BAB I PENDAHULUAN
Konjungtiva merupakan membran yang tipis dan transparan melapisi bagian anterior dari bola mata (konjungtiva bulbi), serta melapisi bagian posterior dari palpebra (konjungtiva palpebrae). Karena letaknya paling luar itulah sehingga konjungtiva sering terpapar terhadap banyak mikroorganisme dan faktor lingkungan lain yang mengganggu. Salah satu penyakit konjungtiva yang paling sering adalah konjungtivitis. Konjungtivitis merupakan peradangan selaput bening yang menutupi bagian putih mata dan bagian dalam kelopak mata. Peradangan tersebut menyebabkan timbulnya berbagai macam gejala, salah satunya adalah mata merah. Konjungtivitis disebabkan oleh berbagai hal diantaranya disebabkan oleh alergi. Konjuntivitis alergi merupakan bentuk radang konjungtiva akibat reaksi alergi terhadap non-infeksi, dapat berupa reaksi cepat alegi biasanya dan reaksi lambat sesudah beberapa hari kontak seperti pada reaksi terhadap obat, bakteri dan toksik. Di negara-negara maju 20-30% populasi memunyai riwayat alergi, dan 50% individual tersebut mengidap konjungtivitis alergi. Konjungtivitis alergi bisa berlangsung dari peradangan ringan seperti konjungtivitis alergi musiman atau bentuk kronik yang berat seperti keratokonjungtivitis alergi. Komplikasi sangat jarang ditemukan pada konjungtivitis alergi. Penyulit yang bisa terjadi adalah keratokonus dan tukak kornea. Konjungtivitis alergi jarang menyebabkan kehilangan penglihatan. Prognosis penderita konjungtivitis baik karena sebagian besar kasus dapat sembuh spontan ( self-limited disease), disease), namun dapat pula prognosis penyakit ini menjadi buruk bila terjadi komplikasi yang diakibatkan oleh penanganan yang kurang baik. baik. Oleh karna itu, penulisan ini akan membahas secara umum tentang konjungtivitis alergi itu sendiri dan bagaimana penanganan yang baik untuk konjungtivitis tersebut sehingga tidak terjadi komplikasinya dan mendapatkan prognosis yang baik kedepannya. kedepannya.
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan bagian mata yang menutupi sklera dan kelopak mata bagian belakang. Konjungtiva terdiri atas tiga bagian1, yaitu:
! Konjungtiva tarsal, merupakan bagian belakang palpebra yang ditutupi selaput lendir atau membran tarsus. Konjungtiva tarsal hanya dapat dilihat dengan melakukan eversi kelopak.
! Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.
! Konjungtiva bulbi, merupakan membran halus yang menutupi permukaan anterior sklera. Konjungtiva bulbi, tipis dan tembus pandang meliputi bagian anterior bulbus okuli. Di bawah konjungtiva bulbi terdapat kapsula tenon. Strukturnya sama dengan konjungtiva palpebra, tetapi tak mempunyai kelenjar. Dari limbus, epitel konjungtiva meneruskan diri sebagai epitel kornea. Di dekat kantus
internus,
konjungtiva
bulbi
membentuk
plika
semilunaris
yang
mengelilingi suatu pulau kecil terdiri dari kulit yang mengandung rambut dan kelenjar yang disebut caruncle. caruncle.
$%&'%( ") *+%,-&. &%,% /%+ 0-+12+3,.4%
Bermacam-macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva. Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel goblet. Musin bersifat membasahi bola mata, terutama kornea 1. Pada konjungtiva terdapat beberapa pembuluh darah 1, yaitu:
! a.konjungtiva posterior, yang memperdarahi konjungtiva bulbi ! a.siliar anterior atau episklera, yang memberikan cabang: o
a.episklera masuk ke dalam bola mata dan dengan arteri siliar posterior longus bergabung membentuk a.sirkular mayor atau pleksus siliar, yang akan memperdarahi iris dan badan siliar.
o
o
a.perikornea, yang memperdarahi kornea. a.episklera yang terletak di atas sklera, merupakan bagian arteri siliar anterior yang memberikan perdarahan ke dalam bola mata.
Bila terjadi pelebaran pembuluh-pembuluh darah di atas, maka akan terjadi mata merah.
Gambar 2. Pembuluh darah Bola mata dan konjungtiva
Konjungtiva mempunyai dua macam kelenjar, yaitu: 1. Kelenjar sekretori musin. Mereka adalah sel goblet (kelenjar uniseluler yang terletak di dalam epitelium), kripta dari Henle (ada apda tarsal konjungtiva) dan kelenjar Manz (pada konjungtiva limbal). Kelenjarkelenjar ini menseksresi mukus yang mana penting untuk membasahi kornea dan konjungtiva. 2. Kelenjar lakrimalis aksesorius, mereka adalah : a. Kelenjar dari Krause (terletak pada jaringan ikat konjungtiva di forniks, sekitar 42 mm pada forniks atas dan 8 mm di forniks bawah). b. Kelenjar dari Wolfring (terletak sepanjang batas atas tarsus superios dan sepanjang batas bawah dari inferior tarsus).
Gambar 3. Anatomi kelenjar pada mata Struktur Histologis dari konjungtiva Lapisan epitel konjungtiva terdiri dari: a. Marginal konjungtiva mempunyai epitel tipe stratified skuamous lapis 5. b. Tarsal konjungtiva mempunyai 2 lapis epitelium: lapisan superfisial dari sel silindris dan lapisan dalam dari sel squamous.
