Tujuan : Memahami cara penetapan indeks pembusaan simplisia serta dapat mengetahui manfaat dari penetapan indeks pembusaan Alat dan Bahan: -
Timbangan analitis Beaker glass Pemanas Labu takar Pipet ukur Stopwatch Corong kaca Penggaris Tabung reaksi bertutup Kertas saring
Bahan: -
Simplisia daun saga Aquadest
Data Pengamatan: Data pengamatan Penetapan indeks pembusaan No 1
Gambar
Keterangan Dihaluskan simplisia yang akan digunakan yaitu daun saga, Morfologi tanaman : Daun majemuk, berbentuk bulat telur serta berukuran kecil-kecil. Daun saga bersirip ganjil dan memiliki rasa agak manis.
2
Ditimbang simplisia yang telah dihaluskan seberat 1,007 gram
3
Dimasukkan simlpisia yang telah ditimbang dalam aquadest 100 mL yang telah didihkan dan ditunggu 30 menit sampai larutan berwarna coklat pekat.
4
Saring larutan yang telah di direbus, supaya terpisah antara residu dan filtratnya.
5
Filtrat yang didapat sebanyak 15 mL.
6
Pada tabung 1 : Diasukkan 1 mL rebusan simplisia dan ditambahkan 9 mL aquadest kemudian dikocok selama 15 detik, frekuensi pengocokan 2 kali / detik. Setelah didiamkan tidak terlihat ada busa yang terbentuk.
7
Pada tabung 2 : Dimasukkan 2 mL rebusan simplisia dan ditambahkan 8 mL aquadest kemudian di kocok selama 15 detik, frekuenzi pengocokan 2kali / detik. Setelah didiamkan tidak terlihat ada busa yang terbentuk.
8
Pada tabung 3 : Dimasukkan 3 mL rebusan simplisia dan ditambahkan 7 mL aquadest kemudian dikocok selama 15 detik, frekuensi pengocokan 2 kali / detik. Setelah didiamkan terlihat ada busa yang terbentuk. Tinggi busa tersebut 0,2 cm.
9
Pada tabung 4 : Dimasukkan 4 mL rebusan simplisia dan ditambahkan 6 mL aquadest kemudian dikocok selama 15 detik, frekuensi pengocokan 2 kali / detik. Setelah didiamkan terlihat ada busa yang terbentuk. Tinggi busa tersebut 0,5 cm.
10
Pada tabung 5 : Dimasukkan 5 mL rebusan simplisia dan ditambahkan 5 mL aquadest kemudian dikocok selama 15 detik, frekuensi pengocokan 2kali / detik. Setelah didiamkan terlihat ada busa yang terbentuk. Tinggi busa tersebut 0,5 cm.
11
Pada tabung 6 : Dimasukkan 6 mL rebusan simplisia dan ditambahkan 4 mL aquadest kemudian dikocok selama 15 detik, frekuensi pengocokan 2 kali / detik. Setelah didiamkan terlihat ada busa yang terbentuk. Tinggi busa tersebut 0,4 cm.
12
Pada tabung 7 : Dimasukkan 7 mL rebusan simplisia dan ditambahkan 3 mL aquadest kemudian dikocok selama 15 detik, frekuensi pengocokan 2 kali / detik. Setelah didiamkan terlihat ada busa yang terbentuk. Tinggi busa tersebut 0,5 cm.
13
Pada tabung 8 : Dimasukkan 8 mL rebusan simplisia dan ditambahkan 2 mL aquadest kemudian dikocok selama 15 detik, frekuensi pengocokan 2kali / detik. Setelah didiamkan terlihat ada busa yang terbentuk. Tinggi busa tersebut 0,8 cm.
14
Pada tabung 9 : Dimasukkan 9 mL rebusan simplisia dan ditambahkan 1 mL aquadest kemudian dikocok selama 15 detik, frekuensi pengocokan 2 kali / detik. Setelah didiamkan terlihat ada busa yang terbentuk. Tinggi busa tersebut 0,7 cm.
15
Pada tabung 10 : Dimasukkan 10 mL rebusan simplisia kemudian dikocok selama 15 detik, frekuensi pengocokan 2 kali / detik. Setelah didiamkan terlihat ada busa yang terbentuk. Tinggi busa tersebut 1 cm.
