BAB I PENDAHULUAN
Traktus urinarius bagian bawah memiliki dua fungsi utama, yaitu: sebagai tempat untuk menampung produksi urin dan sebagai fungsi ekskresi. Selama kehamilan, saluran kemih mengalami perubahan morfologi dan fisiologi. Perubahan fisiologis pada kandung kemih yang terjadi saat kehamilan berlangsung merupakan predisposisi terjadinya retensi urin satu jam pertama sampai beberapa hari post partum. Perubahan ini juga dapat memberikan gejala dan kondisi patologis yang mungkin memberikan dampak pada perkembangan fetus dan ibu.1 Retensi urin merupakan masalah yang perlu diperhatikan pada masa intrapartum maupun post partum. Pada masa intrapartum, Sebanyak 16-17 % kasus retensio plasenta diakibatkan oleh kandung kemih yang distensi akibat retensi urin.2 Sedangkan insiden terjadinya retensi urin pada periode post partum, menurut hasil penelitian Saultz et al berkisar 1,7% sampai 17,9%. Penelitian yang dilakukan oleh Yip et al menemukan insidensi retensi urin post partum sebesar 4,9 % dengan volume residu urin 150 cc sebagai volume normal paska berkemih spontan. Penelitian lain oleh Andolf et al menunjukkan insidensi retensi urin post partum sebanyak 1,5%, dan hasil penelitian dari Kavin G et al sebesar 0,7%. 3,4,5,6 Penelitian oleh Pribadi dkk secara restropektif di bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Ulin Banjarmasin selama tahun 2002-2003 didapatkan angka
1
2
kejadian retensi urin post partum sebesar 0,38% dari sebanyak 1.891 persalinan spontan dan 222 persalinan dengan vakum ekstraksi. Dimana, usia penderita terbanyak adalah kelompok usia 26-30 tahun (36,3%) dan paritas terbanyak adalah paritas 1 (54,5%).2 Retensio urin post partum paling sering terjadi setelah terjadi persalinan pervaginam. Penelitian oleh Yustini dkk di FKUI – RS. Cipto Mangunkusumo tahun 2009 menunjukkan angka kejadian disfungsi kandung kemih post partum sebanyak 9-14 % dan setelah persalinan menggunakan assisted labor (ekstraksi forsep), meningkat menjadi 38 %. 7 Berikut ini akan diberikan suatu laporan kasus P 1A0 Post Partum Spontan Belakang Kepala dengan Retensi Urin. Akan dibahas mengenai penyakit, gejala klinis, pemeriksaan diagnosis, dan tatalaksana yang telah diberikan dan akan dibandingkan dengan teori yang sudah ada.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Retensio urin postpartum merupakan tidak adanya proses berkemih spontan setelah kateter menetap dilepaskan, atau dapat berkemih spontan dengan urin sisa kurang dari 150 ml. Menurut Stanton, retensio urin adalah tidak bisa berkemih selama 24 jam yang membutuhkan pertolongan kateter, dimana tidak dapat mengeluarkan urin lebih dari 50% kapasitas kandung kemih .8 Literatur lain menyabutkan juga batas waktu kejadian retensio urin adalah 6-10 jam postpartum.9 2.2 Etiologi dan Klasifikasi
a. Retensi urin akut.10,11 Merupakan retensi urine yang berlangsung ≤ 24 jam post partum. Retensi urine akut lebih banyak terjadi akibat kerusakan yang permanen khususnya gangguan pada otot detrusor berupa kontraksi dari otot detrusor kurang atau tidak adekuat dalam fase pengosongan kandung kemih. Adanya obstruksi pada uretra, karena overaktivitas otot uretra atau karena oklusi mekanik. Kerusakan juga bisa pada ganglion parasimpatis dinding kandung kemih. Pasien post operasi dan post partum merupakan penyebab terbanyak retensi urine akut. Fenomena ini terjadi akibat dari trauma kandung kemih dan edema sekunder akibat tindakan pembedahan atau obstetri, epidural anestesi, obat-obat narkotik, peregangan atau trauma saraf pelvik, hematoma
4
pelvik, nyeri insisi episiotomi atau abdominal, khususnya pada pasien yang mengosongkan kandung kemihnya dengan manuver Valsalva. Retensi urine pos operasi biasanya bia sanya membaik me mbaik sejalan s ejalan dengan waktu dan drainase kandung kemih yang adekuat. Retensio urine biasanya disebabkan oleh trauma kandung kemih. Nyeri atau interfensi sementara pada persyarafan kandung kemih, nyeri sering mengecilkan usaha volunter yang diperlukan untuk memulai urinasi/ miksi. uretra,dinding kandung kemih kurang sensitif. Pada keadaan ini, kandung kemih sangat mengembang ketika keinginan dan kemampuan untuk berkemih sangat rendah. Walaupun sejumlah kecil urine dapat dikeluarkan,kandung kemih banyak mengandung urine residu. 1) Retensio urin pasca persalinan pervaginam Trauma intrapartum menyebabkan udem dan hematom jaringan, selain itu penekanan
yang lama
bagian terendah
janin
terhadap periuretra
menyebabkan gangguan kontraksi otot detrussor, sehingga terjadi ekstravasasi ke otot kandung kemih Nyeri karena laserasi atau episiotomi juga menyebabkan hambatan terhadap kontraksi kontraksi detrusor . 2) Retensio urin pasca seksio sesaria :