c. Forniks dan bulbar konjungtiva mempunyai 3 lapis epitelium: lapisan superfisial sel silindris, lapisan tengah polihedral sel dan lapisan dalam sel kuboid. d. Limbal konjungtiva sekali lagi mempunyai banyak lapisan (5-6 lapis) epitelium stratified skuamous Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superficial) dan satu lapisan fibrosa (profundus). a. Lapisan adenoid disebut dengan lapisan limfoid dan terdiri dari jaringan ikat retikulum yang terkait satu sama lain dan terdapat limfosit diantaranya. Lapisan ini paling berkembang di forniks. Tidak terdapat mulai dari lahir tetapi berkembang setelah 3-4 bulan pertama kehidupan. Untuk alasan ini, inflamasi konjungtiva pada bayi baru lahir tidak memperlihatkan reaksi folikuler. b. Lapisan fibrosa Terdiri dari jaringan fiber elastik dan kolagen. Lebih tebal daripada lapisan adenoid, kecuali di regio konjungtiva tarsal dimana pada tempat tersebut struktur ini sangat tipis. Lapisan ini mengandung pembuluh darah dan saraf konjungtiva. Bergabung dengan kapsula tenon pada regio konjungtiva bulbar. 2.2
Konjungtivitis Alergi
2.2.1
Definisi
Konjungtivitis Alergika adalah suatu peradangan pada konjungtiva akibat reaksi Hipersensitivitas tipe 1 yang diperantarai IgE terhadap alergen. Pada sebagian besar penderita, konjungtivitis alergika merupakan bagian dari sindroma alergi yang lebih luas, misalnya rinitis alergika musiman.3,5 Tetapi konjungtivitis alergika bisa terjadi pada seseorang yang mengalami kontak langsung dengan zat-zat di dalam udara, seperti serbuk sari, spora jamur, debu dan bulu binatang. 2.2.2
Epidemiologi
Konjungtivitis alergi dijumpai paling sering di daerah dengan alergen musiman yang tinggi. Konjungtivitis vernal paling sering di daerah tropis dan panas seperti daerah mediteranian, Timur Tengah, dan Afrika. Konjungtivitis vernal lebih sering dijumpai pada laki-laki dibandingkan perempuan, terutama usia muda (3-20 tahun). Biasanya onset pada dekade pertama dan menetap selama 2 dekade. 3,5
Gejala paling jelas dijumpai sebelum onset pubertas dan kemudian berkurang. Konjungtivitis atopik umumnya lebih banyak pada dewasa muda. 2.2.3
Etiologi
Konjungtivitis alergi dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti : a. reaksi alergi terhadap debu, serbuk sari, bulu binatang b. iritasi oleh angin, asap, dan polusi udara c. pemakaian lensa kontak terutama dalam jangka panjang. 2.2.4
Patofisiologi
Konjungtivitis
alergi
adalah
suatu
keadaan
dimana
adanya
reaksi
hipersensitivitas. Reaksi hipersensitivitas dikenal ada 4 tipe yaitu : 1.
Reaksi hipersensitivitas tipe 1 (Reaksi alergi) Pada reaksi ini yang paling berperan adalah Mast cell/ basofil dan IgE. Biasanya pada pasien Atopi ( yang memiliki kecenderungan menderita alergi)
2
Reaksi hipersenitivitas tipe II ( Reaksi sitotoksik) Terjadinya reaksi hipersensitivitas ini sangat erat kaitannya dengan adanya suatu proses enanggulangan munculnya suatu klon baru, adanya sel klon baru tersebut dapat ditemukan pada sel tumor, sel terinfeksi virus, dan sel yang terinduksi mutagen selanjutnya dikenal dengan sebutan sel target. Sel target ini
adalah
suatu
sel
karna
adanya
faktor
lingkungan
sel
tersebut
yangbmengalami perubahan DNA. Oleh karna itu sel tersebut harus diperbaiki (DNA repair) atau dimusnahkan melalui mekanisme imunologik. Karna sel yang mengalami kecacatan DNA bila tidak dimusnahkan oleh sistem imun tubuh, maka sel tersebut akan berkembang menjadi klon baru yang selanjutnya dapat menimbulkan suatu gangguan (Penyakit). 3.
Reaksi hipersensitivitas tipe III ( Imun kompleks) Reaksi yang terjadi bila kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam jaringan atau sirkulasi/ dinding pembuluh darah dan mengaktifkan komplemen. Antibodi yang bisa digunakan sejenis IgM atau IgG sedangkan komplemen yang diaktifkan kemudian melepas faktor kemotatik makrofag.
4.
Reaksi Hipersensitivitas tipe IV ( Hiersensitivitas tipe lambat) Terjadinya reaksi ini disebabkan oleh Infeksi mikroorganisme yang bersifat intra seluler atau suatu antigen tertentu. Misalnya infeksi bakteri, jamur, parasit, virus dan kontak antigen.
Terjadinya suatu peradangan pada konjungtiva juga akan menyebabkan vasokonstriksi segera pada area setempat, peningkatan aliran darah ke lokasi dalam hal ini adalah a. ciliaris anterior dan a. palpebralis sehingga mata terlihat menjadi lebih merah, terjadi penurunan laju aliran darah ke lokasi radang (leukosit melambat dan menempel di endotel vaskuler), terjadi peningkatan adhesi endotel pembuluh darah (leukosit dapat terikat pada endotel pembuluh darah), terjadi peningkatan permeabilitas vaskuler (cairan masuk ke jaringan), fagosit masuk jaringan (melalui peningkatan marginasi
dan ekstravasasi),
pembuluh darah membawa darah
membanjiri jaringan kapiler jaringan memerah (rubor) dan memanas (kalor), masuknya cairan dan sel dari kapiler ke jaringan terjadi akumulasi cairan (eksudat) dan bengkak (edema), dan migrasi leukosit terutama fagosit dari kapiler ke jaringan. Perubahan struktur konjungtiva erat kaitannya dengan timbulnya radang insterstitial yang banyak didominasi oleh reaksi hipersensitivitas tipe I dan IV. Pada konjungtiva akan dijumpai hiperemia dan vasodilatasi difus, yang dengan cepat akan diikuti dengan hiperplasi akibat proliferasi jaringan yang menghasilkan pembentukan jaringan ikat yang tidak terkendali. Kondisi ini akan diikuti oleh hyalinisasi dan menimbulkan deposit pada konjungtiva sehingga terbentuklah gambaran cobblestone. Jaringan ikat yang berlebihan ini akan memberikan warna putih susu kebiruan sehingga konjungtiva tampak buram dan tidak berkilau. Proliferasi yang spesifik pada konjungtiva tarsal pavement like granulations. Hipertrofi papil pada konjungtiva tarsal tidak jarang mengakibatkan ptosis mekanik dan dalam kasus yang berat akan disertai keratitis serta erosi epitel kornea4,5,6. Biasanya penyakit ini dapat sembuh dengan sendirinya ( self limiting disease), hal ini disebabkan oleh faktor-faktor : 1. Konjungtiva selalu dilapisi oleh tears film yang mengandung zat-zat anti mikrobial 2. Stroma konjungtiva pada lapisan adenoid mengandung banyak kelenjar limfoid 3. Epitel konjungtiva terus menerus diganti 4. Temperatur yang relatif rendah karena penguapan air mata, sehingga perkembangbiakan mikroorganisme terhambat 5. Penggelontoran mikroorganisme oleh aliran air mata 6. Mikroorganisme tertangkap oleh mukous konjungtiva hasil sekresi sel-sel goblet kemudian akan dibersihkan oleh aliran air mata.