PERHITUNGAN
Rumus perhitungan indeks busa Indeks busa =
1000 a
:a
Keterangan
= volume (ml ) dekokta terpilih yang memiliki
Berdasarkan hasil pengamatan maka dekokta yang terpilih adalah dekokta di dalam tabung ke 10 maka perhitungan indeks busa dinyatakan sebagai berikut, Indeks busa =
=
1000 a
1000 10
= 100 Jadi indeks busa dari abri folium adalah 100
Pembahasan: Sifat yang khas dari saponin antara lain :
Berasa pahit Berbusa dalam air Mempunyai sifat detergen yang baik Mempunyai aktivitas hemolisis (merusak sel darah merah) Tidak beracun bagi binatang berdarah panas Mempunyai sifat anti eksudatif Mempunyai sifat anti inflamatori Berdasarkan sifat-sifat tersebut, senyawa saponin mempunyai kegunaan yang sangat
luas, antara lain sebagai detergen, pembentuk busa pada alat pemadam kebakaran, pembentuk busa pada industri sampo dan digunakan dalam industri farmasi serta dalam bidang fotografi. (Prihatman, 2001) Berdasarkan struktur aglikonnya (sapogeninnya), saponin dapat dibedakan menjadi 2 macam yaitu tipe steroid dan tipe triterpenoid.
a. Saponin steroid tersusun atas inti steroid (C27) dengan molekul karbohidrat. Steroid saponin dihidrolisis menghasilkan satu aglikon yang dikenal sebagai sapogenin. Tipe saponin ini memiliki efek antijamur. Pada binatang menunjukan penghambatan aktifitas otot polos. Saponin steroid diekskresikan setelah koagulasi dengan asam glukotonida dan digunakan sebagai bahan baku pada proses biosintetis obat kortikosteroid. Saponin jenis ini memiliki aglikon berupa steroid yang di peroleh dari metabolisme sekunder tumbuhan. Jembatan ini juga sering disebut dengan glikosida jantung, hal ini disebabkan karena
memiliki
efek
kuat
terhadap
jantung. (Amirt
Pal,2002).
Salah satu contoh saponin jenis ini adalah Asparagosida (Asparagus sarmentosus), Senyawa ini terkandung di dalam ttumbuhan Asparagus sarmentosus yang hidup dikawasan hutan kering afrika. Tanaman ini juga biasa digunkan sebagai obat anti nyeri dan rematik oleh orang afrika. (Amirt Pal,2002)
b. Saponin triterpenoid tersusun atas inti triterpenoid dengan molekul karbohidrat. Dihidrolisis menghasilkan suatu aglikon yang disebut sapogenin. Sapogenin ini merupakan suatu senyawa yang mudah dikristalkan lewat asetilasi sehingga dapat dimurnikan. Tipe saponin ini adalah turunan amyrine. (Amirt Pal,2002)
Salah satu jenis contoh saponin ini adalah asiatosida. Senyawa ini terdapat pada tumbuhan Gatu kola yang tumbuh didaerah India. Senyawa ini dapat dipakai sebagai antibiotik. (Amirt Pal,2002)
Indeks pembusaan adalah suatu pengujian untuk menentukan kadar saponin didalam simplisia dengan cara simplisia direbus dengan air kemudian dikocok hingga terbentuk busa yang dapat diukur. Nilai indeks pembusaan dapat mengindikasikan aman tidaknya suatu tanaman untuk dijadikan sediaan obat. Walau dapat melindungi tanaman terhadap mikroba dan jamur, pada beberapa tanaman (misalnya dari gandum dan bayam) juga dapat meningkatkan penyerapan gizi dan membantu pencernaan hewan. Namun pada konsentrasi tinggi seperti yang terdapat dalam lerak, ki sabun atau daun saga saponin memiliki efek toksin yang dapat mengancam kehidupan sebagian hewan (terutama hewan berdarah dingin). (Foerster,2006) Untuk manusia, saponin juga tidak bersifat toksik selama konsentrasinya tidak tinggi, dapat diketahui dari minuman seperti bir yang busanya disebabkan oleh saponin. Tetapi bila dijadikan sediaan obat, saponin yang merupakan glikosida yang bila dihidrolisa dengan
enzim menghasilkan tiosianat, isotiosianat dan bensilsianat yang merupakan racun dan mempunyai sifat antitiroid. (Nio, 1989) Pada percobaan ini dilakukan penetapan indeks pembusaan pada tanaman Abrus Precatorius L. Klasifikasi tanaman Abrus Precatorius L adalah sebagai berikut: Klasifikasi Daun Saga Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Bangsa
: Fabales
Suku
: Fabaceae
Marga
: Abrus
Jenis
: Abrus precatorius L.
Nama umum : Saga, Saga Manis Nama daerah : Thaga (Aceh); Seugew (Gayo); Saga (Batak); Parusa (Mentawai); Kundi (Minangkabau); Kanderi (Lampung); Kenderi (Melayu); Piling-piling saga (Sampit); Taning bajang (Dayak); Maat metan (Timor); Walipopo (Gorontalo); Punu no matiti (Buol); Saga (Makasar); Kaca (Bugis); War kamasin (Kai); Mati-mati (Waraka-Seram); Aliweue (Atamona Seram); Pikalo (Amahai Seram); Kaitasi (Muaulu); Ailalu Picar (Ambon); Pikal (Haruku); Pikolo (Saparua); Seklawan (Buru); Idisi ma lako (Loda Halmahera); ldihi ma lako (pagu-Halmahera); ldi-idi ma lako (Ternate Tidore); Punoi (Arafuru); Kalepip (Kalana).
