PENATALAKSANAAN TUBERKULOSIS PARU MONORESISTEN MONORESISTEN DAN POLIRESISTEN
Pendahuluan
Tuberkulosis (TB) masih menjadi penyakit infeksius yang mematikan dengan jumlah penderita mencapai jutaan orang di seluruh dunia. Tujuan obyektif pengelolaan TB adalah pengoba pengobatan, tan, menghen menghentika tikan n transmi transmisi si bakteri bakteri dan mencega mencegah h munculny munculnyaa resisten resistensi si obat. obat.
(1)
Walaupun menjadi masalah epidemi global, TB secara umum menimpa populasi di negaranegara miskin, 98% penyebab kematian karena TB. Diperkirakan 2 milyar jiwa penduduk dunia mendapat infeksi laten Mycobacterium tuberculosis (MTB). Pada tahun 2005, tercatat 8,9 juta kasus baru TB, dan 1,8 juta jiwa meninggal karena TB.
(2)
Tujuh puluh ribu penderita
MDR-TB diprediksi di benua Eropa dan yang tertinggi tertinggi tersebar di bekas wilayah Uni Soviet, termasuk termasuk Baltik, Baltik, Kazakhst Kazakhstan, an, Uzbekist Uzbekistan an dan Rusia. Rusia. Tetapi Tetapi WHO memperk memperkira-k ira-kan an 60% jumlah penderita MDR-TB adalah di Cina, India dan Rusia.
(1,3)
Sedangkan Eropa Tengah,
Barat dan Afrika jumlahnya lebih rendah, kecuali di Afrika Selatan.
(1)
Walaupun beberapa daerah di dunia berhasil menurunkan angka DRTB, bukti statistik yang terakumulasi dalam beberapa tahun terakhir menemukan kecenderungan peningkatan. Pada tahun 2000 diprediksi kasus DRTB sebanyak 273 kasus sedangkan WHO pada tahun 2007 memperkirakan prevalensi global MDR-TB adalah 425.000 kasus pertahun, dan hanya 4,3% semua kasus yang sudah dikelola. Munculnya laporan ada peningkatan kasus XDR-TB (extensively extensively drug resistant tuberculosis tuberculosis ) pada penderita penderita HIV di provinsi provinsi KwaZulu-Nat KwaZulu-Natal al Afrika Selatan membuat makin besarnya perhatian terhadap penanggulangan DRTB.
(4)
Perubahan pola masalah kesehatan global telah terjadi selama 2 dekade, terutama penyebaran HIV dan drug-resistant TB (DRTB). Sepertiga dari 40 juta jiwa yang terinfeksi dengan human immunodef immunodeficie iciency ncy virus virus (HIV) (HIV) mend mendapa apatt ko-inf ko-infeks eksii TB menye menyebab babkan kan mortal mortalitas itas yang signifi signifikan. kan. Peningka Peningkatan tan DRTB telah telah menjadi menjadi salah salah satu masala masalah h penting penting dalam pengendalian tuberkulosis global. (1,2) Pemer Pemerint intah ah Norweg Norwegia ia telah telah mela melaksa ksanak nakan an pemeta pemetaan an pola pola resis resiste tensi nsi TB dan uji kepekaan obat (obatsusceptibility (obatsusceptibility test atau DST) di negara tersebut sejak tahun 2002 dan hasilnya dilaporkan setiap tahun. Hasil pemantauan ini dapat mencegah ledakan kasus DRTB (lampiran). lampiran ). Cara ini tentu membutuhkan biaya yang mahal dan mungkin sulit diterapkan di negara berkembang. (1)
Perancis adalah negara yang kaya akan sumber daya dengan angka kesakitan TB rendah; rendah; sebagian sebagian besar kasus kasus TB menimp menimpaa penduduk penduduk imigran imigran dan MDR-TB MDR-TB merupak merupakan an kasus kasus yang langka, langka, yaitu yaitu pada imigran imigran baru, baru, riwayat riwayat terapi OAT sebelum sebelumnya nya dan yang terinfeksi HIV. Hal ini merupakan petunjuk bahwa jejaring surveilens di Perancis yang ketat dan panduan bagi penyedia pelayanan penderita TB dengan riwayat episode dan terapi TB. Dalam konteks isu global epidemiologi epidemiologi TB, pengadaan pengadaan jejaring pelayanan yang menitikberat menitikberat pada manfaat surveilens surveilens yang berbasis kultur kultur TB dan uji sensitifitas obat di negara-negara negara-negara berkembang dan prevalensi MDR-TB yang tinggi akan menguras biaya, tetapi akan lebih mahal jika sistim surveilens resistensi obat terpadu seperti diatas tidak dilakukan.
(4)
WHO
menyata menyatakan kan bahwa bahwa surveil surveilens ens merupak merupakan an bagian bagian integra integrall dari strategi strategi DOTS. DOTS. Surveil Surveilens ens resistensi obat anti-TB sangat penting untuk memberikan informasi beratnya masalah dan kecenderungan resistensi, untuk pengembangan panduan pengelolaan, dan untuk memantau efek intervensi. (5,6) Kultur, isolasi strain M. tuberkulosis tuberkulosis dan uji sensitifitas obat merupakan pemeriksaan yang tidak rutin dilakukan di jejaring sarana kesehatan tingkat pertama, sehingga penderita memerlukan referal ke tingkat lanjut.
Penyebab DRTB
DRTB disebabkan oleh kesalahan manusia. Populasi M. tuberkulosis yang belum terpajan OAT sudah mengandung mutant yang resisten. Terapi TB yang tidak tepat seperti monot monoter erapi api (OA (OAT T tungg tunggal al)) menye menyebab babkan kan kelom kelompok pok bakter bakterii yang yang renta rentan n akan akan mati mati,, sedangkan kelompok yang tidak rentan akan tetap hidup. Kelompok bakteri yang masih hidup hidup akan menghas menghasilk ilkan an populasi populasi yang resisten resisten terhadap terhadap obat yang telah telah diberika diberikan. n. (1) Mekanisme aksi dan gen yang dipengaruhi tiap OAT berbeda (gambar 1). World Health Organization (WHO) saat ini menggunakan istilah resistensi primer dan didapat untuk kasus baru dan kasus dengan riwayat terapi OAT. Cara transmisi DRTB sama dengan TB pada umumnya. (1) Ada 3 alasan seorang penderita untuk menjalani terapi ulang TB, yaitu kegagalan, rela relaps ps (kam (kambu buh) h) atau atau tida tidak k meme memenu nuhi hi syar syarat at ( default ). ).(5,6) Kegagala Kegagalan n pengobat pengobatan an didef didefini inisik sikan an sebag sebagai ai apusa apusan n sput sputum um dan kultu kulturr posit positif if yang yang terja terjadi di setel setelah ah pende penderit ritaa tuberkulosis tuberkulosis menjalani terapi yang benar.