2.2.5
Klasifikasi
Dikenal beberapa macam bentuk konjungtivitis alergi :
! Konjungtivitis “hay fever” (konjungtivitis simpleks) : Seasonal Allergic Conjunctivitis (SAC) dan Perennial Allergic Conjunctivitis (PAC)
! Keratokonjungtivitis vernal ! Keratokonjuntgivitis atopic ! Konjungtivitis flikten ! Giant Papillary Conjunctivitis ! Sindroma Steven Johnson (SSJ) Konjungtivitis Simpleks ( hay fever)
Perbedaan konjungtivitis alergi sesonal dan perennial adalah waktu timbulnya gejala. Gejala pada individu dengan konjungtivitis alergi seasonal timbul pada waktu tertentu seperti pada musim bunga di mana serbuk sari merupakan allergen utama. Pada musim panas, allergen yang dominan adalah rumput dan pada musim dingin tidak ada gejala karena menurunnya tranmisi allergen airborne. Sedangkan individu dengan konjungtivitis alergi perennial akan menunjukkan gejala sepanjang tahun. Alergen utama yang berperan adalah debu rumah, asap rokok, dan bulu hewan.3,5 Gambaran patologi pada konjungtivitis hay fever berupa: a.
respon
vascular
di
mana
terjadi
vasodilatasi
dan
meningkatnya
permeabilitas pembuluh darah yang menyebabkan terjadinya eksudasi. b.
respon seluler berupa infiltrasi konjungtiva dan eksudasi eosinofil, sel plasma dan mediator lain.
c.
respon konjungtiva berupa pembengkakan konjungtiva, diikuti dengan meningkatnya pembentukan jaringan ikat.
Tanda dan gejala Radang konjungtivitis non-spesifik ringan umumnya menyertai “hay fever” (rhinitis alergika). Biasanya ada riwayat alergi terhadap tepung sari, rumput, bulu hewan, dan lainnya. Pasien mengeluh gatal, kemerahan, berair mata, mata merah, dan sering mengatakan bahwa matanya seakan-akan “tenggelam dalam jaringan sekitarnya”. Terdapat injeksi ringan di konjungtiva palpebralis dan konjungtiva bulbaris, selama serangan akut sering ditemukan kemosis berat
(yang menjadi sebab kesan “tenggelam” tadi). Mungkin terdapat sedikit kotoran mata, khususnya setelah pasien mengucek matanya.
Gambar 4. Konjungtivitis Alergi •
Laboratorium Eosinofil sulit ditemukan pada kerokan konjungtiva.
Keratakonjungtivitis vernal
Keratokonjungtivitis vernal adalah inflamasi konjungtiva akibat reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang rekuren dan bilateral terutama pada musim panas. Mengenai pasien usia muda antara 3-25 tahun dan tidak ada perbedaan jenis kelamin peremupan dan laki-laki. Penyakit ini merupakan self limiting disease. Pada Keratokonjungtivitis vernal terjadi perubahan-perubahan akibat dari reaksi alergi. pada mata ditemukan papil besar dengan permukaan rata pada konjungtiva tarsal, dengan rasa gatal berat, sekret gelatin yang berisi eosinofil atau granula eosinofil, pada kornea terdapat keratitis , neovaskularisasi, dan tukak indolen. Pada tipe limbal terlihat benjolan didaerah limbus dengan bercak Horner Trantas yang berwarna keputihan yang terdapat didalam bejolan. Epitel konjungtiva mengalami hiperplasia dan membuat proyeksi ke dalam jaringan subepitel. Pada lapisan adenoid terdapat infiltrasi oleh eosinophil, sel plasma, limfosit dan histiosit. Juga ditemukan proliferasi lapisan fibrous yang kemudian terjadi perubahan hialin. Selain itu, terdapat juga proliferasi pembuluh darah konjungtiva, peningkatan permeabilitas dan vasodilatasi. Semua perubahan ini menyebabkan terbentuknya banyak papil pada konjungtiva tarsalis superior.
Tanda dan gejala Penderita konjungtivitis vernal sering menunjukkan gejala-gejala alergi terhadap tepung sari rumput-rumputan. Dua bentuk utama yang dapat berjalan bersama: 1. Bentuk palpebra, pada tipe palpebra terutama mengenai konjungtiva tarsal superior. Terdapat pertumbuhan papil yang besar (Coble stone) yang diliputi sekret mukoid. Konjungtiva tarsal inferior hiperemis, edema terdapat papil halus dengan kelainan kornea lebih berat dibandingkan dengan bentuk limbal. Secara klinis papil besar ini tampak sebagai tonjolan berbentuk poligonal dengan permukaan yang rata dan dengan kapiler ditengahnya.
Gambar 5. Cobble stones appearance pada keratokonjungtivitis vernal 2. Bentukk limbal, hipertrofi papil pada limbus superior yang dapat membentuk jaringan hiperplastik gelatin dengan Trantas dot yang merupakan degenerasi epitel kornea atau eosinofil di bagian epitel limbus kornea, terbentuknya pannus dengan sedikit eosinofil.
