21
REFERAT
HEMOPTISIS MASIF
(R04.2)
Disusun Oleh:
Kunayah I40611620
Albert Tito I4061162044
Riska Nazaria I4061162045
Lisa Florencia I4061162046
Pembimbing:
dr. HANDRIYANI, Sp. P
SMF ILMU PULMONOLOGI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
RSUD ADE MUHAMMAD DJOEN
SINTANG
PERIODE 20 NOVEMBER- 16 DESEMBER
2017
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Batuk darah dapat merupakan tanda atau gejala yang muncul pada beberapa penyakit serius, walaupun jumlahnya sedikit. Hemoptisis merupakan situasi emergensi dan sering kali merupakan reflex seriusnya penyakit yang mendasari. Pada banyak keadaan batuk darah harus dirawat terutama untuk usaha mendapatkan diagnosis pasti. Pada sebagian besar penderita, darah berasal dari saluran bronkoplmoner, tetapi darah dapat pula berasal dari saluran napas atas atau saluran cerna. Batuk darah atau hemoptisis harus dibedakan dengan epistaksis atau hematemesis, baik secara anamnesis, pemeriksaan fisik atau pemeriksaan laboratorium. TB paru, bronkiektasis, bronchitis yang berat dan karsinoma bronkus merupakan sebab tersering dari batuk darah. Penyakit paru kronik, karsinoma ekstrapulmoner (esophagus) atau kalsifikasi kelenjar getah bening dapat menyebabkan erosi pada paru atau arteri bronkial yang mengakibatkan perdarahan massif. Penyebab paling sering batuk darah adalah TB paru, bronkiektasis, bekas TB dan karsinoma bronkus.1
Kejadian klinis batuk darah tak dapat diprediksi, dan sejumlah kecil darah yang dibatukkan dapat diikuti oleh massif dan potensial fatal eksanguinasi disebabkan oleh (eksangunisasi) atau lebih sering lagi asfiksia dari dibanjirinya alveoli oleh darah dan hipoksemia yang refrakter. Dalam kebanyakan kasus hemoptisis bersifat self limiting, akan tetapi 5% bersifat masif, yang merupakan kondisi mengancam jiwa. Keadaan asfiksia sebanyak 50% tingkat kematian karena hemoptisis.2
Dalam tulisan ini akan dijelaskan hemoptisis masif, karena hemoptisis masif merupakan keadaan gawat dalam bidang medis dan perlu segera ditanggulangi. Komplikasi yang sering terjadi adalah asfiksia, kehilangan darah yang banyak dalam waktu singkat, serta penyebaran penyakit ke bagian paru yang sehat. Asfiksia merupakan penyebab kematian terbanyak dari hemoptisis masif. Dalam tulisan ini akan dibahas batasan, etiologi, kekerapan, patofisiologi dan diagnosis serta penanggulangan hemoptisis masif.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Hemoptisis
Hemoptisis berasal dari bahasa Yunani yaitu "heima" yang berarti darah dan "ptysis" yaitu perludahan. Batuk darah atau hemoptisis didefinisikan sebagai ekspektorasi darah atau dahak berdarah berasal dari saluran napas bawah pita suara apa bila berasal dari perdarahan dari napas saluran atas tidak termasuk dalam definisi hemoptisis.3
Hemoptisis massif sendiri merupakan merujuk pada batuk dengan disertai perdarahan yang jumlahnya banyak atau perdarahan yang cepat. Volume batuk darah dalam 24 jam itu dapat membedakan antara batuk darah masif dan non masif. Meskipun batasan untuk hemoptisis masif dan non masif masih kontraversi yang mana volume 100-1000 ml merupakan sudah diindikasikan sebagai hemoptisis masif. Batuk darah sendiri merupakan suatu bentuk gejala yang bisa timbul akibat sejumlah kondisi. Jika batuk darah dialami oleh kalangan usia muda yang memiliki riwayat kesehatan baik, biasanya itu bukan merupakan pertanda dari suatu penyakit serius. Akan tetapi, jika yang mengalaminya adalah orang-orang berusia lanjut atau diketahui memiliki kebiasaan merokok, maka ada kemungkinan bahwa batuk darah merupakan gejala dari suatu penyakit serius. Ciri-ciri darah dalam kasus batuk darah bisa bermacam-macam, ada yang berwarna merah muda atau merah terang, dan ada juga yang memiliki tekstur berbusa atau bahkan bercampur dengan lendir.1
Kriteria
Sedangkan batuk darah massif dapat ditentukan berdasarkan laju perdarahan (dalam ml) atau beratnya klinik yang terjadi akibat ekspektorasi darah. Berikut adalah kriteria hemoptisis massif dari berbagai literature bervariasi dari 100 ml dalam 24 jam sampai 1000 ml selama beberapa hari.1
Pada Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI/ RS Persahabatan digunakan kriteria batuk darah massif sebagai berikut:1
Batuk darah > 600 ml per 24 jam dan dalam pengamatan batuk darah tidak berhenti
Batuk darah > 250 ml tapi kurang dari 600 ml per 24 jam dan pada pemeriksaan labolatorium menunjukkan Hb ,10 g%, sedang batuk darah masih berlangsung
Batuk darah > 250 ml tetapi kurang dari 600 ml per 24 jam, kadar Hb >10 g% dan pada pengamatan selama 48 jam dengan pengobatan konservstif proses ini belum berhenti
Kriteria hemoptisis mengancam jiwa menurut W.H. Ibrahim didefinisikan: 4
Batuk darah > 100 ml dalam 24 jam.
Batuk darah menyebabkan abnormalitas pertukaran gas dan/atau terjadi obstruksi saluran
napas.
Batuk darah menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik.