(1)
Kultur positif dapat berarti relaps (kekambuhan)
atau persisten. Sekitar 90%-95% penderita TB paru sensitif akan mengalami konversi kultur negatif setelah menjalani terapi OAT yang terdiri dari isoniazid dan rifampisin pada bulan ketiga. Beberapa pakar juga menganggap kegagalan terapi jika kultur sputum tetap positif
sesudah pengobatan selama 4 bulan atau menjadi positif lagi sesudah periode kultur negatif. Berarti penegakan kegagalan terapi adalah sesudah 4 bulan pengobatan OAT.
(1,5,6)
Kebijakan pemerintah, faktor tenaga kesehatan, ketersediaan sumber daya dan ketaatan penderita mempunyai kontribusi signifikan terhadap kegagalan pengelolaan TB. (1,5,6,7)
Penyebab meningkatnya DRTB adalah mikrobiologik, programatik dan klinis, di negara berkembang penyebab utama adalah semua faktor diatas. Dalam tabel 1, Kementerian Kesehatan Republik Nepal menjelaskan penyebab DRTB selain faktor mikrobiologik.
(7)
Keragaman genetik pada M. tuberculosis terjadi karena migrasi manusia sejak zaman purba sampai sekarang, dan pola acak perubahan genetik ini merupakan faktor utama pada evolusi M. tuberculosis.
(8)
Isolat Beijing merupakan contoh evolusi M. tuberculosis dengan
kelainan radiologik paru yang lebih berat karena pola resistensi MDR.
(9)
Tabel 2. Penyebab resistensi obat pada tuberkulosis Penyedia jasa kesehatan : rejimen yang tidak adekuat • Panduan terapi yang salah atau ketidakpatuhan pada panduan;
• Tidak adanya panduan; • Kurangnya pelatihan;
• Terapi tanpa pemantauan; • Kekurangan pendanaan atau sistim organisasi program.
Obat : suplai dan kualitas yang tidak adekuat • Kualitas obat yang buruk;
• Tidak tersedianya obat tertentu (kehabisan atau gangguan pengiriman);
• Kondisi penyimpanan yang
Penderita : asupan obat yang tidak adekuat • Ketidaktaatan; • Kurangnya informasi tentang pengobatan • Efek samping
• Kendala sosial (stigma, pengucilan);
buruk;
• Kesalahan dosis atau kombinasi rejimen.
• • • •
Malabsorpsi; Gangguan ketergantungan obat; Gangguan mental ; Tidak kooperatif.
Dikutip dari (7)
Tabel 3. Mutasi gen yang menyebabkan resistensi pada OAT lini pertama Obat Rifampicin Isoniazid Ethambutol Pyrazinami d
Gen yang terlibat rpoB katG, inhA, kasA embB pncA
Mekanisme Aksi Inhibisi sintesis asam nukleat Inhibisi sintesis asam nukleat dan proses metabolik lainnya Inhibisi sintesis dinding sel Mempengaruhi dinding sel
Dikutip dari (1) Bila kegagalan terapi dicurigai, maka seorang dokter harus menegakkan penyebabnya sebelum mengganti rejimen OAT. Langkah yang perlu dilakukan adalah: •
(5,6,10)
Mendiskusikan atau verifikasi hasil DST dengan pakar mikrobiologi.
•
Mengulangi DST obat untuk menentukan apakah telah terjadi resistensi obat selama
terapi. Semua penderita yang mengalami kegagalan terapi harus dianggap sebagai resistensi obat sampai terbukti lain. •
Penderita dikelola dengan cara minum obat sendiri dan DOT.
•
Penderita yang sedang dikelola dengan pendekatan DOT, diindikasikan pemeriksaan
konsentrasi obat dalam serum terutama jika resistensi terjadi selama pengobatan atau adanya resiko malabsorpsi.
Definisi
Klasifikasi resistensi tuberkulosis
(1)
:
•
Monoresistensi : Resistensi terhadap hanya satu obat antituberkulosis
•
Multi-drug-resistensi (MDR-TB): Resistensi terhadap rifampisin dan isoniazid (kedua
obat paling penting dalam pengelolaan TB) ditambah dengan obat lain. •
•
Poliresistensi: Resistensi terhadap lebih dari satu obat tetapi tanpa MDR Extensive multi-drug-resistensi (XDRTB): MDR ditambah resistensi terhadap salah
satu fluroquinolon dan sekurangnya satu obat injeksi dari lini
kedua (amikasin,
kapreomisin atau kanamisin. Jenis resistensi
(1)
•
Resistensi primer adalah resistensi yang terjadi pada penderita yang belum diterapi.
•
Resistensi didapat adalah resistensi pada penderita yang sudah pernah diterapi yang
disebabkan oleh perubahan strain mikroorganisme selama pengobatan atau oleh infeksi baru oleh mikroorganisme yang sudah resisten. Penentuan karakter genetik dengan DNA fingerprint dapat membedakan apakah strain bakteri identik dengan isolat sebelumnya pada penderita yang sama.