Gambar 6. Konjungtivitis vernal bentul limbal
Sensasi panas dan gatal pada mata terutama apabila pasien berada di daerah yang panas. Gejala lain termasuk fotofobia ringan, lakrimasi, sekret kental dapat ditarik seperti benang dan kelopak mata terasa berat. Laboratorium Pada eksudat konjungtiva yang dipulas dengan Giemsa terdapat banyak eosinofil dan granula eosinofilik bebas. Keratokonjungtivitis atopik
Keratokonjungtivitis atopik adalah inflamasi konjungtiva bilateral dan juga kelopak mata yang berhubungan erat dengan dermatitis atopi. Ditemukan pada usia dewasa 30-50 tahun diikuti dengan riwayat eczema dan pada pasien yang menderita asthma. Individu dengan keratokonjungtivitis atopik umumnya menunjukkan reaksi hipersensitivitas tipe 1, tetapi imunitas selluler yang rendah. Oleh karena itu, pasien keratokonjungtivitis atopik beresiko untuk mendapat keratitis herpes simplex dan kolonisasi oleh Staphylococcus Aureus.3,5 Tanda dan gejala Sensasi terbakar, bertahi mata, berlendir, merah, dan fotofobia. Pada pemeriksaan tepi palpebra eritemosa, dan konjungtiva tampak putih seperti susu. Terdapat papilla halus, namun papilla raksasa tidak berkembang seperti pada keratokonjungtivitis vernal, dan lebih sering terdapat di tarsus inferior. Berbeda dengan papilla raksasa pada keratokonjungtivitis vernal, yang terdapat di tarsus superior. Tanda-tanda kornea yang berat muncul pada perjalanan lanjut penyakit setelah eksaserbasi konjungtivitis terjadi berulangkali. Timbul keratitis perifer superficial yang diikuti dengan vaskularisasi. Pada kasus berat, seluruh kornea tampak kabur dan bervaskularisasi, dan ketajaman penglihatan menurun. Biasanya terdapat riwayat alergi (demam jerami, asma, atau eczema) pada pasien atau keluarganya. Kebanyakan pasien pernah menderita dermatitis atopi sejak bayi. Keratokonjungtivitis atopik berlangsung lama dan sering mengalami eksaserbasi dan remisi. Seperti keratokonjungtivitis vernal, penyakit ini cenderung kurang aktif bila pasien telah berusia 50 tahun. Laboratorium Kerokan konjungtiva menampakkan eosinofil, meski tidak sebanyak yang terlihat sebanyak pada keratokonjungtivitis vernal.
Konjungtivitis Flikten
Merupakan konjungtivitis nodular yang disebabkan alergi terhadap bakteri atau antigen tertentu. Konjungtivitis flikten disebabkan oleh karena alergi (hipersensitivitas tipe IV ) terhadap tuberkuloprotein, stafilokok, limfogranuloma venereal, leismaniasis, infeksi parasit, dan infeksi ditemat lain dalam tubuh. Kelainan ini lebih sering ditemukan pada anak-anak dilingkungan tempat tinggal yang padat, dan biasanya dengan gizi kurang atau sering mendapat radang saluran nafas. Secara histopatologik terlihat kumpulan sel leukosit neutrofil dikelilingi sel limfosit, makrofag, dan kadang-kadang sel datia berinti banyak. Flikten merupakan infiltrasi selular subepitel yang terutama terdiri atas sel monocular limfosit. Biasanya konjungtivitis flikten terlihat unilateral dan kadang-kadang mengenai kedua mata, pada konjungtiva terlihat sebagai bintik putih yang dikelilingi daerah hiperemis.3,4 Pada pasien terlihat akan terlihat kumpulan pembuluh darah yang mengelilingi suatu tonjolan bulat dengan warna kuning kelabu seperti suatu mikroabses yang biasanya terletak didekat limbus dan menjalar ke rah sentral atau kornea dan lebih dari satu. Gejala konjungtivitis flikten adalah mata berair, iritasi dengan rasa sakit, fotofobia dapat ringan hingga berat. Bila kornea ikut terkena selain rasa sakit , pasien juga akan mengeluh silau disertai blefarospasme.4
Gambar 7. Konjungtivitis Flikten
Konjungtivitis Giant Papillarry
Konjungtivitis Giant Papillarry adalah yang diperantarai reaksi imun yang mengenai konjungtiva tarsalis superior. Penyebabnya masih belum diketahui secara
pasti dan diperkirakan kombinasi reaksi hipersensitivitas tipe 1 dan IV yang mendasari patofisiolginya. Antigen yang terdapat pada konjungtiva seperti lensa kontak dan benang operasi akan menstimulasi timbulnya reaksi imun pada individu yang mempunyai faktor predisposisi. Iritasi mekanis yang terus-menerus terhadap konjungtiva tarsalis superior juga menjadi salah satu faktor terjadinya konjungtivitis Giant Papillarry. Dari anamnesa didapatkan riwayat pemakaian lensa kontak terutama jika memakainya melewati waktunya. Juga ditemukan keluhan berupa mata gatal dan berair. Pada pemeriksaan fisik ditemukan hipertrofi papil. Pada awal penyakit, papilnya kecil (sekitar 0,3 mm diameter). Bila iritasi terus berlangsung, papil kecil akan menjadi besar ( giant) yaitu sekitar 1 mm diameter. Ptosis mungkin akan terjadi akibat irritative spasm dan kelemahan jaringan sekunder terhadap peradangan kronis.
Gambar 8. konjungtivitis giant papillary
Steven-Johnson Syndrome
Sindroma Stevens-Johnson merupakan suatu sindroma (kumpulan gejala) yang mengenai kulit,selaput lendir di orificium dan mata dengan keadaan umum yang 3
bervariasi dari ringan sampai berat. Penyakit ini bersifat akut dan pada bentuk yang berat dapat menyebabkan kenmatian, Oleh karena itu penyakit ini merupakan salah satu kegawat daruratan penyakit kulit. Sindrom ini dianggap sebagai jenis dari 4,5
Eritema Multiforme.