Seksio sesaria dengan riwayat partus lama menyebabkan udem dan hematom jaringan periuretra
Nyeri luka insisi pada dinding perut menyebabkan pasien enggan mengkontraksikan otot dinding perut guna memulai pengeluaran urin
Manipulasi kandung kemih selama seksio sesarea menyebabkan spastik sfingter uretra
5
Anestesi
b. Retensi urin kronik Merupakan retensi urin yang berlangsung > 24 jam post partum. Pada kasus retensi urine kronik, perhatian dikhususkan untuk peningkatan tekanan intravesical yang menyebabkan reflux ureter, penyakit traktus urinarius bagian atas dan penurunan fungsi ginjal. Retensi urin post partum dibagi atas dua yaitu: 10,11 a. Retensi urin covert (volume residu urin>150 ml pada hari pertama post partum tanpa gejala klinis) Retensi urin post partum yang tidak terdeteksi (covert) oleh pemeriksa. Bentuk yang retensi urin covert dapat diidentifikasikan sebagai peningkatkan residu setelah berkemih spontan yang dapat dinilai dengan bantuan USG atau drainase kandung kemih dengan kateterisasi. Wanita dengan volume residu setelah buang air kecil ≥ 150 ml dan tidak terdapat gejala klinis retensi urin, termasuk termas uk pada kategori ini. b. Retensi urin overt (retensi urin akut post partum dengan gejala klinis) Retensi urin post partum yang tampak secara klinis (overt) adalah ketidakmampuan berkemih secara spontan setelah proses persalinan. Insidensi retensi urin postpartum tergantung dari terminologi yang digunakan. Penggunaan terminologi tidak dapat berkemih spontan dalam 6 jam setelah persalinan, telah dilakukan penelitian analisis retrospektif yang menunjukkan insidensi retensi urin jenis yang tampak (overt) secara klinis
6
dibawah 0,14%. Sementara itu, untuk kedua jenis retensi urin, tercatat secara keseluruhan angka insidensinya mencapai 0,7%. 2.3 Patofisiologis
Pada masa kehamilan terjadi peningkatan elastisitas pada saluran kemih, sebagian disebabkan oleh efek hormon progesteron yang menurunkan tonus otot detrusor. Pada bulan ketiga kehamilan, otot detrusor kehilangan tonusnya dan kapasitas vesika urinaria meningkat perlahan-lahan. Akibatnya, wanita hamil biasanya merasa ingin berkemih ketika vesika urinaria berisi 250-400 ml urin. Ketika wanita hamil berdiri, uterus yang membesar menekan vesika urinaria. Tekanan menjadi dua kali lipat ketika usia kehamilan memasuki 38 minggu. Penekanan ini semakin membesar ketika bayi akan dilahirkan, memungkinkan terjadinya trauma intrapartum pada uretra dan vesika urinaria dan menimbulkan obstruksi. Tekanan ini menghilang setelah bayi dilahirkan, menyebabkan vesika urinaria tidak lagi dibatasi kapasitasnya oleh uterus. Akibatnya vesika urinaria menjadi hipotonik dan cenderung berlangsung beberapa lama .13,14 Retensi urin post partum paling sering terjadi akibat dissinergis dari otot detrusor dan sfingter uretra. Terjadinya relaksasi sfingter uretra yang tidak sempurna menyebabkan nyeri dan edema. Sehingga ibu post partum tidak dapat mengosongkan kandung kemihnya dengan baik .3,4
7
Gambar 1. Penekanan bladder oleh bagian terbawah janin.
2.4 Faktor Risiko11,13 1.
Riwayat kesulitan berkemih
2.
Primipara
3.
Pasca anestesi blok epidural, spinal, atau pudenda
4.
Persalinan yang lama dan/ dan/ atau distosia distosia bahu
5.
Kala II lama
6.
Trauma perineal yang berat seperti sobekan para uretral, klitoris, episiotomy yang besar, rupture grade 2 atau grade 3, oedem yang signifikan
8
7.
Kateterisasi selama atau setelah kelahiran
8.
Perubahan sensasi setelah berkemih
9.
Pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap
2.5 Gejala Klinis dan Diagnosis3,11
Retensi urine memberikan gejala gangguan berkemih, termasuk diantaranya:
Kesulitan buang air kecil
Pancaran kencing lemah, lambat, dan terputus-putus;
Keinginan untuk mengedan atau memberikan tekanan pada suprapubik saat berkemih
Rasa tidak puas setelah berkemih
Kandung kemih terasa penuh ( distensi abdomen)
Kencing menetes setelah berkemih
Sering berkemih dengan volume yang kecil
Nokturia lebih dari 2-3 kali kali yang tidak tidak berhubungan berhubungan dengan dengan pemberian ASI ASI
Keterlambatan berkemih lebih dari 6 jam setelah persalinan
Kesulitan dalam memulai berkemih setelah persalinan
Letak fundus fundus uteri
tinggi atau tidak berpindah berpindah dengan dengan kandung kandung kenih
yang teraba ( terdeteksi t erdeteksi melalui perkusi) dan kemungkinan sakit perut bagian bawah. bawah. Pada pasien dengan keluhan saluran kemih bagian bawah, maka anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap, pemeriksaan rongga pelvis, pemeriksaan neurologik, jumlah urine yang dikeluarkan spontan dalam 24 jam, pemeriksaan urinalisis dan kultur urine, pengukuran volume residu urine, sangat dibutuhkan.