Standar pengobatan tuberkulosis
Tuberkulosis telah lama dikelola (lebih dari 50 tahun) dengan terapi kombinasi. OAT tunggal hanya digunakan untuk tujuan kemoprofilaksis. Rejimen OAT monoterapi menyebabkan terjadinya resistensi dan kegagalan terapi yang sangat cepat. Tujuan pengelolaan tuberkulosis adalah: •
Mengobati dan memperbaiki kualitas hidup dan produktifitas;
•
Mencegah kematian karena TB aktif atau komplikasinya;
•
Mencegah kekambuhan TB;
•
Menurunkan transmisi TB kepada orang lain;
•
Mencegah terjadinya dan transmisi resistensi obat. Rasionalisasi penggunaan kombinasi obat untuk pengelolaan TB adalah berdasarkan
probabilitas sederhana. Frekuensi terjadinya mutasi spontan M. tuberkulosis telah lama dipahami sebagai penyebab resistensi terhadap obat tertentu yaitu: 1/10 7 kuman untuk EMB, 1/108 kuman untuk SM dan INH, and 1/10 10 kuman untuk rifampisin. Mutan resisten terhadap masing-masing obat hidup bersama dalam populasi suseptibel dengan rasio berbeda. Karena lesi tuberkel seringkali mengandung lebih dari 10 8 basil, mutan tersebut tetap hidup bila penderita mendapatkan monoterapi. Penderita dengan TB paru yang luas mengandung + 10 12 bakteri di dalam tubuhnya, dan diantaranya mungkin terkandung + 10 5 bakteri yang resisten terhadap EMB, 10 4 bakteri yang resisten terhadap STM, 10 4 bakteri yang resisten terhadap INH dan 10² bakteri yang resisten terhadap rifampisin. Mutasi resistensi muncul secara spontan dan independen, jadi kesempatan terjadinya resistensi spontan terhadap INH dan RIF adalah 1/10 8 x 1/1010 = 1/1018, dan terhadap keempat obat lini pertama adalah 1/10 33. Secara matematis hal ini mungkin terlalu meremehkan, tetapi perhitungan diatas menjelaskan mengenai manfaat terapi kombinasi. Rasionalisasi teoritis mengenai terapi kombinasi (rejimen terapi) adalah sebagai berikut: Obat yang berbeda dalam satu rejimen memiliki mekanisme aksi yang berbeda pula. INH memiliki aksi bakteriosida dalam replikasi bakteri. EMB memiliki aksi bakteriostatik pada dosis rendah, tetapi digunakan dalam terapi TB pada dosis tinggi (bakteriosida). RMP memiliki aksi bakteriosida dan efek sterilisasi. PZA memiliki aksi bakteriosida lemah, tetapi sangat efektif melawan bakteri dalam lingkungan asam, intra makrofag, atau di daerah yang inflamasi akut. DOTS adalah singkatan dari Directly Observed Therapy, Short-course dan menjadi program utama dalam The WHO Global Plan to Stop TB. Strategi DOTS mempunyai 5 fokus penting yaitu:(5,6) •
Komitmen pemerintah dalam pengendalian TB
•
Diagnosis berdasarkan uji apusan mikroskopik sputum terhadap penderita dengan
gejala TB aktif •
Observasi langsung dalam pengelolan kemoterapi jangka pendek
•
Keterjangkauan obat berkualitas yang terjamin
•
Pencatatan dan pelaporan kasus kelola dan hasil pengobatan yang terstandar.
Gambar 1. Berbagai mekanisme aksi obat antituberkulosis Dikutip dari
Pengobatan dengan implementasi DOTS memiliki angka keberhasilan lebih dari 95% dan dapat mencegah perkembangan strain tuberkulosis multi drug resistant (MDR TB). WHO memperluas program DOTS pada tahun 1998 untuk mencakup pengelolaan MDR-TB yang disebut dengan DOTS-Plus. Implementasi DOTS-Plus membutuhkan kapasitas untuk melakukan uji kerentanan obat ( drug-susceptibility testing atau DST) dan ketersediaan OAT lini kedua disamping kebutuhan strategi DOTS yang dibahas sebelumnya. DOTS-Plus memang membutuhkan sumber daya yang lebih mahal dibandingkan DOTS, dan komitmen pemerintah dibutuhkan lebih besar bila
ingin mengimplementasikannya. Keterbatasan
sumber daya untuk implementasi DOTS-Plus akan menyebabkan ketimpangan dari keseluruhan program DOTS yang telah berjalan dan menurunkan standar perawatan program TB. (5,6) Surveilens bulanan sampai konversi kultur negatif direkomendasikan dalam strategi DOTS-Plus. Jika kultur tetap positif atau gejala TB tidak menyembuh sesudah 3 bulan pengelolaan, maka penderita perlu dire-evaluasi untuk kemungkinan terjadinya TB resisten atau ketidak- patuhan penderita dalam pengobatan. Jika kultur tidak mengalami konversi sesudah terapi 3 bulan, dokter dapat mempertimbangkan rujukan ke rumahsakit untuk memastikan pemantauan terapi yang ketat. (5,6)
Kelompok obat antituberkulosis
Obat anti tuberkulosis (OAT) lini pertama OAT lini pertama adalah agen kemoterapi tuberkulosis dengan khasiat (efikasi) tertinggi
dengan toksisitas rendah untuk
mencapai angka
kesembuhan tertinggi.
Keterjangkauan (biaya dan kontinuitas suplai) juga menjadi parameter kategori OAT lini pertama. Obat anti tuberkulosis (OAT) lini pertama yang termasuk dalam daftar rekomendasi WHO adalah: (5,6) •
Rifampisin (RIF)
•
Isoniazid (INH)
•
Ethambutol (EMB )
•
Pirazinamid (PZA)
•
Streptomisin (SM)
OAT lini kedua Alasan penamaan lini kedua atau ketiga antara lain adalah potensi yang lebih rendah dari lini pertama (seperti p-aminosalicylic acid / PAS); atau mempunyai toksisitas (seperti sikloserin); atau tidak dapat dijangkau di beberapa negara berkembang (fluoroquinolon), seperti: •
Aminoglikosida: streptomisin (SM), amikasin (AMK), kanamisin (KM).
Masalah biaya dan profil toksisitas dipertimbangkan dalam pemilihan obat golongan aminoglikosida atau polipeptida sebagai rejimen anti-TB. Streptomisin (SM) dan kanamisin yang paling murah harganya. Sudah banyak data uji klinis yang mendukung penggunaan SM. Tetapi resistensi SM adalah salah satu resistensi terbanyak di dunia. Amikasin memiliki aktifitas in vitro melawan M. tuberkulosis yang sangat baik, tetapi lebih mahal dan nyeri injeksi yang lebih hebat dibandingkan SM. Amikasin mempunyai kadar serum yang lebih tinggi dibandingkan SM, kanamisin, atau kapreomisin dan ditoleransi dengan baik untuk terapi jangka panjang.
(Curry, FJ)
Dosis optimal adalah 15
mg/kg, biasanya 750 mg - 1 g, diberikan secara injeksi intramuskuler dalam setiap hari atau 5 hari seminggu. Rasa tidak nyaman dapat dikurangi dengan injeksi rotasi di tempat suntikan. Durasi terapi harian biasanya selama 3-4 bulan. Bila diperlukan, obat dapat diberikan dengan dosis sama secara intermiten 2 atau 3 kali seminggu selama fase lanjutan dibawah pemantauan ketat akan efek samping. •
Polipeptida : kapreomisin , viomisin , enviomisin .
Efek bakterisida pada strain resisten streptomisin, kanamisin dan amikasin tanpa reaksi resistensi silang dengan aminoglikosida lainnya. Kapreomisin juga berharga mahal, tetapi ditoleransi dengan baik untuk terapi jangka panjang. Gangguan elektrolit (hipokalemia, hipokalsemia dan hipomagnesemia) dapat terjadi pada pemberian kapreomisin, sehingga diperlukan pemantauan ketat.
