusi yang mengatur jalannya kehidupan bernegara diwajibkan untuk mengatur jalannya roda perekonomian agar praktek-praktek yang bertentangan dengan nilai-nilai Islami seperti monopoli, konsentrasi kekayaan pada golongan tertentu dan berbagai tindakan kejahatan ekonomi lainnya seperti aksi spekulasi dapat dihindari. Selain itu, kebijakan-kebijakan ekonomi yang dibuat pemerintah hendaklah ditujukan untuk menciptakan keseimbangan dan sekaligus keadilan sosio-ekonomi negara.
Dalam Islam, pembahasan tentang kedudukan modal (capital) sebagai salah satu dari faktor-faktor produksi juga mendapat perhatian khusus.
Pengumpulan modal secara
besar-besaran melalui institusi keuangan ribawi baik dalam sistem ekonomi kapitalis maupun komunis adalah bertentangan dengan fitrah manusia sebagai khalifah Allah SWT di bumi ini. Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa Islam menghalalkan hak kepemilikan terhadap faktor-faktor produksi dan harta-benda sejauhmana proses pemilikan, pengurusan dan pengelolaan harta benda itu mengikut ajaran Ilahiah. Berbagai cara penumpukan harta dan akumulasi modal terpusat serta berbagai praktek untuk meraup keuntungan secara mambabi buta tanpa peduli nilai-nilai moral seperti memlibatkan praktek riba secara rakus, serakah dan penuh hawa-nafsu adalah cara-cara kotor, jijik dan lagi menjijikkan yang sangat keras dilarang Islam. Larangan Islam ini, misalnya dapat kita simak dari ayat-ayat berikut yang bermakna: ―Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang lain dengan jalan yang bathil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih‖ (Q.S. at-Taubah: 34); dan ―Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-
~ 24 ~
lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (perbelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang yang demikian‖ (Q.S. al-Furqan: 67).
Berdasarkan arti ayat-ayat di atas jelas kita lihat bahwa Islam sangat menggalakkan umatnya untuk menggunakan harta benda (faktor-faktor produksi) mereka secara sederhana dan tidak mubazir (extravagance). Hal ini diperkuat lagi dengan ayat-ayat berikut: ―Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu menghulurkan karena itu kamu menjadi tercela dan menyesali‖ (Q.S. al-Isra‘: 29); ―Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan...‖ (Q.S. al-Isra‘: 27); dan “...makan dan minumlah kamu, dan janganlah berlebih-lebihan...” (Q.S. al-A‘raf: 31).
Demikian pula Rasulullah SAW cukup banyak memberi peringatan kepada umatnya agar menggunakan harta mereka dengan berhemat cermat sebagai salah satu cara terbaik untuk hidup sejahtera, khususnya dalam menghadapi krisis ekonomi yang terjadi di luar jangkaan manusia. Ini dapat kita lihat dari beberapa Hadist berikut yang bermakna: “...Rasulullah SAW pernah membeli kurma dari Bani Nadhir dan menyimpannya untuk perbekalan setahun buat keluarga...‖ (H.R. Bukhari); ―Simpanlah sebagian dari hartaharta kamu untuk kebaikan masa depan kamu, karena itu jauh lebih baik bagimu‖ (H.R. Bukhari); dan “...saya (Rasulullah) sungguh berlindung dari kemiskinan, kelangkaan dan kejahatan....” (H.R. Bukhari). Pendek kata, penggunaan faktor-faktor produksi (harta benda) secara amanah mengikut nilai-nilai Ilahiah akan menjamin terwujudkan kesejahteraan ekonomi umat yang berkeadilan dan bebas dari berbagai penyakit sosioekonomi, tidak seperti dalam sistem ekonomi komunis dan kapitalis yang bebas nilai (value-free).
Timbulnya penyakit sosio-ekonomi dalam sistem ekonomi kapitalis dan sosialis, dimana pencapaian duniawi seorang individu diukur dengan tingkat pemilikan materi (hartabenda)—yang nyata sekali berlaku antara golongan kaya dan miskin akibat tidak adanya pemerataan kesejahteraan ekonomi dalam negara— sebenarnya sangat bertentangan dengan indikator kesuksesan seorang individu Muslim dalam Islam. Di sisi Allah SWT,
~ 25 ~
setiap individu Muslim adalah sama kedudukannya, walaupun memiliki perbedaan warna kulit, suku, bangsa, kekayaan, tingkat pendidikan dan berbagai kedudukan duniawi lainnya. Dalam Islam, "Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu" (Q.S. al-Hujarat: 13). Jadi, bukanlah banyaknya kepemilikan harta-benda, tingginya jabatan dan banyaknya usaha bisnis yang dimiliki dan paras rupa yang menjadi ukuran kemuliaan seseorang dalam ajaran Islam.
Ayat al-Hujurat di atas menunjukkan bahwa ajaran Islam sangat menfokuskan pembentukan moral Islami para pelaku ekonomi, bukannya penumpukan harta kekayaan secara membabi buta. Itulah sebabnya sebagai agama yang hanif, universal dan syumul, Islam telah meletakkan azas perekonomian baik menyangkut persoalan ekonomi mikro (micro-economy), seperti larangan monopoli, menimbun harta, rakus, bernafsu dan mengabaikan hak-hak si miskin maupun dalam masalah ekonomi makro (macroeconomy), seperti masalah zakat, peraturan pemerintah demi terciptanya kelangsungan ekonomi yang stabil dan berkeadilan.
Islam sebagai agama yang sempurna telah menawarkan konsep ekonomi Islam sebagai jawaban dan solusi bagi semua kelemahan yang melekat pada ke dua sistem ekonomi kapitalis dan komunis. Kelembaban dan kemerosotan ekonomi serta krisis ekonomi yang silih berganti melanda ekonomi dunia itu terjadi semata-mata karena kedhaifan sistem ekonomi kapitalis dan komunis yang dikendalikan oleh hawa-nafsu. Sedangkan dalam ekonomi Islam, semua tindakan ekonomi itu diarahkan oleh akal dan wahyu Ilahi serta Sunnatullah, sehingga aktivitas ekonomi yang dilakukan itu akan memberikan manfaat, bukannya mudarat baik bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat maupun bangsa dan negara. Sebaliknya, apabila hawa-nafsu telah menguasai manusia dalam berbagai aktivitasnya, termasuk aktivitas ekonomi, tentunya, akan semakin memperburuk moral para pelaku ekonomi sehingga akan mengundang terjadinya krisis ekonomi silih berganti. Bila kejahilan ekonomi ini sudah terjadi secara membudaya, maka krisis ekonomi dan berbagai penyakit ekonomi yang merugikan umat sangat berpotensi terjadi kapan saja. Ini semua disebabkan ketamakan dan kerakusan (greediness) manusia yang didorong oleh
~ 26 ~
hawa-nafsu untuk memperkaya diri sendiri tanpa mempedulikan dampak negatifnya terhadap orang lain.
Sebagai khalifah Tuhan, kita harus menyadari bahwa dunia ini bukanlah milik mutlak kita. Kita hanya sebagai pemegang amanah Allah SWT mempunyai tanggung jawab untuk memelihara kemakmuran bumi beserta segala isinya. Karena, sesungguhnya, di hari akhirat kelak kita akan diminta pertanggungjawapan terhadap semua yang telah kita perbuat di dunia ini. Hal ini selaras dengan firman Allah SWT, yang berarti: "Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi ini sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka (manusia), siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya" (Q.S. al-Kahf: 7). Dan perlu, sekali lagi, diingatkan bahwa dalam mempertanggungjawapkan semua amalan kita di Mahkamah Ilahi di hari akhirat kelak, kita tidak memiliki peluang untuk memberi saksi palsu, apatah lagi untuk menipu Allah karena "Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan" (Q.S. Yasin: 65).
Dari uraian di atas jelas terlihat bahwa sistem ekonomi Islam memiliki keunggulan tersendiri yang tiada dimiliki oleh ke dua sistem ekonomi komunis dan kapitalis dalam menyelesaikan problema ekonomi umat. Muatan nilai-nilai (values loaded) Ilahiah yang melekat dalam ekonomi Islam telah menjadikan sistem ekonomi ini memihak kepentingan dan kemaslahatan semua golongan masyarakat, terutama kaum ekonomi lemah tidak seperti sistem ekonomi kapitalis yang hanya memberi keuntungan bagi golongan kaya-raya, sedangkan golongan papa-kedana sentiasa tertindas. Begitu juga sistem ekonomi komunis yang tidak menghargai jerih payah, skills dan bakat individu dalam memberikan kontribusi terhadap pembangunan negara telah menjadikan sistem ini jauh dari nilai-nilai keadilan. Tidak seperti ekonomi Islam yang penuh dengan nilai-nilai samawi (Islami), ke dua sistem ekonomi kapitalis dan komunis yang ‗bebas nilai‘ ini telah mengabaikan nilai-nilai moral, etika, dan akhlaqul karimah dalam berbagai aktivitas ekonomi mereka. Akibatnya, berbagai kejahilan ekonomi dan krisis ekonomi silih berganti terjadi. Berhasilkah ekonomi Islam memberi solusi terhadap berbagai penyakit
~ 27 ~
dan krisis ekonomi yang melanda umat sejagat, atau setidaknya bagi negara-negara Muslim? Jawabannya, ada pada setiap individu Muslim. Sejauhmana mereka mampu menterjemahkan seruan Ilahi untuk diaplikasikan dalam kehidupan mereka sehari-hari dengan penuh amanah dan tanggung jawab sebagai khalifatullah fil-Ard, sejauh itu pula ekonomi Islam akan mampu memberi jawaban dan menyediakan solusi. Wallahu‟alam bissawab.
~ 28 ~
BAB 3 MENGKRITISI TEORI PEMBANGUNAN EKONOMI KONVENSIONAL Sejak ilmu ekonomi mendapat pengakuan sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri sekitar abad ke-17 Masehi, para pemikir ekonomi barat telah menggunakan metode yang keliru untuk mengukur pertumbuhan ekonomi dunia, yang biasanya diukur dari pertumbuhan GNP (Gross National Product) atau pendapatan per-kapita (income per-capita). Mereka, pada awal-awal kemunculan teori pembangunan ekonomi, sempat menafikan peran ilmu pengetahuan sebagai salah satu indikator penting dalam teori ekonomi untuk mengukur pembangunan ekonomi sebuah negara. Pengabaian ini telah menyebabkan mereka gagal total untuk mengidentifikasi faktor-faktor penyebab pembangunan ekonomi baik perbedaan pembangunan ekonomi yang terjadi dalam sebuah negara antar waktu maupun perbedaan pembangunan ekonomi yang terjadi antar negara. Mereka lupa bahwa sejak lebih 1.400 tahun yang silam, Islam telah menegaskan bahwa, di samping rahmat Allah swt, ilmu pengetahuan merupakan salah satu faktor terpenting bagi manusia untuk mewujudkan kesejahteraan (pembangunan ekonomi) dan kemenangan (falah) di dunia dan akhirat. Bukti ini cukup jelas direkamkan Allah swt dalam al-Qur'an, Surah yang pertama sekali diturunkan di Gua Hira' kepada kekasihNya Muhammad saw, yaitu surat al-Alaq yang intinya menyerukan umat untuk membaca (mencari ilmu).
Tulisan ini meninjau dan menguak kedhaifan teori pertumbuhan ekonomi barat, sejak teori itu pertama kali digagaskan. Walaupun pada awalnya para ahli ekonomi barat sempat mengabaikan peran ilmu pengetahuan sebagai salah satu indikator penting dalam pembangunan ekonomi, namun di akhir milineum ke-II mereka telah menyadari bahwa penguasaan ilmu pengetahuan adalah mutlak diperlukan untuk membangun ekonomi negara. Ini, secara jelas, menunjukkan bahwa, akhirnya, para ahli ekonomi barat terpaksa mengakui kebenaran kata-kata Allah swt yang telah dituangkan dalam kitab suci umat Islam, al-Qur'an tentang pentingnya peran ilmu pengetahuan dalam menjalani kehidupan di dunia fana ini.
~ 29 ~
Metode yang Keliru Pada awal kelahirannya, teori-teori ekonomi pembangunan konvensional telah mengabaikan peran penting ilmu pengetahuan sebagai salah satu faktor utama penyebab terjadinya pembangunan ekonomi umat. Sebagai penggagas teori pembangunan ekonomi, Harrod, R.F (1939) dalam artikelnya "An Essay in Dynamic Theory" yang dipublikasikan dalam Economic Journal telah mengabaikan peran ilmu pengetahuan dalam teori pertumbuhan ekonominya. Hal yang sama juga dapat kita jumpai dalam tulisan Evsey Domar (1946) dengan judul "Capital Expansion, Rate of Growth, and Employment" yang dipublikasikan dalam Jurnal Econometrica. Teori-teori mereka, yang kemudian, dikenal dengan teori pertumbuhan ekonomi ―Harrod-Domar‖ hanya melihat jumlah tabungan dan modal per-output (saving and capital per output) sebagai dua faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi. Begitu juga Robert Solow (1956) dalam tulisannya "A Contribution to the Theory of Economic Growth" yang diterbitkan dalam Quarterly Journal of Economics menegaskan bahwa jumlah tabungan dan penduduk adalah dua faktor utama penyebab berlakunya pertumbuhan ekonomi. Dalam tulisannya, Solow berkesimpulan bahwa semakin tinggi tingkat tabungan sesebuah negara maka akan semakin maju negara tersebut. Sebaliknya, semakin banyak jumlah penduduk sesebuah negara, maka semakin miskin negara itu.
Bila sekilas-lintas merujuk pada teori-teori pembangunan ekonomi di atas dan kaitannya dengan realitas sekarang, maka teori mereka tersebut jelas berada jauh dari nilai-nilai kebenaran. Hanya negara Indonesia sajalah yang memiliki jumlah penduduk nomor empat terbesar di dunia, pertumbuhan ekonominya lemah. Sedangkan negara-negara Cina, Amerika Serikat, India, dan Russia bisa dikatakan memiliki pertumbuhan ekonomi yang stabil. Di samping itu, teori mereka baik teori Harrod-Domar maupun teori Solow jelas tidak mampu atau gagal mengukur perbedaan pertumbuhan dalam sebuah negara dari masa ke masa dan perbedaan pertumbuhan ekonomi yang berlaku antar negara. Dengan kata lain, untuk mengukur pertumbuhan ekonomi tidaklah memadai dengan hanya mengukur pertumbuhan modal fisik dan jumlah penduduk (tenaga kerja) semata, pasti ada faktor lain, yang telah terabaikan, yang sangat menentukan pertumbuhan ekonomi negara.
~ 30 ~
Perangkap (Trap) Teori Ekonomi Pembangunan Barat Kalau kita lebih bijaksana melihat implikasi teori pertumbuhan ekonomi di atas, secara implisit, para ahli ekonomi barat jelas telah menjebak negara-nagara Muslim yang mayoritas kurang memiliki modal yang memadai untuk membangun ekonomi negaranya, agar berhutang pada negara maju. Niat jahat negara maju untuk mengelabui negara miskin jelas terlihat dari beberapa hasil kajian ilmiah yang dilakukan para ahli ekonomi barat di negara-negara miskin yang menemukan bahwa kemunduran negara-negara miskin adalah mutlak disebabkan oleh kekurangan modal yang mereka miliki. Sehingga dalam membangun ekonomi negara, mereka merekomendasikan kepada negara-negara miskin agar mendapatkan modal yang memadai, tentunya, dengan berhutang pada negara-negara maju. Inilah jebakan negara-negara maju agar mereka dapat dengan leluasa ikut campur tangan untuk mengatur perekonomian negara-negara miskin, yang umumnya, didiami oleh mayoritas umat Islam.
Perlu kita sadari bahwa kalaulah negara-negara Muslim telah membiayai pembangunan ekonomi mereka dengan bermodalkan hutang dari negara-negara maju, maka secara tidak langsung kita telah dengan sengaja mengundang campur tangan negara asing untuk mengatur kebijakan pembangunan ekonomi negara kita. Karena diakui atau tidak, bila pembangunan ekonomi negara telah ditopang dengan hutang luar negeri, maka di sinilah punca kehinaan bangsa kita bermula. Barangkali, atas kesadaran inilah, Mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohammad berani menolak sekeras-kerasnya ―bantuan‖ (pinjaman) asing untuk membiayai pembangunan ekonomi negaranya. Mahathir dan rakyat Malaysia tidak mau membangun negerinya dengan dana dari berhutang pada negara asing, walau dalam menghadapi krisis ekonomi sekalipun. Pengaruh negatif membiayai pembangunan negara dengan berhutang pada negara lain dapat kita saksikan di Indonesia, sampai akhir 2002 pun masih kucar-kacir membebaskan perekonomiannya dari pengaruh campur tangan negara-negara asing. Setelah mengidentifikasi jebakan para ahli ekonomi barat melalui teori pertumbuhan ekonominya, seperti dijelaskan di atas, maka sudah seharusnya umat Islam bertindak lebih hati-hati dalam mengatur kebijakan pembangunan ekonomi negara dengan berusaha semaksimal mungkin untuk tidak membiayai pembangunan ekonomi yang bersumber
~ 31 ~
dari hutang negara-negara maju. Dalam konteks ini, mungkin, tindakan Mantan Perdana Menteri Malaysia,
Mahathir Mohammad dalam menentang sekeras-kerasnya usaha
untuk membiayai pembangunan ekonomi Malaysia yang bersumber dari hutang luar negeri haruslah dijadikan contoh teladan oleh negara-negara Muslim lainnya, terutama negara Indonesia yang ekonominya dalam keadaan sekarat tercekik oleh hutang. Kalaupun negara-negara Muslim terpaksa berhutang, hendaklah hutang itu dipinjami dari sumber-sumber yang bebas riba, dan untuk itu, alternatif wadah Dana Moneter Islam Internasional (Islamic International Monetary Funds, IIMF) menjadi solusi yang tepat. Negara-negara Muslim di dunia dihimbau sebaiknya segera menyelenggarakan Konferensi Internasional untuk membahas agenda penyelesaian krisis moneter melalui pembentukan lembaga bersama IIMF yang berfungsi sebagai institusi peminjam modal yang bebas riba.
Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan Ekonomi Umat Selanjutnya,
kegagalan
teori
pembangunan
Harrod-Domar
dan
Solow
dalam
mengidentifikasi indikator penting penyebab berlakunya pembangunan ekonomi dunia telah dikritik oleh Mankiw, Romer, dan Weil (1992) dalam artikelnya, "A Contribution to the Empirics of Economic Growth" yang dipublikasikan dalam Quarterly Journal of Economics dengan mengatakan bahwa sungguh dhaif dan sangat tidak realistik asumsiasumsi teori pertumbuhan ekonomi terdahulu, seperti asumsi hanya satu barang tersedia dalam negara, mengabaikan peran pemerintah, pertumbuhan tenaga kerja, depresiasi, dan perkembangan teknologi. Untuk merevisi kelemahan teori terdahulu, mereka telah memasukkan teknologi dan modal manusia (human capital) di samping modal fisik (physical capital) sebagai faktor penting penentu pembangunan ekonomi dalam teori pertumbuhan ekonomi baru mereka. Modal manusia, menurut mereka, termasuklah pendidikan keahlian buruh, kekuatan hak kepemilikan, kualitas infrastruktur, dan sikap budaya terhadap entrepreneurship dan kerja. Teori mereka ini, kemudian, dikenal dengan teori "Beyond Solow" yang telah memperkenalkan ilmu pengetahuan sebagai salah satu faktor penting penyebab terjadinya pembangunan ekonomi negara di samping faktor modal fisik, buruh, dan teknologi.
~ 32 ~
Karena kebingungan mereka atas kelemahan teori pertumbuhan ekonomi terdahulu, maka dalam teori "Beyond Solow" ini mereka juga telah memasukkan Riset dan Pengembangan (Research and Development, R&D) atau ilmu pengetahuan sebagai faktor penting penentu pembangunan ekonomi sesebuah negara. Alasan kenapa mereka memasukkan ilmu pengetahuan sebagai salah satu faktor penting penentu pembangunan ekonomi, seperti dikatakan oleh David Romer (1996) dalam bukunya "Advanced Macroeconomics" bahwa ilmu pengetahuan adalah sangat berguna untuk menghasilkan ilmu pengetahuan yang baru sebagai faktor utama penentu pembangunan ekonomi negara. Karena tatkala proses akumulasi ilmu pengetahuan dimulai, ekonomi akan bergerak ke arah pertumbuhan yang berkelanjutan. Mereka juga mengakui bahwa ilmu pengetahuan adalah bersifat ―non-rival‖ dimana penggunaan sebagian ilmu pengetahuan pada waktu dan untuk kegunaan tertentu oleh seseorang tidak akan menghalang orang lain untuk menggunakan ilmu pengetahuan yang sama. Begitu juga J. M. Clark (2000), seorang ahli ekonomi Kapitalis telah mengakui bahwa "ilmu pengetahuan adalah satu-satunya faktor produksi yang tidak pernah berkurang (non-deminishing return)". Ini menunjukkan bahwa satu-satunya benda di dunia ini yang tidak akan pernah berkurang baik dari segi kuantitas maupun kualitas walaupun ia telah digunakan berulang-kali adalah ilmu pengetahuan. Apa yang dikatakan mereka, sebenarnya, lebih 14 abad yang lampau telah ditegaskan oleh Ali bin Abi Talib r.a., Khulafa ar-Rasyidin yang terakhir bahwa satusatunya benda yang bila diberikan pada orang lain tidak pernah berkurang, malah ia senantiasa bertambah, tidak ada lain kecuali ilmu pengetahuan.
Dengan dimasukkannya ilmu pengetahuan (teknologi) sebagai salah satu faktor penting untuk mengukur pembangunan ekonomi negara, maka perbedaan pertumbuhan ekonomi dalam sebuah negara dari masa ke masa kini telah berhasil diukur. Perkembangan ilmu pengetahuan didapati sebagai penyebab utama kenapa standar hidup dan pertumbuhan ekonomi negara jauh lebih baik pada masa sekarang dibandingkan dengan masa silam. Namun, sekali lagi, mereka masih gagal mengidentifikasi faktor penyebab terjadinya perbedaan pertumbuhan ekonomi antar negara. Hal ini telah dibuktikan oleh Denison (1985) dalam bukunya ―Trends in American Economic Growth: 1929-1982‖, yang menemukan bahwa menurunnya pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat pada periode
~ 33 ~
1929-1982 adalah disebabkan oleh melemahnya keahlian buruh, naiknya harga minyak, dan akibat kekakuan peraturan pemerintah (the rigidity of goverment rules). Selanjutnya, Yong (1994) dalam artikelnya "The Tiranny of Numbers: Confronting the Statistical Reality of the East Asian Growth Experience" yang dipublikasikan dalam Quarterly Journal of Economics, mendapati bahwa penyebab utama meningkatnya pertumbuhan ekonomi negara-negara Hong Kong, Singapura, dan Korea Selatan adalah disebabkan oleh naiknya tingkat investasi asing, meningkatnya peran aktif dan produktivitas buruh dalam pembangunan ekonomi. Singkatnya, bukti empiris ini jelas telah menafikan bahwa perbedaan pertumbuhan ekonomi antar negara adalah terjadi akibat perbedaan pemilikan/penguasaan teknologi antar negara.
Alasan lain kenapa perbedaan pembangunan ekonomi antar negara berlaku bukan akibat perbedaan pemilikan teknologi adalah disebabkan oleh sifat teknologi itu sendiri yang dapat dipindahkan (transferable) dari satu tempat (negara) ke tempat lain. Negara-negara miskin yang tidak memiliki teknologi terkini, tentunya, dapat mendatangkannya dari negara-negara maju. Walaupun secara teoritis demikian, namun realitas menunjukkan bahwa negara miskin tetap miskin dan bahkan menjadi lebih papa, sementara itu negara maju semakin maju. Realitas ini telah mendorong para ahli ekonomi barat untuk memeras otaknya kembali mencari jawaban yang sesungguhnya apa penyebab terjadinya perbedaan pertumbuhan ekonomi antar negara.
Rahmat Ilahi dan Pembangunan Ekonomi Umat Setelah melakukan riset lanjutan, Mankiw, Romer, dan Weil (1992) dan Romer (1996) barulah menemukan jawaban yang hampir pasti kenapa pertumbuhan ekonomi antar negara berbeda. Mereka berkesimpulan bahwa tarjadinya perbedaan pertumbuhan ekonomi antar negara maju dengan negara miskin bukanlah disebabkan oleh ketidak ada upayaan negara miskin untuk mengakses teknologi dari negara maju, tetapi semata-mata disebabkan oleh kebodohan orang-orang (human capital incapability) yang berdomisili di negara-negara miskin untuk menggunakan teknologi. Dalam risetnya, mereka menemukan bahwa 80% perbedaan pertumbuhan ekonomi antar negara adalah
~ 34 ~
disebabkan oleh faktor modal fisik dan faktor modal manusia. Sedangkan, 20% lagi sisanya mereka kategorikan ke dalam faktor-faktor yang tidak dapat diidentifikasi (diukur), yang dalam istilah mereka disebut dengan ―residual‖ (nilai sisa). Menurut Abramovitz (1956) and Denison (1967), sebenarnya, residual ini adalah pertanda atau bukti yang menunjukkan kedhaifan dan kebodohan mereka dalam mengukur perbedaan pertumbuhan ekonomi antar negara. Mereka lupa bahwa faktor rahmat Allah swt, di samping ilmu pengetahuan untuk menguasai teknologi adalah merupakan faktor yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi umat. Karena tanpa limpahan rahmat Allah swt, maka sangatlah susah dan bahkan mustahil bagi kita untuk dapat membangun ekonomi negara. Sebagai contoh rahmat Allah swt adalah rahmat hujan. Bila hujan tidak pernah turun, mana mungkin para petani mampu menghasilkan panen yang banyak, yang pada gilirannya, akan meningkatkan jumlah komoditas hasil pertanian yang beredar di pasar sehingga berlakulah pembangunan ekonomi.
Atas pertimbangan inilah Ramzan Akhtar (1993) terpanggil untuk melakukan riset lanjutan. Dalam artikelnya "Modelling the Economic Growth of An Islamic Economy" yang diterbitkan dalam ―The American Journal of Islamic Social Science (AJISS)‖, Akhtar mengkritik sekeras-kerasnya teori pertumbuhan ekonomi barat. Akhtar menegaskan bahwa tanpa adanya rahmat Allah swt, maka pembangunan ekonomi sangatlah mustahil untuk berlaku. Kenapa para ahli ekonomi barat tidak memasukkan rahmat Allah swt sebagai faktor penting penyebab terjadinya pembangunan ekonomi negara dalam teori mereka adalah semata-mata disebabkan oleh kejahilan dan ketidakpercayaan mereka terhadap kekuasaan Allah swt. Dengan alasan karena Allah swt itu bersifat abstrak, dan ianya tidak dapat dibuktikan secara empiris, maka mereka tidak mempercayainya. Sungguh mereka lupa bahwa mereka dilahirkan ke dunia ini seolaholah lahir begitu saja tanpa ada sesiapapun yang mentakdirkannya.
Singkatnya, perbedaan penguasaan ilmu pengetahuan untuk mengoperasikan mesinmesin teknologi dan rahmat Allah swt adalah penyebab utama berbedanya pertumbuhan ekonomi antar negara. Penguasaan ilmu pengetahuan dan rahmat Allah swt merupakan “driving force‖ pertumbuhan ekonomi negara. Oleh karena itu, terbatasnya keahlian dan
~ 35 ~
ilmu
pengetahuan
berteknologi
tinggi
negara-negara dan
miskin
teknologi
untuk
komunikasi
mengoperasikan
mesin-mesin
dan
(Information,
informasi
Communication and Technology, ICT) adalah merupakan faktor utama penyebab negara miskin terus teperangkap dalam kemiskinan, sementara itu negara maju terus mempergunakan kelemahan negara-negara miskin untuk memperkaya diri mereka. Sudah masanya umat Islam harus menguasai semua bidang kehidupan, karena bukanlah perkara mudah untuk membangun ekonomi secara komprehensif, adil, dan berkelanjutan (sustainable) tanpa memiliki kemampuan untuk mengoperasikan dan bahkan menguasai mesin-mesin teknologi canggih. Hal ini sangatlah tepat seperti apa yang telah dikatakan oleh Robert Lucas (1988) dalam artikelnya berjudul "On Mechanics of Economics Developmnent" yang diterbitkan dalam Journal of Monetary Policy sebagai berikut: "sekali kita mulai berpikir tentang pembangunan ekonomi, maka sangatlah susah dan tidak mempunyai masa untuk memikirkan tentang perkara-perkara yang lain".
Dari penjelasan di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa kegagalan para ahli ekonomi barat untuk mengidentifikasi faktor-faktor penyebab terjadinya perbedaan pertumbuhan ekonomi dalam sebuah negara dari masa ke masa dan perbedaan pertumbuhan ekonomi antar negara adalah mutlak disebabkan oleh kedhaifan dan kejahilan mereka sendiri. Selain sempat mengabaikan peran ilmu pengetahuan pada awal-awal kemunculan teori pembangunan ekonomi, hingga detik ini mereka masih menafikan kehadiran rahmat Allah swt sebagai faktor terpenting penyebab berlakunya pembangunan ekonomi umat. Karena tingginya nilai ilmu pengetahuan dalam Islam, maka penguasaan ilmu pengetahuan secara komprehensif dan benar jelas akan memudahkan umat Islam untuk membangun ekonominya. Namun, pembangunan ekonomi umat tidak akan pernah berlaku tanpa mendapat restu Allah swt melalui cucuran rahmatNya
~ 36 ~
BAB 4 MEMILIH BARANG DAN JASA DALAM EKONOMI ISLAM Hampir semua pakar ekonomi setuju bahwa ekonomi sering didefinisikan sebagai suatu ilmu atau seni bagaimana seseorang melakukan pemilihan (choices) terhadap sesuatu barang atau jasa dengan cara mengalokasikan sumber daya alam yang terbatas (limited) atau langka (scare) secara efisien. Karena rumitnya proses pemilihan ini, maka peran ilmu pengetahuan adalah mutlak diperlukan. Sebab tanpa memiliki ilmu pengetahuan yang memadai terhadap barang dan jasa yang akan dibeli, keputusan yang diambil cenderung akan tidak memaksimumkan kepuasan para pembeli. Biasanya, hal ini disebabkan oleh tindakan spekulasi atau tindakan yang bersifat terkaan (guesswork) terhadap barang dan jasa yang dipilih. Artinya bahwa sebuah proses pemilihan tanpa didasari dengan pemahaman ilmu pengetuan yang memadai tidaklah dapat dikategorikan sebagai suatu cara yang tepat dalam menjatuhkan pilihan terhadap barang dan jasa yang ingin dibeli.
Dalam setiap proses pemilihan dalam ekonomi, kita hanya memiliki satu kesempatan saja untuk menetapkan pilihan. Dan pilihan yang kita buat tersebut juga tidak terlepas dari dua kemungkinan pilihan, yaitu memilih barang dan jasa secara tepat atau sebaliknya, menetapkan pilihan yang salah. Kedua alternatif ini, dalam ilmu ekonomi sering disebut dengan proses ―tolak angsur‖ (trade off). Dalam kaitannya dengan konsep pemilihan barang secara Islami, contoh trade-off ini dapat dilihat bahwa ketika kita telah menjatuhkan pilihan untuk membeli barang dan jasa yang halal, maka kecendrungan untuk memilih barang dan jasa yang haram sudah tertutup. Jadi, untuk menetapkan pilihan yang tepat, maka keputusan yang dibuat itu haruslah didahului dengan observasi pasar yang menyeluruh dan studi tentang barang dan jasa serta tingkah laku pasar secara teliti.
Tidak seperti halnya ilmu ekonomi Islam, ilmu ekonomi konvensional hanya merupakan suatu ilmu tentang cara bagaimana pemilihan terhadap barang dan jasa itu dibuat oleh
~ 37 ~
para pelaku ekonomi. Dalam melakukan investasi misalnya, pemilihan saham atau obligasi untuk dibeli hanya semata-mata didasari atas orientasi keuntungan maksimum (maximum profit oriented). Begitu juga dengan pembelian rumah dan mobil biasanya dibuat hanya berdasarkan harga, kualitas dan kenyamanan dari barang-barang tersebut. Hal ini menjelaskan bahwa ilmu ekonomi konvensional sangat jarang melihat sejauhmana pengaruh pembelian sesuatu barang terhadap kesejahteraan hidup orang lain. Hal inilah yang membuat ilmu ekonomi konvensional akhir-akhir ini hanya berfungsi tidak lebih sebagai suatu ilmu yang berkaitan dengan proses pemilihan barang dan jasa saja. Sedangkan pengaruh dari pemilihan sesuatu barang dan jasa terhadap kesejahteraan orang lain lebih cenderung dikategorikan sebagai persoalan etika (akhlaq) yang pembahasannya adalah di luar dari tanggung jawab ilmu ekonomi.
Dalam proses pemilihan terhadap barang dan jasa, ilmu ekonomi konvensional hanya didasarkan pada kemampuan akal (reasons) dan fakta-fakta (facts) semata. Walaupun demikian, dalam prakteknya sangat jarang kita temui kedua faktor ini difungsikan secara maksimal dan berimbang dalam proses pemilihan. Hal ini dapat kita lihat dalam bukubuku teks ekonomi yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan. Ilmu ekonomi konvensional secara terang-terangan telah mengabaikan aspek tingkah laku psikologi kemanusiaan (human psychological behaviuor) dalam proses pemilihan sehingga menyebabkan barang dan jasa yang dipilih tidak tepat dan terarah sesuai dengan keinginan mereka. Pemilihan barang dan jasa yang tidak tepat dan sembrono akan memberi dampak negatif terhadap ekonomi secara makro. Pengaruh makro ini dapat kita lihat dari pengaruh pembelian sesuatu barang tertentu terhadap kenaikan tingkat inflasi atau
penurunan
daya
beli
masyarakat,
kekurangan
makanan,
pengangguran,
ketidakstabilan mata uang, maupun terhadap kemunduran pertumbuhan ekonomi, dan berbagai penyakit ekonomi lainnya.