Berdasarkan tingkat keparahan / kuantitas darah dari beberapa penelitian juga memberikan beberapa kriteria hemoptisis masif, menurut Baptiste (2005) mengatakan hemoptisis masif adalah volume darah 100 ml-1000 ml dalam 24 jam5, sedangkan menurut Earwood (2015) yaitu sekurang-kurangnya 200 ml dalam 24 jam atau sebanyak 50 ml/ episode batuk,6 dan menurut Ong dkk (2016) yang dikatakan hemoptisis masif adalah 200 ml-1000 ml dalam 24 jam.7
Perbedaan Hemoptisis dan Pseudohemoptisis
Jika seorang dokter berhadapan dengan pasien dengan keluhan batuk darah, maka langkah pertama memastikan apakah perdarahan berat dari sistem pernapasan. Tidak jarang pasien rancu mengeluhkan /membedakan hemoptysis dengan pseudhemoptisis. Pseudohemoptisis merupakan ekspektorasi darah yang teraspirasi dalam saluran napas dari daerah supraepiglotis atau saluran cerna. Perbedaan antara hemoptisi dan pseudohemoptisis dapat dilihat pada tabel 1.1
Tabel 2.1. Perbedaan antara hemoptysis dengan pseudohemoptisis1
Tampilan Klinis
Hemoptisis
Pseudohemoptisis
Asal darah
Saluran napas
Rongga mulut, esophagus dan lambung
Batuk
Ada
Tidak ada
Gejala respirasi
Ada
Tidak ada
Gejala esofagogaster
Tidak ada
Ada
Penggunaan alcohol
Tidak ada
Ada
Penyakit hepar
Tidak ada
Ada
Muntah, mual
Tidak ada
Ada
Hematemesisi dan melena
Tidak ada
Ada
Warna darah
Merah terang
Cokelat/hitam
Konsistensi lender
Bekuan/ encer
Coffee ground appearance
Gelembung udara
Ada
Jarang/ tidak ada
PH
Alakalis
Asam
Makrofag
Ada
Tidak ada
Partikel makanan
Tidak ada
Ada
Etiologi
Banyak etiologi yang dapat menyebabkan hemoptisis, termasuk beberapa penyakit sistemik. Lebih dari 90% hemoptisis masif disebabkan oleh bronkiektasis, tuberkulosis paru (TB Paru), abses paru (necrotizing pneumonia) dan karsinoma bronkus.1 Maria CW8 di Rumah Sakit persahabatan melalui penelitian retrospektif pada 112 pasien batuk darah menemukan penyebab tersering hemoptisis adalah TB Paru, diikuti oleh bekas TB (dengan bronkitis, bronkiektasis, infeksi jamur) dan bronkiektasis terinfeksi. Di Rumah Sakit Persahabatan, Hadiarto9 melakukan pemeriksaan terhadap 53 penderita hemoptisis menggunakan bronkoskop serat optik lentur, mendapati penyebab tersering adalah TB Paru (50%), karsinoma bronkus (32%), bronkitis (8%) dan bronkiektasis (5%). Retno dkk10 melalui penelitian terhadap 323 penderita batuk darah yang berobat di instalasi gawat darurat Rumah Sakit Persahabatan mendapati diagnosis tersering adalah TB Paru (64,43%), bronkiektasis (16,71%), kanker paru (3,4%).
Pada orang dewasa, 70%-90% kasus disebabkan oleh bronkitis, bronkiektasis, necrotizing pneumonia dan TB. Kanker paru primer merupakan salah satu penyebab, terutama pada perokok 40 tahun, namun kanker metastatik lebih jarang menyebabkan hemoptisis. Infeksi Aspergillus merupakan salah satu penyebab hemoptisis namun tidak lebih banyak daripada kanker. Pada anak-anak, penyebab yang umum ditemukan pada penderita hemoptisis adalah karena infeksi saluran napas bagian bawah dan aspirasi benda asing. Beberapa penyakit seperti bronkogenik karsinoma, bronkiektasis, tuberkulosis dan pneumonia merupakan penyebab umum terjadinya hemoptisis masif. Beberapa penyebab tersebut terdapat pada tabel 1.11
Tabel 2.2 Etiologi Hemoptisis11
Penyebab
Temuan klinis
Pemeriksaan diagnostic
Sumber trakeobronkial
Tumor (bronkogenik, metastatik bronkial, sarkoma kaposi)
Keringat malam
Penurunan berat badan
Riwayat perokok berat
Faktor resiko sarkoma kaposi (misalnya infeksi HIV)
Rontgen dada
CT-scan
Bronkoskopi
Bronkitis (akut atau kronik)
Akut: Batuk produktif atau non-produktif
Kronik: Batuk hampir setiap hari selama 3 bulan dalam 2 tahun terakhir pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis atau riwayat merokok.
Akut: Evaluasi klinis
Kronik: Rontgen dada
Bronkiektasis
Batuk kronis dan produksi mukus pada pasien dengan riwayat infeksi berulang.
CT-scan
Bronkoskopi
Bronkolitiasis
Kalsifikasi limfonodi pada pasien dengan riwayat penyakit granulomatosus.
CT-scan
Bronkoskopi
Benda asing
Batuk kronis (terutama pada bayi atau anak-anak) tanpa gejala infeksi saluran napas atas
Kadang-kadang demam
Rontgen dada
Kadang-kadang bronkoskopi
Sumber Parenkim Paru
Abses paru
Demam subakut
Batuk
Keringat malam
Anorexia
Penurunan berat badan
Rontgen dada atau CT-scan menunjukan gambaran kavitas ireguler dengan adanya air-fluid level
Pneumonia
Demam
Batuk produktif
Dispnea
Nyeri dada pleuritik
Penurunan suara napas atau egofoni
Peningkatan leukosit
Rontgen dada
Kultur darah dan sputum pada pasien yang dirawat
Penyakit granulomatosus aktif (tuberkulosis, jamur, parasit, sifilis) atau mycetoma
Demam
Batuk
Keringat malam
Penurunan berat badan
Riwayat imunosupresi
Rontgen dada
CT-scan
Uji mikrobiologis dari sampel sputum atau bronkoskopi
Sindrom Goodpasture
Kelelahan
Penurunan berat badan
Seringkali hematuria
Kadang-kadang edema
Urinalisis
Kadar kreatinin
Biopsi renal
Uji Antiglomerular basement membrane
Uji cANCA
Granulomatosis dengan polyangiitis
Perdarahan hidung dan ulserasi nasal kronis
Nyeri sendi dan manifestasi kulit berupa purpura dan nodul
Penebalan gingiva dan gingivitis mulbery
Perforasi septum nasal dan saddle nose
Kadang-kadang insufisiensi renal
Biopsi pada daerah yang mengalami keluhan dengan uji cANCA dan demonstrasi vaskulitis pada arteri kecil dan sedang
Bronkoskopi
Lupus pneumonitis
Demam
Batuk
Dispnea
Nyeri dada pleuritik
Riwayat Sindroma Lupus Eritromatosus
CT-scan menunjukan alveolitis
Bronkoskopi
Penyebab vaskular primer
Malformasi arteriovenosus