(10)
Dosis rata-rata adalah 1g sekali sehari dan tidak melebihi dari 20 mg/kg, selama 40-120 hari lalu dosis obat diturunkan sampai 2-3 kali seminggu karena efek samping dapat timbul mendadak sesudah fase inisial. Efek samping obat meliputi tinnitus, vertigo dan gangguan pendengaran yang lebih ringan. Golongan polipeptida dikontraindikasi untuk kehamilan dan sebaiknya dihindari pada anak-anak. (5) •
Fluoroquinolon: siprofloksasin (CIP), levofloksasin, moxifloksasin (MXF)
Hanya sedikit data klinik mengenai pemilihan obat golongan fluoroquinolon, levofloxacin telah digunakan secara luas untuk pengobatan TB resisten. Masih belum cukup data penelitian mengenai dugaan levofloksacin mungkin lebih berkhasiat dibandingkan ofloxacin untuk TB resisten. (10) Siprofloksacin adalah yang paling lemah potensinya dari golongan fluoroquinolon dan tidak digunakan untuk mengelola TB resisten OAT. Moxifloxacin memiliki aktifitas in vitro yang lebih baik dibandingkan levofloksacin, ofloksacin, dan siprofloksacin untuk melawan M. tuberkulosis. Penelitian terakhir membuktikan bahwa moksifloksacin memiliki aktifitas bakterisidal dan efek sterilisasi.
(Curry, FJ)
Dosis harian ofloksasin antara
600-800 mg (3-4 tablet) atau CIP antara 1-1,5 g (4-6 tablet) selama fase inisial. Dosis harian dapat diturunkan (400 mg untuk ofloksasin) selama fase lanjutan pada penderita yang intoleran. Obat ini dapat diberikan secara tunggal (pada DOTS) atau dosis terbagi dengan interval 12 jam. (5) Dosis levofloxacin dapat dinaikkan sampai 1 gram/hari atau lebih tergantung kasus dan dapat
ditoleransi
dengan baik.
Dosis
moxifloxacin sebaiknya tidak
melebihi
rekomendasi Food and ObatAdministration (FDA) terlebih bila tanpa pemantauan kadar obat dalam serum. (10) •
Sikloserin (dan terizidon: gabungan 2 molekul sikloserin)
Obat ini penting dalam pencegahan resistensi atau terapi alternatif untuk resistensi obat anti-TB pada era pra-rifampisin dan saat ini. Belum pernah ditemukan resistensi silang sikloserin terhadap obat lain. Rekomendasi dosis sikloserin adalah 250 mg di pagi hari dan 500 mg selang 12 jam, sedangkan untuk terizidon 300 mg dua kali sehari dengan interval 12 jam. (5)
Efek samping yang sering dilaporkan adalah gangguan susunan saraf pusat seperti vertigo, bicara pelo, kejang, nyeri kepala, tremor, insomnia, konfusi, gangguan mood (depresi dan percobaan bunuh diri). Pemberian obat harus disertai pengawasan fungsi ginjal. Untuk mengurangi efek SSP dapat diberikan piridoksin. Bila terjadi gangguan perilaku obat harus dihentikan, dan penderita sebaiknya diberikan obat sedatif ( minor tranquilizer ).(5) •
Tioamida: etionamida, protionamida
Jika terjadi resistensi INH pada konsentrasi serum yang rendah, organisme mungkin juga resisten terhadap etionamid. Mutasi pada reseptor inhA M. tuberkulosis dapat menyebabkan resistensi etionamid seperti isoniazid pada konsentrasi rendah. Pada situasi ini, etionamid bukan pilihan OAT lini kedua yang bijak, sebelum uji sensitifitas membuktikannya secara invitro. (10)
OAT lini ketiga •
Asam p-aminosalisilat (PAS atau P)
Obat ini dulu diberikan bersama isoniazid untuk mencegah resistensi INH. Penderita tidak menyukainya karena jumlah tablet yang banyak dan efek samping gastrointestinal yang ditimbulkan. Dosis harian adalah 150 mg/kg atau 10-12 g perhari dalam 2 kali pemberian atau 10-12 tablet setiap 12 jam. Hipokalemia, efek anti-tiroid, gagal ginjal dan reaksi hipersensitivitas (kulit dan disfungsi hepar) juga pernah dilaporkan. Para-aminosalisilat (PAS), etionamid, dan sikloserin dikenal sebagai bakteriostatik (etionamid mungkin bakterisidal lemah pada dosis yang lebih besar). Hanya sedikit data pendukung superioritas efikasi satu sama lainnya. Keputusan pemilihan OAT harus berdasarkan pada profil efek samping dan khusus untuk sikloserin, ketersediaan sarana untuk memeriksa kadar obat dalam serum. Pakar merekomendasikan obat anti-TB lini ketiga golongan lain seperti imipenem, klofazimin, amoxicillin/clavulanate potassium, clarithromycin, azithromycin, dan linezolid, karena terbukti memiliki aktifitas in vitro melawan M. tuberkulosis, tetapi hanya sedikit data klinik yang mendukung penggunaannya. Sebagian besar obat lini ketiga berharga mahal, dan pada beberapa kasus membutuhkan pemberian intravena. (1) Sebuah penelitian membuktikan aktifitas imipenem in vitro dan pada penderita MDRTB. Linezolid disebut sebagai obat aktif dalam beberapa laporan tetapi sering menyebabkan neuropati perifer yang bersifat parsial reversibel dan neuritis optikus yang reversibel. Obat
lini ketiga sebaiknya diberikan bersama konsultasi dokter pakar yang berpengalaman dalam pengelolaan TB resisten. (1,5,6) Beberapa obat baru sedang diteliti dan menjanjikan harapan dalam pengelolaan TB yang resisten. Senyawa PA-824 yang merupakan derivat nitroimidazole memiliki aktifitas bakterisidal dan sterilisasi pada mencit. TMC-207, derivat diarylquinoline, merupakan antituberkulosis dengan
target ATP synthase. TMC-207 memiliki aktifitas yang signifikan
melawan strain M. tuberkulosis baik yang sensitif dan resisten. OPC-67683 merupakan derivat nitroimidazo-oxazole juga memiliki aktifitas bakterisidal dan sterilisasi terhadap M. tuberkulosis. Semua senyawa diatas dalam fase I dan II uji klinik pada penderita tuberkulosis dan MDR-TB. Resistensi silang diantara senyawa diatas belum diteliti. Terdiri dari obat anti TB yang tidak termasuk dalam daftar lini kedua dari WHO yaitu: •
Rifabutin
•
Makrolid: clarithromycin (CLR)
•
Linezolid (LZD)
•
Tio-asetazon (T)
•
Tioridazin
•
Arginine
•
R207910
•
Vitamin D Daftar OAT lini ketiga yang disebutkan diatas adalah karena tidak terlalu efektif
(seperti clarithromycin) atau efikasinya belum terbukti (seperti linezolid, R207910). Rifabutin cukup efektif, tetapi tidak termasuk dalam rekomendasi WHO karena harga yang terlalu mahal untuk sebagian besar negara berkembang. Semua OAT suntik diberikan 5-7 kali seminggu secara intramuskuler atau melalui kateter vena selama fase inisial. Sesudah 2-6 bulan, obat suntik diberikan 3 kali seminggu. Obat suntik sebaiknya dilanjutkan sampai sekurangnya 6 bulan dan lebih lama lagi bila penderita mengalami penyakit yang berat, respons mikrobiologis yang lambat, atau resistensi yang bertambah.