Penyakit ini melibatkan reaksi hipersensitivitas tipe IV ( tipe lambat) akibat obat-obatan seperti antibiotika ( sulfonamide dan trimetroprim), analgetic, cocaine , anticonvulsant dan allopurinol. Dan adanya infeksi micoorganisme Mycoplasma
pneumonia dan HSV yang memicu terajadinya reaksi hipersensitivitas tipe IV (tipe lambat). Tanda dan gejala pada penyakit ini adalah diawali dengan gejala flu selama 14 hari sebelum tampak lesi mucocutaneus, tanda akut adanya pengerasan pada kelopak, adanya conjungtivitis papil, hiperemis berat, perdarahan, keratopaty (adanya kerusakan atau erosi pada epitel kornea). Tanda kronis adanya keratinisasi dari conjungtiva dan lipatan kelopak, perlengketan anatara konjungtiva bulbi dan tarsal (symblepharon). Adanya komplikasi pada kelopak mata berupa sikatrik entropion, ektropion, trichiasis, mata kering karna fibrosis dari kelenjar lakrimalis dan metaplasia conjungtiva dan kehilangan sel goblet. 4,5
Gambar 9. konjungtivitis pada Steven-jhonson syndrom
2.2.6
Pemeriksaan dan Diagnosis
Diperlukan riwayat alergi baik pada pasien maupun keluarga pasien serta observasi pada gejala klinis untuk menegakkan diagnosis konjungtivitis alergi. Gejala yang paling penting untuk mendiagnosis penyakit ini adalah rasa gatal pada mata, 3
yang mungkin saja disertai mata berair, kemerahan dan fotofobia . Pemeriksaan mata awal termasuk pengukuran ketajaman visus, pemeriksaan eksternal dan slit-lamp biomikroskopi. Pemeriksaan eksternal harus mencakup elemen berikut ini:5 o
Limfadenopati regional, terutama sekali preaurikuler
o
Kulit: tanda-tanda rosacea, eksema, seborrhea
o
Kelainan kelopak mata dan adneksa: pembengkakan, perubahan warna, malposisi, kelemahan, ulserasi, nodul, ekimosis, keganasan
o
Konjungtiva: bentuk injeksi, perdarahan subkonjungtiva, kemosis, perubahan sikatrikal, simblepharon, massa, sekret
Slit-lamp biomikroskopi harus mencakup pemeriksaan yang hati-hati terhadap: 5 o
Margo palpebra: inflamasi, ulserasi, sekret, nodul atau vesikel, nodul atau vesikel, sisa kulit berwarna darah, keratinisasi
o
Bulu mata: kerontokan bulu mata, kerak kulit, ketombe, telur kutu dan kutu
o
Punctum lacrimal dan canaliculi: penonjolan, sekret
o
Konjungtiva tarsal dan forniks
o
Adanya papila, folikel dan ukurannya
o
%)
Perubahan sikatrikal, termasuk penonjolan ke dalam dan simblepharon
')
Membran dan psudomembran
=)
Ulserasi
/)
Perdarahan
>)
Benda asing
?)
Massa
3)
Kelemahan palpebra
Konjungtiva bulbar/limbus: folikel, edema, nodul, kemosis, kelemahan, papila, ulserasi, luka, flikten, perdarahan, benda asing, keratinisasi
o
Kornea
%)
Defek epitelial
')
Keratopati punctata dan keratitis dendritik
=)
Filamen
/)
Ulserasi
>)
Infiltrasi, termasuk infiltrat subepitelial dan flikten
?)
Vaskularisasi
3)
Keratik presipitat
o
Bilik mata depan: rekasi inflamasi, sinekia, defek transiluminasi
o
Corak pewarnaan: konjungtiva dan kornea
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan sel eosinofil, sel plasma, limfosit, dan basofil yang meningkat. Dapat juga dilakukan pemeriksaan tes alergi untuk mengetahui penyebab dari alerginya itu sendiri.
Gambar 10. Alur diagnostik Konjungtivitis alergi
2.2.7
Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari konjungtivitis alergi adalah konjungtivitis virus dan bakteri. Cara membedakannya yaitu dari gejala masing-masing. Pada konjungtivits virus terdapat gejala berupa : demam, dengan sengkret yang hampir sama dengan alergi, air mata mengucur banyak, gatal yang minimal, biasanya menyerang traktus respiratory. Pada pewarnaan usapan banyak ditemukan monosit dan limposit. Sedangkan pada konjungtivitis bakteri terdapat gejala seperti: sekretnya purulen, air mata sedang, gatalnya sedikit, tidak terdapat sakit tenggorokan (tidak menyerang traktus respiratory), pewarnaan usapan didapatkan bakteri PMN.
Tabel 1. Diagnosis banding konjungtivitis Alergi
Gatal Mata merah Hemoragi Sekret Kemosis Lakrimasi Folikel Papil Pseudomembra n Pembesaran kelenjar limfe Panus Bersamaan dengan keratitis Demam Sitologi
Konjungtiviti s Virus + + Serous mucous ± ++ + ±
Konjungtiviti s Bakteri ++ + Purulen, kuning, krusta ++ + + ±
Konjungtiviti s Alergi ++ + Viscus
Konjungtiviti s Toksik + -
++ + + + -
± ± ± -
++
+
-
-
±
±
-
± ±
± Granulosit
±
Eosinofil
Limposit, monosit
Sel epitel, granulosit
2.2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan konjungtivitis alergi berdasarkan indentifikasi dari antigen spesifik dan eliminasi patogen spesifik, dalam praktek nya, dan penggunaan obat yang menurunkan atau memediasi respon imun. Penggunaan terapi pendukung, termasuk kompres dingin dapat meredakan gejala. Penyakit ini dapat diterapi dengan tetesan vasokonstriktor-antihistamin topikal dan kompres dingin untuk mengatasi gatal-gatal dan steroid topikal jangka pendek untuk meredakan gejala lainnya (contohnya: 8,9
edema, dilatasi kapiler, dan proliferasi fibroblast).