Sementara itu, dalam Islam, studi terhadap pemilihan barang dan jasa sangat jelas diungkapkan oleh Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulum al-Din, ketika membahas bab etika (akhlaq). Dengan merujuk pada pendapat Imam al-Ghazali, Dr. Saiful Azhar Roesly
~ 38 ~
(2000) menyebutkan bahwa proses pemilihan barang dan jasa dalam Islam itu meliputi lima tahap penting. Pertama, ide (al-khawarij). Ide ini menurut Imam al-Ghazali adalah merupakan dasar utama (fountainhead) daripada semua tindakan manusia. Ide ini akan mempengaruhi hati manusia baik yang bersumber dari faktor internal maupun eksternal. Ide ini ada yang bersifat konstruktif dan destruktif. Ide yang bersifat konstruktif selalu mengarah manusia kepada suatu tindakan yang baik, sedangkan ide yang bersifat destruktif senantiasa bermuara pada sebuah kejahatan. Ide konstruktif biasanya bersumber dari inspirasi atau intuisi (ilham), sedangkan yang bersifat destruktif biasanya bersumber dari bisikan syaitan (waswas).
Merujuk pada keterangan di atas, maka dapat kita fahami bahwa jika pemilihan terhadap sesuatu barang dan jasa yang sifatnya lebih menguntungkan kepentingan individu (selfinterest) dengan mengabaikan kepentingan umum (public interest), maka dapat dipastikan bahwa keputusan pemilihan itu didorong oleh ide destruktif yang bersumber dari hasil bisikan syaitan. Praktek-praktek ini sangat mudah kita jumpai dalam sebuah perusahaan dimana apabila terjadinya pertentangan antara dua kepentingan, yaitu kepentingan para pemegang saham (shareholders) dan kepentingan perusahaan (management) itu sendiri. Dalam menghadapi problema ini biasanya para pemegang saham akan terdorong untuk mengeluarkan biaya semaksimal mungkin untuk memonitor tingkah laku para manager sehingga tidak mejalankan operasional perusahaan melenceng dari tujuan yang telah ditetapkan.
Seperti disebutkan sebelumnya bahwa ide yang baik atau ilham ini bersumber dari akal yang mendapat bimbingan hidayah Allah swt (al-taufiq). Ketika ide itu bersemi dalam hati seseorang, maka ia akan menjadi pendorong (impulse) sehingga timbullah kecenderungan (al-raghba) untuk memilih sesuatu barang atau jasa sebagai tahap kedua. Kecenderungan ini akan berlanjut melalui proses intelektual yang dapat menumbuhkan sebuah keyakinan (al-‗itiqad) bahwa ide itu adalah merupakan suatu ide yang baik. Setelah adanya keyakinan diri (tahap ketiga), maka timbullah suatu keinginan (al-iradah) dalam diri seseorang untuk segera memiliki barang dan jasa sebagai tahap keempat.
~ 39 ~
Selanjutnya, keinginan ini mendorong manusia untuk membuat suatu pemilihan yang pada gilirannya berakhir pada sebuah usaha atau tindakan (al-ikhtiyar) untuk segera memilih barang dan jasa yang ia kehendaki sebagai tahap terakhir.
Dari kata ikhtiyar di atas yang mendefinisikan konsep pemilihan dalam Islam, dapat dipastikan bahwa proses pemilihan dalam Islam adalah suatu proses yang baik (khiyar) dan membuahkan hasil pilihan yang baik pula. Jadi, setiap Muslim yang membuat pemilihan terhadap barang dan jasa, maka sudah pasti pilihannya itu adalah pilihan yang senantiasa berdasarkan ilmu pengetahuan dan bukan kejahilan. Dengan kata lain, pemilihan yang dibuat tanpa berbekalkan ilmu pengetahuan sudah tentu bukan merupakan pemilihan yang Islami tetapi lebih kepada suatu tindakan kejahilan yang dapat merusakkan sendi-sendi ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Oleh karena itu, ilmu pengetahuan dalam Islam bukan hanya terdiri dari akal (reason) semata, tetapi wahyu Allah swt (al-Qur‘an) dan Hadist Rasulullah saw juga sangat memainkan peran penting dalam proses pemilihan. Sedangkan dalam ilmu ekonomi konvensional, mereka tidak pernah percaya sama sekali terhadap keberadaan wahyu Allah. Sebab wahyu itu, menurut mereka, tidak dapat dibuktikan secara empiris (empirically untested). Sungguh menyedihkan, gejala tidak mempercayai pada sesuatu makhluk/benda yang sifatnya ―ghaib‖, seperti keberadaan Allah swt dan para Malaikat, kini secara gradual mulai merambah dunia intelektual Muslim. Tidak jarang kita melihat bila ada sebuah riset ilmiah yang dalam presentasinya menggunakan metodologi atau model metematik dan ekonometrik yang rumit (complicated), maka hasil penelitian ilmiah itu akan sangat diyakini kebenarannya ketimbang dengan hasil riset yang pembuktiannya hanya merujuk pada ayat-ayat al-Qur‘an dan Hadist Rasulullah saw. Pendek kata, validitas, signifikan, representatif dan reliablenya hasil riset ilmiah dewasa ini sangat ditentukan oleh tingkat kerumitan model yang digunakan, bukannya dalil naqli.
~ 40 ~
Selanjutnya, dalam Islam, pemilihan dengan menggunakan akal yang didasari atas alQur‘an dan Hadist, pada gilirannya, akan menjamin kepentingan dan kemaslahatan masyarakat secara umum. Sebagai contoh, di antara problema-problema ekonomi adalah ―apa yang harus kita produksikan dan berapa banyak‖? Untuk menjawab pertanyaan pertama, ―apa yang harus kita produksikan‖, maka dengan merujuk pada konsep halal dan haram berdasarkan al-Qur‘an dan Hadist, kita dengan mudah dapat memutuskan barang-barang dan jasa-jasa apa yang halal dan haram diproduksikan dalam Islam. Sedangkan pertanyaan kedua ―berapa banyak yang harus kita produksikan‖, ini akan ditentukan oleh teori ekonomi dan prinsip-prinsip etika. Teori permintaan dan penawaran (demand and supply theories) dalam ekonomi akan membantu kita dalam memutuskan jumlah produksi terhadap sesuatu barang atau jasa jika harga barang itu naik atau turun. Atau dengan kata lain, sejauhmana pengaruh elastisitas harga terhadap penawaran dan permintaan barang dan jasa di pasar? Semua informasi ini sangat membantu kita untuk menentukan berapa jumlah barang dan jasa yang sebaiknya diproduksikan.
Di samping itu, Ilmu ekonomi juga membantu kita untuk memproduksi atau mengkonsumsi kombinasi barang atau jasa yang dapat memenuhi kepuasan maksimal seseorang. Walaupun demikian, ilmu ekonomi itu sangat lemah dalam mengatur masalah kesejahteraan umat (welfare of society). Untuk mengatasi kelemahan ini, maka ilmu ekonomi harus dilengkapi dengan prinsip-prinsip etika (akhlaq). Karena dengan berpandu pada prinsip-prinsip etika inilah, seseorang akan terhindari dari membuat pemilihan terhadap sesuatu barang dan jasa yang hanya menguntungkan pribadinya sendiri tanpa mempedulikan kepentingan dan kemaslahatan orang lain. Dan bila hal ini terjadi, pemilihan yang hanya menguntungkan individu tertentu, maka pemilihan ini bukanlah pemilihan yang Islami karena ianya tidak dilakukan melalui proses pemilihan yang Islami.
~ 41 ~
BAB 5 MEKANISME PASAR DAN TEORI HARGA DALAM PERSPEKTIF ISLAM Dapat dimaklumi bahwa bila para ekonom kontemporer barat tidak menyadari apalagi untuk memberi sebuah pengakuan bahwa keberadaan teori ekonomi konvensional sekarang ini tidak terlepas dari teori ekonomi yang pernah dikemukakan oleh para pemikir Islam sejak abad ke-7 Masehi. Usaha ini adalah sangat erat kaitannya dengan usaha para intelektual barat untuk mengetepikan dan bahkan mengeliminir sumbangsih para pemikir Islam terhadap teori-teori ekonomi modern. Namun, suatu keanehan bila para ekonom kontemporer Islam sendiri tidak menyadari bahwa kebanyakan dari teoriteori ekonomi konvensional sekarang adalah merupakan hasil jiplakan atau manipulasi dari teori-teori ekonomi yang pernah diperkenalkan oleh para tokoh pemikir Islam dahulu.
Penafian akan keberadaan teori ekonomi Islam oleh para ekonom kontemporer barat, sebagai contoh, dapat kita lihat dari statemen yang dikemukan oleh seorang tokoh pemikir ekonomi barat, Schumpeter (1972) terhadap konsep mekanisme pasar dan teori harga dalam bukunya ―History of Economic Analysis‖ yang mengatakan bahwa: "as regards the theory of mechanism of pricing, nothing worth mentioning existed before the middle of the eighteenth century" (kaitannya dengan teori mekanisme harga, tidak ada sesuatu yang bernilai untuk disebutkan sebelum pertengahan abad ke-18 Masehi). Padahal bila Schumpeter mau jujur dan tidak hipokrit (hypocrite), maka dia harus mengakui bahwa jauh sebelum pertengahan abad ke-18 M, sebenarnya, teori mekanisme pasar dan teori harga telah sangat intens didiskusikan oleh para pemikir Islam.
Kekayaan khazanah teori ekonomi Islam yang telah dibahas oleh para tokoh pemikir dan ulama Islam jauh sebelum teori ekonomi barat diakui sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri akan dibahas dalam tulisan ini. Di samping itu, tulisan ini juga bertujuan untuk meluruskan mispersepsi umat Islam tentang eksistensi teori ekonomi pada umumnya dan teori mekanisme pasar dan teori harga pada khususnya. Kita harus tahu bahwa teori
~ 42 ~
ekonomi yang dibangga-banggakan para ekonom kontemporer barat sekarang, sebenarnya adalah merupakan teori ekonomi yang pernah dikemukakan oleh para pemikir Islam dahulu. Tulisan ini juga ingin membantah statemen Schumpeter di atas dengan menganalisa konsep mekanisme pasar dan teori harga dalam literatur ekonomi Islam dengan pendekatan historis. Dalam analisanya, tulisan ini hanya memfokuskan diskusinya terhadap ke-empat karya pemikir dan ulama Islam terkenal, yaitu; Kitab alKharaj, karya Abu Yusuf (731- 98), Ihya Ulum al-Din-nya Imam al-Ghazali (1058-1111), al-Hisbah dan al-Siyasah al-Syari'ah, karangan Ibn Taymiyah (1236-1328), dan Kitab alMuqaddimah-nya Ibn Khaldun (1332-1404).
Abu Yusuf (731- 798) Abu Yusuf adalah seorang Chief of Justice (setingkat dengan Mahkamah Agung atau Menteri Kehakiman) pada masa khalifah Harun ar-Rasyid. Salah satu buku beliau yang sangat terkenal dan erat kaitannya dengan ilmu ekonomi adalah Kitab al-Kharaj (Sistem Pajak dalam Islam). Di dalam Kitabnya itu, kita dapat menemui bagaimana pendapat beliau tentang teori harga dalam ekonomi Islam. Menurut beliau: "Tidak ada batasan tertentu untuk menentukan murah atau mahalnya sesuatu barang. Penentuan harga ini, sebenarnya merupakan persoalan yang ditentukan dari langit (Allah swt) yang prinsipprinsipnya di luar jangkauan manusia. Harga murah bukan dikarenakan kelebihan (surplus) barang dan jasa, dan harga mahal juga bukan disebabkan oleh kelangkaan (scarcity) barang dan jasa yang beredar di pasar. Ini semua sangat tergantung pada keputusan, ketetapan dan perintah Allah swt. Sebab, kadangkala, barang dan jasa yang tersedia di pasar adalah melimpah ruah, namun harganya cukup mahal. Begitu juga sebaliknya, harga barang dan jasa cukup murah padahal barang dan jasa tersebut sangat terbatas jumlahnya dijual di pasar".
Berdasarkan pendapat di atas, maka kita dapat melihat bahwa selain mengakui kekuasaan Tuhan dalam proses penentuan harga, beliau juga mengakui bahwa penentuan harga itu tidak hanya bergantung pada faktor penawaran (supply) semata, namun juga dipengaruhi oleh faktor permintaan (demand). Karena banyak atau sedikitnya penawaran terhadap
~ 43 ~
suatu barang dan jasa tidak akan mempengaruhi harga bila tidak adanya permintaan dari masyarakat terhadap barang dan jasa tersebut. Ini berarti bahwa harga sesuatu barang adalah ditentukan oleh kekuatan faktor supply dan demand. Bila demand terhadap sesuatu barang dan jasa lebih tinggi dari supply (jumlah produksi) yang tersedia di pasar, maka harga barang dan jasa tersebut akan menjadi lebih mahal, dan sebaliknya.
Bila kita komparasikan teori harga ekonomi konvensional dengan teori harganya Abu Yusuf, maka jelas bahwa teori penentuan harga Abu Yusuf ini secara aklamasi telah diakui dan diadopsi oleh para pakar ekonomi modern sekarang. Pentingnya peran kedua faktor supply dan demand dalam teori penentuan harga, seperti disebutkan oleh seorang ekonom sekuler, James Tobin (1980) bahwa: "God gave us two eyes so that we could watch both supply and demand" (Tuhan telah menganugerahkan manusia dua mata sehingga kita dapat melihat kedua faktor penawaran dan permintaan).
Imam al-Ghazali (1058-1111 M) Di dalam bukunya Ihya Ulum al-Din, Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa penentuan harga terhadap barang dan jasa dalam masyarakat adalah merupakan suatu proses yang alami (natural order). Dalam ulasannya, beliau memberi contoh bahwa para petani yang bercocok tanam dengan keterbatasan alat-alat pertanian yang tersedia di satu pihak, dan di pihak lain para tukang kayu dan tukang besi yang tidak memiliki beras untuk dimakan, pada gilirannya, untuk memenuhi kebutuhan mereka, maka mereka akan saling tukar menukar barang yang mereka produksikan. Petani menukar beras dengan alat-alat pertanian yang mereka perlukan dari tukang besi dan tukang kayu. Proses tukar menukar barang ini yang dalam istilah ekonomi disebut dengan ―Barter‖ ini baru akan berlaku bila antara kedua mereka memiliki keinginan yang sama (similar wants). Bila keinginan mereka berbeda, maka barter ini sangat mustahil untuk berlaku.
Kesulitan ini telah mendorong lahirnya sebuah pasar (trading places) dimana semua mereka yang ingin ber-barter dengan mudah akan dapat menemukan partner bisnis yang
~ 44 ~
mempunyai keinginan yang sama. Karena dengan adanya pasar ini, maka para pembeli dan penjual akan datang dari satu tempat ke tempat yang lain mencari dan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Perjalanan mencari pasar ini akan mendorong penciptaan alat-alat transportasi untuk mempermudah perjalanan bisnis. Oleh karena itu, akumulasi untung yang dilakukan oleh para pedagang (traders) adalah suatu motif yang wajar karena dalam aktivitas bisnis ini selalu tidak terlepas dari faktor ketidakpastian (uncertainty) dan berbagai resiko (risks). Namun, menurut al-Ghazali, keuntungan yang ingin diperolehi oleh pedagang hendaklah bukan keuntungan yang berlebihan (excessive profit). Karena, menurut beliau, keuntungan yang hakiki dalam bisnis bukannya keuntungan material yang diperoleh dari pasar di dunia fana ini, tetapi melainkan keuntungan yang diperoleh di pasar akhirat kelak (ultimate market) dengan menjalankan bisnis sesuai dengan cara-cara yang diridhai Allah swt.
Dalam konteks ini, penentuan harga terhadap suatu barang dan jasa, menurut Imam alGhazali adalah sangat bergantung kepada para pembeli (demand-side). Jika para petani dengan mudah menemui para pembeli, maka mereka dapat menjualnya dengan harga mahal, dan sebaliknya bila mereka sukar mencari pembeli yang ingin membeli beras mereka, maka mereka akan menjualnya dengan harga yang murah. Walaupun beliau tidak mendiskusikan supply atau demand dalam konteks ekonomi modern, namun skenario ini dalam ilmu ekonomi konvensional telah digambarkan dengan bentuk kurva penawaran (supply curve) yang berslope positif (upward sloping supply curve). Dalam kitabnya, al-Ghazali juga sempat menyinggung konsep elastisitas harga permintaan dengan menyebutkan bahwa: ―pemotongan terhadap margin keuntungan dengan melakukan penurunan harga akan menyebabkan kenaikan penjualan dan juga keuntungan‖. Di akhir penjelasan tentang teori harga dalam kitabnya, al-Ghazali memberi solusi untuk menurunkan harga terhadap barang yang mahal dengan cara membatasi jumlah permintaan (quantity of demand).
~ 45 ~
Ibn Taymiyah (1263-1328) Kaitannya dengan mekanisme pasar dan bagaimana harga sesuatu barang itu ditentukan, di dalam kedua kitabnya yang terkenal, al-Hisbah dan al-Siyasah al-Syari'ah, Ibn Taymiyah dengan sangat jelas menyebutkan bahwa: "kenaikan dan penurunan harga tidak selamanya disebabkan oleh ketidakadilan yang dilakukan oleh orang lain. Kadangkala, ketidakstabilan harga ini disebabkan oleh kekurangan produksi atau penurunan jumlah barang import yang diperlukan. Jadi, jika keinginan untuk membeli barang itu meningkat sementara ketersediaan barang tersebut terbatas, maka harga akan naik. Sebaliknya, jika ketersediaan barang itu melimpah ruah sementara keinginan konsumen untuk membeli barang tersebut menurun, maka harga akan turun. Sedikit atau banyaknya ketersediaan barang mungkin tidak disebabkan oleh tindakan seseorang, dan hal ini juga tidak semestinya disebabkan oleh praktek-praktek yang tidak adil dalam bisnis".