Adanya telangiektasia mukokutaneus atau sianosis perifer
CT-scan angiografi dada
Angiografi pulmonal
Emboli paru
Nyeri dada mendadak yang tajam
Peningkatan frekuensi pernapasan dan detak jantung
Faktor resiko emboli
CT angiografi atau V/Q scanning
Doppler pada ekstremitas menunjukan adanya tanda Deep Vein Thrombosis
Peningkatan tekanan vena pulmonal (terutama pada stenosis mitral, gagal jantung kiri)
Crackles
Tanda overload sentral atau perifer
Orthopnea
Paroxysmal Nocturnal Dyspena
Elektrokardiografi
Pengukuran BNP
Ekokardiografi
Aneurisma aorta dengan kebocoran di parenkim paru
Nyeri punggung
Rontgen dada menunjukan pelebaran mediastinum
CT angiografi dada
Ruptur arteri pulmonal
Kateterisasi arteri pulmonal
CT angiografi dada
Angiografi pulmonal
Fistula arteri trakeal-innominate
Pemasangan tabung trakeostomi dalam waktu 3 hari-6 minggu sebelumnya
Evaluasi klinis
Lain-lain
Endometriosis pulmonal (catamenial hemoptysis)
Hemoptisis berulang ketika menstruasi
Evaluasi klinis
Kontrasepsi oral
Koagulopati sistemik atau penggunaan antikoagulan atau trombolitik
Riwayat penggunaan antikoagulan
Penggunaan trombolitik
Riwayat keluarga koagulopati
PT/PTT atau kadar anti-faktor Xa
Berhentinya hemoptisis dengan koreksi defisit koagulasi
Pada penderita dengan hemoptisis, sangat penting untuk menyingkirkan asal perdarahan dari hidung, mulut, faring esofagus dan gaster. Hal tersebut dapat dinilai berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik, mungkin dapat dilakukan pemeriksaan penunjang seperti endoskopi, esofagografi, esofagoskopi untuk menyingkirkan penyebab perdarahan dari saluran cerna. Hal berikut dapat berhubungan dalam identifikasi sumber perdarahan:1
Riwayat hipertensi, epistaksis merupakan petunjuk darah berasal dari saluran napas atas.
Pada hemoptisis bronkopulmonar, darah biasanya merah terang dan berbuih karena tercampur udara, pada pemeriksaan pH bersifat alkalis.
Pada hematemesis, darah biasanya gelap dan sering bercampur makanan, pH bersifat asam.
Bila meragukan, maka nasofaring, orofaring dan laring harus diperiksa.
Menyingkirkan sebab non-bronkopulmonar pada ekspektorasi darah dengan memperhatikan riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang penting dalam menentukan etiologi.1
Riwayat
Batuk dan ekspektorasi sputum mukopurulen atau purulen dicurigai terjadi infeksi akut seperti bronkitis, pneumonia dan abses paru atau infeksi kronik seperti pada bronkiektasis terinfeksi.
Riwayat penyakit katup jantung memperkuat kemungkinan stenosis mitral, pada keadaan ini darah kadang-kadang terang karena berasal dari pecahnya anastomosis vena bronkopulmonar.
Hemoptisis pada trauma dada mugkin disebabkan oleh ruptur trakeobronkial atau kista paru traumatik.
Perdarahan simultan dari tempat-tempat lain merupakan indikasi terdapatnya diatesis perdarahan umum atau blood dyscrasia. Pada beberapa kasus dapat terjadi pada terapi antikoagulasi.
Perokok berat dan berkepanjangan dapat dihubungkan dengan hemoptisis karena karsinoma bronkogenik.
Nyeri tungkai, pembengkakan tungkai dan nyeri dada pleuritik mencurigakan infark paru pada penderita dengan faktor resiko sebagai berikut:
Tromboflebitis
Tirah baring lama
Kehamilan
Baru melahirkan
Infark miokard
Menjalani pembedahan
Kegemukan
Gagal jantung kongestif
Insufisiensi vena
Imobilisasi karena fraktur
Hematuria yang menyertai hemoptisis merupakan gejala pada granulomatosis Wegener, sindrom Goodpasture dan Lupus Eritematosus.
Temuan Fisik
Pemeriksaan umum
Kulit diperiksa dengan seksama untuk mencari terdapatnya ptekie, ekimosis, aneurisma, arteriovenosus. Ekstremitas diperiksa untuk menilai adanya flebitis.
Sistem pernapasan
Perdarahan dari pembuluh darah bronkus atau kapiler paru dapat dinilai dengan adanya rhonki basah atau rhonki kering lokal. Pada sindrom Goodpasture dan hemosiderosis paru idiopatik, rhonki basah mugkin difus.
Sistem jantung
Stenosis mitral sebagai penyebab hemoptisis dikenali dengan adanya murmur yang khas, paling baik didengar dengan penderita berbaring pada posisi lateral kiri. Kardiomegali mencerminkan penyakit miokard perifer dengan komplikasi hemoptisis.
Ekstremitas
Pada ekstremitas diperiksa adanya sianosis, edema unilateral, nyeri atau tanda flebitis. Hubungan antara sianosis dengan hemoptisis merupakan kecurigaan kemungkinan pirau intrakardiak atau fistula arteriovenosus paru yang luas. Jari tabuh merupakan salah satu tanda tumor paru, fibrosis paru interstisial, infeksi paru kronik atau pirokardiak.
Pemeriksaan Penunjang
Foto thorax
Foto thorax dengan kualitas yang baik (postero-anterior dan lateral) harus dilakukan pada semua keadaan hemoptisis. Pemeriksaan foto oblik dan lordotik dilakukan berdasarkan kecurigaan klinis individual. Pola perselubungan mengindikasikan sisi dan bahkan sebab perdarahan. Konfigurasi mitral dari jantung dan Kerley B lines mendukung diagnosis stenosis mitral dan hipertensi arteri pulmonalis.
Evaluasi sputum
Bila kecurigaan pada etiologi infeksi, sputum harus dipulas dan dikultur untuk bakteri piogenik dan pemeriksaan basil tahan asam (BTA) serial atau sputum collecting.
Analisis Gas Darah Arteri
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menilai pertukaran gas dan juga membantu diagnosis pirau kanan ke kiri pada aneurisma arteriovenosus.
Pemeriksaan lainnya
Urinalisa, hemoglobin dan hematokrit, lekosit dan trombosit, profil pembekuan darah harus dilakukan. Bronkoskopi, tomografi paru dan angiografi pulmonar diperlukan pada beberapa kasus untuk membantu menegakan diagnosis dan etiologi hemoptisis.