Umumnya kebanyakan konjungtivitis alergi awalnya diperlakukan seperti ringan sampai ada kegagalan terapi dan menyebabkan kenaikan menjadi tingkat sedang. Penyakit ringan sampai sedang biasanya mempunyai konjungtiva yang bengkak dengan reaksi konjungtiva papiler yang ringan dengan sedikit sekret mukoid. Kasus yang lebih berat mempunyai giant papila pada konjungtiva palpebranya, folikel 3,5
limbal, dan perisai (steril) ulkus kornea.
a. Alergi ringan Konjungtivitis alergi ringan identik dengan rasa gatal, berair, mata merah yang timbul musiman dan berespon terhadap tindakan suportif, termasuk air mata artifisial dan kompres dingin. Air mata artifisial membantu melarutkan beragam 3,5
alergen dan mediator peradangan yang mungkin ada pada permukaan okuler . b. Alergi sedang Konjungtivitis alergi sedang identik dengan rasa gatal, berair dan mata merah yang timbul musiman dan berespon terhadap antihistamin topikal dan/atau mast cell stabilizer. Penggunaan antihistamin oral jangka pendek mungkin juga dibutuhkan. Mast cell stabilizer mencegah degranulasi sel mast; contoh yang paling sering dipakai termasuk sodium kromolin dan Iodoxamide. Antihistamin topikal mempunyai masa kerja cepat yang meredakan rasa gatal dan kemerahan dan mempunyai sedikit efek samping; tersedia dalam bentuk kombinasi dengan mast cell stabilizer. Antihistamin oral, yang mempunyai masa kerja lebih lama, dapat digunakan bersama, atau lebih baik dari, antihistamin topikal. Vasokonstriktor tersedia dalam kombinasi dengan topikal antihistamin, yang menyediakan tambahan pelega jangka pendek terhadap injeksi pembuluh darah, tapi dapat menyebabkan rebound injeksi dan inflamasi konjungtiva. Topikal NSAID juga digunakan pada konjungtivitis sedang-berat jika diperlukan tambahan efek anti peradangan3,5. c. Alergi berat Penyakit alergi berat berkenaan dengan kemunculan gejala menahun dan dihubungkan dengan peradangan yang lebih hebat dari penyakit sedang. Konjungtivitis vernal adalah bentuk konjungtivitis alergi yang agresif yang tampak sebagai shield coneal ulcer. Rujukan spesialis harus dipertimbangkan pada kasus berat atau penyakit alergi yang resisten, dimana memerlukan tambahan terapi dengan kortikosteroid topikal, yang dapat digunakan bersama dengan antihistamin topikal atau oral dan mast cell stabilizer. Topikal NSAID dapat ditambahkan jika memerlukan efek anti-inflamasi yang lebih lanjut. Kortikosteroid punya beberapa resiko jangka panjang terhadap mata termasuk penyembuhan luka yang terlambat, infeksi sekunder, peningkatan tekanan intraokuler, dan pembentukan katarak. Kortikosteroid yang lebih baru seperti
loteprednol mempunyai efek samping lebih sedikit dari prednisolon. Siklosporin topikal
dapat
melegakan
dengan
efek
tambahan
steroid
dan
dapat
dipertimbangkan sebagai lini kedua dari kortikosteroid. Dapat terutama sekali berguna sebagai terapi lini kedua pada kasus atopi berat atau konjungtivitis 3,5
vernal . Untuk penatalaksanaan konjungtivitis alergi ringan ,sedang dan berat dapat diberikan obat-obat seperti kortikosteroid, antiinflamasi non-steroid (AINS), vasokonstriktor, antihistamin, dan stabilisator sel mast. 1. Golongan antihistamin Menurut sidarta (2010), golongan antihistamin serta penghambat sel mast merupakan pilihan untuk terapi konjungtivitis alergi. Antihistamin generasi lama selalu menimbulkan efek samping sedasi/mengantuk, seperti: klorfeniramin maleat (CTM), dimenhidrinat, triprolidin, dan prometasin. Antihistamin generasi baru sebagian besar tidak menimbulkan rasa ngantuk, seperti: astemisol, loratadin, terfenadin, dan cetrisin. Antihistamin biasanya diberi per oral namun juga bisa diberikan dalam bentuk tetes mata, yang biasanya
dikombinasikan
kemerahan.
Tetapi
dengan
menurut
vasokonstriktor
Vaughan
untuk
Antihistamin
mengurangi
per-oral
sedikit
manfaatnya. 2. Golongan penghambat sel mast Sedangkan penghambat sel mast yang biasanya diberikan adalah Sodium kromolin 4% dengan dosis 1 tetes 4-6 kali sehari terbukti bermanfaat memiliki efek profilaktis pada konjungtivitis alergika. Sodium kromolin ini juga bermanfaat karena kemampuannya sebaga pengganti steroid bila pasien sudah dapat dikontrol. Ini juga berarti dapat membantu mengurangi kebutuhan akan pemakaian steroid. Sodium kromolin berperan sebagai stabilisator sel mast, mencegah terlepasnya beberapa mediator yang dihasilkan pada reaksi alergi tipe I, namun tidak mampu menghambat pengikatan IgE terhadap sel maupun interaksi sel IgE dengan antigen spesifik. Titik tangkapnya, diduga sodium kromolin memblok kanal kalsium pada membrane sel serta menghambat pelepasan histamine dari sel mast dengan cara mengatur fosforilasi. Biasanya digunakan sebagai pencegahan
jika penderita akan mengadakan kontak dengan suatu al ergen. Umumnya 1-2 minggu penyakitnya membaik secara simtomatis. 3. Non-steroid anti-inflamasi nonsteroid (OAINS) topikal. Obat ini menghambat aktivitas siklooksigenase, salah satu yang bertanggung jawab untuk konversi asam arakidonat ke enzim prostaglandins. Ketorolac trometamin 0,5% dan diklofenak natrium 0,1% efektif dalam mengurangi tanda-tanda dan gejala berhubungan dengan konjungtivitis alergi, meskipun Makanan dan Drug Administration (FDA) telah menyetujui hanya ketorolac untuk pengobatan konjungtivitis alergi. 4. Golongan Kortikosteroid topical Menurut departemen kesehatan republik indonesia derektorat jendral pengawasan obat dan makanan. a. Indikasi Indikasi pemberian kortikosteroid topical adalah penyakit radang segmen
depan
bola
mata.