Pendapat beliau di atas merefleksikan bahwa ketidakstabilan harga mungkin disebabkan oleh praktek ekonomi yang berlaku pada masa tersebut dimana banyak terjadi praktek ketidakadilan dalam ekonomi, seperti praktek manipulasi, dan tindakan yang melanggar hukum (transgression) serta berbagai malpraktek lain. Walaupun demikian, beliau tidak menafikan bahwa kenaikan dan penurunan harga barang itu mungkin disebabkan oleh tekanan pasar (market pressure) yang berlaku secara alami. Selanjutnya, dari pendapat beliau di atas, kita dapati bahwa sumber utama penawaran barang dan jasa adalah berasal dari produksi dalam negeri dan import dari luar negeri.
Dalam membahas teori penentuan harga, analisa beliau tidak pernah terlepas dari takdir Tuhan. Dalam situasi normal, bila seseorang menjual barangnya menurut kebiasaan yang berlaku dengan tidak melibatkan tindakan manipulasi dan terjadinya kenaikan harga yang disebabkan oleh berkurangnya jumlah barang yang tersedia atau disebabkan oleh kenaikan jumlah produksi, maka menurut beliau ini adalah semata-mata terjadi disebabkan oleh takdir Tuhan.
~ 46 ~
Di samping itu, beliau juga mengidentifikasikan beberapa faktor lain yang menentukan jumlah permintaan dan penawaran, yang pada gilirannya, akan mempengarungi harga pasar. Hal ini sangat jelas diilustrasikan dalam statemen beliau sebagai berikut: "Keinginan seseorang untuk memiliki barang adalah berbeda antara satu sama lain. Pertimbangan ini disebabkan oleh jumlah ketersediaan barang dan jasa yang diminta di pasar. Barang dan jasa yang langka biasa akan diminati banyak orang ketimbang ketika barang dan jasa itu melimpah ruah berada di pasar. Perbedaan ini juga disebabkan oleh jumlah konsumen yang ingin membelinya. Jika jumlah konsumen yang meminta barang dan jasa itu banyak, maka harganya akan naik dibandingkan dengan ketika jumlah konsumen yang ingin membeli barang dan jasa tersebut sedikit. Tinggi rendahnya harga sesuatu barang dan jasa juga dipengaruhi oleh kekuatan atau kelemahan kebutuhan akan barang dan jasa tersebut. Jika kebutuhan akan barang dan jasa tersebut urgen, maka harga barang dan jasa tersebut akan naik ketimbang ketika kebutuhan akan barang dan jasa tersebut melemah. Kemudian, harga barang dan jasa juga bervariasi tergantung dengan siapa dan bagaimana barang dan jasa itu diperjualbelikan. Jika jual beli itu dilakukan dengan orang yang bisa dipercaya dalam pembayaran hutang (jika dijual secara kredit) dan dapat membayar hutangnya sekaligus, maka harga murah adalah memadai ketimbang menjual kepada pembeli yang diragukan kejujurannya dan tidak memiliki keupayaan untuk membayar hutangnya sekaligus dan tepat waktu".
Dari pendapat beliau di atas dapat dipelajari bahwa demand dan supply itu ditentukan oleh faktor-faktor, di antaranya, intensitas dan besarnya jumlah permintaan, kelangkaan dan kelebihan barang di pasar, ketersediaan penjualan secara kredit, dan adanya diskon untuk pembayaran secara kas. Ini juga menunjukkan bahwa penjualan secara kredit dan pemberian diskon bagi pembeli yang sanggup membayar secara kas adalah sesuatu yang lumrah berlaku pada masa itu. Bila kita bandingkan dengan pendapat Abu Yusuf dan alGhazali di atas, maka Ibn Taymiyah tidak hanya melihat demand dan supply sebagai faktor penentu harga. Namun, lebih jauh lagi, beliau melihat insentif, disinsentif, ketidakpastian, dan resiko dalam bisnis juga memainkan peran penting dalam menentukan harga barang dan jasa di pasar.
~ 47 ~
Lebih lanjut, dalam mengatasi ketidakadilan dalam berbisnis, beliau sangat menentang semua usaha yang bersifat memaksa penjual untuk menjual barang dan jasa yang mereka tidak ingin menjualnya. Begitu juga sebaliknya, usaha-usaha untuk menghalang para penjual daripada menjual barang dan jasa yang tidak dilarang Islam adalah suatu tindakan yang tidak berkeadilan. Ini menunjukkan bahwa semua orang memiliki hak yang sama untuk memasuki dan keluar dari pasar (freedom to enter or exit a market). Hal ini memperlihatkan bahwa beliau sangat menentang peraturan yang berlebihan (excessive regulation) dalam mendikte tingkat harga ketika pasar berada dalam keadaan stabil. Namun demikian, dalam menghadapi pasar yang tidak normal dimana harga barang dan jasa terlalu tinggi dan berada jauh dari jangkauan konsumen, maka hendaklah para produsen menjual barang produksi mereka pada harga terjangkau sesuai dengan harga barang-barang sejenis (the price of the equivalent) yang beredar di pasar. Inilah yang disebut oleh Ibn Taymiyah dengan konsep harga yang adil (just price). Untuk menjamin semua barang dan jasa itu dijual pada harga yang adil, misalnya, sebagai akibat dari praktek monopoli, maka peran aktif pihak penguasa adalah sangat diperlukan. Dalam hal ini, kebijakan pengontrolan harga (price control policy) untuk menjamin terwujudnya harga yang adil adalah hal yang mutlak harus dipikul pemerintah.
Dari pembahasan di atas, semakin jelas bahwa konsep mekanisme pasar dan teori harga yang diketengahkan oleh Ibn Taymiyah tidak terlepas dari prinsip-prinsip keadilan (justice), kebebasan dalam memilih (freedom of choice), dan kejujuran (fairplay)
Ibn Khaldun (1332-1404) Di dalam kitabnya yang terkenal, al-Muqaddimah, Ibn Khaldun telah membagikan barang dan jasa ke dalam dua jenis, yaitu barang kebutuhan pokok (necessary goods) dan barang mewah (luxury goods). Kaitannya dengan penentuan tingkat harga, beliau mengatakan bahwa ketika sebuah negara yang sedang berkembang yang ditandai dengan bertambahnya jumlah penduduk, maka harga barang kebutuhan pokok akan turun dibandingkan dengan harga barang mewah yang cenderung menjadi lebih mahal. Alasan beliau adalah ketika jumlah permintaan barang kebutuhan pokok meningkat, maka para
~ 48 ~
produsen akan lebih mengkonsentrasikan untuk memproduksi lebih banyak barangbarang kebutuhan pokok ketimbang barang mewah yang jumlah permitaannya relatif konstan. Akibat banyaknya jumlah barang kebutuhan pokok yang diproduksikan, maka kenaikan harga barang tersebut dengan sendirinya akan terkawal.
Sedangkan produksi barang mewah tidak begitu menarik perhatian pihak produsen, sehingga harga barang mewah dengan sendirinya akan naik akibat terbatasnya ketersediaan barang tersebut di pasar. Pendapat beliau ini sangat sesuai dengan hukum permintaan (the law of demand) dan hukum penawaran (the law of supply) yang dapat kita pelajari dalam ilmu ekonomi barat sekarang, yang masing-masing mengatakan bahwa "jika jumlah permintaan terhadap sesuatu barang dan jasa adalah banyak, maka harga barang dan jasa tersebut akan mahal, dan sebaliknya jika jumlah permintaan sedikit, maka harga barang dan jasa tersebut akan murah", dan "jika jumlah barang dan jasa yang ditawarkan adalah banyak, maka harganya akan turun, dan sebaliknya jika jumlah barang dan jasa yang ditawarkan sedikit, maka harga barang akan naik".
Di samping itu, beliau juga mendeskripsikan pengaruh kenaikan dan penurunan penawaran terhadap harga sesuatu barang. Beliau mengatakan bahwa "ketika barang yang dibawa dari luar (di import) adalah sedikit, maka harga barang tersebut akan naik. Sebaliknya, tatkala barang yang dibawa dari luar yang jaraknya berdekatan dan kondisi transportasinya aman, sehingga dengan mudah untuk membawa barang masuk dari luar dalam jumlah yang tidak terbatas, maka harga barang tersebut akan menurun".
Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa seperti halnya Ibn Taymiyah, Ibn Khaldun juga mengakui peran kedua faktor permintaan dan penawaran dalam menentukan harga barang dan jasa di pasar. Oleb sebab itu, dalam pembahasannya tentang mekanisme pasar dan teori harga, Ibn Khaldun lebih menekankan pembahasannya sesuai dengan realitas dan fakta-fakta di lapangan, sedangkan Ibn Taymiyah lebih cendrung untuk mendiskusikan pembahasannya tentang isu-isu kebijakan (policy issues) pasar.
~ 49 ~
Kesimpulan Dari pembahasan di atas, dapat kita tarik konklusi bahwa ide-ide tentang mekanisme pasar dan teori harga telah ada jauh sebelum pertengahan abad ke-18 M. Bahkan konsep mekanisme pasar dan teori penentuan harga barang dan jasa yang dikemukan oleh pemikir dan tokoh ulama Islam tersebut di atas cukup jelas menceritakan kinerja pasar dan faktor-faktor yang menentukan harga barang dan jasa. Bukti ini dengan jelas telah menolak mentah-mentah pendapat para pemikir ekonomi konvensional, seperti Schumpeter yang mengatakan bahwa tidak ditemukannya konsep mekanisme pasar dan teori harga sebelum abad ke-18 M. Disadari atau tidak, padahal hampir dari semua teori ekonomi yang dibanggakan para pemikir ekonomi barat sekarang adalah bersumber dari teori-teori dasar yang dikemukan oleh para pemikir Islam.
~ 50 ~
BAB 6 FUNGSI UANG DALAM EKONOMI ISLAM
Walaupun pada awal kemunculan pemikiran ekonomi Keynesian, eksistensi uang dalam ekonomi belum diakui sepenuhnya. Namun seiring dengan peredaran masa dan sejalan dengan perubahan ekonomi, fungsi dan peran uang dalam ekonomi semakin penting sehingga ia tidak bisa dipisahkan dari sistem ekonomi. Hal ini menyebabkan para ekonom berkonklusi bahwa uang merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan tingkat aktivitas ekonomi sebuah negara. Setidaknya ada dua alasan mendasar kenapa para ekonom melihat uang itu penting dalam aktivitas perekonomian. Pertama adalah karena uang dapat digunakan untuk menentukan jumlah nominal, seperti tingkat harga, dan kedua karena ia juga dapat dijadikan standard untuk menentukan jumlah riel, seperti jumlah out put riel dan tenaga kerja riel.
Dalam sejarah Islam, kesadaran akan pentingya uang dalam sebuah sistem ekonomi telah muncul jauh sebelum ilmu ekonomi itu diakui sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri. Peran uang dalam ekonomi Islam telah didiskusikan oleh Iman al-Ghazali (1058-1111 M) dalam kitabnya yang terkenal, ―Ihya Ulum al-Din”. Menurut beliau, manusia memerlukan uang sebagai alat perantara/pertukaran (medium of exchange) untuk membeli barang dan jasa. Sementara itu, Ibn Taymiyah (1263) menyebutkan bahwa uang itu tidak hanya berfungsi sebagai medium of exchange, tetapi ia juga berfungsi sebagai alat untuk menentukan nilai (measurement of value). Akhirnya, dalam membahas peran uang dalam ekonomi, Ibn Qayyim sependapat dengan al-Ghazali, sementara itu Ibn Khaldun (1332-1404) lebih cenderung bersetuju dengan pendapat Ibn Taymiyah.
Karena ada instrumen-instrumen ekonomi konvensional baik yang bersifat instrumen policy atau institusional yang tidak sejalan dengan ajaran al-Qur‘an dan Hadits, maka fungsi dan peran uang di dalam ekonomi konvensional dan ekonomi Islam adalah berbeda. Sebab mendasar mengapa fungsi uang dalam ekonomi Islam dan ekonomi konvensional berbeda adalah karena dalam sistim ekonomi Islam, interest (riba), perjudian (gambling) dan unsur-unsur tidak jelas, gharar (uncertainty) itu diharamkan
~ 51 ~
agama. Sedangkan ekonomi konvensional melihat semua unsur ini sebagai sesuatu yang normal dan legal. Dalam ekonomi konvensional, J. M. Keynes (1936) di dalam buku terkenalnya, ―General Theory of Employment, Interest and Money” mengemukan sebuah teori tentang permintaan uang yang dikenal dengan liquidity preference (preferensi likuiditas). Teori preferensi likuiditas ini menyebutkan bahwa ada tiga motif utama yang menentukan jumlah permintaan uang dalam sebuah perekonomian, yaitu: (i) motif transaksi (transaction motive); (ii) motif berjaga-jaga (precautionary motive); dan (iii) motif spekulasi (speculative motive).
Motif transaksi didefinisikan sebagai suatu motif permintaan uang yang diperlukan untuk kebutuhan sebuah transaksi. Karena transaksi ini biasanya dilakukan oleh individu dan pebisnis, maka J. M. Keynes membagi motif transaksi ini ke dalam: (a) motif pendapatan (income motive), dan; (b) motif bisnis (business motive). Sementara itu, motif berjagajaga adalah suatu motif untuk memegang uang dengan tujuan mengantisipasi produksiproduksi yang tidak dapat diprediksikan di masa-masa mendatang. Dalam ekonomi konvensional, motif ini dipengarahui oleh tingkat pendapatan individu dan tingkat suku bunga. Sedangkan, permintaan uang dengan motif spekulasi itu dimaksudkan untuk menghindari kemerosotan nilai modal (capital value) akibat penurunan aktivitas ekonomi. Untuk menghindari kerugian ini, biasanya para pelaku bisnis menginvestasikan uangnya (modal) di pasar-pasar saham yang keuntungannya itu sangat ditentukan oleh perbedaan tingkat suku bunga.
Jadi dapat dikatakan bahwa dua motif pertama permintaan akan uang, yaitu motif transaksi dan motif berjaga-jaga adalah berkaitan langsung dengan fungsi uang sebagai alat pertukaran (tool of exchange) dalam sebuah kegiatan perekonomian. Sedangkan motif spekulasi lebih erat kaitannya dengan fungsi uang sebagai alat penyimpan harga atau kekayaan (store of value or wealth). Bila kita komparasikan antara pendapat para pemikir ekonomi Islam dengan pendapat Keynes di atas, jelas terlihat bahwa kecuali
~ 52 ~
motif memegang uang untuk berspekulasi, semua motif untuk memiliki uang lainnya adalah disetujui oleh pemikir-pemikir ekonomi Islam seperti disebutkan di atas.
Kita ketahui bahwa motif spekulasi ini dimaksudkan untuk meraup keuntungan dan menumpuk kekayaan dengan memanfaatkan perubahan tingkat suku bunga dari masa ke masa. Melihat karakteristik dan cara spekulasi itu dipraktekkan dalam dunia bisnis yang melibatkan bunga (interest) dengan menghalalkan segala cara, mengedepankan nilai ketamakan (greediness) tanpa mempedulikan nilai-nilai keadilan, maka Islam secara tegas menentang motif spekulasi. Salah satu contoh dari motif ini adalah tindakan monopoli (ihtikar). Dalam memonopoli barang dan jasa sebagai salah satu tindakan spekulasi, Imam al-Ghazali membedakan antara monopoli pada saat kekurangan (shortages) atau ekonomi dalam paceklik dan pada saat kelebihan (surplus) barang dan jasa. Dalam keadaan shortages, praktek monopoli adalah sangat bertentangan dengan nilai-nilai ekonomi Islam. Sementara itu, pemikir ekonomi Islam tidak melihat tindakan monopoli pada saat barang dan jasa dalam keadaan surplus sebagai sesuatu tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai moralitas dan norma-norma keislaman. Hal ini dikarenakan pada saat kelebihan barang dan jasa beredar di pasar, tindakan monopoli tidak akan mempengaruhi harga barang dan jasa sehingga tidak akan membahayakan kesejahteraan umat. Jadi jelaslah bagi kita bahwa, motif spekulasi ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai keadilan karena selain melibatkan riba (interest), ia juga melibatkan unsur-unsur perjudian (gambling) dan juga melibatkan unsur-unsur ketidakpastian (gharar).
Seperti disebutkan sebelumnya, kedua motif transaksi dan motif berjaga-jaga tidaklah dilihat sebagai motif permintaan uang yang bertentangan dengan nilai-nilai dan normanorma keislaman. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa dalam melakukan transaksi, seseorang itu bisa berbuat sekehendak hatinya dengan melanggar ketentuan Allah swt, seperti melakukan manipulasi, eksploitasi, transaksi barang-barang illegal, transaksi yang melibatkan bunga, dan monopoli. Motif transaksi ini hendaklah dilakukan berdasarkan konsep transaksi Islami. Sedangkan, motif berjaga-jaga adalah suatu motif permintaan uang yang sangat dianjurkan Islam, asal saja motif itu tidak semata-mata termotivasi
~ 53 ~
untuk meraup keuntungan semaksimal mungkin, dengan memanfaatkan perbedaan suku bunga ketika menyimpan dan mengeluarkan uang dari tempat penyimpanan uang (bank). Karena motif ini merupakan motif seseorang untuk menabung demi kepentingan masa depan, terutama dalam menghadapi kesulitan-kesulitan ekonomi yang tidak dapat diperkirakan, maka motif ini sangat sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan pertimbangan untuk membantu orang lain (altruistic consideration). Jadi motif ini sangat berguna tidak hanya untuk meringankan beban diri sendiri, tetapi juga untuk membantu meringankan beban orang lain tatkala menghadapi musibah ekonomi. Namun, tentu saja bantuan yang diulurkan untuk meringankan beban orang lain itu hendaklah tidak dalam bentuk pinjaman berbunga, tetapi sebaiknya dalam bentuk bantuan bebas bunga, Qardh al-Hasan.