Deskripsi Habitus berupa perdu merambat, membelit dengan panjang 6-9 m. Batang bulat, berkayu, percabangan simpodial, bila masih muda warnanya hijau dan setelah tua berwarna hijau kecoklatan. Daun majemuk, berselang-seling, menyirip ganjil, anak daun 8-18 pasang, bentuk daun bulat telur, ujung meruncing dan pangkalnya bulat, tepi daun rata dengan
panjang 6-25 mm dan lebar 3-8 mm, berwarna hijau. Bunga majemuk, berbentuk tandan, bagian bawah berkelamin dua, bagian atas hanya terdiri dari bunga jantan, kelopak bunga bergerigi pendek, berbulu, berwarna hijau, benang sari menyatu pada tabung, panjang tangkai sari ±1 cm, berwarna putih, warna kepala sari kuning, tajuk bunga bersayap, berkuku pendek, lebar ±1 cm, pangkal bunga berlekatan pada tabung sari, berwarna ungu muda hingga kemerah-merahan. Buah polong, panjangnya 2-5 cm, jumlah buah 3-6 buah dan berwarna hijau. Bentuk biji bulat telur, keras, panjangnya 6-7 mm dan tebalnya 4-5 mm, warnanya merah bernoda hitam. Akar tunggang dan berwarna coklat kotor. (Badan POM RI,2008) Prinsip dari penetapan indeks pembusaan ini yaitu sampel yang berupa simplisia yang telah dihaluskan terlebih dahulu direbus dalam air, didinginkan, dan kemudian disaring agar diperoleh sari daun saga. Untuk selanjutnya dibuat larutan seri pengenceran dan masing masing tabung reaksi dikocok ke arah memanjang selama 15 detik dengan frekuensi 2 kocokan per detik. Pertama-tama Daun saga dihaluskan menjadi serbuk kasar dan ditimbang sebanyak 1 gram. Fungsi penghalusan simplisia ini untuk meperluas permukaan daun saga sehingga memperbanyak kontak dengan air mendidih yang sudah disiapkan. Semakin luas permukaan daun saga maka akan semakin banyak daun yang kontak dengan air mendidih sehingga menyebabkan proses ekstraksi daun semakin baik. Semakin baik proses ekstraksi, maka saponin yang terlarut dalam air akan semakin banyak/sempurna. Kemudian dimasukkan simplisia daun saga ke dalam gelas kimia yang berisi 100 mL aquadest mendidih, dan didiamkan selama 30 menit. Pendidihan ini bertujuan agar kandungan yang terdapat pada daun saga dapat semuanya keluar terutama saponin. Perebusan simplisia ini disebut dekok dan hasilnya disebut dekokta (setelah disaring). Lalu simplisia daun saga didinginkan sampai suhu kamar, lalu baru dilakukan penyaringan dengan mengunakan kertas saring. Tetapi sebelum dilakukan penyaringan dengan menggunakan kertas saring, kertas saring sebelumnya harus dibilas dulu menggunakan air. Hal ini bertujuan agar ekstrak dari daun saga nya tidak akan menempel pada kertas saring sehingga ekstrak daun saga yang diperoleh akan semakin banyak. Pada proses penyaringan fasa cair hasil ekstraksi kurang dapat menembus kertas saring. Kemungkinan hal itu terjadi karena pori-pori kertas saring terlalu kecil sehingga kurang mampu ditembus oleh partikel larutan (fasa cair hasil ekstraksi) yang memiliki ukuran lebih besar. Oleh karena itu, pada praktikum ini, proses filtrasi atau penyaringan dilakukan dengan menggunakan kasa. Pada proses ekstraksi ini ekstrak daun
saga yang diperoleh adalah sebanyak 15 mL, dan kemudian digenapkan volume hingga 100 mL dengan penambahan aquadest. Setelah itu dibuat 10 larutan seri pengenceran dalam tabung reaksi dengan konsentrasi ekstrak daun saga yang bervariasi. Hal ini bertujuan agar dapat dipilih volume (mL) dekokta yang memiliki tinggi busa 1 cm sehingga dapat ditentukan indeks pembusaannya. Kemudian tabung reaksi ditutup dan dikocok ke arah memanjang selama 15 detik dengan frekuensi 2 kocokan perdetik. Pengocokan ini berfungsi agar terbentuk busa yang diakibatkan kontak air dengan saponin. Proses pengocokan larutan dengan berbagai variasi pengeceran harus dilakukan oleh satu orang dengan tangan yang sama. Hal ini perlu dilakukan