9
Fungsi berkemih juga harus diperiksa, dalam hal ini dapat digunakan uroflowmetry, pemeriksaan tekanan saat berkemih, atau dengan voiding cystourethrography.1 Dikatakan normal jika volume residu urine adalah kurang atau sama dengan 50ml, sehingga jika volume residu urine lebih dari 200ml dapat dikatakan abnormal dan biasa disebut retensi urine. Namun volume residu urine antara 50-200ml menjadi pertanyaan, sehingga telah disepakati bahwa volume residu urinenormal adalah 25% dari total volume vesika urinaria .1,8 2.6 Penatalaksanaan
A. Bladder Training Bladder training adalah kegiatan melatih kandung kemih untuk mengembalikan pola normal berkemih dengan menstimulasi pengeluaran urin. Dengan bladder training diharapkan fungsi eliminasi berkemih spontan pada ibu post partum spontan dapat terjadi dalam 2- 6 jam post partum.1 Ketika kandung kemih menjadi sangat mengembang diperlukan kateterisasi, kateter Foley ditinggal dalam kandung kemih selama 24-48 jam untuk menjaga kandung kemih tetap kosong dan memungkinkan kandung kemih menemukan kembali tonus otot normal dan sensasi. Bila kateter dilepas, pasien harus dapat berkemih secara spontan dalam waktu 2-6 jam. Setelah berkemih secara spontan, kandung kemih harus dikateter kembali untuk memastikan bahwa residu urin minimal. Bila kandung kemih mengandung lebih dari 150 ml residu urin , drainase kandung kemih
10
dilanjutkan lagi. Residu urin setelah berkemih normalnya kurang atau sama dengan 50 ml. 1 Program latihan bladder training meliputi : penyuluhan, upaya berkemih terjadwal, dan memberikan umpan balik positif. Tujuan dari bladder training adalah melatih kandung kemih untuk meningkatkan kemampuan mengontrol, mengendalikan, dan meningkatkan kemampuan berkemih.7 a. Secara umum, pertama kali diupayakan berbagai cara yang non invasif agar pasien tersebut dapat berkemih spontan. b. Pasien post partum harus sedini mungkin berdiri dan jalan ke toilet untuk berkemih spontan c. Terapi medikamentosa diberikan uterotonika agar terjadi involusio uteri yang baik. Kontraksi uterus diikuti dengan kontraksi kandung kemih. d. Apabila semua upaya telah dikerjakan namun tidak berhasil untuk mengosongkan kandung kemih yang penuh, maka perlu dilakukan kateterisasi urin, jika perlu lakukan berulang. B. Hidroterapi Hidroterapi merupakan terapi alternatif yang sudah lama dikenal dan dilakukan secara luas pada bidang naturopathy akhir-akhir ini. Sejumlah penelitian dilakukan untuk mengetahui manfaat dari hidroterapi. Dari beberapa literatur, diketahui manfaat dari hidroterapi adalah untuk memperbaiki sirkulasi darah sehingga dapat memperbaiki fungsi jaringan dan organ. Hidroterapi banyak digunakan sebagai terapi alternatif untuk
11
pemulihan, salah satunya dapat mencegah terjadinya retensi urin pada masa mas a post partum dengan pertimbangan non invasif, mudah dilakukan, murah, efek samping minimal dan dapat dikerjakan sendiri. 15 a. Rasionalisasi hidroterapi dengan air hangat Hidroterapi dengan air hangat dengan suhu 106-110°F (4143°C). Batas suhu tersebut dianggap fisiologis untuk hidroterapi dan telah diuji melalui beberapa penelitian dengan risiko terjadinya heatstroke yang minimal. Terapi air hangat pada kulit, khususnya pada organ urogenitalia eksterna menimbulkan sensasi suhu pada nerve ending (ujung saraf) pada permukaan kulit. Sensasi ini mengaktivasi transmisi dopaminergik dalam jalur mesolimbik sistem saraf pusat.15 Terapi air hangat member ikan ikan efek “crowding “crowding process” process” (proses pengacauan) pada sistem saraf karena mengakibatkan rasa nyeri terhambat oleh sensasi suhu yang diterima oleh nerve ending yang bertanggung jawab terhadap sensasi suhu (nerve ( nerve endings Ruffini dan Krause). sehingga memberikan efek penekanan atau pengurangan rasa nyeri.16 Selain
itu,
manfaat
paparan
lokal
air
hangat
dapat
mengakibatkan peningkatan kadar beta endorphin dalam darah. Beta endorfin
diketahui
sebagai
anti
menimbulkan perasaan relaksasi.
nyeri
endogen
yang
dapat
12
b. Rasionalisasi hidroterapi dengan air dingin Hidroterapi dengan air dingin pada suhu 55 - 75°F (12 - 24°C) bermanfaat pada penyembuhan luka perineum. Hidroterapi dengan air
dingin
mengakibatkan
penurunan
metabolisme
sel
dan
pengurangan penggunaan penggunaan oksigen di sekitar jaringan yang tidak luka. Beberapa penelitian juga telah menunjukkan terapi air dingin menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan sirkulasi vena. Dengan terjadinya vasokonstriksi vena, maka membantu proses drainase pada jaringan edema oleh pembuluh limfe. Dengan terjadinya vasokonstriksi pada jaringan edema, cairan intersellular yang tertahan akan mengalir secara perlahan melalui jaringan ikat di antara serabut otot ke dalam saluran limfe. Selain itu, proses drainase ini juga difasilitasi oleh pompa yang terjadi akibat kontaksi dan relaksasi otot.17 Karena itu, hidroterapi dengan air dingin pada ibu post partum spontan yang mengalami laserasi perineum dapat menjadi salah satu manajemen luka perineum untuk penanganan edema perineum selain penanganan higienis perineum dan kuratif dengan medisinal. Dari satu penelitian dilaporkan insidensi penyembuhan luka laserasi perineum dengan hidroterapi sebesar 84 % pada sepuluh hari periode post partum. Penyembuhan lambat sebesar 4,3 %, kejadian Infeksi perineum 1,2 % dan penyembuhan tidak sempurna sebesar 4,8 %.