Tabel 4. Resistensi silang obat antituberkulosis Obat Isoniazid
Resistensi silang Etionamid
Komentar Resistensi silang terhadap etionamid mungkin terjadi bila sudah terjadi resistensi isoniazid tingkat rendah.
Rifampisin
Golongan rifampisin
Resistensi silang antara obat golongan rifampisin
lainnya
bersifat khas. Pada beberapa strain yang resisten rifampisin, rifabutin mungkin juga resisten secara in vitro.
Ethambutol Pirazinamid Streptomisin Amikasin
Kanamisin
Kecenderungan yang kuat terjadinya resistensi silang
Amikasin
adalah berhubungan dengan kesamaan mutasi . Kecenderungan yang kuat terjadinya resistensi silang
Amikasin/Kanamisin
adalah berhubungan dengan kesamaan mutasi . Pernah dilaporkan frekuensi resistensi silang yang
Fluoroquinolo
Obat golongan
bervariasi Telah ditemukan adanya resistensi silang komplit
n
fluoroquinolon lainnya
secara in-vitro dari obat golongan fluoroquinolon.
Kanamisin Kapreomisin
Tetapi data-data mendukung bahwa moxifloxacin masih menunjukkan aktivitas antituberkulosis walaupun terjadi resistensi in-vitro terhadap ofloxacin. Sikloserin PAS Etionamid
Isoniazid
Resistensi silang terhadap isonianid mungkin terjadi bila sudah terjadi resistensi etionamid tingkat rendah.
Klofazimin
Dikutip dari (10)
Pengobatan monoresistent dan poliresisten tuberkulosis
Perencanaan rejimen untuk penderita mono- dan poli-resisten membutuhkan pengalaman dokter, dan direkomendasikan pada institusi kesehatan lengkap dengan infrastruktur yang baik dan cakap dalam pengelolaan DRTB. Desain pengelolaan individual sering kali ditentukan oleh panel pakar spesialis yang terlatih untuk pengelolaan tuberkulosis resisten. Panel tersebut menelaah riwayat pengobatan penderita, pola DST dan kemungkinan resistensi didapat oleh strain baru M. tuberculosis, kemudian menentukan rejimen yang rasional. Untuk pusat pelayanan TB yang tidak memiliki panel pakar, pengelolaan DRTB mungkin akan gagal. (10) Penelitian acak atau terkontrol yang dapat dijadikan sebagai panduan terapi definitif terbaik untuk DRTB belum pernah dilakukan, kecuali TB monoresisten untuk streptomisin. Rekomendasi yang diperoleh selama ini berdasarkan bukti penelitian pada era pra-rifampisin, prinsip dasar mikrobiologi dan terapeutik pada TB, ekstrapolasi dari bukti ilmiah dan opini pakar. (10)
Modifikasi dari rejimen kemoterapi standar jangka pendek harus diberikan sejak awal pengobatan untuk meningkatkan angka kesembuhan. Penggunaan obat yang paling efektif tidak boleh ditunda. Tabel dapat menjadi acuan penentuan rejimen berdasarkan pola DST tertentu. Penggunaan obat pada tabel harus dipastikan untuk penderita TB dengan jenis resistensi didapat. (10) Ekuivalen fungsional merupakan asumsi jumlah obat pada rejimen yang telah diberikan dan masih efektif selama terjadinya periode resistensi obat. Periode ekuivalen fungsional adalah rentang waktu antara kecurigaan sampai terbuktinya resistensi. Resistensi yang berlangsung lama (biasanya satu bulan) menyebabkan ekuivalen fungsional penderita adalah satu obat saja. Uji sensitifitas obat (DST) hanya mencerminkan populasi bakteri secara akurat pada waktu sampel dikumpulkan. Rejimen pada tabel berdasarkan asumsi bahwa pola resistensi obat tidak berubah selama rentang waktu pengujian. Tabel rekomendasi dibawah sebaiknya tidak diterapkan jika resistensi berkembang pada seluruh rejimen sebelumnya dicurigai. Tingkat akurasi (level of confidence) pengujian yang tinggi juga menjadi pertimbangan penggunaan rejimen yang direkomendasikan. Seleksi rejimen OAT pada tuberkulosis monodan poli-resisten sebaiknya berdasarkan pola resitensi OAT, obat yang pernah dikonsumsi penderita, adanya penyakit penyerta, riwayat adanya efek samping obat.
(1)
Pemeriksaan
kultur sputum dan DST sebelum penentuan rejimen adalah mutlak dan penyaringan resistensi terhadap isoniazid dan atau rifampisin menjadi prioritas.
(13)
Pengobatan tidak boleh ditunda pada penderita TB resisten selama periode ekuivalen fungsional. Pada beberapa situasi ketika terapi TB resisten harus secepatnya diawali dan hasil DST belum ada, seperti:
(10)
•
Penderita gagal terapi (kultur TB tetap positif sesudah 4 bulan terapi OAT).
•
Penderita TB dengan riwayat terapi OAT sebelumnya (kambuh).
•
Penderita TB dengan riwayat kontak dengan kasus TB resisten OAT.
•
Penderita TB yang lahir atau tinggal di daerah mana dengan prevalensi TB resisten
yang tinggi. Rejimen terapi dapat diganti jika hasil DST sudah ada. Rejimen OAT yang direkomendasikan sebagai berikut. (5,6)
Mycobacterium tuberkulosis monoresistensi
Monoresistensi isoniazid (INH atau H)
Riwayat pengobatan TB aktif atau laten berhubungan dengan monoresistensi INH sesudahnya. Cattamanchi et.al. tahun 2009 menemukan bahwa hasil terapi pada kasus monoresistensi INH adalah sangat baik dan tidak berbeda dengan kasus suseptibel. Rejimen yang digunakan adalah 2HREZ/4REZ dan 2HREZ/7–10 RE (untuk penderita yang intoleran terhadap pirazinamid).