Penilaian
Pemeriksaan penderita dengan hemoptisis yang sedang berlangsung, usaha yang harus dilakukan secara akurat adalah menilai beratnya perdarahan. Hal tersebut diikuti manajemen tahap awal. Hemoptisis yang serius dapat dinilai berdasarkan hal-hal berikut:1
Pemeriksaan Fisik
Insufisiensi sirkulasi atau pernapasan dengan hemoptisis masif dapat bermanifestasi klinis hipotensi sistemik, takikardi, takipnea, usaha napas yang berat, sianosis dan rhonki yang difus pada pemeriksaan fisik.
Jumlah Perdarahan
Darah harus ditampung di gelas sputum dalam waktu 24 jam dan diukur volumenya. Produksi darah masif dalam waktu yang singkat merupakan indikasi situasi potensial yang mengancam jiwa.
Foto Thorax
Bayangan homogen difus pada foto thorax dapat dicurigai sebagai sejumlah besar darah yang keluar dari kapiler atau teraspirasi dalam alveoli.
Analisis Gas Darah Arteri
Perdarahan bronkopulmonar yang signifikan dapat mengganggu pertukaran gas (menyebabkan hipoksemia) dan keseimbangan asam-basa (menyebabkan asidosis respiratorik dan/atau metabolik), kemudian dapat terjadi gagal napas dan kematian.
Kadar Hemoglobin
Pengukuran kadar hemoglobin dapat menunjukan beratnya perdarahan dan membantu penilaian kebutuhan transfusi darah.
Patofisiologi
Kebanyakan darah pada paru (95%) bersirkulasi melalui arteri pulmonal bertekanan rendah dan berakhir pada pembuluh kapiler pulmonal, tempat pertukaran gas. Sekitar 5% suplai darah bersirkulasi melalui arteri bronkial yang bertekanan tinggi yang berasal dari aorta dan mensuplai struktur utama dan penunjang jalan napas. Pada hemoptisis, secara umum, darah berasal dari sirkulasi bronkial, kecuali jika arteri pulmonal rusak karena trauma, erosi granulomatosus, kalsifikasi limfe, tumor, proses inflamasi atau komplikasi dari kateterisasi arteri pulmonal.12
Pada tuberkulosis paru (TB Paru) terjadi inflamasi lokal yang menyebabkan destruksi sehingga terjadi kerusakan susunan parenkim paru dan pembuluh darah. Timbulnya kavitas dan pneumonitis TB akut menyebabkan ulserasi bronkus, nekrosis pembuluh darah di sekitarnya dan alveoli bagian distal hingga pembuluh darah pecah dan terjadi hemoptisis. Ruptur aneurisma rasmussen sebagai penyebab hemoptisis masif. Sedangkan pada infeksi jamur, terjadi angioinvasi oleh elemen jamur dan menyebabkan kerusakan parenkim dan struktur vaskuler. Pada bronkiektasis, terjadi destruksi tulang rawan pada dinding bronkus dan destruksi pembuluh darah sehingga memicu hemoptisis. Pada abses paru terjadi proses nekrosis pada parenkim paru dan pembuluh darah. Pada stenosis mitral, terjadi peningkatan tekanan atrium kiri yang menyebabkan pleksus submukosa vena bronkial mengalami dilatasi dan dapat pecah. Pada bronkitis kronis, mukosa bronkus yang sembab akibat infeksi dan timbulnya batuk yang keras akan menyebabkan hemoptisis. Dan pada kanker paru, terjadi proses nekrosis dan inflamasi pembuluh darah pada jaringan tumor sehingga terjadi destruksi pembuluh darah dan menyebabkan hemoptisis.13
2.7. Diagnosis Banding
Penyebab Hemoptisis yang berasal dari pembuluh darah kecil antara lain13 :
Tabel 2.4 Hemoptisis yang berasal dari pembuluh darah kecil
Immunologic and vasculitic diseases
Acute lung allograft rejection
Antiphospholipid antibody syndrome
Behcet disease
Goodpasture's syndrome
Henoch-Schonlein purpura
Isolated pulmonary capilaritis
Microscopic polyarteritis
Mixed cryoglobulinemia
Wgener granulomatosis
Cardiovascular diseases
Mitral stenosis
Coagulatory diseases
Iatrogenic (anticoagulant/thrombolytic agents)
Coagulopathies
Others
Diffuse alveolar damage
Lymphangioleiomyomatosis
Pulmonary capillary hemangiomatosis
Pulmonary hemosiderosis
Tuberous sclerosis
Veno-occlusive disease
Penyebab hemoptisis yang berasal dari pembuluh darah besar antara lain13 :
Tabel 2.5 Hemoptisis yang berasal dari pembuluh darah besar
Infectious diseases
Abcess
Bronchitis (acute or chronic)
Bronchiectasis
Fungal infection
Parasitic infection
Pneumonia
Tuberculosis/nontuberculous mycobacteria
Cardiovascular diseases
Arteriovenous malformation
Bronchial artery aneurysm
Bronchovascular fistula
Congestive heart failure
Pulmonary embolism/infarction
Pulmonary hypertension
Right sided endocarditis
Thoracic aortic aneurysm rupture/dissection
Septic pulmonary embolism
Congenital diseases
Cystic fibrosis
Pseudosequestation
Pulmonary artery atresia or stenosis
Neoplastic diseases
Bronchial adenoma
Lung metastatis
Primary lung cancer
Vasculitis diseases
Behcet disease/Huges-stovin syndrome
Lupus pneumonitis
Takayasu arteritis
Wegener's granulomatosis
Others
Chronic obstructive airway disease
Drug
Foreign body
Iatrogenic (Swan-Ganz catheter)
Interstisial fibrosis
Lung confusion
Pulmonary endometriosis
Trauma
Dieulafoy's disease of the bronchus
Crytogenic hemoptisis
2.8. Manajemen Hemoptisis Masif
Penatalaksanaan hemoptisis masif memerlukan perhatian khusus mengingat komplikasi perdarahan yang dapat berakibat fatal. Penatalaksaan tersebut mempunyai lima tujuan dasar antara lain mencegah asfiksia, melokalisasi sumber perdarahan, menghentikan perdarahan, mencari penyebab perdarahan dan pengobatan kausal.1
Menurut Dweik dan Stollerm tujuan di atas dalam klinik penatalaksaannya ditempuh melalui tiga tahap, tahap pertama merupakan prioritas (tindakan awal), yaitu usaha pembebasan jalan napas dan stabilisasi penderita. Tahap kedua bila penderita sudah stabil tindakan ditujukan untuk mencari sumber dan penyebab perdarahan tahap ketiga dimulai setelah periode perdarahan akut telah teratasi, ditujukan untuk mencegah risiko berulangnya hemoptisis, antara lain dengan memberikan terapi spesifik sesuai penyebab bila mungkin melakukan terapi definitif (pembedahan).1
Tahap 1. Pembebasan jalan napas dan stabilisasi merupakan upaya tindakan konservatif dalam tatalaksana hemoptisis masif antara lain1 :
Menenangkan dan mengistirahatkan penderita (tirah baring) sehingga perdarahan lebih mudah berhenti. Penderita perlu diberitahu agar tidak takut membatukkan darah yang ada disaluran napas.