13
Sedangkan kejadian edema perineum ringan akan sembuh pada 3 – 4 4 hari post partum. 16 Bagan penatalaksanaan dari Retensio Urin dengan Bladder dengan Bladder training .7
RETENSIO URIN
Kateterisasi Urinalisis, Kultur Urin Antibiotika, banyak minum (3 liter/24 jam), prostaglandin prostaglandin Urin < 500 ml
Urin 500-1000 ml
Urin 1000-2000 ml
Urin > 2000 ml
Intermiten
Dauer Kateter 1 x 24 jam
Dauer Kateter 2 x 24 jam
Dauer Kateter 3 x 24 jam
Buka - tutup kateter per 4 jam Selama 24 jam (Kecuali pasien s udah BAK dapat dibuka)
Kateter di lepas pada pagi hari
Dapat BAK spontan
Urin residu > 200 ml (obstetric) Urin Urin resi residu du > 100 100 ml inek inekol olo o i
Tidak dapat BAK spontan
Urin residu < 200 ml (obstetric) Urin residu < 100 ml (ginekologi)
Pulang
Keterangan : Intermiten adalah kateterisasi selama 4 jam selama 24 jam
14
BAB III LAPORAN KASUS
I.
II.
Identitas
Nama
: Ny. H
Nama suami
: Tn. H
Umur
: 20 tahun
Umur
: 21 tahun
Agama
: Islam
Agama
: Islam
Suku
: Banjar
Suku
: Banjar
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Pekerjaan
Alamat
: Belitung darat gg mutiara RT.11 RW.01
MRS tanggal
: 13 – 13 – 3 – 3 – 2014 2014 (Pukul 08.45 Wita)
: Swasta
Anamnesa
Anamnesa dilakukan secara autoanamnesa tanggal 16-3-2014 1. Keluhan utama : Keluar lendir darah 2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien merupakan rujukan rujukan BPS dengan diagnose diagnose G1P0A0 dengan keluar lendir darah. Pasien mulai keluar lendir darah sejak 6 jam SMRS (02.30). Pasien juga mengeluhkan kencang-kencang sejak 9 jam SMRS (23.00). Keluar air-air tidak ada. Pasien rajin ANC di puskesmas. Pasien pernah USG di dr.Sp.OG dan dikatakan kehamilan baik-bauik saja. Riwayat pijat ditukang pijat sebanyak 4 kali selama kehamilan.
15
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Os mengaku tidak pernah menderita darah tinggi, asma maupun kencing manis. 4. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengatakan tidak ada anggota keluarga yang lain yang menderita tekanan darah tinggi, kencing manis maupun asma. 5. Riwayat Haid
Menarche umur 10 tahun, siklus haid 28 hari, teratur, lama 7 hari, tidak ada keluhan selama haid. HPHT : 12-06-2013 Umur kehamilan : Hamil 36-37 minggu Taksiran Partus : 19-03-2014 7. Riwayat Perkawinan:
Pasien menikah 1 kali dan sudah 1 tahun lamanya. 8. Riwayat Kontrasepsi
Pasien tidak ada menggunakan kontrasepsi jenis apapun 9. Riwayat Obstetri:
2014/ hamil ini
Pemeriksaan
A. Pemeriksaan Fisik Umum 1. Keadaan umum
: Tampak sakit sedang
2. Kesadaran
: Kompos mentis, GCS: 4-5-6
16
3. Tanda Vital Tensi
:130/80 mmHg
Nadi
: 84 x/menit
Suhu
: 36.4 oC
Pernapasan
: 20 x/menit
BB : 65 kg
TB: 153 cm
4. Kepala dan leher Kepala Mata
: Bentuk normal : Konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, palpebrae tidak edem, pupil isokor, refleks cahaya +/+.
Telinga
: Bentuk normal, tidak ada cairan yang keluar dari telinga, tidak ada ganguan pendengaran.
Hidung
: Bentuk normal, tidak tampak defiasi septum, tidak ada sekret, tidak ada epistaksis, tidak ada pernapasan cuping hidung.
Mulut
: Bibir dan mukosa tidak anemis, perdarahan gusi tidak ada, tidak ada trismus, tidak ada pembesaran atau radang pada tonsil, lidah tidak ada kelainan, tidak ada gigi palsu.
Leher
: Tidak ada kaku kuduk, tidak tampak pembesaran kelenjar getah bening dan tiroid, tidak ada pembesaran JVP.
5. Thoraks Paru Inspeksi
: bentuk normal, gerakan cepat dan simetris
17
Palpasi
: fremitus raba +/+ simetris, tidak ada nyeri tekan.
Perkusi
: sonor +/+, tidak ada nyeri ketuk.
Auskultasi
: Vesikuler, tidak ada ronkhi atau wheezing.
Auskultasi
: S1 dan S2 tunggal, bising jantung tidak ada.
Jantung
6. Abdomen
: Status Obstetri
7. Ekstremitas atas dan bawah : Atas
: Edema (-), gerak normal, nyeri gerak (-).
Bawah
: Edema (-), gerak normal, nyeri gerak (-).