supaya busa yang terbentuk valid secara kuantitatif berdasarkan kekuatan dan kecepatan pengocokan yang sama rata. Saponin merupakan detergen alami yang ditemukan di banyak tanaman serta merupakan glikosida non nitrogen, glikosida kompleks atau metabolit sekunder yang banyak terdapat di alam, terdiri dari gugus gula yang berikatan dengan aglikon atau sapogenin. Keberadaan saponin sangat mudah ditandai dengan pembentukan larutan koloidal dengan air yang apabila dikocok menimbulkan buih yang stabil. Saponin mengandung aglikon polisiklik yang khasnya adalah berbuih saat dikocok dengan air. Kemampuan berbusa saponin disebabkan oleh bergabungnya sapogenin nonpolar dan sisi rantai yang larut dalam air. Sapogenin ini berasal dari saponin pada hidrolisis yang menghasilkan suatu aglikon yang dikenal sebagai “sapogenin” (Robinson,1995) Setelah tabung reaksi dikocok kemudian didiamkan selama 15 menit dan diukur tinggi busa. Pada tabung 1 dan 2 tidak terdapat busa setelah pengocokan, pada tabung 3 terdapat tinggi busa yaitu 0,2 cm, pada tabung 4 tinggi busanya 0,5 cm, pada tabung 5 tinggi busanya 0,5 cm, pada tabung 6 tinggi busanya 0,4 cm, pada tabung 7 tinggi busanya 0,5, pada tabung 8 tinggi busanya 0,8 cm, pada tabung 9 tinggi busanya 0,7 dan pada tabung 10 tinggi busanya 10 cm. Pada percobaan ini, tinggi busa yang terbentuk tidak rata dimana tidak terbentuknya nilai yang linear (tinggi pembentukan busa naik turun pada tiap variasi pengenceran). Hal ini kemungkinan terjadi karema kecepatan dari kekuatan pengocokan yang tidak sama rata pada tiap tabung-tabung yang berisi bahan uji coba. Dari hasil percobaan ini, terdapat tinggi busa 1 cm pada tabung ke 10 sehingga tabung seri pengenceran no 10 ini merupakan volume dekokta yang terpilih untuk penetapan indeks pembusaan karena memiliki tinggi busa 1 cm. Jika tinggi busa pada tabung reaksi kurang dari 1 cm menunjukkan indeks busa nya kurang dari 100. Hal ini menunjukkan bahwa kadar
saponin dalam simplisia tersebut sedikit dan tidak dapat dilakukan proses pemekatan lagi. Dan jika tinggi busa pada tabung reaksi lebih dari 1 cm menunjukkan indeks busa nya lebih dari 1 cm menunjukkan indeks busa nya lebih dari 1000 sehingga perlu dilakukan proses pengenceran agar diperoleh volume dekokta dengan tinggi 1 cm. Indeks pembusaan ini dihitung dengan menggunakan rumus
1000 . Dimana a a
merupakan volume (mL) dekokta terpilih yang memiliki tinggi busa 1 cm. Berdasarkan hasil pengamatan volume (mL) dekokta terpilih adalah pada tabung seri pengenceran no 10 karena memiliki tinggi busa 1 cm. Jadi, indeks pembusaan dari daun saga pada percobaan ini adalah 100. Nilai indeks pembusaan tersebut dapat mengindikasikan aman tidaknya suatu tanaman untuk dijadikan sediaan obat. Walau dapat melindungi tanaman terhadap mikroba dan jamur, pada beberapa tanaman (misalnya dari gandum dan bayam) juga dapat meningkatkan penyerapan gizi dan membantu pencernaan hewan. Namun pada konsentrasi tinggi, saponin memiliki efek toksin yang dapat mengancam kehidupan sebagian hewan (terutama hewan berdarah dingin) (Foerster, 2006). Untuk manusia, saponin juga tidak bersifat toksik selama konsentrasinya tidak tinggi, dapat diketahui dari minuman seperti bir yang busanya disebabkan oleh saponin. Tetapi bila dijadikan sediaan obat, saponin yang merupakan glikosida yang bila dihidrolisa dengan enzim menghasilkan tiosianat, isotiosianat dan bensilsianat yang merupakan racun dan mempunyai sifat antitiroid (Nio, 1989). Sehingga dapat disimpulkan tanaman yang memiliki indeks pembusaan yang kecil seperti daun saga dapat dijadikan sediaan obat dan dapat menghindarkan efek dari sapotoksin yang menyebabkan gangguan perut yang parah, merusak sel darah merah atau timbulnya gangguan saraf pusat jantung.