(12)
Rejimen terapi yang efektif untuk penderita resistensi INH tunggal
saat ini sudah tersedia. Sedikitnya ada 3 pilihannya yaitu
(10)
:
1. Rejimen terapi harian rifampisin (R), ethambutol (E), dan pirazinamid (Z),
kesemuanya diberikan selama 6-9 bulan tergantung respon mikrobiologik, klinis, dan radiografik terhadap terapi. Bila terapi dimulai dengan rejimen 4 jenis obat, maka H dapat dihentikan jika resistensi telah terbukti. RIF, EMB, dan PZA tetap diberikan. Angka kesembuhan dengan 3 rejimen OAT terbukti masih tinggi. 2. Penambahan
fluoroquinolon (FQN) dapat diberikan untuk penderita dengan
tuberkulosis paru berat, terapi sebaiknya dilanjutkan setiap hari selama sekurangnya 6 bulan. 3. Penderita yang mengalami intoleransi PZA, rejimen yang mengandung RIF dan EMB
selama 12 bulan juga efektif. FQN dapat ditambahkan, terutama selama fase inisial, bahkan beberapa pakar melanjutkan FQN hingga akhir pengobatan khususnya pada penderita dengan yang resisten atau intoleransi dengan PZA. Rejimen jangka pendek yang baru mungkin diperlukan untuk sebagian kecil penderita yang tidak menyelesaikan terapi sebelumnya karena intoleransi pirazinamid.
(Cattamanchi A)
Monoresistensi rifampisin (RIF atau R) Monoresistensi rifampisin sangat jarang terjadi. Tanpa rifampisin, maka dibutuhkan durasi terapi yang lebih panjang. Resistensi rifampisin pada sebagian besar kasus berhubungan dengan resistensi silang terhadap rifabutin dan rifapentine. Lebih dari 80% strain yang resisten rifampisin juga resisten terhadap rifabutin. Pernah juga didokumentasikan penggunaan rifabutin sesudah DST untuk rifampisin terbukti. Resistensi rifapentine lumrah ditemukan pada isolat resisten rifampisin. TB resisten rifampisin dapat diobati dengan sekurangnya 3 rejimen berbeda. 1. Rejimen terapi terdiri dari H, E, dan FQN selama 12–18 bulan, ditambah suplemen Z
selama 2 bulan minimal. 2. Pada penderita dengan kavitas paru yang luas, atau untuk mempersingkat durasi
pengobatan (misalnya, 12 bulan) direkomendasikan untuk menambahkan 1 macam obat suntik pada rejimen pilihan pertama selama 2 bulan pertama.
3. Rejimen terapi alternatif yang terdiri dari H, Z, dan streptomisin (S) atau golongan
aminoglikosida / polipeptida lainnya selama 9 bulan dapat memberikan hasil yang menjanjikan. Walaupun demikian, pemberian obat suntik jangka panjang mungkin tidak memungkinkan pada beberapa penderita.
Monoresistensi ethambutol (EMB atau E), pirazinamid (PZA atau Z), atau streptomisin (SM atau S) Resistensi tunggal terhadap E, Z, atau S akan berpengaruh sedikit terhadap efikasi rejimen pengganti dan penghentian E atau S tidak akan menurunkan atau menurunkan khasiat (efikasi) dan memperpanjang durasi pengobatan. Tidak digunakannya Z setidaknya memerlukan perpanjangan durasi terapi dengan INH dan rifampisin sampai 3 bulan, jadi durasi total menjadi 9 bulan. Sebagian besar monoresistensi PZA adalah karena ditemukannya M. bovis pada isolat. Tabel Dosis Rekomendasi OAT Lini Pertama untuk Dewasa Dosis rekomendasi Harian 3 kali seminggu Dosis dan rentang Maksimum Dosis dan rentang Maksimum harian (mg/kg BB) (mg) (mg/kg BB) (mg) Isoniazid 5 (4–6) 300 10 (8–12) 900 Rifampisin 10 (8–12) 600 10 (8–12) 600 Pirazinamid 25 (20–30) – 35 (30–40) – Ethambutol 15 (15–20) – 30 (25–35) – Streptomisina 15 (12–18) 15 (12–18) 1000 a (1) Penderita berusia lebih dari 60 tahun mungkin tidak mentoleransi dosis lebih dari 500–750 mg/hari, beberapa panduan merekomendasi pengurangan dosis sampai 10 mg/kg/hari. (2) Penderita dengan berat badan kurang dari 50 kg mungkin tidak mentoleransi dosis lebih dari 500–750 mg/hari. OBAT
Dikutip dari (6)
Tabel Dosis OAT lini pertama pada dewasa dan anak-anak Obat Isoniazid Rifampisin Pirazinamid Ethambutol Streptomisin
Dosis rekomendasi (mg/kg) (rentang dosis) Harian 3 x seminggu 5 (4–6), maksimum 300 sehari 10 10 (8–12), maksimum 600 sehari 10 (8–12), maksimum 600 sehari 25 (20–30) 35 (30–40) Anak 20 (15–25)* 30 (25–35) Dewasa 15 (15–20) 15 (12–18)
15 (12–18)
*Dosis harian yang direkomendasikan untuk ethambutol lebih besar pada anak-anak (20 mg/kg) dibandingkan dewasa (15mg/kg), karena perbedaan farmakokinetik. Kadar puncak plasma ethambutol lebih rendah pada anak-anak pada dosis yang sama.
Dikutip dari (14) Tabel . Dosis OAT Lini Kedua dan Ketiga Nama Obat (Akronim) Amikasin (Am) Kapreomisin (Cm) Siprofloksasin (Cx) Sikloserin (Cs) Ethionamid (Et) Kanamisin (Km) Ofloxacin (O) Asam p-aminosalisilat (PAS) Protionamid (Pt) a
Mekanisme aksi Bakterisida Bakterisida Bakterisida Bakteriostatik Bakterisida Bakterisida Bakterisida Bakteriostatik Bakterisida
Dosis rekomendasi harian a Rata-rata (mg/kg) Minimum (mg) Maksimum (mg) 15 750 1000 15 750 1000 10–20 1000 1500 10–20 500 750 10–20 500 750 15 750 1000 7.5–15 600 800 150 8g 12 g 10–20 500 750
Rejimen tiga kali seminggu tidak direkomendasikan Dikutip dari (5)
Mycobacterium Tuberkulosis Poliresistensi
Tuberkulosis poliresisten adalah TB yang disebabkan oleh organisme yang terbukti resisten secara invitro terhadap lebih dari 1 jenis obat antituberkulosis selain isoniazid dan rifampisin. Resistensi terhadap beberapa jenis OAT dapat terjadi bersamaan, tetapi hasil pengobatan biasanya baik. Rejimen OAT pengganti sebaiknya meliputi semua obat lini pertama bila memungkinkan, ditambah golongan fluoroquinolon, dan obat suntik pada beberapa kasus.