B. Pemeriksaan Obstetri : 1. Inspeksi : Perut tampak membuncit simetris 2. Palpasi
: Leopold I : fundus uteri teraba 3 jari di bawah processus xyphoideus (TFU = 32 cm) Leopold II : punggung punggung kiri Leopold III : presentasi kepala Leopold IV : sudah masuk PAP (4/5) ( 4/5)
3. Auskultasi
His
: 3 kali dalam 10 menit lamanya 40 detik
TBJ
: 3255 gram : DJJ 144 x/menit.
4. Pemeriksaan Dalam : Vaginal Touche :
portio teraba lunak konsistensi kenyal, arah mendatar, ketuban (+),
pembukaan 5cm, bagian terbawah
kepala, penurunan di Hodge I, penunjuk UUK
18
Kesan Panggul
: luas
C. Pemeriksaan Penunjang Hb Sahli 11 gr %. IV. Diagnosa
G1P0A0, Hamil 36-37 minggu inpartu kala I fase aktif JTHIU preskep V. Penatalaksanaan Penatalaksanaan
Observasi kemajuan persalinan, tanda vital, keluhan, his, DJJ Visited dr. Hariadi, Sp.OG(K). 13/3/14 pukul 11.06 VT : Pembukaan 7cm/ selaput ketuban (+)/ presentasi kepala di Hodge 2/
UUK kiri A : G1P0A0 Hamil aterm Inpartu kala 1 fase aktif P:
Observasi Kemajuan persalinan
VI. Laporan Partus
Pembukaan lengkap, kepala di depan vulva, ibu dipimpin mengedan saat his. Tangan kiri menahan kepala, kepala dilahirkan spontan, terjadi paksi luar, tangan memegang kepala biparietal. Dilakukan penarikan ke arah anterior, hingga bahu belakang lahir, kemudian dilakukan penarikan sejajar lantai, berturut-turut lahir badan, bokong, kedua kaki, air ketuban berwarna kehijauan.
Lahir bayi laki-laki, BB 3100 gr, PB 50 cm, As 6-7-8, Bs 38-40mgg, anus (+), kelainan kongenital (-). (-) . Tanggal 13/3/14, pukul 12.55.
19
Dilakukan klem 2 posisi pada tali pusat, tali pusat dipotong, dilakukan penyuntikan oksitosin 10 iu (im) pada pada regio femur lateral.
Setelah 5 menit, Dilahirkan plasenta lengkap dengan insersio lateral, infark (-), kalsifikasi (-), hematom (-)
Observasi perdarahan 100 cc
Follow up post partum Tanggal 13 Maret 2014 jam 13.25 WITA
S : Perdarahan post partum (<), nyeri post partum (+) O: Tanda vital Tekanan darah
: 130/80 mmHg
Nadi
: 80x/menit
Respirasi
: 20x/menit
Suhu
: 36,60C
TFU
: 2 jari diatas pusat
Kontraksi
: Baik
Fluksus
: (+) tidak aktif
A: P1A0 post partum Spt Bk (H0) P : Po. Cefadroxil 3x500mg Asam Mefenamat 3x500mg Follow up masuk ruangan 13 Maret 2014 jam 15.05 WITA S : Perdarahan post partum (<), nyeri post partum (<) O: Tanda vital Tekanan darah
: 110/60 mmHg
20
Nadi
: 92x/menit
Respirasi
: 20x/menit
Suhu
: 36,50C
TFU
: 2 jari diatas pusat
Kontraksi
: Baik
Fluksus
: (+) tidak aktif
A: P1A0 post partum Spt Bk (H0) P : Po. Cefadroxil 3x500mg Asam Mefenamat 3x500mg
21
Follow up
S
TD (mmHg) N (kali/menit) RR O (kali/menit) T (0C)
A
P
14/3/2014 Pkl. 06.00 Perdarahan (<), Nyeri (<), rasa tidak nyaman di perut bawah (+), susah kencing (+)
Tanggal 15/3/2014 Pkl. 06.00 Perdarahan (<), Nyeri (<), rasa ingin kencing (+), BAB (-)
16/17/2014 Pkl. 06.00 Perdarahan (<), Nyeri (<), rasa ingin kencing (+), BAB (-)
120/70
100/70
100/80
96
84
88
16
16
20
36,5
36,7
36,7
TFU : setinggi pusat Kontraksi baik
TFU : 2 jari ↓pusat Kontraksi baik
TFU : 3 jari 3 jari ↓pusat Kontraksi baik
P1A0 post partum Spt Bk (H1) + retensio urin
P1A0 post partum Spt Bk (H1) + retensio urin
P1A0 post partum Spt Bk (H1) + retensio urin
Po. Cefadroxil 3x500mg Asam Mefenamat 3x500mg Bladder training , jika residu urin <500ml maka buka tutup intermiten per 4 jam. Jika residu 5001000ml atau >1000ml, kateterisasi menetap “loss” selama 3x24 jam.
Po. Cefadroxil 3x500mg Asam Mefenamat 3x500mg Dilakukan pemeriksaan residu urin = 400ml. Bladder training buka tutup per 4 jam
Po. Cefadroxil 3x500mg Asam Mefenamat 3x500mg Bladder training tuntaskan 24 jam APS
Pasien dirawat selama 3 hari di Bangsal kelas III Obstetri Ruang Cempaka RSUD Ulin hari, keadaan umum pasien mulai membaik, penatalaksanaan untuk retensio urin belum tuntas, keluhan nyeri dan perdarahan sudah berkurang dan sudah bisa makan. Pasien pulang atas permintaan sendiri pada tanggal 16 Maret 2014 setelah dirawat selama 3 hari.
