MENGAPA SENI WAJIB TUNDUK PADA SYARIAH ISLAM? (*) Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi (**) Seni dan berkesenian, bagaimana juga ia didefinisikan [1], tidak keluar dari 3 (tiga) kemungkinan manifestasinya baik secara intelektual maupun secara empiris; Pertama, konsep (al afkaar), yaitu ide-ide mengenai seni. Misalnya ide-ide dalam buku Concepts of Modern Art : From Fauvism to Modernism, sebuah antologi artikel seni karya Nikos Stangos (sebagai editor), yang membicarakan konsep dan perkembangan seni sejak tahun 1990 hingga saat ini di AS dan Inggris. Atau buku The Legal Concept of Art karya Paul Kearns, yang membicarakan aspek hukum untuk karya seni, seperti hak cipta. Kedua, aktivitas (al af’aal), yaitu aktivitas atau perbuatan seniman dalam rangka menghasilkan karya seninya. Misalnya kegiatan seorang perupa yang sedang melukis, atau kegiatan seorang pemain sinetron yang sedang syuting, atau kegiatan seorang pematung yang sedang membuat patung, dan sebagainya. Ketiga, karya seni (al asy-yaa`), yaitu hasil dari kegiatan seniman berupa materi-materi yang dapat diindera manusia. Misalnya, lukisan, patung, film, video game, CD, busana, asesoris, dan sebagainya. Berbagai karya seni ini lalu dianggap sebagai “harta” (al amwaal) yang kemudian dikomersialkan dalam kegiatan industri dan perdagangan di tengah masyarakat. Bagi seorang seniman, ketiga aspek seni tersebut akan disikapi dan diperlakukan secara berbeda bergantung pada pandangan hidup (weltanschauung) atau ideologi (mabda`) yang menjadi keyakinannya. Bagi seniman yang mengadopsi ideologi kapitalisme-sekularisme, seni dan kegiatan berkesenian tidak ada relevansinya dengan agama. Seni dan agama mempunyai ranah sendiri yang terpisah dan tidak berkoneksi satu sama lain. Mengapa? Karena paham sekularisme yang diadopsinya meniscayakan keterpisahan agama dengan berbagai urusan kehidupan, termasuk urusan seni. Maka, seniman yang berpaham sekular seperti ini, walaupun dia menganut sebuah agama secara formal, tidak akan memasukkan penilaian (judgement) dari agama dalam berkesenian. Seniman liberal seperti ini tidak akan merasa berdosa melukis perempuan telanjang, misalnya. Padahal dalam Islam perbuatan seperti ini adalah dosa besar, karena dia telah melukis objek yang bernyawa di satu sisi, dan di sisi lain, telanjang pula objeknya! Astaghfirullahal ‘azhiem. Hal itu berbeda dengan seniman yang mengadopsi Islam sebagai pandangan hidup (weltanschauung) atau ideologi (mabda`) yang akan dia gunakan sebagai standar untuk perbuatannya. Seniman beriman seperti ini tidak memilah lagi mana ranah seni dan mana ranah agama. Mengapa? Karena Aqidah Islam yang diyakininya telah mewajibkan dia untuk tunduk pada Islam dalam segala perbuatannya, tidak peduli lagi perbuatan itu terkategori dalam bidang kehidupan yang mana. Baginya, segala sesuatu urusan hidupnya wajib ditundukkan pada agamanya, baik itu urusan ibadah, urusan politik, maupun urusan lainnya, termasuk urusan seni dan kegiatan berkesenian. Maka dari itu, seniman yang seperti ini tidak akan melukis objek yang bernyawa, karena aktivitas itu telah diharamkan dalam agama Islam. Lebih-lebih lagi dia tidak akan melukis objek manusia yang telanjang, karena Islam telah mengharamkan melihat aurat orang lain, baik aurat laki-laki maupun aurat perempuan. Secara ringkas, seniman muslim yang sejati akan menundukkan seni dan kegiatan berkeseniannya pada Syariah Islam, dalam semua aspeknya, baik itu dalam hal konsep (al afkaar), dalam kegiatan berkesenian (al af’aal), maupun dalam perlakuan terhadap karya seni (al asy-yaa`) sebagai harta (al amwaal) yang ditransaksikannya dalam kegiatan bisnis. Pertanyaan yang lebih mendalam adalah, mengapa sebagai muslim, seni wajib ditundukkan pada Syariah Islam seperti itu? Ada 2 (dua) alasan utama, pertama, karena Aqidah Islam yang diyakininya telah mewajibkan dia untuk menjalankan perintah-perintah Allah dan