Di samping itu, perlu diketahui bahwa Islam melarang memperlakukan uang sama dengan barang (commodity) yang bisa diperjualbelikan. ―In Islam, money is not identical with commodity that can be traded for the purpose of making profit” (Dalam Islam, uang tidaklah identik dengan barang yang dapat diperjualbelikan dengan tujuan untuk meraup keuntungan). Islam hanya melihat uang itu sebagai alat tukar, alat perantara, dan alat untuk menentukan nilai, bukan sebagai barang yang diperjualbelikan. Ini bermakna bahwa Islam tidak membenarkan uang itu diperjualbelikan di pasar valuta asing (valas) dengan tujuan spekulasi dan memperkaya diri. Keuntungan memperjualbelikan uang di pasar valuta asing yang bersumber dari perbedaan harga beli dan harga jual dan perbedaan tingkat bunga antara satu negara dengan negara lain dimana valuta asing diperjualbelikan adalah bertentangan dengan nilai-nilai keislaman. Sebagai contoh, kita membeli Dollar Amerika dengan menggunakan Rupiah, dan kemudian menjual Dollar Amerika untuk membeli Poundsterling Inggris, dan kemudian Poundsterling dijual untuk membeli Deutchmark Jerman, dan akhirnya Deutchmark dijual untuk kembali membeli Rupiah, dan seterusnya. Dari proses jual beli ini, yang sering disebut dengan Arbitraging, biasanya keuntungan ataupun kerugian yang di dapat adalah tidak setimpal dengan pengorbanan yang dilakukan dan waktu yang diperlukan. Bisa jadi dalam masa yang sesingkat-singkatnya, seperti kasus George Soros, yang dituding sebagai penyebab utama terjadinya malapetaka krisis moneter di sebagian besar negara Asia Timur pada
~ 54 ~
pertengahan tahun 1997, keuntungan yang di dapat dengan memperjualbelikan uang di pasar valuta asing dalam jumlah berbilion-bilion. Akibat tindakan Soros ini, tidak sedikit negara yang langsung ambruk fundamental ekonominya, terutama Indonesia. Karenanya, tidak sedikit rakyat negeri kepulauan ini harus menderita karena krisis ekonomi yang menerpa sampai beberapa tahun kemudian. Inilah yang menjadi alasan mengapa Islam tidak membenarkan uang itu diperlakukan sama seperti barang yang bebas diperjualbelikan, seperti dipraktekkan dalam ekonomi barat.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengharaman interest (riba) dalam ekonomi Islam menyebabkan tidak semua fungsi uang dalam ekonomi konvensional bisa diimplementasikan dalam sistem ekonomi Islam. Keterlibatan interest, gambling dan gharar dalam motif permintaan uang untuk berspekulasi telah menyebabkan motif ini secara keras ditentang oleh Islam. Sementara dua motif lainnya, motif permintaan uang untuk bertransaksi dan untuk berjaga-jaga tidak dipandang sebagai motif memegang uang yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam sejauh elemenelemen riba tidak memotivasi mereka dalam kedua motif permintaan uang tersebut. Tidak seperti halnya prinsip ekonomi konvensional, prinsip ekonomi Islam menentang keras uang itu untuk diperlakukan sama dengan barang-barang (commodities) yang dapat diperjualbelikan semata-mata untuk meraih keuntungan.
~ 55 ~
BAB 7 KONSEP MENABUNG DALAM EKONOMI ISLAM Sebagai agama yang syumul, Islam mengatur umatnya dalam berbagai aspek kehidupan, tidak hanya dalam dalam bidang sosial, politik dan ritual semata, tetapi juga dalam bidang ekonomi. Ini berimplikasi bahwa Allah swt telah menyediakan panduan atau aturan main (the rule of games) dalam setiap aspek kehidupan, termasuk di bidang ekonomi. Panduan ini telah diatur sedemikian rupa oleh Allah swt dalam berbagai sumber hukum Islam baik secara langsung maupun tidak langsung yang eksistensinya sangat berbeda dengan hukum ekonomi buatan manusia. Hal inilah, di antaranya, telah menempatkan sistim ekonomi Islam jauh lebih unggul dibandingkan dengan sistim ekonomi kapitalis dan komunis. Keunggulan sistem ekonomi Islam ini, misalnya, dapat dilihat bagaimana signifikansi konsep menabung dalam Islam dalam rangka untuk menuju sebuah negara yang damai dan makmur (thayyibat al-rabb-al-ghafur).
Islam adalah agama yang bernuansakan pertengahan (moderate) dimana umat Islam senantiasa diarahkan untuk hidup hemat dan berkonsumsi secara tidak mubazir (extravagance). Penghematan ini harus dilakukan dengan mengurangi kecenderungan untuk mengkonsumsi (propensity to consume) barang dan jasa. Jumlah pendapatan yang tersisa dari konsumsi, pada gilirannya, akan memungkinkan seorang Muslim untuk cenderung menabung (propensity to save) lebih banyak. Larangan untuk berbelanja secara berlebihan (extravagance) dan tuntunan agama untuk mengkonsumsikan barang dan jasa berdasarkan konsep halal dan haram, telah mendorong umat Islam agar gemar menabung. Secara implisit ini berindikasi bahwa seorang Muslim yang baik yang senantiasa mematuhi panduan Syari‘ah akan cenderung menabung lebih banyak dibandingkan dengan orang non-Muslim (ignorant people). Namun yang jadi permasalahan sekarang adalah mengapa banyak negara Muslim jauh lebih terbelakang (backward) baik dalam bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi dibandingkan dengan negara sekuler? Padahal kita ketahui bahwa tingkat tabungan (saving) merupakan salah satu indikator penting terhadap kemajuan setiap negara. Apakah karena ketaqwaan kita
~ 56 ~
masih diragukan, sehingga kita belum secara komprehensif dan perfek mengikuti aturan Ilahi?
Tulisan ini tidak difokuskan untuk menjawab persoalan-persoalan di atas. Tulisan ini hanya coba menganalisa konsep menabung dalam ekonomi Islam dengan menyuguhkan beberapa dalil naqli terhadap kevaliditasan menabung dalam Islam, memberikan alasanalasan potensialitas menabung dalam Islam, memaparkan model tabungan yang Islami dan mengilustrasikan besarnya ganjaran pahala menabung dalam Islam.
Validitas Menabung dalam Islam Tidak sedikit ayat al-Qur‘an dan Hadits, baik yang secara langsung maupun tidak langsung, yang mendorong umat Islam untuk menabung. Konsep kesederhanaan (moderation) dalam berbelanja sangat tegas disebutkan Allah swt dimana Islam sangat membenci praktek menghambur-hamburkan uang (mubazir) dalam mengkonsumsi barang dan jasa. Kebencian Allah swt terhadap praktek mubazir ini adalah cukup beralasan karena pemubaziran akan menyebabkan kehidupan masa depan seseorang menjadi tidak pasti. Hidup tanpa perencanaan ekonomi yang matang, tentunya akan menggangu aktivitas sehari-hari kita baik dalam bergaul dengan sesama manusia (Hablun min al-Nas) maupun dalam bertaqarrub dan berubudiyah dengan sang Khaliqnya (Hablun min al-Allah). Hal ini disebabkan karena tanpa memiliki jumlah tabungan yang memadai, kita akan menghadapi kesulitan ekonomi yang tidak dapat diprediksikan di masa-masa mendatang. Agar memiliki jumlah tabungan yang memadai untuk menghadapi semua dugaan ekonomi, maka al-Qur‘an memberi solusi agar umatnya tidak berbelanja secara berlebih-lebihan dan juga tidak terlalu kikir, seperti disebutkan dalam beberapa ayat-ayat berikut: ―Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu menghulurkan karena itu kamu menjadi tercela dan menyesali‖ (Q.S. al-Isra‘: 29); ―Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudarasaudara syaitan...‖ (Q.S. al-Isra‘: 27); “...makan dan minumlah kamu, dan janganlah berlebih-lebihan...” (Q.S. al-A‘raf: 31); dan ―Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak (pula) kikir...” (Q.S. alFurqan: 67).
~ 57 ~
Sementara itu, Rasulullah saw dalam banyak Haditsnya memberi peringatan kepada umatnya agar gemar menabung sebagai cara jitu menghadapi kesulitan ekonomi yang terjadi diluar dugaan dan sekaligus untuk membasmi kemiskinan. Dapat disimak dari beberapa Hadist berikut: “...Rasulullah saw pernah membeli kurma dari Bani Nadhir dan menyimpannya untuk perbekalan setahun buat keluarga...‖ (H.R. Bukhari); ―Simpanlah sebagian dari harta-harta kamu untuk kebaikan masa depan kamu, karena itu jauh lebih baik bagimu‖ (H.R. Bukhari); dan “...saya (Rasulullah) sungguh berlindung dari kemiskinan, kelangkaan dan kejahatan....” (H. R. Bukhari). Berdasarkan maksud beberapa ayat al-Qur‘an dan Hadits di atas, kita dapat melihat bahwa kegiatan menabung adalah sesuatu yang sangat digalakkan dalam Islam. Namun ini tidak berarti bahwa Islam membenarkan umatnya untuk berlaku kikir dengan menumpuk harta sesuka hatinya dan kemudian membiarkan harta itu tidak produktif. Tumpukan harta yang tidak diinvestasikan dalam sektor-sektor produksi justeru akan memperparah kondisi ekonomi karena langkanya kesempatan kerja sebagai konsekuensi dari kurangnya jumlah permintaan terhadap barang dan jasa yang dijual di pasar. Terbatasnya modal yang diinvestasikan dalam sektor produksi akan menyebabkan proses produksi terkendala sehingga jangankan untuk merekrut tenaga kerja baru, kadang kala, untuk membayar gaji pekerja yang sudah ada agak susah. Keadaan ini sering berakhir pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawan atau buruh-buruh karena ketidakmampuan majikan untuk membayar gaji akibat rendah atau tidak lakunya barang dan jasa yang mereka produksikan, mungkin akibat melemahnya animo atau kemampuan daya beli (purchasing power) masyarakat. Ketiadaan sumber pendapatan yang tetap menyebabkan para penganggur (mereka yang dipecat atau belum mendapat pekerjaan) tidak berdaya untuk membeli barang dan jasa yang ditawarkan di pasar. Terbatasnya jumlah pembeli barang dan jasa, pada akhirnya, akan mempengaruhi proses produksi sehingga memungkinkan terjadi pemecatan (retrenchment) karyawan yang berkelanjutan karena ketidaksanggupan para majikan membayar gaji akibat semakin berkurangnya keuntungan yang diperoleh pihak produser.
~ 58 ~
Kenapa dalam Ekonomi Islam Menabung itu Potensial? Seperti disebutkan di atas, selain galakan agama untuk berkonsumsi secara sederhana (moderation), larangan bertindak mubazir, dan terbatasnya jumlah barang dan jasa yang bisa dikonsumsikan sesuai dengan konsep halal dan haram dalam Islam, telah menyebabkan jumlah tabungan para Muslim jauh lebih potensial dari non-Muslim. Tidak seperti dalam ekonomi konvensional, Islam melarang umatnya untuk mengkonsumsi barang dan jasa yang haram hukumnya karena ia akan dapat memudharatkan baik kesehatan sistem ekonomi maupun kesehatan tubuh mereka. Contoh, Islam tidak membenarkan umatnya mangadopsi hukum riba, mengkonsumsi makanan haram, seperti babi, alkohol, dan sebagainya. Karena jumlah barang dan jasa yang bisa dikonsumsikan terbatasnya, maka kecenderungan umat Islam untuk menabung akan semakin tinggi. Faktor inilah yang menyebabkan menabung semakin potensial dalam Islam.
Tujuan kita berpedoman pada konsep halal dan haram dalam mengkonsumsi barang dan jasa, menurut Akram Khan (1983) adalah sebagai pengontrol atau patron dalam membelanjakan harta untuk tujuan konsumsi sehingga menyisakan jumlah harta maksimal yang bisa ditabung. Sementara itu A. M. Sadeq (1992), seorang mantan professor bidang ekonomi pembangunan Islam di International Islamic University Malaysia (IIUM),
lebih jauh melihat bahwa faktor-faktor penyebab potensialnya
tabungan dalam Islam tidak hanya seperti disebutkan di atas. Beliau melihat bahwa kewajiban umat Islam untuk menggunakan sumber daya alam dan sumber daya manusia (natural and human resources) secara optimal dan keharusan untuk memobilisasi tabungan secara produktif dimana tabungan itu harus disalurkan untuk diinvestasikan di sektor-sektor yang menghasilkan keuntungan, juga merupakan di antara faktor-faktor penting lainnya yang mendorong umat Islam untuk menabung. Di samping itu, Islam melihat bekerja untuk memenuhi nafkah baik untuk dirinya maupun untuk orang yang berada di bawah tanggungannya adalah merupakan bagian dari pada ibadat kepada Allah swt. Ganjaran pahala yang diperolehi karena melakukan ibadat (bekerja keras dan menabung) akan memotivasi umat Islam untuk bekerja lebih keras sehingga dari hasil kerja keras tersebut mereka mendapat pendapatan/gaji yang lebih tinggi sehingga dengan hidup hemat, maka jumlah sisa uang yang bisa mereka tabung/simpan akan lebih besar.
~ 59 ~
Walaupun demikian ada pendapat yang meragukan bahwa tingkat tabungan itu akan terhambat karena penghapusan sistem bunga (interest/riba) dan keberadaan institusi zakat dalam ekonomi Islam. Pendapat ini sebenarnya dilandaskan pada konsep tabungan ekonomi klasik yang menyatakan bahwa tabungan itu bergantung secara positif pada tingkat bunga. Semakin tinggi tingkat bunga, maka semakin tinggi animo masyarakat untuk menabung karena mengharapkan keuntungan (bunga) yang lebih besar, begitu juga sebaliknya. Ternyata hasil penelitian empiris telah membuktikan bahwa pandangan ini adalah salah dan tidak cukup beralasan. Di dalam bukunya, ―Towards a Just Monetary System‖, Umer Chapra (1985) membantah keras bahwa asumsi yang mengatakan penghapusan bunga akan menghambat tingkat tabungan, yang pada gilirannya, akan mengurangi formasi modal dalam ekonomi. Sedangkan pendistribusian zakat yang ditujukan untuk mengimbangi jumlah pendapatan yang diterima antara masyarakat miskin (have-not) dan kaya (have) justeru akan mempromosikan standar hidup masyarakat miskin. Jika ini terealisasikan dimana masyarakat miskin dengan pemberdayaan institusi zakat, secara ekonomi telah mampu mandiri bahkan telah wellestablished, maka tidak perlu diragukan lagi bahwa kecenderungan untuk menabung (propensity to save) masyarakat semakin meningkat karena telah berpartisipasinya masyarakat miskin untuk menabung. Ini memperlihatkan bahwa sejak lebih dari 1.400 tahun yang lalu ekonomi Islam telah mengakui bahwa tabungan adalah sebagai salah satu faktor dominan dalam pembangunan ekonomi.
Model Tabungan Islami Penghapusan bunga (interest) merupakan perbedaan mendasar antara model tabungan Islami dengan non-Islami. Oleh karena itu, fungsi tabungan dalam Islam sama sekali tidak bergantung pada tingkat suku bunga seperti dalam ekonomi konvensional. Dalam hal ini Umer Chapra (1985) hanya melihat bahwa pendapatan dan kebutuhan konsumsi sekarang (current income and current consumption needs) dan pendapatan plus konsumsi di masa mendatang (expected future income and consumption needs) adalah merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi tabungan seseorang. Sementara itu, Monzer Kahf (1992) melihat bahwa banyak faktor lain yang mempengaruhi tingkah laku menabung
~ 60 ~
(saving behaviour) dalam Islam. Faktor-faktor itu adalah: (i) tingkat pendapatan; (ii) keinginan mengumpulkan harta untuk menjadi kaya; (iii) ketersediaan barang dan jasa untuk dikonsumsi; (iv) zakat; (v) tingkat keuntungan investasi; (vi) keinginan untuk menyimpan harta dengan motif berjaga-jaga; dan (vii) kadar ketaqwaan kepada Allah.
Kecuali faktor konsumsi dan ketaqwaan, semua faktor di atas menurut Monzer Kahf mempunyai hubungan positif dengan tingkat tabungan. Ini berimplikasi bahwa semakin tingginya tingkat ketaqwaan seseorang maka akan semakin rendah tingkat tabungan mereka. Karena pada umumnya mereka lebih memilih untuk menderma hartanya di jalan Allah swt ketimbang untuk menyimpan apalagi untuk menumpuknya.