22
BAB IV DISKUSI
Pada kasus ini pasien datang dengan G 1P0A0, Hamil 36-37 minggu inpartu kala I fase aktif. Dimana dari hasil anamnesis didapatkan bahwa pasien dating jam 08.45 dengan dengan keluhan keluar lendir darah. Pasien juga mengeluhkan mengeluhkan ada keluar lendir darah sejak 6 jam SMRS. Pasien juga mengeluhkan kencang-kencang sejak 9 jam SMRS. Keluar air-air tidak ada. Selama kehamilan pasien rajin ANC di puskesmas. Pasien juga pernah USG di dr.Sp.OG dan dikatakan kehamilan baik baik saja. Selama kehamilan pasien ada pijat ditukang pijat sebanyak 4 kali selama kehamilan. Pada pemeriksaan status obstetri didapatkan perut tampak membuncit simetris. Pada palpasi Leopold I
: fundus uteri
teraba 3 jari di bawah
processus xyphoideus (TFU = 32 cm), Leopold II : punggung kiri, Leopold III : presentasi kepala, dan Leopold IV : sudah masuk PAP (3/5). His didapatkan 3 kali dalam 10 menit lamanya 40 detik. Pada Vaginal Touche didapatkan portio teraba lunak konsistensi kenyal, kenyal, arah mendatar, ketuban (+),
pembukaan 5cm, bagian
terbawah UUK di Hodge I, serta kesan panggul luas. Pada pukul 12.55 lahir bayi laki-laki dengan berat badan 3100 gr, panjang badan 50 cm, Skor Apgar 6-7-8, skor Ballad kongenital (-). Kondisi pasien dan bayi stabil.
38-40mgg, anus (+), kelainan
23
Tetapi pada hari perawatan ke 1, tanggal 14/3/2014, pasien belum ada kencing selama 18 jam setelah melahirkan, maka diagnosis berubah menjadi P01A1, post partum Spontan belakang kepala dengan Retensio Urin. Menurut Junizaf dalam Penanganan Retensi Urin Pasca Persalinan yang dimaksud Retensio urin postpartum merupakan tidak adanya proses berkemih spontan setelah kateter menetap dilepaskan, atau dapat berkemih spontan dengan urin sisa kurang dari 150 ml atau menurut Stanton, retensio urin adalah tidak bisa berkemih selama 24 jam yang membutuhkan pertolongan kateter, dimana tidak dapat mengeluarkan urin lebih dari 50% kapasitas kandung kemih. 8 Retensi Urin akut merupakan retensi urine yang berlangsung ≤ 24 jam post partum. Retensi urin akut lebih banyak terjadi akibat kerusakan yang permanen khususnya gangguan pada otot detrusor berupa kontraksi dari otot detrusor kurang atau tidak adekuat dalam fase pengosongan kandung kemih. Adanya obstruksi pada uretra, karena overaktivitas otot uretra atau karena oklusi mekanik. Kerusakan juga bias pada ganglion parasimpatis dinding kandung kemih. Pasien post operasi dan post partum merupakan penyebab terbanyak retensi urine akut. Fenomena ini terjadi akibat dari trauma kandung kemih dan edema sekunder akibat tindakan pembedahan atau obstetri, epidural anestesi, obat-obat narkotik, peregangan atau trauma saraf pelvik, hematoma pelvik, nyeri insisi episiotomi atau abdominal, khususnya pada pasien yang mengosongkan kandung kemihnya dengan manuver Valsalva. Retensi urine pos operasi biasanya membaik sejalan dengan waktu dan drainase kandung kemih yang adekuat. Retensio urine biasanya disebabkan oleh trauma kandung kemih. Nyeri atau interfensi sementara pada
24
persyarafan kandung kemih, nyeri sering mengecilkan usaha volunter yang diperlukan untuk memulai urinasi/ miksi. uretra,dinding kandung kemih kurang sensitif. Pada keadaan ini, kandung kemih sangat mengembang ketika keinginan dan kemampuan untuk berkemih sangat rendah. Walaupun sejumlah kecil urine dapat dikeluarkan,kandung kemih banyak mengandung urine residu. 3) Retensio urin pasca persalinan pervaginam Trauma intrapartum menyebabkan udem dan hematom jaringan, selain itu penekanan yang lama bagian terendah janin terhadap periuretra menyebabkan gangguan kontraksi otot detrussor, sehingga terjadi ekstravasasi ke otot kandung kemih. Nyeri karena laserasi atau episiotomi juga menyebabkan hambatan terhadap kontraksi detrusor . 4) Retensio urin pasca seksio sesaria :
Seksio sesaria dengan riwayat partus lama menyebabkan udem dan hematom jaringan periuretra
Nyeri luka insisi pada dinding perut menyebabkan pasien enggan mengkontraksikan otot dinding perut guna memulai pengeluaran urin
Manipulasi kandung kemih selama seksio sesarea menyebabkan spastik sfingter uretra
Anestesi
Retensi urin kronik merupakan retensi urin yang berlangsung > 24 jam post partum. Pada kasus retensi urine kronik, perhatian dikhususkan untuk peningkatan tekanan intravesical yang menyebabkan reflux ureter, penyakit traktus urinarius bagian atas dan penurunan fungsi fungsi ginjal. 10,11
25