Menjaga agar jalan napas tetap terbuka, bila terdapat tanda-tanda sumbatan jalan napas perlu dikaukan pengisapan. Evakuasi darah dengan bronkoskop akan lebih baik tetapi perlu keterampilan khusus operator. Pemberian oksigen tidak selalu diperlukan dan hanya berarti apabila jalan napas telah bebas/sumbatan.
Resusitasi cairan dengan pemberian cairan kristaloid atau koloid,
Transfusi darah diberikan bila hematokrit turun di bawah 25-30% atau hemoglobin di bawah 10 g%, sedang perdarahan masih berlangsung.
Pemberian obat hemostatik belum helas manfaatnya pada penderita hemoptisis, manum demikian dapat diberikan asam traneksamat, karbazokrom dan koagulan lain seperti vitamin K/C baik secara bolus intravena maupun drip.
Obat dengan efek sedang ringan dapat diberikan bila penderita gelisah. Obat penekan reflek batuk hanya diberikan bila ada batuk yang berlebihan dan merangsang hemoptisis yang lebih banyak. Beberapa penulis meganjurkan pemberian kodein 1020 mg peroral tiap 3-4 jam.
Pemeriksaan faal hemostasis dan koreksi bila ada kelainan.
Tindakan yang dilakukan bila terjadi serangan batuk darah tergantung keadaan penderita, yaitu1:
Penderita dengan keadaan umum dan reflek batuk yang baik, duduk dan diinstruksikan cara membatukkan darah dengan benar.
Penderita dengan keadaan umum benar dan reflek batuk tidak adekuat, posisi trendelenberg ringan dan miring ke sisi yang sakit (lateral dekubitus). Bila hemoptisis terus berlangsun, dapat dipasang pipa endotrakeal dengan diameter besar (fg> 7,5) yang memungkinkan lewatnya bronkoskop serat optik untuk evaluasi, lokalisasi perdarahan dan pengisapan darah/bekuan darah. Intubasi paru unilateral dapat dilakukan untuk melindungi paru yang sehat dari aspirasi darah. Bila perdarahan berasal dari paru kanan, penderita diintubasi sampai ke lumen utama kiri dengan bantuan bronkoskop sehingga ventilasi paru kiri terjamin dan terhindar dari aspirasi. Sebaliknya bila sumber perdarahan dari paru kiri, intubasi sampai ke lumen bronkus utama kanan dihindari karena dapat menutup orifisium lobus atas kanan yang letaknya berdekatan dengan orifisium bronkus utama kanan (setinggi badan).
Pemberian bantuan ventilator bila terjadi gagal napas.
Tahap 2. Lokalisasi sumber dan mencari penyebab hemoptisis1
Bila tahap 1 telah dilakukan dan penderita dalam keadaan stabil harus dicari asal perdarahan setepat mungkin dan juga penyebab perdarahannya. Walaupun lateralisasi perdarahan pada tahap 1 secara tidak langsung dapat diduga sumber dan penyebab perdarahannya namun lokalisasi yang past dari sumber perdarahan perlu dicari agar dapat diberikan terapi definitif. Tahap kedua dapat dilakukan dengan pemeriksaan radiologi (foto toraks) PA dan lateral, CT scan toraks dengan kontras, bronkial angiografi dan bronkoskopi serap optik atau rigid.
Tahap 3. Pemberian terapi definitif
Terapi spesifik ditujukan untuk menghentikan dan mencegah berulangnya hemoptisis antara lain1 :
Melalui bronkoskop
Bilas bronkus dengan larutan garam fisiologis dingin. Bilas dengan NaCl 0,9% dingin pada pengendalian hemoptisis masif telah dikenal beberapa dekade lalu. Hemostatik dilakukan melalui induksi vasokonstriksi pembuluh darah dengan pemberian garam fisiologis dingin tersebut. Larutan ini dialirkan melalui bronkoskop rigid maupun serat optik, dapat diberikan sampai 500 ml. Tindakan ini dapat menghentikan hemoptisis bersifat sementara, namun pada beberapa kasus dapat merupakan terapi yang bersifat permanen.
Pemberian obat topikal, vasokonstriksi pembuluh darah diusahakan dengan larutan epineprin (1:20.000) melalui bronkoskop, selain itu dapat diberikan larutan trombin dan trombin-fibrinogen tetapi keberhasilannya masih dipertanyakan.
Tamponade endobronkial, isolasi perdarahan pada bronkus segmen atau subsegmen menggunakan kateter balon dapat mencegah aspirasi darah ke bagian paru yang sehat dan menjamin pertukaran gas pada batuk darah masif. Prosedur diawali dengan memasukkan bronkoskop serat optik yang menjadi sumber perdarahan. Kateter balon nomor 4-7F panjang 200 cm dimasukkan ke bronkus segmen atau subsegmen yang dituju melalui lumen penghisap bronkoskop, lalu balon dikembangkan sehingga terjadi tamponade di sumber perdarahan. Sesudahnya bronkoskop dikeluarkan dari saluran napas dan kateter dibiarkan selama 24 jam. Setelah 24 jam dengan bantuan penglihatan melalui bronkoskop balon dikempiskan dan kateter dikeluarkan jika tidak terjadi lagi perdarahan, pada saluran napas besar dapat digunakan kateter balon berukuran 14 F.
Fotokoagulasi laser (Nd-YAG laser), foto terapi menggunakan laser Neodynamium-aluminium garnet (Nd-YAG) telah digunakan untuk menghentikan perdarahan bersifat paliatif pada penderita hemoptisis masif yang diintubasi. Kemampuan koagulasi dan evaporasi laser Nd-YAG dapat menghentikan perdarahan lesi-lesi endobronkial, oleh karena itu manfaat terapi laser hanya ditujukan pada perdarahan yang disebabkan lesi endobronkial.