Secara realitas --- maksud saya bukan teoritis --- sebenarnya ketaqwaanlah yang sepatutnya menyebabkan seseorang cenderung untuk menabung lebih banyak. Dalam hal ini mungkin Monzer Kahf telah lupa bahwa derma atau sadaqah yang dikeluarkan oleh orang-orang taqwa juga merupakan tabungan, yaitu tabungan untuk hari akhirat atau tabungan ukhrawi. Namun tabungan ukhrawi (Hereafter saving) ini, menurut Akram Khan (1983) adalah berbeda dengan tabungan duniawi (worldly saving) karena keuntungan tabungan ukhrawi ini tidak hanya dapat dirasakan sekarang (di dunia) manfaatnya tetapi juga imbalan mutlaknya akan didapat pada hari pembalasan (akhirat) kelak. Kemusykilan lain bila derma atau sadaqah tidak dikategorikan ke dalam jenis tabungan adalah hanya orang kikir dan orang bakhil-lah yang cenderung menabung lebih banyak karena kekikiran dan ke-bakhil-an mereka, walaupun pada dasarnya pendapatan mereka jauh lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan orang kaya raya yang bertaqwa dan senantiasa mendermakan hartanya di jalan Allah swt. Derma dan sadaqah orang taqwa untuk para dhu‘afa justeru akan meningkatkan kualitas hidup mereka sebagai bagian dari proses pemberdayaan (empowerment) ekonomi sehingga tidak mustahil bila pada akhirnya para dhu‘afa akan mampu untuk memiliki tabungan sendiri. Bukankah skenario ini juga akan meningkatkan kecenderurangan umat Islam untuk menabung!
~ 61 ~
Ganjaran Menabung yang Luar Biasa Seperti disebutkan sebelumnya, galakan Islam agar umatnya senantiasa menabung adalah tidak terlepas dari besarnya ganjaran pahala yang akan diperoleh dan janji untuk memasuki syurga Allah bagi siapa saja yang menabung (bersedekah) di jalanNya. Ini menunjukkan bahwa semakin tingginya tingkat ketaqwaan seseorang individu Muslim, maka akan semakin tinggi jumlah keseluruhan tabungannya, yaitu tabungan duniawi plus ukhrawi (Naziruddin Abdullah dan M. Shabri Abdul Majid, 2001). Kenyataan ini, tentunya, akan mendorong umat Islam yang beriman dan bertaqwa menjadi penabung yang sangat potensial. Karena imbalan pahala yang luar biasa bagi siapa yang menabung di bank Allah, dengan memberi sedekah, menderma dan menafkahkan hartanya di jalan Allah swt sebagai tabungan mereka untuk mencapai falah (kemenangan di dunia dan di hari akhirat kelak), tidaklah dapat dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh dengan menabung di bank-bank konvensional buatan manusia di negara manapun.
Hal ini seperti telah diabadikan Allah swt dalam al-Qur'an Surah al-Baqarah ayat 261: "Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah) adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir; seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki…". Makna ayat ini juga senada dengan sabda Rasulullah saw: ―Setiap amal perbuatan kebajikan anak Adam akan dilipatkan pahalanya dengan sepuluh hingga tujuh ratus kali ganda. Allah swt berfirman: „Melainkan puasa, karena sesungguhnya puasa itu adalah untukKu dan Aku yang memberi balasannya…" (H.R.
Muslim). Untuk
melihat lebih jauh tentang luar biasanya ganjaran menabung dalam Islam, lihat tulisan Ramadhan dan Implikasinya dalam Ekonomi Islam di Bab VI buku ini.
Penutup Dari uraian di atas, dapat kita catat bahwa Islam sangat menggalakkan umatnya untuk menabung. Oleh karena jumlah tabungan merupakan indikator penting dalam sebuah pembangunan ekonomi, maka dengan demikian dapatlah kita katakan bahwa Islam adalah agama yang sangat pro dan cinta akan kemajuan (pro-development). Umat Islam
~ 62 ~
adalah umat penabung dan umat yang berwawasan pembangunan. Untuk itu, seseorang yang beriman dan bertaqwa kepada Allah swt semestinya senantiasa berpedoman pada alQur‘an dan al-Sunnah secara kaffah (comprehensive) dalam menjalankan segala aspek kehidupannya. Artinya, ia tidak hanya berpandukan dalam aspek ritual semata tetapi juga dalam aspek ekonomi. Mengingat perintah menabung merupakan bagian dari akhlaqul karimah dan bagian dari kewajiban agama (religious duties), maka melaksanakannya merupakan bagian ibadat kepada Allah swt yang sekaligus berganjarkan pahala.
~ 63 ~
BAB 8 ZAKAT SEBAGAI INSTRUMEN KEBIJAKAN FISKAL Kewajiban zakat telah ditetapkan Allah swt melalui wahyu-Nya kepada kekasihNya, Muhammad saw lebih dari 1.400 tahun yang lalu dengan tujuan utama untuk memberdayakan ekonomi para dhu'afa di kalangan masyarakat Islam. Diharapkan dengan adanya institusi zakat dalam Islam, baik tujuan pembersihan individu dan sosial maupun tujuan pertumbuhan sosial-ekonomi untuk semua golongan masyarakat dengan mudah dapat diwujudkan. Pentingnya peran zakat dalam sistem perekonomian Islam, sebagaimana telah dinukilkan dalam beberapa ayat al-Qur‘an yang senantiasa meletakkan perintah wajib zakat setelah kewajiban melaksanakan shalat lima waktu. Dari ke-lima rukun Islam, zakat adalah merupakan satu-satunya kewajiban (instrumen) yang sangat erat kaitannya dengan perekonomian umat. Hal ini karena zakat merupakan peraturan Ilahiah (Divine Order), maka diyakini bahwa zakat akan jauh lebih berperan dalam memberdayakan dan sekaligus mensejahterakan ekonomi umat dibandingkan dengan peraturan-peraturan buatan manusia (man-made regulations) lainnya.
Walaupun demikian, kenyataannya adalah sangat sukar bagi kita untuk menemui negaranegara yang didiami mayoritas umat Islam yang kondisi ekonominya jauh lebih maju dibandingkan dengan negara-negara sekuler. Bahkan hampir semua negara Muslim adalah tergolong sebagai negara terbelakang (under-developed countries) atau negara sedang berkembang (developing countries). Mengapa hal ini terjadi? Apakah karena belum adanya kesadaran umat tentang kewajiban membayar zakat dan pentingnya peran zakat terhadap program pengentasan kemiskinan? Atau apakah karena institusi zakat yang belum dapat difungsikan secara optimal? Mungkinkah karena para pengurus (amil) zakat yang tidak bertanggung jawab sehingga menyebabkan hasil kumpulan zakat tercecer kemana-mana? Tulisan bab ini bertujuan untuk melihat sejauhmana peran dan pengaruh zakat sebagai salah satu instrumen kebijakan fiskal (fiscal policy) dalam dan terhadap perekonomian umat. Dalam bahasan selanjutnya, kita akan menganalisa secara sistematis fungsi zakat sebagai salah satu instrumen kebijakan fiskal dalam ekonomi Islam, tujuan-tujuan kebijakan fiskal dan pengaruhnya terhadap ekonomi umat secara
~ 64 ~
komprehensif. Dalam pembahasan lebih lanjut, pengalaman beberapa negara Islam dalam mengelola zakat coba kita presentasikan sebagai standar atau tolok ukur keberhasilan pelaksanaan institusi zakat dalam sebuah negara.
Beberapa Asumsi Sudah menjadi suatu persyaratan mutlak dalam ilmu ekonomi, untuk menganalisa sebuah teori, ia tidak bisa terlepas dari asumsi-asumsi yang ditetapkan. Karena tanpa adanya asumsi tertentu, ilmu ekonomi akan sangat sukar, kalau tidak mustahil, untuk mengaplikasikan setiap teorinya dalam dunia nyata. Oleh karena itu, sebelum analisa lanjutan terhadap peran dan pengaruh zakat terhadap perekonomian umat dibahas, maka perlu terlebih dahulu kita menetapkan beberapa asumsi.
Agar zakat dapat berperan secara maksimal dalam memberdayakan ekonomi umat, maka zakat haruslah dilaksanakan dalam sebuah negara Islam yang dijalankan berdasarkan aQur‘an dan al-Hadist. Karena dalam sebuah negara Islam, semua praktek yang bertentangan dengan syari‘at Islam, seperti riba, monopoli, perjudian, dan malpraktek lainnya yang bertentangan dengan ajaran Islam adalah diharamkan. Sebaliknya, semua praktek yang digalakkan syari‘at Islam (good deeds) dilaksanakan dengan sepenuhnya seperti, pelaksanaan hukum warisan, kesederhanaan dalam berkonsumsi, wujudnya hakhak kepemilikan individu dan sosial terhadap alat-alat produksi, dan berbagai amar lainnya yang mendukung kesuksesan institusi zakat dalam mensejahterakan umat. Namun, ini tidak bermakna bahwa zakat tidak akan dapat memberdayakan ekonomi penduduknya di negara-negara Muslim, yang belum secara kaffah menganut sistem Islam dalam semua aspek kehidupan.
Dalam kenyataannya, kecuali Sudan, Afghanistan dan Iran, memang tidaklah mudah untuk menjumpai sebuah negara Islam yang benar-benar dijalankan berdasarkan hukum Islam secara kaffah. Fakta ini menyebabkan banyak para ekonom Islam, seperti Faridi (1980) misalnya, terpaksa melonggarkan asumsinya terhadap sebuah negara Islam dalam
~ 65 ~
menganalisa peran dan kedudukan zakat dalam perokonomian umat. Sejauhmana sebuah negara telah dijalankan berdasarkan ajaran Islam dengan memiliki ciri-ciri penting seperti; pengharaman riba, adanya institusi zakat; pelarangan monopoli; dan berbagai malpraktek lainnya, maka zakat akan mempunyai pengaruh signifikan terhadap pemberdayaan ekonomi umat. Asumsi ini sangat penting karena dengan adanya pengharaman riba, sebagai contoh, maka akan menghambat pergerakan arus modal dan tenaga kerja dari negara yang mengharamkan riba ke negara-negara yang membenarkan riba dipraktekkan dalam aktivitas ekonomi mereka. Karena, pada umumnya, para investor selalu mencari keuntungan maksimal dengan menanamkan modal mereka di sektor-sektor atau negara-negara yang memberikan keuntungan dalam bentuk bunga (riba) yang lebih tinggi. Tanpa pengharaman riba, pergerakan arus modal dan tenaga kerja dari negara yang mengharamkan praktek riba ke negara yang membenarkan praktek riba dilakukan dalam sistem ekonomi mereka akan terjadi dengan leluasa tanpa batasan. Hal ini, secara otomatis, akan menyebabkan zakat tidak dapat berfungsi, berdampak dan berperan optimal serta komprehensif terhadap pemberdayaan ekonomi umat.
Namun, jika semua asumsi di atas terpenuhi, maka kita optimis dan yakin bahwa zakat sebagai salah satu instrumen kebijakan fiskal dalam ekonomi Islam akan jauh lebih efektif dan efisien dalam memberdayakan ekonomi umat dibandingkan dengan hanya mengadopsi instrumen kebijakan fiskal ekonomi konvensional semata. Dapat ditambahkan pula, karena tidak seperti para pembayar pajak, mereka yang membayar zakat selain mendapat perhargaan di dunia (dihormati dan disayangi), mereka juga akan mendapat ganjaran pahala di hari akhirat kelak. Hal ini, tentunya, akan lebih memotivasi lagi kaum Muslimin untuk membayar zakat.
Zakat: Kebijakan Fiskal Ekonomi Islam Kebijakan fiskal adalah merupakan salah satu instrumen penting dalam teori ekonomi untuk mengatur ekonomi sebuah negara. Kebijakan ini, dalam ilmu ekonomi, sering didefinisikan oleh para ahli ekonomi sebagai kebijakan ekonomi negara yang berkaitan
~ 66 ~
erat dengan pajak dan pembelanjaan negara dalam usaha untuk mewujudkan kestabilan ekonomi.
Dibandingkan dengan kebijakan ekonomi konvensional, kalau tidak karena adanya institusi zakat, pada prinsipnya, negara Islam memiliki instrumen kebijakan fiskal yang sama dengan negara bukan Islam. Namun, penerapan dan pelaksanaan kebijakan fiskal dalam ekonomi Islam adalah sangat berbeda dengan kebijakan ekonomi konvensional. Sebab, negara Islam memiliki sumber pendapatan yang unik, di samping sumber pendapatan negara lainnya, yaitu zakat. Secara umum, instrumen kebijakan fiskal Islam dapat disebutkan sebagai berikut:
1. Pajak Meskipun terjadi perdebatan tentang kebiasaan memungut pajak dalam Islam, namun sejauhmana pendapatan negara tidak mencukupi dari sumber lain dan terutama dalam kondisi mendesak, maka hampir semua para ulama dan ahli ekonomi Muslim kontemporer tidak melihat pemungutan pajak sebagai sesuatu yang bertentangan dengan Islam.
2. Zakat Institusi ini dimaksudkan untuk mentrasfer kekayaan dari orang kaya kepada orang miskin sehingga, pada gilirannya, akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan menjamin keseimbangan
pendistribusian
pendapatan
dan
kesejahteraan
serta
terjaminnya
ketersediaan kebutuhan pokok kaum miskin.
3. Pengeluaran Negara Jumlah, waktu, dan penggunaan pembelanjaan negara yang diperuntukkan untuk menstabilkan ekonomi negara juga termasuk sebagai instrumen kebijakan fiskal dalam ekonomi Islam.
~ 67 ~
Kenapa Zakat Dikatakan sebagai Kebijakan Fiskal dalam Ekonomi Islam? Sebagaimana kita pahami bahwa karakteristik utama dari zakat, seperti nisab dan kategori penerima zakat: fakir, miskin, mu'allaf, musafir, orang berhutang, amil, fisabillah, dan untuk memerdekakan budak, (Lihat: Q. S. at-Taubah: 60) telah ditentukan secara mutlak (Qath‟i) oleh syari‘at Islam. Ketentuan syari‘at ini tidak dapat dirubah dan dimanipulasi sehingga menyebabkan zakat tereliminir untuk dapat dikategorikan sebagai salah satu instrumen kebijakan ekonomi dalam Islam. Alasannya adalah karena kita (negara) tidak mempunyai hak untuk memanipulasi ayat-ayat al-Qath‟i (bermakna mutlak) yang mengatur tentang zakat. Walaupun demikian, ada beberapa faktor lain yang memungkinkan institusi zakat dapat dikontrol atau disesuaikan dengan kebutuhan terkini oleh negara dalam usaha untuk memberdayakan ekonomi umat.
Bagaimana cara zakat itu dikumpulkan dan didistribusikan? Berapa banyak komposisi zakat yang dikumpulkan dalam bentuk uang atau barang, atau kombinasi dari keduanya? Jawaban pertanyaan ini dapat ditentukan oleh pemerintah (penguasa), sejauhmana prinsip-prinsip pengumpulan dan pendistribusian zakat tidak bertentangan dengan aturan Ilahi dan nikmat zakat itu haruslah benar-banar dapar dirasakan secara optimal oleh para penerima
zakat.
Dalam
mensejahterakan
ekonomi
umat,
pemerintah
dapat
mengumpulkan dan mendistribusikan zakat pada masa yang paling tepat dalam tahuntahun tertentu demi kesejahteraan umat. Cara-cara ini telah pernah dipraktekkan Rasulullah saw dan ke-empat Khulafa ar-Rasyidin-Nya. Dimana pada masa-masa tertentu zakat tidak dibagi-bagikan pada tahun ia dikumpulkan, namun pendistribusiannya ditunda dan dilakukan pada tahun-tahun selanjutnya sesuai dengan kondisi ekonomi masyarakat pada waktu itu. Pendek kata, waktu pengumpulan dan pendistribusian zakat telah memungkinkan negara untuk menyusun perencanaan kebijakan fiskal negara sebagai suatu pendekatan untuk menyesuaikan perubahan struktural pendistribusian harta dalam masyarakat.
Selanjutnya, dari segi kuantitas zakat yang berhasil dikumpulkan negara-negara Muslim, persentase atau jumlah sumbangan sektor zakat terhadap pendapatan negara, GDP (Gross
~ 68 ~
Domestic Product), ternyata tidak bisa disepelekan. Ini dapat dilihat dari pengalaman negara-negara, seperti Syria, Arab Saudi, dan Sudan dimana pendapatan negara yang bersumber dari zakat adalah berkisar antara 1%-10% dari GDP. Alasan-alasan ini telah memperkukuh institusi zakat sebagai salah satu instrumen penting kebijakan fiskal dalam ekonomi Islam.
Tujuan Kebijakan Fiskal dalam Islam Tujuan kebijakan fiskal dalam ekonomi Islam, sebenarnya, tidak jauh berbeda dengan tujuan kebijakan fiskal versi ekonomi konvensional. Perbedaannya hanya lebih disebabkan oleh prioritas dan esensi utama yang ingin dicapai. Tujuan umum yang ingin dicapai kebijakan fiskal Islam, secara garis besar, adalah sebagai berikut: (1) untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang konsisten dan kontinuitas dengan penggunaan sumberdaya alam dan sumber daya manusia secara optimal; (2) untuk menjamin pendistribusian pendapatan yang berkeadilan; (3) untuk menjaga stabilitas harga (inflasi) barang dan jasa di pasar; (4) untuk menciptakan lapangan kerja baru; dan (5) untuk memastikan pelaksanaan norma-norma keislaman, amar ma‟ruf wa nahi munkar dan memprioritaskan aktivitas-aktivitas ekonomi yang mengarah kepada usaha-usaha untuk mensejahterakan ekonomi umat.