menjauhi larangan-larangan Allah. Dengan kata lain, keimanannya kepada Islam telah mewajibkan dia untuk tunduk pada Syariah Islam. Kedua, karena syariah Islam yang lahir dari Aqidah Islam itu telah menjadi standar (miqyaas, criterium) baginya untuk menilai baik dan buruk. Alasan pertama, yakni Aqidah Islam telah mewajibkan seorang muslim untuk taat kepada Allah, dapat dibuktikan dengan banyaknya ayat atau hadits yang menerangkan dua hal : (1) bahwa Allah tidak hanya menciptakan manusia, tapi juga memberi perintah dan larangan Allah kepada manusia dalam hidupnya; (2) bahwa Allah akan meminta pertanggung jawaban manusia di Hari Kiamat mengenai apa saja yang telah dilakukannya di dunia. Sesungguhnya Allah tidak hanya menciptakan manusia, tapi juga memberi perintah dan larangan-Nya bagi manusia. Mari kita dalami Allah Firman Allah SWT : أَال لَهُ ْالخ َْل ُق َواأل َ ْم ُر “Ingatlah, hanyalah hak Allah menciptakan dan memerintah.” (Arab : alaa lahul khalqu wal amru). (QS Al A’raaf [7] : 54). Dalam ayat tersebut, Allah SWT menjelaskan bahwa Dia tidak hanya menciptakan kita sebagai makhluq-Nya, tapi juga memberi perintah kepada kita. Perintah dari Allah ini ada dua macam, yaitu, pertama, perintah yang berupa hukum alam (al amru al kauni), yaitu ketentuanketentuan Allah yang berlaku universal untuk benda-benda di alam semesta, misalnya pergiliran siang dan malam, pengaturan pergerakan benda-benda langit, pengaturan musimmusim di bumi. Juga ketentuan bahwa suhu tubuh normal manusia itu berkisar 36 derajat Celcius, manusia butuh makanan untuk bertahan hidup, bahwa air akan mendidih dalam suhu 100 derajat Celcius, besi akan memuai jika dipanaskan, dan sebagainya. Kedua, perintah berupa hukum syariat (al amru al tasyrii’i), yaitu ketentuan-ketentuan dari Allah berupa hukum syariah yang mengatur perbuatan manusia. Misalnya, babi itu haram dimakan, khamr haram diminum, zina dan riba itu haram, dan seterusnya. [2] Berdasarkan ayat itu, seorang muslim yang beriman kepada Aqidah Islam (meyakini adanya Allah dan meyakini Allah sebagai penciptanya), akan beriman pula bahwa Allah telah menetapkan seperangkat peraturan hidup untuknya, yaitu hukum syariah yang akan mengatur berbagai perbuatannya. Di sinilah titik simpang yang memisahkan seniman muslim dan seniman sekularliberal. Bagi seniman muslim, Allah itu tidak hanya menciptakan, tapi juga memerintah. Sedangkan bagi seniman sekular-liberal, Allah itu hanya menciptakan doang, sedang perintahNya berupa syariah Islam itu tidak ada alias non-exist. Kalaupun diyakini ada, syariah Islam itu telah dimarjinalkan hanya mengatur urusan ibadah, tapi tidak dibolehkan mengatur urusan seni dan berkesenian. Manusia seperti ini sungguh durjana dan bejat, bukan dia yang tunduk kepada aturan Allah, tapi justru dia yang mengatur Allah. Seolah dia berkata,”Kalau di masjid silakan Allah mengatur saya, tapi kalau saya berkesenian, silakan Allah minggir, biar saya yang mengatur sendiri urusan seni saya.” Na’uuzhu billah min dzaalik. Selain aspek penciptaan dan perintah Allah itu, dalam Aqidah Islam juga wajib diimani bahwa Allah akan meminta pertanggung jawaban manusia di Hari Kiamat mengenai apa saja yang telah dilakukan seorang manusia di dunia. Mari kita renungkan firman Allah SWT : ع ْنهُ َم ْسئُوالا ُ َوال ت َ ْق َ َص َر َو ْالفُ َؤادَ ُك ُّل أ ُ ْولَئِكَ َكان َ َْس لَكَ بِ ِه ع ِْل ٌم ِإنَّ الس َّْم َع َوالْب َ ف َما لَي “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS Al Israa` [17] : 36)
Dalam ayat di atas, terdapat dalil bahwa Allah SWT akan meminta pertanggung jawaban mengenai bagaimana kita menggunakan organ tubuh kita di dunia, misalnya organ pendengaran (as sam’u), yaitu telinga dan organ penglihatan (al bashar), yaitu mata. Mengapa telinga kamu suka mendengarkan lagu yang cabul dan amoral? Mengapa mata kamu suka melihat aurat perempuan tanpa busana? Tidak mustahil Allah akan bertanya demikian, bukan? Maka seorang muslim harus bisa mempertanggung jawabkan semua itu di hadapan Allah SWT pada Hari Kiamat kelak. Maka dari itu, bagi seorang muslim umumnya, dan bagi seniman muslim khususnya, jelaslah bahwa keimanan kepada Aqidah Islam telah mewajibkan dia untuk tunduk pada Syariah Islam. Inilah alasan pertama mengapa seniman muslim wajib tunduk pada Syariah Islam. Adapun alasan kedua, adalah karena syariah Islam yang lahir dari Aqidah Islam itu telah