Terapi tanpa bronkoskop
Hemoptisis karena penyakit infeksi, seperti pada tuberkulosis, infeksi jamur dan bronkitis maka diberikan antibiotik, anti TB atau antijamur.
Vasopresin yang diberikan secara intravena merupakan vasokonstriktor pembuluh darah sistemik, pernah digunakan untuk terapi hemoptisis masif dengan dosis 0,2-0,4 unit/menit. Mekanisme kerja vasopresin menyebabkan vasokonstrksi arteeri bronkial. Pada hemoptisis yan disertai penyakit pembuluh darah koroner atau hipertensi pemberiannya harus hati-hati.
Penggunaan obat antifibrinolitik untuk menghambat dehidrasi plasminogen, pernah dilaporkan untuk kasus hemoptisis masif pada penderita fibrosis kistik yang tak dapat diatasi dengan embolisasi arteri bronkial. Pada kasus hemoptisis katamenial dapat diberikan obat agonis GnRH (gonadotropin releasing hormon) atau danazol jangka panjang.
Terapi radiasi pada hemoptisis masif pernah dilaporkan penggunaannya pada aspergiloma yang gagal diatasi dengan embolisasi. Mekanisme kerja radiasi diduga dengan embolisasi. Mekanisme kerja radiasi diduga akan mengurangi pembengkakan dan induksi nekrosis sumber perdarahan, sehingga menghasilkan trombosis vaskuler dan kompresi edema perivaskuler. Penggunaan terapi radiasi untuk mengatasi hemoptisis masuf juga pernah dilaporkan pada kasus tumor vaskuler seperti angiosarkoma atau hemangioendotelioma.
Embolisasi arteri, oklusi pembuluh darah yan menjadi sumber perdarahan dengan embolisasi transkateter untuk terapi hemoptisis masif telah dilakukan sejak beberapa dekade yang lalu. Embolisasi dapat dilakukan pada arteri bronkialis maupun sirkulasi pulmoner. Metode ini digunakan sebagai terapi alternatif pada penderita yang tidak dapat menjalani pembedahan atau sebagai tindakan yang bersifat sementara sebelum penderita menjalani pembedahan. Di samping itu metode ini juga dilakukan terhadap penderita yang mengalami hemoptisis berulang akibat TB paru, bronkiektasis, kavitas sarkoid dan abses paru. Tindakan didahului dengan arteriografi yang kemudian dilakukan embolisasi arteri pada pembuluh darah yang dianggap sumber perdaraha. Sebelum dilakukan ateriografi jika memungkinkan dilakukan pemeriksaan bronkoskopi untuk mengidentifikasi orifisium bronkus yang menjadi sumber perdarahan. Tindakan bronkoskopi juga dilakukan untuk tujuan terapi yang bersifat sementara sebelum dikakkan embolisasi arteri, yaitu tindakan tamponade endobronkial. Keberhasilan penghentian perdarahan dilaporkan dari beberapa penelitian berkisar 64-100%. Kekambuhan hemoptisis (jarang sampai masif) berkisar 20-46%.
Bronkoskopi
Bronkoskopi adalah prosedur pemeriksaan sistem pernapasan jenis endoskopi yang digunakan untuk melihat laring, trakea, dan saluran napas bawah apakah terdapat kelainan atau tidak, untuk mengambil contoh jaringan atau sekret, untuk membersihkan jalan napas, dan sebagainya. Terdapat dua jenis bronkoskopi yang digunakan sehari-hari sesuai dengan indikasi penggunaan bronkoskopi, yaitu :14,15
Flexible bronchoscopy14,15
Flexible bronchoscopy merupakan suatu prosedur invasif untuk memvisualisasikan nasal, faring, laring, korda vokalis, dan percabangan trakeabronkial untuk keperluan diagnosis serta pengobatan pada kelainan paru. Prosedur ini dapat dilakukan di ruang bronkoskopi, ruang endoskopi, kamar operasi, instalasi gawat darurat, ruang radiologi, dan di unit perawatan intensif.
Peralatan
Peralatan yang diperlukan untuk melakukan prosedur adalah bronkoskop, lampu, sikat sitologi, forsep biopsi, needle aspiration catheter, suction, oksigen, fluoroskopi (C-arm), pulse oxymetry, sphygmomanometer dan peralatan resusitasi yang meliputi endotracheal tube serta monitor video.
Anastesi
Flexible bronchoscopy dapat dilakukan menggunakan anestesi lokal dengan atau tanpa sedasi, atau dengan anestesi umum.
Teknik
Pasien harus berada dalam posisi setengah berbaring atau supinasi setelah diberikan obat melalui jalur intravena. Pasien diharuskan puasa minimal empat jam sebelum prosedur. Jika operator memilih hidung sebagai jalur masuk bronkoskop, pasien harus diberikan anestesi topikal di sekitar jalur hidung dan faring. Setelah anestesi topikal bekerja, bronkoskop dimasukkan melalui hidung atau mulut serta pelindung gigi telah terpasang. Operator kemudian memeriksa orofaring. Ketika mencapai korda vokalis, pasien diberikan anestesi topikal kembali. Operator memeriksa abduksi dan adduksi korda vokalis. Bronkoskop melewati korda vokalis dan inspeksi terhadap saluran pernafasan secara keseluruhan dapat dilakukan. Terapi dan diagnostik dapat dilakukan selama prosedur flexible bronchoscopy. Prosedur diagnostik berdasarkan indikasi yang dapat dilakukan antara lain: bronchoalveolar lavage (BAL), biopsi endobronkial atau transbronkial, pencucian atau penyikatan sitologi, transbronchial needle aspiration (TBNA), EBUS dan autofluoresence bronchoscopy. Prosedur terapi yang dapat dilakukan menggunakan flexible bronchoscopy seperti: dilatasi balon, ablasi laser endoronkial, elektrokauter, terapi fotodinamik, brakiterapi, dan pemasangan stent.
Indikasi
Indikasi meliputi infiltrat pada paru yang tidak terdiagnosa, massa di paru, limfadenopati mediastinal, hemoptisis, kelainan saluran pernafasan, lesi endobronkial, therapeutic suctioning, dan bronkoskopi pediatrik.
Kontraindikasi
Sebagian besar kontraindikasi bersifat relatif. Perhatian khusus harus diberikan terhadap status pernafasan dan perdarahan. Pada pasien yang tidak stabil atau prosedur membutuhkan waktu yang lebih lama, dapat dipilih untuk menggunakan rigid bronchoscopy.