Sedangkan pembagian yang lain, retensi urin post partum dibagi atas dua, retensi urin post partum yang tidak terdeteksi (covert) oleh pemeriksa. Bentuk yang retensi urin covert dapat diidentifikasikan sebagai peningkatkan residu setelah berkemih spontan yang dapat dinilai dengan bantuan USG atau drainase kandung kemih dengan kateterisasi. Wanita dengan volume residu setelah buang air kecil ≥ 150 ml dan tidak terdapat gejala klinis retensi urin, termasuk t ermasuk pada kategori ini.12 Retensi urin post partum yang tampak secara klinis (overt) adalah ketidakmampuan berkemih secara spontan setelah proses persalinan. Insidensi retensi urin postpartum tergantung dari terminologi yang digunakan. Penggunaan terminologi tidak dapat berkemih spontan dalam 6 jam setelah persalinan. 12 Retensi urine memberikan gejala gangguan berkemih, termasuk diantaranya adalah kesulitan buang air kecil, pancaran kencing lemah, lambat, dan terputus putus, keinginan untuk mengedan atau memberikan tekanan pada suprapubik suprapubik saat berkemih, rasa tidak puas setelah berkemih, kandung kemih terasa penuh ( distensi abdomen), kencing menetes setelah berkemih, sering berkemih dengan volume yang kecil, nokturia lebih dari 2-3 kali yang tidak berhubungan dengan pemberian ASI, keterlambatan berkemih lebih dari 6 jam setelah persalinan, kesulitan dalam memulai berkemih setelah persalinan, letak fundus uteri
tinggi
atau tidak berpindah dengan kandung kenih yang teraba ( terdeteksi melalui perkusi) dan kemungkinan kemungkinan sakit perut bagian bawah. bawah. 3,11 Pada kasus, dapatkan retensi urin setelah 18 jam post partum, maka dimasukkan dalam retensi urin akut. Sedangkan Menirut pembagian yang lainnya,
26
kasus ini dimasukkan kedalam retensi urin overt dikarenakan pada kasus pasien mengeluh tidak bisa kencing dan mengeluhkan rasa tidak nyaman di daerah perut bawah. Pada masa kehamilan terjadi peningkatan elastisitas pada saluran kemih, sebagian disebabkan oleh efek hormon progesteron yang menurunkan tonus otot detrusor. Pada bulan ketiga kehamilan, otot detrusor kehilangan tonusnya dan kapasitas vesika urinaria meningkat perlahan-lahan. Akibatnya, wanita hamil biasanya merasa ingin berkemih ketika vesika urinaria berisi 250-400 ml urin. Ketika wanita hamil berdiri, uterus yang membesar menekan vesika urinaria. Tekanan menjadi dua kali lipat ketika usia kehamilan memasuki 38 minggu. Penekanan ini semakin membesar ketika bayi akan dilahirkan, memungkinkan terjadinya trauma intrapartum pada uretra dan vesika urinaria dan menimbulkan obstruksi. Tekanan ini menghilang setelah bayi dilahirkan, menyebabkan vesika urinaria tidak lagi dibatasi kapasitasnya oleh uterus. Akibatnya vesika urinaria menjadi hipotonik dan cenderung berlangsung beberapa lama. 13,14 Faktor risiko retesio urin antra lain adalah riwayat kesulitan berkemih, primipara, pasca anestesi blok epidural, spinal, atau pudenda, persalinan yang lama dan/ atau distosia bahu, kala II lama, trauma perineal yang berat seperti sobekan para uretral, klitoris, episiotomy yang besar, rupture grade 2 atau grade 3, oedem yang signifikan, kateterisasi selama atau setelah kelahiran, perubahan sensasi setelah berkemih, pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap. 11,13 Pada kasus ini faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya retensi urin adalah primipara atau persalinan pertama. Kemudian pada pasien dilakukan
27
pemeriksaan residu urin dengan cara pasien diperintahkan untuk minum banyak lalu berkemih sampai pasien merasa kandung kemihnya sudah tidak ada kei nginan berkemih, setelah itu dilakukan pemasangan kateter dengan maksud mengukur residu urin yang masih tersisa didalam kandung kemih pasien. Pada keadaan normal, residu urin atau urin yang keluar setelah kateterisasi pertama harus ≤ 50150 ml, dan pasien tidak mengalami retensi urin. Tetapi pada kasus didapatkan residu urin 400 ml. Penatalaksanaan yang dilakukan setelah itu adalah pemasangan kateter selama 24 jam dengan pola intermiten yaitu selang kateter dijepit atau diikat lalu di buka jepit atau ikatan tersebut per 4 jam atau jka pasien ada perasaan ingin berkemih, cara ini disebut bladder training . Secara teori ketika kandung kemih menjadi sangat mengembang diperlukan kateterisasi, kateter Foley ditinggal dalam kandung kemih selama 24-48 jam untuk menjaga kandung kemih tetap kosong dan memungkinkan kandung kemih menemukan kembali tonus otot normal dan sensasi. Bila kateter dilepas, pasien harus dapat berkemih secara spontan dalam waktu 2-6 jam. Setelah berkemih secara spontan, kandung kemih harus dikateter kembali untuk memastikan bahwa residu urin minimal. Bila kandung kemih mengandung lebih dari 150 ml residu urin , drainase kandung kemih dilanjutkan lagi. Residu urin setelah berkemih normalnya kurang atau sama dengan 50 ml. Sebelum bladder training selama 24 jam selesai, pasien meminta pulang atas permintaan sendiri dengan alasan sudah bisa berkemih dengan normal. Pasienpun tidak menuntaskan program bladder training yang yang dijadwalkan.