Tabel 2. Rejimen terapi untuk penatalaksanan TB Monoresisten dan Poliresisten Pola resistensi
Rejimen yang dianjurkan
Durasi terapi minimal (bulan)
Komentar
Fluoroquinolon (FQN) mungkin H (± S)
R+Z+E
6–9
memperkuat rejimen untuk penderita dengan penyakit yang berat. Durasi yang lebih lama
H+Z H+E
R + E + FQN R + Z + FQN
9–12
direkomendasikan untuk penderita
9–12
dengan penyakit yang berat. Durasi yang lebih lama direkomen-
dasikan untuk penderita dengan
H + E + FQN, plus Z selama
R
sekurangnya2 bulan
penyakit yang berat. Obat suntik mungkin memperkuat 12–18
penyakit yang berat. Durasi pemberian obat suntik yang
H + PZA + FQN, plus 1 jenis obat
R + E (±
suntik selama sekurangnya 2–3 bulan
S)
18
pertama
suntik selama sekurangnya 2–3 bulan
S)
18
pertama.
kedua, plus 1 jenis obat suntik
(± S)
selama sekurangnya 2–3 bulan
18
pertama. Z
Fase inisial: H, R plus E selama sekurangnya 2 bulan.
memperkuat rejimen untuk penderita
lebih lama (6 bulan) mungkin memperkuat rejimen untuk penderita dengan penyakit yang berat. Durasi pemberian obat suntik yang
R, FQN, plus 1 jenis obat oral lini H+E+Z
lebih lama (6 bulan) mungkin
dengan penyakit yang berat. Durasi pemberian obat suntik yang
H + E + FQN, plus 1 jenis obat
R + Z (±
rejimen untuk penderita dengan
lebih lama (6 bulan) mungkin memperkuat rejimen untuk penderita dengan penyakit yang berat. Pola resistensi yang sering
9
ditemukan pada infeksi oleh M. bovis.
Dikutip dari (10)
Beberapa pertimbangan dalam pengobatan DRTB: •
Obat yang terbukti gagal dalam pengelolaan TB sebelumnya harus dihindari Berdasarkan data dari National Jewish Medical and Research Center dilaporkan bahwa terdapat penurunan efikasi obat yang pernah digunakan, sesudah 1 bulan pemberiannya walaupun DST in vitro membuktikan masih sensitif. Walaupun demikian, sebagian besar pakar merekomendasi obat lini pertama tetap diberikan dengan catatan DST menunjukkan isolat masih sensitif terhadap regimen lini pertama.
•
(Curry, FJ)
Pertimbangkan efek samping dalam pemilihan obat Sebagai contoh, pada penderita yang mengalami penurunan faal tubuh, sikloserin sangat bijaksana untuk dihindari. Sebisa mungkin hindari pemberian rejimen OAT dengan profil toksisitas yang sama. Contohnya, kombinasi PAS dan etionamid memperbesar resiko hipotiroidisme. Sebaliknya, bila tidak ada pilihan lain karena hanya OAT tertentu yang masih sensitif, maka OAT tersebut tetap diberikan dan hipotiroidisme dapat dikelola dengan terapi pengganti hormon tiroid selama pemberian OAT. Pada penderita dengan penyakit ginjal atau hepatik, OAT tertentu mungkin lebih aman diberikan. Pada akhirnya, OAT teraman dan paling efektif harus diutamakan. Pemantauan efek samping OAT, seperti aminoglikosida / polipeptida, perlu dihentikan pemberiannya walaupun terapi TB
belum selesai. Lalu penderita dipastikan memulai terapi rejimen oral OAT dengan jumlah yang cukup (sekurangnya 3-5 jenis) sesudah penghentian OAT suntik.
(Curry, FJ)
Panduan WHO edisi keempat tahun 2010 membuat rekomendasi yang fundamental dalam pengelolaan penderita dengan riwayat terapi TB sebelumnya. Perbedaan ini mencakup: •
Untuk penderita baru yang tinggal dalam populasi dengan resistensi INH yang tinggi tetapi hasil DST untuk isoniazid belum diperoleh pada saat dimulainya fase lanjutan, WHO merekomendasikan pemberian ethambutol, rifampicin, dan isoniazid yang lebih panjang. Rekomendasi ini bersifat kondisional.
•
Pada seluruh
penderita dengan riwayat terapi TB sebelumnya,
WHO
sangat
merekomendasikan pemeriksaan DST sebelum atau dimulainya terapi. •
Penderita dengan riwayat terapi TB sebelumnya diidentikkan sebagai penderita dengan kecenderungan MDR-TB. Rekomendasi rejimen terapi dipengaruhi oleh status atau alasan diperlukannya pengelolaan ulang (gagal, kambuh dan tidak memenuhi syarat atau default ).
•
Rejimen empirik standar untuk MDR-TB sebelum adanya hasil DST, direkomendasikan oleh WHO untuk pengobatan penderita dengan kecenderungan MDR terutama di negaranegara yang menggunakan DST konvensional. Rejimen terapi disesuaikan kembali sesudah hasil DST sudah ada.
•
WHO memiliki daftar rejimen MDR empirik standar untuk pengelolaan penderita dengan kecenderungan MDR-TB berdasarkan masing-masing negara yang mengaplikasikan DOTS.
•
Dengan adanya sistim / mekanisme pendanaan internasional tertentu, maka alasan ketiadaan sumber daya dalam pengelolaan MDR untuk menyediakan rejimen lini pertama retreatment (dahulu disebut dengan rejimen kategori 2) tidak dapat diterima.
•
National TB control Programmes (NTPs) membedakan tingkat resistensi multi-obat (rendah, sedang dan tinggi untuk masing-masing negara) berdasarkan tingkat MDR pada kelompok spesifik penderita, ketersediaan sumberdaya pengelolaan MDR, dan frekuensi kondisi penyerta lain (seperti HIV) yang memperbesar resiko kematian jangka pendek untuk MDR-TB.
•
WHO membuat survei resistensi obat berbagai negara berdasarkan estimasi tingkat MDR dan data lain yang berguna sebagai informasi dalam penentuan rejimen standar untuk pengelolaan bermacam-macam kelompok penderita.