Risiko
Prosedur ini termasuk salah satu tindakan yang aman. Komplikasi yang paling banyak terjadi adalah perdarahan, depresi napas, henti napas, henti jantung, aritmia, dan pneumotoraks dengan prevalensi
Pelatihan
Operator yang sedang dalam tahap latihan harus didampingi oleh operator yang sudah mahir dan melakukan sedikitnya 100 kali prosedur dalam pengawasan sesuai standar kompetensi. Untuk mempertahankan kompetensi, operator harus melakukan sedikitnya 25 kali prosedur per tahun dan memiliki sertifikat.
Rigid bronchoscopy14,15
Rigid bronchoscopy adalah suatu prosedur invasif yang digunakan untuk memvisualisasikan orofaring, faring, korda vokalis, dan percabangan trakeobronkial. Prosedur ini digunakan untuk diagnosis dan pengobatan pada kelainan paru. Prosedur ini dilakukan di ruang endoskopi dengan menggunakan anestesi, tetapi akan lebih baik jika dilakukan di kamar operasi, dan sangat jarang dilakukan di unit perawatan intensif. Prosedur ini sering dikombinasi dengan flexible bronchoscopy untuk mendapatkan dan mempertahankan visualisasi serta melakukan suction pada saluran napas bagian distal.
Peralatan
Satu set alat bronkoskop ventilasi harus tersedia dalam berbagai ukuran. Lampu halogen untuk pencahayaan; teleskop 0, 30, 90 dapat dipasang pada laras untuk meningkatkan gambaran visualisasi dan monitor video. Instrumen seperti grasper, forsep biopsi, dan suction harus selalu tersedia. Hal-hal lain yang harus tersedia diantaranya larutan normal salin, jel lubrikan, syringe, dan suction tubing.
Anestesi
Prosedur ini biasanya dilakukan dengan anestesi umum untuk mencapai sedasi yang adekuat, serta menggunakan pelemas otot.
Teknik
Pasien dalam posisi supinasi. Kepala diletakkan di atas bantal kecil dan tempat tidur yang dapat diatur derajat kemiringannya. Ujung epiglotis diangkat secara perlahan dengan ujung bronkoskop, saat laring terlihat dan tampak korda vokalis, bronkoskop diputar 90 derajat ke arah vertikal agar dapat melewati korda vokalis. Cara ini merupakan tindakan dengan resistensi minimal dan dapat menghindari kerusakan pada korda vokalis. Setelah memasuki trakea bagian atas, bronkoskop dikembalikan ke posisi semula. Ventilasi dihubungkan melalui port samping. Bronkoskop secara perlahan dimasukkan melalui karina lalu ke bronkus. Anatomi, kondisi saluran napas, dan ketidaknormalan mukosa harus dicatat. Teleskop dapat dimasukkan ke rigid bronchoscope untuk memvisualisasikan segmen bagian distal, dan dibutuhkan teleskop dengan sudut 30 dan 90 derajat untuk melihat bagian tertentu pada lobus kanan bawah paru. Kepala pasien biasanya diputar ke arah kiri untuk memasuki bronkus bagian kanan dan diputar ke arah kanan untuk memasuki bronkus bagian kiri. Setelah pemeriksaan awal selesai, tujuan dari prosedur dapat dilakukan (dilatasi, pemasangan stent, ablasi laser, pengambilan corpus alienum). Selama melakukan prosedur, harus tersedia kauter, forsep, dan suction. Jika diperlukan pemeriksaan lebih seperti, pencucian, ablasi laser/fotodinamik, atau pemasangan stent, maka flexible bronchoscope dapat dimasukkan melalui rigid bronchoscope.
Indikasi
Terdapat banyak indikasi untuk rigid bronchocopy meliputi perdarahan (pengelolaan hemoptisis masif), reseksi tumor, ektraksi corpus alienum, pengambilan biopsi untuk bagian yang lebih dalam, dilatasi striktur trakea atau bronkus, membebaskan obstruksi saluran napas, pemasangan stent, dan bronkoskopi pediatrik. Prosedur ini juga dapat dilakukan untuk terapi laser trakeo-bronkial atau ablasi mekanik tumor.
Kontraindikasi
Kontraindikasi relatif meliputi koagulopati yang tidak terkontrol, pemakaian ventilator dan oksigenasi yang ekstrim, serta obstruksi trakeal bagi operator pemula. Kontraindikasi khusus meliputi ketidakstabilan tulang servikal, trauma maksilofasial parah (deformitas), penyakit atau kelainan mulut yang menghalangi.
Risiko
Komplikasi terbanyak yang paling potensial terjadi dan tidak dapat dihindari meliputi: cedera gigi atau gusi, kerusakan pada trakea atau bronkus dan perdarahan berat.
Pelatihan
Operator harus melakukan sedikitnya 20 kali prosedur di bawah pengawasan sesuai standar kompetensi pada pasien dengan saluran napas normal. Untuk mempertahankan kompetensi, operator harus melakukan minimal 10-15 kali prosedur per tahun.
Visualisasi (gambaran) bronkoskopi16,17
Terdapat beberapa kriteria gambaran bronkoskopi yang dapat diuraikan sebagai berikut:
Tabel 2.3. Kriteria Penampakan Bronkoskopi16,17
1
Massa (gumpalan atau benda yang terbuat dari kohesi beberapa partikel yang mengakibatkan keadaan patologis)
Obstruksi
Permukaan
Mukosa
Total
Parsial
Berbenjol-benjol
Rata
Compang-camping
Licin
Mudah berdarah
Tidak mudah berdarah
2
Infiltratif (penimbunan bahan patologis dalam jaringan atau sel yang tidak normal atau dalam jumlah yang berlebihan)
Hiperemis
Submukosa tidak rata
Nekrosis
Edema
*Minimal 3 kriteria
3
Stenosis (penyempitan duktus atau kanal yang abnormal)
Total
Tidak total
Kompresif
Non kompresif
Infiltratif
4
Perdangan/inflamasi (respons protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan)
Hiperemis
Edema
5
Bronkus normal
Mukosa normal
Tidak ada benda asing
Tidak ada sekresi abnormal
Pink pucat (pale pink) atau berwarna merah kuning.