Beberapa
antara
lainnya
adalah
konjungtivitis alergika, uveitis, episkleritis, skleritis , fliktenulosis, keratitis pungtata superfisial, konjungtivitis vernal. b. Penggunaan dosis Pemberian kortikosteroid ini perlu diperhatikan karena dapat meningkatkan aktivitas virus herpes simpleks yang menyebabkan ulkus dendritik, pada keratitis herpes simpleks dapat menyebabkan perforasi kornea. Efek samping lainnya adalah tumbuhnya jamur secara berlebihan. Kortikosteroid ini juga memperburuk kondisi yang dapat berakhir hilangnya penglihatan. Penggunaan jangka lama dapat menyebabkan glaukoma steroid sehingga pemberian kortikosteroid ini harus dibawah pengawasan dokter. Sebagian daftar kortikosteroid topikal untuk penggunaan oftamlologis adalah : •
Hidrokortison asetat, larutan 2,5 %.
•
Prednisolon asetat larutan 0,125% dan 1 %.
•
Prednisolon sodium fosfat, larutan 0,125 % dan 1 %.
•
Deksametason sodium fosfat, larutan 0,1 %.
•
Medrison larutan 1%.
•
Fluorometolon larutan 1%.
5. Vasokonstriktor topikal Agen ini menyebabkan penyempitan pembuluh darah, menurunkan permeabilitas pembuluh darah, dan mengurangi mata gatal-gatal dengan memblokir histamin H1 receptors.
!
adrenalin
!
efedrin
!
nafazoline
Penanganan khusus untuk konjungtivitis vernal berupa : a. Terapi lokalis
! Steroid topical – penggunaannya efektif pada keratokonjungtivitis vernal, tetapi harus hati-hati kerana dapat menyebabkan glaucoma. Pemberian steroid dimulai dengan pemakaian sering (setiap 4 jam) selama 2 hari dan dilanjutkan dengan terapi maintainance 3-4 kali sehari selama 2 minggu. Steroid yang sering dipakai adalah fluorometholon, medrysone, betamethasone, dan dexamethasone. Fluorometholon dan medrysone adalah paling aman antara semua steroid tersebut.
! Mast cell stabilizer seperti sodium cromoglycate 2% ! Antihistamin topical ! Acetyl cysteine 0,5% ! Siklosporin topical 1% b. Terapi sistemik;
! Anti histamine oral untuk mengurangi gatal ! Steroid oral untuk kasus berat dan non responsive c. Terapi lain dan pencegahan
! Apabila terdapat papil yang besar, dapat diberikan injeksi steroid supratarsal atau dieksisi. Eksisi sering dianjurkan untuk papil yang sangat besar.
! Menghindari tindakan menggosok-gosok mata dengan tangan atau jari tangan, karena telah terbukti dapat merangsang pembebasan mekanis dari
mediator-mediator
Di samping itu, juga untuk mencegah
sel super
mast.
infeksi
yang
pada
akhirnya berpotensi ikut menunjang terjadinya glaukoma sekunder dan katarak.
! Menghindari daerah berangin kencang yang biasanya juga
membawa
serbuk sari dan hindari penyebab dari alergi itu sendiri.
! Kaca mata gelap untuk fotofobia dan untuk mengurangi kontak dengan alergen di udara
terbuka.
Pemakaian lensa
kontak
justru
harus dihindari karena lensa kontak akan membantu retensi allergen.
! Kompres dingin dapat meringankan gejala. ! Pengganti air mata (artifisial). Selain bermanfaat untuk cuci mata juga berfungsi protektif karena membantu menghalau allergen.
! Pasien dianjurkan pindah ke daerah yang lebih dingin yang sering juga disebut sebagai climato-therapy. Efek samping obat pada mata dan sistemik Menurut vaughan (2010), Obat-obat yang digunakan baik sistemik maupun topikal memberikan efek di mata yang merugikan dan kadangkadang preparat mata topikal menyebabkan efek sistemik jika bahan-bahan kandungannya yang aktif terlalu banyak terserap. Efek samping pengawetnya juga diperhitungkan. Cara untuk mengurangi efek samping sistemik yaitu prinsipnya yaitu mencegah agar jangan sampai dosisnya berlebihan. Yang biasa diresepkan oleh dokter adalah kadar terendah yang masih memberikan efek terapuetik yang baik. Hanya diperlukan pengobatan dengan 1 tetes volume setiap kali karena mata dapat menahan kurang dari 1 tetes. NON – FARMAKOLOGI Satu-satunya terapi tanpa obat untuk alergi adalah menghindari pencetus alergi. Penderita dan keluarganya diberikan pendidikan untuk mampu mengenali pemicu alergi karena sifatnya sangat individual dan alergi sangat sulit disembuhkan, hanya mampu dijaga agar tidak muncul. Pengenalan pemicu ini sangat penting dalam penanganan reaksi anafilaksis khususnya karena dengan menghindari pemicu, kematian dapat terhindarkan.
Edukasi : 1. Obat tetes mata dalam wadah pakai ulang untuk penggunaan dirumah tidak boleh digunakan lebih lama dari 4 minggu setelah dibuka. Cara pemakaian tetes mata yang benar menurut pedoman penulisan resep WHO yaitu ; !
Cuci tangan.
!
Jangan menyentuh lubang penetes.
!
Tengadahkan kepala, tarik kelopak mata ke bawah agar terbentuk cekungan.
!
Dekatkan alat penetes sedekat mungkin kecekungan mata tanpa menyentuh mata dan menyentuh tutupnya.
!
Teteskan obat sebanyak yang dianjurkan dalam cekungan.
!
Pejamkan kira-kira 2 menit.
!
Bersihkan cairan yang kelebihan dengan tissue.
!
Jika menggunakan lebih dari 1 obat tetes mata tunggu sedikitnya 5 menit sebelum meneteskan obat mata selanjutnya.
!
Obat tetes mata mungkin menimbulkan rasa terbakar, tetapi hal ini hanya akan berlangsung beberapa menit, jika terasa lebih lama kunjungi dokter atau apoteker.