•
Dosis intermiten selama 8 bulan dengan OAT lini pertama tidak lagi menjadi pilihan terapi pada penderita dengan riwayat terapi TB sebelumnya. Ketaatan pasien dapat dievaluasi secara obyektif dengan uji analisis urin untuk kadar
isoniazid dan rifampisin. Interpretasi analisis urin berdasarkan fakta bahwa waktu paruh isoniazid lebih panjang dibandingkan rifampisin: •
Urin positif untuk isoniazid dan rifampisin
•
Urin positif untuk isoniazid saja
à
à
kemungkinan penderita patuh.
penderita minum obat terakhir , beberapa hari sebelum
datang ke klinik, tetapi obat belum diminum pada hari itu. •
Urin positif untuk rifampisin saja
à
penderita tidak minum obat dalam beberapa terakhir,
tetapi baru diminum sebelum datang ke klinik. •
Urin negatif untuk isoniazid dan rifampisin
à
penderita belum minum obat selama
beberapa hari.
Kesimpulan
1.
Semua penderita dengan riwayat pengobatan TB sebelumnya dan kembali untuk pengobatan kembali harus dicurigai sebagai kasus TB resistensi obat.
2.
Resistensi obat anti TB dapat terjadi secara primer dan didapat.
3.
Pemilihan rejimen terapi pada penderita TB resisten akan dipengaruhi oleh hasil DST in vitro, OAT yang sudah diberikan sebelumnya dan biaya.
4.
Penderita yang dicurigai telah resisten harus mendapatkan terapi jika didapatkan gejala penyakit TB yang berat tetapi hasil DST belum diperoleh.
5.
Data surveilens pola resistensi di suatu daerah turut mempengaruhi kebijaksanaan rejimen standar empirik sebelum hasil DST diperoleh.
6.
Perencanaan rejimen pengobatan pada DRTB harus berdasarkan hasil kultur dan pola DST.
7.
Intoleransi terhadap satu OAT tidak selalu berarti intoleransi dengan obat lainnya.
8.
Obat anti tuberkulosis oral atau intravena lini kedua mungkin diperlukan berdasarkan pola resistensinya.
9.
OAT lini ketiga tidak diperlukan pada pengobatan TB monoresistensi dan poliresistensi.
Daftar Kepustakaan 1. Winje BA, Mannsåker T, Langeland N, Heldal E. Drug resistance in tuberculosis, The
Journal of the Norwegian Medical Association, 2008; 128: 2588–92. 2. Green E, Obi C.L, Nchabeleng M, de Villiers B.E, Sein P.P, Letsoalo T, Hoosen A.A,
Bessong P.O, Ndip R.N. Drug-susceptibility Patterns of Mycobacterium tuberculosis in Mpumalanga Province, South Africa: Possible Guiding Design of Retreatment Regimen, J. Health Popul Nutr; 28(1):7-13, 2010, New Delhi. 3. Bai GH, Park YK, Choi YW. Trend of anti-tuberculosis drug-resistance in Korea, 1994–
2004. Int J Tuberc Lung Dis 2007; 11: 571–5 4. Schluger NW. Tuberculosis drug resistance in Europe: sunny days, but clouds on the
horizon?, Eur Respir J 2007; 30: 825–827 5. World Health Organization.
in Treatment of Tuberculosis : Guide For National
Programmes, 3 rd ed. WHO Press, 2003, Switzerland, 6. World Health Organization. Standard treatment regimens, in Treatment of tuberculosis:
guidelines, 4th ed. WHO Press, 2010, Switzerland, p. 29-52 7. The Government of Nepal Ministry of Health and Population. Drug Resistant Tuber-
culosis Management Guidelines and Manual, 2 nd revision, June 2010. 8. Gagneux S. Evolutionary forces in Mycobacterium tuberculosis. European Society of
Mycobacteriology 30 th Annual Congress, 2009, p. S.21-26 9. Drobniewski F, Balabanova Y, Nikolayevsky V, Ruddy M, Kuznetzov S, Zakharova S,
Melentyev A, Fedorin I. Drug-Resistant Tuberculosis, Clinical Virulence, and the Dominance of the Beijing Strain Family in Russia, JAMA. 2005;293:2726-2731 10. Curry FJ. Drug-resistant tuberculosis: A survival guide for clinicians. National
Tuberculosis Center and California Department of Health Services, San Francisco: 2004; p. 32-4 11. Vernon A, Burman W, Benator D, Khan A, Bozeman L. Acquired rifamycin
monoresistance in patients with HIV-related tuberculosis treated with once-weekly rifapentine and isoniazid, The Lancet. Vol 353. May 29, 1999, p. 1843- 47 12. Cattamanchi A, Dantes RB, Metcalfe JZ, Jarlsberg LJ, Grinsdale J, Kawamura LM,
Osmond D, Hopewell PC, Nahid P. Clinical Characteristics and Treatment Outcomes of Isoniazid Mono-Resistant Tuberculosis, Clin Infect Dis. 2009 January 15; 48(2): 179–185
13. Kimerling M E, Slavuckij A, Chavers S, Peremtin G G, Tonkel T, Sirotkina O,
Golubchikova V, Baddeley A. The risk of MDR-TB and polyresistant tuberculosis among the civilian population of Tomsk city, Siberia, Int J Tuberc Lung Dis. 1999, 7(9):866–72 14. Standard for Treatment, in International Standards for Tuberculosis Care: Diagnosis,
Treatment and Public Health, USAID, California, 2006. p. 29-43. 15.
Tabel 3. Hasil DST M. tuberculosis di Norwegia tahun 2002–2006 Tahun pelaporan 2004 2005 2006 Isoniazid (H) 10 9 7 Rifampisin (R) 1 Monoresistensi Ethambutol (E) 2 2 1 Streptomisin (S) 8 21 19 20 14 Jumlah total mono resistensi 13 31 30 31 22 H+R 3 1 2 H+R+E 1 2 Multiresistensi H+R+S 2 3 1 H+R+E+S 1 2 2 Jumlah total multi- resistensi 7 3 4 3* 3 H+S 8 10 4 7 15 Poli-resistensi H+E 1 1 H+E+S 4 2 1 1 Jumlah total poli-resistensi 12 12 5 8 17 Jumlah pasien yang dilakukan DST 192 273 246 214 225 Jumlah (%) pasien yang dilaporkan resistensi 32 (17) 46 (17) 39 (16) 42 (20) 42 (19) ¼ pasien dengan multi-resistensi yang dilaporkan tahun 2005, satu pasien didiagnosis dan memulai terapi diluar Resistensi
Obat
2002 3
2003 8 2
Norwegia *tidak dikultur di Norwegia
Dikutip dari (1)