Bronkoskopi pada hemoptisis masif16,17
Hemoptisis adalah salah satu indikasi tersering dilakukannya bronkoskopi emergensi. Tujuan utamanya adalah untuk melokalisasi sumber perdarahan dan jika memungkinkan mengontrol perdarahan dengan tamponade topikal atau endobronkial. Bronkoskopi rigid adalah prosedur pilihan untuk hemoptisis yang mengancam jiwa, yaitu ekspektorasi darah >600 ml dalam waktu 48 jam atau 400 ml dalam 24 jam.
Kontrol perdarahan dapat menggunakan larutan salin dingin atau epinefrin dengan pengenceran 1:1000. Larutan ini dialirkan melalui bronkoskop rigid maupun serat optik, dapat diberikan sampai 500 ml. Tindakan ini dapat menghentikan hemoptisis bersifat sementara, namun pada beberapa kasus dapat merupakan terapi yang bersifat permanen. Obat lain yang dapat digunakan diantaranya trombin atau kombinasi trombin-fibrinogen tetapi keberhasilannya masih dipertanyakan. Telah dilaporkan respons yang bagus terhadap pengobatan intrapulmonal dengan rekombinan faktor VII yang diinstilasikan melalui saluran bronkoskop pada kasus-kasus perdarahan difus alveolar.
Tamponade endobronkial memakai balon Fogarty atau kateter arteri pulmonalis, isolasi perdarahan pada bronkus segmen atau subsegmen menggunakan kateter balon dapat mencegah aspirasi darah ke bagian paru yang sehat dan menjamin pertukaran gas pada batuk darah masif. Prosedur ini diawali dengan memasukkan bronkoskop serat optik sampai ke bronkus segmen atau subsegmen yang menjadi sumber perdarahan. Kateter balon nomor 4-7F panjang 200 cm dimasukkan ke bronkus segmen atau subsegmen yang dituju melalui lumen penghisap bronkoskop, lalu balon dikembangkan sehingga terjadi tamponade di sumber perdarahan. Sesudahnya bronkoskop dikeluarkan dari saluran nafas dan kateter dibiarkan selama 24 jam. Setelah 24 jam dengan bantuan penglihatan melalui bronkoskop balon dikempiskan dan kateter dikeluarkan jika tidak terjadi perdarahan lagi, pada saluran nafas besar dapat digunakan kateter balon berukuran 14F. Melokalisir perdarahan juga membantu perencanaan embolisasi arteri bronkialis atau torakotomi.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Batuk darah merupakan suatu gejala atau tanda dari suatu penyakit infeksi. Volume darah yang dibatukkan bervariasi dan dahak bercampur darah dalam jumlah minimal hingga masif, tergantung laju perdarahan dan lokasi perdarahan. Batuk darah atau hemoptisis adalah ekspektorasi darah akibat perdarahan pada saluran napas di bawah laring, atau perdarahan yang keluar melalui saluran napas bawah laring. Batuk darah lebih sering merupakan tanda atau gejala dari penyakit dasar sehingga etiologi harus dicari melalui pemeriksaan yang lebih teliti. Batuk darah masif dapat diklasifikasikan berdasarkan volume darah yang dikeluarkan pada periode tertentu. Batuk darah masif memerlukan penanganan segera karena dapat mengganggu pertukaran gas di paru dan dapat mengganggun kestabilan hemodinamik penderita sehingga bila tidak ditangani dengan baik dapat mengancam jiwa.
Banyak etiologi yang dapat menyebabkan hemoptisis, termasuk beberapa penyakit sistemik. Lebih dari 90% hemoptisis masif disebabkan oleh bronkiektasis, tuberkulosis paru (TB Paru), abses paru (necrotizing pneumonia) dan karsinoma bronkus. Hemoptisis adalah salah satu indikasi tersering dilakukannya bronkoskopi emergensi. Tujuan utamanya adalah untuk melokalisasi sumber perdarahan dan jika memungkinkan mengontrol perdarahan dengan tamponade topikal atau endobronkial. Bronkoskopi rigid adalah prosedur pilihan untuk hemoptisis yang mengancam jiwa, yaitu ekspektorasi darah >600 ml dalam waktu 48 jam atau 400 ml dalam 24 jam.
DAFTAR PUSTAKA
Swidarmoko B, Susanto AD. Pulmonologi intervensi dan gawat darurat napas. Jakarta: Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010.
Noë GD, Jaffé SM, Molan MP. CT and CT angiography in massive haemoptysis with emphasis on pre-embolization assessment. Clin Radiol. 2011;66:869–75.
Jeudy J, Khan AR, Mohammed TL, et al. ACR Appropriateness Criteria hemoptysis. J Thorac Imaging. 2010;25:67–9.
Ibrahim WH. Massive haemoptysis: the definition should be revised. 2008;32:1131–2.
Baptiste EJ. Management of hemoptysis in the emergency department. Hospital Physician; 2005.
Earwood JS, Thompson TD. Hemoptysis: evaluation and management. Am Fam Physician.;2015.
Ong ZYT, Chai HZ, How CH, Koh J, Low TB. A simplified approach to haemoptysis. Singapore Med J; 2016.
Maria CHW. Hasil terapi konservatif pada penderita batuk darah di RS Persahabatan. Jakarta: Bagian Pulmonologi FKUI, Tesis; 2000.
Yunus F. Hemoptisis. MKI; 1987; 10: 327-31.
Wihastuti R, Maria CHW, Situmeang TSB, Yunus F. Profil penderita batuk darah yang berobat di bagian paru RS Persahabatan, Jakarta. J Respirologi Indonesia; 1999; 19: 54-9.
Lordan JL, Gascoigne A, Corris PA. The pulmonary physician in critical care. Illustrative case 7: Assessment and management of massive haemoptysis. Thorax; 2003; 58: 814–9.
Jean-Baptiste E. Clinical assessment and management of massive hemoptysis. Critical Care Medicine; 2000; 28(5): 1642–7.
Larici AR, Franchi P, Occhipinti M, Contegiacomo A, Ciello AD, Calandriello L, et al. Diagnosis and management of hemoptysis. Diagn Interv Radiol; 2014; 20: 299-309.
Ernst A,Silvestri GA, Johnstone D. Interventional Pulmonary Procedures: Guidelines from the American College of Chest Physicians. CHEST 2003; 123:1693–1717.
Bolliger CT, et al. ERS/ATS statement on interventional pulmonology. Eur Respir J 2002; 19: 356–3.
Diaz-Fuentes, Venkatram SK. Role of flexible bronchoscopy in pulmonary and critical care practice. : Global perspectives on bronchoscopy;2009.
Estella A. Bronchoscopy in mechanically ventilaated patients: Global perspectives on bronchoscopy In-Tech; 2012.