Keberhasilan Kebijakan Fiskal Ditentukan oleh Kebijakan Ekonomi Lainnya Semua tujuan kebijakan fiskal di atas, pada intinya, adalah dimaksudkan untuk mewujudkan kesejahterakan ekonomi umat. Tidak seperti konsep kesejahteraan dalam Islam, konsep kesejahteraan dalam ekonomi konvensional hanya terbatas dan terfokus pada usaha untuk memaksimalkan keuntungan material semata tanpa mempertimbangkan aspek spritual umat. Sebaliknya, Islam melihat kesejahteraan umat sebagai sesuatu yang bersifat komprehensif meliputi kesejahteraan dunia dan akhirat. Inilah, sebenarnya, tujuan utama setiap insan hidup di dunia ini, yaitu untuk mencapai falah (kemenangan) baik di dunia maupun di akhirat. Untuk mewujudkan tujuan suci ini, maka menurut Imam al-Ghazali, zakat itu mesti diarahkan untuk mempromosikan kesejahteraan dan menjamin
~ 69 ~
terpeliharanya iman, kehidupan, intelektual, dan harta umat secara maksimal. Sementara itu, Ibn Qayyim telah memasukkan keadilan yang hakiki, kebahagiaan, dan kebijaksanaan (wisdom) sebagai unsur penting lainnya dari kesejehteraan umat yang harus mendapat prioritas utama dari institusi zakat. Inilah perbedaan utama lainnya antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi konvensional yang ―bebas nilai‖ (valuefree) dimana nilai-nilai moral tidak mendapat tempat dalam sistem ekonomi mereka.
Akan tetapi, perlu diingat bahwa untuk memberdayakan ekonomi kaum berpendapatan rendah dan menstabilkan ekonomi negara secara signifikan, kebijakan fiskal tidaklah memadai bila diregulasikan secara sendiri dan terpisah dari kebijakan-kebijakan ekonomi lainnya. Oleh karena itu, kebijakan ini haruslah dilaksanakan bersama-sama secara paralel dan simultan serta integratif dengan kebijakan moneter (monetary policy) dan kebijakan-kebijakan ekonomi lainnya. Tentunya, keberhasilan zakat sebagai salah satu instrumen kebijakan fiskal dalam ekonomi Islam untuk memberdayakan ekonomi umat sangat bergantung kepada sistem manajemen institusi zakat itu sendiri. Strategi pendistribusian zakat, seperti pengalaman Malaysia, juga sangat menentukan berhasil tidaknya ekonomi golongan papa diberdayakan.
Berdasarkan pengalaman Pusat Pungutan Zakat (PPZ), Jawatan Kuasa Baitulmal, Majlis Agama Islam Wilayah Persekutuan dan Wilayah Selangor, Malaysia, cara yang sangat efektif (jitu) untuk memberdayakan ekonomi para kaum dhu'afa adalah dengan cara mendistribusikan zakat kepada mereka dengan cara memberikan modal usaha atau menyediakan fasilitas-fasilitas ekonomi produktif, seperti mengusahakan pembukaan bengkel, mesin jahit, pemberian modal untuk industri kecil keluarga, dan sebagainya. Dalam penelitiannya terhadap beberapa responden (penerima zakat) di Wilayah Selangor yang dilakukan akhir-akhir ini, Mohd. Ali Mohd. Noor (1999) menemukan bahwa hampir setengah dari jumlah responden (penerima zakat) kini telah berhasil dalam usaha bisnis yang dijalankan mereka yang dibiayai dengan modal zakat. Bahkan merekapun kini telah menjadi pembayar zakat. Namun, keberhasilan ini, tentu saja, tidak terlepas dari sistem
~ 70 ~
manajemen dan pengawasan zakat profesional baik yang dijalankan oleh para amil yang jujur, amanah dan bertanggung jawab.
Enggan Membayar Zakat, Bisa Dipaksa. Seperti telah disebutkan di atas, tujuan utama yang ingin diwujudkan oleh zakat adalah untuk mewujudkan keadilan ekonomi dan sosial dalam masyarakat. Hal ini seperti disebutkan oleh Umer Chapra (1995) dengan mengutip dari apa yang telah ditegaskan oleh Khalifah Umar bin Khattab yang berbunyi: "Bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama terhadap harta di dalam mesyarakat, tidak ada seorang pun, termasuk diri saya (Umar ra) memiliki hak yang lebih besar terhadapnya daripada orang lain, dan siapapun yang hidup lebih lama, dia akan melihat bahwa sungguhpun seorang penggembala di bukit Sinai, ku (Umar ra) pastikan ianya akan menikmati bagiannya dari harta itu". Selaras dengan perkataan Umar bin Khattab ra di atas, Ali bin Abi Thalib ra juga menyebutkan bahwa: "Allah swt telah mewajibkan bagi orang kaya untuk memberikan kaum miskin apa saja yang mencukupi bagi mereka, jika kaum miskin kelaparan atau telanjang (tidak memiliki pakaian), itu karena mereka yang kaya telah memeras mereka (dari hak mereka). Oleh karena itu adalah wajar bila hak orang miskin tidak dipenuhi, maka Allah swt akan meminta pertanggungjawaban dan sekaligus menghukum mereka (orang kaya)".
Tujuan berzakat ini, sebenarnya, telah dipertegas dengan jelas oleh Allah swt dalam alQur‘an yang bermakna: ―Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdo'alah untuk mereka, sesungguhnya do'a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka....‖. (Q.S. AtTaubah: 103). Selain ayat al-Qur'an di atas, banyak juga Hadist yang menjelaskan persoalan yang sama dimana zakat hendaklah dikeluarkan oleh si kaya untuk didistribusikan kepada si miskin. Kalaupun si kaya enggan mengeluarkan zakat, ayat di atas menegaskan "ambillah" dari harta mereka. Ini bermakna bahwa dalam harta orang kaya ada hak-hak orang miskin (zakat) yang bisa diambil secara paksa seandainya si kaya menolak untuk menunaikan tanggung jawabnya. Hal ini seperti diungkapkan oleh ulama
~ 71 ~
kontemporer terkenal, Syeikh Yusuf Qardhawi, dalam kitab Fiqh az-Zakat-nya yang menegaskan bahwa zakat hanya diwajibkan bagi si kaya untuk membantu si miskin, namun bila mereka enggan mengeluarkan zakat, maka pihak berkuasa memiliki hak untuk memaksanya. Upaya untuk memerangi umat yang ingkar membayar zakat ini dapat kita rujuk pada tindakan Khalifah Abu Bakar as-Siddiq ra, beberapa hari setelah kemangkatan Rasulullah saw, yang dikenal dengan Perang Siffin. Alasan utama kenapa Khalifah pertama ini memerangi mereka adalah seperti kata beliau sendiri: "Demi Allah aku akan memerangi mereka yang membedakan di antara sembahyang dan zakat karena zakat adalah tuntutan terhadap harta. Demi Allah, seandainya mereka enggan membayar zakat itu, sedangkan mereka pernah membayarnya kepada Rasulullah aku tetap akan memerangi mereka." (H.R. Ibn Hajar dan Bukhari).
Zakat sebagai Penstabilisasi Ekonomi (Economic Stabilisator) Selain berfungsi untuk menseimbangkan pemilikan harta antara si kaya dan si miskin, menurut A. M Sadeq (1990) zakat juga dapat difungsikan sebagai instrumen kebijakan untuk menstabilkan kondisi ekonomi yang stagnan dan berfluktuasi. Fungsi kebijakan ini, diistilahkan dengan ―Counter-Cyclical Policy” (Kebijakan Kounter Siklus). Pada masa resesi ekonomi yang ditandainya dengan sukarnya untuk menjual barang karena terbatasnya jumlah uang yang beredar dalam masyarakat, maka negara dapat membeli barang yang tidak terjual itu dengan menggunakan pendapatan yang bersumber dari zakat untuk didistribusikan kepada mereka yang miskin (penerima zakat). Tindakan ini dimaksudkan untuk menstimulasi peningkatan jumlah permintaan masyarakat miskin tanpa terjadi mismanagement, korupsi, manipulasi dana zakat dan kebocoran (leakages) pemungutan dan pendistribusian dana zakat lainnya.
Namun dalam membeli barang untuk didistribusikan kepada kaum miskin, hendaklah dipastikan bahwa barang tersebut merupakan barang-barang kebutuhan pokok mereka. Sebalikya, pada masa inflasi yang ditandainya dengan melimpah ruahnya uang yang beredar dalam masyarakat, penundaan pendistribusian zakat adalah strategi jitu untuk menstabilkan tingkat harga. Akan tetapi harus disadari bahwa kebijakan ini mempunyai
~ 72 ~
kelemahan tersendiri karena penundaan pendistribusian zakat justeru akan lebih memudaratkan kaum miskin yang sedang memerlukan bantuan mendesak, apalagi golongan miskin inilah yang sangat merasakan dampak negatif pada masa inflasi. Di tengah berlangsungnya inflasi yang ditandai dengan mahalnya harga barang dan jasa, golongan dhu‘afa akan mengalami kesukaran untuk memenuhi kebutuhan mereka karena kenaikan harga barang di pasar tidak diimbangi oleh kenaikan jumlah pendapatan yang mereka terima. Kalau hal ini berlaku, maka keseluruhan tujuan zakat akan ternodai akibat penundaan pendistribusian zakat itu sendiri.
Ini tidak berarti kebijakan ini tidak memungkinkan untuk diadopsi dalam menstabilkan ekonomi. Hanya pengadopsiannya saja yang perlu disesuaikan dengan kondisi ekonomi pada masa dan tempat tertentu. Kebijakan ini, sebenarnya, bukanlah sesuatu persoalan baru dalam ekonomi Islam, sebab kebijakan ini telah pernah dipraktekkan Rasulullah dan ke-empat Khalifahnya lebih kurang 14 abad lalu. Pada situasi tertentu, zakat yang telah dikumpulkan tidak langsung didistribusikan pada tahun tersebut melainkan ditunda pendistribusian pada tahun berikutnya demi mewujudkan kemaslahatan dan kesejahteraan ekonomi umat pada umumnya dan keberadaan ekonomi golongan miskin dan papa khususnya.
Dengan kata lain, cara pendistribusian zakat hendaklah disesuaikan dengan keadaan ekonomi terkini. Pada saat inflasi, zakat itu hendaklah tidak dibayar atau dikurangi pembayaran dalam bentuk uang atau barang konsumen (consumer goods), namun hendaklah pembayaran zakat itu lebih banyak didistribusikan dalam bentuk barang produsen (producer goods). Sebaliknya, jika ekonomi dalam keadaan deflasi, hendaklah zakat itu lebih banyak dibayar dalam bentuk kas atau barang produsen, sementara itu pembayaran dalam bentuk barang konsumen hendaklah dibatasi, kalau tidak bisa dihindari samasekali. Bila cara pendistribusian zakat seperti dipaparkan di atas mampu berfungsi maksimal, maka tidaklah salah bila zakat dapat dikatakan sebagai penstabilisasi ekonomi (economic stabilator) umat.
~ 73 ~
Walaupun demikian, ada dua keraguan yang mungkin timbul dalam konteks ini, yaitu: Pertama, pola konsumsi umat Islam yang sederhana akan menyebabkan zakat tidak dapat difungsikan secara maksimal untuk meningkatkan konsumsi dan permintaan masyarakat golongan berpendapatan rendah terhadap barang. Kedua, pendistribusian zakat justeru akan meningkatkan inflasi, jika ianya dimaksudkan untuk meningkatkan permintaan efektif masyarakat terhadap barang.
Sebenarnya, kedua keraguan ini tidak cukup beralasan untuk ditakuti. Sebab anjuran agama agar mengkonsumsi barang secara sederhana tidaklah berguna bagi orang miskin, karena
pada
prinsipnya
mereka
belum
terpenuhi
kebutuhan
pokok
mereka.
Kesederhanaan dalam berkonsumsi hanya dibatasi bagi orang kaya terutama terhadap barang-barang mewah, dan bukan bagi para penerima zakat yang memang belum cukup memiliki uang untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka, apalagi untuk berfoya-foya. Ini dengan sendirinya akan mendorong para investor untuk menginvestasikan modal mereka pada sektor-sektor yang menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa untuk mengimbangi kenaikan kebutuhan masyarakat miskin (kebutuhan pokok). Ketersediaan barang kebutuhan pokok yang mencukupi akibat munculnya industri baru, maka dengan otomatis harga barang kebutuhan pokok akan lebih stabil dan terjangkau.
Selanjutnya, keraguan kedua dimana zakat akan mengakibatkan naiknya tingkat inflasi, juga merupakan keraguan yang tidak beralasan. Sebagaimana dipahami bahwa inflasi itu terjadi apabila jumlah uang yang beredar dalam masyarakat cukup banyak, sementara itu jumlah barang dan jasa yang tersedia di pasar adalah terbatas. Pendistribusian zakat akan meningkatkan daya beli para penerima zakat terutama terhadap barang-barang kebutuhan pokok. Kenaikan harga barang kebutuhan pokok akibat meningkatnya permintaan masyarakat tidak akan terjadi sebab para investor telah terdorong untuk menanamkan modal mereka di sektor-sektor yang menghasilkan barang-barang kebutuhan pokok sehingga secara otomatis jumlah penawaran terhadap kebutuhan pokok akan meningkat pula. Dengan demikian memperjelas bahwa kenaikan harga di sektor ini tidak akan
~ 74 ~
mempengaruhi permintaan barang di sektor-sektor lainnya, dan berarti skenario ini tidak akan menimbulkan inflasi.
Walaupun keterbatasan zakat dalam menstabilkan ekonomi seperti disebutkan di atas, karena fungsi zakat adalah lebih diutamakan untuk merapatkan jurang pendapatan (income gap) antara si kaya dan si miskin, namun zakat tetap akan mendorong pertumbuhan ekonomi umat dengan alasan-alasan berikut ini: 1. Zakat merupakan hukuman terhadap praktek monopoli dan menelantarkan kas yang tidak produktif (idle cash). Karena zakat terhadap harta-harta yang sudah sampai nisab harus senantiasa dibayar pada persentase yang telah ditentukan. Pembayaran zakat terhadap kas yang tidak produktif, dengan sendirinya, secara perlahan-lahan akan mengurangi jumlah kas yang tersedia. Dalam hal ini zakat telah berfungsi sebagai disinsentif untuk membiarkan kas disimpan tidak produktif. Dengan kata lain, disinsentif untuk membiarkan kas tidak produktif adalah merupakan insentif yang mendorong umat Islam untuk menginvestasikan kas atau uang mereka di sektorsektor bisnis yang produktif.
2. Pendistribusian
zakat
kepada
golongan
miskin,
dengan
sendirinya,
akan
meningkatkan standar hidup, kesehatan, pendidikan dan skill serta produktivitas para penerima zakat (muzakki). Ini, pada gilirannya, secara gradual tapi pasti, akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara.
3. Pendistribusian zakat kepada mereka yang berhak menerimanya jelas akan meningkatkan daya beli (purchasing power) mereka, terutama terhadap barangbarang kebutuhan pokok. Peluang ini tentu menarik para investor untuk menginvestasikan modal mereka di sektor-sektor yang memproduksikan barangbarang kebutuhan pokok. Hal ini tentu saja, akan mewujudkan kestabilan harga, membuka peluang kerja baru, dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang menjanjikan (promising economic growth).
~ 75 ~
Pengaruh Zakat terhadap Ekonomi Setelah melihat peran zakat terhadap perekonomian umat secara umum di atas, sekarang marilah kita lihat pengaruh zakat secara lebih terperinci terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), produktivitas kerja, dan penciptaan lapangan kerja baru.
Pengaruh Zakat terhadap APBN Setelah perang dunia ke-II berakhir, konsep kesejahteraan ekonomi umat telah menjadi trend dan prioritas penting negara. Oleh karena itu, banyak negara yang telah mengalokasikan biaya-biaya tertentu ke dalam pos APBN sebagai salah satu usaha untuk memberdayakan kaum miskin dan mengentaskan kemiskinan, khususnya bagi mereka yang tergolong ke dalam kategori ―muzakki‖ (penerima zakat). Dengan adanya institusi zakat, maka dana APBN yang seharusnya dialokasikan untuk mensejahterakan kaum dhu'afa, kini telah dapat dibiayai dari dana yang bersumber dari zakat. Karenanya, dalam melihat sejauhmana pengaruh zakat terhadap APBN, dapat dijelaskan dari sejauhmana sumber dana yang berasal dari zakat dapat didistribusikan untuk meningkatkan standar hidup para penerima zakat. Hal ini dengan sendirinya berimplikasi bahwa jumlah dana APBN yang sepatutnya digunakan untuk membantu fakir miskin telah ditutupi oleh dana yang dikumpulkan dari zakat. Sehingga dana APBN yang diperuntukkan dan dialokasikan untuk memberdayakan golongan miskin tersebut, akan bermanfaat untuk membangun infrastruktur ekonomi lainnya sehingga dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi negara.