28
Bagan penatalaksanaan dari Retensio Urin dengan Bladder dengan Bladder training .7
RETENSIO URIN
Kateterisasi Urinalisis, Kultur Urin Antibiotika, banyak minum (3 liter/24 jam), prostaglandin prostaglandin Urin < 500 ml
Urin 500-1000 ml
Urin 1000-2000 ml
Urin > 2000 ml
Intermiten
Dauer Kateter 1 x 24 jam
Dauer Kateter 2 x 24 jam
Dauer Kateter 3 x 24 jam
Buka - tutup kateter per 4 jam Selama 24 jam (Kecuali pasien s udah BAK dapat dibuka)
Kateter di lepas pada pagi hari
Dapat BAK spontan
Urin residu > 200 ml (obstetric) Urin Urin res resid idu u > 100 100 ml ml ( inek inekol olo o i)
Tidak dapat BAK spontan
Urin residu < 200 ml (obstetric) Urin residu < 100 ml (ginekologi)
Pulang
Keterangan : Intermiten adalah kateterisasi selama 4 jam selama 24 jam
29
Pasien dirawat selama 3 hari di Bangsal kelas III Obstetri Ruang Cempaka RSUD Ulin hari, keadaan umum pasien mulai membaik, penatalaksanaan untuk retensio urin belum tuntas, keluhan nyeri dan perdarahan sudah berkurang dan sudah bisa makan. Pasien pulang atas permintaan sendiri pada tanggal 16 Maret 2014 setelah dirawat selama 3 hari.
30
BAB V PENUTUP
Telah dilaporkan kasus pasien wanita 20 tahun dengan P1A0 post partum spontan belakang kepala dengan retensio urin. Pasien dirawat selama 3 hari di Bangsal kelas III Obstetri Ruang Cempaka RSUD Ulin hari, keadaan umum pasien mulai membaik, penatalaksanaan untuk retensio urin belum tuntas, keluhan nyeri dan perdarahan sudah berkurang dan sudah bisa makan. Pasien pulang atas permintaan sendiri pada tanggal 16 Maret 2014 setelah dirawat selama 3 hari.
31
DAFTAR PUSTAKA
1.
Andi. Retensio Urin Post Partum. Dalam : Jurnal kedokteran Indonesia, Vol. 20, Februari 2008.
2.
Pribakti B. Tinjauan kasus Retensi urin postpartum di RS.Unlam/RS.Ulin Banjarmasin 2002-2003. Dexa Medica, 2006.
3.
Saultz JW, Toffler WL, Shackles JY. Postpartum urinary retention, Department of Family Medicine, Oregon Health Sciences University, Portland, 2001.
4.
Andolf E, Losif CS, Jorgenense M, et al. Insidious urinary retention after vaginal delivery, prevalence and symptoms at follow up in population based study. Gynecol Obstet Invest 1995; 38:51-3.
5.
Kavin G, Jonna B, et al. Incidence and treatment of urinary retention postpartum. Int Urogynecol Journal 2003; 2003; 14:119-21.
6.
Yip S, Bringer G, Hin L, et al. Urinary retention in the post partum period. Acta Obstet Gynecol Scand 1997:667-72.
7.
Yustini,E, dkk. Efektivitas Bladder training terhadap BAK spontan post partum. Majalah Obstetri Ginekologi Indonesia. Vol.32:4. Vol.32:4. Oktober 2008.
8.
Junizaf. Penanganan Retensi Urin Pasca Persalinan, Uroginekologi 1 Sub bagian Uroginekologi Rekonstruksi Bagian Obstetri Ginecologi FKUI Jakarta, 2002.
32
9.
Donna, Fiderkow.M, H.P. Drutz, T.C. Mainprize. 1990. Characteristic of Patients with Postpartum Urinary. The International Urogynecology Journal. 1: 136-138.
10. Magowan BA. Owen P, Drife J. Urinary Incontinence in Clinical Obstetrics & Gynaecology. Gynaecology. Elsevier, London, 2004 : 175 – 81. 81. 11. Santoso BI, Mengatasi Komplikasi Pasca Operasi Berupa Gangguan Miksi (Retensio Urine) Dan Infeksi (Pemberian Antibiotic Profilaksis). Profilaksis) . Divisi Uroginekologi Rekonstroksi Dept. Obstetric Dan Ginekologi FKUI, Jakarta :2009. 12. Rizki, TM, Tesis Kejadian retensi urin paska seksio sesarea dan bedah ginekologi di RSUP. H. Adam malik Medan, Departemen Obstetri dan Ginekologi FK-USU, 2009. 13. Liang CC, Chang SD, ChenSH, et all. Postpartum urinary retention after cesarean delivery in International in International Journal of Gynecology and Obstetrics 99, 2007 : 229 – 32. 32. 14. Gardjito W. Retensi urin permasalahan dan penatalaksanaannya dalam Juri dalam Juri voll 4. 4. UPF Ilmu Bedah FK Unair, Surabaya : 1994. 15. Nikolai A, Shevchuk. Hydrotherapy as a possible neuroleptic and sedative treatment. Molecular Radiobiology Section. USA. 2008. 16. Jenny G. Evidence for Effective Hydrotherapy. Physiotherapy, Systematic review, evidence-basedresearch, 2002;88, 9, 514-529. 17. De Cheney AH, Nathaan L. Current obstetric and gynecologic diagnosis and th
treatment, 10 edition. Mc. Graw – Graw – Hill, Hill, Inc. 2006.
33