menjadi standar (miqyaas, criterium) untuk menilai baik dan buruk. Ini sesuai dengan kaidah syari’ah yang berbunyi : الحسن ما حسنه الشرع والقبيح ما قبحه الشرع “Perbuatan yang baik (terpuji) adalah perbuatan apa saja yang dinilai baik oleh Syariah Islam, sedang perbuatan yang buruk (tercela) adalah perbuatan apa saja yang dinilai buruk oleh Syariah Islam.” (Arab : al hasanu maa hassanahu al syar’u wa al qabiihu maa qabbahahu al syar’u). [3] Dalil untuk kaidah syariah itu antara firman Allah SWT : َّ َويُحِ ُّل لَ ُه ْم ال علَ ْي ِه ْم ْال َخبَائِث ِ ط ِيبَا َ ت َويُ َح ِر ُم “…dan (Rasulullah SAW membawa syariat untuk) menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk.” (QS Al A’raaf [7] : 157) Syaikh Muhammad Husain Abdullah dalam kitabnya Mafaahiim Islaamiyyah menafsirkan ayat tersebut dengan berkata : فالعنب طيب وحسن.فالطيب أو الحسن ما أحله هللا والخبيث أوالقبيح ما حرمه هللا و ليس ما الءم أو نافر فطرة اإلنسان وعقله والبيع حالل وحسن والربا حرام قبيح،والخمر المصنوع منه خبيث وقبيح “Jadi, apa yang baik atau terpuji itu adalah apa saja yang dihalalkan oleh Allah, sedang apa yang buruk atau tercela itu adalah apa saja yang diharamkan oleh Allah, jadi ukurannya bukan apa yang sesuai atau tidak sesuai dengan fitrah dan akal manusia. Maka dari itu, anggur itu baik dan terpuji, sedangkan khamr yang terbuat dari anggur itu adalah buruk dan tercela. Jual beli adalah halal dan terpuji, sedangkan riba adalah haram dan tercela.” [4] Di sini pulalah ada titik simpang yang memisahkan seniman muslim dan seniman sekular-liberal. Bagi seniman muslim, baik dan buruk itu diukur dengan standar syariah, yaitu halal haram. Sedangkan bagi seniman sekular-liberal, baik dan buruk itu tidak diukur dengan syariah (halal haram), tetapi diukur dengan standar-standar lain yang non syariah, misalnya standar manfaat (utility) berdasarkan pertimbangan atau kalkulasi akal murni. Mungkin seniman liberal ini terpengaruh oleh paham utilitarianisme ala Jeremy Bentham (1748-1832) atau paham pragmatisme ala John Dewey (1859-1952), yang menilai baik buruknya perbuatan berdasarkan manfaat yang lahir dari perbuatan itu. Maka dari itu, bagi seniman muslim melihat aurat perempuan untuk dijadikan objek lukisan adalah buruk, karena menurut Syariah Islam hukumnya haram seorang laki-laki melihat
aurat orang lain baik laki-laki maupun perempuan. Sedang bagi seniman liberal-sekular, melihat objek seperti itu adalah baik, karena ada manfaatnya, mungkin manfaat pembelajaran bagi mahasiswa seni yang sedang belajar, atau manfaat finansial bagi seniman lukis atau fotografer profesional. Berdasarkan semua penjelasan di atas, jelaslah bahwa bagi seorang muslim pada umumnya, dan seniman muslim pada khususnya, wajib tunduk pada Syariah Islam, karena keimanannya kepada Islam telah mewajibkan dia untuk tunduk pada Syariah Islam, dan karena syariah Islam adalah standar (miqyaas, criterium) yang sahih baginya untuk menilai mana yang baik dan mana yang buruk. Bagi seniman muslim, syariah Islam itulah yang wajib digunakan sebagai peraturan untuk mengatur seni dan berkesenian dalam semua aspeknya, baik itu dalam hal konsep (al afkaar) tentang seni, dalam kegiatan berkesenian (al af’aal), maupun dalam perlakuan terhadap karya seni (al asy-yaa`) sebagai harta (al amwaal) yang akan ditransaksikannya dalam kegiatan bisnis karya seni. Wallahu a’lam. [ ] === (*) Makalah disampaikan dalam Diskusi Fiqih Seni di KHAT Gallery, Bantul, DIY, hari Selasa 5 Maret 2019. (**) Pembina bidang fiqih KHAT. Mudir Ma’had Hamfara Yogyakarta. CATATAN AKHIR (END NOTES) : [1] Salah satu definisi seni menyebutkan bahwa seni itu adalah penjelmaan perasaan indah yang terkandung dalam hati manusia, dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni suara), penglihatan (seni lukis), atau dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari, drama). (Ensiklopedi Indonesia, PT. Ikhtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta, Jilid V, hlm. 3080 - 3081). [2] Wahbah Zuhaili, At Tafsiir Al Muniir, Juz VIII, hlm. 236. [3] Muhammad Husain Abdullah, Mafaahiim Islamiyyah, (Beirut : Daarul Bayaariq), 1996, Juz II, hlm. 26. [4] ibid.