Walaupun demikian, untuk merealisasikan tujuan ini hendaklah zakat dikelola dengan sistem administrasi dan manajemen zakat yang efisien, efektif, dan profesional serta berada di bawah pengawasan orang-orang yang amanah, adil, jujur, dan bertanggung jawab baik terhadap umat maupun kepada Allah Sang Pencipta. Begitu juga dengan biaya administrasi zakat, hendaklah tidak dipungut melebihi dari 1,25% atau 1/8 dari dana zakat yang dikumpulkan. Bila semua ketentuan ini dapat dipenuhi, maka dengan mudah
~ 76 ~
zakat itu akan bisa didistribusikan untuk para dhu'afa yang memang sangat memerlukannya.
Pengaruh Zakat terhadap Produktivitas Sebagaimana disetujui oleh mayoritas para fuqaha, tujuan zakat adalah untuk meningkatkan standar hidup para dhu'afa dengan memberikan hak kepada mereka untuk memiliki apa yang berhak mereka terima dari orang kaya. Artinya bahwa zakat haruslah dibayar secara langsung kepada mereka agar dapat segera digunakan baik dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan pokok harian maupun digunakan sebagai modal untuk menjalankan bisnis mereka. Kenaikan pendapatan para dhu'afa akibat menerima zakat, secara otomatis, akan meningkatkan kemampuan mereka untuk mengkonsumsikan barang-barang dan jasa-jasa yang di jual di pasar. Pendapatan yang diterima dari hasil zakat juga akan memberi kesempatan bagi kaum miskin untuk menggunakan fasilitas sekolah serta memperbaiki pola makanan dan kesehatan mereka. Semua kesempatan ini, tentunya, akan meningkatkan kesejahteraan hidup mereka. Pemberdayaan ini, seperti dibuktikan oleh riset ilmiah adalah merupakan faktor-faktor penting yang sangat mempengaruhi produktivitas kerja. Singkatnya, pemenuhan kebutuhan pokok para pekerja, terutama orang-orang dhaif (para penerima zakat) dengan sendirinya akan mampu meningkatkan produktivitas kerja mereka.
Peningkatan produktivitas kerja para dhu'afa bisa jadi disebabkan oleh dua kemungkinan berikut, yaitu: Pertama, peningkatan jumlah kontribusi para pekerja baik dalam bentuk jumlah jam kerja maupun dalam bentuk jumlah hari kerja sebagai akibat perbaikan gizi para pekerja, dan kedua, peningkatan produktivitas para pekerja akibat membaiknya kesehatan fisik, psikologi, dan kemampuan spritual para pekerja, yang dalam ilmu ekonomi sering disebut dengan intensitas kerja per jam (working intensity per-hour).
~ 77 ~
Pengaruh Zakat terhadap Peluang Kerja Kaitannya dengan peluang kerja, kehadiran institusi zakat, sekurang-kurangnya, akan menciptakan dua peluang kerja baru, yaitu: Pertama, peningkatan kesempatan kerja untuk mengelola administrasi zakat (amil) mulai dari para pekerja pengumpul zakat (collector), pengurus (administer), dan pendistribusi (distributor) zakat kepada mereka yang berhak menerimanya dan kedua, pendistribusian zakat, seperti disebutkan terdahulu, akan menyebabkan naiknya jumlah permintaan terhadap barang-barang kebutuhan pokok oleh para dhu'afa, sehingga akan mendorong tumbuhnya industri-industri baru yang memproduksi barang-barang kebutuhan pokok tersebut. Lahirnya industri-industri baru ini akan membuka lapangan kerja baru yang dapat segera diisi oleh golongan masyarakat berpendapatan rendah yang umumnya masih berstatus pengangguran.
Maka dengan adanya peluang kerja baru ini, otomatis akan lebih mempercepat terjadinya proses keadilan dalam ekonomi umat yang ditandai dengan semakin mengecilnya jurang pemisah (pendapatan) antara si kaya dan si miskin. Artinya apa yang ditakutkan oleh kebanyakan orang dimana orang yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan semakin papa tidak akan berlaku. Berdasarkan studi simulasi statis (static simulation study) yang dilakukan untuk mengetahui perbandingan pengaruh zakat terhadap jurang pemisah ini, Monzer Kahf (1989) dalam risetnya mendapati bahwa dalam masa sepuluh tahun jurang pemisah antara si kaya dan si miskin di beberapa negara Muslim telah berkurang drastis dari 9 poin menjadi 6,15 poin. Sementara itu, Anas Zarqa (1995) telah menemukan bahwa jumlah pendapatan 10% kaum miskin yang hidup di beberapa negara Islam, telah bertambah dua kali lipat sebagai konsekuensi positif pengdistribusian zakat dari si kaya kepada si miskin.
Kesimpulan Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bagaimana signifikan, sebenarnya, peran dan pengaruh zakat dalam mensejahterakan ekonomi umat. Zakat tidak hanya berfungsi untuk membantu memenuhi kebutuhan pokok kaum dhu'afa, tetapi lebih dari pada itu, zakat
~ 78 ~
berfungsi ganda (multi-fungsi) dalam mengangkat harkat dan martabat ekonomi umat. Zakat sebagai salah satu instrumen kebijakan fiskal dalam Islam, juga dapat berfungsi untuk menstabilkan ekonomi dan sekaligus meningkatkan pertumbuhan ekonomi umat. Ilustrasi-ilustrasi di atas memberikan gambaran bahwa tidak mustahil bila institusi zakat dikelola dengan efektif, efisien dan profesional oleh amil-amil yang amanah, adil, jujur, dan bertanggung jawab, maka umat Islam dengan mudah akan dapat keluar dari perangkap kemiskinan (poverty trap).
Hal ini seperti pernah dibuktikan pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, dimana dengan sistem pengelolaan zakat yang baik serta didukung oleh kesadaran umat Islam yang tinggi terhadap tanggung jawabnya untuk membayar zakat, maka tidaklah berlebihan bila pada masa tersebut sang Khalifah mengalami kesukaran untuk mencari orang yang mau dan patut menerima zakat. Semua orang pada masa tersebut sudah hidup dalam suasana makmur dan sejahtera sehingga dana zakat yang terkumpulkan tidak ada lagi yang mau menerimanya. Namun permasalahannya sekarang, kenapa Umar bin Abdul Aziz bisa melakukan demikian, dan kenapa kita tidak? Apakah karena kita yang hidup di akhir zaman sekarang tidak lagi berpegang teguh pada pedoman yang sama dengan Umar bin Abdul Aziz? Mari kita ber-muhasabah (intropeksi) diri dan mulai mengatur derap langkah ke depan dengan penuh perencanaan dengan bercermin pada pengajaran sejarah silam Islam dan kemudian diadopsi serta dimodifikasi sesuai dengan kondisi terkini. Tidak salah bila sistem pengelolaan zakat yang telah berhasil dipraktekkan di negara jiran Malaysia dan negara-negara Muslim lainnya kita iktibari dan kemudian kita jadikan masukan berharga untuk memanej institusi zakat secara profesional dan penuh tanggung jawab di negara tercinta kita, InsyaAllah.
~ 79 ~
BIBLIOGRAFI Ahmad, Khurshid. 1979. ―Economic Development in an Islamic Framework‖, dalam Khurshid Ahmad (ed). Islamic Perpectives. Leicester: The Islamic Foundation. Akhtar, Ramzan. 1993. ―Modelling the Economic Growth of An Islamic Economy‖. The American Journal of Islamic Social Science (AJISS). 10(1): 56-87. al-Faridi, F. R. 1980. ―Zakat and Fiscal Policy‖, dalam Khurshid Ahmad (ed). Studies in Islamic Economics. Great Britain: Redwood Barn Limited, Trowbridge and Esher. __________. 1993. Aspects of Islamic Economics and the Economy of Indian Muslim. al-Ghazali, Muhammad. 1952. al-Islam wa al-Awda‟ al-Iqtisadiyyah. Cairo: Dar al-Kitab al-‗Arabi. al-Jammal, Muhammad Abdul Mun‘im. 2000. ―Ensiklopedia Ekonomi Islam‖, (terj) Salahuddin Abdullah. Mausu‟at al-Iqtisad al-Islami. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP). al-Khaibawi. 1989. ―Durratun Nasihin‖, (terj) Syamsudin Manap. Butir-Butir Nasehat. Kuala Lumpur: Victory Agencie. al-Mubarak, Muhammad. 1972. Nizam al-Islam al-Iqtisadi: Mabadi wa Qawa‟id „Ammah. Beirut: Dar al-Fikr. al-Qur‟an dan Terjemahan. 1974. Menteri Agama Republik Indonesia. Ariff, Mohamed. 1982. ―Monetary and Fiscal Economics of Islam‖, dalam Arif, M. (ed). Monetary and Fiscal Economics of Islam. King Abdul Aziz, Jeddah: International Centre for Research in Islamic Economics. Arif, Muhammad, 1983. "Towards Establishing the Economics: AContribution to the Theory Islamic Society". A paper presented at the Association of Muslim Social Scientists, Champagn.
Micro foundations of Islamic of Consumer Behaviour in an 12th Annual Conference of the University of Illinois, Urbana
Awdah, Abd al-Qadir. 1977. Al-Mal wa al-Hukm fi al-Islam. 5th Edition. Cairo: alMukhtar al-Islami. Chapra, M. Umer. 1985. Towards a Just Monetary System, Leicester, UK: The Islamic Foundation.
~ 80 ~
__________. 1992. Islam and the Economic Challenge. Herdon, USA: The International Institute of Islamic Thought and The Islamic Foundation. __________. 1993. Islam and Economic Development: A Strategy for Development with Justice and Stability. Islamabad: International Institute of Islamic Thought and Islamic Research Institute. __________. The Islamic Welfare State and Its Role in Economy. Leicester, UK: The Islamic Foundation. Denison, Edward F. 1967. Why Growth Rates Differ. Washington, D. C.: The Brookings Institution. __________.1985. Trends in American Economic Growth, 1929-1982. Washington, D.C.: The Brookings Institution. Domar, Evsey D. 1946. ―Capital Expansion, Rate of Growth, and Employment‖. Econometrica. 14: 137-147. Reprinted in Stiglitz and Uzawa (1969). Haneef, Mohamed Aslam Mohammed. 1997. ―Islam: The Islamic Worldview and Islamic Economics‖. IIUM Journal of Economics & Management. 5(1): 39-65. Harrod, R. F. 1939. ―An Essay in Dynamic Theory‖. Economic Journal. 49: 14-33. Reprinted in Stglitz and Uzawa (1969). Hassan, Zubair. 1988. ―Distributional Equity in Islam‖, dalam Munawar Iqbal (ed). Distributive Justice and Need Fulfilment in An Islamic Economy. Leicester, UK: The Islamic Foundation. Hassan, Zubair and Muhammad Arif. 1990. "The Basic Needs Fulfillment Guarantee in Islam and A Measure of Its Financial Dimension in Selected Muslim Countries". Journal of Islamic Economics. 1(3): 2-23. Husaini, Sayyid Abdul Qadir. 1966. Arab Administration. Lahore: Sh. Muhammad Ashraf. Hassanuzzaman, S.M. 1984. ―Definition of Islamic Economics". Journal of Research in Islamic Economics, Vol. 1, No. 2. Ibn Khaldun. 1993. ―Mukadimah Ibnu Khaldun‖, (terj) Muqaddimah. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP). Imam Nawawi. 2000. ―Riyadhus Salihin. Jilid 1‖, (terj) M. Ardai Rathomy. Taman Orang-orang Salih. Singapura: Pustaka Nasional PTE. Ltd.
~ 81 ~
__________. 2000. ―Riyadhus Salihin. Jilid 2‖, (terj) M. Ardai Rathomy. Taman Orangorang Salih. Singapura: Pustaka Nasional PTE. Ltd. Iqbal, Munawar. 1985. ―Moderation and Aggregate Consumption in an Islamic Economy‖. Journal of Research in Islamic Economy. 3(1): 45-60. James Tobin. 1980. ―Stabilization Policy Ten Years After‖. Brookings Papers on Economic Activity. 1: 19-71. Kahf, Monzer. 1992. ―Saving and Investment Function in Two-Sector Islamic Economy‖, dalam Sadeq, AbulHasan, M, (ed). Financing Economic Development: Islamic and Mainstream Approaches”. Kuala Lumpur: Longman Malaysia. __________. 1997. ―Potential Effects of Zakat on Government Budget‖. IIUM Journal of Economics & Management. 5(1): 67-85. Kamali, Mohammad Hasyim. 1989. Principles of Islamic Jurisprudence. Petaling Jaya, Kuala Lumpur: Pelanduk Publication. Karl Marx. 1987. Das Kapital, (terj) S. Moore and E. Avehing. 3rd Edition. London: F. Engels. Keynes, John Maynard. 1936. The General Theory of Employment, Interest and Money. London: Macmillan. Khan, Muhammad Akram. 1983. Issues in Islamic Economics, Lahore: Islamic Publications Ltd. __________. 1984. "Islamic Economics: Nature and Need". Journal of Research in Islamic Economics. Vol. 1, No. 2. __________. 1989. Economic Teachings of Prophet Muhammad: A Select Anthology of Hadith Literature on Economics. Islamabad: International Institute of Islamic Economics and Institute Policy Studies. __________. 1994. An Introduction to Islamic Economics. Pakistan: The International Institute of Islamic Thought and Institute of Policy Studies. __________. 1994. Economics of the Quran: A Study of Sura al-Maida & Sura al-Mulk. Lahore: Library & Information Management Academy. Lucas, Robert E., Jr. 1988. ―On Mechanics of Economic Development‖. Journal of Monetary Economics. 22: 3-42. Mankiw, N. Gregory, Romer, David, and Weil, David N. 1992. ―A Contribution to the Empirics of Economic Growth‖. Quarterly Journal of Economics. 107: 407-437.
~ 82 ~
Mannan, M. A. 1988. ―The Economics of Poverty in Islam with Special Reference to Muslim Countries‖, dalam Munawar Iqbal (ed). Distributive Justice and Need Fulfilment in an Islamic Economy. Leicester, UK: The Islamic Foundation. __________. 1989. Economic Development and Social Peace in Islam. London: Taha Publisher. Naqvi, S. N. H. 1982. ―Interest Rate and Inter-temporal Allocative Efficiency in an Islamic Economy‖, dalam Ariff, M. (ed). Monetary and Fiscal Economics of Islam. King Abdul Aziz, Jeddah: International Centre for Research in Islamic Economics. __________. 2000. ―International Economics and Trade Liberalization: Challenges to Muslim Countries‖, makalah dipresentasikan pada International Conference. Kuala Lumpur, Malaysia. Naziruddin Abdullah dan M. Shabri Abd. Majid. 2001. ―Saving Behaviour in Islamic Framework: The Case of International Islamic University, Malaysia‖. Jurnal Syari‟ah. 9(2): 61-84. __________. 2002. ―The Influence of Religiosity, Income and Consumption on Saving Behavior: The Case of International Islamic University, Malaysia‖. Proceedings. Simposium Nasional I Sistem Ekonomi Islami, UII Yogyakarta, 13-14 Maret. Qardhawi, Yusuf. 1969. Fiqh al-Zakat. Beirut: Dar al-Irshad. __________. 1997. ―Peran Nilai dan Moral Dalam Islam‖, (trans.) Hafidhuddin, Didin et al. Daurul Qiyam wal Akhlaq fil Iqtishadil Islam, Jakarta: Rabbani Press. Romer, David. 1996. Advanced Macroeconomics. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc. Sadeq, AbulHasan, M. 1980. "Distribution of Wealth in Islam", dalam K. T. Hussain et al. (ed). Thought on Islamic Economics. Dhaka: Islamic Economics Research Bureau. __________. 1990. Economic Development in Islam. Kuala Lumpur: Pelanduk Publication. __________. 1992. ―Development Finance in an Islamic Economy: Domestic Sources‖, dalam Sadeq, AbulHasan, M (ed). Financing Economic Development: Islamic and Mainstream Approaches. Kuala Lumpur: Longman Malaysia. Saiful Azhar Roesly. 2000. ―The Process of Choice According to Islam‖. Sun. March 25.
~ 83 ~
Sattar, M. Abdus. 1980. Ibn Khaldun's Contribution to Economic Thought. USA: American Trust Publication. Schumpeter, J. A. 1972. History of Economic Analysis. New York: McGraw-Hill Book. Co. Inc. Solow, Robert M. 1956. ―A Contribution to the Theory of Economic Growth‖. Quarterly Journal of Economics. 70: 69-94. Reprinted in Stiglitz and Uzawa (1969). Sutcliffe, Claud R. 1975. ―Is Islam an Obstacle to Development? Ideal Patterns of Belief versus Actual Patterns of Behaviour‖. Jounal of Developing Areas. 10: 77-81. Ul-Haq, Irfan. 1996. Economic Doctrines of Islam: A Study in the Doctrine of Islam and Their Implications for Poverty, Employment and Economic Growth. Herdon, Virginia, USA: The International Institute of Islamic Thought. Yong, Alwyn. 1994. ―The Tyranny of Numbers: Confronting the Statistical Reality of the East Asian Growth Experience‖. National Bureau of Economic Research Working Paper, No. 4680. Webster‘s International Dictionary Yusuf, S. M. 1971. Economic Justice in Islam. Lahore: Sh. Muhammad Ashraf. Zarqa, Muhammad Anas. 1988. ―Islamic Distributive Schemes‖, dalam Munawar Iqbal (ed). Distributive Justice and Need Fulfilment in an Islamic Economy. Leicester, UK: The Islamic Foundation.
~ 84 ~