2. Menghindarkan penyebab pencetus penyakit. 3. Kompes dingin untuk menghilangkan edemnya.
2.2.9
Komplikasi
Komplikasi pada konjungtivitis alergi sangat jarang terjadi. Namun penyakit radang mata yang tidak segera ditangani/diobati bisa menyebabkan kerusakan pada mata/gangguan pada mata dan menimbulkan komplikasi berupa ulkus kornea atau keratoconus. Komplikasi konjungtivitis vernal adalah pembentukan jaringan sikratik yang dapat mengganggu penglihatan. Pada konjungtivitis giant papillary, iritasi kronis akan menyebabkan keratitis yaitu inflamasi pada kornea dan dapat menyebabkan kebutaan permanen karena terjadi ulserasi pada permukaan kornea. Pada keratokonjungtivitis vernal juga 3,4
dapat menyebabkan keratitis jika tidak ditatalaksana.
2.2.10 Prognosis
Mata dapat terkena berbagai kondisi. beberapa diantaranya bersifat primer sedang yang lain bersifat sekunder akibat kelainan pada sistem organ tubuh lain, kebanyakan kondisi tersebut dapat dicegah bila terdeteksi awal dan dapat dikontrol sehingga penglihatan dapat dipertahankan 3,7. Bila segera diatasi, konjungtivitis ini tidak akan membahayakan. Namun jika bila penyakit radang mata tidak segera ditangani/diobati bisa menyebabkan kerusakan pada mata/gangguan dan menimbulkan komplikasi seperti Glaukoma, katarak maupun ablasi retina3.
BAB 3 KESIMPULAN
Konjungtiva merupakan bagian mata yang menutupi sklera dan kelopak mata bagian belakang. Konjungtiva terdiri atas tiga bagian yaitu konjungtiva tarsal, konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva, konjungtiva bulbi. Bermacam-macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva. Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel goblet. Musin bersifat membasahi bola mata, terutama kornea1 Konjungtivitis Alergika adalah suatu peradangan pada konjungtiva akibat reaksi Hipersensitivitas tipe 1 yang diperantarai IgE terhadap alergen. Pada sebagian besar penderita, konjungtivitis alergika merupakan bagian dari sindroma alergi yang lebih luas, misalnya rinitis alergika musiman. Tetapi konjungtivitis alergika bisa terjadi pada seseorang yang mengalami kontak langsung dengan zat-zat di dalam udara, seperti serbuk sari, spora jamur, debu dan bulu binatang. Dikenal beberapa macam bentuk konjungtivitis alergi yaitu Konjungtivitis “hay fever” (konjungtivitis simpleks) : Seasonal Allergic Conjunctivitis (SAC) dan Perennial
Allergic
Conjunctivitis
(PAC),
Keratokonjungtivitis
vernal,
Keratokonjuntgivitis atopic, Konjungtivitis flikten, Giant Papillary Conjunctivitis, Sindroma Steven Johnson (SSJ). Untuk mendiagnosis penyakit ini diperlukan riwayat alergi baik pada pasien maupun keluarga pasien serta observasi pada gejala klinis. Gejala yang paling penting untuk mendiagnosis penyakit ini adalah rasa gatal pada mata, yang mungkin saja disertai mata berair, kemerahan dan fotofobia3. Pemeriksaan mata awal termasuk pengukuran ketajaman visus, pemeriksaan eksternal dan slit-lamp biomikroskopi. Diagnosis banding dari konjungtivitis alergi adalah konjungtivitis virus, bakteri. Dan konjungtivitis toksik. Cara membedakannya yaitu dari gejala masing-masing. Untuk penatalaksanaan konjungtivitis alergi ringan ,sedang dan berat dapat diberikan obat-obat seperti kortikosteroid, antiinflamasi non-steroid (AINS), vasokonstriktor, antihistamin, dan stabilisator sel mast.
@-&AB.0%C. A%/% A>+D%0., .+. D%+3 A%B.+3 C>(.+3 %/%B%E 2B02C A%/% 0-(+>% /%+ .+?>0C. C>02+/>(9) F&2&+D% A(-3+-C.C A%/% 0-+12+3,.4.,.C %B>(3. %/%B%E '%.0 '.B% C>3>(% /.%,%C.G 0-+12+3,.4.,.C .+. ,./%0 %0%+ &>&'%E%D%0%+)
DAFTAR PUSTAKA
1.
Garcia-Ferrer FJ, Schwab IR, Shetlar DJ. 2007. Konjungtiva. Dalam: Whitcher JP, Riordan-Eva P, editors. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta: EGC; h 97-124.
2.
Greg M., Peter M. 2011. Classifying and Managing Allergic Conjunctivitis. Medicine Today. Volume 8, Number 11.
3.
Schwab IR, Dawson CR. 2000. Konjungtiva dalam: Oft almologi Umum. Edisi 14. Jakarta: Widya Medika.
4.
Ilyas S. Mata merah dengan penglihatan normal. Ilyas S, editor. Dalam: Ilmu Penyakit Mata Edisi ke-4. Jakarta: FKUI; 2009. h134-7.
5.
Kanski JJ, Bowling B. Allergic conjungtivitis. In : Lowson K, Garraway P, editors. Clinical Opthalmology. 7th ed. Elsevier.p.144-58
6.
Khurana AK. 2010. Diseases of the conjunctiva. Dalam : Khurana AK, editor. Comprehensive Ophtalmology Fourth Edition. New Delhi: New Age; h5188.
7.
Riordan-Eva P. 2007. Anatomi dan embriologi mata. Dalam: Whitcher JP, Riordan-Eva P, editors. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta: EGC; h 1-27.
8.
Vaughan, Daniel G., Asbury Taylor, Riordan Eva-Paul. Ofthalmologi Umum. Edisi 14. Jakarta: Widya Medika ; 2000. h. 5-6, 115
9.
Ventocillia
M,
Roy
H.
2012.
Allergic
Conjunctivitis.
http://emedicine.medscape.com/article/1191467-overview#a0104. pada tanggal 20 Agustus 2015.
Diunduh